Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan Indis adalah kebudayaan campuran yang di dukung oleh
segolongan masyarakat Hindia Belanda. Percampuran budaya tersebut
meliputi berbagai unsur kebudayaan. Pada masa awal kehadiran di
nusantara, peradaban Belanda mendominasi kebudayaan Indonesia.
Kemudian lambat laun menjadi pembauran. Tetapi, sebelum terjadi
percampuran budaya ini, peradaban Indonesia sudah tinggi. Masyarakat
suku Jawa cukup aktif dalam proses percampuran budaya ini, sehingga
budaya Jawa tidak lenyap. Peran kepribadian bangsa Jawa ikut menentukan
dalam memberi warna kebudayaan Indis termasuk peran para cendekiawan
dalam mengembangkan kebudayaan Indis sangat besar dalam pendidikan,
teknologi pertanian, dan transportasi, khususnya setelah politik liberal
dijalankan oleh pemerintahan kolonial. Dalam tahap berikutnya, kaum
terpelajar Indonesia mendapat pendidikan Eropa dalam melanjutkan
pendidikan di Belanda, menurut berbagai bidang kebudayaan Indis di
Indonesia.
Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa
kolonial Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu bangsa
Indonesia sendiri menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta
menyesuaikan diri sebagai aparat penguasa jajahan atau kolonial.
Kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan suatu fenomena historis
karena menghasilkan karya budaya yang ditentukan oleh berbagai faktor.
Disamping itu, munculnya kebudayaan Indis dapat pula dianggap sebagai
suatu kreatifitas kelompok atau segolongan masyarakat. Karya kolektif itu
muncul dari proses suatu golongan masyarakat menghadapi tantangan
(challenge). Studi tentang kebudayaan dan gaya hidup Indis di Jawa dengan
menekankan ilmu sejarah dan hubungannya dengan tujuh unsur universal
budaya belum banyak digunakan. Sebagai fenomena historis, gaya hidup
dan budaya Indis sangat erat hubungannya dengan faktor kolonial. Situasi
pemerintahan kolonial penguasa bergaya hidup, berbudaya, serta
membangun gedung dan rumah tempat tinggalnya menggunakan ciri-ciri

1
yang berbeda dengan rumah pribumi. Dan dalam makalah ini akan
dijelaskan mengenai kebudayaan Indis hasil akulturasi kebudayaan
masyarakat Hindia Belanda yang ditinjau dari segi historis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diperoleh
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah awal kehadiran orang Belanda di Jawa ?
2. Bagaimanakah kehidupan dan struktur masyarakat pendukung
kebudayaan Indis ?
3. Bagaimanakah kondisi lingkungan permukiman masyarakat Eropa,
Indis, dan Pribumi ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini yaitu sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui awal kehadiran orang Belanda di Jawa.
2. Untuk mengetahui kehidupan dan struktur masyarakat pendukung
kebudayaan Indis.
3. Untuk mengetahui kondisi lingkungan permukiman masyarakat Eropa,
Indis, dan Pribumi.

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Awal Kehadiran Orang Belanda


Kedatangan bangsa Barat membawa kebudayaannya sendiri. Sebelum
VOC runtuh, pembangunan kota Batavia dilaksanakan dengan meniru kota-
kota di negeri Belanda, dan diperkuat dengan perbentengan .J .P Coen yang
hadir di Batavia pada tahun 1619, mendirikan kota Batavia yang diawali
dengan membangun gudang penyimpanan barang dagang, yang kemudian di
perkuat dengan perbentengan. Dan denyut jantung kota batavia berlangsung
di dalam benteng. Para pejabat tinggi VOC membangun rumah
peristirahatan dan taman yang luas yang di sebut Landluis. Ciri landluis
adalah bangunannya di huni oleh banyak anggota keluarga, yang terdiri dari
keluarga inti dengan puluhan bahkan ratusan budak.
Akibat desakan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan iklim alam,
lingkungan, kekuasaan dan tuntutan hidup sesuai dengan daerah tropis
orang Belanda mendirikan rumah dan peralatan hidup sesuai dengan daerah
tropis sehingga untuk kepentingan ini mereka pun mengambil unsur budaya
setempat. Kebudayaan Indis sendiri adalah tujuan universal budaya yang
merupakan campuran unsur budaya Belanda dan pribumi. Kebudayaan ini
muncul dari sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia,
khususnya keluarga keturunan Eropa dan Pribumi. Aparat pemerintah
Belanda (Binenlandsbestuur) yang tersebar di pelosok tanah air pun
membuat berkembang percampuran gaya hidup Belanda dan Jawa.
Suburnya budaya Indis, pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup
membujang para pejabat Belanda. Saat itu, ada larangan membawa istri dan
mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda. Sehingga terjadilah
percampuran darah dan melahirkan anak campuran. Pada tahun 1870
Terusan Suez dibuka dan perempuan dari negeri Belanda makin banyak ke
Indonesia. Kehadiran mereka pun memperluas budaya.
Penggunaan istilah gaya Indis dalam pembahasan ini dikhususkan pada
kebudayaan dan gaya hidup masyarakat pendukungnya yang terbentuk
semasa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, khususnya
Jawa. Kata "Indis" bagi bangsa Indonesia pada waktu tertentu sangat hina,

3
biasanya digunakan untuk menyebut bangsa kelas rendah. Sebaliknya
sebagai nama suatu gaya seni budaya, kata "Indis" justru dapat dijadikan
pengingat yang menandai suatu babak zaman pengaruh budaya Eropa di
Indonesia yang hingga saat ini sangat mencolok dalam budaya Indonesia.
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa
menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda itu makin
akrab. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan kebudayaan Timur (Jawa), yang
masing-masing didukung oleh etnik berbeda dan mempunyai struktur sosial
yang berbeda pula, bercampur makin mendalam dan erat. Akibat pertemuan
kebudayaan tersebut, kebudayaan bangsa pribumi (Jawa) diperkaya dengan
kebudayaan Barat. Lambat laun pengaruh tersebut makin besar dan
mempengaruhi berbagai bidang dan unsur kebudayaan.
Kata Indis berasal dari kata “Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda,
yaitu nama daerah jajahan negeri Belanda diseberang lautan yang secara
geografis meliputi jajahan dikepulauan Nusantara yang disebut
Nederlandsch Osdt Indie, untuk membedakan dengan suatu wilayah
Suriname dan Curascao. Gaya Indis sebagai suatu hasil perkembangan
budaya campuran Belanda dan pribumi Jawa, menunjukkan adanya proses
historis.
Faktor penentu dalam perkembangan pola hidup gaya Indis ini antara
lain: adanya nasib dan penderitaan yang sama sebagai rakyat jajahan, karena
takdir dilahirkan dari campuran Eropa dan Jawa, keinginan untuk dapat
hidup lebih baik dari golongan masyarakat lain, karena mengabdi atau
bekerja pada penguasa jajahan dan beruntung karena mendapat pendidikan
yang tinggi dan jabatan tinggi. Gaya hidup dan bangunan rumah Indis pada
tingkat awal cenderung banyak bercirikan budaya Belanda. Hal ini terjadi
karena para pendatang bangda Belanda pada awal dating ke Indonesia
membawa kebudayaan murni dari negeri Belanda. Para penguasa colonial
yang datang pada masa awal kekuasaan Kompeni terdiri dari orang militer,
pedagang dan pejabat kompeni. Mereka datang tanpa membawa istri dan
anak-anak mereka. Baru kemudian dianggap aman, kehadiran wanita
Belanda dimungkinkan. Mereka mengadakan percampuran darah dengan

4
wanita pribumi dan menyesuaikan hidupnya dengan alam dan kehidupan
pribumi. Pengaruh efektif kebudayaan Belanda yang sangat besar lambat
laun makin berkurang, terutama setelah anak keturunnya dari hasil
perkawinan dengan bangsa Jawa makin banyak. Perkawinan diantara
mereka melahirkan masyarakat indo.
Kehidupan mewah dan boros akibat keberhasilan bidang ekonomi di
antaranya karena adanya segolongan masyarakat Indis di Batavia mengacu
pada kehidupan para petinggi di Weltevreden (istana Bogor). Sementara itu,
para pejabat bawahan di kota-kota besar Jawa hidup mewah dengan
mengacu pada kehidupan raja dan bangsawan Jawa. Tanda-tanda kebesaran
sebagai lambing status seperti payung, sejumlah pengiring, kehidupan
mewah dengan memiliki rumah besar dan sejumlah besar budak, ditiru dari
kehidupan dan gaya hidup keratin para raja dan bangsawan Jawa.
Gaya hidup golongan masyarakat pendukung Kebudayaan Indis
menunjukkan perbedaan menyolok dengan kelompok-kelompok sosial
lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisional Jawa. Tujuh
unsure universal budaya Indis seperti halnya tujuh unsure universal budaya
yang dimiliki semua bangsa, mendapatkan bentuknya yang berbeda dari
akar budaya Belanda, ataupun budaya pribumi Jawa. Kehidupan sosial dan
ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kehidupan sosial
ekonomi masyarakat pribumi pada umumnya. Salah satu faktor yang
menjadi petunjuk utama status seseorang ialah gaya hidupnya, yaitu berupa
berbagai tatacara, adat istiadat serta kebiasaan berkelakuan dan mental
sebagai cirri golongan sosial Indis. Keseluruhan ciri tersebut mempengaruhi
hidupnya sehari-hari karena semuanya dijiwai oleh pandangan hidup yang
berakar dari dua kebudayaan, yaitu Eropa dan Jawa.
Beberapa contoh unsur-unsur budaya yang meliputi tujuh universal
budaya Indis sebagai hasil karya budaya masyarakat Indis yang merupakan
pencerminan akulturasi kebudayaan Indonesia (khususnya Jawa) merambah
berbagai aspek kehidupan yang akhirnya mewarnai gaya hidup segolongan
masyarakat di Hindia Belanda. Contoh unsur universal pertama yaitu
bahasa. Bahasa merupakan hasil campuran orang-orang Belanda dengan

5
orang Jawa sebelum Perang Dunia II di Semarang, Jawa Tengah dan
sekelilingnnya, lazim disebut bahasa petjoek. Kehadiran bangsa Belanda di
Indonesia yang dilanjutkan dengan percampuran darah dan budaya, sebagai
manifestasinya juga timbul pribadi yang lahir dari darah campuran yang
juha menggunakan bahasa campuran (bahasa petjoek) yaitu bahasa yang
dipergunakan oleh golongan orang-orang miskin dan orang Belanda yang
tidak diakui. Bahasa petjoek ini juga dipergunakan di antara anak-anak indo
dan anak-anak dari golongan terpandang, tetapi tidak boleh diperhunakan di
rumah karena mereka harus menggunakan atau berbicara dengan
menggunakan bahasa Belanda sopan. Pengertian sopan mendapat tekanan
keras karena siapa yang tidak menggunakan bahasa Belanda dengan baik(
sopan), juga dianggap tidak beradap atau tidak sopan (hina). Bahasa petjoek
juga dianggap sebagai bahasa hina karena dipengaruhi oleh bahasa bangsa
kulit berwarna, sebagai orang dianggap berderajat rendah di dalam
kehidupan masyarakat Hindia Belanda.
Anak-anak yang ber ibu Jawa dan ber ayah Belanda, biasanya
menerima pengaruh budaya dari ibu sangat besar. Lingkungannya adalah
orang Jawa. Disamping itu, anak-anak tersebut setiap harinya juga
mendengar bahasa Belanda dari ayahnya, tetapi mereka mengucapkannya
dengan lidah Jawa. Sementara itu, sebagian anak-anak yang ibunya
berkebangsaan Eropa atau Indo, mereka pun sehari-hari juga mendengar
percakapan bahasa Jawa misalnya dari pembantu dan masyarakat
sekelilingnya, yang kemudian dicampur dengan bahasa Belanda lafal Jawa.
Didalam percakapan sehari-hari kata-kata “bahasa Belanda rusak”
dipergunakan, tetapi ironisnya dipergunakan juga oleh masyarakat Belanda
keturunan Indo Belanda, dan orang Jawa.
Ciri lain gaya hidup pada zaman itu, yang banyak dipengaruhi oleh
gaya Eropa ialah tata busana. Cara berpakaian kaum wanita Indis akibat
pengaruh para pembantu rumah tangga dan para nyai, mereka menggunakan
sarung dan kebaya. Kain dan kebaya juga dikenakan untuk berpakaian
sehari-hari dirumah oleh para wanita Eropa, sedangkan pria mengenakan
sarung dan baju takwo atau pakaian tidur (piyama) motif batik walaupun

6
dalam acara resmi pakaian Eropa yang mereka kenakan. Menarik pula
adalah kebiasaan makan sirih, pijat, kerokan dikalangan wanita keturunan
(Indo). Tetapo Lady Olivia Marianne Raffles mencoba menghapuskan
kebiasaan ini, seperti juga halnya berpakaian sarung dan kebaya di kalangan
nyonya-nyonya pejabat kolonial.
Kebudayaan indis mulai muncul di Hindia Belanda ketika bangsa
Belanda mulai berdatangan ke Hindia Belanda. Pada awalnya mereka hanya
bertujuan berdagang semata. Namun lambat-laun mereka mulai melakukan
penaklukan di wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1619, Jan Pieterzoon
Coen hadir di Batavia yang kemudian mendirikan kota Batavia yang diawali
denagn membangaun gudang penyimpanan barang dagangan (pakhuis),
yang kemudian diperkuat dengan perbentengan. Istana sekaligus benteng
dibangun di sekitar kali Ciliwung, kemudiaan berkembang ke daerah
pedalaman. Benteng merupakan tempat tinggal orang Belanda di Jawa,
Segala kegiatan perdagangan dan kehidupan sehari-hari berpusat di benteng,
Akibat desakan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan iklim, alam
sekitar, kekuasaan, dan tuntutan hidup sesuai dengan daerah tropis, mereka
mendirikan rumah dan peralatan hidup yang disesuaikan dengan keadaan
alam dan kehidupan sekeliling. Demi kepentingan ini, mereka mengambil
kebudayaan setempat. Kehadiran orang Belanda di Hindia Belanda yang
kemudian menjadi penguasa mempengaruhi gaya hidup, bangunan
tradisional, serta fungsi ruangannya.

B. Masyarakat Pendukung Kebudayaan Indis


a. Struktur Masyarakat Dan Kehidupannya
Sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20 muncul golongan masyarakat
sosial baru sebagai pendukung kebudayaan campuran (Belanda-Jawa) di
daerah penjajahan Hindia-Belanda. Ada 5 golongan masyarakat desa menurut
Burger yaitu pamongpraja bangsa Belanda, pegawai Indonesia baru,
pengusaha partekelir Eropa dan golongan akademisi Indonesia serta menengah
Indonesia. Golongan terakhir justru kurang dianggap oleh keempat golongan
di atas. Para bangsawan Jawa justru memperlakukan golongan ke 5 sebagai
wong cilik.

7
Golongan masyarakat kecuali wong cilik merupakan pendukung kuat
kebudayaan Indis. Masyarakat kolonial di Hindia Belanda memiliki struktur
yang bersifat semi feodal. Golongan intelektual pribumi atau keturunan,
golongan pegawai pemerintah kolonial dan golongan bangsawan adalah
kelompok utama pendukung kebudayaan Indis. Pemerintah kolonial, yang
memberi prioritas pada politik dan kepentingan modal, beranggapan bahwa
gaya hidup dan cara berfikir gaya indis adalah suatu yang tepat, baik sadar
maupun tidak. Anggapan tersebut menjadikan pemerintah kolonial lebih
memperhatikan kesejahteraan rakyat jajahan dengan politik Etis-nya.
Pada awalnya, yang menonjol adalah unsur yang bersifat subjektif, seperti
solidaritas dan ras kesatuan dalam kelompok, rasa senasib, kehendak bersama
baru gerakan itu berkembang sebagai gerakan sosial segolongan masyarakat
kolonial untuk menciptakan kelas sosial tersendiri didukung oleh pejabat
pemerintah kolonial khususnya oleh para priyayi baru dan golongan indo-
Eropa. Unsur-unsur esensial yang menonjol dalam perkembangannya antara
lain: penderitaan bersama sebagai golongan keturunan sebagai pejabat
bawahan pemerintah kolonial, sebagai golongan dalam tingkatan-tingkatan
masyarakat jajahan yang merasa berbeda dengan rakyat kebanyakan di jawa
dan sebagainya. Sedangkan faktor penentu perkembangan kebudayaan indis
antara lain: adanya nasib dan penderitaan yang sama sebagai rakyat
jajahan,karena takdir dilahirkan dari campuran Eropa dan Jawa, keinginan
untuk dapat hidup lebih baik dari golongan masyarakat yang lain,karena
pengabdian pada penguasa jajahan dan beruntung karena mendapat
pendidikan yang tinggi.
Ada beberapa aspek pendukung kebudayaan Indis yaitu:
1. Aspek kognitif
ini terkait dengan aktivitas dan meliputi berbagai objek, hal ini lebih
sulit di artikan karena justru gaya indis berpangakl pada dua akar
kebudayaan yaitu Belanda dan Jawa yang sangat berbeda. Untuk
memahami perlu diketahui adanya pengertian fenomena kekuasaan
kolonial dengan segala aspek dan proposinya. Misal rumah bagi orang

8
Jawa adalah model alam mikrokosmos menurut konsep pikiran Jawa
dan sebagainya, tidak ada pada alam pikiran Eropa.
2. Aspek Normatif
Aspek ini menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal yang
berharga,yang menjadi tuntunan dan tujuan untuk memperoleh hidup
yang lebih baik di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Contohnya
rumah masih bergaya jawa, seseorang priyayi pejabat kolonial akan
sangat sulit merundingkan sesuatu yang bersifat rahasia secara empat
mata di ruang pendapa,sedangkan tamu-tamu lainnya ikut hadir
mengelilinginya.
3. Aspek afektif
Aspek ini yaitu tindakan kelompok yang menunjukan situasi. Aspek ini
dikaitkan dengan aspek kehidupan berumah tangga terutama komposisi
sebuah keluarga yang tinggal dalam sebuah rumah.
4. Komposisi social
Orang keturunan campuran sadar bahwa kebudayaan Belanda perlu
tetap di unggulkan karena memang ingin menjaga martabat sebagai
bangsa penguasa.Sementara itu,terjadi penyesuaian dengan iklim dan
budaya Pribumi setempat yang akhirnya menumbuhkan budaya
perpaduan yang di sebut indis. Pemahaman budaya Belanda tidak saja
diterima dari anak keturunan orang belanda yang sudah tinggal lama di
Jawa tetapi juga didapat langsung dari negeri Belanda. Kebudayaan
indis memiliki ciri gaya hidup sebagai golongan masyarakat ,yaitu
memiliki kompleksitas simbol yang menunjukan karakteristik priyayi.

C. Kebudayaan Indis
1. Bahasa
Masyarakat pendukung kebudayaan Indis memunculkan
bahasa Pidgin atau campuran, yang umumnya dipergunakan oleh keturunan
Belanda dengan ibu Jawa atau keturunan Cina dan Timur Asing. Secara
etimologis, besar kemungkinanistilah bahasa Ingris untuk pijin diambil dari
kata benda business yang berarti perdagangan. Pada awalnya kata ini
merupakan ragam yang penting dalam bahasa bantu dalam sebuah kontak

9
bahasa, karena pengaruh substratum Cina, kemungkinan berkembang kata
pijin. Bahasa pijin ini muncul umumnya karena situasi keadaan kebahasaan
yang darurat, seperti adanya Ekspansi kolonialisme dan imperialisme Eropa
dan perdagangan yang terjadi menyebabkan munculnya kebutuhan untuk
berkomunikasi diantara bangsa yang berbedayang tidak saling mengenal
bahasa masing-masing, dikarenakan adanya dorongan untuk saling mengerti
untuk mempermudah perdagangan tersebut maka masing-masing bangsa
mempermudah bahasanya dalam bidang tatabahasa dan kosakatanya agar dapat
berkomunikasi dengan baik. Hal ini lama-kelamaan muncullah suatu bahasa
campuran, maka sistem pijin ini dapat diartikan sebagai berikut : Bahasa pijin
akan muncul, bila dua penbicara atau lebih mempergunakan sistem bahasa
yang timbul akibat adanya situasi kebahasaan darurat sebagai media
komunikasi. Struktur sistem bahasa tersebut disederhanakan dan kosakatanya
sangan dibatasi.
Bahasa tersebut akan disebut bahasa pijin, jika bahasa tersebut untuk
kedua belah pihak bukan merupakan bahasa ibu. Bahasa pijin yang
digunakanoleh masyarakat Indis ini adalah bahasa percakapan
bahasa Petjoek (menggunakan bahasa Belanda, tapi kadang basahanya susah
dipahami oleh orang Belanda dan tata bahasanya pun lebih dekat ke bahasa
Jawa). Dalam penggunaan, baik lisan maupun tertulis terjadi bahasa campuran
misal bahasa Jawa, Melayu dan Belanda sehingga timbul ‘gaya’ bahasa baru.
2. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
Yang dimaksud dalam kelengkapan hidup di sini ialah semua hasil cipta
yang digunakan untuk melindungi sarana hidupsehingga memudahkan dan
mengenakkan hidup manusia.karya tersebut dapat beruparumah tempat tinggal
(disebut bangunan Indische Landhuizen), kelengkapan rumah tangga (seperti:
meja, kursi dan peralatan lainnya), pakaian, alat senjata, alat produksi,
transportasi dan lain sebagainya. Misalnya pakaian, rumah, senjata, alat
transportasi, alat produksi dan lain-lain.
3. Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
Munculnya mata pencaharian baru bagi masyarakat pribumi seperti
pekerjaan administrasi, militer dan swasta seperti: prajurit sewaan, pejabat

10
administrasi pemerintahan dan tenaga kasar. Adanya jenis pekerjaan baru
misal prajurit sewaan, tenaga administrasi pemerintah Belanda, tenaga
kasar, perkebunan dan lain-lain. Timbul makanan jenis baru misal nasi
goreng, bistik dan lain-lain.
4. Pendidikan dan pengajaran, yaitu Munculnya sekolah modern
5. Sistem kemasyarakatan
Misalnya organisasi politik, sistem kekerabatan, sistem hukum, sistem
perkawinan, sistem pendidikan dan lain-lain
6. Kesenian
Meliputi seni rupa (misalnya lukisan), seni sastra dan pertunjukan
(misalnya komedi stambul), seni suara dan sebagainya.
7. Ilmu pengetahuan
Timbulnya pembudidayaan alam (misal perkebunan kopi, teh), adanya
hasil penelitian tentang flora dan fauna oleh orang-orang Belanda/Eropa.
8. Religi
Religi berupa kristen khatolik yang dipadukan dengan unsur-unsur
kebudayaan Jawa.Misal bangunan gedung gereja memakai unsur-unsur
budaya Jawa, penggunaan gamelan dalam ibadat, dan lain-lain.
Kebudayaan Indis telah menghasilkan pengaruh negatif dan positif
dalam kebudayaan Indonesia pada masa itu. Pengaruh negatif yaitu dengan
menampilkan adanya bangunan mewah yang membedakan dengan
masyarakat biasa dan adanya perbudakan. Dan pengaruh positif yaitu dengan
adanya budaya disiplin dan mejaga kebersihan.
Meskipun kebudayaan Indis lahir dari masa pemerintahan Belanda,
kebudayaan Indis tetap merupakan salah satu kebudayaan yang ada di
Indonesia, seperti kebudayaan Peranakan Tionghoa atau Peranakan Arab.
Dan, semestinya kita bisa mengambil aspek positif dari kebudayaan Indis dan
tetap melestarikan segi positif kebudayaan Indis sebagai bagian dari
kebudayaan di Indonesia.

D. Gaya Hidup Masyarakat Indis


Konsep Indis disini hanya terbatas pada ruang lingkup kebudayaan
Jawa. Yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa ( Belanda) dengan

11
Jawa waktu sejak abad ke-18 sampai medio abad ke-20. Kebudayaan Indis di
bawah naungan VOC yang berlanjut sampai dengan masa pemerintahan
Hindia Belanda, dan semakin berkembang dan berakhir dengan kehadiran
balatentara Jepang pada 1942.Gaya hidup golongan masyarakat Indis
menunjukkan perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok social
lainny, terutama dengan kelompok masyarakat jawa.
Salah satu factor yang menjadi petunjuk utama status seseorang ialah
gaya hidupnya, yaitu berupa berbagai tata cara, adat-istiadat serta kebiasaan
berprilaku dan mental sebagai ciri golongan social Indis. Gambaran gaya
hidup masyarakat indis dapat dipahami lewat berbagai berita tertulis berupa
karya dari musafir, rohaniawan, peneliti alam, pejabat pemerintahan jajahan,
termasuk karya sastera Indis. Selain itu terdapat karya seniman berupa sketsa
dan seni lukis. Rekaman berita tentanggaya hidup indis dari lapisan atas
banyak didapatkan dari berita-berita tersebut dan sebaliknya, berita tentang
gaya hidup masyarakat indis di kalangan bawah atau abdi VOC sangat
sedikit. Demikian halnya dengan berita peranan permpuan indis dari berbagai
lapisan sangat sulit didapatkan.
Kehidpan masyarakat Hindia Belanda pada umumnya terpisah dalam
kelompok-kelompok dengan batas-batas yang diatur ketat.Yaitu warna kulit,
kelas social serta asal keturunan.Namun , ada pengecualian dalam lapangan
ekonomi yaitu ada kelas majikan yang berkulit putih dan pekerja atau budak
berkulit berwarna. Selain itu dalam lapangan kerja seks, lazim para pejabat
pemerintah atau administrator perkebunan memiliki dan memelihara nyai
atau gundik yang dapat mereka ambil dari anak atau istri kuli atau dari
kampong orang pribumi.
a. Rumah Tangga dan Rumah Tinggal Indis
Pada awal kedatangan Belanda di jawa rumah tempat tinggal orang
eropa di dalam kastil Batavia mempunyai susunan tersendiri yang mirip
dengan negeri asalnya.Yang mana pada awalnya jendela-jendela
rumahBelandamenggunakan anyaman rotan halus sebagai penutup bukaan
daun jendela dengan maksu dapat mengatasi gangguan sinar matahari hujan
dan angin.Jenela dengan anyaman rotan kemudian tidak lagi menjadi tren,

12
namun masih digunakan untuk ruangan kamar belakang contohnya kamar
mandi.Akhirnya jendela dengan kaca yang menjadi pilihan meskipun sangat
mahal dan tren itu terjadi sekitar tahun 1750. Mereka mulai menggunakan
jendela-jendela megah yang lebar dan tinggi yang keseluruhanya terdiri atas
petak-petak gelas.daun jendela atau pintu kayu ada yang dipahat krawangun
( a’jour relief) pada bagian sisi luarya.
b. Kelengkapan Rumah Tinggal
Dari peninggalan-peninggalan kuno Boedel Beschrivingen, riuang tengah
yang terletak di di belakang ruang depan disebut voorhuis. Pada diinding ruang
ini digantung lukisan-lukisan sebagai hiasan. Di samping piring-piring hias dan
jambangan porselen. Di ruang ini juga Pada masa pemerintahan belanda Zaal
( ruang ) mendapat perhatian khusus berupa hiasan ukir yang mewah pada
tangga pintu dan jendela dapat digunakan sebagai petunjuk tentang siempunya
rumah dalam susunan masyarakat colonial. Pada rumah yang berukuran besar
terdapat bangunan-bangunan samping yang digunakan untuk gudang, tempat
menyimpan kayu bakar, tendon airminum, beras, minyak dan sebagainya.
Biasanya bangunan rumah samping ( Bijgebouwen) bertingkat, ruang atas yang
biasanya digunakan untuk tempat tinggal budak.
Ricolering atau saluran pembuangan limbah juga sulit diadakan. Rumah-
rumah warga berukuran kecil hanya memiliki sebuah gemackstatoel ( wc).
Kemegahan rumah tinggal masyarakat indis tersebut lebih diperkaya agi
dengan adanya perabotan rumah ( meubilair_yang penuh hiasan yang dipelitur
warna hita, serta di cat dengan warna merah nyala, coklat, hijau atau emas.
Warna-warna sangat itu jelas sangat kontras dengan warna diding yg halus, dan
diperkaya lagi dengan hiasan lepas berupa barang-barang porselen , cermin-
cermin besar serta tempat-tempat lilin yang terukir, cat kusen pintu dan
jenndela yang keemasan sangat indah dipandang pada masa itu.
c. Kehidupan keluarga sehari-hari
Sudah sejak lama keturunan belanda membuat tempat untuk mandi (
badhuisje) di tepi sungai. Misalnya di rumah Schrueder terdapat spellhuis dan
dibawahnya ( arah hilir sungai ) terdapat washbok yaitu bilik mencuci dan
mandi yang terbuat daei bamboo dan batu bata yang disemen. Lebih terhormat

13
lagi apabila orang memiliki tempat mandi seperti itu yang terletak di dalam
rumah.Sebagai kebiasaan suami istri pejabat VOC duduk-duduk di serambi
belakang sambil minum kopi atau the dengan masih mengenakan pakaian
tidur.Laki-laki mengenakan baju takwo dengan celana atau sarung batik
sedangkan perempuan mengenakan sarung batik dan baju tipis berwarna putih
berhaskan renadah putih.
b. Daur Hidup dan gaya hidup mewah
Daur hidup atau life cycle adalah suatu rangkaian dalam perkembangan
kehidupan seseorang untuk kembali ke status aslinya dari satu tingkat ke
tingkat lainnya.Yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian yang lazim
dirayakan dengan upacara.Yang mana upacara tersebut memiliki tujan
masing-masing, pada masa kejayaan VOC dan Hindia Belanda jutru
peristiwa kematian yang dapat perhatian istimewa biasanya diringi berbagai
upacara mewah yang memerlukan biaya mahal. Adapun upacara-upacara
tersebut yaitu :

1. Upacara Kelahiran
Sebelum melahirkan keluarga indis yang mapu sudah menyiapkan baju
anak-anak, ranjang untuk si bayi, kelengkapan persalinan dan ruang tidur
bagi si bayi. Upacara penting setelah kelahiran adalah pemberian nama dan
upacara pembabtisan di gereja.
2. Upacara pernikahan
Pernikahan memerlukan biaya yang lebih besar disbanding upacara
kelahiran. Kemewahan pernikahan ditentukan oleh kekayaan , tingkat
jabatan,serta keberuntungan kedua mempelai.Malam sebelum hari
perkawinan , mahkota dari pihak laki-laki dibawa ke rumah pengantin
perempuan diiringi music dengan lagu-lagu khusus pernikahan. Pada pagi
harinya mahkota itu diletakkan di depan pintu rumah pengantin yg sudah
dihias dengan bagus ang diadakan pada hari minggu sesudah kebaktian
gereja. Pendeta menyampaikan pemberkatan pernikahan di depan tamu
agung. Para tamu hadir dengan berpakaian bagus dan mahl.pengantin laki-
laki bersama temannya dating kerumah mempelai mengendarai kereta
yang dihias bagus. Setelah menabukan bunga upacara perkawinan diakhiri

14
dengan dansa dan makan minum.Kedua mempelai masuk ke kamar tidur
yang sudah di hasi bagus.
3. Upacara kematian
Upacara kematian untuk pejabat VOC atau pemerintah belanda
memerlukan biaya yang banyak. Serta memerlukan pengerahan tenaga dan
pemikiran dari berbagai pihak mulai dari keluarga, rohaniwan, pejabat
sipil, militer sampai serdadu pemikul peti jenazah . pada masa kejayaan
VOC dan pemerintahan belanda jutru ini dijadikan sebagai ajang pamer
kemewahan, kebesaran. Bagi masyarakat Batavia adalah upacara yan
penuh gengs dan kemewahan.Di tempat ini para tetangga, saudara dan
handai taulan mengenakan baju hiam, para perempuan mengenakan baju
warna hitam dan membawa kipas duka.Peti jenazah dihias dengan sangat
bagus berupa hiasan ukiran dan tulisan indah berupa pujian-pujian. Yang
menarik mengenai nisan yaitu adanya ukiran gaya seni hias daritimur yang
sangat indah

E. Lingkungan Permukiman Masyarakat Eropa, Indis, Dan Pribumi

a. Sumber-sumbertentang pola lingkungan permukiman


Terdapat peninggalan bangunan yang hingga saat ini masih ada dan
digunakan sebagai tempat tinggal . sumber dapat dignakan sbg tempatlain.
Sebagai sumber berita ialah hasil karya berupa lukisan, sketsa, grafer buah,
karya musafir.
1. Berita dari karya tulisan
Menggunakan sumber berupa babad, serat atau cerita perjalanan tersebut
memerlukan ketelitian dan sikap kritis dalam memahaminyakarena kitab-
kitab tersebut memang tidak dimaksudkan sebagai karya sejarah, tetapi
lebih bersifat karya sastera.
2. Sumber tertulis dari Bangsa eropa
Sumber tertulis tentang pulau jawa yang berupa cerita laporan perjalanan
sudah ditulis orang eropa sebelum abad ke 17. Adapun yang khusus ditulis
pada abad ke 18-19 cukup banyak antara lain berupa rapporten, missiven,
memories van overgave ( naskah serah terima jabatan ), daaghregisters (

15
catatan haria kompeni di Batavia ), dan Contracten ( naskah-naskah
perjanjian antara kompeni dengan kepala-kepala bangsa pribumi.
Kebanyakan tulisan itu masih berupa manuskrip yang tersimpan di gedung
arsip di Indonesia dan Belanda.Adapun salah satu catatan Van ritter 1851
menulis buku tentang perbudakan yang kemudian dihapus beberapa tahun
kemudia. Juga ditulisnya tentang pakaian para tokoh penting eropa, jenis
makanan, pakaian penduduk pribumi ( selop, sarung dan sebagainya) serta
tentang didirikannya rumah-rumah landhuizen dengan perabotan dan gaya
hidupnya.
3. Berita Visual
Berita visual berasal dari karya lukisan, sketsa, grafis, dan potret
pengambaran kota, pemukiman perumahan lewat lukisan para pelukis eropa.
Lukisan grafis yaitu suatu lukisan yang dibuat dengn teknik Encreux relief
yang dipahatkan pada lempengan tembaga atau perunggu yang sangat
popular.Contoh pelukis yang terkenal membuat lukisan kota-kota pantai
seperti Batavia dan Jepara yaitu J. rach dan Heydt.
4. Karya berupa fotografi
Karya berupa fotografi sangat banyak tersimpan di gedung KITLV Leiden
di Belanda dan berbagai museum di Belanda.Menurut Gedung Arsip
Nasional yang di Jakarta tidak kurang dari 1.000.600 foto dari masa
sebelum perang dunia II. Adapun hasil lukisan mereka terutama digunakan
untuk kelengkapan laporan kepada Heeren Zeventien di Belanda. Ada
lukisan yang dimaksudkan sebagai kenang-kenangan hadiah keluarga, di
perjual belikan .objek lukisan adalah keadaan negeri-negeri yang
dikunjungi, seperti kota-kota pantai , kehidupan masyarakat adat istiadat dan
sebagainya. Dan ada juga pelukis yang mengikuti ekspedisi ilmu
pengetahuan tersebut dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan
lukisan berupa jenis tumbuh-tumbuhan, batu batuan, binatang, gunung api
dan sebagainya. Adapun ditemukannya teknik memotret maka penulisan
tentang kota pemukiman menjadi lebih tampak jelas seperti apa adanya.
Sebuah terbitan dari De Sociaal Technische Committee Van De Veereniging
Van Locale Belangen ang berjudul Het Indische Stadsbeeld, voorheen en

16
thans, uitg stichting technisch tijdschrift 1939 memuat ulasan pakar seni
bangunan di Hindia Belanda adapun foto-foto yang disertakan dalam kitab
ini juga mengemukakan perbandingan suatu foto dari bangunan kota-kota
lama setelah mengalami renovasi.

b. Mengamati seni bangunan rumah dari hasil karya seni lukis, pahat, foto
dan karya seni
Melalui karya seni foto, gravir, relief serta adanya alat pemotret dengan
teknik memotret yang sempurna serta karya sastera kini orang dapat
mengetahui hasil seni bangunan rumah dan perabotan rumah milik bangsa
Belanda dan keturunannya di Indonesia. Adapun salah satu pelukis belanda
J. Rach banyak melukis bangunan kota, benteng beserta orang-orang yang
terkemuka di Batavia. Salah satu rumah pembesar yang I lukisnya yaitu
Willem Arnold alting ( direktur jenderal 1771-1780) rumah iindilukis dari
arah depan, bekang dan samping. Tentang ketajaman dan ketelitian Rach
dalam melukis bangunan-bangunan tersebut dapat diamati dalam lukisan
pintu gerbang dari arah dalam 9 lukisan dilihat dari utara). Pada pintu gerbang
tersebut terdapat lonceng jam yang menunjukkan pukul 06.10 sore. Baying-
bayang orang dilukisannyatampak panjangf dan tinggi ( sesuai letak matahari
di ufuk barat ), paying-payung yang sudah ditutup arena tidak panas lagi, dan
keranjang-keranjang yang dipikul oleh orang-orang yang lalu lalang tampak
kosong dan lainnya.
c. Pola pemukiman masyarakat Indis di kota provinsi dan kabupaten di
jawa
Sejak awal pembentukannya sebagai kota Batavia dijadikan pusat
penguasa colonial di Indonesia. Konfigurasi penduduk beserta wilayah
permukimannya sudah majemuk. Keijakan colonial menerapkan wilayah-
wilayah tertentu di pakai untuk pemukiman penduduk sesuai asal daerahnya
.pengaturan wilayah berdasarkan kelompok etnis tertentu . pengaturan
wilayah dengan kelompok permukimannya dilaksanakan melalui kepala-
kepala kelompok suku bangsa yang diangkat oleh pemerintah colonial.
Mereka diberi jabatan sebagai komandant, luitnant, kapitien atau
major.Kebudayaan indis berkembang pada abad ke 18-19 dan berpusat di

17
wilayah-wilayah tanah partikelir dan di lingkungan indischelandhuizen.Pada
permulaan abad ke 20 kebudayaan ini bergeser kea rah urban life seiring
dengan menghilangnya pusat-pusat kehidupan tersebut. Adapun kota-kota
besar colonial yaitu Batavia, Semarang, Surabaya dan bandung.
Dalam kunjungannya di berbagai kota pada tahun 1923, Berlage
menyebutkan kota semarang adalah kota terbagus dan terbersih di pulau jawa.
Merpakan perluasan daerah karya dari plate dan Kaarsten. Sementara itu H.
Maclaine Pot , kawan kaarsten juga menaruh minat pada arsitektur Jawa.
Mengakui bahwa bangunan di kota solo menerima pengaruh belanda dan
masyarakat solo dapat menerimanya. Sedangkan Yogyakarta lebih berpegang
teguh pada keaslian budaya tradisional.Hal ini berkaitan dengan perjanjian
Giyanti 1755 bahwa Yogyakarta akan meneruskan tradisi sedangkan solo
akan mengembangkan diri ke gaya baru.
Pengaruh belanda dan mahzab-mahzab eropa berhasil memperkuat dan
memberi alat untuk menanggukangi kekurangan-kekurangan dalam cara
membangun kota atau rumah, dan membantu dalam hal memberikan petunjuk
tentang konstruksi bangunan, organisasi dan metode dalam membangun
rumah bagi masyarakat jawa. Penguasa Belanda memberi saran-salan
penggunaan teknik konstruksi bangunan, kebersihan, tata letak dan garis
sepadan, dan sebagainya. Perkembangan ekonomi pada akhir abad ke 19
yang di tobang oleh pembanguan komunikasi, transportasi , edukasi dan
biroksai kota makin jadi ramai dan berpenduduk padat. Sesuai dengan
perkembangan ekonomi, pengajaran dan pendidikan pada abad ke 19 jumlah
gedung sekolah semakin banyak .dengandibangunnya kereta api 1870 timbul
pula keramaian di bagian kota kabupaten yang dilewati jalur kereta api, serta
bengkel-bengkel dibangun pula rumah jabatan kereta api.
Maclaine Pont berpendapat bahwa pada awal abad ke 20 bangunan-
bangunan kota-kota di jawa sudah banyak menerima pengaruh seni
bangunan Belanda. Permukiman dan tempat tinggal penduduk di kepulauan
Hindia Belanda terbagi sesuai golongan kebangsaannya yang mana ada 4
golongan kebangsaan yaitu :
1. Anak negeri atau bangsa pribumi.

18
2. Orang yang disamakan dengan anak negeri (sesuai dengan sjart
pemerintah hindia Belanda pasal 109) yaitu orang cina, arab, koja dan
keeling.
3. Orang eropa.
4. Orang yang disamakan dengan bangsa Eropa (Gelijk Gesteld).
Tata pemukiman penduduk kota pada abad ke 19 di jawa menunjukkan
secara jelas tentang adanya macam-macam golongan masyarakat colonial
yaitu :
1. Pertama, dibagian kota tertentu terdapat kompleks rumah beratap tinggi,
ini adalah permukiman golongan Eropa atau golongan elit pribumi.
2. Daerah Pecinan merupakan daerah padat penduduk, rumahnya
beratapkan pelana lengkung, bagian muka rumah digunakan untuk
berjualan, usaha pertokoan atau pelayanan lain lazimnya kompleks
pecinan berada di dekat pasar kota di tepi jalan raya.
3. Ketiga, kampong adalah tempat tinggal khusus bagi golongan pribumi
biasanya rumahnya beratap pelana ijuk, daun rubia sejenis palem atau
genting pada abad ke 19. Biasanya rumah-rumah pribumi sangat kontras
dengan tempat permukiman suku-suku lainnya baik dilihat dari segi
kualitas, baha bangunan, sanitasi, maupun lingkungannya.

d. Upaya Mencukupi Kebutuhan Perumahan Kota


Rumah orang eropa hang berukuran bear sudah mendapat prioritas
dengan penyediaan lahan yang ditentukan oleh undang-undang .namun
demikian pembangunan rumah eropa yang besar pada akhir kekuasaan Hindia
belanda sudah sangat di batasi apabila dibandingkan pada masa kekuasaan
VOC. Pada abad ke 19 bangunan rumah indis memiliki perkarangan yang
sangat luas dengan kamar-kamar yang banyak dan luas lengkap dengan
pavilion dengan bangunan-bangunan samping bijgebouw yg sangat
luas.Bangunan demikian sangat sesuai dengan keadaan alam sekeliling yang
berhawa panas.
Pada 1930 perkarangan dan ukuran rumah dibuat sesuai dengan
keperluan , dan dengan pertimbangan :
a) Makin mahalnya harga tanah dan material.

19
b) Orang mulai menyukai hal-hal yang praktis dan memenuhi segala
keperluan dan selera golongan masyarakat indis dengan gaya Eropa.
c) Susunan keluarga inti dianggap lebih penting sehingga mempersempit
keluarga di luar keluarga inti.
d) Karena keluarga indis kebanyakan adalah pegawai pemerintah yang
kemungkinan besar sering dipindah ke lain kota. Atau karena promoosi
jabatan dan terbukaya kenaikan karier. Akibatnya orang lebih suka
membuat rumah sesuai dengan kebutuhan.
maka oleh itu dibuatlah perusahaan yang mendirikan perumahan
berukuran keicil untuk disewakan dan untuk menyimpan modal kekayaan
yang pasti menguntungkan. Cara ini dipilih karena lebih baik dibandingkan
dengan mendirikan rumah-rumah berukuran besar dan luas yang pada waktu
itu sewanya justru sangat menurun. Contohnya di bandung diterapkan di
daerah pemukiman Cipahit. Cara ini mendatangkan hasil sangat bagus.
Memang membangun rumah di dalam kota sudah sejak dulu dirasakan sulit
dan mahal tetapi di pingiran kota hasilnya sangat bagus. Rumah
dikelompokkan sesuai dengan harga, bentuk atau tipe dan diatur sesuai
dengan tata ruang kota.

e. Penggunaan unsur seni tradisional dalam rumah gaya indis


Upaya untuk mewujudkan penggunaan unsur-unsur seni bangunan
tradisional khususnya Jawa telah dilontarkan oleh seorang penulis Reflector
dalam Indish Bouwkundig Tijdschrift 1907 tampak adanya kecendrungan
kelompok pakar ahli bangunan Belanda yang menginginkan penggunaan
unsur budaya tradisional Jawa dalam penciptaan seni bangunan. Adapun
Berlage dalam ceramahnya di vergadering Van het Koninklijke Institut van
Ingeniurs En Van De Vereeniging Van Delft Ingenieurs 8 april
1924menyebutkan yang berjudul “ De Europeesche Bouwkunst Op Java”
ia menyebutkan terdapat 2 kelompok pendapat tentang penggunaan atau
pemakaian seni budaya dalam bangunan yaitu : Tentang pandangan
kelompok pertama yang mengutamakan peradaban dari belanda, ia
mengutip pendapat wolf Schoemaker yang berpendapat bahwa gaya indo-
eropa hanya akan terjadi oleh adanya percampuran yang mendalam antara

20
kedua unsur Jawa dan Eropa baik untuk unsur konstruksi maupub bentuk
seninya. Pendapat kelompok kedua yang menginginkan perencanaan
penggunaan seni bangunan Jawa lebih besar setelah “ Hindia-Belanda dapat
berdiri sendiri” kalimat itu dikutip oleh berlage dari pendapat Koleganya
orang Jawa Soerjowinoto. Inti pendapatnya ialah, seni Jawa juga
mempunyai karakteristik sendiri seperti halnya seni bangsa barat atau
negeri-negeri di barat lainnya. Pentingnya factor konstruksi bangunan ,
kesehatan, dan ekonomi juga dihargai walaupun demikian , pada hakikatnya
jiwa nasionalisme yang terdalam yang dimiliki bangsa pribumi harus
diutamakan. demikian pandangan Berlage tentang pentingya memahami
gaya seni bangunan pribumi.

F. Ragam Hias Rumah Tinggal

a. Tentang Hiasan Rumah Tinggal


Dalam buku ini dijelaskan bahwa arsitektur rumah tinggal termasuk ke
dalam suatu kebudayaan. Arsitektur juga dianggap sebagai perpaduan antara
karya seni dan pengetahuan tentang bangunan. Artinya arsitektur berbicara
tentang keindahan dan konstruksi bangunan. Konsep ini dicetus pertama
kali oleh Marcus Vitruvius Pollio pada abad pertama sebelum masehi.
Menurutnya ada tiga unsur yang menjadi faktor dasar dalam arsitektur yaitu
kenyamanan (convenience), kekuatan atau kekukuhan (strength), dan
keindahan (beauty). Ketiga faktor tersebut memiliki nilai estetika sehingga
disebut sebagai sebuah karya seni.
Beberapa abad lalu, gaya arsitektur di Eropa sangat identik dengan gaya
Renaisans, Barok, Rokoko, dan Empire. Gaya arsitektur tersebut banyak
menerapkan ragam hias atau ornamen. Ragam hias dan ornamen tersebut
mampu menonjolkan ekspresi alami pada bangunan sehingga akan terlihat
indah dipandang. Namun, adanya perkembangan industri membuat
keindahan karya seni bangunan jadi terlupakan. Hal ini disebabkan karena
tidak ada kontrol yang ketat pada kehidupan sosial manusia ada masa itu,
sehingga para arsitek tidak terbiasa dalam menerapkan ragam hias pada

21
bangunan. Dan hal ini juga terjadi oleh karena adanya perubahan cara
pandang terhadap nilai-nilai di masyarakat.
Kemudian pada abad ke-19 ada suatu periode gaya hidup masyarakat
yang menerapkan cara pandang, yang disebut periode elektrik, dimana
orang lebih mementingkan nilai guna dari pada estetikanya. Sehingga
banyak dihasilkan karya seni tiruan yang hanya memiliki fungsi dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya barang-barang kerajinan yang dibuat sesuai
permintaan si pemesan.
Sejak saat itulah para arsitek mulai membuat model bangunan dengan
cara meniru karya seni murni. Bangunan banyak dibangun dengan cara
menjiplak yang bahannya berasal dari tanah liat atau gips. Ornamen
bangunan diciptakan dengan meniru karya seni masterpiece yang telah ada,
material bangunan dibuat asal-asalan sehingga arti keindahan seni dari suatu
bangunan menjadi hilang. Pada abad ke-20 banyak benda-benda yang tidak
lagi memerlukan hiasan. Seperti truk, kapal dan arsitektur bangunan rumah.
Rumah dan interiornya tidak lagi dihias karena dianggap tidak perlu. Pada
bangsa-bangsa yang sederhana, kegiatan mencipta dilakukan untuk
kepentingan kepercayaan dan untuk mendapatkan gaya magis, kekuatan
atau sebagai simbol. Hal tersebut tampak pada gambar binatang seperti babi,
rusa dan mamont yang banyak ditemukan digua-gua prasejarah. Alasan
manusia prasejarah membuat itu adalah dengan harapan agar dalam berburu
mereka mendapat binatang yang diburu sesuai dengan binatang yang
dilukis. Kemudian ada juga yang membuatnya dengan sepasang mata pada
anjungan sebuah kapal atau sebuah bejana. Dengan harapan mereka akan
mendapatkan keselamatan atau pandangan matanya akan menjaid awas dan
tidak terhalang oleh awan yang gelap. Dan pada bagian ornamennya orang
prasejarah lebih menyukai oranmen yang bersifat naturalistik yang segala
sesuatunya selalu dikaitkan dengan kepercayaan.
Bagi orang-orang modern arsitektur diciptakan tanpa menggunakan
hiasan seperti pada masa prasejarah. Contohnya gedung-gedung keagamaan
atau gereja. Hal ini betujuan agar gedung-gedung tersebut berbeda dengan
gedung-gedung gereja yang lama. Demikian untuk hiasan kepala tiang

22
seperti voluut (ikal) untuk kepala tiang gaya ionia (berasal dari simbol
tanduk kambing ram) atau garuda dari masa Barok dan bentuk kerang
(siput) pada Rokoko yang dianggap sebagai hiasan semata, tanpa diberi arti
simbolik dibelakangnya. Hal ini menunjukkan hubungan emosional
ditiadakan dalam pembuatannya.
Menurut Bart van der Leck dalam bukunya yang berjudul The Place
OF Modern Painting in Architecture berpendapat bahwa pada suatu waktu,
seni lukis terpisah dengan sendirinya dari arsitektur dan berkembang dengan
bebas.
Dalam seni bangunan dijelaskan bahwa ada lima indikasi seni
bangunan dan seni lukis yaitu:
1. Seni lukis modern adalah karya seni yang meninggalkan naturalisme
yang terdapat pada seni plastis (pahat patung).
2. Seni lukis modern bersifat bebas, terbuka dan berlawanan dengan seni
arsitektur.
3. Seni lukis modern penuh dengan warna-warna dan bidang yang bertolak
belakang dengan arsitektur yang tidak banyak menggunakan warna-warni
seperti karya lukis.
4. Seni lukis modern meliputi proses penciptaan bentuk plastis pada bidang
datar yang menghasilkan sesuatu yang kontras.
5. Seni lukis modern memberi bentuk plastis pada bidang datar dengan
pertimbangan yang tepat dan imbang.
b. Bentuk Atap dan Hiasan Kemuncak
Dalam membahas mengenai bentuk atap dan hiasan kemuncak terlebih
dahulu adalah dari segi bangunan rumah. Di Jawa, rumah-rumah dibangun
dengan sederhana. Sesuai kesaksian orang-orang Belanda yang datang ke
Banten pada tahun 1538 disebutkan bahwa rumah-rumah sangat sederhana.
Seluruhnya beratap ilalang (stroo) dan jenis rumput-rumput yang lain,
namun demikian ada juga yang bagus.
Dari peninggalan rumah kuno di Kotagede (Pasar Gede), Yogyakarta
dan Laweyan di Solo, rumah masyarakat terbuat dari batu bata yang kasar
dan jelek dengan lorong-lorong sempit sehingga orang berjalan diantara

23
dinding-dinding rumah dari tembok. Sama hal nya dengan di Kedu dan
Temanggung, rumah-rumah semuanya terbuat dari bongkahan batu atau
bata dengan perekat yang dikeringkan oleh matahari. Pada umumnya,
bangunan rumah di Jawa dibuat dari bahan yang murah, berdinding baru
(gedheg), beratap daun pohon palem atau rerumputan.
Sedangkan di Jawa Barat rumah-rumah terlihat bagus yang dibangun
dengan batang-batang tiang kayu yang terdiri di atas batu alam dan
batubara. Lantainya dibuat di atas tiang kayu dengan lantai yang terbuat
papan-papan kayu, sedangkan atapnya dari ijuk dan dindingnya dari bambu.
Berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur bangunan rumah rakyat
jauh lebih sederhana yang terbuat dari bambu yang dikerjakan secara kasar,
bhakan ada yang tanpa serambi depan atau belakang. Perbedaan ini dapat
disebabkan oleh keberuntungan atau kesejahteraan hidup orang Cina atau
Arab dan juga bisa disebabkan karena adanya penjajahan dan pengisapan
habis-habisan oleh penjajah.
Bangunan rumah Jawa memiliki bermacam bentuk atap. Dalam
pemberian nama atau gaya suatu bangunan biasanya diambil atau ditentukan
dari bentuk atapnya, misalnya rumah bentuk joglo, limasan, tajug, kampung
dan sebagainya. Lain hal dengan Eropa, orang menggunakan bentuk tiang
atau kepala tiang sebagai penentu ciri suatu bangunan.
Hiasan atap dan kemuncak bangunan rumah tradisional Jawa memang
sangat sederhana, demikian dengan hiasan atapnya dan kemuncak rumah
gaya Indis pada awal abad ke-20 sebelum datangnya pengaruh seni Eropa
yang melanda pulau Jawa.
c. Hiasan Kemuncak Tadhah Angin dan Sisi Depan Rumah
Di Jawa hiasan bagian atap rumah kurang mendapat perhatian, kecuali
pada bangunan-bangunan peribadatan (masjid, gereja, pura, dan candi).
Sedangkan di Eropa hiasan memuncak sangat mendapatkan perhatian dan
bahkan memiliki arti tersendiri baik dari segi keindahan, kepercayaan
maupun sosial.
Banyak sekali rumah penduduk di Demak, Jawa Tengah yang pada
bubung atapnya diberi hiasan berupa deretan lempeng teracotta yang

24
wujudnya seperti gambar tokoh-tokoh wayang, atau disimping yakni hanya
melukiskan tumbuhan saja dengan gambar gunung berada di tengah-tengah.
Masing-masing dari teracotta dihiasi dengan mozaik pecahan cermin,
sehingga diwaktu siang hari memantulkan sinar yang gemerlapan. Hiasan
ini tentu memiliki arti simbolik tersendiri.
Berbeda dengan rumah-rumah Minangkabau yang memiliki kemuncak
tanduk kerbau disamping hiasan pahatan pada bagian dindingnya seperti
halnya rumah rakyat Batak Karo. Sementara itu, rumah Sa’ dan Toraja di
Sulawesi penuh dengan pahatan pada serambi depan dengan perwujudan
kepala kerbau sebagai hiasan pertama. Penggunaan Kerbau dalam ragam
hias kehidupan masyarakat dikarenakan pada zaman neolitikum nenek
moyang Indonesia menjadikan kerbau sebagai binatang ternak yang keramat
serta melakukan pemujaan terhadapnya. Tradisi menyebutkan bahwa hiasan
kepala kerbau atau tanduknya adalah lambang kesuburan tanah dan juga
penolak roh-roh jahat. Sehingga di beberapa daerah di Indonesia, kerbau
sering dipahatkan atau dilukiskan juga pada tenunan, bagian rumah, tongkat
keramat kepala suku, alat-alat rmah tangga, dan lain sebagainya. Artinya
disini kita melihat bahwa kerbau merupakan binatang yang dianggap suci
oleh masyarakat terdahulu sehingga kepercayaan tersebut berkembang
hingga sekarang menjadi sebuah kebudayaan di masyarakat. Terbukti
dengan pembuatannya yang tidak dibuat dengan sembarangan orang dan
peletakannya yang disertai upacara-upacara khusus dan diisi dengan mantra-
mantra.
Tentang hiasan kemuncak pada bangunan-bangunan sakral, di kota
Jawa, banyak bangunan masjid menggunakan atap meru dengan kemuncak
kubah kecil, yag disebut mustaka atau mustika. Pada malam hari, lukisan
binatang dan bulan sabut di atas masjid tersebut diterangi lampu, sehingga
tampak jelas dari kejauhan.
Kemudian, pada awal abad ke-16 kehadiran bangsa Eropa di Indonesia
mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan di Indonesia, termasuk hiasan
kemuncak bangunan rumah. Di Belanda, dulu banyak rumah-rumah

25
penduduk pada atapnya diletakan win wijzer (penunjuk arah angin) yang
juga berfungsi sebagai hiasan rumah.
Di Eropa sekarang, khususnya di Belanda, hiasan kemuncak yang
berupa penunjuk arah angin yang memiliki bermacam-macam bentuk
sekaligus menujukkan macam usaha atau pekerjaan pemiliknya, misalnya
alat pencukur di atas rumah tukang cukur, sepatu besar di atas toko sepatu,
dan lain-lainnya. Namun, bukan hanya itu saja gambar seorang prajurit,
pemburu, petani dan bahkan dewa-dewa juga cukup kerap digunakan
sebagai hiasan. Artinya hiasan kemuncak rumah bukan hanya sekedar hasil
produksi dari berbagai profesi. Di Belanda memang orang-orang banyak
yang berlomba-lomba dalam menghias mahkota bangunan rumah.
Berbeda dengan hiasan kemuncak di bagian sisi rumah gaya Indis di
Jawa yang tidak terlalu banyak digunakan dan masyarakat pun tidak
memiliki semangat seperti halnya masyarakat Belanda yang berlomba-
lomba dalam menghias rumah. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan
ekonomi atau kemiskinan zaman malaise dan akibat Perang Dunia 1.
Adapun bentuk bangunan rumah gaya Indis di Jawa pada awal abad ke-
19 dibuat sisi depan atap yang meruncing dengan bangunan rumah yang
terbuat dari kayu setengah batu. Diakhir abad ke-19 bangunan dirubah
menjadi lebih modern dari Eropa mutakhir yaitu bangunan tertutup, dan
awal abad ke-20 bangunan gaya Indis ini baru banyak digunakan. Di Yogya,
sisi depan atap rumah gaya Indis berbentuk runcing menjorok ke depan
yaitu menggunakan tadhah angin berbentuk segitiga dengan diberi pelipit
papan kayu, dengan hiasan pada puncaknya. Dengan bentuknya yang
menjorok memberikan kesan adanya garis warna yang tajam. Kemudian,
hiasan yang diberikan bervariasi, dari yang sederhana berbentuk sumbu
kemuncak nokspil hingga ornamen-ornamen yang bagus.
1. Macam-macam Hiasan Kemuncak dan Atap Rumah
a. Penujuk Arah Tiupan Angin (Windwijzer)
Penunjuk arah tiupan angin ini dapat berupa ayam jago, malaikat,
panah, angsa, kapal, kuda dan profesi tertentu.
b. Hiasan Puncak Atap (Nok Actorie) dan Cerobong Asap Semu

26
Hiasan ini terbuat dari daun alang-alang (stroo) sebagai prototipe
kemudian dalam rumah gaya Indis dibentuk dengan bahan dari semen.
Atap daun rumbia digantikan dengan atap genteng.
c. Hiasan Kemuncak Tampak Depan (Geveltoppen)
Bentuk segitiga pada depan rumah seringkali dihias dengan papan kayu
yang dipasang vertikal, berhiasan, yang digunakan sampai abad ke-19.
Rumah gaya Indis banyak menggunakan hiasan makelaar yang
umumnya sulit dilacak arti simboliknya.
d. Ragam Hias Pasir dari Material Logam
Selain ragam hias pada puncak atau di tadhah angin bangunan rumah,
ada ragam hias lain yang melengkapi bangunan rumah dari bahan besi,
misalnya untuk pagar serambi, kerbil yaitu penyangga atap emper pada
bagian depan dan belakang rumah, penunjuk arah mata angin, lampu
halaman dan kursi kebun dari bahan logam besi.
2. Ragam Hias pada Tubuh Bangunan (Topgevel)
Ragam hias pada bangunan terletak pada lubang-lubang angin di atas
pintu atau jendela. Lubang angin pada rumah gaya Indis di Jawa hanya
dihias sederhana, yaitu lukisan beberapa anak panah yang ujung-
ujungnya menuju ke arah pusat yang hanya terbuat dari kayu. Yang
tampak menonjol ialah ragam hias pada bangunan rumah para pejabat
pemerintah seperti gubernur, residen, asisten residen, bupat dan
kontrolir wilayah, yaitu ragam hias pada batang-batang tiangnya.

27
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudayaan Indis merupakan hasil perpaduan antara dua kebudayaan,
yaitu Indonesia dan Eropa. Kebudayaan campuran ini mencakup ketujuh
aspek unsur universal budaya bangsa, seperti yang dimiliki oleh semua
bangsa di dunia. Dengan demikian, kebudayaan Indis adalah kebudayaan
yang merupakan kepanjangan Indonesia, yang terdiri atas kebudayaan
Prasejarah, kebudayaan Hindu-Buddha, dan kebudayaan Islam di Indonesia.
Kebudayaan Indis merupakan produk dari pengaruh kebudayaan Barat,
sekaligus bagian dari kebudayaan modern Indoneisa. Kebudayaan Indis di
Indonesia berakhir sesudah balatentara Jepang mengalahkan penguasa
Hindia Belanda pada 1942. Dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia
II dan diproklamasikannya Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945,
kebudayaan Indis telah berakhir di wilayah Republik Indonesia dan tidak
dapat berlanjut seperti kedudukannya semula.
Di negeri Belanda ternyata kebudayaan Indis tetap hidup. Bahkan pada
akhir abad ke-20 ini masyarakat keturunan Indo Belanda masih melestarikan
gaya hidup Indis.
Istilah kebudayaan Indis digunakan untuk menandai kebudayaan
Indonesia modern yang meliputi rentang waktu sejak kehadiran orang
Belanda sampai dengan abad ke-20, bersamaan dengan runtuhnya Hindia
Belanda tahun 1942. Kebudayaan Indis ada yang secara positif berperan
penting dalam perkembangan kebudayaan Indonesia modern, yaitu sistem
pendidikan dan seni. Kebiasaan menghargai waktu, serta kemajuan berbagai
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
B. Saran
Demikian uraian mengenai kebudayaan Indis, semoga kita sebagai
mahasiswa calon penerus bangsa dapat memahami dan menanamkan nilai-
nilai kebudayaan bangsa serta melestarikannya agar terus berkembang daa
menjadi ciri khas yang unik dari bangsa kita. Dalam penulisan makalah ini
kami sadari masih banyak kekurangan, untuk itu kami mohon kritik dan
saran yang sangat membangun dalam pembuatan makalah selanjutnya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Djoko Soekiman. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi.


2011. Komunitas Bambu: Jakarta

29

Anda mungkin juga menyukai