Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Poliomielitis adalah penyakit infeksi akut yang pada keadaan serius
menyerang susunan saraf pusat. Kerusakan saraf motorik pada medulla spinalis
menyebabkan paralisis flaksid (Jawetz, et al., 2005). Poliomielitis dahulu disebut
penyakit lumpuh kanak-kanak, tetapi sekarang diketahui bahwa penyakit ini dapat
juga menyerang orang dewasa.
Kasus polio di Indonesia pada tahun 2005 terjadi pertama kali di Cidahu,
Sukabumi, Jawa Barat yang dengan cepat menyebar ke Provinsi Banten, DKI,
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung. Data terakhir melaporkan
secara total terdapat 295 kasus polio 1 yang tersebar di 10 Provinsi dan 22
kabupaten/ kota di Indonesia (Budi, et al., 2013).
Berdasarkan epidemiologi polio di Indonesia, penting bagi perawat untuk
mengetahui konsep dasar penyakit polio beserta konsep asuhan keperawatannya.
Perawat dapat berperan serta untuk mencegah dan mengobati penyakit polio di
Indonesia yang dapat meliputi beberapa upaya yang terdiri dari upaya promotif
untuk meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan dan cara pengobatan
penyakit polio melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, penyebarluasan
informasi, peningkatan kebugaran jasmani, peningkatan gaya hidup sehat, dan
peningkatan gizi; upaya preventif untuk mencegah timbulnya penyakit atau
kondisi yang memperberat penyakit polio; upaya kuratif dan rehabilitatif untuk
menyembuhkan penderita, mencegah kematian, dan menurunkan tingkat kejadian
penyakit polio.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka disusunlah makalah ini sebagai
referensi dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan polio
sehingga perawat mengetahui dan mampu untuk menerapkannya dalam praktek
layanan asuhan keperawatan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penyakit poliomyelitis pada anak?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pasien dengan poliomyelitis?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan konsep dasar penyakit poliomielitis pada anak.
2. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pasien dengan poliomielitis.
1.4 Manfaat
1. Memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak.
2. Menambah wawasan kepada mahasiswa jurusan kesehatan khususnya
mahasiswa keperawatan.
3. Melatih mahasiswa dalam menyusun dan membuat makalah.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Poliomielitis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus polio
dan dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan. 50%-70% dari kasus polio
adalah umur 3-5 tahun (Ranuh, 2008). Poliomielitis adalah penyakit menular akut
yang disebabkan oleh virus dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu
sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak dan akibat kerusakan bagian
susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot (Staf
Pengajar IKA FKUI, 2005). Poliomielitis adalah penyakit infeksi akut yang pada
keadaan serius menyerang susunan saraf pusat. Kerusakan saraf motorik pada
medulla spinalis menyebabkan paralisis flaksid (Jawetz, et al., 2005). Poliomielitis
dahulu disebut penyakit lumpuh kanak-kanak, tetapi sekarang diketahui bahwa
penyakit ini dapat juga menyerang orang dewasa.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
poliomielitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi virus
polio yang menyerang susunan saraf pusat dan dapat menyebabkan kelumpuhan
serta atrofi otot pada anak-anak maupun pada orang dewasa.

Gambar 2.1 Anak penderita polio

3
Gambar 2.2 Dewasa penderita polio
2.2 Epidemiologi

Polio tersebar di seluruh dunia terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan
Afrika. Kasus terakhir virus polio 3 terjadi di Sri Lanka pada tahun 1993, virus
polio 1 dan polio 3 di Jawa Tengah, Indonesia pada tahun 1995, dan virus Polio 1
di Thailand pada tahun 1997.
India salah satu Negara endemic polio, juga menularkan penyakit ini ke
Cina dan Syria pada tahun 1999, ke Bulgaria pada tahun 2001, serta ke Lebanon
pada 2003. Menurut penyelidikan WHO dan Depkes RI, virus polio liar di
Indonesia pada tahun 2005 berasal dari sudan atau Nigeria yang berada di Arab
Saudi. Virus tersebut ditularkan ke Negara lain melalui jamaah haji, jemaah
umroh, dan tenaga kerja lainnya.
Bayi dan anak adalah golongan usia yang sering terserang polio. Penderita
polio sebanyak 70-80% di daerah endemik adalah anak berusia kurang dari 3
tahun, dan 80-90% adalah balita. Kelompok yang rentan tertular adalah anak yang
tidak diimunisasi, kelompok minoritas, para pendatang musiman, dan anak-anak
yang tidak terdaftar.

4
Gambar 2.3 Sejarah adanya penyakit polio

Data terakhir sampai Juni 2007 terdapat 243 kasus polio liar pada tahun
2007. Negara penyumbang terbesar adalah Nigeria sebanyak 114 kasus, India
sebanyak 82 kasus, dan Korea Utara sebanyak 13 kasus. Indonesia yang pernah
mencatat 303 kasus pada tahun 2005 menurun hingga menjadi hanya 2 kasus pada
tahun 2006 dan tidak ada kasus pada tahun 2007.
Kasus polio di Indonesia pada tahun 2005 terjadi pertama kali di Cidahu,
Sukabumi, Jawa Barat yang dengan cepat menyebar ke Provinsi Banten, DKI,

5
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung. Data terakhir melaporkan
secara total terdapat 295 kasus polio 1 yang tersebar di 10 Provinsi dan 22
kabupaten/ kota di Indonesia (Budi, et al., 2013).

