Anda di halaman 1dari 6

PJBL ADENOIDITIS

1. Definisi

Adenoiditis adalah peradangan dari jaringan limfe adenoid yang disebebkan oleh berbagai
kuman terutama gram positif.

Adenoiditis akut adalah peradangan akut dari jaringan limfe adenoid yang disebebkan oleh
berbagai kuman terutama gram positif.

Adenoiditis kronik adalah peradangan kronik dari jaringan limfe adenoid yang disebebkan
oleh berbagai kuman terutama gram positif.

Adenoid hipertropi adalah pembesaran adenoid melebihi dari ukuran normal dan terutama
didapati pada anak 5-10 tahun. Hipertropi ini diakibatkan oleh pengaruh peradangan yang kronik
dari jaringan limfe adenoid itu sendiri karena tidak tertanggulanginya peradangan setempat secra
adekuat.

2. Epidemiologi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga Institutional Review Board,
Amerika, pada Januari 2008 sampai dengan Januari 2010 di Rumah Sakit Long Island Collage
pada 198 anak dengan usia rata-rata 3,7 tahun, dijumpai bahwa anak laki-laki (60,1%) lebih
banyak dari anak perempuan (39,9%) (Marzouk dkk, 2012).

Sementara itu di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode April 1997 sampai dengan
Maret 1998 didapatkan 1024 (6,75%) pasien tonsilitis kronik dari seluruh kunjungan. Tonsilitis
kronik pada anak hampir selalu terjadi bersama adenoiditis kronik, karena adenoid dan tonsil
merupakan jaringan limfoid yang saling berhubungan membentuk cincin Waldeyer. Adenoiditis
kronik cukup sering terjadi, terutama pada kelompok usia anak antara 5 sampai 10 tahun.
Pembesaran adenoid meningkat secara tepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum
pada usia 3 sampai 6 tahun, kemudian menetap sampai usia 8 sampai 9 tahun, dan setelah usia
14 tahun bertahap mengalami involusi/regresi (Anggoro, 2012).

3. Etiologi

Adenoiditis biasanya berawal dari suatu infeksi pada saluran pernapasan atas. Jenis kuman
yang sering adalah Streptococcus Beta Hemolitikus Grup A (SBHGA). Selain itu terdapat
Streptococcus Pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes.
(Kurniawati, 2010)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga Institutional Review Board,
Amerika, pada Januari 2008 sampai dengan Januari 2010, organisme lain adalah seperti S.
Pneumoniae sensitif terhadap penisilin di 40 kultur (20,2%), S. Pneumoniae menengah atau
resisten terhadap penisilin di 26 kultur (13,1%), M. Catarrhalis sensitif terhadap penisilin di 27
kultur (13,6%), H. Influenzae sensitif terhadap penisilin di 57 kultur (28,8%), dan S. Aureus
menengah atau resisten terhadap penisilin di 26 kultur (13,1%). Beberapa organisme lain
meliputi, tetapi tidak terbatas pada spesies Streptococcus lainnya, Pseudomonas, Proteus,
Serratia, dan jamur di 10 kultur (0,5%). (Marzouk, dkk, 2012.)
Selain bakteri, virus juga dapat menyebabkan infeksi yang dapat menyebabkan demam dan
eritema pada daerah orofaring yang biasanya tanpa adanya eksudat tonsilar, seperti
Adenovirus, Rhinovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV), Influenza, dan Parainfluenza.
(Shnayder, et al. 2005)

4. Faktor Risiko

Ada beberapa faktor yang membuat seseorang berisiko terkena adenoiditis, termasuk:
a. Infeksi tenggorokan, leher, atau kepala berulang
b. Infeksi amandel
c. Kontak dengan virus airborne, kuman, dan bakteri

Anak-anak sangat mudah terjangkit adenoiditis. Hal ini dikarenakan adenoids mengecil
secara progresif selama masa anak-anak. (Samiadi, 2017)

5. Klasifikasi

Ada dua jenis dari adenoiditis, yaitu :

a. Adenoiditis akut radang akut dari adenoid pada bayi dan anak dibawah 12 tahun
b. Adenoiditis kronis adalah keradangan berulang berulang yang berakibat rinitis kronis,
sinusitis kronis

6. Patofisiologi

Infeksi virus dengan infeksi sekunder bakteri merupakan salah satu mekanisme terjadinya
adenoiditis kronik. Adenoid dapat mengalami pembesaran yang disebabkan oleh karena proses
hipertrofi sel akibat respon terhadap infeksi tersebut yang berlangsung kronik. Faktor lain yang
berpengaruh adalah lingkungan, faktor inang (riwayat alergi), penggunaan antibiotika yang tidak
tepat, pertimbangan ekologis, dan diet. Infeksi dan hilangnya keutuhan epitel kripti
menyebabkan kriptitis kronik dan obstruksi kripti, lalu menimbulkan stasis debris kripti dan
persistensi antigen. Bakteri pada kripti tonsil dapat berlipat-ganda jumlahnya, menetap dan
secara bertahap menjadi infeksi kronik.

Bila fragmen bakteri masuk ke badan maka fragmen bakteri ekstraseluler akan
dipresentasikan bersama Major Histocompability Complex II (MCH II) oleh Antigen Precenting
Cell (APC). Jika ada antigen baru akan diproses leh makrofag, makrofag mengeluarkan IL-1 yang
menstimulasi limfosit T untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Sitokin
dari Th1 antara lain IL-2 dan IFN (Interferon)-γ, sedangkan sitokin Th2 antara lain IL-4, IL-6 dan IL-
13. Interferon-γ merupakan sitokin proinflamasi. Sitokin Th2 akan mengaktifkan sel B menjadi sel
plasma yang memproduksi Ig M, G, A, E. IL-4, IL-6, dan IFN- γ meningkatkan sel B untuk
mengeluarkan Ig G pada infeksi kronik. Pada tonsillitis kronik selain Ig G, juga didapati sitokin-
sitokin inflamasi seperti IL-1 dan IL-6 yang meningkat. Sitokin-sitokin ini merupakan mediator-
mediator inflamasi yang berperan pada adenoiditis kronik.
Tonsilitis kronis dapat juga terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit
pasien menjadi kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika
yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi
medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan
jaringan tonsil. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman
berubah menjadi kuman gram negatif.
7. Manifestasi Klinis

Gejala adenoiditis adalah sakit tenggorokan, hidung berair, pembengkakan kelenjar di leher,
nyeri di kuping dan masalah salurah pernapasan seperti bernapas lewat mulut, bicara lewat
saluran pernapasan, mendengkur, atau masalah pernapasan sementara saat tidur. (Samiadi,
2017)

8. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan rinoskopi posterior, palpasi dan X foto adenoid
terutama pada kecurigaan adanya pembesaran. Pada anak, pemeriksaan rinoskopi posterior
sulit dilakukan, demikian juga palpasi. Yang perlu diperhatikan pada adenoiditis kronik perlu
disingkirkan kemungkinan adanya penyakit atau kelainan di hidung, telinga atau sinus
paranasal, mengingat pada adenoiditis kronik juga memberikan discarj terus-menerus atau
berulang. Untuk ini diperlukan rinoskopi anterior. Apabila pada rinoskopi anterior ternyata
ditemukan bahwa mukosa hidung normal tidak ditemukan adanya hipertrofi konka, serta
kelainan lain di hidung maka kemungkinan besar discarj tersebut semata-mata akibat
adenoiditis kronik (Anggoro, 2012).
Pada pemeriksaan fisik, kebanyakan pasien pada pemeriksaan rhinoskopi anterior masih
dalam batas normal dengan sekresi ditemukan di nasofaring (Marzouk dkk, 2012).
X foto adenoid merupakan satu-satunya cara praktis untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran adenoid pada anak. Yang perlu diperhatikan pada adenoiditis kronik perlu
disingkirkan kemungkinan adanya penyakit atau kelainan di hidung atau sinus paranasal
(Anggoro, 2012). Nasopharyngoscopy dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara
langsung.. CT scan merupakan modilitas yang lebih sensitive daripada foto polos untuk
identifikasi patologi jaringan lunak.

9. Penatalaksaan

Ada dua penatalaksanaan dari adenoiditis yaitu pada adenoiditis akut dan adenoitis kronik :

a. Adenoiditis akut : dengan memberikan antibiotik yang tepat dan adekuat disamping
pemberian obat-obat yang bersifat simtomatik . sering denoiditis sering terjadi dn keluhan
hidung sudah mengganggu adenoidektomi dapat dipertimbangkan
b. Adenoiditis kronik : disamping pemberian antibiotik yang memadai dapat dilakukan tindakan
adenoidektomi

