Anda di halaman 1dari 5

Hukuman Penjara bagi Pelaku Aborsi Pelaku Aborsi Korban Pemerkosaan

Damar Sanubari

damarasanuba@gmail.com

Ilmu hukum. Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Aborsi merupakan salah satu perbuatan yang tabu untuk dilakukan. Pasal 346 sampai
349 KUHP melarang segala bentuk tindakan aborsi. Sedangkan menurut UU
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 75 Ayat 2 memperbolehkan dilakukannya
aborsi, apabila seseorang memiliki indikasi medis atau kehamilan yang terjadi akibat
tindak pemerkosaan sehingga dapat mengancam psikologi korban. Akan tetapi,
beberapa waktu yang lalu, WA 15 tahun, divonis 6 bulan penjara akibat melakukan
aborsi yang dipaksakan oleh ibu kandungnya. WA merupakan korban pemerkosaan
kakak kandungnya. Hal tersebut tentunya tidak relevan dengan UU kesehatan yang
memperbolekan adanya tindak aborsi apabila kehamilan yang terjadi merupakan
akibat dari adanya tindak pemerkosaan. Tujuan yang diharapkan adalah mengetahui
apa yang menyebabkan seseorang dapat dipenjara karena melakukan tindak aborsi,
sedangkan jelas tercantum di dalam UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 75
Ayat 2 bahwa aborsi diperbolehkan apabila ada indikasi medis atau kehamilan yang
terjadi akibat tindak pemerkosaan.Peraturan perundang – undangan yang tidak sinkron
antara yang satu dengan yang lainnya menyebabkan sulitnya penangan kasus aborsi
akibat korban pemerkosaan. Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini
adalah yuridis normative.Hukuman penjara bagi pelaku aborsi korban pemerkosaan,
seharusnya tidak dapat terjadi. Terutama dalam kasus WA, korban masih berada di
bawah umur dan aborsi yang terjadi merupakan paksaan dari ibu kandung korban,
sehingga korban tidak memenuhi persyaratan untuk dijatuhi hukuman penjara
mengingat pengguran kandungan diperbolehkan sebelum usia janin memasuki umur
empat puluh hari dihitung dari tanggal terakhir korban mengalami menstruasi
Kata Kunci: Aborsi, pemerkosaan, hukuman penjara
PENDAHULUAN

Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan mengingat urgensi yang saat ini tengah
terjadi kalangan masyarakat. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengkaji keputusan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian Batanghari atas vonis yang dijatuhkan
kepada WA 15 tahun karena melkukan aborsi akibat kehamilan yang terjadi kerena tindak
pemerkosaan dan peraturan perundang - udangan yang berkenaan dengan tindak aborsi
apabila hal tersebut dilakukan oleh korban pemerkosaan. Penelitian ini penting bagi korban
pemerkosaan yang melakukan aborsi untuk mendapatkan perlindungan dari hukum di
Indonesia.
Aborsi disebut juga dengan Abortus provocatus. Abortus provocatus adalah pengguran
kandungan yang disengaja terjadi karena perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan
kandungannya, meliputi abortus proovatus medicinalis dan abortus provocatus criminalis.
Abortus provocatus medicinalis merupakan pengguan kandungan yang berdasarkan alasan
atau pertimbangan medis. Sedangkan abortus provocatus criminalis merupakan pengguran
kandungan yang dilakukan dengan sengaja dengan melanggra ketentuan hukum yang
berlaku. Secara etimologis akar kata aborsi berassal dari bahasa Inggris, abortion(medical
operation to abort a child) dalam bahasa Latin disebut abortus yang berarti gugurnya
kandungan.Secara terminilogi aborsi berarti pengeluaran secara paksa janin dalam kandungan
sebelum mampu hidup di luar kandungan.
Aborsi dapat terjadi akibat adanya indikasi medis yang dapat mengancam Ibu yag
mengandung dan keamila akibat pemerkosaan. Sebagian besar perempuan yang hamil akibat
korban pemerkosaan memilih untuk menggugurkan kandungannya, karena tidak ingin
melahirkan anak hasil pemerkosaan. Pengguran kandungan akibat indikasi medis dan korban
pemerkosaan diperbolehkan di dalam UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 Pasal 75 Ayat 2
akan tetapi, menurut KUHP Pasal 346 sampai 349 melarang segala bentuk tindakan aborsi.
Hukuman penjara bagi pelaku aborsi korban pemerkosaan menimbulkan pro dan
kontra di masyarakat. Sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu. Seorang remaja
berinisial WA 15 tahun, dipenjara akibat melakukan aborsi. Aborsi ini dilakukan dengan
paksaaan dari Ibu korban. Korban hamil akibat tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh
kakak kandungnya. WA divonis 6 bulan penjara oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri Muara
Bulian, Batanghari, Jambi. Vonis dijatuhkan berdasarkan ketentuan yang tertuang di dalam
Pasal 346 sampai Pasal 349 tentang tindakan aborsi. Kasus ini menimbulkan banyak
perdebatan karena menurut beberapa pakar hukum, korban tidak seharusnya dipenjara, karena
kehamilan yang terjadi akibat pemerkosaan dan aborsi yang terjadi merupakan paksaan dari
ibu korban.
Sebagaimana yang disampaikan di dalam penelitian terdahulu mengenai perlindungan
hak – hak perempuan korban pemerkosaaan yang melakukan aborsi, sebagian besar korban
pemerkosaan memilih untuk mengugurkan janin yang dikandungnya akibat janin yang
dikandung merupakan hasil dari tindak pemerkosaan yang menyebabkannya trauma.
Kalangan yang setuju mengenai diperbolehkannya aborsi bagi korban pemerkosaan karena
kehamilan yang terjadi timbul bukan atas kehendak korban, jadi aborsi dapat dilakukan untuk
mengurangi trauma psikis, maupun sosial, maka diberikan hak bagi korban pemerkosaan
untuk melakukan aborsi. Selain trauma psikis yang berat korban pemerkosaan juga dapat
tertular penyakit seksual yang berbahaya.
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitiann yuridis empiris. Jenis penelitian ini
yaitu penelitian yuridis empiris yaitu penelitian terhadap efektivitas hukum, yang membahas
bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi hukum
itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2)
petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4)
kesadaran masyarakat. Penulis memilih jenis penelitian secara yuridis empiris karena
penelitian ini berhubungan dan bertitik tolak pada segi-segi hukum positif atau hukum yang
berlaku saat ini, yang berupa ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
lainnya yang kemudian dihubungkan dengan praktek yang terjadi di lapangan. Tipe
penelitian dalam penulisan tesis ini bersifat penelitian deskriptif analisis yaitu menganalisa
data yang dipergunakan baik data primer dan data sekunder, meliputi isi dan struktur hukum
positif yang akan ditentukan penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang
dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian
Data yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan data kualitatif . Data
kualitatif adalah data informasi yang berbentuk kata atau kalimat verbal, bukan berupa
simbol angka atau bilangan. Data kualitatif didapat melalui suatu proses menggunakan teknik
analisis mendalam dan tidak bisa diperoleh secara langsung.

PEMBAHASAN

Pembahasaan ini dibahas dengan opini penulis, teori dan penelitian terdahulu
Aborsi merupakan salah satu perbuatan yang ilegal untuk dilakukan, Aborsi
merupakan tindakan mengggugurkan janin sebelum janin mampu lahir ke dunia. Menurut
medis, aborsi terbagi menjadi dua, yaitu abortus medicinalis dan abortus provocatus. Abortus
prpcatus terbagi menjadi dua, yaitu abortus procvocatus medicinalis dann abortus provocatus
criminalis. Aborrtus provocatus memdicinalis merupakan abprsi yang terjadi akibat adanya
indikassi medis yang mengganjurkan seseorang untuk melakukan aborsi karena kehamilan
dikhawatikan dapat mengancam nyawa ibu yang mengandug. Sedangkan abortus provocatus
criminalis adalah aborsi yang dilakukan dengan saja dan tanpa alasan yang mengharuskan
seseorang melakukan aborsi.

Permasalahan aborsi sudah sejak lama emnjadi topic yang ramai dipeprbincangkan
akibat kontroversi yang menyelimutinya. Kasus yang menimpa WA 15 tahun asal Batanghari
menjadi sorotan public akhir – akhir ini. Korban dipenjara 6 bulan penjara akibat melkaukan
aborsi. Faktanya korban melakukan aborsi akibat paksaaan dari ibunya. Kehamilan yang
terjadi pada korban merupakan buah dari hasil pemerkosaan yang dilakukan kakak
kandungnya sendiri. Kasus ini menimbulkan pro dan kontra dikalangan massyarakat dan
pakar hukum. Menurut beberapa pakar hukum, korban tidak seharusnya dipenjara akibat
korabn masih berada di bawah umur dan aborsi yang terjadi bukan kehendak dirinya sendiri
melainkan kehendak ibu kandung korban.

Ditinjau dari Undang – Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 seharusnya aborsi
yang terjadi pada korban diperbolehkan, mengigat dalam pasal 75 UU Kesehatan Nomor 36
dikatakan bahwa aborsi dapat dilakukan bagi seorang wanita yang mengandung, namun bayi
yang dikandungnya mengacam nyawaa sang Ibu dan kehamilan akibat pemerkosaaan.
Menurut Undang – Undang tersebut aborsi pakda korban pemerkosaan mengalami trauma
yang berat akibat kejadiaan pemerkosaan yang menimpanya. Aborsi dilakukan untuk
menjaga psikis korban yang terguncang setelah kejadian tersebut. Menurut Undang – Undang
Tentang Kesehatan Reproduksi, pemerkosaan juga dapat menimbulkan korban pemerkosaan
tertular penyakit seksual yang berbahaya.

Terjadi konflik di antara undang – undang yang mengatur tentang aborsi. Mneurut
KUHP Pasal 346-349 segala bentuk tindakan aborsi merupakan hal yang erlarang untuk
dilakukan. Akan teteapi menurut Undang – Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, aborsi
diperbolehkanapabila seseorang yang melakukan aborsi memenuhi persyaratan dilakukannya
aborsi. Yang diperbolehkan melakukan aborsi menurut Undang – Undadng Nomor 36 Tahun
2009 adalah wanita yang mengalami kehamilan namun, kehamila tersebut bebahaya dan
dapat mengancam nyawa ibu yang menganddung., serta kehamilan yang terjadi akibat
pemerkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikis bagi korban. Lebih lanjut, aborsi juga
diperbolehkan untuk dilakukan oleh korban pemerkosaan apabila telah mendapatkan
persetujuan dari pihak medis dan sudah melalui tahap konseling oleh pihak dinas kesehatan
daerah setempat yang menyetujui dilakukannya aborsi.

Sampai saat ini, pemerintah belum menyediakan lembaga yang secara khusus
mewadahi dan memberikan konseling kepada korban yang hamil akibat pemerkosaan. Sering
kali, korban pemerkosaan tidak tahu harus melapor ke lembaga apa untuk melaporkan jika ia
hamil akibat pemerkosaan dan ingin melakukan aborsi. Kurangnya sossialisasi dan tidak
adanya penyuluhan dari pmerintah mengenai lembaga konsuling bagi wanita korban
kekerasan seksual, menyebabkan korban pemerkosaan memilih bungkam dan melakukan
aborsi secara diam – diam.

Permasalahan yang terjadi pada kasus WA 15 tahun, korban merupakan anak yang
masih di bawah umur dan korban dari KDRT. Pemerkosaan di dalam lingkup keluarga
termasuk kepada KDRT menurut

Anda mungkin juga menyukai