BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
I. Latar Belakang.............................................................................................................................1
II. Tujuan............................................................................................................................................1
BAB II.........................................................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................................................2
Definisi....................................................................................................................................................2
I. Etiologi..........................................................................................................................................2
III. Patofisiologi.............................................................................................................................4
IV. Klasifikasi.................................................................................................................................5
V. Komplikasi....................................................................................................................................5
VIII. Penatalaksanaan.....................................................................................................................9
BAB III......................................................................................................................................................12
ASUHAN KEPERAWATAN....................................................................................................................12
1. Pengkajian..................................................................................................................................12
2. Diagnosa Keperawatan...........................................................................................................12
A. Pre operasi...............................................................................................................................12
B. Post operasi.............................................................................................................................13
3. Intervensi keperawatan...........................................................................................................13
1. Pre operasi...............................................................................................................................13
2. Post Operasi............................................................................................................................19
BAB IV......................................................................................................................................................22
PENUTUP................................................................................................................................................22
A. KESIMPULAN.........................................................................................................................22
B. SARAN.....................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan perkembangan komponen intrinsic
pada system saraf enteric yang ditandai oleh absennya sel-sel ganglion pada
pleksus myenterik dan submukosa di intestinal distal. Karena sel-sel ini bertanggung
jawab untuk peristaltic normal, pasien-pasien penyakit Hirschprung akan mengalami
obstruksi intestinal fungsional pada level aganglion. Hisprung adalah penyebab
obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang
paling sering pada neonatus. Gejala klinis penyakit Hirscshprung biasanya mulai
pada saat lahir. Sembilan puluh Sembilan persen bayi lahir cukup bulan
mengeluarkan meconium dalam waktu 48 jam setelah lahir. Penyakit Hirscshprung
harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan (penyakit ini tidak biasa terjadi
pada bayi kurang bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja.
Insiden penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar di satu di antara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia
220 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1540 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 40 sampai 60 pasien
penyakit Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, Down Syndrome (5-10%) dan
kelainan urologi (3%) adalah kelainan yang paling sering diantara beberapa kelainan
kongenital lainnya (Harsalin, 2014).
II. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memaham konsep asuhan keperawatan tentang penyakit
hirchsprung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Penyakit hirschsprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit
ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas)
yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar
dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon).
Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu. Penyakit
hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada usus,
dapat dari kolon sampai pada usus halus (Hidayat M, 2009)
Gambar 1. Anatomi colon yang terjadi hirschsprung
I. Etiologi
1. Faktor genetik dan Down Syndrom
Dalam beberapa kasus, penyakit ini mungkin warisan, bahkan jika orang tua tidak
memiliki penyakit. Hirschsprung juga 10 kali lebih sering terjadi pada anak-anak
dengan down syndrome. Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada
anak dengan down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam
dinding usus, kelainan kardiovaskuler dan gagal eksistensi kranio kaudal pada
myenterik dan submucosa dinding plexus. Pada penyakit hisprung tidak memiliki
plexus myenteric sehingga bagianusus yang bersangkutan tidak dapat
mengembang. Dimana insiden keseluruhan 1 : 1500 kelahiran hidup. Laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan (4: 1).
2. Tidak adanya sel-sel ganglion dalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding
usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70% terbatas di daerah
rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5% dapat mengenai
seluruh usus sampai pilorus.
3. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus
Secara fungsional, karena bayi tumbuh dalam kandungan, kumpulan sel saraf
(ganglia) mulai terbentuk antara lapisan otot di bagian usus besar yang panjang.
Proses ini dimulai pada bagian atas dan berakhir di usus besar bagian bawah.
Pada anak-anak dengan penyakit hirschsprung, proses ini tidak selesai dan tidak
ada ganglion di sepanjang seluruh panjang dengan dua titik. Kadang-kadang sel-sel
yang hilang hanya beberapa centimeter dari usus besar. Mengapa hal ini terjadi
tidak diketahui secara pasti. Hal ini dapat dikaitkan dengan beberapa mutasi gen.
Hal ini juga dikaitkan dengan beberapa kelenjar endokrin neoplasia, sebuah
sindrom yang menyebabkan noncancerous Tumors di lendir membranes dan
adrenal glands (terletak di atas ginjal) dan kanker dari thyroid gland (terletak di
bagian bawah leher).
4. Ketidakmampuan sfingter rektum berelaksasi
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima universal
untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit merupakan parameter
yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi,
meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan
keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya
sedikit-sedikit dan sering.
2. Anak
- Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis.
- Gizi buruk (failure to thrive).
- Dapat pula terlihat gerakan peristaltic usus di dinding abdomen.
- Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
- Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari
dan biasanya sulit untuk defekasi (Kesman, 2008)
III. Patofisiologi
Dimulai dari penyebab, yaitu genetik dan lingkungan. Gen-gen dari orang tua
yang menyebabkan kerusakan atau gangguan mutasi pembelahan sel, sehingga
mempengaruhi persarafan yang ada di sel tersebut. Faktor lingkungan yang bisa
menjadi penyebab seperti paparan radiasi yang menyebabkan gangguan pertumbuhan
dan perkembangan janin dari faktor penyebab tersebut menimbulkan bayi yang baru
lahir tidak mempunyai sel ganglion pada submukosa kolon. Baik megakolon konginetal
segmen pendek, megakolon konginetal segmen panjang, kolon aganglionik total dan
kolon aganglionik universal.
Dari tidak adanya sel ganglion pada submukosa kolon akan menyebabkan
kerusakan rangsangan saraf parasimpatis sehingga gerakan peristaltik terganggu dan
sfinkter rektum tidak bisa berelaksasi. Maka usus akan menjadi spasme dan evakuasi
usus terganggu. Terjadi akumulasi mekonium pada usus besar sehingga terjadi
distensi abdomen dan menimbulkan diagnosa gangguan rasa nyaman nyeri dan
gangguan pola BAB. Dari distensi abdomen tersebuit menyebabkan mual sama muntah
bercampur cairan empedu akibat arus balik karena adanya obstruksi pada kolon. Mual
dan muntah menyebabkan anoreksia sehingga timbul 2 diagnosa nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh dan volume cairan tubuh menurun.
Akibat terjadinya obstruksi pada kolon menyebabkan konstipasi pada kolon
sehingga menimbulkan pembengkakan kolon. Akhirnya terjadilah perubahan status
kesehatan pada anak. Timbulah 2 diagnosa kurang pengetahuan dan koping keluarga
tidak efektif. Ketika terjadi pembengkakan kolon dan dilakukan pemeriksaan diagnostik
ditemukan hisprung, maka pembedahan adalah salah satu penatalaksanaannya. Akan
menimbulkan diagnosa cemas, risiko tinggi injury, dan risiko tinggi infeksi.
IV. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit Hisprung dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Tipe kolon spastik, biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala
(konstipasi periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih berganti
dengan diare. Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa berupa serangan nyeri
tumpul atau kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung,
mual,sakit kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi.
Buang air besar sering meringankan gejala-gejalanya.
2. Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi yang relatif
tanpa rasa nyeri. Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan. Yang khas
adalah diare timbul segera setelah makan. Beberapa penderita mengalami perut
kembung dan konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.
3. Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
- Megakolon kongenital segmen pendek, bila segmen aganglionik meliputi rektum
sampai sigmoid (70-80%).
- Megakolon kongenital segmen panjang, bila segmen aganglionik lebih tinggi
dari sigmoid (20%).
- Kolon aganglionik total, bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-
10%).
- Kolon aganglionik universal, bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus
sampai pylorus (5%).
V. Komplikasi
1. Kebocoran Anastomose (penggabungan dua ujung usus yang sehat setelah usus
yang sakit usus dipotong oleh dokter bedah).
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi (pembentukan pembuluh
abnormal atau berlebihan) yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus,
infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca
operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam.
Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,
terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam
tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum, sepsis dan kematian. Apabila dijumpai
tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.
2. Stenosis (penyempitan)
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan terbentuknya
jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler
biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis
posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi
abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan
bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga sfinkterektomi
posterior.
3. Enterokolitis (suatu keadaan dimana lapisan dalam usus mengalami cedera dan
meradang).
Enterokolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus halus.
Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus makin dipenuhi
eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi (perlubangan saluran
cerna). Proses ini dapat terjadi pada usus yang aganglionik maupun ganglionik.
Enterokolitis terjadi pada 10-30% pasien penyakit Hirschprung terutama jika
segmen usus yang terkena panjang.
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis
adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit.
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi.
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari.
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien
dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan
kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut
Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan
oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih
spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda
obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau
busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi
nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon kongenital adalah
terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan
pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca bedah.
VIII. Penatalaksanaan
1. Medis
a. Konservatif
Pada neonatus dilakukan pemasangan sonde lambung serta pipa rektal untuk
mengeluarkan mekonium dan udara.
b. Tindakan Bedah Sementara
Kolostomi pada neonatus, terlambat diagnosis, enterokolitis berat dan keadaan
umum buruk.
c. Tindakan Bedah Defenitif
Mereseksi bagian usus yang aganglionosis dan membuat anastomosis.
2. Pembedahan
Pembedahan dilakukan dalam 2 (dua) tahap mula-mula dilakukan kolostomi loop
atau double-barrel sehingga tomus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi
dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3-4 bulan). Pada umur bayi
diantara 6-12 bulan (mulai beratnya antara 9 s/d 10 Kg), satu dari tiga prosedur
berikut dengan cara memotong usus aganglionik dan mengantomosiskan usus
yang berganglion ke rectum dengan jarak 1 inci dari anus.
- Prosedur Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia 1 tahun.
Prosedur ini terdiri atas penarikan kolon normal kearah bawah dan
menganastomosiskannya dibelakang usus agaanglionik, menciptakan dinding
ganda yang terdiri dari selubung aganlionik dan bagian posterior kolon normal
yang ditarik tersebut.
- Prosedur Swenson, bagian kolon yang aganglionik itu dibuang, kemudian
dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan saluran anal
yang dilatasi. Sfingter dilakukan pada bagian posterior.
- Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan
prosedur yang paling banyak dilakukan untuk mengobati penyakit hisprung.
Dinding otot dari segmen rektumdibiarkan tetap utuh, kolon yang bersaraf
normal ditarik sampai ke anus, tempat dilakukannya anastomosis antara kolon
normal dan jaringan otot rekto sigmonial yang tersisa.
Gambar 1.2
3. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaannya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara
lain :
- Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak
secara dini.
- Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.
- Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan).
- Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Informasi identitas, data dasar meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat,
tanggal pengkajian, pemberi informasi.
b. Data yang dapat ditemukan pada pengkajian meliputi riwayat keterlambatan
pengeluaran mekonium dalam 48 jam pertama setelah lahir, muntah berwarna
empedu, adanya konstipasi, distensi abdomen, nafsu makan berkurang atau anak
tidak mau minum ASI, tidak adanya sel ganglia pada pemeriksaan biposi rectal,
pemeriksaan barium enema menunjukkan hasil adanya zona transisi diantara zona
dilatasi normal dan segmen aganglionik, dapat disertai enterokolitis.
c. Pemeriksaan fisik
1. Sistem kardiovaskuler
Ada tidaknya kelainan akibat hysprung atau kelainan bawaan sejak lahir.
2. sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata.
3. Sistem pernapasan
Sesak napas, distres pernapasan karena distensi abdomen.
4. Sistem pencernaan
Umumnya obstipasi : perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada
anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan
merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara
dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
2. Diagnosa Keperawatan
A. Pre operasi.
a. Gangguan eliminasi BAB: obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
c. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
d. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
B. Post operasi.
a. Gangguan integritas kulit b.d kolostomi dan perbaikan pembedahan.
b. Nyeri akut b.d insisi pembedahan.
c. Kurangnya pengetahuan b.d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan
kolostomi.
d. Koping keluarga tidak efektif (kecemasan keluarga) b.d Intervensi pembedahan.
3. Intervensi keperawatan
1. Pre operasi
2. Post Operasi.
3. Mmencegah
iritasi jaring
atau kulitkarena
alergi.
3. Jelaskan
perbaikan 3.Memudahkan
pembedahan intervensi
dan proses
kesembuhan
4. Ajarkan pada
anak M 4. Mempermudah dalam
membuat mmemberikan penjelasan
gambar- papada klien
gambar 2. Meningkatan
sebagai pengetahuan dan
ilustrasi mengurangi cemas
misalnya
bagaimana
dilakukan
irigasi dan
kolostomi
5. Ajarkan
perawatan 5.Mencegah infeksi,
ostomi Mempercepat
segera penyembuhan
setelah
pembedahan
dan
lakukansuper
visi saat
orang tua
melakukan
ostomi
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik
masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan
anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orangtua
yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan
menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak.
Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami
dengan benar oleh seluruh pihak, Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk
tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara
pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi
kemungkinan yang terjadi.
B. SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit
hirschsprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 9. Jakarta : EGC