Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN STROKE (CVA)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. DEFINISI STROKE (CEDERA SEREBROSPINAL)

Stroke atau cedera serebrospinal (CVA), adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplay darah ke bagian otak. Sering ini adalah kulminasi
penyakit serebrovaskular selama beberapa tahun.

Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara
fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih yang dapat mengakibatkan
kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam tanpa penyebab lain kecuali
gangguan pembuluh darah otak (WHO, 1983)

Stroke diklasifikasikan berdasarkan keadaan patologisnya dibagi menjadi stroke


iskemia dan stroke haemoragic. Stroke iskemia terjadi karena obstruksi total/sebagian
pembuluh darah otak, disebabkan karena thrombosis, emboli, dan hypoperfusi global. Stroke
haemoragic terjadi karena perdarahan subarachnoid, pecahnya pembuluh darah otak tertentu.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, stroke dibagi menjadi TIA (timbul tiba-


tiba dan menghilang beberapa menit/jam), stroke in evolution (proses progresif beberapa jam
sampai hari), dan stroke complete (permanen sejak awal serangan dan sedikit adanya
perbaikan)

2. EPIDEMIOLOGI STROKE

Stroke adalah penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Empat juga orang
Amerika mengalami defisit neurologik akibat stroke, dua per tiga dari defisit ini bersifat
sedang sampai parah (National Stroke Association,2001). Kemungkinan meninggal akibat
stroke inisial adalah 30% sampai 35%, dan kemungkinan kecacatan mayor pada yang selamat
adalah 35% sampai 40% (Wolf et al., 2000). Sekitar sepertiga dari semua pasien yang
selamat dari stroke akan mengalami stroke berikutnya dalam 5 tahun, 5% sampai 14% dari
mereka akan mengalami stroke ulangan dalam tahun pertama.

Sampai tahun 2001, laporan tentang insiden stroke hanya mencakup stroke
simtomatik, walaupun stroke “silent” diperkirakan 5 sampai 20 kali lebih sering terjadi,
menurut para peneliti di University of California di Los Angeles (Leary Saver, 2001).
Berprevalensi stroke silent, maka para peneliti tersebut memperkirakan bahwa insiden per
tahun stroke silent adalah lebih dari 11 juta orang.
3. ETIOLOGI

Menurut Smeltzer (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari

empat kejadian yaitu:

a. Trombosis serebral

Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab


utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling umum dari stroke. Tanda-tanda
trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien
dapat mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan
yang tidak dapat dibedakan dari haemorrhagi intracerebral atau embolisme serebral. Secara
umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara,
hemiplegia, atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada
beberapa jam atau hari.

b. Embolisme serebral

Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang – cabangnya,


yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau hemiplegia tiba-tiba dengan afasia
atau tanpa afasia atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau
pulmonal adalah karakteristik dari embolisme serebral.

c. Iskemia serebral

Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi


ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.

d. Haemorrhagi serebral

1) Haemorrhagi ekstradural (haemorrhagi epidural) adalah kedaruratan bedah neuro yang


memerlukan perawatan segera. Keadaan ini biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan
robekan arteri tengah arteri meninges lain, dan pasien harus diatasi dalam beberapa jam
cedera untuk mempertahankan hidup.

2) Haemorrhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi epidural, kecuali bahwa
hematoma subdural biasanya jembatan vena robek. Karenanya periode pembentukan
hematoma lebih lama dan menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin
mengalami haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau gejala.

3) Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi, tetapi
penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme pada area sirkulus Willisi dan
malformasi arteri vena kongenital pada otak.
4) Haemorrhagi intracerebral adalah perdarahan di substansi dalam otak paling umum pada
pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif karena
penyakit ini biasanya menyebabkan rupture pembuluh darah. Biasanya awitan tiba-tiba,
dengan sakit kepala berat. Bila haemorrhagi membesar, makin jelas deficit neurologik yang
terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda vital.

Penyebab – penyebab peningkatan Tekanan Intrakranial antara lain :

1. Tumor primer atau metastasis

2. Hemoragia otak

3. Hematoma subdural

4. Abses otak

5. Hidrosefalus akut

6. Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi

4. FAKTOR RESIKO PADA STROKE

a. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat


mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh
darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak
menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel – sel otak akan mengalami
kematian.

b. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang


berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan menyempitkan diameter
pembuluh darah tadi dan penyempitan tersebut kemudian akan mengganggu kelancaran aliran
ke otak, yang pada akhirnya akan menyebabkan infark sel – sel otak.

c. Penyakit Jantung

Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke. Faktor risiko


ini akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah ke otak karena jantung melepas
gumpalan darah atau sel – sel/jaringan yang telah mati ke dalam aliran darah.
d. Gangguan Aliran Darah Otak Sepintas

Pada umumnya bentuk – bentuk gejalanya adalah sebagai berikut :

Hemiparesis, disartri, kelumpuhan otot – otot mulut atau pipi (perot), kebutaan mendadak,
hemiparestesi dan afasia.

e. Hiperkolesterolemi

Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama low density lipoprotein


(LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya arteriosklerosis (menebalnya
dinding pembuluh darah yang kemudian diikuti penurunan elastisitas pembuluh darah).
Peningkatan kad ar LDL dan penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein) merupakan
faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner.

f. Infeksi

Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke adalah
tuberkulosis, malaria, lues, leptospirosis, dan in feksi cacing.

g. Obesitas

Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung.

h. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark jantung.

i. Kelainan pembuluh darah otak

Pembuluh darah otak yang tidak normal suatu saat akan pecah dan
menimbulkan perdarahan.

j. Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)

k. Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan kadar estrogen
tinggi)

l. Penyalahgunaan obat ( kokain)

m. Konsumsi alkohol
n. Lain – lain

Lanjut usia, penyakit paru – paru menahun, penyakit darah, asam urat yang
berlebihan, kombinasi berbagai faktor risiko secara teori.

5. PATOFISIOLOGI

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.


Luasnya infark tergantung pada factor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan
adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan
local (thrombus, emboli, perdarahan, dan spasme vascular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan paru dan jantung. Aterosklerosis sering sebagai factor penyebab
infark pada otak. Thrombus dapat berasal dari plak aterosklerotik, atau darah dapat beku pada
area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.

Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Thrombus dapat mengakibatkan iskemi jaringan otak yang disuplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini
menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya
tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh
embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septic infeksi akan
meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa
infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisme
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisme pecah atau
rupture.

Perdarahan otak disebabkan oleh rupture arteriosklerotik dan hipertensi


pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan
kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler, karena perdarahan yang luas
terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial, dan yang lebih berat dapat
menyebabkan herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum.

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus
perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan
yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-6 menit. Perubahan
ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena
gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.

Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak
akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi otak
serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade
iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena darah
dan sekitarnya tertekan lagi.

Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih dari
60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan
lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-36 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 c dan terdapat di
pons sudah berakibat fatal. (Muttaqin, Arif, 2008)

6. KLASIFIKASI

1. Stroke

Menurut Satyanegara (1998), gangguan peredaran darah otak atau stroke dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Non Haemorrhagi/Iskemik/Infark

1) Transient Ischemic Attack (TIA)/Serangan Iskemi Sepintas

TIA merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode serangan

sesaat dari suatu disfungsi serebral fokal akibat gangguan vaskuler,

dengan lama serangan sekitar 2 -15 menit sampai paling lama 24 jam.

2) Defisit Neurologis Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurologi Defisit(RIND)


Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berlangsung lebih lama dari 24 jam dan
kemudian pulih kembali (dalam jangka waktu kurang dari tiga minggu).

3) In Evolutional atau Progressing Stroke merupakan Gejala gangguan neurologis yang


progresif dalam waktu enam jam atau lebih.

4) Stroke Komplit (Completed Stroke / Permanent Stroke ) merupakan Gejala gangguan


neurologis dengan lesi -lesi yang stabil selama periode waktu 18-24 jam, tanpa adanya
progesifitas lanjut.
b. Stroke Haemorrhagi

Perdarahan intrakranial dibedakan berdasarkan tempat perda rahannya, yakni di


rongga subararakhnoid atau di dalam parenkhim otak (intraserebral). Ada juga perdarahan
yang terjadi bersamaan pada kedua tempat di atas seperti: perdarahan subarakhnoid yang
bocor ke dalam otak atau sebaliknya. Selanjutnya gangguan-gangguan arteri yang
menimbulkan perdarahan otak spontan dibedakan lagi berdasarkan ukuran dan lokasi regional
otak.

7. MANIFESTASI KLINIS

Stroke menyebabakan berbagai deficit neurologic, bergantung pada lokasi lesi


(Pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan
jumlah aliran darah kolateral (skunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat
membaik sepenuhnya.

Kehilangan motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan


mengakibatkan kehilangan control volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron atas
melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor
paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.

Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralisis
dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon dalam ini muncul
kembali (biasanya dalam 48 jam), peningkatan tonus disertai dengan spastisitas (peningkatan
tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang terken dapat dilihat.

Kehilangan Komunikasi. Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah
bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan
komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut :

• Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit dimengerti yang
disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.

• Disfasia atau afsia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama ekspresif
atau reseptif.

• Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya),


seperti terlihat ketika mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
Afasia dan penatalaksanaan keperawatanya didiskusikan secara detail setelah proses
keperawatan ; pasien stroke.

Gangguan persepsi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk


menginterpretasikan sensasi. Stroke dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan
dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori.

Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer diantara mata
dan korteks visual. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang) dapat
terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau permanen. Sisi visual yang terkena
berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis.kepala pasien cenderung berpaling dari sisi tubuh
yang sakit dan cenderung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi tersebut; ini
disebut amorfosintesis. Pada keadaan ini, pasien tidak mampu melihat makanan pada
setengah nampan, dan hanya setengah ruangan yang terlihat. Penting untuk perawat secara
konstan mengingatkan pasien tentang sisi lain tubuhnya, mempertahankan kesejajaran
ekstremitas dan, bila mungkin, menempatkan ekstremitas dimana pasien mampu melihatnya.

Untuk mengkaji hemianopsia, pasien diminta untuk melihat wajah pemeriksa.


Jari pemeriksa ditempatkan kira-kira 30cm dari telinga pasien dari sisi tubuh yang tidak sakit
dan digerakan kea rah dalam ke arah lapang pandangnya. Pasien diminta menunjukan ketika
pertama kali mendeteksi satu atau kedua sisi menunjukan pangabaian visual dan
hemianopsia.

Penurunan lapang pandang ini harus diingat selama semua prosedur rehabilitasi.
Personel harus mendekati pasien pada sisi dimana persepsi visual utuh. Semua rangsang
visual ( jam, kalender, televisi) harus ditempatkan pada sisi ini. Pasien dapat diajarkan untuk
memalingkan kepalanya dalam arah lapang pandang defektif untuk mengkompensasi
kehilangan ini. Perawat ahrus membuat kontak mata dengan pasien dan menarik perhatiannya
pada posisi yang sakit dengan mendorong pasien untukmenggerakan kepala. Perawat juga
harus berdiri pada posisi yang mendorong pasien bergerak atau berpaling dalam upaya untuk
melihat siapa yang ada diruangan. Peningkatan pencahayaan alamiah atau buatan dalam
ruangan dan memberikan kaca mata penting dalam meningkatkan hubungan penglihatan.

Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih


objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Pasien mungkin
tidak dapat memakai tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokan pakaian ke
bagian tubuh. Untuk membantu pasien ini, perawat dapat mengambil langkah untuk mengatur
lingkungan dan menyingkirkan perabot karena pasien dengan masalah persepsi mudah
terdistraksi. Akan bermanfaat menganjurkan pasien memperlambat dan memberikan
pengingat lembut tentang dimana objek ditempatkan.
Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriopsesi (kemampuan untuk merasakan posisi
dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil,
dan auditorius.

Kerusakan Fungsi Kognitif dan efek Psikologik. Bila kerusakan telah terjadi
pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih
tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang pandang perhatian
terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien
ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi
dan mungkin diperberat oleh respons alamiah pasien terhadap penyakit katastrofik ini.
Masalah psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional,
bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.

Disfungsi kandung kemih . setelah stroke pasien mungkin mengalami


inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomuniksikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mrnggunakan urinal/bedpan karena kerusakan control
motorik dan postural. Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan
kerusakan sensasi dalam respon terhadap pengisian kandung kemih. Kadang-kadang control
sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selam periode ini, dilakukan kateterisasi
intermiten dengan teknik steril. Ketika tonus otot meningkat dan refleks tendon kembali,
tonus kandung kemih meningkat dan kapasitas kandung kemih dapat terjadi. Karena indera
kesadaran pasien kabur, inkontinensia urinarius menetap atau retensi urinarius mungkin
stmtomatik karena kerusakan otak bilateral. Inkontinensia ani dan urine yang berlanjut
menunjukan kerusakan neurologic yang luas.

8. KOMPLIKASI

Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran serebral darah


serebral, dan luasnya area cedera.

Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke


otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan
Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat
dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.

Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi
ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi
meluasnya area cedera.
Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium
atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke
otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran
darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian
thrombus local. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark.

b. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti


perdarahan atau obstruksi arteri.

c. Pungsi Lumbal

o Menunjukan adanya tekanan normal.

o Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.

d. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.

e. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.

f. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal.

10. TERAPI MEDIS

1. Neuroproteksi

Pada storke iskemik akut, dalam batas-batas waktu tertentu sebagian besar
cedera jaringan neuro dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari
apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif. Hipoternia adalah terapi neuroprotektif yang
sudah lama digunakan pada kasus trauma otak dan terus diteliti pada stroke. Cara kerja
metode ini adalah menurunkan aktivitas metaboisme dan tentu saja kebutuhan oksignen sel-
sel neuron. Dengan demikian neuron terlindung dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia
berkepanjangan eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamate yang biasanya
timbul setelah cedera sel neuron. The Cleveland Clinic telah meneliti pemakaian selimut
dingin dan mandi air es dalam 8 jam awitan gejala dan mempertahankan hipotermia ke suhu
89,6 oF selama 12 sampai 72 jam sementara pasien mendapat bantuan untuk
mempertahankan kehidupan. Selama rehabilitasi, pasien ayng diberi terapi hipotermik
cenderung mengalami lebih sedikit kecacatan (skala Rankin) dan daerah infark yang lebih
kecil dari pada kelompok control (Abou-Chebl et al.,2001).
Pendekatan lain untuk mempertahankan jaringan adalah pamakaian obat
neuroprotektif. Banyak riset stroke yang meneliti obat yang dapat menurunkan metabolism
neuron, mencegah pelepasan zat-zat toksik dari neuron yang rusak, atau memperkecil respons
hipereksitatorik yang merusak dari neuron-neuron di penumbra iskemik yang mengelilingi
daerah infark pada stroke. Meningkatkan pengetahuan tentang patofisiologi cedera sel otak
iskemik telah mendorong para peneliti untuk berfokus pada pengembangan antagonis
kalsium, antagonis glutamate, antioksidan, dan berbagai jenis obat neuroprotektif lainnya.
Tantangan dalam mengusahakan neuroproteksi pascacedera adalah menemukan obat yang
selektif untuk neuron iskemik, yaitu memiliki indeks terapeutik (dosis letal ÷ dosis
terapeutik) yang baik (Salazar, Fulmor, Srinivas, 2000). Berbagai agen telah diuji, termasuk
nitroksida (Leker, et al, 2000).suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan, cerebrolisin
(CERE) memiliki efek pada metabolism kalsium neuron dan juga memperlihatkan efek
neurotrofik (Ladurner, 2001). Saat ini terdapat beragam obat dan senyawa obat mencegah dan
mengobati secara akut stoke yang berada dalam berbagai tahap pengembangan. Karena sifat
cedera sel otak iskemik yang multidimensi dan sekuensial, maka kecil kemungkinannya ada
satu obat yang akan dapat melindungi secara total otak selama stroke; kemungkinan besar,
diperlukan kombinasi beberapa obat agar potensi pemulihan dapat diupayakan secara penuh.

2. Antikoagulasi

The European Stroke Initiative (2000) merekomendasikan bahwa antikoagulan


oral (INR 2,0 sampai 3,0) diindikasikan pada stroke yang disebabkan oleh fibrilasi atrium.
Diperlukan antikoagulasi dengan derajat yang lebih tinggi (INR 3,0 sampai 4,0) untuk pasien
stroke yang memiliki katup prostetik mekanis. Bagi pasien yang bukan merupakan kandidat
untuk terapi warfarin (Coumadin), maka dapat digunakan aspirin tersendiri atau dalam
kombinasi dengan dipiridamol sebagai terapi antitrombotik awal untuk profilaksis stroke.

3. Trombolisis Intravena

Satu-satunya yang telah disetujui oleh the US Food and Drugs Administration
(FDA) untuk terapi stroke iskemik akut adalah activator plasminogen jaringan (TPA) bentuk
rekombinan. Selelah disetujui pada bulan Juni 1996, TPA dapat digunakan untuk
menghindari cedera otak, dan angka kematian nasional yang telah disesuaikan dengan usia
untuk stroke berkurang 1,1 % sejak tahun 1995 (Peters at al., 1998). Keberhasilan ini
mendorong diintensifkannya upaya-upaya untuk menyuluh masyarakat dan petugas kesehatan
bahwa stroke adalah suatu kedaruratan dan bahwa gejala stroke akut harus diterapi sama
segeranya seperti luka tembak di kepala. Dengan demikian terapi dengan TPA intravena tetap
menjadi stndar keperawatan untuk stroke akut dalam tiga jam pertama setelah awitan gejala
(National Institute of Health [NIH], 1995).
Namun hanya 1 % sampai 2 % pasien yang saat ini mendapat terapi, biasanya karena mereka
datang terlambat ke unit gawat darurat di luar batas waktu tiga jam.

Risiko terbesar menggunakan terapi trombolitik adalah perdarahana


intraserebrum. Dengan demikian terapi harus diguakan hanya bagi pasien yang telah disaring
secara cermat dan yang tidak memenuhi satupun dari criteria eksklusif berikut :

v Gambaran perdarahan intrakranium berupa massa yang membesar pada CT

v Angiogram yang negative untuk adanya bekuan

v Peningkatan waktu protrombin/INR, yang mengisyaratkan kecenderungan perdarahan

v Adanya pembuluh dan luka yang belum sembuh dari trauma atau pembedahan yang baru
saja terjadi

v Tekanan darah diastolic yang sangat tinggi; hilangnya autoregulasi adalah suatu resiko
besar

Selain itu, pasien dengan riwayat baru-baru ini pernah menggunakan kokain
atau amfetamin sering disingkirkan karena risiko perdarahan dari pembuluh otak dibawah
tekanan tinggi.

4. Trombolisis Intraarteri

Pemakaian trombolisis intraarteri untuk pasien dengan stroke iskemik akut


sedang dalam penilaian, walaupun saat ini belum disetujui oleh FDA (Furlan et al., 1999).
Pasien ayng berisiko besar mengalami perdarahan akibat terapi ini adalah mereka yang skor
National Institute of Health Stroke Scale) (NIHSS)-nya tinggi, memerlukan waktu lebih lama
untuk rekanalisasi pembuluh, kadar glukosa darah yang lebih tinggi, dan hitung trombosit
yang rendah (Kidwell et al., 2001).

5. Terapi Perfusi

Serupa dengan upaya untuk memulihkan sirkulasi otak pada kasus vasospasme
saat pemulihan dari perdarahan subaraknoid, pernah diusahakan induksi hipertensi sebagai
usaha untuk meningkatkan tekanan darah arteri rata-rata sehingga perfusi otak dapat
meningkat (Hillis et al., 2001).

6. Pengendalian Edema dan Terapi Medis Umum

Edema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark serebrum iskemik,
terutama pada keterlibatan pembuluh-pembuluh besar di daerah arteria serebri media. Terapi
konservatif dengan membuat pasien sedikit dehidrasi, dengan natrium serum normal atau
sedikit meningkat.
11. PENATALAKSANAAN STROKE

Pencegahan Primer Stroke

Pendekatan pada pencegahan adalah mencegah dan mengobati faktor-faktor


resiko yang dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor resiko paling prevalen, dan telah
dibuktikan bahwa penurunan tekanan darah memiliki dampak yang sangat besar pada resiko
stroke. Akhir-akhir ini perhatian ditujukan kepada pentingnya hipertensi sistolik saja (isolated
systolic hypertension, ISH), yang sekarang dianggap sebagai faktor resiko utama untuk stroke
(Domanski et al., 1999). Diuktikan bahwa terapi aktif terhadap ISH secara bermakna
menurunkan resiko stroke, terutama pada pasien berusia lanjut. Pada sebuah uji klinis acak,
pengidap ISH yang mendapat penyekat saluran kalsium nitrendipin (Cardif, Nitrepin)
memperlihatkan penurunan 42% dalam stroke fatal dan nonfatal selama periode rata-rata 2
tahun (JNC VI, 1997;Staessen et al.,1997).

The European Stroke Initiative (ESI, 2000) telah mempublikasikan rekomendasi


untuk penatalaksanaan stroke yang mencerminkan praktik yang sekarang dijalankan.
Rekomendasi pencegahan primer yang paling terinci dan banyak diteliti adalah bahwa
antikoagulasi oral harus digunakan sebagai profilaksis primer terhadap semua pasien dengan
fibrilasi atrium yang beresiko tinggi mengalami stroke pengidap hipertensi, usia lebih dari 75
tahun, embolisme sistemik, atau berkurangnya fungsi ventrikel kiri. ESI merekomendasikan
INR sasaran sebesar 2,5 untuk antikoagulasi. INR sasaran lebih rendah (2,0) untuk pasien
berusia lebih dari 75 tahun yang beresiko tinggi mengalami perdarahan otak. Karena fibrilasi
atrium meningkatkan resiko mengalami stroke hamper lima kali lipat, maka antikoagulasi
padapopulasi ini sangatlah penting. Pendekatan pencegahan primer penting yang kedua
adalah mempertimbangkan endarterektomi karotis (CEA) pada pasien simtomatik dengan
bising karotis, terutama dengan stenosis 60% – 90%.

Penatalaksanaan diabetes yang baik merupakan faktor penting lain dalam


pencegahan stroke primer. Meningkatnya kadar gula darah secara berkepanjangan berkaitan
erat dengan disfungsi endotel yang pada gilirannya memicu terbentuknya aterosklerosis
(Laight et al., 1999). Selain itu, terdapat suatu komponen kelainan metabolisme pada diabetes
mellitus yang baru diketahui yang disebut sebagai keadaan protrombik, pada keadaan
protrombik ini terjadi peningkatan kadar inhibitor activator plasminogen 1 (plasminogen
activator inhibitor-1; PAI-1) (Bastard et al., 2000). Kecenderungan membentuk bekuan
abnormal semakin dipercepat oleh resistensi insulin sehingga kecendrungan mengalami
koagulasi intravascular semakin meningkat (Laakso, 1999).
Terdapat dua pendekatan utama pada pencegahan stroke : (1) strategi kesehatan
masyarakat atau populasi dan (2) strategi resiko tinggi. Strategi populasi didasarkan pada
peraturan dan program pendidikan yang bertujuan mengurangi prilaku beresiko pada seluruh
populasi. Strategi resiko tinggi mengarahkan upaya untuk orang-orang yang memiliki resiko
stroke di atas rata-rata. Agar hemat biaya, pendekatan resiko tinggi harus didasarkan pada
resiko basal (absolut) seseorang mengalami suatu kejadian dan bukan didasarkan pada usia
atau pertimbangan resiko relative yang berkaitan dengan satu faktor resiko. Pada semua
kelompok usia dan di semua kategori resiko, perempuan memiliki resiko absolute yang lebih
rendah daripada laki-laki.

Pencegahan Sekunder Stroke

Pencegahan sekunder mengacu pada strategi untuk mencegah kekambuhan


stroke. Pendekatan utama adalah mengendalikan hipertensi, CEA dan memakai obat
antigregat antitrombosit. Berbagai penilitian seperti the European Stroke Prevention Study of
antiplatelet antiaggregant drugs (Diener, 1996) dan banyak meta-analisis terhadap obat
inhibitor glikoprotein IIb / IIIa jelas memperlihatkan efektivitas obat antiagregasi trombosit
dalam mencegah kambuhnya stroke (Albers et al., 2001). Aggrenox adalah satu-satunya
kombinasi aspirin dan dipiridamol yang telah dibuktikan efektif untuk mencegah stroke
sekunder.

Anda mungkin juga menyukai