Stroke atau cedera serebrospinal (CVA), adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplay darah ke bagian otak. Sering ini adalah kulminasi
penyakit serebrovaskular selama beberapa tahun.
Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara
fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih yang dapat mengakibatkan
kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam tanpa penyebab lain kecuali
gangguan pembuluh darah otak (WHO, 1983)
2. EPIDEMIOLOGI STROKE
Stroke adalah penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Empat juga orang
Amerika mengalami defisit neurologik akibat stroke, dua per tiga dari defisit ini bersifat
sedang sampai parah (National Stroke Association,2001). Kemungkinan meninggal akibat
stroke inisial adalah 30% sampai 35%, dan kemungkinan kecacatan mayor pada yang selamat
adalah 35% sampai 40% (Wolf et al., 2000). Sekitar sepertiga dari semua pasien yang
selamat dari stroke akan mengalami stroke berikutnya dalam 5 tahun, 5% sampai 14% dari
mereka akan mengalami stroke ulangan dalam tahun pertama.
Sampai tahun 2001, laporan tentang insiden stroke hanya mencakup stroke
simtomatik, walaupun stroke “silent” diperkirakan 5 sampai 20 kali lebih sering terjadi,
menurut para peneliti di University of California di Los Angeles (Leary Saver, 2001).
Berprevalensi stroke silent, maka para peneliti tersebut memperkirakan bahwa insiden per
tahun stroke silent adalah lebih dari 11 juta orang.
3. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
a. Trombosis serebral
b. Embolisme serebral
c. Iskemia serebral
d. Haemorrhagi serebral
2) Haemorrhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi epidural, kecuali bahwa
hematoma subdural biasanya jembatan vena robek. Karenanya periode pembentukan
hematoma lebih lama dan menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin
mengalami haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau gejala.
3) Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi, tetapi
penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme pada area sirkulus Willisi dan
malformasi arteri vena kongenital pada otak.
4) Haemorrhagi intracerebral adalah perdarahan di substansi dalam otak paling umum pada
pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif karena
penyakit ini biasanya menyebabkan rupture pembuluh darah. Biasanya awitan tiba-tiba,
dengan sakit kepala berat. Bila haemorrhagi membesar, makin jelas deficit neurologik yang
terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda vital.
2. Hemoragia otak
3. Hematoma subdural
4. Abses otak
5. Hidrosefalus akut
a. Hipertensi
b. Diabetes Mellitus
c. Penyakit Jantung
Hemiparesis, disartri, kelumpuhan otot – otot mulut atau pipi (perot), kebutaan mendadak,
hemiparestesi dan afasia.
e. Hiperkolesterolemi
f. Infeksi
Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke adalah
tuberkulosis, malaria, lues, leptospirosis, dan in feksi cacing.
g. Obesitas
h. Merokok
Pembuluh darah otak yang tidak normal suatu saat akan pecah dan
menimbulkan perdarahan.
k. Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan kadar estrogen
tinggi)
m. Konsumsi alkohol
n. Lain – lain
Lanjut usia, penyakit paru – paru menahun, penyakit darah, asam urat yang
berlebihan, kombinasi berbagai faktor risiko secara teori.
5. PATOFISIOLOGI
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Thrombus dapat mengakibatkan iskemi jaringan otak yang disuplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini
menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya
tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh
embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septic infeksi akan
meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa
infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisme
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisme pecah atau
rupture.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus
perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan
yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-6 menit. Perubahan
ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena
gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak
akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi otak
serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade
iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena darah
dan sekitarnya tertekan lagi.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih dari
60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan
lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-36 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 c dan terdapat di
pons sudah berakibat fatal. (Muttaqin, Arif, 2008)
6. KLASIFIKASI
1. Stroke
Menurut Satyanegara (1998), gangguan peredaran darah otak atau stroke dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Non Haemorrhagi/Iskemik/Infark
dengan lama serangan sekitar 2 -15 menit sampai paling lama 24 jam.
7. MANIFESTASI KLINIS
Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralisis
dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon dalam ini muncul
kembali (biasanya dalam 48 jam), peningkatan tonus disertai dengan spastisitas (peningkatan
tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang terken dapat dilihat.
Kehilangan Komunikasi. Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah
bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan
komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut :
• Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit dimengerti yang
disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
• Disfasia atau afsia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama ekspresif
atau reseptif.
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer diantara mata
dan korteks visual. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang) dapat
terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau permanen. Sisi visual yang terkena
berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis.kepala pasien cenderung berpaling dari sisi tubuh
yang sakit dan cenderung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi tersebut; ini
disebut amorfosintesis. Pada keadaan ini, pasien tidak mampu melihat makanan pada
setengah nampan, dan hanya setengah ruangan yang terlihat. Penting untuk perawat secara
konstan mengingatkan pasien tentang sisi lain tubuhnya, mempertahankan kesejajaran
ekstremitas dan, bila mungkin, menempatkan ekstremitas dimana pasien mampu melihatnya.
Penurunan lapang pandang ini harus diingat selama semua prosedur rehabilitasi.
Personel harus mendekati pasien pada sisi dimana persepsi visual utuh. Semua rangsang
visual ( jam, kalender, televisi) harus ditempatkan pada sisi ini. Pasien dapat diajarkan untuk
memalingkan kepalanya dalam arah lapang pandang defektif untuk mengkompensasi
kehilangan ini. Perawat ahrus membuat kontak mata dengan pasien dan menarik perhatiannya
pada posisi yang sakit dengan mendorong pasien untukmenggerakan kepala. Perawat juga
harus berdiri pada posisi yang mendorong pasien bergerak atau berpaling dalam upaya untuk
melihat siapa yang ada diruangan. Peningkatan pencahayaan alamiah atau buatan dalam
ruangan dan memberikan kaca mata penting dalam meningkatkan hubungan penglihatan.
Kerusakan Fungsi Kognitif dan efek Psikologik. Bila kerusakan telah terjadi
pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih
tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang pandang perhatian
terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien
ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi
dan mungkin diperberat oleh respons alamiah pasien terhadap penyakit katastrofik ini.
Masalah psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional,
bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
8. KOMPLIKASI
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi
ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi
meluasnya area cedera.
Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium
atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke
otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran
darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian
thrombus local. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki.
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
c. Pungsi Lumbal
o Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
1. Neuroproteksi
Pada storke iskemik akut, dalam batas-batas waktu tertentu sebagian besar
cedera jaringan neuro dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari
apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif. Hipoternia adalah terapi neuroprotektif yang
sudah lama digunakan pada kasus trauma otak dan terus diteliti pada stroke. Cara kerja
metode ini adalah menurunkan aktivitas metaboisme dan tentu saja kebutuhan oksignen sel-
sel neuron. Dengan demikian neuron terlindung dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia
berkepanjangan eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamate yang biasanya
timbul setelah cedera sel neuron. The Cleveland Clinic telah meneliti pemakaian selimut
dingin dan mandi air es dalam 8 jam awitan gejala dan mempertahankan hipotermia ke suhu
89,6 oF selama 12 sampai 72 jam sementara pasien mendapat bantuan untuk
mempertahankan kehidupan. Selama rehabilitasi, pasien ayng diberi terapi hipotermik
cenderung mengalami lebih sedikit kecacatan (skala Rankin) dan daerah infark yang lebih
kecil dari pada kelompok control (Abou-Chebl et al.,2001).
Pendekatan lain untuk mempertahankan jaringan adalah pamakaian obat
neuroprotektif. Banyak riset stroke yang meneliti obat yang dapat menurunkan metabolism
neuron, mencegah pelepasan zat-zat toksik dari neuron yang rusak, atau memperkecil respons
hipereksitatorik yang merusak dari neuron-neuron di penumbra iskemik yang mengelilingi
daerah infark pada stroke. Meningkatkan pengetahuan tentang patofisiologi cedera sel otak
iskemik telah mendorong para peneliti untuk berfokus pada pengembangan antagonis
kalsium, antagonis glutamate, antioksidan, dan berbagai jenis obat neuroprotektif lainnya.
Tantangan dalam mengusahakan neuroproteksi pascacedera adalah menemukan obat yang
selektif untuk neuron iskemik, yaitu memiliki indeks terapeutik (dosis letal ÷ dosis
terapeutik) yang baik (Salazar, Fulmor, Srinivas, 2000). Berbagai agen telah diuji, termasuk
nitroksida (Leker, et al, 2000).suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan, cerebrolisin
(CERE) memiliki efek pada metabolism kalsium neuron dan juga memperlihatkan efek
neurotrofik (Ladurner, 2001). Saat ini terdapat beragam obat dan senyawa obat mencegah dan
mengobati secara akut stoke yang berada dalam berbagai tahap pengembangan. Karena sifat
cedera sel otak iskemik yang multidimensi dan sekuensial, maka kecil kemungkinannya ada
satu obat yang akan dapat melindungi secara total otak selama stroke; kemungkinan besar,
diperlukan kombinasi beberapa obat agar potensi pemulihan dapat diupayakan secara penuh.
2. Antikoagulasi
3. Trombolisis Intravena
Satu-satunya yang telah disetujui oleh the US Food and Drugs Administration
(FDA) untuk terapi stroke iskemik akut adalah activator plasminogen jaringan (TPA) bentuk
rekombinan. Selelah disetujui pada bulan Juni 1996, TPA dapat digunakan untuk
menghindari cedera otak, dan angka kematian nasional yang telah disesuaikan dengan usia
untuk stroke berkurang 1,1 % sejak tahun 1995 (Peters at al., 1998). Keberhasilan ini
mendorong diintensifkannya upaya-upaya untuk menyuluh masyarakat dan petugas kesehatan
bahwa stroke adalah suatu kedaruratan dan bahwa gejala stroke akut harus diterapi sama
segeranya seperti luka tembak di kepala. Dengan demikian terapi dengan TPA intravena tetap
menjadi stndar keperawatan untuk stroke akut dalam tiga jam pertama setelah awitan gejala
(National Institute of Health [NIH], 1995).
Namun hanya 1 % sampai 2 % pasien yang saat ini mendapat terapi, biasanya karena mereka
datang terlambat ke unit gawat darurat di luar batas waktu tiga jam.
v Adanya pembuluh dan luka yang belum sembuh dari trauma atau pembedahan yang baru
saja terjadi
v Tekanan darah diastolic yang sangat tinggi; hilangnya autoregulasi adalah suatu resiko
besar
Selain itu, pasien dengan riwayat baru-baru ini pernah menggunakan kokain
atau amfetamin sering disingkirkan karena risiko perdarahan dari pembuluh otak dibawah
tekanan tinggi.
4. Trombolisis Intraarteri
5. Terapi Perfusi
Serupa dengan upaya untuk memulihkan sirkulasi otak pada kasus vasospasme
saat pemulihan dari perdarahan subaraknoid, pernah diusahakan induksi hipertensi sebagai
usaha untuk meningkatkan tekanan darah arteri rata-rata sehingga perfusi otak dapat
meningkat (Hillis et al., 2001).
Edema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark serebrum iskemik,
terutama pada keterlibatan pembuluh-pembuluh besar di daerah arteria serebri media. Terapi
konservatif dengan membuat pasien sedikit dehidrasi, dengan natrium serum normal atau
sedikit meningkat.
11. PENATALAKSANAAN STROKE