Anda di halaman 1dari 11

A.

Pengertian Pemasangan Infus adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh


melalui sebuah jarum ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan
cairan atau zat-zat makanan dari tubuh

B. Tujuan pemasangan infus

 Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang menganung air, elektrolit,


vitamin, protein lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara
adekuat melalui oral
 Memperbaiki keseimbangan asam basa
 Memperbaiki volume komponen-komponen darah
 Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh
Memonitor tekan Vena Central (CVP)
 Memberikan nutrisi pada saat system pencernaan di istirahatkan.
C. Indikasi pemasangan infus

 Keadaan emergency (misal pada tindakan RJP), yang memungkinkan


pemberian obat langsung ke dalam Intra Vena Untuk memberikan respon yang
cepat terhadap pemberian obat (seperti furosemid, digoxin)
 Pasien yang mendapat terapi obat dalam dosis besar secara terus-menerus
melalui Intra vena
 Pasien yang membutuhkan pencegahan gangguan cairan dan elektrolit
 Pasien yang mendapatkan tranfusi darah Upaya profilaksis (tindakan
pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko
perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok,
juga untuk memudahkan pemberian obat)
 Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko
dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum
pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur
infus.
 Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi kebutuhan
dengan injeksi intramuskuler.
D. Kontraindikasi
 Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
 Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan
hemodialisis (cuci darah).
 Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran
darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki). Read more:
Pengetahuan
Jumat, 02 Mei 2014

Konsep Dasar Pemasangan Infus pada Pasien


KONSEP DASAR PEMASANGAN INFUS
Oleh: Ary Yoga Purnama

Pemberian cairan melalui infuse adalah pemberian cairan yang diberikan pada
pasien yang mengalami pengeluran cairan atau nutrisi yang berat. Tindakan ini
membutuhkan kesteril-an mengingat langsung berhubungan dengan pembuluh
darah. Pemberian cairan melalui infus dengan memasukkan kedalam vena
(pembuluh darah pasien) diantaranya vena lengan (vena sefalika basal ikadan
median akubiti), pada tungkai (vena safena) atau vena yang ada dikepala, seperti
vena temporalis frontalis (khusus untuk anak-anak).

1. Definisi Pemasangan Infus


Pemasangan infus merupakan sebuah teknik yang digunakan untuk
memungsi vena secara transcutan dengan menggunakan stilet tajam yang kaku
dilakukan dengan teknik steril seperti angeocateter atau dengan jarum yang
disambungkan dengan spuit (Eni K, 2006). Pemasangan infus adalah salah satu
cara atau bagian dari pengobatan untuk memasukkan obat atau vitamin ke
dalam tubuh pasien (Darmawan, 2008).
Sedangkan ifus adalah memasukkan cairan dalam jumlah tertentu
melalui vena penderita secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu
(Azwar, 2008). Sementara itu menurut Lukman (2007), pemasangan infus
intravena adalah memasukkan jarum atau kanula ke dalam vena (pembuluh
balik) untuk dilewati cairan infus/pengobatan, dengan tujuan agar sejumlah
cairan atau obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui vena dalam jangka waktu
tertentu. Tindakan ini sering merupakan tindakanlife saving seperti pada
kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan
terapi dan cara pemberian yang aman diperlukan pengetahuan dasar tentang
keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemasangan infus adalah sebuah teknik
memasukkan jarum atau kanula kedalam vena untuk memasukkan cairan infus
kedalam tubuh.

2. Tujuan Pemasangan Infus


Tujuan utama terapi intravena adalah mempertahankan atau mengganti
cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak dan
kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral, mengoreksi dan mencegah
gangguan cairan dan elektrolit, memperbaiki keseimbangan asam basa,
memberikan tranfusi darah, menyediakan medium untuk pemberian obat
intravena, dan membantu pemberian nutrisi parental (Hidayat, 2008).

3. Keuntungan dan Kerugian


a.Keuntungan; Keuntungan pemasangan infus intravena antara lain: Efek
terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target
berlangsung cepat, absorbs total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan
terapi lebih dapat diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga
efek terapeutik data dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit dan
iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuscular atau subkutan dapat
dihindari sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain
karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus
gastrointestinalis.
b.Kerugian; Kerugian pemasangan infus intravena adalah: tidak bisa dilakukan
“drug recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas
dan sensitivitas tinggi, control pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan
“speed shock” dan komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu: konmtaminasi
mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi
vascular, misalnya flebitis kimia, dan inkompabilitas obat dan interaksi
dari berbagai obat tambahan.

