Anda di halaman 1dari 9

PJBL Tonsilitis

1. Definisi

Tonsilitis adalah suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri berlangsung sekitar lima hari
dengan disertai disfagia dan demam (Megantara, Imam, 2006).
Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta
hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes, dapat juga disebabkan oleh virus
(Mansjoer, A. 2000).
Tonsilitis kronik merupakan hasil dari serangan tonsillitis akut yang berulang. Tonsil tidak
mampu untuk mengalami resolusi lengkap dari suatu serangan akut kripta mempertahankan
bahan purulenta dan kelenjar regional tetap membesar akhirnya tonsil memperlihatkan
pembesaran permanen dan gambaran karet busa, bentuk jaringan fibrosa, mencegah pelepasan
bahan infeksi (Sacharin, R.M. 1993).
Tonsilitis adalah radang yang disebabkan oleh infeksi bakteri kelompok A streptococcus beta
hemolitik, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri jenis lain atau oleh infeksi virus (Hembing,
2004).
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada hasil tonsil (amandel), yang sangat sering ditemukan,
terutama pada anak-anak (Firman sriyono, 2006, 2006).
Tonsilitis adalah inflamasi dari tonsil yang disebabkan oleh infeksi (Harnawatiaj, 2006).
2. Epidemiologi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga Institutional Review Board,
Amerika, pada Januari 2008 sampai dengan Januari 2010 di Rumah Sakit Long Island Collage
pada 198 anak dengan usia rata-rata 3,7 tahun, dijumpai bahwa anak laki-laki (60,1%) lebih
banyak dari anak perempuan (39,9%) (Marzouk dkk, 2012).

Sementara itu di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode April 1997 sampai dengan
Maret 1998 didapatkan 1024 (6,75%) pasien tonsilitis kronik dari seluruh kunjungan. Tonsilitis
kronik pada anak hampir selalu terjadi bersama adenoiditis kronik, karena adenoid dan tonsil
merupakan jaringan limfoid yang saling berhubungan membentuk cincin Waldeyer. Adenoiditis
kronik cukup sering terjadi, terutama pada kelompok usia anak antara 5 sampai 10 tahun.
Pembesaran adenoid meningkat secara tepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum
pada usia 3 sampai 6 tahun, kemudian menetap sampai usia 8 sampai 9 tahun, dan setelah usia
14 tahun bertahap mengalami involusi/regresi (Anggoro, 2012).

3. Etiologi
Penyebab utama tonsilitis adalah kuman golongan streptokokus (streptokus α streptokokus
ß hemolycitus, viridians dan pyogeneses), penyebab yang lain yaitu infeksi virus influenza, serta
herpes (Nanda, 2008). Infeksi ini terjadi pada hidung / faring menyebar melalui sistem limpa ke
tonsil hiperthropi yang disebabkan oleh infeksi bisa menyebabkan tonsil membengkak sehingga
bisa menghambat keluar masuk udara. 50% bakteri merupakan penyebabnya. Tonsil bisa
dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, dan juga
menyebabkan tonsilitis (Reeves, 2001).

4. Faktor Risiko
Faktor Risiko Tonsilitis
a. Eksposi kepada orang yang terinfeksi
b. Eksposi kepada asap rokok
c. Paparan asap beracun, asap industri dan polusi udara lainnya
d. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
e. Kanak-kanak, remaja, dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas
f. Stres
g. Traveler
h. Mulut yang tidak bersih
i. Kondisi ko-morbid yang mempengaruhi sistem imun seperti hayfever, alergi, kemoterapi,
infeksi Epstein-barr Virus (EBV), infeksi Herpes Simplex Virus (HSV), infeksi sitomegalovirus
(CMV) dan infeksi Human Immune Virus (HIV) atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS)
j. Jenis kelamin. Lebih sering terjadi pada wanita (Abouzied, 2010).

5. Klasifikasi

Ada tiga jenis utama dari tonsilitis, yaitu:

a. Tonsilitis akut - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh salah satu bakteri atau virus. Infeksi ini
biasanya sembuh sendiri (Eunice, 2014).
b. Subakut tonsilitis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh Actinomyces bakteri - organisme
anaerob yang bertanggungjawab untuk keadaan suppuratif pada tahap infeksi. Infeksi ini bisa
bertahan .

6. . Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil berperan
sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu tubuh
untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-kadang
amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang
disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu
tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan
menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan
ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga
berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan
kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot,
kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa
mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.

Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran),
sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan
parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan
diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfe submandibula.

7. Manifestasi Klinis

Tonsilitis menimbulkan keluhan brupa rasa kering di tenggorok. Selanjutnya penderita


merasa nyeri waktu menelan yang makin lama makin hebat, sehingga karena sakitnya, anak
menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menjalar ke telinga disebut reffered pain. Panas
badan dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang pada anak dan bayi, nyeri kepala, badan
lesu, nafsu makan berkurang.
Suara penderita terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan panas.
Keadaan ini disebut plummy voice. Mulut berbau busuk, dan ludah menumpuk dalam cavum oris
akibat adanya nyeri telan yang hebat.

Selain itu, tonsil hiperemi, udem, permukaannya penuh detritus, ismus fausium tampak
meyempit. Kelenjar limfe di belakang angulus mandibula membesar dan nyeri tekan. (Herawati
dan Rukmini, 2003)

8. Pemeriksaan Diagnostik

a. Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam tubuh
pasien dengan tonsilitis merupakan bakteri grup A, kemudian pemeriksaan jumlah leukosit
dan hitung jenisnya, serta laju endap darah. Persiapan pemeriksaan yang perlu sebelum
tonsilektomi adalah :
1) Rutin : Hemoglobine, lekosit, urine.
2) Reaksi alergi, gangguan perdarahan, pembekuan.
3) Pemeriksaan lain atas indikasi (Rongten foto, EKG, gula darah, elektrolit, dan sebagainya.
b. Kultur
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
c. Terapi
Dengan menggunakan antibiotik spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan obat
kumur yang mengandung desinfektan. ( Soetomo, 2004 )

6. Penatalaksaan

Pada penderita tonsillitis, terlebih dahulu harus diperhatikan pernafasan dan status
nutrisinya. Jika perbesaran tonsil menutupi jalan nafas, maka perlu dilakukan tonsilektomi,
demikian juga jika pembesaran tonsil menyebabkan kesulitan menelan dan nyeri saat menelan,
menyebabkan penurunan nafsu makan / anoreksia. Pada penderita tonsillitis yang tidak
memerlukan tindakan operatif (tonsilektomi), perlu dilakukan oral hygiene untuk menghindari
perluasan infeksi, sedangkan untuk mengubahnya dapat diberikan antibiotic, obat kumur dan
vitamin C dan B.

Pemantauan pada penderita pasca tonsilektomi secara kontinu diperlukan karena resiko
komplikasi hemorraghi. Posisi yang paling memberikan kenyamanan adalah kepala dipalingkan
kesamping untuk memungkinkan drainage dari mulut dan faring untuk mencegah aspirasi. Jalan
nafas oral tidak dilepaskan sampai pasien menunjukkan reflek menelanya telah pulih.
Jika pasien memuntahkan banyak darah dengan warna yang berubah atau berwarna merah
terang pada interval yang sering, atau bila frekuensi nadi dan pernafasan meningkat dan pasien
gelisah, segera beritahu dokter bedah. Perawat harus mempunyai alat yang disiapkan untuk
memeriksa temapt operasi terhadap perdarahan, sumber cahaya, cermin, kasa, nemostat
lengkung dan basin pembuang. Jika perlu dilakukan tugas, maka pasien dibawa ke ruang operasi,
dilakukan anastesi umur untukmenjahit pembuluh yang berdarah. Jika tidak terjadi perdarahan
berlanjut beri pasien air dan sesapan es. Pasien diinstruksikan untuk menghindari banyak bicara
dan bentuk karena hal ini akan menyebabkan nyeri tengkorak.
Setelah dilakukan tonsilektomi, membilas mulut dengan alkalin dan larutan normal salin
hangat sangat berguna dalam mengatasi lender yang kental yang mungkin ada. Diet cairan atau
semi cair diberikan selama beberapa hari serbet dan gelatin adalah makanan yang dapat
diberikan. Makanan pedas, panas, dingin, asam atau mentah harus dihindari. Susu dan produk
lunak (es krim) mungkin dibatasi karena makanan ini cenderung meningkatkan jumlah mucus
yang.
Lokal
Terapi lokal bertujuan pada higiene mulut atau obat hisap yaitu antibiotik dan analgesik
Indikasi Tonsilektomi
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS)
tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia berat,gangguan
tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b) Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika
dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan
medik yang adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
7. Pencegahan

Tak ada cara khusus untuk mencegah infeksi tonsil (amandel). Secara umum disebutkan
bahwa pencegahan ditujukan untuk mencegah tertularnya infeksi rongga mulut dan tenggorokan
yang dapat memicu terjadinya infeksi tonsil. Namun setidaknya upaya yang dapat dilakukan
adalah:

• Mencuci tangan sesering mungkin untuk mencegah penyebaran mikro-organisme yang dapat
menimbulkan tonsilitis.

• Menghindari kontak dengan penderita infeksi tanggorokan, setidaknya hingga 24 jam setelah
penderita infeksi tenggorokan (yang disebabkan kuman) mendapatkan antibiotika.
8. Komplikasi

Komplikasi tonsilitis dapat berupa:


a) Abses peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group A
(Soepardi, dkk, 2007)
b) Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga
(Soepardi, dkk, 2007).
c) Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid
(Soepardi, dkk, 2007).
d) Laringitis
Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx. Peradangan
ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakter, lingkungan,
maupunmkarena alergi (Reeves, dkk, 2001).
e) Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari sinus
paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang
terdiri dari membran mukosa (Reeves, dkk, 2001).
f) Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx (Reeves,
dkk, 2001).
Daftar Referensi

Adams, George L. 1997.BOISE Buku Ajar Penyakit THT.Jakarta:EGC. Jakarta:EGC.


Anggoro, Dimas. 2012. Jurnal: Adenotonsilitik Kronik dan Tuba Eustachius. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Ferlito, Salvatore, et Al. 2011. Adenoiditis and Otitis Media with Effusion: Recent Physio-
Pathological andTerapeutic Acquisition. Università Degli Studi di Catania - Dipartimento Di
Specialità Medico-Chirurgiche - Clinica Otorinolaringoiatrica.
Jagdeep R. 2008. Pharmacokinetic and Clinical Studies of FK 027 in the Pediatric Field. In: A
Review of New Oral Cephems. Proceedings of a Workshop Heldat the 14th International
Congress of Chemotherapy. Kyoto
Kurniawati. 2010. Tonsilitis dan Adenoiditis Kronik, Efek terhadap Gangguan Fungsi Belajar.
Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.
Mansjoer, Arif. 2000.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media Aeus Calpius.
Marzouk, Haidy., dkk. 2012. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology: The Utility of
Nasopharyngeal Culture in The Management of Chronic Adenoiditis. Department of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery, United States: State University of New York
Downstate Medical Center.
Nanda. 2008. Panduan Diagnosa Nanda: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Pracy R, dkk.1985.Pelajaran Ringkasan Telinga hidung Tenggorokan. Jakarta:Gramedia.
Price, Silvia.1995 Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Jakarta:EGC.
Reeves, Charlene J., Roux, Gayle, Lockhart, Robin. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Salemba
Medika (Edisi 1).
Rukmini, S. 2003. Buku Ajar Ilmu THT untuk Perawat. Edisi Pertama. Surabaya: FK Airlangga
Rusmarjono, Soepardi. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Kepala dan Leher: Kelainan Telinga Tengah. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
Rusmarjono. 2003. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Sakka I, Sedjawidada R., Kodrat L., Rahardjo SP. 2009. Kadar Imunoglobulin A Sekretori pada
Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum dan Setelah Tonsilektomi. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar – Indonesia.
Diakses: http://www.cusabio.com/wenxian/206.pdf
Shnayder, Yelizaveta., et al. 2005. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and
Neck Surgery: Management of Adenotonsillar Disease. New York University School of
Medicine - Department of Otolaryngology. NY: Mc. Graw Hill.
Soepardi, 2001, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5,
Jakarta, FK-UI
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai