Anda di halaman 1dari 37

MODUL 2 (SKENARIO 1)

PRODUKSI KENCING MENURUN


BLOK URONEFROLOGI

Tutor : dr.Nesyana Nurmadillah,M.Gizi

Disusun oleh :

Yenni Maulani Jufri 110 2016 0008


Riyska amalia 110 2016 0027
Dwi Deno Zubiranto 110 2016 0038
Anastasia Nugraha P. 110 2016 0056
Armyn Dwi Putra 110 2016 0069
Noor Qadriyanti R. 110 2016 0090
Gita Ananda Pratiwi 110 2016 0117
Siti Aerisia Dewi F. Lestari 110 2016 0130
Syapitri Syamsul 110 2016 0162
Nur Ashianty Hadijah 110 2016 0165

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
A. SKENARIO
Skenario 1
Seorang pria 50 tahun datang dengan keluhan jumlah kencing berkurang sejak
2 bulan terakhir.keluhan di sertai sesak bila berjalan agak jauh,mual tapi jarang
muntah.pasien juga merasa lemas dan sakit tulang-tulangnya.pada pemeriksaan fisik
didapatkan TD 180/100 mmHg, frekuensi nafas 24 kali per menit, pernafasan
kussmaul dan konjungtiva tampak anemis.
B. KATA KUNCI
1. Seorang pria berusia 50 tahun
2. Keluhan jumlah kencing berkurang sejak 2 bulan terakhir di sertai sesak bila
berjalan jauh,mual tapi jarang muntah
3. Pasien merasa lemas dan sakit tulang-tulangnya
4. Pemeriksaan fisik di dapatkan TD 180/100 mmHg, frekuensi nafas 24 kali per
menit,pernafasan kusmaul dan konjungtiva anemis
C. PERTANYAAN
1. Jelaskan Etiologi dan patomekanisme oligouri?
2. Jelaskan penyakit-penyakit dengan gejala penurunan urin?
3. Jelaskan hubungan yang di derita pasien keluhan utama dengan keluhan
penyerta?
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis berdasarkan scenario?
5. Diagnosis banding dari scenario?
6. Jelaskan Pencegahan yang harus dilakukan berdasarkan dari scenario?
7. Persfektif islam berdasarkan scenario?
D. JAWABAN
1. Jelaskan Etiologi dan patomekanisme oligouri?

Etiologi serta penyakit yang menyebabkan produksi urin menurun


 Pre-renal
1. Hipovolemia, yaitu penurunan volume efektif intravaskular, seperti pada
sepsis dan gagal jantung.
2. Gangguan hemodinamik intrarenal seperti pada penggunaan anti inflamasi non
steroid, obat yang menghambat angiotensin.
 Renal
1. Kelainan vaskuler seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis
akut, nefritis interstisial akut.
2. Kelainan tubuler seperti pada nekrosis tubular akut yang biasanya disebabkan
oleh berbagai sebab, seperti penyakit tropik, trauma, toksin lingkungan dan zat-zat
nefrositik.
 Post-renal
1. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oxalat, sulfonamid) dan
protein (mioglobin, hemoglobin).
2. Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor,
batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal,
fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan
urethra (striktura).

Oliguria dapat terjadi melalui 3 jenis proses patofisiologis: mekanisme yang terjadi pre-renal,
intra-renal dan pasca-renal.

 Pre-renal
 Oliguria yang terjadi di pre-renal adalah respon fungsional dari ginjal
normal terhadap hipoperfusi. Penurunan volume darah memicu respon
sistemik yang bertujuan untuk menormalisasi volume cairan dalam
pembuluh darah dengan cara mengurangi Laju Filtrasi Glomerulus (LFG).
Aktivasi system saraf simpatis dan system renin-angiotensin menghasilkan
vasokonstriksi pembuluh darah di ginjal dan menghasilkan penurunan
LFG.
 Tahap awal dari oliguria pre-renal merupakan kompensasi dari perfusi ke
ginjal yang berkurang. Dalam tahap ini yang terjadi adalah auto-regulasi
dari ginjal yang mempertahankan LFG melalui dilatasi arteriolar afferent
(melalui respon myogenic, feedback tubuloglomerular) dan konstriksi
arteriolar efferent (melalui Angiotensin II).
 Pada tahap awal ini juga termasuk peningkatan reabsorpsi garam dan air di
tubulus (distimulasi oleh system RAA dan system saraf simpatis).
Biasanya oliguria pre-renal ini bersifat reversible apabila perfusi ke ginjal
segera diperbaiki. Namun, hipoperfusi ginjal yang berkelanjutan bisa
menghasilkan peralihan dari mekanisme kompensasi ke dekompensasi.
 Di fase dekompensasi ini terjadi stimulasi berlebihan dari system saraf
simpatis dan system RAA, yang menghasilkan vasokonstriksi pembuluh
darah di ginnjal dan bisa menyebabkan iskemik pada jaringan ginjal.
Konsumsi obat-obatan ayng bersiffat vasokonstriktor dan inhibitor
prostaglandin dapat menyebabkan oliguria karena penurunan perfusi
ginjal.
 Intra-renal
 Oliguria yang disebabkan di inra-renal lebih berhubungan dengan adanya
kerusakan struktur ginjal. Yang termasuk kerusakan struktur misalnya
penyakit glomerulus primer, acute tubular necrosis (akibat iskemik
berkepanjangan, obat-obat dan toksin) atau lesi pembuluh darah.
 Patofisiologi dari iskemik karena penyakit acute tubular necrosis. Iskemik
yang terjadi pada sel tubulus mempengaruhi metabolism sel dan sel-sel
tubulus mati yang mengakibatkan deskuamasi sel, pembentukan cast,
obstruksi intratubular, aliran balik cairan tubular, dan oliguria. Oliguria
bersifat reversible dan berhubungan dengan perbaikan sel epitel tubulus.
 Pasca-renal
 Oliguria yang disebabkan oleh gangguan pasca-renal merupakan
konsekuensi dari obstruksi mekanik atau fungsional terhadap aliran urin.
Obstruksi bisa terjadi di bagian atas saluran kemih (pelvis, ureter) ataupun
bagian bawah (vesika urinaria sampai keluar tubuh). Bentuk oliguria dari
masalah ini biasanya diperbaiki dengan menghilangkan obstruksi.

Referensi:

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Hal. 2172-2174 Jakarta: Interna Publishing;
2014.

2.Cerda, J. 2011. Oliguria: an earlier and ccurate biomarker of acute kidney


injury. Kidney Int.
2. Jelaskan penyakit – penyakit dengan gejala penurunan urin?
Gagal Ginjal Akut
Yaitu suatu sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan mendadak fungsi
fisiologis ginjal dlam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum lebih dari
sama dengan 0,3mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum lebih dari sama dengan
50% atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat kurang dari sama dengan
0,5ml/kg/jam dalam waktu >6 jam)
Etiologi:
- Berkurangnya aliran darah ke ginjal
- Penyumbatan aliran kemih
- Trauma pada ginjal, nefrotoksik, batu ginjal
Gejala:

- Berkurangnya produksi air kemih


- Nokturia
- Pembengkakan kaki, tungkai atau pergelangan kaki
- Pembengkakan yang menyeluruh (karena ada penimbunan cairan)
- Baal terutama di tangan atau kaki
- Tumor
- Mual, muntah
a. Gagal Ginjal Kronik
Yaitu suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible.
Gejala:
- Kelainan saluran cerna: nafsu makan menurun, mual, untah dan fetor uremik
- Kelainan kulit: gatakl di kulit
- Kelainan neuromuscular: lemah tungkai, parastesi, kram otot
- Kelainan kardiovaskular: hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
- Oliguria, nokturia
b. Glumeruloneftiris akut
Yaitu suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu yang
sering terjadi akibat infeksi Strreptococcus. Glumerulonefritis adalah sindrom yang
ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang
mungkin endogenus atau eksogenus.
Gejala:
- Hematuria
- Proteinuria
- Oliguria
- Edema
- Azotemia, gejala umum: lelah, anoreksia, kadang demam, mual, muntah
c. Pielonefiris akut
Yaitu reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada pielum dan parenkim ginjal.
Pada umumnya kuman yang menyebabkan infeksi berasal dari saluran kemih bagian
bawah yang naik ke ginjal melalui ureter. Kuman itu adalah Escherichia coli, Proteus,
Klebsiella sp, Staphylococcus ausreus dapat menyebabkan pielonefritis melalui
penularan secara hematogen.
Gambarang klinis: deman tinggi, nyeri di daerah perut dan pinggang, mual dan
muntah.
d. Infeksi Saluran Kemih
ISK dapat menyerang pasien dari segala usia. Pada umumnya, perempuan lebih sering
mengalami ISK karena uretra perempuan lebih pendek daripada laki-laki.
e. Batu Uremia
Adalah batu didalam saluran kemih berupa massa keras yang terbentuk di sepanjang
saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih
atau infeksi. Batu ini dapat terbentuk didalam ginjal (nefrolitiasis), ureter
(ureterolitiasis), kandung kemih (vesikolitiasis) dan uretra (uretrolitiasis).
Manfiestasi Klinis
Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada: posisi atau letak batu dan
besar batu. Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang.
Nyeri mungkin bisa berupa nyeri kolik maupun bukan kolik. Nyeri kolik terjadi
karena aktivitas peristaltic otot polos system kalises ataupun ureter meningkat dalam
usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan itu menyebabkan
tekanan intralumennya meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf
yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsuk
ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.
Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri pad
asaat buang air kecil.
Referensi:
Purnomo, B. Basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi edisi Ke-3. Jakarta: Sagung Seto
3. Jelaskan hubungan yang di derita pasien keluhan utama dengan keluhan
penyerta?
Pada dasarnya semua penyakit yang mengakibatkan hilangnya jumlah nefron
secara progresif dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik. Sebagai kompensasi
dari penurunan jumlah nefron maka ginjal akan melakukan suatu mekanisme
untuk mempertahankan LFG yaitu dengan cara meningkatkan daya filtrasi dan
reabsorbsi zat terlarut dari nefron yang tersisa. Pada mekanisme kompensasi
tersebut maka akan terjadi hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang tersisa
atau dikenal dengan istilah survivingnephrons yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growthfactors. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi yang akan diikuti dengan peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Namun proses adaptasi ini hanya akan berlangsung singkat
karena selanjutnya akan terjadi proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
tersisa dan akan berakhir dengan penurunan progresif fungsi nefron walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif.
Selain itu adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, yang sebagian diperantarai oleh transforminggrowthfactor β (TGF-β),
juga dapat menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas
tersebut. Beberapa hal lain yang juga dianggap berperan dalam progresifitas
penyakit ginjal kronik diantaranya adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dan dislipidemia. Hal yang diduga ikut andil dalam progresifitas penyakit ginjal
kronik menjadi gagal ginjal diantaranya adalah peningkatan tekanan glomerulus
(akibat dari peningkatan tekanan darah sistemik maupun vasokonstriksi arteriol
eferen akibat dari peningkatan kadar angiotensin II) dan kebocoran protein
glomerulus. Berbagai komplikasi penyakit ginjal kronik tersebut dapat disebabkan
baik oleh karena akumulasi berbagai zat yang tidak dapat diekskresi secara
sempurna oleh ginjal maupun produksi yang tidak adekuat dari produk ginjal yaitu
eritropoietin dan vitamin D.

 Hubungan Mual dan muntah dengan terjadinya oligouri


Mual merupakan suatu kondisi rasa tidak nyaman pada perut yang merupakan
suatu respon tubuh untuk membuang materi yang mungkin berbahaya dari dalam
tubuh dengan cara refleks muntah. Pada kondisi mual dapat disebabkan oleh
iritasi, infeksi pada saluran pencernaan, gangguan lambung, efek samping obat-
obatan, infeksi ginjal dan lain-lain. Pada kondisi ginjal yang terganggu, sistem
ekskresi/sistem pengeluaran menjadi tidak maksimal sehingga zat sisa
metabolisme yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, racun, dan lainnya dapat
menumpuk didalam tubuh dan dapat menimbulkan tubuh bereaksi dengan dengan
menimbulkan gejala mual dan dapat pula disertai dengan keluhan muntah hal ini
pula yang dapat menyebabkan penderita juga merasa lemah.
Gangguan pada ginjal menyebabkan produksi urin menurun atau oliguri. Oliguri
yg berarti kencing tidak lancar, lalu zat-zat yg harusnya dibuang karena ginjal
mengalami gangguan tidak terbuang, seperti ureum kreatinin dan asam urat, jika
tidak terbuang berarti terjadi azotemia, dan itu zat yg harus dibuang tidak bisa
hanya ada pada satu tempat saja, zat ini terus mengalir mengikuti aliran darah,
karena ureum bersifat toksik, pada saat dia mengalir ke aliran darah dapat
merusak atau mengiritasi gastro intestinal, muntah adalah cara traktus
gastrointestinal membersihkan diri sendiri ketika teriritasi secara luas. Iritasi
duodenum sangat kuat untuk merangsang terjadinya muntah.
 Hubungan lemas, konjungtiva anemis, dan sakit pada tulang dengan
terjadinya oligouri
Ginjal memiliki salah satu fungsi yaitu menyeimbangkan kadar kalsium dan fosfor
dalam darah dan memastikan vitamin D yang diterima berubah menjadi aktif.
Ketika terjadi gangguan pada ginjal, kadar kalsium dalam darah menjadi terlalu
rendah sehingga kelenjar paratiroid melepaskan hormon paratiroid (PTH).
Hormon ini menarik kalsium dari tulang untuk meningkatkan kadar kalsium
darah. Terlalu banyak PTH dalam darah akan menurunkan terlalu banyak kalsium
dari tulang, penghapusan konstan kalsium akan melemahkan tulang dan akan
menyebabkan nyeri.
Terjadinya penurunan kalsium dalam darah menyebabkan kelainan pembentukan
eritripoetin sehingga produksi sel darah merah terhambat hingga membuat pasien
anemia, maka dari itu pasien merasa lemas dan konjungtiva anemis,
 Hubungan sesak, pernafasan meningkat dan kussmaul serta
hipertensi dengan oligouri
Terjadinya gagal ginjal menghambat proses ginjal dalam mempertahankan
keseimbangan asam basa dalam tubuh. Pada pernafasan kussmaul adalah
kompensasi pernapasan pada asidosis metabolic dalam tubuh. Pernapasan
kussmaul memperlihatkan tekanan parsial karbondioksida yang menurun karena
adanya tekanan yang meningkat pada pernapasan. Pernapasan ini membuang
banyak karbon dioksida, pasien akan merasa ingin cepat untuk menarik napas
secara mendalam,

Sedangkan pada sesak yang diderita pasien terjadi akibat ketidakmampuan ginjal
untuk mencuci darah dan cairan tubuh yang yang harus dikeluarkan melalui ginjal
akan menumpuk pada tubuh. Kondisi ini akan menyebabkan paru-paru banjir
akibat penumpukan cairan tersebut sehingga pasien merasa sesak. Selain itu, tidak
dibuangnya kreatinin dalam darah menyebabkan gangguan kemampuan darah
dalam menghantarkan oksigen dengan baik sehingga tubuh akan
mengkompensasi dengan cara bernafas dengan cepat seperti halnya orang sesak.

Karena ketidakseimbangan oksigen dan karbondioksida dalam tubuh seperti


dijelaskan pada hal diatas, kompensasi jantung juga mengikuti untuk menetralkan
karbondioksida dan oksigen dalam tubuh, terjadinya hipertensi disebabkan karena
kerja jantung yang cepat untuk menetralkan hal tersebut maka dari itu tekanan
darah pada pasien meningkat.

Referensi :

Silbernagil, Stefan. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Dalam : Lang F,


editors. Jakarta : EGC : 2012

4.Jelaskan langkah – langkah diagnosis berdasarkan scenario?

Anamnesis

Kemampuan seorang dokter dalam melakukan wawancara dengan pasien ataupun


keluarganya diperoleh melalui anamnesis yang sistematik dan terarah. Hal ini sangat penting
untuk mendapatkan diagnosis suatu penyakit. Anamnesis yang sistematik itu mencakup;

a. Identitas pasien :
 Nama : Tn. X
 Umur : 50 tahun
 Jenis kelamin : laki-laki
 Pekerjaan : -
 Alamat : -
 Status perkawinan : -
b. Keluhan Utama : jumlah kencin berkurang sejak 2 bulan terakhir.
c. Keluhan penyerta : sesak bila berjalan agak jauh, mual tapi jarang muntah, lemas, dan
sakit tulang-tulangnya.
d. Riwayat penyakit : -
e. Riwayat keluarga: -
f. Riwayat lingkungan: -
g. Riwayat Pengobatan sebelumnya: -

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis pasien meliputi pemeriksaan tentang keadaan umum pasien dan
pemeriksaan urologi. Sering kali kelainan-kelainan di bidang urologi memberikan manifestasi
penyakit umum (sistemik), atau tidak jarang pasien-pasien urologi kebetulan menderita
penyakit lain.

1. Kesan Umum Pasien


a. Keadaan umum: baik atau sakit
b. Berat badan: obesitas, kurus atau normal
c. Tanda-tanda vital :
 Nadi : -
 Tekanan darah : 180/100 mmHg
 Suhu : -
 Pernapasan : 24x/menit, pernapasaan kussmaul
2. Pemeriksaan Urologi
a. Pemeriksaan Ginjal:
Adanya pembesaran pada daerah pinggang atau abdomen sebelah atas harus
diperhatikan pada saat melakukan inspeksi. Pembesaran mungkin disebabkan oleh
hidronefrosis atau tumor pada daerah retroperitoneum. Pembesaran ginjal karena
hidronefrosis atau tumor ginjal, mungkin teraba pada palpasi dan terasa nyeri pada
perkusi.
b. Pemeriksaan Buli-Buli:
Pada pemeriksaan buli-buli diperhatikan adanya benjolan/massa atau jaringan parut
bekas irisan/operasi di suprasimfisis. Massa di daerah suprasimfisis mungkin
merupakan tumor ganas buli-buli atau karena buli-buli yang terisi penuh dari suatu
retensi urine. Dengan palpasi dan perkusi dapat ditentukan batas atas buli-buli.
c. Pemeriksaan Genitalia Eksterna:
Pada inspeksi genitalia eksterna diperhatikan kemungkinan adanya kelainan pada
penis/uretra antara lain: mikropenis, makropenis, hipospadia, kordae, epispadia,
stenosis pada meatus uretra eksterna, fimosis/parafimosis, fistel uretro-kutan, dan
ulkus/tumor penis. Striktura uretra anterior yang berat menyebabkan fibrosis korpus
spongiosum yang teraba pada palpasi di sebelah ventral penis, berupa jaringan keras
yang dikenal dengan spongiofibrosis. Jaringan keras yang teraba pada korpus
kavernosum penis mungkin suatu penyakit Peyrone.

d. Pemeriksaan Skrotum dan Isinya:


Perhatikan apakah ada pembesaran pada skrotum, perasaan nyeri pada saat diraba,
atau ada hipoplasi kulit skrotum. Untuk membedakan antara massa padat dan massa
kistus yang terdapat pada isi skrotum, dilakukan pemeriksaan transiluminasi
(penerawangan) pada isi skrotum. Pemeriksaan penerawangan dilakukan pada
tempat yang gelap dan menyinari skrotum dengan cahaya terang. Jika isi skrotum
tampak menerawang berarti berisi cairan kistus dan dikatakan sebagai transiluminasi
positif atau diafanoskopi positif.

e. Colok Dubur (Rectal Toucher):


Pada pemeriksaan colok dubur dinilai: (1) tonus sfingter ani dan refleksbulbo-
kavernosus (BCR), (2) mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rektum,
dan (3) menilai keadaan prostat. Penilaian refleks bulbo-kavernosus dilakukan
dengan cara merasakan adanya refleks jepitan pada sfingter ani pada jari akibat
rangsangan sakit yang kita berikan pada glans penis atau klitoris.

f. Pemeriksaan Neurologi:
Pemeriksaan neurologi ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya kelainan
neurologik yang mengakibatkan kelainan pada sistem urogenitalia, seperti pada lesi
motor neuron atau lesi saraf perifer yang merupakan penyebab dari buli-buli
neurogen.

Pemeriksaan Laboratorium

1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang paling sering dikerjakan pada kasus-
kasus urologi. Pemeriksaan ini meliputi uji:

 Makroskopik dengan menilai warna, bau, dan berat jenis urine 



 Kimiawi meliputi pemeriksaan derajat keasaman/pH, protein, dan gula
dalam
urine.
 Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast (silinder), atau
bentukan
lain di dalam urine.
Urine mempunyai pH yang bersifat asam, yaitu rata-rata: 5,5 - 6,5. Jika didapatkan pH
yang relatif basa kemungkinan terdapat infeksi oleh bakteri pemecah urea, sedangkan
jika pH yang terlalu asam kemungkinan terdapat asidosis pada tubulus ginjal atau ada
batu asam urat.

Didapatkannya eritrosit di dalam darah secara bermakna (> 2 per lapangan pandang
besar) menunjukkan adanya cedera pada sistem saluran kemih; dan didapatkannya
leukosituri bermakna (> 5 per lapangan pandang besar) atau piuria merupakan tanda dari
inflamasi saluran kemih.

2. Pemeriksaandarah
Pemeriksaan darah rutin terdiri atas pemeriksaan kadar hemoglobin, leukosit, laju endap
darah, hitung jenis leukosit, dan hitung trombosit.

3. Kultur Urine
Pemeriksaan kultur urine diperiksa jika ada dugaan infeksi saluran kemih. Jika didapatkan
kuman di dalam urine, dibiakkan di dalam medium tertentu untuk mencari jenis kuman
dan sekaligus sensitivitas kuman terhadap antibiotika yang diujikan.

4. Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan ini dapat ditentukan suatu jaringan normal, mengalami proses
inflamasi, pertumbuhan benigna, atau terjadi pertumbuhan maligna. Selain itu
pemeriksaan ini dapat menentukan stadium patologik serta derajat diferensiasi suatu
keganasan.

Pemeriksaan Radiologi (Pencitraan)

a. Foto polos abdomen

Foto polos abdomen atauKUB (Kidney Ureter Bladder) adalah foto skrining untuk
pemeriksaan kelainan-kelainan urologi. Selain itu perlu diperhatikan adanya bayangan
radio-opak yang lain, misalnya bayangan jarum-jarum (susuk) yang terdapat disekitar
paravertebra yang sengaja dipasang untuk mengurangi rasa sakit pada pinggang atau
punggung, atau bayangan klip yang dipasang pada saat operasi untuk menjepit pembuluh
darah.

b. USG (Ultrasonografi)
Pemeriksaan pada ginjal dipergunakan: (1) untuk mendeteksi keberadaan dan keadaan
ginjal (hidronefosis, kista, massa, atau pengkerutan ginjal). Pada buli-buli, USG berguna
untuk menghitung sisa urine pasca miksi dan mendeteksi adanya batu atau tumor di buli-
buli. Pada kelenjar prostat, melalui pendekatan transrektal (TRUS) dipakai untuk mencari
nodul pada keganasan prostat dan menentukan volume/besarnya prostat. Jika didapatkan
adanya dugaan keganasan prostat, TRUS dapat dipakai sebagai penuntun dalam
melakukan biopsi kelenjar prostat. Pada testis, berguna untuk membedakan antara tumor
testis dan hidrokel testis, serta kadang-kadang dapat mendeteksi letak testis kriptor kid
yang sulit diraba dengan palpasi. Pada keganasan, selain untuk mengetahui adanya massa
padat pada organ primer, juga untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastasis pada
hepar atau kelenjar para aorta.

c. CT Scan dan MRI (Computerized Tomography Scan dan Magnetic Resonance


Imaging)
Kedua pemeriksaan ini banyak dipakai dalam bidang onkologi untuk menentukan
penderajatan (staging) tumor yaitu: batas-batas tumor, invasike organ di sekitar tumor,
dan mencari adanya metastasis ke kelenjar limfe serta ke organ lain.

Referensi:

1. Purnomo, Basuki B. 2007, Dasar-Dasar Urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto.


Halaman 15-41
2. Irawanto Eko. 2017. Buku Manual Keterampilan Klinik Topik Keterampilan
Pemeriksaan Kulit. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Halaman 15 -37

5.Diagnosis banding dari scenario?

ACUTE KIDNEY INJURY

Definisi :
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit.
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjal yang
terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas dasar adanya
kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN) dan urine output yang
menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan BUN dan serum
kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke
deplesi volume ekstraseluler atau penurunan aliran darah ginjal. Cedera ginjal akut
didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut terpenuhi :
 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu 48 jam atau
 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui atau
dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

Kategori Peningkatan SCr Peningkatan LFG Kriteria UO

<0,5 mL/kg/jam,
Risk >1,5 kali nilai dasar > 25% nilai dasar
>6 jam

<0,5 mL/kg/jam,
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar
>12 jam

>3,0 kali nilai dasar


<0,5 mL/kg/jam,
atau >4 mg/dL
Failure >75% nilai dasar >24 jam atau
dengan kenaikan
Anuria ≥12 jam
akut > 0,5 mg/dL

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu

End Stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Epidemiologi :
AKI menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-7% acute care admission patient dan
mencapai 30% pada pasien yang di admisi di unit perawatan intensif (ICU). AKI juga
menjadi komplikasi medis di Negara berkembang, terutama pasien dengan latar belakang
adanya penyakit diare, penyakit infeksi seperti malaria, leptospirosis, dan bencana alam
seperti gempa bumi. Insidennya meningkat hingga 4 kali lipat di United State sejak 1988 dan
diperkirakan terdapat 500 per 100.000 populasi pertahun. Insiden ini bahkan lebih tinggi dari
insiden stroke’

Faktor Resiko :
Paparan Susceptibilitas
Sepsis Dehidrasi dan deplesi cairan
Penyakit kritis Usia lanjut
Syok sirkulasi Perempuan
Luka bakar Black race
Trauma CKD
Operasi jantung Penyakit kronik (jantung,paru,liver)
Operasi major non cardiac Diabetes mellitus
Obat nefrotoksik Kanker
Agen radiokontras Anemia

Etiologi :
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan
obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat
tergantung dari
tempat terjadinya AKI
Patofisiologi :
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relative konstan
yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan
dalam autoregulasi ini adalah:
 Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
 Timbal balik tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi
autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada
keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi
baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim
rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang
merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta
perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferent yang
dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi
arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II dan ET-1.
Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :
1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)
2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)
3. Obstruksi renal akut (post renal)
 Bladder outlet obstruction (post renal)
 Batu, trombus atau tumor di ureter
Diagnosis :

Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan pre-renal,


renal dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut diperiksa:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyebabnya seperti
misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi
tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu.
2. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan ukuran ginjal
yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.
3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu
kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat selalu
diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya
kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA berat dengan berkurangnya
fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan
edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi
asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic dengan
kompensasi pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi
oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya

Assessment pasien dengan AKI


a. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang
kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara
tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh,
dan ekskresi oleh ginjal
b. Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicatoryang spesifik
untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia
darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA
prerenal biasanya hampir selalu disertai oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang
tidak dijumpai oliguria. GGA renal dan post-renal dapat ditandai baik oleh anuria
maupun poliuria.
c. Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis GGA adalah mampu
mendeteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik
pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis
GGA. Petanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang
rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-B-glucosamidase, alanine
aminopeptidase, kidney injury molecule 1. Dalam satu penelitian pada anak-anak
pasca bedah jantung terbuka gelatinaseassociated lipocain (NGAL) terbukti dapat
dideteksi 2 jam setelah pembedahan, 34 jam lebih awal dari kenaikan kadar
kreatinin.

Pemeriksaan Penunjang :
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prerenal,
sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI
postrenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan
piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal
akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara
lain pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus
yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau
nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast
pada nefritis interstitial. Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea
plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat
mengarahkan pada
penentuan tipe AKI. Kelainan analisis urin dapat dilihat pada tabel:
Penatalaksanaan :
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama
hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada
terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau nefrotoksisitas.
Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan penyebab
atau toksin, menghindari gejala tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi.
Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang
mendasari.
AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat hipovolemia
harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat akibat
perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya
pengganti yang sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya,
luka bakar, pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam
komposisi namun biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya
direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat
meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun salin isotonik
mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada
pengukuran volume dan isotonik cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-
basa harus dimonitor dengan hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen yang
agresif dengan inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan
alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif
mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada pasien yang penilaian
klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.
AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau vaskulitis
dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan atau plasmapheresis, tergantung pada
patologi primer. Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial
nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam
membatasi cedera. Ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan
penyakit pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif
terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE.

AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara nephrologist, urologi,
dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandungkemih biasanya dikelola awalnya
oleh penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter kandung kemih, yang
memberikan bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati
secara definitif. Demikian pula, obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi
perkutan dari pelvis ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi
perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter
(misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat selama beberapa
hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5% dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting
sementara yang mungkin memerlukan pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan
darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap
apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I),
upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah
pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI
adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi
pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan
dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti,
sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secaraketat dengan pedoman volume
urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum.
Terapi Nutrisi

Komplikasi :
Terkait AKI tergantung dari keberatan AKI dan kondisi terkait AKI yang
ringan dan sedang mungkin secara keseluruhan asimtomatik khususnya saat awal.
Pada tabel berikut dijelaskan komplikasi yang sering terjadi dan penangannya untuk
AKI.
Prognosis:
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu
diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang menyertai,
perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa. Penyebab
kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%),
jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi,
septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan.

Pencegahan :
Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status hemodinamik seorang
pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan zat nefrotoksik
maupun obat yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan
fungsi ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif mencegah
terjadinya AKI.
Referensi:
Sujana, I.B.G., Acute Kidney Injury. 2017. Bagian ilmu anestesi dan terapi intensif rsup
sanglah fakultas kedokteran universitas udayana.
Chronic Kidney Disease

Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengatasi penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada akhirnya berakhir dengan gagal
ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada beberapa derajat yang memerlukan terapi ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua . organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik. Kriteria penyakit ginjal kronik

Table 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dua hal, atas dasar derajat (tahap) penyakit dan atas
dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang
dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Epidemiologi

Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar

0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negara-negara lain, juga hasil

penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi

PGK sebesar 12,5%.

Etiologi

Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi, yaitu sekitar
dua pertiga dari seluruh kasus. Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
diantaranya adalah penyakit peradangan seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik,
malformasi saat perkembangan janin dalam rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu ginjal,
tumor atau pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang berulang.
Tabel 3. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat

Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa lalu hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
(bertahan nefron) sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan faktor pertumbuhan. Hal ini dapat dilepaskan dengan hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus . Adanya peningkatan aktivitas
seperti renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap
peningkatan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang dari
renin-angiotansin-aldosteran, sebagian diperantarai oleh faktor pertumbuhan seperti
mentransformasikan faktor pertumbuhan B (TGF-). Beberapa hal yang juga dipertanyakan
dibandingkan dengan progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Ada variabilitas antarindividu untuk mendapatkan sklerosis dan
fibroisis glomerulus serta tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit ginjal terjadi
cadangan daya ginjal, pada saat mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Akan
tetapi, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih
belum mengalami keluhan (asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi pada pasien seperti, nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di
bawah 30%, pasien yang mengalami perubahan dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia,
peningkatan tekanan darah, komplikasi keselamatan fostor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah mengalami infeksi seperti infeksi saluran
kemih infeksi saluran napas, juga infeksi saluran cerna juga akan terjadi gangguan
keseimbangan seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara
natrium dan kalium lain. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien harus meminta terapi ginjal antara terapi dialisis atau tansplantasi
ginjal Pada saat ini pasien diminta sampai pada stadium gagal ginjal.

PENDEKATAN DIAGNOSTIK

Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang
mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius hipertensi,
hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya b). Sindrom uremia,
yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan
(volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khiorida).

Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi a). Sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya. b Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan
biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemogiobin, peningkatan kadar asam urat, hiper
atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
asidosis metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuri, leukosuria, cost,
isostenuria.

Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa
tampak batu radio-opak. b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan, c). Pielografi antegrad atau
retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan
ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.

Biopsi dan Pemeriksaan

Histopatologi Ginjal Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukanginjal pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati dan normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan, Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk tidak mngetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal kontra-indikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah
mengecil (contracted kidney) ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap penyakit dasanya
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid :memperlambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal Perencanaan
tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal .kronik sesuai dengan derajatnya

Tabel 4. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya

Referensi: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid2.Edisi 6., Jakarta: Interna., 2014:2159-2165.

CARDIONAL SYNDROME

DEFINISI CARDIONAL SYNDROME

Cardiorenal syndrome (CRS) didefinisikan sebagai gangguan patofisiologi kompleks antara


penyakit jantung dan ginjal; disfungsi akut atau kronik salah satu organ dapat menyebabkan
disfungsi akut atau kronik organ lainnya.

TIPE CARDIORENAL SYNDROME

1. Acute Cardiorenal Syndrome


Didefinisikan sebagai suatu perburukan akut fungsi jantung dijumpai pada syok
kardiogenik, gagal jantung kongestif dekompensata, dan sindroma koroner akut yang
mencetuskan secara mendadak perburukan fungsi ginjal ataupun gagal ginjal akut
yang
dideskripsikan sebagai peningkatan kadar kreatinin serum sebesar 0,3-0,5 mg/dl,
ataupun
penurunan laju filtrasi glomerulus sebesar 9-15 ml/menit saat awal masuk rawatan
dengan gagal jantung akut. Sekitar 27-40% pasien yang dirawat dengan acute
decompensated heart failure (ADHF) tampaknya berkembang menjadi acute kidney
injury (AKI). Kebanyakan pasien dengan kondisi ini mengalami mortalitas dan
morbiditas yang tinggi dan meningkatkan lamanya rawat inap.

2. Chronic Cardiorenal Syndrome


Didefinisikan sebagai gagal jantung kronik yang rnengarah menjadi penyakit ginjal
kronik akibat dari kerusakan mikrovaskular dan makrovaskular ginjal yang semakin
dirumitkan dengan gangguan hemodinamik. Sindroma tipe ini cukup sering terjadi
dan telah dilaporkan pada 63% pasien gagal jantung kongestif rawat inap.

3. Acute Renocardiac Syndrome

Didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal akut seperti dapat dijumpai


pada keadaan kekurangan volume cairan, glomerulonefritis akut ataupun pada
stenosis arteri renal bilateral yang menyebabkan gangguan ataupun penurunan fungsi
jantung yang akut dimanifestasikan dengan gagal jantung akut, aritmia, ataupun
iskemia. Subtipe ini mengacu pada kelainan pada fungsi jantung sekunder terhadap
AKI.

4. Chronic Renocardiac Syndrome


Didefinisikan sebagai penyakit ginjal kronik yang berkontribusi pada
penurunan berkelanjutan terhadap fungsi jantung atau gagal jantung, hipertrofi jatung,
dan predisposisi terhadap kejadian kardiovaskular lainnya yang merugikan. Berbagai
efek disfungsi ginjal kronik menyebabkan gangguan fungsi jantung meliputi
ketidakseimbangan hemodinamik, inflamasi kronik, dan proses aterosklerosis yang
progresif. Subtipe ini mengacu pada penyakit atau disfungsi jantung yang terjadi
sekunder akibat penyakit ginjal kronis.

5. Secondary Cardiorenal Syndrome


Didefinisikan sebagai gangguan ataupun disfungsi secara simultan fungsi
jantung maupun ginjal yang dipengaruhi atau disebabkan oleh obat-obatan maupun
gangguan sistemik seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, sepsis,
amiloidosis, ataupun disseminated intravascular coagulation (DIC). Gangguan ini
dapat bersifat akut (seperti pada kondisi toksisitas obat ataupun keadaan sepsis)
maupun kronik (contohnya bila diakibatkan oleh diabetes melitus)

ETIOLOGI :

Belum diketahui secara pasti penyebabnya atau masih bersifat asimptomatik, namun
beberapa penelitian membahas mengenai penyebab CRS yaitu :

 penurunan curah jantung (cardiac ouput =COP) diakibatkan oleh penurunan ejection
fraction yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal
 Adanya interaksi antar organ ditingkat selular memang merupakan salah satu topik
yang giat dipelajari belakangan ini. salah satu interaksi antar organ jantung dan ginjal
adalah melalui proses inflamasi.
 penyakit ginjal kronis dengan uremia dapat mempengaruhi struktur dan fungsi
jantung. Pada keadaan ini akan terjadi aterosklerosis yag lebih luas

MANIFESTASI KLINIS DAN FAKTOR RESIKO

 insufisiensi ginjal,
 resistensi terhadap diuretik,
 anemia,
 kecenderungan untuk terjadi hiperkalemia, dan
 tekanan darah sistolik yang rendah
Faktor risiko umum pada CRS adalah hipertensi, diabetes melitus dan atherosklerosis.
Ketiga faktor klasik ini merupakan faktor risiko pada PKV maupun PGK, sehingga
dapat dimengerti adanya interaksi yang tinggi diantara kedua penyakit ini.
Sebenarnya, seperti yang sudah sering ditulis dalam kepustakaan, kedua penyakit ini
merupakan suatu kesatuan, sulit menentukan organ mana yang mengalami gangguan
terlebih dahulu. Pasien yang diketahui dan dirawat oleh karena PGK seringkali
kematiannya bukan oleh karena gagal ginjal tetapi gangguan jantung, sebaliknya
dalam berbagai kepustakaan dilaporkan bahwaperburukan fungsi ginjal sangat
mempengaruhi tingginya angka kematian pasien gagal jantung

Sindrom gagal jantung ini dikarakteristik oleh gejala seperti sesak napas, rasa capek,
dan tanda-tanda seperti retensi cairan.Pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi untuk
mengalami sindrom kardiorenal adalah pasien dengan disfungsi diastolik berat (tanpa
melihat fraksi ejeksi), hipertensi pulmonal sekunder, disfungsi ventrikel kanan,
regurgitasi mitral atau trikuspid yang secara fungsional bermakna, riwayat gagal
jantung
yang dirawat di rumah sakit sebelumnya, ada riwayat perburukan fungsi ginjal yang
sebelumnya dengan episode gagal jantung akut dekompensasi, atau adanya riwayat
dialisis sementara (sering setelah operasi jantung atau pemberian kontras).

DIAGNOSIS SINDROMA KARDIORENAL

Terdapat banyak indikator diagnostik yang dapat menentukan kerusakan akut maupun
kronik pada sindroma kardiorenal yang meliputi analisa fungsi dan struktur kedua organ
dengan cara pemeriksaan biomarker kerusakan jantung, biomarker kerusakan ginjal, dan
pemeriksaan imejing.

1. Peptida natriuretik dan gagal jantung Brain-type natriaretic peptide (BNP) dan N
- terminal pro BNP (NT-pro BNP)
Disekresi dari miokard ventrikular sebagai respon jantung terhadap peningkatan tekanan dan
volume. ditetapkan sebagai alat diagnostik dalam ADHF dan merupakan predictor
independen terhadap kejadian kardiovaskular dan mortalitas secara keseluruhan dalam
penyakit kritis, ACS, dan HF stabil. Peptida natriuretik (NP) meningkat pada pasien dengan
CRS (tipe I) di mana AKI terjadi sebagai konsekuensi dari ADHF. Selain itu, mereka telah
menunjukkan utilitas prognostik pada pasien dengan berbagai tahap insufisiensi ginjal,
menunjukkan aplikasi potensial dalam jenis CRS tipe II dan IV. Menurut kebanyakan
pedoman gagal jantung saat ini, pada keadaan akut kadar BNP > 100pg/ml atau kadar NT-pro
BNP 300 pg/ml konsisten mengarah pada gagal jantung, sedangkan pada keadaan kronik
kadar yang direkomendasikan adalah BNP >35 pg/ml atau kadar NT-pro BNP >125 pg/m1

2. Biomarker cedera ginjal

Kemampuan filtrasi ginjal diekspresikan sebagai laju filtrasi glomerulus (GFR) yang
secara klasik diestimasi menggunakan parameter kreatinin serum. Namun, GFR tidak secara
keseluruhan mewakili fungsi ginjal yang juga meliputi permeabilitas
glomerulus dan fungsi tubular, serta sebagai tambahan termasuk metabolisme vitamin D
dan produksi eritropoetin. Oleh sebab itu, beberapa biomarker selain kadar kreatinin
telah dipakai dalam mengestimasi fungsi ginjal.

a. Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL)


NGAL merupakan salah satu penanda awal iskemik ginjal ataupun kerusakan
karena nefrotoksik dan dapat dideteksi kadarnya melalui darah dan urin sesaat
sesudah
terjadi acute kidney injury (AKI). Dalam penelitian terbaru, pengukuran tunggal dari
NGAL dari urin bisa mendeteksi AKI, dengan sensitivitas dan spesifisitas 90% dan
99%.
NGAL dapat digunakan sebagai penanda awal ARF selama pengobatan ADHF.

b. Cystatin-C
Kadar Cystatin C dalam sirkulasi telah muncul menjadi prediktor yang superior
dibandingkan kadar kreatinin serum dalam mengestimasi laju filtrasi glomerulus.
Biomarker ini memiliki dampak yang kuat terhadap prognosis sindroma kardiorenal
dan
berpotensi dalam menilai efek disfungsi ginjal yang ringan pada prognosis penyakit
kardiovaskular, serta menunjukkan sebagai prediktor progresi penyakit gagal jantung
dan
insufisiensi ginjal pada pasien usia tua.

c. Pemeriksaan kadar albuminuria


Selain sebagai target terapi yang penting pada pasien insufisiensi ginjal kronik,
juga awalnya telah dipaparkan sebagai penanda kerusakan permeabilitas glomerulus.
Pada pasien-pasien dengan diabetes, hipertensi, dan disfungsi ginjal kronik
pemeriksaan
kadar albuminuria hams selalu diperiksa karena parameter ini dapat menjadi penanda
ataupun prediktor progresi penyakit kardiovaskular. Hasil perneriksaan
mikroalbuminuria didefinisikan dengan kadar albumin dalam urin 30-300 mg/24 jam,
sedangkan makroalbuminuria bila kadarnya dalam urin > 300 mg/24 jam.

d. Kidney injury molecule-1 (KIM-1)


KIM-1 merupakan protein yang dapat dideteksi dalam urin sesudah terjadi proses
iskemik ataupun efek nefrotoksik terhadap sel - sel tubulus proksimal ginja1 KIM-1
dari
urin tampaknya sangat spesifik untuk AKI iskemik dan bukan untuk pra-ginjal
azotemia,
CKD, atau nefropati.

e. N-asetil-β-(D) glucosaminidase
N-asetil-β-(D) glucosaminidase adalah enzim lisosomal ditemukan di sel-sel
tubulus proksimal. N-asetil-β-(D) glucosaminidase telah terbukti berfungsi sebagai
penanda cedera ginjal, mencerminkan khususnya kerusakan tubular. Hal ini tidak
hanya
ditemukan dalam konsentrasi kemih yang meningkat pada AKI dan CKD, tetapi juga
pada pasien diabetes, pasien dengan hipertensi esensial, dan gagal jantung.

f. Interleukin-18
Interleukin-18 (IL-18) merupakan sitokin proinflamasi yang dapat dideteksi pada
urin setelah proses kerusakan iskemik akut pada tubulus proksimal dengan tingkat
sensitifitas dan spesifitas > 90%, dan juga kadarnya dapat meningkat 48 jam sebelum
didapati peningkatan kadar kreatinin serum.

g. Bioimpedance vector analysis


Ada suatu kesepakatan bahwa Bioimpedance vector analysis (BIVA) dapat
berkontribusi untuk menjelaskan definisi yang lebih baik dari status hidrasi pasien.
Kombinasi NGAL dan BNP dapat digunakan untuk merencanakan strategi pemberian
cairan. Dengan cara ini, pasien dapat dijaga dengan ketat hidrasi yang adekuat dalam
pencegahan perburukan fungsi ginjal dan jantung.

3. Pencitraan

Teknik pencitraan memiliki peran tambahan sehubungan dengan biomarker


laboratorium pada CRS. Pencitraan mungkin meningkatkan, memperluas, dan
memperbaiki kemampuan kita untuk menghitung kerusakan ginjal dan menilai
fungsinya. Pada pasien yang dicurigai CRS, sebaiknya menghindari penggunaan
media kontras iodinasi jika tidak benar-benar diperlukan. Kedepannya, diharapkan
penelitian harus diarahkan studi eksperimental yang menerapkan teknik pencitraan
molekular (seperti MRI/magnetic resonance imaging, MRS/magnetic resonance
spectroscopy, PET/positron emission tomography, dll) untuk mencari penanda
spesifik untuk diagnosis dan evaluasi tingkat keparahan berbagai jenis CRS. Juga di
masa depan, teknik non-invasif pencitraan perlu diperbaiki untuk mengukur aliran
darah ginjal. Data tersebut kemudian dapat dikorelasikan dengan biomarker jantung
dan ginjal dan yang paling penting untuk merencanakan terapi berkelanjutan yang
dirancang dalam pengoptimalan aliran darah ginjal dan akhirnya menjaga fungsi
ginjal. Adapun tipe 1 CRS, kongesti vena dan CVP (central vein pressure) yang
tinggi tampaknya dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal dan independen terkait
dengan semua penyebab kematian dalam spektrum yang luas dari pasien dengan
penyakit kardiovaskular.
Pemeriksaan ekokardiografi dapat menyediakan informasi mengenai anatomi
dan fungsi jantung. Penilaian terhadap fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri danai
juga dilakukan dan pasien dapat dikategorikan ke dalam gagal jantung dengan
ejection fraction yang rendah ataupun dengan ejection fraction yang normal.

Ultrasonografi yang meliputi ultrasound ginjal dan ultrasoncgrafi vena cava


inferior dapat sangat membantu dalam menentukan diagnosis dan secara tepat
mengklasifikasikan sindroma kardiorenal. Ultrasound ginjal itu sendiri dapat
membantu klinisi dalam membedakan antara gagal ginjal akut maupun kronik, serta
mampu mengeksklusi adanya tidaknya obstruksi pada saluran kemih, menilai arteri
ginjal dengan menggunakan doppler, dan juga mampu memberikan informasi
mengenai ukuran ginjal ataupun ekogenisitas parenkim ginja1.

PENATALAKSANAAN :

Perburukan fungsi ginjal dengan atau tanpa resistensi terhadap diuretik selama
pengobatan gagal jantung sering merupakan penyulit klinis. Guideline tatalaksana gagal
jantung dan gagal ginjal belum mencakup strategi yang konsisten dan efektif; masih
dilakukan pendekatan empirik, yaitu: deteksi sindrom kardiorenal, mengantisipasi perburukan
fungsi ginjal dan/atau resistensi diuretik, optimalisasi pengobatan gagal jantung, evaluasi
struktur dan fungsi ginjal, optimalisasi dosis diuretik, dan terapi khusus untuk ginjal.

a) Deteksi sindrom kardiorenal dan antisipasi timbulnya perburukan fungsi ginjal dan/
atau resistensi diuretic

Pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami sindrom kardiorenal adalah


pasien disfungsi diastolik berat (tanpa melihat fraksi ejeksi), hipertensi pulmonal
sekunder, disfungsi ventrikel kanan, regurgitasi mitral atau trikuspid yang fungsional
bermakna, riwayat gagal jantung yang dirawat di rumah sakit, ada riwayat perburukan
fungsi ginjal
dengan episode ADHF, atau riwayat dialysis sementara (sering setelah operasi
jantung
atau pemberian kontras).

b) Optimalisasi terapi gagal jantung


Pengobatan gagal jantung berkelanjutan dapat meningkatkan dan menimbulkan
disfungsi kardiorenal. Tindakan prevensi primer seperti tekanan darah, kolesterol,
gula, aktivitas fisik, dan penghentian merokok harus dilakukan.
 Inotropik
Obat-obatan inotropik seperti dobutamine, dopamine, dan milrinone dapat
digunakan secara intravena dalam tatalaksana syok kardiogenik sesuai
panduan.
 Beta-blocker
Beta-blocker dikontraindikasikan pada ADHF tetapi digunakan pada kasus
CHF. Pada kasus CHF dan CKD, beta-blocker terbukti menurunkan angka
mortalitas tetapi berkaitan dengan kejadian bradikardia dan hipotensi.
 Cardiac Resynchronisation (CRT)
CRT meningkatkan fungsi ejeksi fraksi ventrikel kiri dan GFR; meskipun
masih harus diteliti lebih lanjut.
 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Penggunaan ACEI pada pasien insufisiensi berat harus sangat hati-hati karena
meskipun memperbaiki survival rate, banyak pasien tidak dapat mentoleransi
obat ini karena efek hiperkalemia dan perburukan fungsi ginjal. Pada pasien
insufisiensi ginjal sedang sampai berat ACEI harus dimulai dari dosis rendah,
ditingkatkan bertahap dengan pengawasan ketat elektrolit serum dan fungsi
ginjal.
 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Pada gagal jantung pengaruh ARB terhadap survival rate dan komplikasi
ginjal tidak berbeda bermakna dibandingkan ACEI. ARB dapat memperbaiki
survival pasien yang tidak dapat mentoleransi ACEI karena batuk. Efek
samping hiperkalemia atau perburukan fungsi ginjal pada penggunaan ACEI
juga terjadi pada penggunaan ARB.

c) Optimalisasi dosis diuretic


Diuretik digunakan untuk tatalaksana overload cairan pada gagal jantung dan gagal
ginjal. Meskipun penggunaan diuretik jangka pendek efektif menghilangkan gejala
gagal jantung, penggunaan jangka panjang dapat meningkatkan aktivitas RAAS,
sistem saraf simpatis, mengurangi laju filtrasi glomerulus, disfungsi ginjal, dan
akhirnya dapat memperburuk gagal jantung. Pada keadaan ini, kombinasi diuretik
dosis rendah misalnya
kombinasi diuretic loop dan golongan tiazid lebih efektif dan lebih sedikit
memberikan efek sekunder dibandingkan dosis tinggi satu diuretik.

d) Terapi khusus ginjal


 Nesiritide
Nesiritide merupakan ß-type natriuretic peptide (BNP) sintetik yang
menyebabkan natriuresis dan diuresis serta menekan norepinefrin, endothelin-
1, dan aldosteron.8 Nesiritide bersama furosemid dapat meningkatkan laju
filtrasi glomerulus dibandingkan furosemide sendiri. Nesiritide dan furosemid
efektif melindungi fungsi ginjal dan menghambat aktivitas RAAS,
memaksimalkan natriuresis dan diuresis, serta menghambat progresivitas
gagal jantung; namun masih perlu penelitian lebih lanjut
 Ultraftrasi
Tiga penelitian acak (Ultrafiltration versus Intravenous Diuretics for Patients
Hospitalised for Acute Decompensated Congestive Heart Failure [UNLOAD],
Relief for Acutely Fluid-Overloaded Patients with Decompensated Congestive
Heart Failure [RAPIDCHF], Cardiorenal Rescue Study in Acute
Decompensated Heart Failure [CARESSHF]) dilakukan untuk
membandingkan penggunaan diuretic dengan ultrafiltrasi pada pasien
ADHF.18-20 Pada penelitian UNLOAD yang membandingkan diuretic
intravena dan ultrafiltrasi pada 200 pasien gagal jantung akut, didapatkan
pasien yang mendapat ultrafiltrasi mengalami penurunan berat badan lebih
banyak pada 90 hari dan mengalami rawat inap ulang lebih rendah meskipun
tidak terdapat pengaruh proteksi terhadap fungsi ginjal. Sedangkan pada
penelitian CARESS-HF, didapatkan pengaruh proteksi terhadap fungsi ginjal
yang ditandai dengan perbaikan nilai kreatinin pada filtrasi

Referensi:

1. Sindroma Kardiorenal Akibat Gagal Jantung , Naomi N. Dalimunthe, Sari


Harahap , Divisi Kardiologi – Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2. -Sindrom Kardiorenal: Interaksi Kompleks Jantung dan Ginjal , Sukamto,
Pekanbaru, Riau, Indonesia, CDK Edisi Suplemen-2/Vol. 45 th. 2018

6. Jelaskan pencegahan yang harus dilakukan berdasarkan skenario tersebut?

Pencegahan:

1. memperhatikan status hemodinamik seorang pasien


2. mempertahankan keseimbangan cairan
3. mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat mengganggu
kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi ginjal.
4. Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin kecilrisiko penurunan
fungsi ginjal
5. Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia
6. Penghentian merokok
7. Peningkatan aktivitas fisik
8. Pengendalian berat badan
9. Obat penghambat sistem renin angiotensin seperti penghambat ACE(angiotensin
converting enzyme) dan penyekat reseptor angiotensin

Referensi :

1. Chaidar,Warianto. 2011. Gagal Ginjal. Repository Universitas Airlangga


Indonesia. Halaman 4
2. Indriana,Triastuti. 2017. Acute Kidney Injury (Aki). Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Halaman 26

7. Perspektif islam

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih (dan) menyukai
kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab
itu, bersihkanlah lingkunganmu”. (HR. At- Tirmidzi)

”Agama Islam itu adalah agama yang bersih atau suci, maka hendaklah kamu menjaga
kebersihan. Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang suci”. (HR.
Baihaqiy)
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Hal. 2172-2174 Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. Cerda, J. 2011. Oliguria: an earlier and ccurate biomarker of acute kidney injury.
Kidney Int.
3. Purnomo, B. Basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi edisi Ke-3. Jakarta: Sagung Seto
4. Silbernagil, Stefan. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Dalam : Lang F, editors.
Jakarta : EGC : 2012
5. Sujana, I.B.G., Acute Kidney Injury. 2017. Bagian ilmu anestesi dan terapi intensif
rsup sanglah fakultas kedokteran universitas udayana.
6. National Kidney Foundation, 2002. Clinical Practice Guidelines For Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification and Stratification. In New York:National Kidney
Foundation, Inc..
7. National Kidney Foundation, 2010. About Chronic Kidney Disease: A Guide for
Patients and Their Families. In New York: National Kidney Foundation, Inc.
8. Stamatakis, M.K., 2008. Acute Renal Failure. In M. A. C. Burns., Wells, B. G.,
Schwinghammer, T. L., Malone, P.M., Kolesar, J.M. & J. T. Dipiro., eds.
Pharmacotherapy Principles and Practice. New York: The McGraw-Hill Companies,
9. Sindroma Kardiorenal Akibat Gagal Jantung , Naomi N. Dalimunthe, Sari Harahap ,
Divisi Kardiologi – Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
10. -Sindrom Kardiorenal: Interaksi Kompleks Jantung dan Ginjal , Sukamto,
Pekanbaru, Riau, Indonesia, CDK Edisi Suplemen-2/Vol. 45 th. 2018
11. Chaidar,Warianto. 2011. Gagal Ginjal. Repository Universitas Airlangga Indonesia.
Halaman 4
12. Indriana,Triastuti. 2017. Acute Kidney Injury (Aki). Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Halaman 26

Anda mungkin juga menyukai