2.3 Etiologi
Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV)
dengan diameter 20-32 nm, berbentuk sferis, tahan pada pH 3-10 sehingga dapat
tahan terhadap asam lambung dan empedu. Virus tidak rusak beberapa hari dalam
temperatur 2-8 derajat celcius. Virus masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi
saluran usus, dan menyebar ke sistem saraf melalui aliran darah (Zulkifli, 2007).
Virus poliomyelitis (virus RNA) tergolong dalam genus Enterovirus dan
famili Picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2
(Lansing) dan tipe 3 (Leon). Infeksi dapat terjadi oleh satu atau lebih dari tipe
virus tersebut. Epidemi yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1,
tipe 2 kadang-kadang menyebabkan kasus yang sporadik dan tipe 3 menyebabkan
epidemi ringan. Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunisasi
bersifat seumur hidup dan spesifik untuk satu tipe (Pasaribu, 2005).

Gambar 2.4 Poliovirus tipe 1,2, dan 3

2.4 Cara Penularan Penyakit


Virus Polio ditularkan terutama dari manusia ke manusia, terutama pada
fase akut, bersamaan dengan tingginya titer virus polio di faring dan feses. Virus
polio diduga dapat menyebar melalui saluran pernafasan karena sekresi
pernafasan merupakan material yang terbukti infeksius untuk virus entero lainnya.
Meskipun begitu, jalur pernafasan belum terbukti menjadi jalur penularan untuk

6
virus polio. Transmisi oral biasanya mempunyai peranan yang dominan pada
penyebaran virus polio di negara berkembang, sedangkan penularan secara fekal-
oral paling banyak terjadi di daerah miskin. Makanan dan minuman dapat
terkontaminasi melalui lalat atau karena higienis yang rendah. Sumber penularan
lain yang mungkin berperan adalah tanah dan air yang terkontaminasi material
feses, persawahan yang diberi pupuk feses manusia, dan irigasi yang dengan air
yang telah terkontaminasi virus polio (Afie, 2009).
Penularan virus polio terutama melalui jalur fekal-oral dan membutuhkan
kontak yang erat. Prevalensi infeksi tertinggi terjadi pada seseorang yang tinggal
serumah dengan penderita. Biasanya bila salah satu anggota keluarga terinfeksi,
maka yang lain juga terinfeksi. Kontaminasi tinja pada jari tangan, alat tulis,
mainan anak, makanan dan minuman, merupakan sumber utama infeksi (Afie,
2009).
Faktor yang mempengaruhi penyebaran virus adalah kepadatan penduduk,
tingkat higienis, kualitas air, dan fasilitas pengolahan limbah. Di area dengan
sanitasi yang bagus dan air minum yang tidak terkontaminasi, rute transmisi
lainnya mungkin penting. Bahan yang dianggap infeksius untuk virus polio adalah
feses dan sekresi pernafasan dari pasien yang terinfeksi virus polio atau yang
menerima OPV (Oral Poliovirus Vaccine) dan produk laboratorium yang
digunakan untuk percobaan dengan menggunakan virus polio. Bahan yang
dianggap berpotensi infeksius adalah feses dan sekresi faring yang dikumpulkan
untuk tujuan apapun dari daerah yang masih terdapat virus polio liar. Darah,
serum dan cairan serebrospinal tidak diklasifikasikan infeksius untuk virus polio
(Afie, 2009).

2.5 Klasifikasi
Zulkifli (2007) menjelaskan bahwa penyakit polio dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis. Jenis-jenis penyakit polio adalah sebagai berikut.

1. Polio abortif
Merupakan bentuk yang paling sering dari penyakit ini. Pasien hanya
menderita gejala minor, yang di tandai oleh demam, malaise, mengantuk

7
nyeri kepala, mual, muntah, konstipasi, dan nyeri tenggorokan dalam
beberapa kombinasi. Pasien dapat sembuh dalam beberapa hari.

2. Polio non-paralisis
Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan
sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika
disentuh.

3. Polio paralisis spinal


Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang,
menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada
batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan
kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan
mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada
kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini akan diserap oleh
pembulu darah kapiler pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh. Virus
Polio menyerang saraf tulang belakang dan saraf motorik yang mengontrol
gerakan fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu, namun pada
penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini
biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan
batang otak. Infeksi ini akan memengaruhi sistem saraf pusat dan
menyebar sepanjang serabut saraf.
Seiring dengan berkembangbiaknya virus dalam sistem saraf pusat,
virus akan menghancurkan saraf motorik. Saraf motorik tidak memiliki
kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan
bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki
menyebabkan tungkai menjadi lemas, kondisi ini disebut acute flaccid
paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan
kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen
(perut), disebut quadriplegia.

4. Polio bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami
sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung saraf
motorik yang

8
mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai
saraf yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf
muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot
muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal
yang membantu proses menelan dan berbagai fungsi di kerongkongan;
pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal ke jantung, usus,
paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan
kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita yang menderita polio
bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja.
Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang
bertugas mengirim perintah bernapas ke paru-paru. Penderita juga dapat
meninggal karena kerusakan pada fungsi penelanan; korban dapat
tenggelam dalam sekresinya sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau
diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan yang disekresikan
sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga sulit
dilakukan apabila penderita telah menggunakan paru-paru besi (iron lung).
Alat ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara menambah dan
mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Apabila tekanan udara
ditambah, paru-paru akan mengempis, sedangkan apabila tekanan udara
dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan demikian udara terpompa
keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh lebih parah pada otak dapat
menyebabkan koma dan kematian.
Tingkat kematian karena polio bulbar berkisar 25-75% tergantung
usia penderita. Hingga saat ini, pasien yang bertahan hidup dari polio jenis
ini harus hidup dengan paru-paru besi atau alat bantu pernapasan. Polio
bulbar dan spinal sering menyerang bersamaan dan merupakan sub kelas
dari polio paralisis. Polio paralisis tidak bersifat permanen. Penderita yang
sembuh dapat memiliki fungsi tubuh yang mendekati normal.

2.6 Manifestasi Klinis

Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang ringan
sampai terjadi paralysis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan menjadi minor

9
illnesses (gejala ringan) dan major illnesses (gejala berat, baik paralitik, maupun
non-paralitik).

Gambar 2.5 Manifestasi klinis pasien polio

a. Minor Illnesses
1. Asimtomatis (silent infection)
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak
terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemik diperkirakan
terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap
virus tersebut. Merupakan proporsi kasus terbanyak (72%).

2. Poliomielitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemik,
terutama yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang
jelas. Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi.
Timbul mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari,
biasanya sekitar 2-10 hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti
malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan,

10
konstipasi, dan nyeri abdomen. Diagnosis pasti hanya bisa dengan
menemukan virus di biakan jaringan.

b. Major Illnesses
1. Poliomielitis non-paralitik
Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,
nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari,
kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian
remisi demam atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas
untuk penyakit ini adalah adanya nyeri atau kaku otot belakang leher,
tubuh dan tungkai dengan hipertonia mungkin disebabkan oleh lesi
pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior. Bila anak
berusaha duduk dari posisi tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut
ke atas sedangkan kedua tangan menunjang kebelakang pada tempat
tidur (Tripod sign) dan terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme,
kaku kuduk terlihat secara pasif dengan Kernig dan Brudzinsky yang
positif. “Head drop” yaitu bila tubuh penderita ditegakkan dengan
menarik pada kedua ketiak sehingga menyebabkan kepala terjatuh ke
belakang. Refleks tendon biasanya tidak berubah dan bila terdapat
perubahan maka kemungkinan akan terdapat poliomyelitis paralitik.

2. Poliomielitis paralitik
Gejala poliomielitis paralitik sama dengan yang terdapat pada
poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan satu atau lebih
kumpulan otot skelet atau kranial, dan timbul paralisis akut. Pada
bayi ditemukan paralisis vesika urinaria dan atonia usus.

Secara klinis dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk sesuai


dengan tingginya lesi pada susunan saraf yang terkena.
a.) Bentuk spinal
Gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen, tubuh,
diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering
otot besar, pada tungkai bawah otot kuadrisep femoris, pada
lengan otot deltoideus, dan sifat paralisis adalah asimetris.

11
Refleks tendon mengurang/menghilang serta tidak terdapat
gangguan sensibilitas.
b.) Bentuk bulbar
Terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga
terjadi insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak,
kesulitan makan, kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara.
Saraf otak yang terkena adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian
VII.
c.) Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk
bulbar
d.) Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor
dan kadang-kadang kejang.
(Estrada dalam Virlta, 2013)

2.7 Patofisiologi

Poliomielitis merupakan infeksi dari virus jenis enteroviral yang dapat


bermanifestasi dalam 4 bentuk yaitu, infeksi yang tidak jelas, menetap,
nonparalitik, dan paralitik. Poliovirus merupakan RNA virus yang di transmisikan
memalalui rute oral-fekal, melalui konsumsi dari air yang terkontaminasi feses
(kotoran manusia). Terdapat tiga jenis yang dapat menyebabkan infeksi pada
manusia. Masa inkubasi membutuhkan waktu 5 – 35 hari. Apabila virus masnuk
kedalam tubuh melalui jalur makan, akan menetap dan berkembang biak di
kelenjar getah bening nasofaring atau usus, dan kemudian menyebar melalui darah
ke seluruh tubuh. Setelah virus masuk kedalam jaringan tubuh, virus akan
mengeluarkan neurotropik yang akan merusak akhiran saraf pada otot, yang
menyebabkan kelumpuhan dari organ gerak bahkan sampai otot mata.

Berdasarkan keluhan awal penderita akan mengeluh seperti adanya infeksi


ringan seperti akibat flu, atau batuk. Pada kasus infeksi yang tidak jelas, keluhan
disertai dengan adanay mual, muntah, nyeri perut, yang berlangsung selama
kurang dari 5 hari, dan berkembang menjadi iritasi dari selaput otak. Pada
paralitik osteomyelitis keluhan akan terus berkembang dari kelemahan anggota
gerak sampai gangguan pernafasan. Penderita yang telah sembuh dari polio akan

12
menimbulkan gejala sindroma postpolio berupa kelemahan dan ketidak
seimbangan pada anggota gerak yang terinfeksi sebelumnya (Dinkes Siak, 2013).

13
2.8 Komplikasi dan Prognosis

2.8.1 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien polio adalah sebagai berikut.
1. Hiperkalsuria
2. Melena
3. Pelebaran lambung akut
4. Hipertensi ringan
5. Pneumonia
6. Ulkus dekubitus dan emboli paru
7. Psikosis

2.8.2 Prognosis
Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya. Jika
tidak mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total sangat mungkin.
Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat pada paralisis atau kematian
(biasanya dari kesulitan bernafas). Secara umum polio lebih sering mengakibatkan
disabilitas daripada kematian (Estrada dalam Virlta, 2013).
Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya. Pada pasien dengan
polio non-paralitik atau aseptik meningitis, gejala bisa menetap selama 2-10 hari,
lalu sembuh total. Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena.
Pada kasus polio spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya
sehingga mengakibatkan paralisis akan permanen. Sel yang tidak hancur tapi
kehilangan fungsi sementara akan kembali setelah 4-6 minggu setelah onset. 50%
dari penderita polio spinal sembuh total, 25% dengan disabilitas ringan, dan 25%
dengan disabilitas berat. Perbedaan residual paralisis ini tergantung pada derajat
viremia, dan imunitas pasien. Bentuk spinal dengan paralisis pernafasan dapat
ditolong dengan bantuan pernafasan mekanik. Tanpa bantuan ventilasi, kasus yang
melibatkan sistem pernafasan akan menyebabkan kesulitan bernafas. 5-10%
pasien dengan polio paralisis meninggal akibat paralisis otot pernafasan (Estrada
dalam Virlta, 2013).
Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan fungsi
pusat pernafasan atau infeksi sekunder jalan nafas. Polio bulbar sering
mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak tersedia. Dengan alat bantu

14
nafas, angka kematian berkisar antara 25-50%. Bila ventilator tekanan positif
tersedia angka kematian bisa diturunkan hingga 15%. Otot-otot yang lumpuh dan
tidak pulih kembali menunjukkan paralisis tipe flasid dengan atonia, arefleksia,
dan degenerasi (Estrada dalam Virlta, 2013).

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Virus polio dapat di isolasi dan dibiakkan dari bahan hapusan tenggorok
pada minggu pertama penyakit, dan dari tinja sampai beberapa minggu. Berbeda
dengan enterovirus lainnya, virus polio jarang dapat di isolasi dari cairan
serebrospinalis. Bila pemeriksaan isolasi virus tidak mungkin dapat dilakukan,
maka dipakai pemeriksaan serologi berupa tes netralisasi dengan memakai serum
pada fase akut dan konvalesen. Dikatakan positif bila ada kenaikan titer 4 kali
atau lebih. Tes netralisasi sangat spesifik dan bermanfaat untuk menegakkan
diagnosa Poliomielitis. Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan CF
(Complement Fixation).
Pemeriksaan likuor serebrospinalis akan menunjukkan pleiositosis biasanya
3
kurang dari 500/mm , pada permulaan lebih banyak polimorfonukleus dari
limfosit, tetapi kemudian segera berubah menjadi limfosit yang lebih dominan.
Sesudah 10-14 hari jumlah sel akan normal kembali. Pada stadium awal kadar
protein normal, kemudian pada minggu kedua dapat naik sampai 100 mg, dengan
jumlah set menurun sehingga disebut dissociation cytoalbuminique, dan kembali
mencapai normal dalam 4-6 minggu. Glukosa normal. Pada pemeriksaan darah
tepi dalam batas normal dan pada urin terlihat gambaran yang bervariasi dan bisa
ditemukan albuminuria ringan (Pasaribu, 2005).

2.10 Penatalaksanaan
Tidak ada obat untuk polio, hanya bisa dicegah dengan imunisasi.
Imunisasi lengkap sangat mengurangi risiko terkena polio paralitik. Tidak ada
antivirus yang efektif melawan poliovirus.
Tujuan pengobatan polio adalah mengontrol gejala selama infeksi
berlangsung. Dalam kasus-kasus tertentu, beberapa pasien membutuhkan tindakan
lifesaving terutama bantuan nafas.
Berikut pengobatan non spesifik untuk setiap manifestasi klinis dari polio
menurut Virlta (2013).

15
1. Silent infection : istirahat
2. Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari, bila tidak terdapat gejala apa-apa
aktifitas dapat dimulai lagi. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih
teliti terhadap kemungkinan kelainan muskuloskeletal.
3. Poliomielitis paralitik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2 minggu;
perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralisis
pernafasan.

Pengobatan sesuai dengan fase akut dan post akut adalah sebagi berikut.
a. Fase akut
1. Antibiotik untuk mencegah infeksi pada otot yang flaccid
2. Analgetik untuk mengurangi nyeri kepala, myalgia, dan spasme
3. Antipiretik untuk menurunkan suhu.
4. Foot board, papan penahan pada telapak kaki, agar kaki terletak
pada sudut yang tetap terhadap tungkai
5. Bila terjadi paralisis pernafasan seharusnya dirawat di unti
perawatan khusus karena penderita memerlukan bantuan
pernafasan mekanis.
6. Pada poliomyelitis tipe bulbar kadang-kadang refleks
menelannya terganggu sehingga beresiko terjadinya pneumonia
aspirasi. Dalam hal ini kepala anak diletakkan lebih rendah dan
dimiringkan ke salah satu sisi.

b. Fase post-akut
Kontraktur, atrofi dan atoni otot dikurangi dengan fisioterapi.
Tindakkan ini dilakukan setelah 2 minggu. Penatalaksanaan fisioterapi
yang dilakukan yaitu:
1. Heating dengan menggunakan IRR (infra red radiation)
2. Exercise (active/passive) terutama pada ekskremitas yang
mengalami kelemahan atau kelumpuhan
3. Breathing exercise jika diperlukan
4. Bila perlu pemakaian braces, bidai, hingga operasi ortopedik.
2.11 Pencegahan

16
Poliomielitis dapat dicegah dengan cara antara lain sebagai berikut (Staf
Pengajar IKA FKUI, 2005).
1. Jangan masuk daerah endemik.
2. Dalam daerah endemik jangan melakukan stres yang berat seperti
tonsilektomi, suntikan dan sebagainya.
3. Mengurangi aktifitas jasmani yang berlebihan.
4. Imunisasi aktif.
Vaksin polio dibagi menjadi dua yaitu inactivated polio virus (IPV) yang
diberikan secara suntikan dan attenuated polio virus (OPV) yang diberikan
tetesan dibawah lidah. IPV merupakan vaksin yang pertama tersedia secara
menyeluruh pada tahun 1950an. Kelebihan dari IPV adalah berisi virus
yang lemah, sehingga tidak berhubungan dengan kejadian poliomielitis
akibat pemberian vaksin. Formulasi yang lebih baik adalah enhanced
inactivated poliovirus vaccine (eIPV). Vaksin ini diberikan pada usia 2
bulan, 4 bulan, dan 6 – 12 bulan dan sebelum masuk sekolah (usia 4 tahun).
Pemberian OPV terutama sejak tahun 1960an. Imunisasi dengan cara ini
menyebabkan penurunan yang signifikan pada kasus-kasus poliomielitis di
dunia. Pemberian secara oral memberikan kelebihan dengan adanya
pertahana tubuh terhadap virus tersebut di mukosa saluran nafas dan
pencernaan. Kerugian OPV adalah dapat menyebabkan vaccine-associated
paralytic poliomyelitis (VAPP). Pemberian vaksin ini diberikan pada usia 2
bulan, 4 bulan, 6 bulan dan pemberian booster setiap 4 tahun.
Varian OPV baru berupa monovalent oral poliovirus type 1 vaccine
(mOPV1) diperkenalkan pertama kali di India pada bulan April 2005. Dari
penelitan didapatkan bahwa varian baru ini 3 kali lebih efektif dan jauh
lebih sedikit angka efek samping dibandingkan pemberian OPV pertama,
sehingga menjadi rekomendasi internasional untuk menghilangkan
poliovirus (Dinkes, 2013).

17
2.12 Pathways

Virus polio (virus RNA)

Masuk ke tubuh “oral-fecal”, melalui kotoran, ludah, makanan,

atau benda lain yang terkontaminasi virus polio

Berkembang biak di saluran cerna ( tenggorokan dan


saluran cerna)

Menyebar melalui kelenjar getah bening dan darah

Cemas Proses Hipertermi

Menyerang sumsum Menyerang selaput Menyerang simpul


tulang belakang otak saraf

Menyerang sel anterior Meningitis aseptik Nyeri


masa kelabu sumsum
tulang belakang
Anoreksia, mual, Paralisis
dan muntah
Paralisis

Gangguan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh

Gangguan mobilitas fisik

18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANAK

Ruangan : Ruangan tempat pasien di rawat

Tgl. / Jam MRS : Tanggal dan waktu pasien masuk rumah sakit

Dx. Medis : poliomielitis

No. Reg. : No Registrasi perawat dari rekam medis

TGL/Jam Pengkajian : Tanggal dan waktu saat perawat melakukan pengkajian


pada pasien anak

I. Biodata
A. Identitas Klien
1. Nama/Nama panggilan : Nama lengkap pasien/Nama panggilan
yang disukai pasien
2. Tempat tgl lahir/usia : Biasanya anak yang sering terkena
penyakit polio adalah yang berusia kurang
dari 3 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-Laki
4. A g a m a : Agama pasien
5. Pendidikan : Pendidikan pasien, biasanya belum sekolah
6. Alamat : Alamat pasien
7. Tgl masuk : Tanggal dan waktu pasien masuk rumah
sakit
8. Tgl pengkajian : Tanggal perawat melakukan pengkajian
9. Diagnosa medik : Poliomielitis
10. Rencana terapi : Rencana terapi pasien

19
B. Identitas Orang tua
1. Ayah

a. N a m a : Nama ayah pasien


b. U s i a : Usia ayah pasien
c. Pendidikan : Pendidikan terakhir ayah pasien
d. Pekerjaan/sumber penghasilan : Pekerjaan dan sumber penghasilan
e. A g a m a : Agama ayah pasien
f. Alamat : Alamat ayah pasien
2. Ibu
a. N a m a : Nama ibu pasien
b. U s i a : Usia ibu pasien
c. Pendidikan : Pendidikan terakhir ibu pasien
d. Pekerjaan/sumber penghasilan : Pekerjaan dan sumber penghasilan
e. A g a m a : Agama ibu pasien
f. Alamat : Alamat ibu pasien
II. Riwayat Kesehatan
a.Riwayat Kesehatan Sekarang :
Pasien biasanya mengeluh aktivitasnya terganggu karena kelemahan,
kelelahan, serta kelumpuhan.
Awalnya pasien mengeluh semakin hari berat badannya semakin
berkurang disertai dengan keluahan kelemahan, kelelahan, serta
kelumpuhan.
Keluhan yang biasanya dikeluhkan pasien pada saat pengkajian :
1. Pasien mengeluh aktivitasnya terganggu karena kelemahan,
kelelahan, serta kelumpuhan.
2. Keluarga pasien mengatakan bahwa akhir-akhir ini anaknya rewel
3. Keluarga mengatakan bahwa pasien demam sudah 3 hari yang
lalu
b. Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat penyakit yang pernah diderita pasien, biasanya sebelumnya
pasien belum pernah mengalami penyakit poliomielitis.
c. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit yang pernah diderita keluarga pasien. Apabila terdapat
keluarga yang menderita polio, maka kemungkinan besar keluarga yang
lain dapat terserang polio dengan mudah.
d. Pengkajian sosial
Baisanya pada pasien dengan poliomielitis akan mengalami gangguan
konsep diri, karena pasien malu dengan kondisi tubuh yang sedang
dialaminya.
e. Riwayat sirkulasi
Pasien biasanya mengeluh nyeri punggung saat beraktifitas, perubahan
pada tekanan darah, serta perubahan pada frekuensi jantung.
f. Riwayat eliminasi
Pasien biasanya sering sembelit saat BAB. Usus mengalami gangguan
fungsi. Urine yang keluar sedikit (retensi urin)
g. Riwayat neurosensori
Pasien biasanya mengeluh kelemahan, kelelahan, serta kelumpuhan.
Gejala : Amnesia, vertigo, synkop, tinitus, kehilangan pendengaran,
tingling dan baal pad aekstremitas, gangguan pengecapan dan penghidu.
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, deviasi pada mata ketidakmampuan mengikuti,
kehilangan penginderaan, wajah tidak simetris, genggaman lemah tidak
seimbang, reflek tendon dalam lemah, apraxia, hemiparese, quadriplegi,
kejang, sensitiv terhadap gerakan.
h. Riwayat nyeri/keamanan
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri dan kejang otot, sakit kepala, gatal
(pruritus), serta sensasi yang abnormal.
Gejala : nyeri kepala dengan intensitas yang berbeda dan biasanya lama
Tanda : wajah menyeringai, respon menarik dri rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah, tidak bisa istirahat / tidur.
i. Riwayat pernafasan
Tanda : perubahan pola napas, irama napas meningkat, dispnea, potensial
obstruksi.
j. Riwayat nutrisi
Pasien biasanya mengalami nafsu makan menurun, berat badan menurun,
mual dan muntah, dan kesulitan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia)..
III. Pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum : Biasanya keadaan umum pasien polio lemah


2. Kesadaran : Biasanya pasien dating ke rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun
3. Tanda – tanda vital :
a. Tekanan darah : Tekanan darah pasien kemungkinan akan
meningkat
b. Denyut nadi : Denyut nadi pasien kemungkinan akan
meningkat
c. Suhu : Biasanya pasien mengalami hipertermi
d. Pernapasan : Pernapasan pasien biasanya meningkat
4. Berat Badan : BB pasien biasanya turun karena anoreksia
5. Tinggi Badan : Tinggi pasien
6. Kepala :
warna rambut hitam, penyebaran rambut merata, rambut tidak rontok,
tidak ada benjolan, tidak ada lesi, tekstur ranbut halus, dan tidak ada
nyeri tekan, bentuk mata bulat, konjungtiva berwarna merah muda, tidak
adanya nyeri tekan, bentuk telinga simetris, telinga bersih tidak ada
kotoran dan tidak ada nyeri tekan, bibir tampak pucat.
7. Leher :
warna kulit merata (sama dengan sekitarnya), tida ada lesi, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar limfe, tidak
ada nyeri tekan
8. Thorax dan pernapasan
bentuk dada simetris, tidak ada lesi, pengembangan dada saat bernafas
simetris, suara nafas vesikuler dan tidak ada suara nafas tambahan
9. Abdomen
warna kulit merata dengan sekitarnya, tidak ada lesi, peristaltik usus 16x
permenit, tidak ada hepatomegali, tidak ada nyeri tekan, pada saat
diperkusi timpani.
10. Genetalia
Keadaan genetalia normal, tidak ada kelainan atau gangguan pada
kondisi fisik genetalianya.
11. Rektum
Keadaan rektum normal tidak ada hemoroid, prolaps maupun tumor.

IV. Pemeriksaan Diagnostik


Biasanya pasien poliomielitis hanya cukup dilakukan pemeriksaan fisik.

V. Pengkajian Berdasarkan Pola Gordon


1. Persepsi kesehatan dan pola manajemen
Keluarga pasien mengetahui tentang apa yang dialami pasien terutama
ketika tanda-tanda kelemahan fisik serta kelumpuhan mulai muncul,
namun keluarga pasien tidak mengetahui cara mengatasi hal tersebut.
2. Pola nutirisi dan metabolik
Karena penyakit yang dialaminya, nafsu makan pasien menurun
dikarenakan proses penyakit.
3. Pola eliminasi
Terjadi perubahan pada pola eleminasi, dimana pasien merasa sembelit
saat BAB.
4. Pola aktivitas dan istirahat
Pasien mengeluhkan keadaannya yang mengalami kelemahan / keletihan,
kaku, hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
quadriplegi, ataksia, masalah dalam keseimbangan, perubaan pola istirahat,
adanya faktor faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, cemas,
keterbatasan dalam hobi dan dan latihan.Pola istirahat dan tidur
5. Pola persepsi dan kognitif
Pasien merasa nyeri pada alat genitalnya dikarenakan adanya infeksi,
namun pasein merasa nyaman ketika dia bersama keluarganya, terutama
ketika ibu pasien selalu disamping pasien untuk menemani pasien.
6. Pola konsep diri
Pada pasien dengan poliomielitis biasannya akan mengalami gangguan
konsep diri karena ketidaknormalan pertumbuhan yang dialaminya serta
keadaan dirinya yang semakin hari semakin mengalami kelemahan,
kelelahan, serta kelumpuhan.
7. Pola peran dan hubungan
Meskipun pasien merasa kurang percaya diri dengan kondisinya, namun
pasien masih dapat menjalin interaksi dengan orang-orang disekitarnya,
terutama dengan kedua orang tuanya.
8. Pola seksualitas dan reproduksi
pasien mencemaskan masalah pada seksual (dampak pada hubungan,
perubahan tingkat kepuasan).
9. Pola koping dan stress
Keluarga pasien merasa cemas karena terjadi ketidaknormalan pada An.A.
muncul faktor stres, perubahan tingkah laku atau kepribadian, pasien
cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
10. Pola keyakinan dan nilai
Keluarga pasien berdoa untuk kesembuhan pasien
4.2 Diagnosa
1. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, mual dan muntah.
2. Hipertermi b/d proses infeksi.
3. Nyeri b/d proses infeksi yang menyerang syaraf.
4. Gangguan mobilitas fisik b/d paralysis
5. Kecemasan pada anak dan keluarga b/d kondisi penyakit.

4.3 Perencanaan

No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Dx Hasil
1 Tujuan : 1. Kaji pola makan 1.) Mengetahui intake dan
Setelah dilakukan anak. output anak.
asuhan keperawatan 2. Berikan makanan 2.) Untuk mencakupi
selama 3x24 jam, secara adekuat. masukan sehingga output
diharapkan dan intake seimbang.
perubahan nutrisi 3. Berikan nutrisi 3.) Mencukupi kebutuhan
membaik, kalori, protein, nutrisi dengan seimbang.
Kriteria hasil: vitamin dan mineral. 4.)Mengetahui
Mual muntah 4. Timbang berat perkembangan anak.
berkurang badan. 5.) Menambah masukan
Intake output dan merangsang anak untuk
adekuat 5. Berikan makanan makan lebih banyak.
kesukaan anak. 6.) Mempermudah proses
pencernaan.

6. Berikan makanan
tapi sering.

2 Tujuan : 1. Pantau suhu 1) Untuk mencegah


Suhu tubuh kembali tubuh. kedinginan tubuh yang
normal berlebih.
Kriteria hasil : 2) Dapat menyebabkan
Suhu tubuh normal : 2. Jangan pernah efek neurotoksi.
o
36,5-37,5 C menggunakan
Alcohol
usapan saat
saat 3) Mengurangi penguapan

mandi/kompres.
3)
Mengura
ngi
penguapa
n
3. Hindari mengigil. 4) Dapat membantu
mengurangi demam.
4. Kompres mandi
hangat durasi 20-
30 menit.
3. Tujuan: 1. Lakukan strategi 1) Teknik-teknik seperti
Setelah dilakukan non farmakologis relaksasi, pernafasan
asuhan keperawatan untuk membantu anak berirama, dan distraksi
selama 3x24 jam, mengatasi nyeri. dapat membuat
diharapkan klien 2) nyeri dan dapat lebih di
mampu melakukan 2. Libatkan orang tua toleransi.
mengontrol nyeri, dalam memilih 3) Karena orang tua adalah
Kriteria hasil: strategi. yang lebih mengetahui
Menjelaskan factor 3. Ajarkan anak untuk anak.
penyebab nyeri menggunakan strategi
Mengikuti non farmakologis 4) Pendekatan ini tampak
pengobatan yang khusus sebelum paling efektif pada
diberikan nyeri. nyeri ringan.
Mengontrol nyeri 4. Minta orang tua 5) Latihan ini mungkin
secara mandiri membantu anak diperlukan untuk
dengan menggunakan membantu anak
srtategi selama nyeri. berfokus pada tindakan
5. Berikan analgesic yang diperlukan
sesuai indikasi. mengurangi nyeri.
4. Tujuan: 1. Tentukan aktivitas 1) Memberikan informasi
Setelah dilakukan atau keadaan fisik untuk mengembangkan
asuhan keperawatan anak. rencana perawatan bagi
selama 3x24 jam, program rehabilitasi.
diharapkan klien 2) Kelelahan yang dialami
27

mampu melakukan dapat mengindikasikan


aktivitas lain keadaan anak.
sebagai pengganti 2. Catat dan terima
pergerakan, menjaga keadaan kelemahan
kestabilan postur, (kelelahan yang ada). 3) Memberikan
Kriteria hasil: kesempatan untuk
Dapat mengikuti memecahkan masalah
latihan yang 3. Indetifikasi factor- untuk mempertahankan
diberikan faktor yang atau meningkatkan
Dapat mempengaruhi mobilitas.
meminimalisir kemampuan untuk 4) Latihan berjalan dapat
tremor dalam aktif seperti meningkatkan
melakukan pemasukan makanan keamanan dan efektifan
pergerakan yang tidak adekuat. anak untuk berjalan.
4. Evaluasi
kemampuan untuk
melakukan mobilisasi
secara aman.

5. Tujuan : 1. Kaji tingkat realita 1. Respon keluarga


Kecemasan bahaya bagi anak dan bervariasi tergantung pada
menurun keluarga tingkat pola kultural yang
Kriteria hasil: ansietas (mis.renda, dipelajari.
Anak tenang dan sedang, 2. Pasien mungkin perlu
dapat parah). menolak realita sampai siap
mengekspresikan 2. Nyatakan retalita menghadapinya.
perasaannya dan situasi seperti apa 3. Informasi yang
Orang tua merasa yang dilihat keluarga menimbulkan ansietas
tenang dan tanpa menayakan apa dapat diberikan dalam
berpartisipasi dalam yang dipercaya. jumlah yang dapat
perawatan anak. 3. Sediakan informasi dibatasi setelah periode
28

yang akurat sesuai yang diperpanjang.


kebutuhan jika 4. Harapan–harapan palsu
diminta oleh akan diintervesikan sebagai
keluarga. kurangnya pemahaman atau

4. Hindari harapan – kejujuran.


harapan kosong mis ;

pertanyaan seperti “

semua akan berjalan

lancar”.

4.4 Pelaksanaan
Perawat melaksanakan implementasi sesuai dengan intervensi yang telah

disebutkan diatas.

Hari/tanggal Waktu No. Implementasi


Dx
Senin, 12 08.00 1 1. Telah mengkaji pola makan anak.
November Wib 2. Telah memberikan makanan secara
2013 adekuat.
3. Telah memberikan nutrisi kalori, protein,
vitamin dan mineral.
4. Telah menimbang berat badan.
5. Telah memberikan makanan kesukaan
anak.
6. Telah memberikan makanan tapi sering.
Senin, 16 09.00 2 1. Telah memantau suhu tubuh.
November Wib 2. Tidak menggunakan usapan alcohol saat
2013 mandi/kompres.
3. Telah menghindari mengigil.
4. Telah mengkompres mandi hangat durasi
29

20-30 menit.
Senin, 16 10.00 3 1. Telah melakukan strategi non
November Wib farmakologis untuk membantu anak
2013 mengatasi nyeri.
2. Telah melibatkan orang tua dalam
memilih strategi.
3. Telah mengajarkan anak untuk
menggunakan strategi non farmakologis
khusus sebelum nyeri.
4. Telah meminta orang tua membantu anak
dengan menggunakan srtategi selama
nyeri.
5. Telah memberikan analgesic sesuai
indikasi.
Senin, 16 11.00 4 1. Telah menentukan aktivitas atau keadaan
November Wib fisik anak.
2013 2. Telah mencatat dan terima keadaan
kelemahan (kelelahan yang ada).
3. Telah mengidentifikasi factor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan untuk aktif
seperti pemasukan makanan yang tidak
adekuat.
4. Telah mengevaluasi kemampuan untuk
melakukan mobilisasi secara aman.

4.5 Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan untuk mengevaluasi apakah tindakan
keperawatan yang teah diberikan mencapai tujuan atau kriteria hasil yang telah
ditetapkan. Berikut salah satu evaluasi dari diagnosa pertama.
30

Hari/tanggal Waktu No. Dx Evaluasi


Senin, 15 10.00 Wib 1 S: Ibu klien mengatakan bahwa anaknya
November sudah tidak mengeluh mual muntah lagi
2013 O: Klien terlihat tenang., TTV dalam batas
normal, intake output adekuat
A: masalah teratasi sebagian
P: intervensi dilanjutkan
Senin, 12 10.00 Wib 2 S: Ibu klien mengatakan bahwa badan
November anaknya sudah tidak panas lagi.
2013 O: Klien terlihat tenang., TTV dalam batas
o
normal, fokus pada suhu 37,0 C
A: masalah teratasi
P: intervensi dihentikan
Senin, 13 11.00 Wib 3 S: ibu klien mengatakan anaknya sudah
November tidak nyeri lagi, mengerti cara mengatasi
2013 nyeri sesaat, dan paham mengenai
pengobatan yang danjurkan.
O:Pasien terlihat tenang, TTV normal,
tidak menunjukkan adanya nyeri.
A:Masalah teratasi
P: intervensi dihentikan
31

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Poliomielitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi


virus polio yang menyerang susunan saraf pusat dan dapat menyebabkan
kelumpuhan serta atrofi otot pada anak-anak maupun pada orang dewasa. Virus
poliomyelitis (virus RNA) tergolong dalam genus Enterovirus dan famili
Picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan
tipe 3 (Leon). Infeksi dapat terjadi oleh satu atau lebih dari tipe virus tersebut.
Pemeriksaan likuor serebrospinalis akan menunjukkan pleiositosis biasanya
kurang dari 500/mm3, pada permulaan lebih banyak polimorfonukleus dari
limfosit, tetapi kemudian segera berubah menjadi limfosit yang lebih dominan.
Tujuan pengobatan polio adalah mengontrol gejala selama infeksi berlangsung.
Dalam kasus-kasus tertentu, beberapa pasien membutuhkan tindakan lifesaving
terutama bantuan nafas.

5.2 Saran

a. Pada mahasiswa

Diharapkan kepada mahasiswa khususnya mahasiswa keperawatan agar dapat


mengerti, memahami dan dapat menjelaskan tentang penyakit poliomielitis
baik mengenai pengertian, patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis maupun
pencegahan serta penerapan asuhan keperawatannya.
b. Pada Dosen

Dosen diharapkan dapat memfasilitasi mahasiswa apabila terdapat mahasiswa


yang kurang paham tentang penyakit poliomielitis dan memberikan tambahan
materi atau penjelaskan apabila materi yang diberikan kurang lengkap atau
kurang jelas.
32

DAFTAR PUSTAKA

Afie. 2009. Cara Penyebaran Virus Polio. http://afie.staff.uns.ac.id/


2009/02/06/cara-penyebaran-virus-polio/ [14 November 2013]

Budi, et al. 2013. Makalah Virologi Virus Polio Kelompok IV. Makalah.
Dipublikasikan. Surakarta: Akademi Analis Kesehatan Nasional.

Dinkes Siak. 2013. Poliomyelitis. http://diskes.siakkab.go.id/


diskes/index.php?categoryid=48&p5038_articleid=15&pid=5038 08
November 2013]

Jawetz, et al. 2005. Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology). Jakarta:


Salemba Medika.

Pasaribu, Syahril. 2005. Aspek Diagnostik Poliomielitis. Artikel Ilmiah.


Dipublikasikan. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU.

Ranuh. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi-Ikatan


Dokter Indonesia.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Keokteran UI. 2005. Ilmu
Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta: Infomedika.
Virlta, Chkaa. 2013. Poliomyelitis. http://www.scribd.com/doc/165109179/
Poliomyelitis [05 November 2013]

Zulkifli, Andi. 2007. Epidemiologi Penyakit Polio. Makalah. Dipublikasikan.


Makassar: Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai