Anda di halaman 1dari 14

Judul Jurnal : Efficay of Montelukast and Levocetirizine as Treatment for Allergic

Rhinitis
Nama Jurnal : Journal of Allergy & Therapy 1: 103
Penulis : Vipan Gupta dan Prithpal Singh Matreja

Analisis PICO:
Problem/Patient Orang dewasa 18 – 60 tahun laki-laki
maupun perempuan dengan riwayat
rhinitis alergika tahunan
Intervention Kombinasi antara montelukast dan
levocetirizin
Comparison Levocetirizin saja
Outcome Rata-rata perubahan total skor gejala
nasal siang hari (PDTS), rata-rata
perubahan skor gejala nasal malam hari
(PNTS), skor gejala mata siang hari
(PES), dan skor gejala keseluruhan
(PCS).

RESUME JURNAL
1. Latar Belakang
Rhinitis alergika ialah kelainan atopik yang paling sering berdampak pada
18% - 40% orang dewasa di seluruh dunia, didiagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan tes obyektif. Sesuai dengan dokumen ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma), ini diklasifikasi berdasarkan kronisitas
(intermiten atau persisten), dan keparahan yang berdasarkan gejala dan kualitas
hidup (ringan, atau sedang/berat). Istilah rhinitis alergika “musiman” dan
“tahunan” sebelumnya dikategorikan sebagai rhinitis alergika berdasarkan

1
aeroallergen yang signifikan secara klinis. Rhinitis alergika tahunan berhubungan
dengan alergen sepanjang tahun dan indoor meliputi spora jamur, kecoa, partikel
kotoran tungai debu, ketombe hewan, dan paparan okupasional. Rhinitis alergika
musiman umumnya disebut sebagai “alergi serbuk bunga/hay fever”, terjadi
selama musim serbuk sari, dan biasanya intermiten, akibat reaksi alergi terhadap
aeroallergen outdoor meliputi spora jamur, dan serbuk sari pohon, rumput, dan
gulma yang bergantung pada angin untuk penyerbukan silang. Umumnya terdapat
tumpang tindih gejala “tahunan” dan “musiman” pada beberapa wilayah geografis
yang telah menghasilkan penurunan penggunaan dan kebingungan mengenai
istilah tersebut.
Pada pemeriksaan fisik, pasien secara klasik dapat memiliki mukosa nasal
yang pucat dengan pembengkakan, konka edema, dan sekresi nasal bening
(rhinorrhea). Anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik cukup untuk
membuat diagnosis awal dan penanganan awal. Peran pemeriksaan radiologi dan
endoskopi nasal diagnostik penting untuk menilai ventilasi sinus, pembentukan
polip yang menyumbat kompleks osteomeatal dan sehingga membantu dalam
membuat keputusan untuk manajemen kasus yang tepat. Antibodi
immunoglobulin E (IgE) spesifik dapat ditunjukkan baik dengan uji kulit atau uji
RAST (Radioallergosorbent) dimana seseorang telah menjadi peka penting pada
pasien dengan kesulitan menangani rhinitis alergika.
Biasanya pasien dibuat menyadari fakta bahwa gejala alergi dapat
dikendalikan dan disembuhkan terbatas hanya dengan kesempatan kekambuhan.
Penanganan rhinitis alergika tergantung pada berbagai faktor. Yang pertama
meliputi menghindari alergen penyebab. Sayangnya, upaya untuk mengurangi
kadar alergen indoor sering terlalu sulit bagi pasien untuk menyelesaikan dan
bahkan yang lebih sulit adalah pencegahan paparan terhadap alergen outdoor.
Terapi obat untuk rhinitis alergika harus dipandu berdasarkan jenis dan
keparahan gejala pasien masing-masing dan harus mengurangi kongesti nasal,
bersin, dan rhinorrhea selama sepanjang hari dan malam serta preferensi dokter.

2
Farmakoterapi meliputi H1 antihistamin oral dan intranasal, kortikosteroid
intranasal, dekongestan oral dan intranasal, antikholinergik intranasal, antagonis
reseptor leukotrien dan kromolyn intranasal.
Antihistamin efektif dalam mengurangi pruritus, bersin, dan rhinorrhea
berair, dan merupakan terapi andalan untuk rhinitis alergika. Meskipun
antihistamin generasi pertama umumnya lebih efektif dalam mengendalikan
rhinorrhea dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua, penggunaannya
nyata terbatas egek antikholinergik yang lebih besar. Antihistamin generasi kedua
telah menunjukkan efek memuaskan terhadap tidur pada pasien dengan rhinitis
alergika dan pada umumnya direkomendasikan untuk penyakit ringan hingga
sedang sebagai terapi lini pertama, tetapi tidak efektif dalam kongesti nasal.
Montelukast berperan dalam membantu mengurangi gejala rhinitis
alergika yang tidak terkontrol dengan antihistamin saja dengan menginhibisi
secara kompetitif dan secara reversibel cysteinyl leukotrien (CysLTs), khususnya
leukotrien D4 (LTD4), secara teoritis mengurangi kongesti dan sesak yang
berhubungan dengan rhinitis alergika. Montelukast, sebagai monoterapi yang
telah efektif dalam memperbaiki gejala siang hari dan malam hari pada pasien
dengan rhinitis alergika dan dibandingkan dengan antihistamin tampaknya
memiliki perbaikan yang lebih baik secara signifikan pada gejala malam hari.
Oleh karena itu, terapi kombinasi montelukast dengan antihistamin dapat
memberikan efek meningkatkan dan komplemen, dengan demikian mengurangi
gejala siang hari dan malam hari dengan efektif. Kombinasi levocetirizin dengan
motelukast telah menunjukkan perbaikan yang signifikan pada pasien dengan
rhinitis alergika. Terdapat perbaikan signifikan pada gejala siang hari dan malam
hari pasien pada terapi kombinasi dibandingkan dengan plasebo dan memberikan
kedua obat tersebut sebagai monoterapi. Hanya terdapat sedikit studi yang
tersedia untuk efek terapi kombinasi montelukast dan levocetirizin pada populasi
India. Oleh karena itu, studi ini dirancang untuk menilai efikasi montelukast
dengan levocetirizin sebagai penanganan rhinitis alergika pada populasi India.

3
2. Metode
a. Desain Studi
Studi kelompok paralel, terbuka, acak, prospektif (dengan periode run-
in 2 minggu dan periode terapi 6 minggu) dilakukan antara Juli 2008 hingga
April 2010 pada departemen rawat jalan Gian Sagar Medical College and
Hospital, Distrik Patiala. Kunjungan klinik dijadwalkan pada saat skrining
(kunjungan 1), setelah periode run-in 14 hari (kunjungan 2), setelah setiap 2
minggu terapi sesuai randomisasi selama 6 minggu (kunjungan 3, 4, 5).
Selama periode run-in, pasien hanya menerima Tripolidine HCl dan
Pseudoephedrine HCl bila diperlukan untuk meredakan gejala. Selama
periode randomisasi, pasien dialokasikan secara acak menggunakan tabel
nomor acak untuk menerima Tab Levocetirizin 5 mg dan Montelukast 10 mg
pada kelompok terapi atau Levocetirizin pada kelompok kontrol sekali sehari
pada waktu tidur selama 6 minggu. Kepatuhan pengobatan ditentukan dari
jumlah tablet yang kembali. Pemeriksaan fisik untuk sekresi hidung dan
pembengkakan konka juga dilakukan pada setiap kunjungan.
Protokol studi dan informed consent ditinjau dan disetujui oleh Komite
Etik Institusional Gian Sagar Medical College and Hospital sebelum studi
dimulai dan informed consent tertulis diperoleh dari setiap pasien sebelum
pendaftaran studi. Studi dilakukan sesuai dengan pedoman ICH-GCP.

b. Pasien
Orang dewasa 18 – 60 tahun laki-laki maupun perempuan dengan
riwayat rhinitis alergika tahunan selama minimal 1 tahun, bukan perokok,
yang dapat membaca dan mengerti protokol (pendidikan tingkat menengah)
dan bersedia memberikan informed consent, layak untuk studi. Eksklusi studi
meliputi hamil atau menyusui, poliposis atau patologi infeksi selama
pemeriksaan fisik, alkohol atau obat-obatan terlarang, asma, operasi mayor

4
dalam 4 minggu, infeksi saluran pernapasan atas dalam 3 minggu sebelum
studi.
Obat-obatan yang dilarang sebelum studi meliputi: kortikosteroid
nasal atau inhalasi dalam 2 minggu, kortikosteroid oral dalam 1 bulan,
cetirizin, ketotifen, loratidin, agonis beta aksi panjang oral atau inhalasi atau
antikholinergik inhalasi dalam 1 minggu dan levocetirizin atau fexofenatidin
dalam 72 jam.

c. Kartu Harian Rhinitis


Dicatat pada kartu harian per hari, gejala rhinitis alergika dan
konjunctivitis dinilai pada skala 4 poin (0 – 3) selama siang hari (kartu harian
terisi pada sore hari) dan malam hari (kartu harian terisi pada saat bangun
tidur). Rating nasal siang hari (rhinorrhea, bersin, gatal, dan kongesti), nasal
malam hari (kongesti nasal saat terbangun, kesulitan tidur, dan bangun di
malam hari) dan mata (berair, gatal, kemerahan) dijelaskan pada setiap pasien
oleh tekhnisi yang sama. Rating gejala ialah: 0 = tidak tercatat, 1 = gejala
ringan, 2 = gejala sedang, 3 = gejala berat. Rating tersebut telah dilakukan
oleh pasien sendiri untuk meningkatkan kredibilitas skala subyektif. Setiap
dosis Tripolidine HCl dan Pseudoephedrine HCl diberi skor dengan skala 2
dan diinklusi dalam total skor gejala nasal siang hari periode run-in dan
randomisasi.
Evaluasi keamanan meliputi efek merugikan yang dilaporkan secara
spontan sepanjang studi.

d. Outcome
Ukuran outcome primer ialah rata-rata perubahan total skor gejala
nasal siang hari (PTDS), yang dimaksud sebagai rata-rata skor gejala nasal 4
siang hari.

5
Outcome sekundernya berupa rata-rata perubahan total skor gejala
nasal malam hari (PNTS), skor gejala mata siang hari (PES), skor seluruh
gejala (PCS) (rata-rata skor gejala nasal siang hari dan malam hari).
Kredibilitas pemeriksaan nasal subyek dengan nyata ditingkatkan oleh desain
pengamat tunggal percobaan ini untuk setiap pasien, yang mengeliminasi
masalah reliabilitas antar pengamat.

e. Analisis Statistik
Data ditabulasi sebagai rata-rata + deviasi standar (SD). Hasil
dianalisis menggunakan uji non parametrik (uji Chi-Square, uji Wilcoxon, dan
uji Mann Whitney U) dan uji parametrik (uji t Student dua arah). P < 0.05
dianggap signifikan secara statistik.
Variabel nominal dibandingkan dengan analisis Chi-Square. Uji t
Student digunakan untuk perbandingan rata-rata kelompok untuk data
terdistribusi normal dan uji Mann-Whitney U/uji Wilcoxon digunakan untuk
data terdistribusi tidak normal.

3. Hasil
a. Pasien
Dari 250 pasien yang diskrining, 122 pasien terdaftar pada periode
run-in. Tidak adanya reaktivitas terhadap 1 atau lebih alergen dan infeksi
ialah alasan yang paling sering untuk mengeksklusi pasien dari periode run-
in. 10 pasien dari masing-masing kelompok mundur dari studi akibat
pelanggaran protokol, atau infeksi. 7 pasien dari 102 yang terdaftar tidak
melengkapi keseluruhan follow up. 2 pasien (1 dari masing-masing kelompok)
hilang folloe up setelah 2 minggu terapi dan 5 pasien (3 pasien pada kelompok
terapi dan 2 pasien pada kelompok kontrol) hilang follow up setelah 4 minggu
terapi. 95 pasien melengkapi 6 minggu follow up studi.

6
b. Efikasi
Pasien pada kedua kelompok memiliki profil demografis dan klinis
yang serupa sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.

Skor PDTS, PNTS, PCS, dan PES berkurang secara signifikan


dibandingkan awal pada kedua kelompok. Skor PDTS (Rata-rata + SD) di
awal sebesar 2.055 + 0.329 yang berkurang secara signifikan menjadi 1.18 +
0.437 di akhir 6 minggu pada kelompok terapi. Serupa, skor PDTS berkurang
secara signifikan dari 2.045 + 0.318 menjadi 1.57 + 0.471 di akhir 6 minggu
pada kelompok kontrol (Gambar 1). Skor PNTS (Rata-rata + SD) berkurang
secara signifikan dari 1.93 + 0.369 menjadi 1.14 + 0.448 pada kelompok
terapi dan dari 1.93 + 0.487 menjadi 1.34 + 0.489 pada kelompok kontrol di
akhir 6 minggu (Gambar 2). Skor PCS (Rata-rata + SD) berkurang secara

7
signifikan dari 1.99 + 0.246 menjadi 1.17 + 0.402 pada kelompok terapi dan
dari 1.985 + 0.279 menjadi 1.46 + 0.41 pada kelompok kontrol di akhir 6
minggu (Gambar 3). Skor PES (Rata-rata + SD) berkurang secara signifikan
dari 2.01 + 0.262 menjadi 1.37 + 0.48 pada kelompok terapi dan dari 2.02 +
0.404 menjadi 1.40 + 0.455 pada kelompok kontrol di akhir 6 minggu.

Perbaikan pada kelompok terapi secara signifikan (p < 0.05) lebih


besar dibandingkan kelompok kontrol dari 4 minggu ke depan pada skor

8
PDTS (1.63 + 0.395 vs. 1.81 + 0.383), skor PCS (1.57 + 0.328 vs 1.73 +
0.337) dan skor PNTS pada minggu ke-6 (1.14 + 0.448 vs 1.34 + 0.489).
Tidak ada perubahan skor PES yang signifikan pada kedua kelompok
sepanjang durasi terapi.

c. Keamanan
Tidak ada efek merugikan serius yang dilaporkan pada kedua
kelompok. Insidensi efek merugikan yang dilaporkan pada kelompok terapi
lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol tetapi tidak ada efek merugikan
yang berat yang memerlukan terminasi terapi. Efek merugikan yang
dilaporkan pada kedua kelompok tidak memerlukan pengurangan dosis atau
terapi untuk penanganan efek merugikan. Pasien pada kedua kelompok
melaporkan mual, pusing, letih, nyeri kepala, somnolen, gelisah, mulut kering,
demam, dan lemah. Tidak ada perpanjangan rawat inap pada pasien.

4. Pembahasan
Rhinitis alergika ialah penyakit alergi yang paling sering berdampak pada
populasi umum di seluruh dunia, menyebabkan inflamasi pada membrane mukosa
saluran napas atas akibat ikatan antigen terhadap IgE spesifik. Sesuai dengan
survei pada 2,500 orang dewasa yang didiagnosis dengan rhinitis alergika, gejala
yang paling mengganggu untuk pasien adalah kongesti nasal, ingusan, postnasal
drip, mata merah dan gatal, dan nyeri kepala. Sebuah lingkaran setan dimulai
dengan kongesti nasal, mengambil napas dari mulut, kesulitan tidur, bangun di
malam hari, dan mengorok, kongesti nasal pada saat bangun tidur sehingga
somnolen di siang harinya, gangguan mood, ingatan yang buruk dan penurunan
produktivitas di sekolah dan tempat bekerja. Akibat waktu, bila terapi tidak
diberikan, inflamasi nasal disertai dengan obstruksi nasal dapat terjadi dan
menyebabkan sinusitis, otitis media dengan efusi, polip nasal, dan asma.

9
Kombinasi montelukast dengan antihistamin ditoleransi dengan baik dan
telah menunjukkan hasil yang samar. Pada studi ini, Montelukast dengan
levocetirizin sangat efektif dalam memperbaiki skor PDTS pada pasien rhinitis
alergika. Terapi dengan Montelukast dengan levocetirizin juga secara signifikan
memperbaiki skor PNTS dan PCS dibandingkan dengan levocetirizin saja.
Hasil ini sesuai dengan studi sebelumnya yang telah menunjukkan
perbaikan gejala nasal yang signifikan pada pasien yang bertahan dari rhinitis
alergika pada pasien yang menerima montelukast dan levocetirizin. Sementara
hasil studi kami berbeda untuk studi lain yang menunjukkan bahwa penanganan
kombinasi secara signifikan mengurangi gejala mata dibandingkan dengan
monoterapi.
Montelukast, antagonis reseptor leukotrien telah diteliti cukup luas pada
penanganan rhinitis alergika hingga beberapa tahun lalu sebagai monoterapi,
dikombinasi dengan antihistamin generasi kedua, dan dengan atau tanpa
kortikosteroid intranasal. Beberapa studi telah menemukan perbaikan yang
signifikan pada skor gejala nasal siang hari, skor gejala mata siang hari, skor
gejala malam hari, dan skor gejala keseluruhan saat dikombinasi dengan obat
antihistamin. Telah terdapat penurunan yang signifikan secara statistik pada
gejala malam hari (kesulitan tidur, bangun di malam hari, dan kongesti pada saat
bangun tidur) terjadi dengan montelukast. Studi bahkan telah menunjukkan
perbaikan kongesti nasal yang signifikan baik pada tantangan alergen dan fase
penyembuhan.
Efek merugikan yang paling sering dilaporkan pada studi kami dengan
montelukast dan levocetirizin ialah mual, pusing, letih, nyeri kepala, somnolen,
gelisah, mulut kering, demam, dan lemah, sedangkan pada kelompok kontrol,
pasien melaporkan letih, somnolen, gelisah, mulut kering, demam, dan lemah.
Efek merugikan yang dilaporkan serupa pada yang dilaporkan pada studi
sebelumnya. Tidak ada efek merugikan yang berat yang memerlukan terminasi
terapi atau pengurangan dosis atau terapi untuk penanganan efek merugikan.

10
Hasil tersebut mengkonfirmasi dan memperluas temuan sebelumnya,
bahwa montelukast, antagonis reseptor leukotrien dengan levocetirizin efektif dan
aman pada pasien rhinitis alergika di India dan mungkin memiliki kegunaan klinis
yang lebih dalam mengatasi gejala residual dan perbaikan kualitas hidup yang
berhubungan dengan rhinitis alergika.
Keterbatasan studi kami, pertama ialah besar sampel yang kecil sehingga
jumlah efek merugikan yang dilaporkan secara tidak signifikan lebih banyak
dibandingkan dengan levocetirizin saja, mungkin besar sampel yang lebih besar
dapat menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kedua, ini adalah studi label
terbuka akibat ketidaktersediaannya dana, studi tersamar ganda akan lebih ideal.
Kesimpulannya, pasien pada kedua kelompok bertoleransi terhadap terapi.
Terdapat penurunan yang signifikan pada skor PDTS, PNTS, PCS, dan PES pada
kedua kelompok dibandingkan awal. Namun, pasien yang ditangani dengan
montelukast dan levocetirizin memiliki respon dan meredanya gejala residual
yang lebih awal dibandingkan terapi konvensional.

ANALISIS JURNAL TERAPI


Validity
1a. Apakah alokasi Ya
pasien terhadap [√]
terapi atau perlakuan Tidak
dilakukan secara [ ] Tercantum pada Material and Methods-Study Design
acak? hal. 2 bahwa studi ini dilakukan secara acak.
1b. Apakah Tidak Tidak dicantumkan mengenai randomisasi dilakukan
randomisasi dapat secara tersembunyi atau tidak.
dilakukan dijelaskan
tersembunyi ?

11
1c. Apakah antara Ya
subjek penelitian [ ]
dan peneliti “blind” Tidak
terhadap terapi atau [√] Tercantum pada Material and Methods-Study Design
perlakuan yang akan hal. 2 bahwa studi ini adalah studi open label dimana
diberikan ? peneliti maupun subyek mengetahui bentuk dan jenis
terapi yang diberikan.
2a. Apakah semua Ya Tercantum pada Results-Patients hal. 2 mengenai
subjek yang ikut [√] pasien-pasien yang dieksklusi dan mundur dari studi.
serta dalam Tidak Dari 250 pasien yang diskrining, 122 pasien terdaftar
penelitian [ ] pada periode run-in. Tidak adanya reaktivitas
diperhitungkan terhadap 1 atau lebih alergen dan infeksi ialah alasan
dalam hasil atau yang paling sering untuk mengeksklusi pasien dari
kesimpulan ? periode run-in. 10 pasien dari masing-masing
(apakah kelompok mundur dari studi akibat pelanggaran
pengamatannya protokol, atau infeksi. 7 pasien dari 102 yang terdaftar
cukup lengkap) tidak melengkapi keseluruhan follow up. 2 pasien (1
dari masing-masing kelompok) hilang folloe up
setelah 2 minggu terapi dan 5 pasien (3 pasien pada
kelompok terapi dan 2 pasien pada kelompok kontrol)
hilang follow up setelah 4 minggu terapi. 95 pasien
melengkapi 6 minggu follow up studi.
Pada Table 1 juga dicantumkan karakteristik 95
pasien studi. Seluruh subyek diperhitungkan dalam
hasil maupun kesimpulan.
2b. Apakah Ya
pengamatan yang [√ ]
dilakukan cukup Tidak

12
panjang ? [ ] Tercantum pada Material and Methods-Study Design
hal. 2 bahwa periode run-in berlangsung selama 14
hari dan periode terapi selama 6 minggu, pengamatan
yang dilakukan cukup panjang.
2c. Apakah subjek Ya Subyek dianalisis pada kelompok randomnya, tidak
dianalisis pada [√] terdapat switching subyek dari satu kelompok ke
kelompok dimana Tidak kelompok lainnya.
subjek tersebut [ ]
dikelompokan dalam
randomisasi ?
3a. Selain perlakuan Ya Tidak ada perlakuan lain selain perlakuan yang
yang [√] dieksperimenkan.
dieksperimenkan, Tidak
apakah subjek [ ]
diperlakukan sama ?
3b. Apakah Ya Tercantum pada Table 1 hal. 3 bahwa pasien pada
karakteristik antar [√] kedua kelompok memiliki profil demografis dan
kelompok dalam Tidak klinis yang sebanding.
penelitian serupa? [ ]
Importance
Berapa besar efek Skor PDTS, PNTS, PCS, dan PES berkurang secara signifikan
terapi dan seberapa dibandingkan awal pada kedua kelompok khususnya pada akhir
tepat estimasi efek minggu ke-6. Tercantum pada Results-Efficacy hal. 3 mengenai
terapi? perubahan skor PDTS, PNTS, PCS, dan PES masing-masing
kelompok. Perbaikan pada kelompok terapi secara signifikan (p <
0.05) lebih besar dibandingkan kelompok kontrol dari 4 minggu
ke depan pada skor PDTS, skor PCS, dan skor PNTS pada minggu
ke-6. Tetapi tidak ada perubahan skor PES yang signifikan pada

13
kedua kelompok sepanjang durasi terapi.
Applicability
1. Apakah pasien Ya Prevalensi rhinitis alergika di Indonesia mencapai
yang kita miliki [ ] 1,5% - 12,4% dan cenderung mengalami peningkatan
sangat berbeda Tidak setiap tahunnya. Di Indonesia aeroalergen yang
dengan pasien [√] tersering menyebabkan rhinitis alergika adalah tungau
dalam dan tungau debu rumah. Prevalensi tertinggi pada usia
penelitian? 12 – 39 tahun. Sehingga karakteristik penderita
rhinitis alergika di Indonesia serupa dengan pasien
dalam penelitian.
2. Apakah hasil Ya Hasil baik dari penelitian ini dapat diterapkan di
yang baik dari [√] Indonesia karena Montelukast tersedia di Indonesia.
penelitian dapat Tidak Tetapi harganya cukup mahal, sehingga hanya dapat
diterapkan [ ] diterapkan pada pasien dengan keadaan sosial
dengan kondisi ekonomi menengah ke atas.
yang kita miliki?
3. Apakah semua Ya Outcome primer studi ini ialah rata-rata perubahan
outcome klinis [√] total skor gejala nasal siang hari (PDTS) dan outcome
yang penting Tidak sekundernya berupa rata-rata perubahan skor gejala
dipertimbangkan [ ] nasal malam hari (PNTS), skor gejala mata siang hari
(efek samping (PES), skor gejala keseluruhan (PCS). Selain itu,
yang mungkin sudah dipertimbangkan pula efek samping yang
timbul) mungkin timbul berupa mual, pusing, letih, nyeri
kepala, somnolen, gelisah, mulut kering, demam, dan
lemah. Tetapi tidak terdapat efek merugikan yang
serius dan hingga memerlukan perpanjangan rawat
inap maupun penghentian terapi.
Kategori kualitas evidence: Tinggi

14

Anda mungkin juga menyukai