4. Lokasi Pemasangan Infus


Menurut Perry dan Potter (2005), tempat atau lokasi vena perifer yang
sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau perifer
kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling mudah
untuk terapi intaravena. Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah
permukaan dorsal tangan (Vena supervisial dorsalis, vena basalika, vena
sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena sefalika, vena kubital
median, vena median lengan bawah,dan vena radialis), permukaan dorsal (Vena
safena magna, ramus dorsalis).
Menurut Dougherty, dkk, (2010), Pemulihan lokasi pemasangan terapi
intravena mempertimbangkan beberapa factor, yaitu:
a.Umur pasien: misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat penting
dan mempengaruhi beberapa lama intravena terakhir
b.Prosedur yang diantisipasi: misalnya jika pasien harus menerima jenis
terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pemedahan, pilih
sisi yang tidak terpengaruh oleh apapun
c.Aktivitas pasien: misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan
tingkat kesadaran
d.Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan sering
memaksa tempat-tempat yang optimum (misalnya hiperalimenasi adalah sangat
mengiritasi bena-vena perifer
e.Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk
memelihara vena; pilih bena yang akurat dan baik, rotasi sisi dengan hati-
hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal (misalnya mulai di tangan
dan pindah ke lengan)
f.Keetersediaan vena perifer bila sangan sedikit vena yang ada, pemilihan
sisi dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting; jika sedikit vena
pengganti
g.Terapi intravena sebelumnya: flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak
baik untuk digunakan, kemotrapi sering membuat vena menjadi buruk (misalnya
mudah pecah atau sklerosis)
h.Pembedahan sebelumnya: jangan gunakan ekstremitas yang terkena pada pasien
dengan kelenjar limfe yang telah diangkat (misalnya pasien mastektomi)
tanpa izin dari dokter
i.Sakit sebelumnya: jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada pasien dengan
stroke
j.Kesukaan pasien: jika mungkin, pertimbangkan kesukaan alami pasien untuk
sebelah kiri atau kanan dan juga sisi.

5. Cairan Infus
Berdasarkan osmolalitasnya, menurut Perry dan Potter (2005), cairan
intravena (infus) dibagi menjadi 3, yaitu:
a.Cairan ersifat isotonis: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairan mendekati
serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam
pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi
(kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Meiliki
resiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit
gagal jantung kongresif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-
Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
b.Cairan bersifat hipotonis: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(kosentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam
serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel
yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada
pasien cuci darah (dialysis) dalam terapi deuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetic.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam
pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan
tekanan intrakarnial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah
NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
c.Cairan bersifat hipertonis: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,
sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam
pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi
urine, dan mengurangi edema bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan
cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5% +
Ranger- Lactate.

6. SOP Pemasangan Infus


Pelaksanaan dalam pemasangan infus harus dilaksanakan sebaik-baiknya
guna menghindari terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan. Secara teori
menurut Smith (2010) Standar Operatin Prosedure (SOP) dalam pemasangan
infus, yaitu:
a.Persiapkan alat dan bahan seperti tiga buah potongan plester sepanjang 2,5
cm. belah dua salah satu plester sampai ke bagian tengah, jarum atau
kateter, kapas alcohol atau antiseptik.
b.Sambungkan cairan infus dengan infus set terlebih dahulu dan periksa tidak
ada udara pada infus set.
c.Pasang torniket pada daerah proksimal vena yang akan dikaterisasi 60-80
mmHg.
d.Cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
e.Pilih vena yang akan dilakukan pemasangan, untuk anak-anak lakukan
teknik transiluminasi untuk mendapatkan vena.
f.Dengan kapas alcohol atau antiseptik yang tepat, bersihkan tempat inersi
dan biarkan hingga mongering.
g.Dorong pasien untuk tarik nafas dalam agar pasien relaksasi dan nyaman.
h.Masukkan kateter ke vena sejajar dengan bagian terlurus vena, tusuk kulit
dengan sudut 30-45 derajat, setelah keluar darah pada ujung kateter, tarik
sedikit jarum pada kateter, dorong kateter sampai ujung, dan ditekan ujung
kateter dengan 1 jari.
i.Lepaskan torniket.
Adapun Standar Operating Prosedur (SOP) memasang selang infus di RSUD
Tais adalah:
a.Cuci tangan
b.Dekatkan alat
c.Jelaskan kepada klien tentang prosedur dan sensasi yang akan dirasakan
selama pemasangan infus.
d.Atur posisi pasien/berbaring.
e.Siapkan cairan dengan menyambung botol cairan dengan selang infus dan
gantungkan pada standar infus
f.Menentukan area vena yang akan ditusuk
g.Pasang alas
h.Pasang tourniket pembendung + 15 Cm di atas vena yang akan ditusuk
i.Pakai sarung tangan
j.Disinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 cm
k.Tusukan IV catheter ke vena dengan jarum menghadap ke jantung
l.Pastikan jarum IV masuk ke vena
m.Sambungkan jarum IV dengan selang infus
n.Lakukan fiksasi ujung jarum IV di tempat inersi
o.Tutup area inersi dengan kasa kering kemudian plester
p.Atur tetesan infus sesuai program medis
q.Lepaskan sarung tangan
r.Pasang label pelaksana tindakan yang berisi: nama pelaksanan, tanggal dan
jam pelaksana
s.Bereskan alat
t.Cuci tangan
u.Observasi dan evaluasi respon pasien, catat pada dokumentasi keperawatan.

7. Komplikasi Pemasangan Infus


Pemasangan infus intravena diberikan secara terus menerus dan dalam jangka
waktu yang lama tentunya akan meningkatkan terjadinya komplikasi.
Komplikasi dari pemasangan infus yaitu flebitis, hematoma, infiltrasi,
trombiflebitis, emboli udara (Hinlay, 2006).
a. Flebitis
Inflasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Kondisi ini
dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar
daerah inersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada
area inersi atau sepanjang vena dan pembengkakan.
b. Infiltrasi
Infiltaris terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekililing
tempat fungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan
(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi
yang menurun) di sekitar area inersi, ketidaknyamanan dan penurunan
kecepatan aliran secara nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat
penusukan lebih besar daripada tempat yang sama di ekstremitas yang
berlawanan. Suatu cara yang lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi
adalah dengan memasang torniket di atas atau di daerah proksimal dari
tempat pemasangan infus dan mengencangkan torniket tersebut secukupnya
untuk menghentikan aliran vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada
obstruksi vena, berarti terjadi infilrasi.
c. Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di
atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH
tinggi, pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misalnya: Phenytoin,
voncomycin, eritromycin dan nafellin).
d. Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar area
inersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya vena yang berlawanan selama
penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai yang
diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter dilepaskan. Tanda
dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada tempat
penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.
e. Tromboflebitis
Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan dalam vena.
Karakteristik Tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi,
kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi atau
sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman dan
pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise, dan
leukositosis.

f. Trombisis
Trombisis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan aliran
infus berhenti. Trombisis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding vena,
pelekatan platelet.
g. Occlusion
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol
dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area
pemasangan/insersi. Occlusiondisebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran
balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.
h. Spasme Vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar
vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme Vena bisa
disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena oleh
obat atau cairan yang mudah mgiritasi vena dan aliran yang terlalu cepat.
i. Reaksi Vasovagal
Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin,
berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah. Reaksi
vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri kecemasan.
j. Kerusakan Syaraf, tendon dan ligament
Kondisi ini ditadai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi
otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan
deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak tepat
sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.

Pustaka: (K,DOni. 2013.KTI; http://www.youtube.com/;


http://inshifacantik.blogspot.com)

Kesadaran dan GCS


Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan
dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan
dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya
aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem
aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran
ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.

GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran

pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien

terhadap rangsangan yang diberikan.


Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara
dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6
tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan
waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu
kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal
& kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…M…
Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6dan
terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :
GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)
GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)
GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)
Penanganan Cidera Kepala (Trauma Capitis)
POSTED BY YUSUF WEMPIE POSTED ON 23:18 WITH NO COMMENTS
Berperan pada hampir seluruh kematian akibat trauma. Di amerika merupakan penyebab
kematian
terbanyak pada kelompok usia 15 - 44 thn, laki-laki > wanita.
Glasgow : 151 Otopsi PD.CK 91% Ikshemi

Hasil akhir optimal.

 Cepat dan sistematis --> Transportasi ke RS, UGD Perawatan intensif.


 Dokter dan perawat terlatih : Pengelolaan awal, Jalan napas, Hemodinamik, Status
Neurologik

Langkah yang tentutanya harus diketahui untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien adalah
melakukan pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk
menilaitingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan
motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6
tergantung responnya.

Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :

(5) : orientasi baik


(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan
waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu
kalimat.
Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :


(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi
rangsang
nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi
rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal &
kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…M…
Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah
adalah 3 yaitu E1V1M1.
Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

Berdasarkan Beratnya :

1. GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)


2. GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)
3. GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

Berdasarkan Morfologi :

1. Fraktur tengkorak
2. Kalvaria Linear, Stelat, Depresi, NonDepresi,
3. Terbuka, Tertutup

PENATALAKSANAAN

CKR (Cidera Kepala Ringan)

Definisi : Penderita sadar & berorientasi (GCS 14 – 15 ) CKR 80% UGD, Sadar, Amnesia,
Pingsan
sesaat pulih sempurna, Gejala sisa ringan.
Anamnesa : Nama, Umur, Jenis kelamin, Ras, Pekerjaan, Mekanisme dan waktu cedera.
Sadar atau tidak sadar, Tingkat kewaspadaan,amnesia Antegrad / Retrograd, Sakit
kepala.

 Pemeriksaan umum : Tensi, Nadi, Respirasi, Luka-luka tempat lain.

 Pemeriksaan mini neurologik : GCS, Pupil, Reaksi cahaya, Motorik.


 Foto polos kepala : Jejas kepala
 CT-Scan kepala : Atas indikasi
 Indikasi rawat : Pingsan > 15 : PTA > Jam, Pada OBS. Penurunan kesadaran, SK >>,
Fraktur,
Otorhoe / Rinorhoe, Cedera penyerta, CT-Scan ABN, Tidak ada keluarga, Intoksikasi
alkohol /
Obat-obatan.
 Indikasi pulang : Tidak memenuhi kriteria rawat, Kontrol setelah satu minggu.

Pesan untuk penderita / keluarga :

 Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal sbb : Tidur / sulit dibangunkan tiap
2 jam, mual dan muntah >>, SK >>, Kejang kelemahan tungkai & lengan, Bingung /
Perubahan tingkah laku, Pupil anisokor, Nadi naik / turun.

CKS (Cidera Kepala Sedang)


Definisi :
Penurunan kesadaran, Masih mampu mengikuti perintah sederhana ( GCS 9 – 13 ).

 Pemeriksaan awal : Sama dengan CKR + Pem. Darah sederhana. Pem.CT-Scan kepala,
Rawat untuk observasi.
 Setelah rawat : Pem. Tanda vital & Pem.Neurologik periodik, Pem. CT-Scan kepala
ulang bila ada pemburukan.
 Bila membaik: Pulang, Kontrol poli setelah 1 minggu
 Bila memburuk : CT-Scan kepala ulang = CKB.

CKB (Cidera Kepala Berat)


Definisi :
Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana OK. Kesadaran menurun ( GCS 3 – 8 )

 Penatalaksanaan : ABC (AirWay, Breathing, Circulation).


 Cedera otak sekunder. 100 Penderita CKB, Hipoksemia ( PAO2 < 65mm HG ) 30 %,
Hipotensi ( Sistolik < 95mm HG ) 13 % Anemia ( HT < 30 % ) 12 %.
 Hipotensi mati 2 X, Hipotensi + Hipoksia mati 75 %
 Pemeriksaan mini neurologik, Pemeriksaan CT-Scan kepala.
 Kepala lebih tinggi 10 - 30 derajat ( Head Up )
 Intubasi, Pasang infus RL /NaCl 0,9 %, Pasang catheter
 Obat – obatan : Manitol 20 % : 1 – 2 mg/ Kg.BB, 3 X Pemberian, Tetesan cepat : TD
SIST, > 100 mmHg. Anti konvulsan, Hiperventilasi, pada kasus TTIK untuk
mengeluarkan CO2.

KESIMPULAN :
Pengelolaan pasen dgn cedera kepala secara tepat, cepat dan sistematis akan membawa hasil
akhir yang baik.

Skin test adalah melakukan test antibiotik melalui sub cutan untuk mengetahui ketahanan
terhadap salah satu jenis antibiotik
A. PERSIAPAN
a. Persiapan Alat
i. Spuit 1 cc dan jarum seteril dalam tempatnya
ii. Obat-obatan yang diperlukan
iii. Kapas alkohol dalam tempatnya
iv. Gergaji ampul
v. NaCl 0,9 % /aquadest
vi. Bengkok, ball point/ spidol
b. Persiapan Klien
i. Pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
B. PELAKSANAAN
1. Perawat cuci tangan
2. Menggulung lengan baju pasien bila perlu
3. Mengisi spuit dengan obat yang akan ditest sejumlah 0,1 cc dilarutkan dengan NaCl 0,9 atau
aquadest menjadi 1 cc
4. Mendesinfeksi kulit yang akan di suntik dengan menggunakan kapas alkohol kemudian
diregangkan dengan tangan kiri perawat
5. Menyuntikan obat sampai permukaan kulit menjadi gembung dengan cara lubang jarum
menghadap ke atas dan membuat sudut antara 15 – 30 derajat dengan permukaan kulit
6. Beri tanda pada area suntikan
7. Menilai reaksi obat setelah 10-15 menit dari waktu penyuntikan, hasil (+) bila terdapat tanda
kemerahan pada daerah penusukan dengan diameter minimal 1 cm, hasil (-) bila tidak
terdapat tanda tersebut diatas
8. Perawat cuci tangan

Anda mungkin juga menyukai