Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit batu empedu (cholelithiasis) merupakan masalah kesehatan yang

penting di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di

klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas (Sudoyo,

2009). Dalam “Third National Health and Nutrition Examination Survey”

(NHANES III), prevalensi cholelithiasis di Amerika Serikat pada usia pasien 30-

69 tahun adalah 7,9% pria dan 16,6% wanita, dengan peningkatan yang progresif

setelah 20 tahun. Sedangkan Asia merupakan benua dengan angka kejadian

cholelithiasis rendah, yaitu antara 3% hingga 15% , dan sangat rendah pada

benua Afrika, yaitu kurang dari 5% (Greenberger, 2009).

Penyakit batu kandung empedu atau kolelitiasis merupakan penyakit yang

paling sering ditemukan pada kasus saluran cerna. Walaupun penyakit ini

mempunyai tingkat mortalitas yang rendah, efeknya terhadap ekonomi dan

kesehatan secara signifikan berpengaruh terhadap meningkatnya morbiditas. Batu

kandung empedu terutama ditemukan di negara barat, namun frekuensinya di

negara-negara Afrika dan Asia terus meningkat selama abad ke 20. Insiden

kejadian penyakit batu kandung empedu meningkat berdasarkan usia dan wanita

lebih cenderung menderita penyakit batu empedu tiga kali dibandingkan laki-laki.

Prevalensi penyakit batu kandung empedu berhubungan dengan banyak factor,

termasuk usia, jenis kelamin, dan etnis. Beberapa kondisi tertentu bisa menjadi

predisposisi terjadinya penyakit batu kandung empedu. Obesitas, kehamilan,

faktor diet, crohn’s disease, reseksi ileum terminal, bypass gaster, dan
1
thalassemia berhubungan dengan peningkatan terjadinya penyakit batu

kandungan empedu (Greenberger, 2009).

Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika

Serikat. Kasus tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas,

sedangkan pada anak-anak jarang. Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu

di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta

wanita. Pada pemeriksaan autopsi di Amerika, batu kandung empedu ditemukan

pada 20% wanita dan 8% pria.3 Pada pemeriksaan autopsi di Chicago, ditemukan

6,3% yang menderita kolelitiasis. Sekitar 20% dari penduduk negeri Belanda

mengidap penyakit batu empedu, baik yang bergejala maupun yang tidak.

Persentase penduduk yang mengidap penyakit batu empedu pada penduduk

Negro Masai ialah 15-50 %. Pada orang-orang Indian Pima di Amerika Utara,

frekuensi batu empedu adalah 80% (Greenberger, 2009).

Prevalensi kolelitiasis berbeda-beda di setiap negara dan berbeda antar

setiap etnik di suatu negara. Prevalensi kolelitiasis tertinggi yaitu pada orang-

orang Pima Indians di Amerika Utara, Cili, dan ras Kaukasia di Amerika Serikat.

Sedangkan di Singapura dan Thailand prevalensi penyakit kolelitiasis termasuk

yang terendah (Ko dan Lee, 2009). Perbaikan keadaan sosial ekonomi, perubahan

menu diet yang mengarah ke menu gaya negara Barat, serta perbaikan sarana

diagnosis khususnya ultrasonografi, mengakibatkan prevalensi penyakit empedu

di negara berkembang termasuk Indonesia cenderung meningkat (Ginting, 2013).

Walaupun kolelitiasis memiliki angka mortalitas yang rendah, namun penyakit ini

berdampak signifikan terhadap aspek ekonomi dan kesehatan penderita (Chang et

al., 2013).

2
Diperkirakan lebih dari 20 juta orang di Amerika Serikat menderita

kolelitiasis (Ko dan Lee, 2009. Kolelitiasis juga merupakan penyakit tersering

dan termahal dari seluruh penyakit digestif di Amerika Serikat, setiap tahun,

sekitar 1 juta orang dirawat dan 700.000 orang menjalani kolesistektomi (Corte et

al., 2008). Sekitar 2% dari dana kesehatan Amerika Serikat dihabiskan untuk

penyakit kolelitiasis dan komplikasinya (Kumar et al., 2007).

Di Negara Asia prevalensi kolelitiasis berkisar antara 3% sampai 10%.

Berdasarkan data terakhir prevalensi kolelitiasis di Negara Jepang sekitar 3,2 %,

China 10,7%, India Utara 7,1%, dan Taiwan 5,0% (Chang et al., 2013). Angka

kejadian kolelitiasis dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga tidak

berbeda jauh dengan angka negara lain di Asia Tenggara (Wibowo et al., 2002).

Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2010-2011 didapatkan 101

kasus kolelitiasis yang dirawat (Girsang JH, 2011).Kolelitiasis terutama

ditemukan di negara Barat, namun frekuensinya di negara-negara Afrika dan Asia

terus meningkat selama abad ke 20. Di Tokyo angka kejadian penyakit ini telah

meningkat menjadi dua kali lipat sejak tahun 1940 (Nuhadi M, 2010).

Rumah Sakit Umum Pusat DR. M.DJAMIL PADANG adalah RS rujukan

yang berada di Sumatera Barat. Menurut data, pasien dengan diagnose medis

kolelitiasis yang dirawat di RSUP DR. M.DJAMIL Padang pada tahun 2016-

2017 adalah sebanyak 103 orang. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan

pada tanggal 26 November 2018 didapatkan jumlah data pasien dengan diagnosa

medis kolelitiasis di Ruang bedah wanita sebanyak 3 orang dan data pasien

selama sebulan sebanyak kurang lebih 10 orang tiap bulannya.

Sebelum dikembangkannya beberapa modalitas diagnosa seperti

3
ultrasound (US), pasienkolelitiasis sering salah terdiagnosis sebagai gastritis atau

hepatitis berulang. Dalam sebuah penelitian di Jakarta dari 74 pasien dengan

kolelitiasis, 60% diantaranya terdiagnosis sebagai gastritis atau hepatitis berulang

(Lesmana, 2009). Kolelitisis dapat menimbulkan komplikasi berupa kolesistitis

akut yang dapat menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus

obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik, pankreatitis, dan perubahan

keganasan (Wibowo et al., 2002).

Tatalaksana yang diberikan untuk pasien kolelitiasis harus

mempertimbangkan keadaan dan gejala yang dialami pasien (Ko dan Lee, 2009) .

Tatalaksana kolelitiasis dapat berupa terapi non bedah dan bedah. Terapi non

bedah dapat berupa lisis batu yaitu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik,

dan pengeluaran secara endoskopik. Sedangkan terapi bedah dapat berupa

kolesistektomi (Wibowo et al., 2002).

Berdasarkan data diatas, dan besarnya dampak dari kolelitiasis terhadap

kesejahteraan hidup penderita, maka penanganan terhadap penyakit ini harus

dikembangkan, ilmu-ilmu baru terkait dengan penyakit harus selalu diperbarui

dan tenaga kesehatan harus dapat memberikan asuhan keperawatan yang baik dan

terhadap pasien dengan kolelitiasis ini agar penderita dapat sembuh tanpa ada

kejadian serupa yang berulang. Maka dari itu, kelompok tertarik untuk

memberikan asuhan keperawatan pada Ny. R dengan diagnosa medis Kolelitiasis

di Ruang Rawat Inap Bedah Wanita RSUP DR. M.Djamil Padang Tahun 2018.

4
B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mampu melakukan asuhan keperawatan dengan pasien kolelitiasis berdasarkan

pendekatan proses keperawatan di Unit Rawat Inap Bedah Wanita RSUP.

DR.M.Djamil Padang.

2. Tujuan Khusus :

1) Mengetahui Konsep Teori Kolelitiasis.

2) Melakukan Pengkajian Keperawatan pada Ny.R dengan Kolelitiasis.

3) Menegakkan Diagnosa Keperawatan pada Ny.R dengan Kolelitiasis.

4) Menyusun Intervensi Keperawatan pada Ny.R dengan Kolelitiasis.

5) Melaksanakan Implementasi Keperawatan pada Ny.R dengan Kolelitiasis.

6) Mengevaluasi Tindakan Keperawatan pada Ny.R dengan Kolelitiasis.

7) Melakukan Pendokumentasian Keperawatan pada Ny.R dengan Kolelitiasis.

5
6

BAB II

KONSEP TEORITIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam

kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua- duanya. Sebagian

besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu

(Cahyono, Suharjo B. 2009)

Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang

mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus.

Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada

juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu (Muttaqin,2011).

2. Anatomi Fisiologi

Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya

sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fossa yang menegaskan batas anatomi antara

lobus hati kanan dan kiri. Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk

bulat lonjong seperti buah advokat tepat di bawah lobus kanan hati (Muttaqin,

2011).

Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, dan kolum. Fundus bentuknya

bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang di atas tepi hati.

Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian

yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus

sistika. Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran

empedu yang kecil dalam hati.

6
Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih besar yang

keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang

segera bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung

dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.

Fungsi kandung empedu, yaitu:

a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang

ada di dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan

empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.

b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak

dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya

dari usus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah

diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke

dalam empedu.

Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu

makan, empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati

tidak dapat segera masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus

hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam

kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dari

garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira

lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati.

Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif

dan diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan. Pengaliran cairan

empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi

kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa,

7
empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu.

Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu

mengalir ke duodenum (Cahyono, Suharjo B. 2009)

Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum,

yaitu kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi

pengosongan kandung empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih kuat.

Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding kandung

empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit setelah

konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organik,

dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organik

adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid (Muttaqin, 2011).

Sebelum makan, garam- garam empedu menumpuk di dalam kandung

empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di

dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf

sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir

ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.

Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan

penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh,

terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan

kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol,

lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses

penyerapan. Garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk

membantu menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu)

dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel darah merah yang

dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan
8
selanjutnya dibua ng dari tubuh.

Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh

hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai

sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami

sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil

garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri

memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur

pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja. Hanya sekitar

5% dari asam empedu yang disekresikan dalam feses.

3. Etiologi

Batu Empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang

dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum

diketahui. Satu teori menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan

supersaturasi empedu di kandung empedu. Setelah beberapa lama, empedu

yang telah mengalami supersaturasi menjadi mengkristal dan mulai membentuk

batu. Akan tetapi, tampaknya faktor predisposisi terpenting adalah gangguan

metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis

empedu, dan infeksi kandung empedu. Berbagai faktor yang mempengaruhi

pembentukan batu empedu, diantaranya:

a. Eksresi garam empedu

Setiap faktor yang menurunkan konsentrasi berbagai garam

empedu atau fosfolipid dalam empedu. Asam empedu dihidroksi atau

dihydroxy bile acids adalah kurang polar dari pada asam trihidroksi.

Jadi dengan bertambahnya kadar asam empedu dihidroksi mungkin

menyebabkan terbentuknya batu empedu.


9
b. Kolesterol empedu

Apa bila binatanang percobaan di beri diet tinggi kolestrol,

sehingga kadar kolesrtol dalam vesika vellea sangat tinggi, dapatlah

terjadi batu empedu kolestrol yang ringan. Kenaikan kolestreol empedu

dapat di jumpai pada orang gemuk, dan diet kaya lemak.

c. Substansia mukus

Perubahan dalam banyaknya dan komposisi substansia mukus

dalam empedu mungkin penting dalam pembentukan batuempedu.

d. Pigmen empedu

Pada anak muda terjadinya batu empedu mungkin disebabkan

karena bertambahya pigmen empedu. Kenaikan pigmen empedu dapat

terjadi karena hemolisis yang kronis. Eksresi bilirubin adalah berupa

larutan bilirubin glukorunid.

e. Infeksi
Adanya infeksi dapat menyebabkan krusakan dinding kandung

empedu, sehingga menyebabkan terjadinya stasis dan dengan demikian

menaikan pembentukan batu, seperti E.coli S. Typhii, Streptococcus,

Ascaris Lumbaricoides, Opisthorchis sinensis, Clonorchis sinensis.

(Muttaqin, 2011)

Faktor resiko untuk kolelitiasis, menurut Cahyono, Suharjo B. (2009) yaitu:

a. Usia

Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan

bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung

untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia


10
yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40

tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi

batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan:

- Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.

- Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai

dengan bertambahnya usia.

- Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin

bertambah.

b. Jenis kelamin

Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen

berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung

empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu

empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia,

walaupun umumnya selalu pada wanita.

c. Obat Kontrasepsi

Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat

meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktifitas

pengosongan kandung empedu.

d. Berat badan (BMI) / Obesitas

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko

lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya

BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga

mengurasi garam empedu serta mengurangi

kontraksi/pengosongan kandung empedu.


11
e. Diet / Makanan

Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani

berisiko untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen

dari lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu

melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap dan lama

kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan

yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu

dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

f. Penyakit

Penyakit yang dapat berhubungan dengan kolelitiasis yang

mempengaruhi terjadi pembentukan batu seperti crohn disease, anemia sel

sabit, ileus paralitik, sirosis hati, talasemia, dll.

g. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko

terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu

lebih sedikit berkontraksi.

h. Nutrisi intra-vena jangka lama

Nutrisi intra-vena jangka lama mengakibatkan kandung empedu

tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi

yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu

menjadi meningkat dalam kandung empedu

12
4. KLASIFIKASI

a. Batu Kolesterol

Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama:

- Supersaturasi kolesterol

- Hipomotilitas kandung empedu

- Nukleasi/pembentukan nidus cepat

Khusus mengenai nukleasi cepat, sekarang telah terbukti bahwa

empedu pasien dengan kolelitiasis mempunyai zat yang mempercepat

waktu nukleasi kolesterol (promotor) sedangkan empedu orang normal

mengandung zat yang menghalangi terjadinya nukleasi (Muttaqin, 2011)

b. Batu kalsium bilirunat (pigmen coklat)

Batu pigmen coklat terbentuk akibat adanya faktor statis dan infeksi

saluran empedu. Statis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi Sfingter

Oddi, striktur, operasi bilier dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran

empedu, khususnya E.Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal

dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam

glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang

tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan

erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen coklat. Umumnya

batu pigmen coklat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang

terinfeksi (Muttaqin, 2011)

c. Batu pigmen hitam

Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien

13
dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama

terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Patogenesis terbentuknya batu

ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung

empedu dengan empedu yang steril (Muttaqin, 2011).

Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus

melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu

tersebut dapat menimbulkan sumbatan alian empedu secara parsial maupun

total sehingga menimbulkan gejala kolik bilier. Pasase berulang batu empedu

melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan

sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus dan striktur.

Apabila batu berhenti di dalam duktus sistikus dikarenakan diameter batu

yang terlalu besar ataupun karena adanya striktur, batu akan tetap berada

disana sebagai batu duktus sistikus. Kolelitiasis asimptomatis biasanya

diketahui secara kebetulan, sewaktu pemeriksaan ultrasonografi, foto polos

abdomen, atau perabaan saat operasi. Pada pemeriksaan fisik atau

laboratorium biasanya tidak ditemukan kelainan (Muttaqin, 2011).

5. Manifestasi Klinis

a. Asimtomstik

Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa

mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien

yang benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya

yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa

terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya

menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin


14
ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau

evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.

Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat

mengalami dua jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit

pada kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi

pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut

atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen,

dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi

(Cahyono, Suharjo B. 2009)

b. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier

Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu

akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas

dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami

kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri

pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan

berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam

dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan

muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah

memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris

dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya.

Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu

menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri

bukan bersifat kolik melainkan presisten.

Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi

15
kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat

tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus

kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah

kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan

menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika

pasien melakukan inspirasi dalam, dan menghambat pengembangan rongga

dada.

Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga

membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian

morfin dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga

perlu dihindari (Cahyono, Suharjo B. 2009).

c. Ikterus

Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu

dengan presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus

koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan

menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa

ke duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini

membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering

disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit (Cahyono,

Suharjo B. 2009).

d. Perubahan Warna Urin dan Feses

Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna

sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan

tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”

16
(Cahyono, Suharjo B. 2009).

e. Defisiensi Vitamin

Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A,

D, E, K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala

defisiensi vitamin-vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi

vitamin K dapat mengganggu proses pembekuan darah normal.

Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus

sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses

inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu

terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan

abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata (Cahyono,

Suharjo B. 2009).

6. Komplikasi

Komplikasi untuk kolelitiasis, yaitu:

a. Kolesistitis

Kolesistitis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu

tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung

empedu.

b. Kolangitis

Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi

yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-

saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.

c. Hidrops
17
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung

empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang

berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus

sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang

normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.

d. Empiema

Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat

membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.

(Suratun, 2010)

18
7. Patofisiologi

Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan

kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai

garam empedu. Hati berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen

kolesterol yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang

sebaliknya kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu; sisanya diangkut

dalam lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh (Muttaqin, 2011).

Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui

agregasi garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-sama ke dalam

empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu

(supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu berada dalam keadaan terdispersi

sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal kolesterol monohidrat yang padat.

Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna. Sejumlah

penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu

yang sangat jenuh dengan ko lesterol. Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena

tingginya kalori dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan

menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja

keras untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini

mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti

sepenuhnya (Muttaqin, 2011).

Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak

terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan

garam bilirubin kalsium. Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah.

19
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan

berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu

campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung

>50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol).

Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20%

kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah

keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak

sempurna dan konsentrasi kaslium dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang

terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin

dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi

bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium,

bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu.

Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama-kelamaan kristal

tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Faktor

motilitas kandung empedu, billiary statis, dan kandungan empedu merupakan

predisposisi pembentukan batu kandung empedu.


20
Batu kandung empedu yang asimptomatik biasanya tidak menunjukkan

kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat

terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan

ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar

bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus

koledokus. Kadar serum alkali fosfatase dan mungkin juga amilase serum biasanya

meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut (Smeltzer, 2001).

21
WOC

Jenis Kelamin Obat Usia >60 Diet serat Penyakit sel Infeksi Infeksi
Obesitas
Wanita 2x Pria Kontrasepsi th kolesterol sikel,talasemia,siro E.Coli s,
sis hati ,dll Typhii
Enzim Streptoco
Fungsi tubuh Empedu Radang glukuronid ccus,
Estrogen dinding ase Ascaris
& control thdp Litogeni Hemolisis
kolesterol mukosa Lumbaric
kantung oides,
Asam Crohn empedu
Kolestero Empedu &resek
Jln Hipereksi
l si ileum bilirubin Fosfolipase A
Kolesterol
terkojugat Kapasitas
“buffering”
Menghasilkan Garam asam sialik
asam lemak empedu dan
SUPERSATURASI komponen
bebas
(terutamanyaa KOLESTEROL sulfat
Aktivitas
paretal,sam strearik
total,
dan asam
cederamedulla ph
palmitik)
spinalis,
sekresi Vesike Vesikel berlapis-
l lapis
(Vesicles Bilirubin tak Defek Berkompleks
multilamelar) terkojugat mekanisme
Aktivitas dengan
asidifikasi senyawa
pengosongan
empedu kalsium
empedu
Pembentukan
Kristal
Kolesterol Membentuk
Hambatan Akumulas garam kalsium
Aupersaturasi
aliran i musin kalsium
empedu ke Batu
karbonat dan
usus Kolesterol
fosfat
Endapan
Musin Garam
Gangguan Semakin Presipitasi kalsium kalsium
sirkulasi pekat karbonat fosfat dan berkristalisasi
enterohepatik bilirubin tak terkonjugat
Batu kalsium
bilirubinat

Gangguan
output garam Polimerisasi
empedu dan yang terjadi
fosfolipid kemduian akan
(Lecitin) menghasilkan
Kristal

Pembentukan
batu berpigmen
hitam

KOLELITIASIS

22
KOLELITIASIS

Iritasi dinding
Batu terdorong
Intake makanan duktus sisikus Peradangan
menuju duktus disekitar
(terutama akibat gesekan
sistikus hepatobiler
lemak) dengan batu
Aliran balik
cairan empedu
Sekresi Obstruksi ke hepar, Respon Pengeluaran,
kolesistonin duktus sistikus Gangguan melalui darah Inflamas SGPT, SGOT
oleh dinding aliran empedu i (Iritatif pada
duodenum Peningkatan jlh Permeabilitas saluran cerna)
ke duodenum Merangsang
bilirubin dlm vasa dan
Distansi nervus vagal
darah perubahan
kantung Mengganggu (N.X Vagus)
hemodinamik
Kontraksi empedu absorbs vitamin Ikterus
kantung Menekan
A, D, E, K Penumpukan rangsangan
Fondus empedu Terjadi cairan di sistem saraf
Peregangan Gesekan penumpukan intertial
menyentuh Defisiensi parasimpatis
fleksus seliakus empedu dg bilirubin pada
dinding abdomen vitamin K
lapisan bawah Oedema Peristaltik usus
pada kartilago
Gangguan kulit dan lambung
koste 9&10
NYERI pembekuan Tekanan intra
darah normal abdomen Aneroksi
Gatal-gatal Ketidakseimba a
pada kulit ngan nutrisi

RISIKO Penekanan
PENDARAHAN pada Makanan
Kulit tertahan di
digaruk lambung
Pergerak Sulit untuk Nyeri terutama dalam lambung
an tubuh tertidur saat inspirasi
terbatas
Produksi asam
lambung

HAMBATAN RISIKO
IMSOM KETIDAKEFEKTI KERUSAKAN
MOBILITAS
NIA FAN POLA INTEGRITAS
FISIK Pengaktifan
NAFAS KULIT pusat muntah
(medula
oblongata)

Pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan


serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot
abdomen dan diafragma

Muntah

23
8. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena

hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radiopak. Kadang-

kadang empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi

dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung

empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat

sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran

udara dalam usus besar, di fleksura hepatic

24
b. USG

Ultrasonografi mempunyai kadar spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intra-hepatik.

Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena

fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu

yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena

terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri

pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi

biasa.

c. kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif

murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat

dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan

ileus paralitik, muntah, kadar bilirubin serum di atas 2 mg/dl, obstruksi pylorus

dan hepatitis, karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai

hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi

kandung empedu.

(Smeltzer, 2001).

25
9. Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri

yang hilang timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau

mengurangi makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaan antara lain:

a. Kolisistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan

kolelitiasis simptomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang terjadi adalah

cedera dekubitus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Indikasi yang paling umum

untuk kolisistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

(Smeltzer,2001).

b. Kolisistektomi laparoskopi

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simptomatik tanpa adanya

kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah

mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien

dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan

prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya

yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan

kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,

berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang

mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi

c. Disolusi medis
Masalah umum yang menggangu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian
26
prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi
dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,
kekambuhan batu terjadi pada 50% pasien.

d. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten
(metal-ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada
pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).

e. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)


Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang
telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

f. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anastesi lokal bahkan disamping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama
untuk pasien yang sakitnya kitis.
(Smeltzer, 2001)

27
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Pengkajian

Pre-Operasi

a. Identitas

Biasanya Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan

bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk

terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

Dengan wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen

berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.

Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko

terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen)

dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan

aktivitas pengosongan kandung empedu (Muttaqin, 2011).

b. Riwayat Kesehatan

- Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya pasien tidak merasakan gejala, tetapi gejala gastrointestinal


yang ringan dapat terjadi, pasien akan mengeluhkan nyeri pada ulu hati,
seperti rasa penuh pada ulu hati, distensi abdomen, nyeri samar pada
kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Nyeri pascaprandial kuadran
kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan
bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah memakan
makanan dalam jumlah besar. Pasien akan mengeluh perubahan warna
pada urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat
urin berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen

28
empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut dengan “
clay-colored” (Muttaqin, 2011).
- Riwayat Kesehatan Dahulu

Biasanya pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung


hormone estrogen atau untuk pengobatan kanker prostat meningkatkan
risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik
meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan
tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Pernah
menjalankan diet rendah serat dan diet tinggi kolesterol, pernah
mengalami infeksi bakteri dalam saluran empedu, pasien Pasien pasca
reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal, pasien yang kurang melakukan
aktivitas fisik serta mendapatkan nutrisi intravena jangka panjang
(Muttaqin,2011).
- Riwayat Kesehatan Keluarga

Biasanya Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi


tampaknya adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian
terhadap kembar identik fraternal.
(Muttaqin, 2011).

c. Pola Kesehatan

- Pola Persepsi
Biasanya pasien dengan Cholelitiasis tidak tahu dengan gejala penyakitnya
sehingga terlambat ergi berobat. Pasien baru mengalami tanda gejala jika
penyakitnya sudah menimbulkan dampak yang serius bagi kehidupannya
sehari.
- Pola nutrisi dan metabolism
Biasanya pasien mengalami penurunan nafsu makan dan mengalami
penurunan BB. Terlebih jika penyakitnya sudah menekan area paru dan
menyebabkan pasien mengalami sesak nafas.
- Pola Eliminasi
Biasanya pasien tidak mengalami masalah atau gangguan dalam pola
eliminasi BAB ataupun BAK nya.
29
- Pola Istirahat dan Tidur
Biasanya istirahat dan tidur dapat terjadi gangguan akibat nyeri dan sesak
nafas yang dirasakan pasien.
- Pola Aktivitas dan Latihan
Biasanya pasien akan mengalami kelemahan
- Pola Kognitif dan Persepsi
Biasanya nyeri yang dirasakan dapat mempengaruhi pola ini.
- Pola Persepsi dan Konsep Diri
Biasanya terganggu karena harus mendapat perawatan yang mengharuskan
ia dirawat di RS.
- Pola Hubungan dan Peran
Biasanya pasien mengalami gangguan sosial karena sakitnya ia tidak dapat
melakukan aktivitas seperti biasa dan menjalankan tugas sesuai dengan
perannya.
- Pola Seksual dan Reproduksi
Biasanya kaji hubungan seksual pasien, biasanya tidak ada gangguan
seksual ataupun reproduksi akibat dari sakit cholelitiasis yang dideritanya
saat ini.
- Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress
Biasanya pasien akan mengalami kekhawatiran terhadap penyakitnya dan
kecemasan akibat dari tindakan operasi yang akan dilakukannya.
- Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Biasanya tidak ada gangguan. Pasien akan lebih dekat dengan pencipta_Nya
terlebih untuk berserah diri atas penyakitny dan meminta kesembuhan.

d. Pemeriksaan Fisik

- Keadaan Umum : Biasanya keadaan umum lemah

- Tanda Vital

TD : Biasanya dapat meningkat apabila sudah mengenai

jantung dan mengganggu fungsi jantung.

30
HR : Biasanya takikardia

RR : Biasanya pernafasan tertekan ditandai dengan nafas

pendek dan dangkal terjadi peningkatan frekuensi

pernafasan sebagai kompensasi.

T : Biasanya berkeringat karena peningkatan suhu akibat

respon inflamasi

- Kepala : Biasanya bentuk kepala normal, tidak ada pembengkakan

pada kepala, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan pada kepala, biasanya

warna rambut sesuai dengan usia, rambut mudah rontok, dan kebersihan

tergantung hygiene dari pasien.

- Mata : Biasanya konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, tidak

ada oedema pada palpebra, tidak ada peningkatan tekanan bola mata, tidak

ada lesi dan tidak ada nyeri tekan.

- Hidung : Biasanya normal, tidak ada gangguan. Septum nasi berada

ditengah, tidak ada polip, tidak ada nyeri tekan, tidak ada lesi, tidak ada

perdarahan pada hidung, fungsi penciuman baik. Tetapi dapat terjadi

keabnormalan apabila ada penyakit penyerta.

- Telinga : Biasanya normal, simetris kiri dan kanan. Tidak ada

perdarahan pada telinga, fungsi pendengaran bisa baik bisa tidak.

- Mulut : Biasanya mukosa bibir kering, stomatitis dapat terjadi

akibat defisiensi vitamin. Perdarahan pada mulut dapat terjadi akibat

defisiensi vitamin K. Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi

absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat

menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika defisiensi bilier

31
berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses

pembekuan darah normal.

- Leher

JVP : Biasanya normal, tidak ada gangguan, kecuali jika ada

penyakit penyerta seperti penyakit pada jantung.

Nodus Limfe : Biasanya normal, tidak ada pembengkakan

Tyroid : Biasanya normal, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid

- Dada

 Paru

Inspeksi : Biasanya bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada

simetris kiri dan kanan, penggunaan otot bantu pernafasan bisa ada jika

pasien mengalami sesak yang hebat. Bentuk dada yang abnormal dapat

terjadi jika pasien mengalami penyakit penyerta.

Palpasi : Biasanya fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : Biasanya sonor, kecuali jika ada penyakit penyerta

Auskultasi : Biasanya suara nafas normal, bronkovesikuler

 Jantung

Inspeksi : Biasanya ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Biasanya ictus cordis teraba

Perkusi : Biasanya pekak

Auskultasi : Biasanya BJ 1 dan BJ 2 normal, tidak ada bunyi jantung

tambahan

- Abdomen

Inspeksi : Biasanya abdomen terlihat tegang

32
Auskultasi : Biasanya bising usus meningkat akibat nyeri yang

dirasakan

Palpasi : Biasanya teraba distensi abdomen, nyeri hebat pada

abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas.

Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan

menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan

sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang

mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi

dalam, dam menghambat pengembangan rongga dada.

Perkusi : Biasanya tympani

- Genetalia : Biasanya tidak ada gangguan. Tetapi pada proses

eliminasi urine dan defekasi mengalami gangguan seperti warna urine dan

feses berubah.

- Ekstremitas : Biasanya ekstremitas atas dan bawah lemah, akral teraba

dingin, CRT < 3 detik.

33
2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

a. Nyeri Akut b.d Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu

b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d

Ketidakmampuan Pemasukan Nutrisi

c. Mual b.d Iritasi Lambung

d. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif

e. Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri

f. Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri

g. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri

h. Ansietas b.d Ancaman Kematian

(NANDA, 2015-1017)

34
1. Pengkajian Post-Operasi
a. Identitas
Biasanya tidak ada perubahan pengkajian pada post-operasi dengan pre-operasi.
b. Riwayat Kesehatan
- Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya setelah dilakukan tindakan operasi pada pasien, maka pasien akan
mengeluhkan nyeri pada luka bekas operasi, pasien akan mengeluhkan nyeri
seperti disayat dan kadang nyeri dapat mengganggu tidurnya.
- Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya tidak ada perubahan dari pengkajian pre-op. Saat pengkajian post-
op pasien telah selesai menjalankan operasi akibat dari penyakitnya.
- Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya tidak ada perubahan dari pengkajian pre-operasi.
c. Pola Kesehatan
- Pola persepsi
Biasanya pasien akan mengeluhkan nyeri setelah operasi
- Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya pasien akan mengalami mual setelah operasi akibat dari anastesia
dan belum bisa makan apabila belum flatus serta mengalami penurunan nafsu
makan.
- Pola Eliminasi
Biasanya pola eliminasi akan terganggu setelah operasi. Biasanya pasien akan
mengalami konstipasi setelah operasi, belum ada flatus. Eliminasi BAK
biasanya tidak ada gangguan.
- Pola Tidur dan Istirahat
Biasanya dapat terganggu akibat dari adanya nyeri pada luka bekas insisi.
- Pola Aktivitas dan Latihan
Biasanya pasien akan lemah setelah operasi dan beberapa hari setelah operasi
pasien akan kembali dapat melakukan aktivitas seperti biasa terlebih apabila
penyakit nya dapat ditangani dengan cepat atau belum menyerang organ lain.
- Pola Kognitif-Persepsi
Biasanya terganggu akibat nyeri. nyeri akan mengganggu proses kognitif
pasien.
- Pola Persepsi dan Konsep Diri
35
Biasanya tidak ada gangguan

- Pola Hubungan dan Peran


Biasanya terganggu karena nyeri dan pasca operasi yang dialami pasien,
tetapi setelah beberapa hari pasca operasi pasien dapat melakukan aktivitas
seperti biasanya dan melakukan kegiatan sesuai dengan perannya baik
dikeluarga maupun masyarakat.
- Pola Seksual dan Reproduksi
Biasanya tidak ada gangguan.
- Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Stress
Biasanya tidak ada gangguan. Pasien akan mendapatkan dukungan dari
orang-orang terdekatnya.
- Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Biasanya pasien senang dan bersyukur karena proses operasi telah berjalan
dengan lancar dan meminta kemudahan untuk segera disembuhkan dari
sakitnya dan sakit tersebut tidak datang lagi.
d. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : Biasanya pasien akan lemah akibat adanya nyeri
- Tanda Vital :
TD : Biasanya terjadi perubahan akibat nyeri pasca operasi
HR : Biasanya meningkat akibat adanya nyeri sebagai respon
tubuh untuk mengontrol nyeri.
RR : Biasanya meningkat akibat adanya nyeri
T : Biasanya normal, tetapi dapa meningkat apabila telah
terjadi proses infeksi pada pasien.
- Kepala : Biasanya bentuk kepala normal, tidak ada pembengkakan,
tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan
Rambut : Biasanya warna rambut sesuai dengan usia pasien. Tidak
ada rontok yang berlebihan, kebersihan tergantung dari hygiene pasien.
Mata : Biasanya konjungtiva pasien anemis, sklera tidak ikterik,
tidak ada pembengkakan pada palpebra, tidak ada nyeri tekan pada mata,
tidak ada peningkatan tekanan bola mata.
Hidung : Biasanya hidung normal, tidak ada gangguan
Telinga : Biasanya normal, tidak ada gangguan.
36
Mulut : Biasanya mukosa bibir kering.
- Leher
Trakea : Biasanya tidak ada perubahan dengan pre-op.
JVP : Biasanya normal, tidak ada gangguan. Kecuali jika ada
penyakit penyerta seperti penyakit pada jantung, dll.
Tiroid : Biasanya tidak ada pembengkakan kelenjar tyroid, kecuali
jika ada penyakit penyerta sebelumnya.
Limfe : Biasanya tidak ada gangguan.
- Dada
Paru
Inspeksi : Biasanya simetris kiri dan kanan, peningkatan frekuensi
pernafasan dapat terlihat, akan terlihat luka bekas operasi.
Palpasi : Biasanya fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Biasanya sonor
Auskultasi : Biasanya sura nafas normal
Jantung
Inspeksi : Biasanya ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Biasanya ictus cordis teraba
Perkusi : Biasanya pekak. Batas jantung normal
Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 normal, tidak ada BJ tambahan.
- Abdomen
Inspeksi : Biasanya tidak ada gangguan, tidak ada ditensi abdomen
dan tidak ada asites kecuali jika ada penyakit penyerta.
Auskultasi : Biasanya bising usus menurun akibat pasien belum ada
flatus setelah operasi.
Palpasi : Biasanya nyeri tekan dan lepas dapat terasa akibat luka
bekas operasi.
Perkusi : Biasanya tympani.
- Ektremitas : Biasanya terjadi kelemahan pada pasien, CRT < 3 detik
- Neurologi
Kesadaran : Biasanya CMC, GCS:15
Saraf cranial : Biasanya tidak ada gangguan
Reflex fisiologis : Biasanya norma, tidak ada gangguan.
Reflex patologis : Tidak ada reflex patologis
37
- Rectal : Biasanya tidak ada gangguan
- Genetalia : Biasanya tidak ada gangguan

2. Diagnosa Keperawatan Post-Op


2) Nyeri akut b.d agen cidera fisik : tindakan pembedahan
3) Kerusakan integritas kulit b.d pengobatan : tindakan pembedahan
4) Resiko infeksi b.d luka terbuka
5) Gangguan pola tidur b.d nyeri
6) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual
dan muntah
(NANDA, 2015-2017)

38
INTERVENSI KEPERAWATAN

No. Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1 Nyeri akut b.d  Pengontrolan Nyeri  Manajemen nyeri
agen cidera - Menilai faktor penyebab (3/5) Aktivitas :
biologis - Recognize lamanya Nyeri (3/5) 1. Lakukan pengakajian nyeri
- Penggunaan mengurangi nyeri secara komprehensif
dengan non analgesic (3/5) termasuk lokasi,
- Gunakan tanda – tanda vital karakteristik, durasi,
memantau perawatan (3/5) frekuensi, kualitas dan
- Laporkan tanda / gejala nyeri faktor presifasi
pada tenaga kesehatan 2. Observasi reaksi nonverbal
professional (3/5) dari ketidaknyamanan
- Gunakan catatan nyeri (3/5) 3. Gunakan teknik
- Gunakan sumber yang tersedia komunikasi terapeutik
(3/5) untuk mengatahui
- Menilai gejala dari nyeri (3/5) pengalaman nyeri pasien
 Tingkat Nyeri 4. Kai kultrul yang
- Melaporkan nyeri (3/5) mempengaruhi respons
- Merintih dan Menangis (3/5) nyeri
- Lama episode nyeri (3/5) 5. Evaluasi pengalaman nyeri
- Ekspresi oral ketika nyeri (3/5) masa lampau
- Ekspresi wajah ketika nyeri (3/5) 6. Evaluasi bersama pasien
- Posisi tubuh melindungi (3/5) dan tim kesehatan lain
- Gelisah (3/5) tentang ketidakefektifan
- Kekuatan otot (3/5) kontrol nyeri masa lampau
- Perubahan frekuensi nafas (3/5) 7. Kontrol lingkungan yang
- Perubahan frekuensi nadi (3/5) dapat mempengarui nyeri
- Perubahan tekanan darah (3/5) seperti suhu ruangan
- Keringat (3/5) percahayaan dan
- Hilang nafsu makan (3/5) kebisingan
8. Kurangi faktor presivitasi
39
nyeri
9. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
10. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervesi
11. Ajarkan tentang teknik
nonformakologi
12. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
13. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
14. Tingkatkan istrirahat
15. Monitor penerimaan
pasien tentang manajement
nyeri
16. Pemberian analgesik
17. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
18. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
19. Cek riwayat alergi
20. Tentukan pilihan anagesik
tergantung tipe dan
beratnya nyeri
21. Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
22. Monitor vitalsign sebelum
dan sesudah pemberian
nalgesik pertama kali.
40
2 Hambatan  Toleransi terhadap aktivitas Perawatan Tirah Baring
mobilitas fisik b.d - Saturasi oksigen ketika Aktivitas :
nyeri, intoleransi beraktivitas (3/5) 1. Hindari menggunakan
aktivitas - Frekuensi nadi ketika beratifitas kain linen kasur yang
(3/5) teksturnya kasar
- Frekuensi pernafasan ketika 2. Jaga kain linen kasur tetap
beraktivitas (3/5) bersih, kering dan bebas
- Tekanan darah sistolik ketika kerutan
beraktifitas (3/5) 3. Letakkan meja disamping
- Tekanan darah diastolik ketika tempat tidur berada dalam
beraktivitas (3/5) jangkauan pasien
- Warna kulit (3/5) 4. Tinggikan teralis tempat
- Hasil EKG (3/5) tidur, dengan cara yang
 Koordinasi Pergerakan : tepat
- Kecepatan gerakan (3/5) 5. Balikkan pasien sesuai
- Kemantapan gerakan (3/5) dengan kondisi kulit
- Keseimbangan gerakan (3/5) 6. Monitor kondisi kulit
- Gerakan yang diinginkan (3/5) 7. Ajarkan latihan ditempat

 Tingkat Mobilitas tidur dengan cara yang

- Keseimbangan penampilan (3/5) tepat

- Posisi tubuh (3/5) 8. Bantu menjaga kebersihan

- Perpindahan otot (3/5) Terapi Latihan : Ambulasi

- Perpindahan sendi (3/5) Aktivitas :


1. Ajarkan pasien atau tenaga
kesehatan lain untuk tipp
dalam mobilisasi
2. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
3. Dampingi dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
pasien.
41
4. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan
berikan bantuan jika
diperlukan
3 Ketidakefektifan  Status respirasi Manajemen Jalan Nafas
pola nafas b.d Indicator : Aktivitas :
1. Kedalaman inspirasi dan 1. Pantau kecepatan, irama,
kemudahan bernafas kedalaman dan usaha
2. Tidak ada otot bantu nafas untuk bernafas
3. Bunyi nafas tambahan tidak 2. Informasikan kepada
ada pasien dan keluarga
4. Nafas pendek tidak ada tentang teknik relaksasi
5. Frekuensi pernafasan dalam untuk meningkatkan pola
batas normal pernafasan
3. Berikan obat nyeri untuk
mengoptimalkan pola
pernafasan
4. Posisikan pasien untuk
mengoptimalkan
pernafasan
4 Ketidakseimbanga  Status Gizi Manajemen Nutrisi
n nutrisi : kurang Indicator : Aktivitas :
dari kebutuhan 1. Asupan makanan dan cairan 1. Pantau kandungan nutrisi
tubuh b.d oral adekuat dan kalori pada catatan
anoreksia, mual 2. Mempertahankan massa asupan.
tubuh dan berat badan dalam 2. Berikan informasi yang
batas normal tepat tentang kebutuhan
3. Melaporkan keadekuatan nutrisi dan bagaimana
energi memenuhinya.
3. Tentukan dengan
melakukan kolaborasi
bersama ahli gizi, secara
tepat jumlah kalori dan
jenis zat gizi yang

42
dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan
nutrisi (khususnya untuk
pasien dengan kebutuhan
energy tinggi, seperti
pasien pascaoperasi dan
luka bakar, trauma,
demam, dan luka
4. Berikan pasien minuman
dan camilan bergizi, tinggi
protein, tinggi kalori yang
siap dikonsumsi, bila
memungkinkan.

4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi adalah fase ketika perawat melakukan proses asuhan

keperawatan yang sesuai dengan tujuan yang spesifik. Implementasi adalah

inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Muttaqin,

2011).

5. EVALUASI KEPERAWATAN
Perawat dapat melakukan evaluasi terhadap respon klien dari tindakan

keperawatan yang dilaksanakan pada klien untuk mendapatkan kasus sebagai data

dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang berkesinambungan. Evaluasi

adalah proses yang terus menerus karena setiap intervensi dikaji efektivitasnya

dan intervensi alternatif digunakan sesuai kebutuhan.

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan

yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan

pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Evaluasi adalah fase akhir proses

43
keperawatan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP

sebagai pola pikirnya.

S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan.

O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.

A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah

masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi

dengan masalah.

P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien.

(Muttaqin, 2011).

44
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M, & Hawks, J. H. 2010. Keperawatan Medikal Bedah : Menejemen klinik untuk hasil
yang diharapkan. St. Louis : Saunders Elsevier.

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni

Herdman, T.Heather. 2015-2017. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi


dan Klasifikasi. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Gloria M. Bulechek, dkk. Nursing Interventions Classifications (NIC).2013. US : Mosby


Elseiver

Moorhead, S. Jhonson, dkk. Nursing Outcomes Classifications (NOC). 2013. US : Mosby


Elseiver

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC

Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

45
46

Anda mungkin juga menyukai