10. Pencegahan

Tak ada cara khusus untuk mencegah infeksi tonsil (amandel). Secara umum disebutkan
bahwa pencegahan ditujukan untuk mencegah tertularnya infeksi rongga mulut dan
tenggorokan yang dapat memicu terjadinya infeksi tonsil. Namun setidaknya upaya yang dapat
dilakukan adalah:
a. Mencuci tangan sesering mungkin untuk mencegah penyebaran mikro-organisme yang
dapat menimbulkan tonsilitis.
b. Menghindari kontak dengan penderita infeksi tanggorokan, setidaknya hingga 24 jam
setelah penderita infeksi tenggorokan (yang disebabkan kuman) mendapatkan antibiotika.
11. Komplikasi

Komplikasi dari adenoiditis kronik yang biasa ditimbulkan adalah sebagai berikut:

a. Obstruksi nares posterior dapat menyebabkan tekanan nasofaring abnormal selama


menelan (fenomena Toynbee), yang juga menghambat pembukaan tuba atau insuflasi
sekresi nasofaringeal ke dalam telinga tengah. (Anggoro, 2012)
b. Infeksi kronis adenoid bisa juga memiliki ukuran adenoid yang normal atau atrofi, tetapi bisa
menyebabkan infeksi kelenjar limfe perituba (limfadenitis perituba)
c. Otitis media akut berulang
d. Sinusitis kronik
e. Otitis Media Non Supuratif (Otitis Media Serosa, Otitis Media Efusi)
Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret yang nonpurulen di telinga tengah,
sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan di telinga tengah dengan membran timpani
utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut juga otitis media dengan efusi. Pada adenoiditis kronik
biasanya terjadi otitis media serosa kronik. Hal ini disebabkan oleh cairan yang ada di telinga
tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat dalam kelenjar telinga
tengah dan tuba Eustachius. Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental seperti lem,
maka disebut dengan glue ear. Pada otoskopi terlihat membran timpani utuh, retraksi, suram,
kuning kemerahan atau keabu-abuan. Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengeluarkan sekret dengan miringotomi dan pemasangan pipa ventilasi (Grommet). (Soepardi
Rusmarjono, 2010). Perawatan medis diarahkan terutama terhadap pemberantasan infeksi
bakteri dengan penggunaan terapi antibiotik yang tepat dan mengatasi fokal infeksi
(adenoidektomi). (Ferlito, et al, 2011)
Daftar Referensi

Abouzied, A., Massoud E., 2010. Sex Differences in Tonsillitis. Dalhausie Medical Journal. 35(1).
p:8-10.
Anggoro, Dimas. 2012. Jurnal: Adenotonsilitik Kronik dan Tuba Eustachius. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Anggoro, Dimas. 2012. Jurnal:Adenotonsilitik Kronik dan Tuba Eustachius. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Dr.Rizal Basjrah. 1986.FARINGOLOGI.Penerbit Alumni.Bandung
Eunice, M., 2014. Efficacy of the Homoeopathic Complex Tonzolyt® on the Symptoms of Acute
Tonsillitis in Black Children Attending a Primary School in Gauteng, University Johannesburg.
Ferlito, Salvatore, et Al. 2011. Adenoiditis and Otitis Media with Effusion: Recent Physio-
Pathological andTerapeutic Acquisition. Università Degli Studi di Catania - Dipartimento Di
Specialità Medico-Chirurgiche - Clinica Otorinolaringoiatrica.
Flores, Jorge. 2017. Peritonsillar Abscess in Emergency Medicine. Resident Physician, Department
of Emergency Medicine, Kings County Hospital Center, SUNY Downstate Medical Center
Herawati, S,. dan Sri Rukmini. 2003. Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. EGC: Jakarta
Kurniawati. 2010. Tonsilitis dan Adenoiditis Kronik, Efek terhadap Gangguan Fungsi Belajar.
Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.
Marzouk, Haidy., dkk. 2012. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology: The Utility of
Nasopharyngeal Culture in The Management of Chronic Adenoiditis. Department of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery, Brooklyn, NY 11203, United States: State
University of New York Downstate Medical Center.
Nanda. 2008. Panduan Diagnosa Nanda: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Reeves, Charlene J., Roux, Gayle, Lockhart, Robin. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Salemba
Medika (Edisi 1).
Rusmarjono, Soepardi. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Kepala dan Leher: Kelainan Telinga Tengah. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
Samiadi, L,A,. 2017. Apa Itu Adenoiditis?. Hellosehat: dr. Tania Savitri
Shnayder, Yelizaveta., et al. 2005. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and
Neck Surgery: Management of Adenotonsillar Disease. New York University School of
Medicine - Department of Otolaryngology. NY: Mc. Graw Hill.
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai