Anda di halaman 1dari 13

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat

1. Kejadian Anemia

Berdasarkan hasil penelitian dari 112 responden terdapat lebih dari separoh (58,0%)

responden tidak anemia di SMAN 3 Kota Bukittinggi Tahun 2018.

Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi yang

diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Hb), sehingga disebut “anemia kekurangan

Besi atau anemia gizi besi (AGB)” Kemenkes RI, (2015).

Menurut penelitian Martini (2015) yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian anemia pada remaja putri di MAN 1 Metro. Hasil penelitian yang dilakukan

di kelas XI MAN 1 Metro Lampung Timur diperoleh kejadian anemia sebanyak 40% dari

115 reponden yang mengalami anemia. Kejadian anemia dalam penelitian ini lebih tinggi

dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 Provinsi Lampung yang mengalami

anemia pada perempuan dewasa (≥15 tahun) yaitu sebesar 25,9%.

Menurut asumsi peneliti hasil penelitian bahwa banyaknya remaja putri mengalami

anemia salah satu penyebabanya diantara responden mengkonsumsi asupan vitamin dan

mineral yang tidak adekuat. Remaja perempuan mengkonsumsi sejumlah zat besi, kalsium,

magnesium, fosfor dan zink yang tidak adekuat ini menunjukkan asupan vitamin A, vitamin

E, vitamin B6. Selain ketidak adekuatan asupan vitamin dan mineral, diet remaja juga

dikaresteristikan oleh konsumsi lemak total, asupan tinggi lemak jenuh, natrium, kolesterol,

dan gula halus serta rendahnya asupan buah dan sayur. Maka yang terutama adalah

69
70

kenyataan bahwa banyak remaja perempuan berhenti minum susu pada saat kebutuhan

kalsium mencapai puncaknya.

2. Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian dari 112 sampel responden terdapat lebih dari separoh

(66,7%) responden dengan pengetahuan tinggi di SMAN 3 Kota Bukittinggi Tahun 2018.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia,

yakni indra penglihatan, pendengar, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Menurut penelitian Elsiana, dkk (2017) yang berjudul hubungan pengetahuan tentang

anemia pada remaja dengan pemenuhan kebutuhan zat besi pada siswi SMKN 4

Yogyakarta. Pada penelitian yang dilakukan pada siswi SMKN 4 didapatkan bahwa

sebagian besar siswi yaitu sebanyak 73,8% berada ditingkat pengetahuan yang baik.

Sedangkan siswi SMKN 4 yang memiliki pengetahuan cukup tentang anemia pada remaja

adalah sebanyak 22,6%, tetapi masih terdapat siswi yang berpengetahuan kurang.

Menurut asumsi peneliti bahwa sebagian besar remaja putri memiliki pengetahuan yang

tinggi tentang penyebab remaja putri lebih beresiko terkena anemia. Tapi masih terdapat

39,3% remaja putri yang memiliki pengetahuan kurang tentang penyebab utama seseorang

mengalami anemia, dampak anemia, dan yang dimaksud dengan anemia. Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan. Tinggi rendahnya pengetahuan itu erat kaitannya dengan tingkat
71

perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadaran terhadap kesehatan dirinya. Dengan

pengetahuan remaja yang baik tentang anemia merupakan modal dasar dalam menjaga

pemenuhan kebutuhan zat besi walaupun kenyataannya masih terdapat siswi yang

berpengetahuan rendah. Pengetahuan siswi yang baik perlu di tingkatkan dan dipertahankan

2. Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian dari 112 sampel responden terdapat lebih dari separoh

(67,9%) responden dengan status gizi yang baik di SMAN 3 Kota Bukittinggi Tahun 2018.

Usia remaja (10-18 tahun) merupakan periode rentan gizi karena berbagai sebab.

Pertama, remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan

fisik dan perkembangan yang dramatis itu. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan

makan remaja mempengaruhi baik asupan maupun kebutuhan gizinya. Ketiga, remaja yang

mempunyai kebutuhan gizi khusus, yaitu remaja yang aktif dalam kegiatan olahraga,

menderita penyakit kronis, sedang hamil, melakukan diet secara berlebihan, pecandu alcohol

atau obat terlarang (almatsier dkk: )

Menurut penelitian Martini (2015) yang bejudul faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian anemia pada remaja putri di MAN 1 Metro. Remaja dengan status gizi kurus

mempunyai resiko 3,1 kali mengalami anemia dibandingkan dengan remaja yang status

gizinya dalam kategori normal. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Abdul Basith,

dkk (2017) tidak terdapat hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri di

Banjar Baru.

Menurut asumsi peneliti remaja yang status gizi tinggi maka kejadian anemia rendah, bila

status gizi kurang maka kejadian anemia tinggi. Mereka dapat terkena anemia karena

kebiasaan makan mereka yang tidak seimbang seperti apabila responden jarang
72

mengkonsumsi sayur-sayuran dan bisa juga disebsbkan apabila sering memakan makanan

yang mengandung karbohidrat dan lemak saja tidak diimbangi dengan mengkonsumsi

makanan yang mengadung mineral, protein, vitamin. Remaja saat ini sering sekali kurang

memperhatikan konsumsi makanan mereka, mereka sering mengkonsumsi makanan yang

kurang sehat seperti gorengan, bakso tusuk, mie dan lain-lain, serta tak jarang remaja yang

tidak mau mengkonsumsi sayuran. Padahal kecukupan gizi sangatlah penting, karena

kekurangan gizi dapat menyebabkan penurunan pembentukan sel darah merah yang mana

dapat menyebabkan anemia. Gizi baik akan dapat dicapai dengan memberi makanan yang

seimbang bagi tubuh menurut kebutuhan dan gizi kurang menggambarkan ketidak

seimbangan makanan yang dimakan dengan kebutuan manusia, status gizi remaja putri di

SMAN 3 Kota Bukittinggi separuh dari total populasi memilik status gizi buruk. Karna itu

diperlukan peran petugas kesehatan untuk mengatasi masalah status gizi pada para siswi

agar mencegah terjadinya anemia pada para siswi.

3. Pola Makan

Berdasarkan hasil penelitian dari 112 sampel responden terdapat lebih dari separoh

(50,9%) responden dengan pola makan yang teratur di SMAN 3 Kota Bukittinggi Tahun

2018.

Pola makan atau pola konsumsi pangan segala sesuatu yang berasal dari sumber

hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan

atau minuman bagi konsumsi manusia (Tejasari, 2005).

Menurut penelitian Baiq, dkk (2015) yang berjudul hubungan pola makan dan pola

menstruasi dengan kejadian anemia pada remaja putri. Berdasarkan hasil penelitian kejadian

anemia pada remaja putri menunjukkan bahwa sebagian besar pola makan remaja putri
73

dalam kategori tidak baik yaitu 37 dari 70 responden (52,9%). Pola makan remaja putri yang

tidak baik dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya pengetahuan tentang gizi.

Menurut asumsi peneliti bahwa pola dan gaya hidup modern membuat remaja

cenderung lebih menyukai makan diluar rumah bersama kelompoknya menyebabkan pola

makan mereka tidak teratur. Pola makan remaja yang tidak teratur sebesar 49,1%. Menurut

mereka pola makan tidak mempengaruhi kesehatan, sehingga remaja putri sering

mempraktikan diet dengan cara yang kurang benar seperti melakukan pantangan-pantangan,

membatasi atau mengurangi frekuensi makan untuk mencegah kegemukan. Pada umumnya

remaja putri sering mengkonsmsi makanan yang kurang baik. Beberapa remaja khususnya

remaja putri sering mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak seimbang

dibandingkan dengan kebutuhannya karena takut kegemukan. Kebiasaan makan remaja rata-

rata tidak lebih dari tiga kali sehari dan disebut makan bukan hanya dalam konteks

mengkonsumsi makanan pokok saja tetapi makanan ringan juga dikategorikan makanan

kesukaan remaja. Remaja lebih menyukai makan-makanan ringan seperti gorengan, coklat,

permen dan es. Hal ini menyebabakan makanan yang beraneka ragam tidak dikonsumsi oleh

para remaja. Sehingga diet yang mereka lakukan rendah akan zat besi, kalsium, vitamin, dan

lain-lain

4. Pola Menstruasi

Berdasarkan hasil penelitian dari 112 sampel responden terdapat lebih dari separoh

(64,3%) responden dengan pola menstruasi yang normal di SMAN 3 Kota Bukittinggi

Tahun 2018.

Menstruasi adalah runtuhnya jaringan epitel endometrium akibat pengaruh perubahan

siklik keseimbangan hormonal reproduksi wanita. Etiologi gangguan menstruasi pada


74

perempuan dapat berasal dari gangguan ketidak seimbangan hormonal, permasalahan pada

struktur organ reproduksi, adanya infeksi, dan faktor lain yang tidak diketahui secara pasti.

Jenis gangguan menstruasi yang banyak dialami perempuan antara lain: disfungsi

perdarahan uterus, disminore, sindrom premenstrual, dan amenore. Gangguan menstruasi

dibagi berdasarkan ketidak nyamanan, jumlah darah yang keluar, dan masalah keteraturan

siklus menstruasi (Afiyanti dkk, 2016).

Menurut penelitian Hariyanti (2013) yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian anemia pada remaja putri di MAN Ciawi Kabupaten Tasikmalaya tahun

2012. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden

mengalami tidak menstruasi pada saat pemeriksaan Hb (71,4%). dan yang mengalami

menstruasi sebesar (28,6%). Hal ini menunjukkan bahwa responden yang mengalami

menstruasi mempunyai resiko 1,842 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia.

Peneitian ini tidak sebanding dengan penelitian Sinta Dewi,dkk (2016) hasil penelitian

diketahui bahwa responden dengan pola menstruasi tidak teratur mengalami anemia

berjumlah 95,8% yang terdapat hubungan antara pola menstruasi dengan anemia pada

remaja putri.

Menurut asumsi peneliti penelitian ini diperkuat dengan teori yang menyatakan bahwa

menstruasi adalah proses peluruhan lapisan dalam dinding rahim yang banyak mengandung

pembuluh darah. Pola menstruasi serangkaian proses menstruasi terdiri dari siklus

menstruasi lama pendarahan menstruasi dan disminore. Remaja siswi yang mengalami pola

menstruasi tidak normal sebesar 35,7 % dikarenakan siklus menstruasi mereka yang tidak

normal dan lamanya menstruasi. Jika remaja putri yang mengalami anemia itu disebabkan

oleh pola menstruasi tidak baik karena jumlah darah dan frekuensi menstruasi yang
75

berlebihan. Remaja putri beresiko lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan remaja

putra karena mengalami menstruasi. Siklus menstruasi dikatakan normal jika jarak antara

hari pertama keluarnya darah menstruasi dan hari pertama menstruasi berikutnya selang

waktu 26-35 hari.

B. Analisis Bivariat

a. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Anemia

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 44 orang responden dengan

pengetahuan rendah terdapat 25 orang responden (56,8%) tidak anemia, sedangkan dari

68 orang reponden dengan pengetahuan tinggi terdapat 40 orang responden (58,8%) tidak

anemia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Soekidjo Notoadmodjo (2010)

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang (ovent behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku

yang didasari oleh ilmu pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak

didasari dengan ilmu pengetahuan.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinta, dkk (2016) yang berjudul faktor-

faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri Wilayah Lampung

Timur. Bahwa berdasarkan hasil penelitian diketahui hasil uji Chi Square diperoleh p

value 1,000 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan

kejadian anemia pada remaja putri kelas XI. Dan diperkuat dengan penelitian

Menurut asumsi peneliti Pengetahuan tentang anemia adalah kemampuan

seseorang untuk mengerti dan memahami kondisi atau keadaan yang berkaitan dengan

anemia, misalnya pemahaman bahwa anemia adalah kondisi kekurangan sel darah merah,
76

mengerti tentang tanda dan gejalanya serta faktor apa saja yang dapat menyebabkan

anemia. Hal ini mungkin bahwa sebagian responden mempunyai pengetahuan baik

tentang anemia, namun pengetahuan yang tidak baik tidak memberikan jaminan seorang

remaja mempunyai kadar haemoglobin yang tinggi (tidak anemia) dilihat dari hasil

univariat sebanyak 39,9% responden dengan pengetahuan kurang tentang anemia.

Remaja putri yang memiliki pengetahuan rendah diakibatkan kurangnya pengetahuan

tentang pentingnya mengkonsumsi makanan bergizi yang dapat memenuhi kebutuhan

remaja. Zat gizi yang sangat penting bagi remaja putri adalah zat besi jika asupan remaja

putri kurang maka akan menyebabkan perkembangan remaja putri terhambat. Untuk itu

pengetahuan remaja putri tentang anemia sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya

anemia

b. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 36 orang responden dengan

status gizi yang buruk terdapat 26 orang responden (72,2%) mengalami anemia,

sedangkan dari 76 orang reponden dengan status gizi yang baik terdapat 55 orang

responden (72,4%) tidak anemia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Almatsier dkk ( ). Usia remaja (10-18

tahun) merupakan periode rentan gizi karena berbagai sebab. Pertama, remaja

memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan fisik dan

perkembangan yang dramatis itu. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan

remaja mempengaruhi baik asupan maupun kebutuhan gizinya. Ketiga, remaja yang

mempunyai kebutuhan gizi khusus, yaitu remaja yang aktif dalam kegiatan olahraga,
77

menderita penyakit kronis, sedang hamil, melakukan diet secara berlebihan, pecandu

alkohol atau obat terlarang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Martini (2015) dengan judul faktor-

faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMAN 1 Metro

bahwa adanya hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia di kelas XI MAN 1

Metro Lampung Timur (p=0,009< α = 0,05). Remaja dengan status gizi dalam kategori

kurus mempunyai resiko 3,1 kali mengalami anemia dibanding dengan remaja yang

status gizinya dalam kategori normal (OR=3,059 (95% CI:1,425-6,1761).

Penelitian ini juga didukung oleh Mahmut Jaelani, dkk (2017) dalam judul factor

resiko yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri. Menunjukan ada

hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri.

Menurut asumsi peneliti bahwa pada dasarnya anemia dipengaruhi secara

langsung oleh konsumsi makanan sehari-hari yang kurang mengandung zat besi, secara

umum konsumsi makanan berkaitan erat dengan status gizi. Remaja dengan status gizi

yang baik maka kejadian anemia rendah, bila status gizi buruk maka kejadian anemia

tinggi, walaupun pengetahuan remaja putri tinggi tentang anemia jika status gizi buruk,

remaja tersebut akan tetap berkemungkinan terkena anemia. Anemia dipengaruhi oleh

faktor pengetahuan, status kesehatan, aktivitas, pola makan, kehilangan darah yang

disebabkan oleh menstruasi. Gizi baik akan dapat dicapai dengan memberi makanan yang

seimbang bagi tubuh menurut kebutuhan dan gizi kurang menggambarkan ketidak

seimbangan makanan yang dimakan dengan kebutuhan tubuh manusia dengan kejadian

anemia. Remaja yang berstatus gizi buruk memungkinkan untuk terjadinya anemia,

karena gizi merupakan suatu proses organisme yang dikonsumsi secara normal melalui
78

proses digesti, absorbs, transportasi, penyimpanan, metabolism. Hal ini dikarenakan

remaja mempunyai keadaan gizi yang berbeda-beda yaitu berat badan dan tinggi badan

serta riwayat gizi yang berbeda pula. Seorang yang memiliki status kesehatan baik maka

pertumbuhan dan perkembangan juga akan normal. Sebagian besar remaja putri

mempunyai pengetahuan yang tinnggi penyebab remaja putri lebih beresiko terkena

anemia. adalah umum yang terjadi pada remaja dalam kasus gizi adalah anemia

defesiensi besi, kelebihan dan kekurangan berat badan .

c. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Anemia

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 55 orang responden dengan pola

makan tidak teratur terdapat 30 orang responden (54,5%) mengalami anemia, sedangkan

dari 57 orang reponden dengan pola makan yang teratur terdapat 40 orang responden

(70,2%) tidak anemia.

Saat seseorang memasuki masa remaja. Hal-hal yang berpengaruh terhadap kebiasaan

makan sangat banyak, pembentukan kebiasaan tersebut sangat kompleks. Meningkatnya

kemandirian, meningkatnya partisipasi dalam kehidupan sosial, dan padatnya jadwal

aktivitas pada umumnya berdampak terhadap apa yang dimakan remaja. Mereka mulai

membeli dan menyiapkan lebih banyak makanan untuk dirinya, serta sering makan cepat-

cepat dan makan diluar rumah (Almatsier dkk, ) .

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Baiq Nurlaily,dkk (2015) yang berjudul

hubungan pola makan dan pola menstruasi dengan kejadian anemia pada remaja putri.

Hasil penelitian tersebut menunjukan adanya hubungan pola makan dengan kejadian

anemia pada remaja putri di MTS Ma’rif Nyatnyono Kabupaten semarang dan didukung

penelitian Nabila Zuhdi, dkk (2015) yang berjudul aktivitas fisik, polamakan dan status
79

gizi pelajar putri SMA didenpasar utara yang menunjukan adanya aspek pola makan yaitu

pengontrolan berat badan berhubungan secara signifikan dengan status gizi pelajar putri

SMA.

Menurut asumsi peneliti bahwa pola makan yang tidak teratur dapat menyebabkan

kekurangan berbagai zat gizi yang dapat menyebabkan anemia, kekurangan protein

ataupun karbohidrat, seperti yang terjadi pada keadaan kekurangan kalori dan protein

yang merupakan perwujudan kekurangan makanan dalam jangka waktu yang cukup

lama, niscaya akan menyebabkan kekurangan berbagai bahan yang diperlukan untuk

pembentukan tubuh. Pola dan gaya hidup modern mebuat remaja cenderung lebih

menyukai makan di luar rumah bersama temannya. Remaja putri sering melakukan diet

dengan cara yang kurang benar seperti melakukan pantangan-pantangan, membatasi atau

mengurangi frekuensi makan uuntuk mencegah terjadi kegemukan. Pada umumnya

remaja mempunyai kebiasaan makan yang kurang baik. Beberapa remaja putrri sering

mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak seiumbang dibandingkan dengan

kebutuhannya karena takut kegemukan dan menyebut makanan bukan hanya konteks

mengkonsumsi makanan pokok saja tetapi makanan ringan juga dikategorikan sebagai

makan. Akibatnya, asupan gizi yang masuk ketubuh tidak sesuai dengan angka

kecukupan gizi yang dianjurkan sehingga berakibat pada penurunan status gizi dan

mengalami anemia defesiensi besi.

d. Hubungan Pola Menstruasi dengan Kejadian Anemia

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 40 orang responden dengan

pola menstruasi yang tidak normal terdapat 28 orang responden (70,0%) tidak
80

mengalami anemia, sedangkan dari 72 orang reponden dengan pola menstruasi yang

normal terdapat 37 orang responden (51,4%) tidak anemia.

Menstruasi adalah runtuhnya jaringan epitel endometrium akibat pengaruh

perubahan siklik keseimbangan hormonal reproduksi wanita. Etiologi gangguan

menstruasi pada perempuan dapat berasal dari gangguan ketidak seimbangan hormonal,

permasalahan pada struktur organ reproduksi, adanya infeksi, dan faktor lain yang tidak

diketahui secara pasti. Jenis gangguan menstruasi yang banyak dialami perempuan

antara lain: disfungsi perdarahan uterus, disminore, sindrom premenstrual, dan amenore.

Gangguan menstruasi dibagi berdasarkan ketidak nyamanan, jumlah darah yang keluar,

dan masalah keteraturan siklus menstruasi (Afiyanti dkk, 2016). Kehilangan darah

melaui perdarahan menstruasi dapat menyebabkan anemia (Proverawati, 2011).

Menerut penelitian Baiq,dkk (2015) yang berjudul hubungan pola makan dan pola

menstruasi dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan hasil analisis hubugan

pola menstruasi dengan kejadian anemia pada remaja putri diperoleh hasil bahwa 33

siswi (47,1%) mempunyai pola menstruasi tidak baik, di mana 25 siswa (35,7%)

mengalami anemia. Responden yang mengalami pola menstruasi baik sebanyak 37 siswi

(52,9%) dimana jumlah siswi yang tidak mengalami anemia sebanyak 24 responden

(34,4%). Kejadian anemia pada remaja putri yang disebabkan mempunyai pola

menstruasi tidak baik karena jumlah darah dan frekuensi menstruasi yang berlebuhan.

Remaja putri beresiko lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan remaja putra karena

mengalami menstruasi

Menurut asumsi peneliti para remaja yang mengalami menstruasi normal

sebanyak 72 siswi (64,3%) hal tersebut karena volume pengeluaran darah ketika
81

menstruasi dalam kondisi normal. Para remaja yang mengalami anemia saat menstruasi

dikarenakan perdarahan haid yang lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal

(lebih dari 8 hari), perdarahan haid yang lebih pendek dan atau lebih kurang dari biasa,

Siklus haid lebih pendek dari biasa (kurang dari 21 hari), Siklus haid lebih panjang,

lebih dari 35 hari. Jika darah yang keluar selama haid normal dan lama mensruasi dalam

batas tujuh hari maka pola menstruasi tidak menjadi faktor para remaja terkena anemia.

Khusus remaja wanita, masalah anemia akan terus berlanjut setelah remaja, karena

mengalami menstruasi dilanjutkan proses kehamilan dan menyusui. Kehilangan darah

melaui perdarahan menstruasi dapat menyebabkan anemia.

e. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini telah diusahakan dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur ilmiah,

namun demikian masih memiliki keterbatasan seperti:

1. Masih menggunakan kuisioner yang terkadang jawaban yang diberikan oleh

sampel tidak menunjukkan keadaan sesungguhnya.

2. Kurangnya partisipasi para siswi dalam mengisi kuisioner. Sehingga harus

meminta bantuan guru agar para siswi mau mengisi kuisioner.

3. Minimnya waktu yang diberikan pihak sekolah dalam melakukan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai