Anda di halaman 1dari 17

PENANGANAN KOAGULASI INTRAVASKULAR

DISEMINTA AKUT DAN KRONIK


Heny Syahrini Lubis, Savita Handayani, Dairion Gatot, Ricky Rivalino Sitepu
Divisi Hematologi Onkologi Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan

Koagulasi intravascular diseminata (KID) merupakan salah satu kedaruratan


medis,karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan segera. Tetapi tidak
semua KID digolongkan dalam darurat medis,hanya KID fulminan atau akut sedang KID
kronik dengan derajat rendah atau terkompensasi bukan suatu keadaan darurat. Namun
perlu di waspadai bahwa KID derajat rendah dapat berubah menjadi KID fulminant
sehingga memerlukan pengobatan segera. Pada makalah ini akan dibahas mengenai
perbedaan pada penanganan antara KID akut maupun kronik.

Definisi

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau dalam bahasa Indonesia dikenal


dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan suatu sindrom
patologiklinis yang menyebabkan berbagai komplikasi. Hal ini ditandai dengan aktivasi
sistemik jalur menuju dan mengatur koagulasi, yang dapat mengakibatkan generasi
bekuan fibrin yang dapat menyebabkan kegagalan organ bersamaan dengan konsumsi
trombosit dan faktor koagulasi yang dapat mengakibatkan klinis perdarahan [1].

Koagulasi Intravaskular Diseminta Akut dan Kronik

Terdapat 2 tipe klinis DIC yaitu akut dan kronik. Keduanya memiliki etiologi dan
manifestasi klinis yang berbeda.

1
a. DIC akut

DIC akut berkembang ketika sejumlah besar prokoagulan (faktor jaringan) memasuki
sirkulasi pada jangka waktu yang singkat (beberapa jam hingga beberapa hari),
sangat besar kemampuan tubuh untuk mengisi faktor koagulasi dan predisposisi
pasien terhadap perdarahan. DIC akut terjadi pada endotoksemia, trauma jaringan
luas, wanita hamil dengan komplikasi pre-eklampsi, atau terlepasnya jaringan
plasenta. DIC akut juga terjadi pada penderita dengan hipotensi atau syok oleh
berbagai sebab (misalnya pada tindakan operasi, stroke luas, atau serangan jantung
[2].

b. DIC kronik

Pada DIC kronik, jumlah dari faktor jaringan yang terlibat lebih kecil, sehingga
stimulasi lebih kurang kuat dari sistem koagulasi dan memungkinkan tubuh untuk
mengkompensasi penggunaan protein koagulasi dan trombosit. DIC kronik biasanya
berkembang secara perlahan dalam waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan
dengan manifestasi klinik lebih bersifat trombotik.
DIC kronik sring terjadi pada penyakit kanker (sindroma trousseau), aneurisme aorta,
dan penyakit inflamasi kronis. Pada penderita dengan penyakit kanker, faktor resiko
yang penting adalah usia lanjut, laki-laki, kanker lanjut dan nekrosis pada tumor.
Kebanyakan DIC kronik terjadi pada penederita kanker jenis adenokarsinoma paru,
payudara, prostat atau kolorektal [3].

Etiologi

Penyebab DIC dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan akut atau kronis. DIC pun
dapat merupakan akibat dari kelainan tunggal atau multipel.

DIC akut:

2
– Infeksi : Bakteri (gram negatif, gram positif, ricketsia), virus (HIV,
varicella, CMV, hepatitis, virus dengue), fungal (histoplasma), parasit (malaria)
– Keganasan : Hematologi (AML), Metastase (mucin secreting
adenocarcinoma)
– Trauma berat : aktivasi tromboplastin jaringan.
– Reaksi Hemolitik, Reaksi transfuse, Gigitan ular, Penyakit hati, Acute hepatic
failure, luka bakar.

DIC kronik:

– Keganasan : rumor solid, lekemi,


– Obstetri : intrauterin fetal death, abrasio plasenta
– Hematologi : sindrom mieloproliferatif
– Vaskular : rematoid artritis, penyakit raynaud
– Cardiovascular - infark miokard
– Inflamasi; ulcerative colitis, penyakit crohn, sarcoidosis

Pada kasus infeksi, sepsis, endotoksin mengaktivasi system koagulasi merangsang


pelepasan sitokin tumor necrosis alpha (TNF -α), interleukin (IL-1) dan komplemen
yang menyebabkan gangguan/ kerusakan endotel. Pada viremia, mekanisme yang
berkaitan dengan DIC adalah reaksi antigen-antibodi yang mengaktivasi faktor XII,
reaksi pelepasan trombosit atau pengelupasan endotel dengan melibatkan kolagen su b
endotel dan membrana basalis [4].
Pada kasus keganasan terutama tumor padat, keadaan ini disebabkan oleh penekanan oleh
tumor tersebut, factor jaringan dan factor koagulan yang dilepaskan oleh sel tumor
tersebut atau melalui aktivasi sel endotel oleh sitokin (IL1, vascular endothelial growth
factor/VEGF, TNF) [5].
Pada pasien dengan kasus obstetri seperti solusio plasenta, jaringan atau enzim dari
plasenta dilepaskan ke dalam uterus dan sirkulasi sistemik, menyebabkan aktivasi sistem
koagulasi [6].

3
Beberapa penyakit autoimun, penyakit kardiovaskular dapat menyebabkan DIC derajat
ringan (low-grade DIC) atau DIC kompensata. Mekanisme terjadinya tidak jelas, tetapi
mungkin disebabkan oleh syok, hipoksia, dan asidosis yang mengakibatkan gangguan
endotel aktivasi faktor pembekuan [6].

Patofisiologi

Patofisiologi dasar DIC adalah terjadinya : [5, 7, 8]

1. Aktivasi system koagulasi (consumptive coagulopathy)


2. Depresi prokoagulan
3. Defek Fibrinolisis

Pembentukan fibrin secara sistemik terjadi akibat peningkatan pembentukan trombin,


bersamaan dengan mekanisme supresi antikoagulan fisiologis dan destruksi fibrin yang
terlambat, pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan fibrinolisis.
Hampir semua respon inflamasi sistemik , gangguan koagulasi dan fibrinolisis pada DIC
dimediasi oleh beberapa sitokin proinflamasi. Mediator yang terlibat dalam aktivasi
koagulasi terutama interleukin 6 (IL-6). Tumor necrosis factor (TNF) secara tidak
langsung mempengaruhi pengaktifan koagulasi karena efeknya pada IL-6 dan merupakan
mediator yang penting dalam disregulasi jalur antikoagulan fisiologis dan defek
fibrinolisis.9 Ada 3 proses yang terlibat dalam terjadinya DIC, yaitu sebagai berikut :

Pembentukan Trombin

Pembentukan trombin sistemik pada binatang percobaan dengan DIC menunjukkan


bahwa secara eksklusif, proses ini diperantarai oleh jalur ekstrinsik yang melibatkan
faktor jaringan (TF) dan faktor VIIa. Trombin di dalam sirkulasi memecah
fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga merangsang agregasi trombosit,
mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas aktivator plasminogen yang
membentuk plasmin. Plasmin memecah fibrin membentuk produk degradasi fibrin
dan selanjutnya menginaktivasi faktor V dan VIII. Aktivitas trombin yang berlebihan

4
mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor koagulasi,
dan fibrinolisis, yang mengakibatkan perdarahan difus [5].

Defek pada Inhibitor Koagulan

Antikoagulan fisiologis terdiri atas antithombin III, protein C, dan tissue factor–
pathway inhibitor (TFPI). Kadar antitrombin III dalam plasma menurun akibat
koagulasi berkelanjutan, degradasi oleh elastase yang dilepaskan dari neutrofil yang
teraktivasi, dan gangguan sintesis antitrombin III.
Gangguan pada sistem protein C dapat mengganggu regulasi aktivitas koagulasi.
Penurunan aktivitas protein C disebabkan oleh gabungan gangguan sintesis protein,
penurunan aktivitas trombomodulin endotel yang diperantarai sitokin, dan kurangnya
kadar fraksi bebas protein S (kofaktor penting protein C). Protein C diubah menjadi
protease aktif oleh trombin setelah terikat pada trombomodulin. Tissue factor yang
merupakan pencetus DIC dihambat oleh tissue factor-pathway inhibitor (TFPI) [7].

Defek Fibrinolitik

Penelitian pada binatang percobaan dengan DIC mengindikasikan bahwa sistem


fibrinolitik sebagian besar tertekan pada saat aktivasi koagulasi maksimal. Inhibisi ini
disebabkan oleh peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1)
yang menetap. Penelitian klinis menunjukkan bahwa supresi fibrinolisis diperantarai
oleh PAI-1 dan walaupun ada beberapa aktivitas fibrinolitik dalam respon terhadap
pembentukan fibrin, tingkat aktivitas ini terlalu rendah untuk mengimbangi deposisi
fibrin sistemik [8].

5
Gambar 1. Patogenesis terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) [4]

DIC mempunyai dua akibat : (1) Endapan fibrin yang meluas dalam mikrosirkulasi.
Keadaan ini meyebabkan iskemi alat-alat vital tubuh yang terkena lebih parah atau lebih peka
dan menimbulkan hemolisis karena eritrosit mendapat trauma sewaktu melewati anyaman
fibrin (anemia hemolisis mikroangiopati). (2) Diatesis perdarahan terjadi jika trombosit dan
faktor pembekuan diboroskan. Keadaan menjadi lebih buruk kalau pembekuan ekstensif
mengaktifkan plasminogen. Plasmin tidak hanya dapat memecah fibrin (fibrinolisis), tetapi
juga mencerna faktor V dan VIII, sehingga lebih lanjut mengurangi konsentrasinya.
Disamping itu fibrinolisis berakibat pembentukan produk degradasi fibrin yang mempunyai
dampak menghambat pengendapan trombosit, memiliki aktivitas antitrombin dan merusak
polimerasi fibrin. Semua keadaan ini dapat menyebabkan kegagalan hemostasis [5].

6
Manifestasi klinis

Manifestasi klinis DIC bervariasi. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan
penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi
organ, dan perdarahan Kebanyakan pasien mengalami perdarahan yang luas pada kulit dan
membran mukosa. Manifestasi perdarahan yang tejadi dapat berupa peteki, purpura,
ekimosis, atau hematoma. Perdarahan yang terjadi akibat bekas suntikan atau tempat infusa
tau pada mukosa sering ditemukan pada DIC akut. Perdarahan ini juga bisa masif dan
membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata.
Sedangkan pasien dengan DIC kronik umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada kulit
dan mukosa. Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria
dapat menyertai.

Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat
berupa bulla hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena dan arteri besar dapat
terjadi, tetapi relatif jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat
berupa akrosianosis perifer, pregangren sampai gangren pada jari- jari, genitalia dan hidung,
iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan acute respiratory distress
síndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran [9].

Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain [9]:


 Sirkulasi : Dapat terjadi syok hemoragik
 Susunan saraf pusat : Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma, Perdarahan
Intrakranial
 Sistem Kardiovaskular : Hipotensi, Takikardi, Kolapsnya pembuluh darah perifer
 Sistem Respirasi : Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas yang
dapat menyebabkan kematian.
 Sistem Gastrointestinal : Hematemesis, Hematochezia
 Sistem Genitourinaria : Hematuria, Oliguria, Metrorrhagia, Perdarahan uterus

7
Gambar 2. Manifestasi pada kulit yang ditemukan pada DIC. A. Perdarahan pada kulit
(purura dan equimosis) B. Tampak lesi pregangren pada daerah tangan, semua jari dan
telapak tangan tampak kehitaman.C.Tampak ekimosis pada anggota gerak bawah D. Tampak
lesi gangren berwarna hitam pada kedua tungkai.

Diagnosis

Untuk membuat diagnosis DIC dari berbagai tingkat dapat dikemukakan proses
terjadinya gangguan koagulasi. Ada juga sistem scoring untuk DIC ysng dikemukakan
pada pertemuan Scientific and Standarization committee International Society on
8
Thrombosis and Homeostasis yang paling banyak dianut [5]. Langkah-langkah
mendiagnosis DIC sebagai berikut:

1. Penentuan risiko : apakah terdapat kelainan dasar atau etiologi yang mencetuskan
DIC? Jika tidak, Penilaian tidak dianjurkan
2. Uji koagulasi (Jumlah Trombosit, PT, Fibrinogen, FDP/D-Dimer)
3. SKOR : Liat gambar 3

Gambar 3. Langkah-langkah dalam menegakkan DIC

9
Tabel 1. Temuan Karakteristik pada DIC akut dan Kronik
DIC akut DIC kronik
Hitung trombosit Rendah Rendah
APTT dan PT Memanjang Bervariasi
Fibrinogen Rendah Bervariasi
Produk degradasi fibrin Tinggi Tinggi
Inhibitor koagulasi (AT, PC, Rendah Rendah
PS)
Plasminogen Rendah Rendah
Aktivator Plasminogen Tinggi Tinggi
Jaringan
Inhibitor activator Tinggi Tinggi
plasminogen -1 (PAI -1)
Anemia Ada Ada
Hemostasis Oozing (merembes) Trombosis
persisten

Terapi

Pengelolaan DIC bergantung pada penyakit yang mencetuskan terjadinya DIC dan juga
derajat dari DIC. Maka pengobatan kasus demi kasus berbeda satu dengan lainnya.
Kadang pemberian heparin pada kasus yang satu sangat diperlukan, sebaliknya pada
kasus yang lain sama sekali tidak. Jadi setiap individu harus dilihat keuntungan dan
kerugian dari pengobatan [10].
Meskipun pengelolaan DIC berbeda tiap kasusnya, fokus utama dari pengobatan ialah
untuk menterapi penyebab utama terjadinya koagulasi yang berlebihan. Pada beberapa
kasus, penyebab DIC tidak dapat ditangani secara langsung (contoh: kasus malignasi).
Oleh karenanya diperlukan penanganann khusus untuk mencegah terjadinya trombosis

10
dan juga perdarahan. Terapi DIC dibagi menjadi terapi substitusi, antikoagulasi,
pemulihan anticoagulation pathway, dan pemberian agen lainnya (dapat dilihat pada
tabel) [2].

Tranfusi komponen darah

Pemberian komponen darah perlu dilakukan pada pasien yang kekurangan komponen
darah akibat konsumsi yang berkelanjutan. Secara khusus, terapi penggantian hanya
digunakan pada pasien yang memiliki gejala klinis perdarahan dan tidak digunakan
untuk mengobati pasien dengan kelainan laboratorium tanpa adanya klinis perdarahan
[2, 4]. Fresh frozen plasma (FFP) merupakan pilihan utama karena memiliki faktor-
faktor koagulasi yang lebih lengkap [5]. Dosis untuk setiap komponen darah
dirangkum dalam tabel dibawah.
Terapi substitusi komponen darah direkomendasikan pada pasien DIC akut maupun
kronis dengan perdarahan aktif. Pasien tanpa adanya perdarahan tidak anjurkan untuk
dilakukan substitusi [11].

11
Tabel 2. Terapi substitusi komponen darah [2]

12
Antikoagulasi

Terapi antikoagulan telah direkomendasikan sebagai untuk mengatasi koagulasi


yang berlebihan pada DIC. Tapi dalam prakteknya manfaat ini jarang terlihat.
Untuk pasien yang secara aktif perdarahan, heparin akan memperburuk
pendarahan sebelum manfaat potensial. Dalam sebagian besar situasi khas DIC
akut (yang mencakup 95% atau lebih pasien) terapi heparin belum terbukti
berguna dan mungkin berbahaya. Heparin telah terbukti memiliki efek yang
menguntungkan dalam kecil, studi terkontrol pasien dengan koagulasi
intravaskular diseminata, tetapi tidak dalam uji klinis terkontrol [12].
Meskipun kontroversi, heparin dapat digunakan dalam kasus DIC kronis, di mana
trombosis mendominasi (contoh: purpura fulminans, tumor padat, hemangioma,
sindrom janin mati). Heparin biasanya diberikan pada dosis yang relatif rendah (5-
10 unit / kg berat badan / jam) dengan infus intravena kontinu atau injeksi
subkutan untuk terapi rawat jalan jangka panjang. Dosis rendah heparin subkutan
tampaknya seefektif atau mungkin lebih efektif daripada dosis yang lebih besar
dari heparin intravena di DIC. Namun demikian, harus dilakukan dengan sangat
hati-hati bila menggunakan heparin, dan itu harus dihentikan pada sedikit sedikit
memburuk pendarahan [2].
Sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa low molecular weight heparin
(LMWH) pada dosis 1 mg/kg/12 jam lebih unggul dari unfractionated heparin
(UFH) dalam mengobati DIC, menunjukkan bahwa penggunaan LMWH lebih
disukai dibandingkan UFH pada DIC [13].

c. Antifibrinolotik

Penggunaan obat antifibrinolisis seperti asam traneksamat dapat mencegah


degradasi fibrin oleh plasmin sehingga dapat mengurangi pendarahan pada pasien
DIC dan yang mengalami hiperfibrinolisis (gambar 4). Akan tetapi, obat ini dapat
meningkatkan risiko terjadinya trombosis sehingga penggunaan heparin
diindikasikan. Terapi ini sangat berguna pada beberapa pasien DIC akut dimana
resiko perdarahan lebih besar dibandingkan terjadinya tombosis [12].
13
Gambar 4. Tahap-tahap hemostasis. (1), (2) Hemostasis primer. (3) Hemostasis sekunder.
dan (4), (5) Hemostasis tersier

Natural protease inhibitor

Pada pasien DIC terdapat defisiensi inhibitor koagulasi (gambar 1). Pemberian
protease inhibitor dapat memulihkan jalur antikoagulan fisiologis sehingga
jumlah trombin yang berlebihan dapat dicegah. Natural protease inhibitor yang
dapat diberikan pada pasien DIC berupa anti thrombin dan protein C.
Antitrombin (AT) adalah inhibitor utama trombin, penggunaannya dalam DIC
tentu sangat rasional. Antitrombin juga memiliki sifat anti-inflamasi (mengurangi
protein C-reaktif dan IL-6) yang sangat bermanfaat pada DIC. Beberapa uji klinis
kecil pada manusia telah menunjukkan efek menguntungkan dari segi peningkatan
14
parameter koagulasi dan fungsi organ. Dosis yang digunakan biasanya antara
1500-3000 unit/hari [14].
Pada pasien DIC biasanya terjadi defisiensi protein C. Pemberian konsentrat
activated protein C (APC) dari 12μg / Kg / jam sampai 30 ug / Kg / jam pada
pasien dengan sepsis berat yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien
[15].
Pemulihan jalur antikoagulasi sangat direkomendasikan pada DIC kronik dimana
biasanya terjadi kegagalan fungsi organ akibat thrombosis yang berlebihan.
Sedangkan pada DIC akut biasanya tidak memiliki manfaat yang terlihat.

Agen anti-Xa

Agen anti-Xa seperti Fondaparinux® dan Danaparoid sodium® masih tergolong


baru. Agen anti-Xa mengaktifkan AT khusus untuk menghambat Xa (gambar 5).
Pengobatan dengan Fondaparinux® dianjurkan untuk profilaksis DVT setelah
operasi; Namun, ada sedikit bukti untuk mendukung penggunaannya pada pasien
DIC. Ada sedikit bukti yang menunjukkan manfaat penggunaan agen ini pada
pasien dengan DIC, dan tidak dianjurkan pada kondisi akut dengan perdarahan.
Obat ini juga tidak dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal [12].

Gambar 5. Regulasi dari system koagulasi

15
Secara singkat, terapi-terapi yang direkomendasikan untuk DIC akut ataupun kronis
dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel 3. Terapi pada DIC


Terapi DIC akut DIC kronis
Pengobatan penyakit Direkomendasikan Direkomendasikan
penyebab DIC
Transfusi komponen darah Pada pasien dengan Pada pasien dengan
perdarahan perdarahan
Heparin Tidak direkomendasikan Direkomendasikan
Antifibrinolitik Direkomendasikan Tidak direkomendasikan
Protease inhibitor Tidak direkomendasikan Direkomendasikan
Anti-Xa Tidak direkomendasikan direkomendasikan

Kesimpulan

Dari makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa DIC dapat dikategorikan menjadi akut
dan kronis. DIC akut dapat berupa perdarahan spontan dan perdarahan massif, sedangkan
DIC kronis dapat berupa kegagalan fungsi organ maupun asimptomatis. Penanganan DIC
harus dibedakan berdasarkan gejalan klinis yang ada.

16
Daftar Pustaka

1. Taylor, F., et al., Towards definition, clinical and laboratory criteria, and a scoring system for
disseminated intravascular coagulation. THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS-STUTTGART-, 2001.
86(5): p. 1327-1330.
2. Kusuma, B. and T.K. Schulz, Acute Disseminated Intravascular Coagulation. Hospital Physician,
2009. 45: p. 35-40.
3. Green, D. and C.A. Ludlam, Fast Facts: Bleeding Disorders2004: Health Press.
4. Levi, M. and H. Ten Cate, Disseminated intravascular coagulation. New England Journal of
Medicine, 1999. 341(8): p. 586-592.
5. Franchini, M., G. Lippi, and F. Manzato, Recent acquisitions in the pathophysiology, diagnosis
and treatment of disseminated intravascular coagulation. Thromb J, 2006. 4(4): p. 1-9.
6. Bick, R.L., Disseminated intravascular coagulation: a review of etiology, pathophysiology,
diagnosis, and management: guidelines for care. Clinical and applied thrombosis/hemostasis:
official journal of the International Academy of Clinical and Applied Thrombosis/Hemostasis,
2002. 8(1): p. 1-31.
7. Ten Cate, H., et al., Disseminated intravascular coagulation: pathophysiology, diagnosis, and
treatment. New horizons (Baltimore, Md.), 1993. 1(2): p. 312-323.
8. Saba, H.I. and G.A. Morelli, The pathogenesis and management of disseminated intravascular
coagulation. Clin Adv Hematol Oncol, 2006. 4(12): p. 919-926.
9. Levi, M., et al., Guidelines for the diagnosis and management of disseminated intravascular
coagulation. British journal of haematology, 2009. 145(1): p. 24-33.
10. Levi, M., E. de Jonge, and T. van der Poll, New treatment strategies for disseminated
intravascular coagulation based on current understanding of the pathophysiology. Annals of
medicine, 2004. 36(1): p. 41-49.
11. Labelle, C.A. and C.S. Kitchens, Disseminated intravascular coagulation: treat the cause, not the
lab values. Cleve Clin J Med, 2005. 72(5): p. 377-8.
12. Wada, H., T. Matsumoto, and Y. Yamashita, Diagnosis and treatment of disseminated
intravascular coagulation (DIC) according to four DIC guidelines. Journal of Intensive Care, 2014.
2(1): p. 15.
13. Sakuragawa, N., et al., Clinical evaluation of low-molecular-weight heparin (FR-860) on
disseminated intravascular coagulation (DIC)-a multicenter co-operative double-blind trial in
comparison with heparin. Thrombosis research, 1993. 72(6): p. 475-500.
14. Okajima, K. and M. Uchiba. The anti-inflammatory properties of antithrombin III: new
therapeutic implications. in Seminars in thrombosis and hemostasis. 1997.
15. Bernard, G., et al., Recombinant human activated protein C (rhAPC) produces a trend toward
improvement in morbidity and 28 day survival in patients with severe sepsis. Critical Care
Medicine, 1999. 27(1): p. 33A.

17

Anda mungkin juga menyukai