Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Meningoensefalitis berarti peradangan pada otak (encephalon) dan

selaput pembungkusnya (meningen). Meningitis adalah suatu peradangan yang

mengenai satu atau semua lapisan selaputyang membungkus jaringan otak dan

sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi (keluarnya cairan) berupa

pus (nanah) atau serosa. Meningitis biasanya disebabkan oleh infeksi infeksi

virus, infeksi bakteri, jamur, dan parasit, juga bisa dari berbagai penyebab non-

infeksius, seperti karena obat-obatan misalnyaatau bisa juga penyebaran ke

meninges (malignant meningitis). Virus yang dapat menyebabkan meningitis

termasuk enterovirus, virus tipe 2 (dankurang umum tipe 1), varicella zoster virus

(dikenal sebagai penyebab cacar air dan ruam saraf), virus gondok, HIV, dan

LCMV. Pemeriksaan yang sangat penting apabila penderita telah

diduga meningitis adalah pemeriksaan lumbal pungsi (pemeriksaan cairan selaput

otak). Jika berdasarkan pemeriksaan penderita didiagnosa sebagai meningitis,

maka pemberian antibiotik secara infus (intravenous) adalah langkah yang baik

untuk kesembuhan serta mengurangi atau menghindari resiko komplikasi.

Antibiotik yang diberikan kepada penderita tergantung dari jenis bakteri yang

ditemukan. Adapun beberapa antibiotik yang sering diresepkan oleh dokter pada

kasus meningitis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia dan

Neisseria meningitides antara lain Cephalosporin (ceftriaxone ataucefotaxime).

Sedangkan meningitis yang disebabkan oleh bakteri Listeria monocytogenes akan

diberikan Ampicillin, Vancomycin dan Carbapenem (meropenem),

Chloramphenicol atau Ceftriaxone. Terapi lainnya adalah yang mengarah kepada


gejala yang timbul, misalnya sakit kepala dan demam (paracetamol), shock

dan kejang (diazepam) dan lain sebagainya.

Ensefalitis adalah suatu peradangan pada otak, yang biasanya disebabkan

oleh virus dan dikenal sebagai ensefalitis virus. Penyakit ini terjadi pada 5

dari100.000 penduduk, umumnya pada anak-anak usia 2 bulan sampai 2 tahun,

orang tua, dan individu yangmengalami gangguan sistem imun. Ensefalitis bisa

disebabkan berbagai macam mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, cacing,

protozoa, dan sebagainya. Yang terpenting dan tersering adalah virus: virus herpes

simpleks, arbovirus, dan enterovirus. Beberapa virus yang berbeda bisa

menginfeksi otak dan medula spinalis, termasuk virus penyebab herpes dan

gondongan (mumps).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

Meninges terdiri daripada tiga jaringan ikat membran yang terletak di bagian

luar organ sistem saraf pusat. Fungsi dari lapisan selaput otak ini adalah:

1. Melapisi dan memberikan proteksi kepada struktur organ sistem saraf

pusat (otak dan medula spinalis).


2. Memberikan proteksi pembuluh darah yang terdapat di otak dan menutupi

sinus venosus.
3. Mengandungi likour serebrospinalis
4. Membentuk partisi/ bagian bagian dari otak

Struktur meninges dari luar adalah, duramater, araknoidmater, dan piamater.

Gambar 2.1 Struktur Meningens

Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu :

a. Piamater
Yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum tulang

belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan

menyediakan darah untuk struktur-struktur ini.


b. Arachnoid
Merupakan selaput halus yang memisahkan piameter dan duramater.
c. Duramater
Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan

ikat tebal dan kuat.


B. Definisi
Meningitis adalah infeksi atau inflamasi yang terjadi pada selaput otak

(meningens) yang terdiri dari piamater, arachnoid, dan duramater yang

disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa, yang dapat terjadi

secara akut dan kronis.

Gambar 2.2 Lapisan Meningens


C. Etiologi

Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti

virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.

Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :


1. Meningitis bakteri:

a. Pneumococcus
b. Meningococcus
c. Haemophilus influenza
d. Staphylococcus
e. Escherichia coli
f. Salmonella
g. Mycobacterium tuberculosis

Tabel 2.1. Penyebab Meningitis

Age Group Causes


neonatus Group B Streptococci, Escherichia coli, Listeria

monocytogenes
Bayi Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae,

Streptococcus pneumoniae
Anak anak N. meningitidis, S. pneumoniae
Dewasa S. pneumoniae, N. meningitidis, Mycobacteria

2. Virus :
a. Enterovirus
b. Mumps
c. Herpes virus
d. Arbovirus
e. Kasus yang sangat jarang: LMCV (lymphocytic choriomeningitis

virus)
3. Jamur :
a. Cryptococcus neoformans
b. Coccidioides immitris
c. Candida (jarang)
d. Histoplasma (terutama pada kasus immunocompromise)
Meningitis juga bisa berlaku pada kasus non infeksi terutama pada kasus

seperti AIDS, kanker, diabetes, trauma fisik atau oleh karena obat-obatan yang

bisa menurunkan sistem imunitas tubuh.


D. Klasifikasi
Meningitis berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak sebagai

berikut :
1. Meningitis purulenta adalah radang bernanah araknoid dan piameter yang

meliputi otak dan medulla spinalis. Penyebabnya adalah bakteri non

spesifik, berjalan secara hematogen dari sumber infeksi (tonsilitis,

pneumonia, endokarditis, dll.)


2. Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang

disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah

Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lain seperti virus, Toxoplasma

gondhii dan Ricketsia.


E. Patofisiologi
1. Meningitis bakteri.
Meningitis bakteri berhubungan dengan komplikasi dan risiko

kematian. Kebanyakan kasus meningitis akibat dari penyebaran

hematogen yang masuk melalui celah subarachnoid. Mikroorganisme

masuk ke cerebral nervous system melalui 2 jalur potensial. Bakteri

masuk kedalam kavitas intrakranial melalui sirkulasi darah atau berasal

dari infeksi primer pada nasofaring, sinus, telinga tengah, sistem

kardiopulmonal, trauma atau kelainan kongenital daripada tulang

tengkorak. Frekuensi terbanyak berasal dari sinusitis.


Organisme juga dapat menginvasi meningens dari telinga tengah.

Meningitis yang diikuti terjadinya otitis media merupakan proses

bakteriemia, walaupun bukan kongenital atau adanya posttraumatic fistula

pada tulang temporal yang mensuplai akses ke CSS.


2. Meningitis Virus
Pada umumnya virus masuk melalui sistem limfatik, melalui saluran

pencernaan disebabkan oleh Enterovirus, pada membran mukosa

disebabkan oleh campak, rubella, virusvarisela-zoster (VVZ), Virus herpes


simpleks (VHS), atau dengan penyebaran hematogen melalui gigitan

serangga. Pada tempat tersebut, virus melakukan multiplikasi dalam aliran

darah yang disebut fase ekstraneural, pada keadaan ini febris sistemik

sering terjadi. VHS mencapai otak dengan penyebaran langsung melalui

akson-akson neuron. Kerusakan neurologis disebabkan oleh:


a. Invasi langsung dan perusakan jaringan saraf oleh virus yang

bermultiplikasi aktif.
b. Reaksi hospes terhadap antigen virus secara langsung, sedangkan

respons jaringan hospes mengakibatkan demielinasi dan penghancuran

vascular serta perivaskuler.


Mikroorganisme menginvasi ke jaringan selaput otak hanya apabila telah

memasuki ruang subaraknoid. Biasanya, bakteri atau agen yang menginvasi

ini tersebar ke bagian otak melewati pembuluh darah setelah berlakunya

proses kolonisasi akibat infeksi di traktus respiratorius bagian atas. Selain dari

adanya invasi bakteri, virus, jamur maupun protozoa, point d’entry masuknya

kuman juga bisa melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang

pecah, penyebab lainnya adalah adanya rhinorhea, otorhea pada fraktur basis

cranii yang memungkinkan kontaknya cairan cerebrospinal dengan

lingkungan luar.
Agen penyebab

Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarachnoid

Respon inflamasi di piamater, arachnoid, cairan cerebrospinal, dan ventrikuler

Eksudat menyebar di seluruh saraf cranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologis
F. Manifestasi Klinis
1. Gejala-gejala yang terkait dengan tanda-tanda non spesifik disertai infeksi

sistemik atau bakteremia meliputi demam, anoreksia, ISPA, mialgia,

athralgia, takikardia, hipotensi dan tanda-tanda kulit seperti ptechie,

purpura, atau ruam macular eritematosa. Mulainya tanda-tanda tersebut

diatas mempunyai dua pola dominan yaitu:


a. Akut atau timbul mendadak berupa manifestasi syok progesif, DIC,

penurunan kesadaran cepat, sering menunjukkan sepsi akibat

menikokokus dan pada akhirnya menimbulkan kematian dalam 24

jam.
b. Sub akut yang timbul beberapa hari didahului gejala ISPA atau

gangguan GIT yang disebabkan oleh H Influenza dan Streptococus


2. Tanda-tanda peningkatan TIK ditandai dengan adanya muntah, nyeri

kepala yang dapat menjalar ke tengkuk dan punggung, moaning cry, kejam

umum, fokal, twitching, jika pada anak ditandai dengan ubun-ubun besar

menonjol, paresis, paralisis saraf N.III (okulomotorius) dan N.VI

(abdusens), strabismus, hipertensi dengan bradikardia, apnea dan

hiperventilasi, sikap dekortikasi atau deserebrasi, stopor, koma. Selain

tersebut diatas, hal lain yang juga meningkatkkan TIK dikarenakan :


a. Peningkatan protein pada CSS
Karena adanya peningkatan permeabilitas pada sawar otak (Blood

Brain Barier) dan masuknya cairan yang mengandung albumin ke

subdural.
b. Penurunan kadar glukosa dalam LCS
Karena adanya gangguan transpor glukosa yang disebabkan adanya

peradangan pada selaput otak dan pemakaian gula oleh jaringan otak
c. Peningkatan metabolisme yang menyebabkan terjadinya asidosis

laktat.
Tanda Rangsang Meningeal seperti :
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa

fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan

kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri

dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga

didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.


b. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada

sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut

sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi

sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan

sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.


c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya

dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian

dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin.

Tanda Brudzinski I positif (+) bilapada pemeriksaan terjadi fleksi

involunter pada leher.


d. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi

panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif

(+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul

dan lutut kontralateral


Gambar 2.3 Pemeriksaan Rangsang Meningeal
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium:
Pada pemeriksaan darah rutin dilakukan pemeriksaan kadar

hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa,

kadar ureum, elektrolit dan kultur.


a. Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja.

Disamping itu, pada meningitis tuberkulosa didapatkan juga

peningkatan LED.
b. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit
2. Pungsi Lumbal (LP) :
LP akan normal Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa

jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak

ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.


a. Pada meningitis serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan

jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal,

kultur negatif.
b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan

keruh, jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa

menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.

Tabel 2.2. Perbedaan Gambaran LCS pada Meningitis Purulenta, Tuberkulosa,

Virus dan Jamur.

PURULENTA TUBERKULOSA VIRUS JAMUR

Tekanan >180 mm  Bila didiamkan  Pemeriksaan  Kultur


H20 terbentuk pelikula mikroskopik bakteri negatif
 Mikroskopis : Biakan
kuman TBC cairan otak
 Pemeriksaan
serologik serum
dan
cairan otak
Warna Keruh sampaiJernih atau xantokrom Jernih Jernih
purulen

Sel Leukosit meningkat Meningkat, <500/mm3,Meningkat antara 10-10 -500 sel/mm3


MN dominan 1000/mm3 dengan dominasi
95 % PMN
limfosit

Protein Meningkat, >75 mgmeningkat Normal / sedikitMeningkat


% meningkat

Klorida Menurun, <700 mgmenurun Normal


%

Glukosa Menurun, <40 mgmenurun Normal Menurun, sekitar


%, atau < 40 % gula 15-35 mg
darah

3. Pemeriksaan Radiologis :
a. Pada meningitis serosa dilakukan rontgen thorax, rontgen kepala,

bila mungkin dilakukan CT Scan.


b. Pada meningitis purulenta dilakukan rontgen kepala (periksa

mastoid, sinus paranasal, gigi geligi) dan rontgen thorax.


H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai

perawatan intensif suportif untuk membantu pasien melalui masa kritis.

Sementara menunggu hasil pemeriksaan terhadap kausa diberikan obat

sebagai berikut:
1. Meningitis yang disebabkan pneumokok, meningokok.
Ampisilin 12-18 gram intravena dalam dosis terbagi per hari, selama

minimal 10 hari atau hingga sembuh.


2. Meningitis yang disebabkan Haemophylus influenzae.
Kombinasi ampisilin dan kloramfenikol seperti di atas, kloramfenikol

disuntikkan intravena 30 menit setelah ampisilin. Lama pengobatan

minimal 10 hari. Bila pasien alergis terhadap penisilin, berikan

kloramfenikol saja.
3. Meningitis yang disebabkan enterobacteriaceae.
Sefotaksim 1-2 gram intravena tiap 8 jam. Bila resisten terhadap

sefotaksim, berikan: campuran trimetoprim 80 gram dan sulfametoksazol

400 mg per infuse 2 kali 1 ampul per hari, selama minimal 10 hari.
4. Meningitis yang disebabkan Staphylococcus aureus yang resisiten

terhadap penisilin.
Berikan sefotaksim atau seftriakson 6-12 gram intravena. Bila pasien

alergi terhadap penisilin: Vankomisin 2 gram intravena per hari dalam

dosis terbagi.
5. Bila etiologi tidak diketahui.
Pada orang dewasa berikan ampisilin 12-18 gram intravena dalam dosis

terbagi dikombinasi dengan kloramfenikol 4 gram per hari intravena.

Pada anak ampisilin 400 mg/kgBB ditambah kloramfenikol 100

mg/kgBB/hari intravena. Pada neonatus ampisilin 100-200 mg/kgBB

disertai gentamisin 5 mg/kgBB perhari.


Bila setelah diberi terapi yang tepat selama 10 hari pasien masih demam,

cari sebabnya di antaranya:


1. Efusi subdural
2. Abses
3. Hidrosefalus
4. Empiema subdural
5. Trombosis
6. Sekresi hormone antidiuretik yang berkurang
7. Pada anak-anak: ventrikulitis

MENINGITIS TUBERCULOSA

Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di Indonesia

karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi

sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di paru.

Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya selaput otak

langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui

pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau

vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arakhnoid.

Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan

meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak,

terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang

serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis.

Meningitis tuberculosa adalah penyulit dari tuberkulosa yang mempunyai

morbiditas dan mortalitas yang tinggi, bila tidak diobati. Oleh karena itu penyakit

ini memerlukan diagnosa dini dan pemberian pengobatan yang cepat, tepat dan

rasional.

Insidensi meningkat pada pasien dengan :

a. resistensi obat
b. program pemberantasan tidak adekuat
c. infeksi HIV / AIDS
1. ETIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis

2. PATOFISIOLOGI

Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran

tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun

dapat juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan

tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman

masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe

regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier

atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang

(Darto Saharso, 1999).

Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.

Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di

otak, selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara

hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan

tuberkulosis kronik walaupun jarang (Darto Saharso, 1999). Bila penyebaran

hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan

penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis.

Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus

tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut

adalah trauma kepala (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).


Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.

Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan

merangsang reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan

menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak.

Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis

tuberkulosis:

a. Araknoiditis proliferatif

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan

massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus

pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan

adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara

mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan

nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami

organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun

saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang

paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV,

sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai

saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul

gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf

kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan

gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Darto Saharso, 1999.,

Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).


b. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal

yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak.

Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark

serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila

pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri

media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan

apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan

histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan,

proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya

infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis

perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel

yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika

intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi,

dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan

anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput

otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan

menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme

terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat

menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Darto

Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).

c. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis

yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis

(Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). Adapun


perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan

menyebabkan spinal block dan paraplegia (Kliegman, et al. 2004).

Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe,

yaitu:

1) Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;

2) Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering

menyebabkan meningitis yang difus;

3) Acute inflammatory caseous meningitis

a) Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di

korteks

b) Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid

d. Meningitis proliferatif

i. Terlokalisasi, pada selaput otak

ii. Difus dengan gambaran tidak jelas

Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi

bersamaan pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi

oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun

pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan

jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.

3. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa

dikelompokkan dalam 4 stadium:


a. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu. Biasanya gejalanya tidak khas

timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis. Gejalanya berupa

demam yang tidak terlalu tinggi, rasa lemah, nafsu makan menurun
(anorexia), nyeri perut, sakit kepala, tidur terganggu, mual, muntah,

konstipasi, apatis, irritable. Kejang bersifat umum dan didapatkan

sekitar 10-15% kasus. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub

arachnoid maka stadium I akan berlangsung singkat sehingga sering

terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.


b. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen ditandai

oleh adanya kelainan neurologik akibat eksudat yang terbentuk diatas

lengkung serebri. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan

Brudzinski (+) kecuali pada bayi. Dengan berjalannya waktu,

terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar

otak yang menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini,

eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan

saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan

serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan

fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang

timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi

akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.


c. Stadium III
GCS kurang dari 10 dengan atau tanpa defisit neurologis fokal.
d. Stadium IV (Fase Paralitik)
Pada fase ini, terjadi percepatan penyakit dan gangguan fungsi otak

semakin jelas. Gejalanya berupa pernapasan irregular, demam tinggi,

edema papil, hiperglikemia, kesadaran makin menurun, irritable dan

apatik, mengantuk, stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan

spasme, dekortikasi/ deserebrasi, opistotonus, pupil melebar bahkan

tidak bereaksi sama sekali


4. TERAPI
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk

kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan

penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda

bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis (Darto Suharso.

1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).


Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
i. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,

yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.


ii. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan

rifampisin hingga 12 bulan.


Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang

digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis:


Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman

intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan

tubuh, termasukliquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan

kaseosa, dan memilikiadverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan

secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari,

dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.

Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg,

dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.


Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat

dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam.

Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat

menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik

utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada

anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya

neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali

sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Nastiti N. Rahajoe,

dkk., 2007).
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat

memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang

tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik

melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum

makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan

dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya

600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan

bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg /

kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin

didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor

cerebrospinalis.
Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada

keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan

normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,

keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek

samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia.

Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450

mg (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).


Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik

pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini

bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik
pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis

maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam

waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid

sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah

kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah

hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada

anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg (Nastiti N.

Rahajoe, dkk., 2007).


Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk

membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam

pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase

intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-

tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-

40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 μg / ml

dalam waktu 1-2 jam.


Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi

tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin

berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui

ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan

resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat.

Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang

mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga

berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta,

sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil


karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan

menderita tuli berat (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).


Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat

bakterid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain

itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi

terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari,

maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5

μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan

500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada

pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak

berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.


Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan

buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada

anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI

menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB /

hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau

hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir

mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan

penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol

dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat

jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan. Obat lini 2

yang dapat digunakan jika terjadi resistensi yaitu golongan fluorokuinolon,

aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin dikombinasi

dengan asam klavulanat (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).


Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis

tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti

inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema

otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB /

hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara

bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya

pemberian regimen. Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah

baring total (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).


Tabel 2.3 Terapi Pengobatan Meningitis TB

Nama Obat DOSIS

INH Dewasa : 10-15 mg/kgBB/hari Anak : 20 mg/kgBB/hari

+ piridoksin 50 mg/hari

Streptomisin 20 mg/kgBB/hari i.m selama 3 bulan

Etambutol 25 mg/kgBB/hari p.o selama 2 bulam pertama

Dilanjutkan 15 mg/kgBB/hari

Rifampisin Dewasa : 600 mg/hari Anak 10-20 mh/kgBB/hari

MENINGITIS VIRAL

Disebut juga dengan meningitis aseptic, terjadi sebagai akibat akhir / sequel

dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, mumps, herpes

simpleks dan herpes zooster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan

pada pemeriksaan cairan cerebrospinal tidak ditemukan adanya organisme.

Inflamasi terjadi pada korteks cerebri, white matter, dan lapisan menigens.
Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada

herpes simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis

virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzyme neurotransmitter, dimana

hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan

neurologis.

1. ETIOLOGI

Paling sering Enterovirus. Coxsackie dan Echovirus termasuk dalam family

Enterovirus merupakan hampir 50% penyebab dari meningitis virus

(meningitis aseptic).

2. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis berupa trias klasik berupa:

a. Sakit kepala

b. Demam

c. Tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, Kerniq, Brudzinski)

Selain itu juga didapati muntah, irritabilitas, malaise, photophobia, dan

myalgia pada pasien meningitis

3. DIAGNOSA

a. Pungsi lumbal. Pada pemeriksaan LCS akan didapati:

1) Tekanan meningkat

2) Sel meningkat (awal PMN → limfositer)

3) Warna jernih

4) Protein normal/ sedikit meningkat

5) Glukosa normal

Selain itu juga sebaiknya dilakukan:


1) PCR ( Polymerase Chain Reaction ) : DNA / RNA virus

2) Kultur virus

3) Titer antibodi

b. Pemeriksaan darah untuk melihat kenaikan titer antibody

c. Swab orofaring, feses

d. Kultur virus

TERAPI

Kontrol simptomatik dengan antipiretik, analgetik dan anti emetic biasanya

itu semua yang dibutuhkan dalam management dari meningitis viral yang tidak

komplikasi. Keputusan untuk memulai terapi anti bakterial untuk kemungkinan

meningitis bakteri adalah penting; terapi antebakterial empiris untuk kemungkinan

patogen harus dipertimbangkan dalam konteks keadaan klinis. Asiklovir harus

digunakan pada kasus dengan kecurigaan HSV (pasien dengan lesi herpetic), dan

biasanya digunakan secara empiris pada kasus yang lebih berat yang

komplikasinya encephalitis atau sepsis.

Agen Antiemetik: Agen ini digunakan dengan luas untuk mencegah mual

dan muntah. Ondansetron (Zofran) Antagonis selektif 5-HT3-receptor yang

menghentikan serotonin di perifer dan sentral, Mempunyai efikasi pada pasien

yang tidak berespon baikterhadap anti emetik lain. Dewasa: 4-8 mg IV. Pediatrik:

0.1 mg/kg IV lambat maximum 4 mg/dosis; dapat diulang.

Agen Antiviral. Terapi empiris dapat dihentikan ketika penyebab meningitis

viral telah tegak dan meningitis bakterial telah disingkirkan. Acyclovir diberikan

secepatnya ketika diagnosis herpetic meningoencephalitis dicurigai. Menghambat


aktivitas untuk kedua HSV-1 and HSV-2. Dewasa: 30 mg/kg/d IV dibagi 10-14

hari. Pediatrik: 30 mg/kg/d IV dibagi untuk 10 hari.

MENINGITIS JAMUR

Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang

ditemukan, namun dengan meningkatnya pasien dengan gangguan imunitas,

angka kejadian meningitis jamur semakin meningkat. Problem yang dihadapi oleh

para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang efektif. Sebagai contoh,

jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit / infeksi dan

jamur tidak sering ditemukan dalam cairan cerebrospinal (CSS) pasien yang

terinfeksi oleh karena jamur hanya dapat ditemukan dalam beberapa hari sampai

minggu pertumbuhannya.

ETIOLOGI

1. Cryptococcus neoformans

Cryptococcus neoformans adalah jamur seperti ragi (yeast like fungus) yang

ada dimana-mana di seluruh dunia. Jamur ini menyebabkan penyakit jamur

sistemik yang disebut cryptococcis, dahulu dikenal dengan nama Torula

hystolitica. Jamur ini paling dikenal sebagai penyebab utama meningitis

jamur dan merupakan penyebab terbanyak morbiditas dan mortalitas pasien

dengan gangguan imunitas. Cryptococcus neoformans dapat ditemukan pada

kotoran burung (terutama merpati), tanah, binatang juga pada kelompok

manusia (colonized human). Dengan adanya AIDS, insiden Cryptococcal

meningitis meningkat drastis. Di Amerika, meningitis ini termasuk lima

besar penyebab infeksi opportunistik pada pasien AIDS.


2. Coccidioides immitris

PATOGENESA

Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu, meningitis

kronis, vaskulitis, dan invasi parenkimal. Pada infeksi Cryptococcal jaringan

menunjukkan adanya meningitis kronis pada leptomeningen basal yang dapat

menebal dan mengeras oleh reaksi jaringan penyokong dan dapat mengobstruksi

aliran likuor dari foramen luschka dan magendi sehingga terjadi hydrocephalus.

Pada jaringan otak terdapat substansia gelatinosa pada ruang subarachnoid

dan kista kecil di dalam parenkim yang terletak terutama pada ganglia basalis

pada distribusi arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri dari agregasi atau

gliosis. Infiltrate meningen terdiri dari sel-sel inflamasi dan fibroblast yang

bercampur dengan Cryptococcus. Bentuk granuloma tidak sering ditemukan, pada

beberapa kasus terlihat reaksi inflamasi kronis dan reaksi granulomatosa sama

dengan yang terlihat pada Mycobacterium tuberculosa dengan segala bentuk

komplikasinya.

GEJALA KLINIS

Gejala klinis infekisi jamur pada susunan saraf pusat tidak spesifik seperti

akibat infeksi bakteri. Pasien paling sering mengalami gejala sindroma meningitis

atau sebagai meningitis yang tidak ada perbaikan atau semakin progresif selama

observasi (paling kurang empat minggu).

Manifestasi klinis lainnya dapat berupa kombinasi beberapa gejala seperti

demam, nyeri kepala, lethargi, confuse, mual, muntah, kaku kuduk atau defisit
neurologis. Sering kali hanya satu atau dua gejala utama yang dapat ditemukan

pada gejala awal.

DIAGNOSA

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan tambahan

seperti laboratorium cairan cerebrospinal. Gambaran cairan cerebrospinal infeksi

Cryptococcus sama dengan meningitis tuberculosa. Diagnosa dapat dibuat dengan

menemukan Cryptococcus dalam cairan cerebrospinal dengan pewarnaan tinta

India, kultur dalam media sabouraud dan berdasarkan hasil inokulasi pada hewan

percobaan. Jamur ini juga dapat dikultur dari urine, darah, feses, sputum, dan

sumsum tulang. Pemeriksaan antigen Cryptococcus pada serum dan cairan

cerebrospinal dapat menegakkan diagnosa, dapat dikultur dari urine, darah, feses,

sputum, dan sumsum tulang.

Karakteristik LCS yang ditemukan pada meningitis jamur

a. 10-500 sel/mm3 (dengan dominasi limfosit)

b. Peningkatan kadar protein

c. Penurunan kadar gula biasanya sekitar 15-35 mg

d. Kultur bakteri yang negatif membedakan dengan meningitis bakterial

TERAPI

Terapi dengan Amfoterisin B memperlihatkan hasil yang baik. Amfoterisin

B diberikan tiap hari intravena dengan dosis 0,5 mg/Kg, diberikan enam sampai

sepuluh minggu, tergantung dari perbaikan klinis dan kembalinya cairan

cerebrospinal ke arah normal. Amfoterisin B dapat diberikan dengan 5-


flurocytosine 150 mg/kg per hari (dalam empat dosis). Kombinasi ini memberikan

hasil yang baik.

TABEL PERBEDAAN MENINGITIS


MENINGITIS
Anamnesis Gejala timbul dalam 24 jam setelah onset, dapatjugasubakutantara 17 hari. Gejala

berupa :

1. demamtinggi

2. sakitkepala,

3. fotofobia,

4. mialgia,

5. mual, muntah,

6. kejang,

7. perubahan statusmental sampaipenurunankesadaran

8. RPD : tuberculosis, immunocompromise, penyakitinfeksi lain

Pemeriksaan Pemeriksaan fisik

Fisik Tanda-tanda rangsang meningeal :

Kaku kuduk

Brudzinki I -IV

TandaKernig

Funduskopi : Papil edema (TIK meningkat), tuberkel

• Gejala neurologis fokal :berupa gangguan saraf kranialis

• Gejala lain: infeksi ekstrakranial misalnya sinusitis, otitis media, mastoiditis,

pneumonia, infeksi saluran kemih, arthritis (N. Meningitidis)

Kriteria Meningitis Bakterial Akut

Diagnosis 1. Gejala dan tanda klinis meningitis +

2. Parameter LCS abnormal : predominan PMN, rasio glukosa LCS : darah<


0,4 +

3. Terdapat bakteri dalam LCS secara mikroskopis/ kulturpositif,

Atau,

1. Gejala dan tanda klinis meningitis +

2. Parameter LCS abnormal : predominan PMN, rasio glukosa LCS : darah<

0,4 +

3. Kultur LCS ngatif, +

4. Satu dari berikut :

 Kultur darah positif

 Tes antigen atau PCR dari LCS menunjukkan hasil positif

Denganatautanpa

- Riwayat infeksi saluran nafas atas yang baru

- Riwayat faktor predisposisi seperti pneumonia, sinusitis, otitis media,

gangguan imunologi tubuh, alkoholismedan DM

Meningitis Tuberculosis (Meiti Frida,2011)

1. Gambaran klinik :

Bervariasi dan tidak spesifik, dalam 2-8 minggu malaise, anoreksia, demam, nyeri

kepala yang semakin memburuk, perubahan status mental, penurunan kesadaran,

kejang, kelumpuhan saraf kranial, hemiparese, funduskopi : tuberkel, papiledem

(tanda peningkatan TIK)

Meningitis Viral / meningitis aseptic

Gejala dan tanda meningitis

1. Parameter LCS : pleositosis campuran atau limfositik, glukosa normal,

protein normal atau sedikit meningkat


2. PCR CSF merupakan baku emas : ditemukan virus penyebab

Diagnosis 1. Anamnesis :ditemukan gejala prodromal berupa nyeri kepala, anoreksia,

mual/muntah, deman/subfebris, riwayat TB atau fokus infeksi yang

mendukung.

2. Pemeriksaan fisik :ditemukan rangsang meningeal dan kelumpuhan saraf

otak.
Diagnosis EFNS,2008

Banding 1. Meningoencephalitis

2. Viral encephalitis

3. Brain abscess

4. Spinal epidural abscess (cervical)

5. Parameningeal infection (cranial osteomyelitis, subdural empyema)

6. Chemical meningitis (e.g. after human IVIg therapy, subarachnoid

haemorrhage)

Pemeriksaan • Lumbal pungsi

Penunjang

Kontra indikasi absolut

1. Tanda-tanda peningkatan TIK : papiledem, postur decerebrate

2. Lokal infeksi sekitar daerah penusukan

3. Bukti hydrocephalus obstruktif, edem serebri danherniasi di CT scan/MRI

kepala
Kontraindikasirelatif

1.Sepsis atau hipotensistabilkan kondisi

2.Gangguan koagulasi : DIC, trombosit< 50.000

3.Defisit neurologis fokal baru hemiparesis atau dysphasia

4.GCS ≤ 8

5.Epileptic seizur

Pemeriksaan Likuor

Normal CSF

Jernih

Opening pressure 180

Leukosit : 0- 5sel/mm3

Neutrophil : 0 - 15 %

Protein : 0,15 – 0,5 g/dl

Glucose : 2,5 – 4,5 mM

CSF/blood glucose ratio : 0,6

Acute Bacterial Meningitis

Purulen, keruh

Opening pressure > 180

Leukosit : 1000-10.000 sel/mm3

Neutrophil : > 60 %

Protein : >0,5 g/dl

Glucose : < 2,5 mM

CSF/blood glucose ratio : <0,3

Viral Meningitis/meningoencephalitis
Jernih

Opening pressure > 180

Leukosit : 5 - 1000 sel/mm3

Neutrophil : < 20 %

Protein : <1,0 g/dl

Glucose : 2,5 – 4,5 mM

CSF/blood glucose ratio : >0,5

Chronic Meningitis/ Tuberculous meningitis

Jernih,cloudy

Opening pressure > 180

Leukosit : 25 - 500 sel/mm3

Neutrophil : < 50 %

Protein : >0,5 g/dl

Glucose : <2,5 mM

CSF/blood glucose ratio: <0,5


Terapi ≤ 50 tahun

Bakteri penyebab : S. Pneumonie, N. Meningiditis, L.Monocytogenes

1. Cefotaxime 2 g/6 jam max. 12 g/hari, atau

2. Ceftriaxone 2 g/12 jam +Ampicillin 2 g/4 jam/IV (200 mg/kg BB/IV/hari)

3. Chloramphenicol 1 gr/6 jam + Trimetoprim/Sulfametoxazole 20mg/kgBB/hari

Bila prevalensi S. Pneumioniane Resiten Cephalosporin ≥ 2% diberikan:

Cefoxtaxime / Ceftriaxone+Vancomycin1g / 12 jam / IV (max. 3g / hari)

≥ 50 tahun

Bakteri penyebab : S. Pneumonie, H. Influenza, Spesies Listeria, P.


Aeroginosa, N. Meningiditis

1.Cefotaxime 2 g/6 jam max. 12 g/hari, atau

2. Ceftriaxone 2 g/12 jam +Ampicillin 2 g/4 jam/IV (200 mg/kg BB/IV/hari)

Bila prevalensi S. Pneumioniane Resiten Cephalosporin ≥ 2% diberikan:

Cefoxtaxime / Ceftriaxone+Vancomycin 1g / 12 jam / IV (max. 3g / hari)

Ceftadizime 2g / 8 jam / IV

Adjunctive therapy:

(dianjurkan hanya pada penderita dengan risiko tinggi, penderita dengan status

mental sangat terganggu, edemotakatau TIK meninggi)

Deksametason 0,15 mg/ kgBB/ 6 jam/ IV selama 4 hari dan diberikan 20 menit

sebelum pemberian antibiotik

Penanganan peningkatan TIK :

- Meninggikan letakkepala 30odari tempattidur

- Cairan hiperosmoler : manitol atau gliserol

- Hiperventilasi untuk mempertahankan pC02 antara 27-30 mmHg

Spesifik terapi sesuai bakteri pathogen :

 Fungal meningitis - Cryptococcal (amphotericin B, flucytosine, fluconazole,

itraconazole), Coccidioidesimmitis (fluconazole, intrathecalamphoytericin

B, itraconazole),

 Histoplasmacapsulatum (liposomal amphotericin B, itraconazole), or

 Candida (IM atauaqueous penicillin G, probenecid)

 Tuberculous meningitis (isoniazid, rifampin, pyrazinamide, ethambutol,


streptomycin)

 Parasitic meningitis – Amebic (amphotericin B, miconazole, rifampin)

atauhelminthic (largely supportive)

 Lyme meningitis (ceftriaxone; alternatively, penicillin G, doxyxyxline,

chloramphenicol)

ENSEFALITIS

A. Pengertian

Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam

mikroorganisme yang disertai disfungsi dari neurofisiologi fokal. Pada ensefalitis

terjadi peradangan jaringan otak yang dapat mengenai selaput pembungkus otak

dan medula spinalis. Penyebab ensefalitis paling sering karena infeksi, namun

dapat disebabkan juga oleh noninfeksi misalnya karena proses demielinasi pada

ensefalitis akut.
B. Etiologi

Penyebab ensefalitis paling sering karena infeksi virus, namun dapat

disebabkan juga oleh noninfeksi misalnya karena proses demielinasi pada

ensefalitis akut. Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok: 1) Ensefalitis

primer yang biasa disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes simpleks, virus

influenza, ECHO, Coxackie dan arbovirus, 2) Ensefalitis primer yang belum

diketahui penyebabnya, 3) Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang

timbul sebagai komplikasi penyakit virus, seperti rubeola,varisela, herpes zoster,

parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan vaksinasi. Selain karena virus,

ensefalitis juga dapat disebabkan oleh bakteri yang patogen seperti Mycoplasma

sp, parasit dan jamur seperti Toxoplasma gondii.

Banyak virus yang ditularkan oleh manusia, meskipun sebagian kasus

HSE dianggap reaktivasi virus herpes simpleks yang dorman di ganglia

trigeminal. Nyamuk dan kutu merupakan vector dari arbovirus serta virus rabies

ditransfer melalui gigitan hewan. Secara umum, virus bereplikasi di luar SSP dan

masuk ke SSP secara hematogen atau melalui perjalanan saraf (rabies, HSV,

Varicella Zoster Virus) dan penciuman (HSV).

Setelah melintasi sawar darah otak, virus memasuki sel-sel saraf dan

mengganggu fungsi sel saraf tersebut, kemudian terjadi kongesti perivaskular,

perdarahan, dan respon inflamasi difus yang mempengaruhi difusi substansia alba

dan grisea. Defisit neurologi merupakan akibat dari kerusakan reseptor membran

sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian tertentu dari otak. Sebagai contoh,

HSV memiliki kecenderungan menyerang lobus temporal inferior dan medial.

Lain halnya dengan virus yang menyerang Grey Matter, seperti ensefalitis akut
dan postinfeksi-encephalomyelitis (PIE), campak, Epstein-Barr Virus, dan

Citomegalo Virus (CMV), merupakan proses respon kekebalan tubuh yang

mengakibatkan demielinisasi multifokal dari White Matter.

C. Diagnosis

Manifestasi Klinis

Anamnesis lengkap diperlukan, karena umumnya pasien sering datang

dengan penurunan kesadaran, disorientasi, delirium atau bahkan koma. Selain

demam akut seperti pada meningitis, pasien dengan ensefalitis umumnya

mengalami konfusi/ kebingungan, kelainan perilaku, tingkat kesadaran yang

berubah, terdapat tanda dan gejala kelainan neurologis lainnya. Perubahan tingkat

kesadaran dapat terjadi, mulai dari kelesuan yang ringan sampai koma dalam.

Pasien dengan ensefalitis mungkin memiliki halusinasi, agitasi, perubahan

kepribadian, gangguan perilaku, dan kadang-kadang terjadi keadaan psikotik.

Kejang fokal atau umum terjadi pada sebagian besar pasien dengan

ensefalitis berat. Hampir setiap jenis kemungkinan gangguan neurologik fokal

telah dilaporkan pada ensefalitis virus, dengan tanda dan gejala mencerminkan

adanya infeksi dan peradangan. Gejala yang paling sering ditemukan adalah

afasia, ataksia, hemiparesis (dengan hiperaktif reflex tendon dan respon ekstensor

plantar, dan defisit saraf kranial (kelemahan otot wajah). Meskipun daerah SSP

yang diserang pada setiap virus berbeda, namun cukup sulit untuk membedakan

tipe ensefalitis virus tersebut jika ditinjau dari gambaran klinis.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium: Darah Rutin; lekosit : normal atau lekopeni

(lekositosis ringan). Dari kimia darah ditemukan amilase serum sering


meningkat pada parotitis, fungsi hati abnormal dijumpai pada hepatitis virus

dan mononucleosis infeksiosa, dan pemeriksaan anti bodi-antigen spesifik

untuk HSV, CMV, dan HIV. Elektrolit; dalam batas normal, SIADH terjadi

pada 25% pasien dengan ensefalitis St Louis.

2. Pungsi lumbal apabila tidak ada kontraindikasi, ditemukan cairan

serebrospinal jernih dan tekanannya dapat normal atau dapat meningkat dan

fase dini dapat dijumpai peningkatan sel PMN serta glukosa dan klorida

normal.

3. Elektroensefalografi (EEG) dilakukan apabila ada manifestasi kejang.

4. Polymerase chain reaction (PCR); PCR untuk DNA HSV 100% spesifik dan

75-98% sensitif dalam 25-45 jam pertama.

5. Radiologi. CT-scan merupakan salah satu modalitas pilihan pada kasus

ensefalitis. Pada keadaan awal, dapat tidak ditemukan kelainan intrakranial.

Namun, pada proses lanjut dapat ditemukan lesi yang hipodens dan terjadi

penyangatan/enhancement post pemberian kontras disertai edema yang hebat

disekitarnya (perifokal edema) sehingga menimbulkan efek massa intracranial.

Dapat pula ditemukan perdarahan intrakranial. Lokasi tersering adalah pada

lobus frontalis dan temporalis baik unilateral maupun bilateral.

Gambar 2.6 (1) CT scan kepala potongan aksial menunjukkan lesi massa yang
besar dengan edema pada hemisfer kanan. (2) CT scan dengan kontras
menunjukkan lesi massa yang besar dengan gambaran annular di hemisfer kanan
disertai mid line shift ke kiri.

MRI jauh lebih sensitif dalam mendeteksi perubahan parenkim otak,

bahkan sejak onset 24-48 jam pertama. Pada fase akut setelah pemberian kontras

media selektif peningkatan hipokampus dapat diamati, menunjukkan afinitas virus

pada hipokampal, parahipokampal dan korteks insular. Dalam hal perluasan

infeksi, MRI dapat menunjukkan lesi di pusat korteks atau korteks temporal

anterior, insula dan inti grey matter pada hemisfer serebral

D. Diagnosis Banding

1. Abses otak

Abses otak adalah suatu proses infeksi yang melibatkan parenkim

otak; terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan

atau melalui system vaskuler. Riwayat sebelumnya menderita penyakit otitis

media, mastoiditis, sinusitis supuratif, atau infeksi pada wajah, kulit kepala,

atau tengkorak. Abses otak jarang ditemukan dan memiliki gambaran nyeri

kepala, demam, dan tanda neurologis fokal. Secara umum abses berdekatan

dengan tempat infeksi. Abses metastasis biasanya terletak disepanjang arteri

serebri media. Abses otak paling sering terjadi antara usia 20 – 50 tahun

namun pernah ditemukan dalam semua kelompok usia.


Umumnya, CT Scan dapat mengidentifikasi dan melokalisasi abses

besar dan abses-abses kecil di sekitarnya. Pada CT scan, infeksi awal dapat

dilihat hanya sebagai daerah hypodensity, dengan sedikit peningkatan terjadi

setelah pemberian media kontras intravena. Seiring waktu, sebagai

neovascularity dan kapsul kolagen berkembang, pola peningkatan dering akan

menjadi jelas.

2. Meningitis

6.

Meningitis merupakan infeksi yang menyerang menings biasanya

disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. Meningitis sering terjadi akibat

penyebaran infeksi dari tempat lain di tubuh, misalnya sinus, telinga, atau

saluran napas atas. Pada ensefalitis ataupun meningitis dapat timbul gejala

peningkatan tekanan intrakranial, fotofobia, demam, biasanya gejalanya lebih

parah pada ensefalitis. Pada meningitis sering dijumpai nyeri dan kekakuan

leher akibat iritasi saraf spinalis.

E. Terapi

Umum: perawatan 5 B yang meliputi: Brain; untuk mencegah timbulnya

edema otak dan timbulnya kejang. Breathing; dengan membebaskan jalan nafas

dan ventilasi diusahakan adekuat. Bila ada indikasi, berikan O2 1-2 liter/ menit

sampai hasil analisis gas darah menunjukkan PaO2 > 90 % dan PaCO2 28-34

mmHg. Blood; mempertahankan perfusi darah ke otak tetap adekuat/optimal.

Bladder; kandung kemih dikosongkan dengan kateteriasi. Bowel; fungsi defekasi /

pencernaan dan nutrisi harus tetap terjaga. Nutrisi peroral hanya boleh diberikan
setelah hasil tes fungsi menelan baik. Bila pasien tidak sadar dianjurkan melalui

pipa nasogastrik.

Terapi simtomatik: anti edema serebri; deksametasone 0,2 mg/kgBB/i.v

dilanjutkan 0,1 mg/kgBB/i.v (tappering off) atau manitol 20% 1-2 mg/ kgBB/kali

diberikan tiap 6 jam dilanjutkan 0,25-0,5 g/kgBB (tapering off). Kejang; diazepam

10-20 mg iv perlahan-lahan dapat diulang sampai 3x dengan interval 15-30 menit.

Bila masih kejang berikan phenytoin 100-200 mg/12 jam/hari dilarutkan dalam

NaCl dengan kecepatan maksimal 50 mg/ menit.

Terapi kausal: Untuk HSV, diberikan Acyclovir 10-12,5 mg / kgBB / 8 jam

selama 10 hari atau 200 mg/kgBB diberikan selama 5 – 6 kali sehari.

BAB III
KESIMPULAN

1. Meningoensefalitis berarti peradangan pada otak (encephalon) dan

selaput pembungkusnya (meningen).


2. Meningitis adalah suatu peradangan yang mengenai satu atau semua

lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang

belakang, yang menimbulkan eksudasi (keluarnya cairan) berupa pus

(nanah) atau serosa


3. Meningitis terbagi menjadi meningitis bakterial, meningitis viral dan

meningitis jamur.
4. Pada ensefalitis terjadi peradangan jaringan otak yang dapat mengenai

selaput pembungkus otak dan medula spinalis.


5. Pemeriksaan fisik yang dapat membantu penegakan diagnosis meningitis

dan ensefalitis adalah inspeksi, palpasi, pemeriksaan sensorik,

pemeriksaan motorik, refleks fisiologis dan tes-tes khusus


6. Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, lumbal pungsi dan radiologis

DAFTAR PUSTAKA

Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical neurology. 6 th ed. New York:

McGraw-Hill; 2005.
Campbell, William W. 2005. DeJong's The Neurologic Examination, 6th Edition.

Lippincott Williams & Wilkins.


Roos L.Karen, Tyler L. Kenneth. Meningitis, Encephalitis, Brain Abses,and

Empyema. In: Kasper, Brounwald, Fauci, Hauser,Longo, Jameson, eds.

Harrison’s Principal of Internal Medicine. 16 th ed. New York: Mc Graw

Hill Companies; 2005. p.2480-83.


Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.


Eisenberg L.Ronald, Johnson M. Nancy. Encephalitis. In: Eisenberg L.Ronald,

Johnson M. Nancy, eds. Comprehensive Radiographic Pathology. 4th ed.

Philadelphia: Mosby Inc; . p.312.


Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine Mc Carty. 2006. Patofisiologi:

Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.


Wilkinson I, Lennox G. Essential neurology. 4th ed. Massachusetts: Blackwell

Publishing; 2005: 86-7.


TEXT BOOK REVIEW

MENINGITIS

Diajukan kepada :
dr. Tutik Ermawati, Sp.S, M.Si.Med

Disusun Oleh :
Agus Heryana
G1A212140

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014
LEMBAR PENGESAHAN
TEXT BOOK REVIEW

MENINGITIS

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof.dr. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: Agustus 2014

Disusun Oleh :
Agus Heryana G1A212140

Purwokerto, Agustus 2014


Mengetahui
Pembimbing,

dr. Tutik Ermawati, Sp.S, M.Si.Med


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan Text Book Review dengan judul “MENINGITIS”.

Penulis menyadari bahwa Text Book Review ini masih banyak

kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi

sempurnanya presentasi kasus ini. Akhirnya penulis berharap, semoga Text Book

Review ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan.

Purwokerto, Agustus 2014

Penulis

Anda mungkin juga menyukai