Anda di halaman 1dari 19

lAPORAN PENDAHULUAN

I. Anatomi dan Fisiologi

Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah


mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh.
Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa
metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan
mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-hormon dari
sistemendokrin juga diedarkan melalui darah.
Darah manusia berwarna merah, antara merah terang apabila kaya
oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah pada
darah disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratoryprotein)
yang mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat
terikatnya molekul-molekul oksigen. Manusia memiliki sistem peredaran
darah tertutup yang berarti darah mengalir dalam pembuluh darah dan
disirkulasikan oleh jantung.
Darah dipompa oleh jantung menuju paru-paru untuk melepaskan sisa
metabolisme berupa karbondioksida dan menyerap oksigen melalui pembuluh
arteri pulmonalis, lalu dibawa kembali ke jantung melalui vena pulmonalis.
Setelah itu darah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah
aorta.
Darah mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh melalui saluran
halus darah yang disebut pembuluh kapiler. Darah kemudian kembali
ke jantung melalui pembuluh darah vena cava superior dan vena cava inferior.
Darah juga mengangkut bahan bahan sisa metabolisme, obat-obatan dan
bahan kimia asing ke hati untuk diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai
urine.
II. Konsep Dasar Penyakit
1.1 Definisi
Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga
sumsum tulang didominasi oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia
limfoblastik akut adalah keganasan yang sering ditemukan pada masa
anak-anak (25-30% dari seluruh keganasan pada anak), anak laki lebih
sering ditemukan dari pada anak perempuan, dan terbanyak pada anak
usia 3-4 tahun. Faktor risiko terjadi leukimia adalah faktor kelainan
kromosom, bahan kimia, radiasi faktor hormonal,infeksi virus (Ribera,
2009).
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada
sel-sel prekursor limfoid, yakni sel darah yang nantinya akan
berdiferensiasi menjadi limfosit T dan limfosit B. LLA ini banyak terjadi
pada anak-anak yakni 75%, sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa.
Lebih dari 80% dari kasus LLA adalah terjadinya keganasan pada sel T,
dan sisanya adalah keganasan pada sel B. Insidennya 1 : 60.000
orang/tahun dan didominasi oleh anak-anak usia < 15 tahun, dengan
insiden tertinggi pada usia 3-5 tahun (Landier dkk, 2004).
1.2 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor
predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :
1. Keturunan
a) Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan
kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma
Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich,
sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy
sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan
neurofibromatosis. Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan
erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada
kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom
yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy.
b) Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada
kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada
tahun pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga pada keluarga
dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi.
2. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan
kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan
obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat
pada leukemia akut, khususnya ALL.
3. Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA
virus menyebabkan leukemia pada hewan termasuk
primata.Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA
dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak
ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal dari virus tipe
C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada
hewan.(Wiernik, 1985). Salah satu virus yang terbukti dapat
menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell
Leukemia .Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell
Leukemia.
4. Bahan Kimia dan Obat-obatan
a) Bahan Kimia
Paparan kromis dari bahan kimia (misal : benzen)
dihubungkan dengan peningkatan insidensi leukemia akut,
misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. Selain
benzen beberapa bahan lain dihubungkan denganresiko tinggi
dari ALL, antara lain : produk – produk minyak, cat, ethylene
oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik
b) Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan
inhibitor topoisomere II) dapat mengakibatkan penyimpangan
kromosom yang menyebabkan ALL. Kloramfenikol,
fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan
kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi ALL.
5. Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL)
ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang
mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan
insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari
ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada
pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic,
para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis.
6. Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit
malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia
(SAL) atau treatment related leukemia. Termasuk diantaranya
penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara. Hal
ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk
golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan
kerusakan DNA .
1.3 Manifestasi Klinis
Leukemia limfositik akut menyerupai leukemia granulositik akut
dengan tanda dan gejala dikaitkan dengan penekanan unsur sumsum
tulang normal (kegagalan sumsum tulang) atau keterlibatan ekstramedular
oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsumtulang
menyebabkan berkurangnya sel-sel normal di darah perifer dengan
manifestasi utama berupa infeksi, perdarahan, dan anemia. Gejala lain
yang dapat ditemukan yaitu:
1. Anemia : mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
2. Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise
3. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel
leukemia), biasanya terjadi pada anak
4. Demam, banyak berkeringat pada malam hari(hipermetabolisme)
5. Infeksi mulut, saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering
adalah gramnegatif usus
6. Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria
7. Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati
8. Massa di mediastinum (T-ALL)
Leukemia SSP (Leukemia cerebral); nyeri kepala, tekanan intrakranial
naik, muntah,kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik
fokal, dan perubahan status mental.
1.4 Patofisiologi
Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah
(RBC) dan leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau
platelet. Seluruh sel darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang
terdapat pada seluruh sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam
lymphpoid dan sel batang darah (myeloid), dimana pada kebalikannya
menjadi cikal bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus.
Proses ini dikenal sebagai hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum
tulang tengkorak, tulang belakang., panggul, tulang dada, dan pada
proximal epifisis pada tulang-tulang yang panjang.
ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan
kematangan lemah dan pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam
sumsum tulang. Biasanya dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang
berbeda dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah hingga
hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk
untuk menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah
tepi ditemukan sel muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis, kadang-
kadang leukopenia (25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah,
demikian pula kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan
sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel blas yang dominan.
Pematangan limfosit B dimulai dari sel stem pluripoten, kemudian sel
stem limfoid, pre pre-B, early B, sel B intermedia, sel B matang, sel
plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga berasal dari sel stem
pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur,
cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T helper dan
limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat
ekstramedular sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe
dan hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul
serangan pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-muntah,
“seizures” dan gangguan penglihatan.
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur/abnormal dalam
jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ,
termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal.
Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer
sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan
haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah
leukosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai
organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala,
muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit
menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah
terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.).
Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang
dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah
mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme
sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare,
2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).
1.5 Komplikasi
1. Perdarahan
Akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka trombosit yang
rendah ditandai dengan :
a) Memar (ekimosis)
b) Petekia (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar ujung
jarum dipermukaan kulit)
Perdarahan berat jika angka trombosit < 20.000 mm3 darah. Demam
dan infeksi dapat memperberat perdarahan
2. Infeksi
Akibat kekurangan granulosit matur dan normal.Meningkat sesuai
derajat netropenia dan disfungsi imun.
3. Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal.
Akibat penghancuran sel besar-besaran saat kemoterapi meningkatkan
kadar asam urat sehingga perlu asupan cairan yang tinggi.
4. Anemia
5. Masalah gastrointestinal.
a) Mual
b) Muntah
c) Anoreksia
d) Diare
e) Lesi mukosa mulut
6. Terjadi akibat infiltrasi lekosit abnormal ke organ abdominal, selain
akibat kemoterapi.
1.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Hitung darah lengkap menunjukkan normositik, anemia normositik.


2. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml
3. Retikulosit : jumlah biasanya rendah
4. Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)
5. SDP : mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP yang
imatur (mungkin menyimpang ke kiri). Mungkin ada sel blast
leukemia.
6. PT/PTT : memanjang
7. LDH : mungkin meningkat
8. Asam urat serum/urine : mungkin meningkat
9. Muramidase serum (lisozim) : penigkatabn pada leukimia monositik
akut dan mielomonositik.
10. Copper serum : meningkat
11. Zinc serum : meningkat/ menurun
12. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau
lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast,
dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
13. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan
1.7 Collaborative Care Management

1. Pelaksanaan kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi.Jenis
pengobatan kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh
sel-sel leukemia.Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa
mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih.
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan
berbagai cara :
Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena)
a. Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di
dalam pembuluh darah balik besar, seringkali di dada bagian
atas - perawat akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk
menghindari suntikan yang berulang kali. Cara ini akan
mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau cedera pada pembuluh
darah balik/kulit.
b. Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal – jika ahli
patologi menemukan sel-sel leukemia dalam cairan yang mengisi
ruang di otak dan sumsum tulang belakang, dokter bisa
memerintahkan kemoterapi intratekal. Dokter akan menyuntikkan
obat langsung ke dalam cairan cerebrospinal. Metode ini
digunakan karena obat yang diberikan melalui suntikan IV atau
diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan sumsum
tulang belakang.
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua
fase yang digunakan untuk semua orang.
a. Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh
sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum
tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan
perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat
menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses
membunuh sel leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan
kemoterapi kombinasi yaitu daunorubisin, vincristin, prednison
dan asparaginase.
b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi
intensifikasi yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia
residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang
resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan
kemudian.
c. Tahap 3 (profilaksis SSP)
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada
SSP. Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan
pada dosis yang lebih rendah.Pada tahap ini menggunakan obat
kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan
terapi radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak dan
sistem saraf pusat.
d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa
remisi.Tahap ini biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun.Angka
harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat
dramatis.Tidak hanya 95% anak dapat mencapai remisi penuh,
tetapi 60% menjadi sembuh.Sekitar 80% orang dewasa mencapai
remisi lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup jangka
panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan
pada sumsum tulang dan SSP.
2. Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi
biologi untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap
kanker.Terapi ini diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh
darah balik. Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis
terapi biologi yang digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan
mengikatkan diri pada sel-sel leukemia. Terapi ini memungkinkan
sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel leukemia di dalam darah
dan sumsum tulang.Bagi penderita dengan leukemia myeloid kronis,
terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami bernama interferon
untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia.
3. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar
berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian
besar pasien, sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi
pada limpa, otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya
sel-sel leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang
diarahkan ke seluruh tubuh. (radiasi seluruh tubuh biasanya diberikan
sebelum transplantasi sumsum tulang.
4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem
cell). Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan
dosis obat yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan
menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal
dalam sumsum tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel
induk (stem cell) yang sehat melalui tabung fleksibel yang dipasang
di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher. Sel-sel darah
yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil
transplantasi ini. Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien
biasanya harus menginap di rumah sakit selama beberapa minggu.
Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi sampai sel-sel
induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah
putih dalam jumlah yang memadai.
5. Transfusi darah
Biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan
transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan
heparin.
6. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya).
Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhir-
nya dihentikan.
7. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp,
metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan
lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine),
sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriami-
sin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi
bersama-sama dengan prednison.Pada pemberian obat-obatan ini
sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis,
leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih
berhziti-hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
8. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter-
capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 - 106),
imunoterapi mulai diberikan.Pengobatan yang aspesifik dilakukan
dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium
dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat
daya tahan tubuh.Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan
sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan
terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga
semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita
leukemia dapat sembuh sempurna.
9. Cara pengobatan.
Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada
pengalamannya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap
pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama.
Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar
pengobatan sebagai berikut:
a. Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian
berbagai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun
intratekal sampai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
b. Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c. Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu
masa remisi yang lama.Biasanya dilakukan dengan pemberian
sitostatika separuh dosis biasa.
d. Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya
dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti
pada induksi selama 10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk
mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak
2.4002.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan
leukemia serebral.Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f. Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama
sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh
sempurna. (Sutarni Nani, 2003).
III. Rencana Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
a. Keluhan Utama : Pada anak keluhan yang sering muncul tiba-
tiba adalah demam, lesudan malas makan atau nafsu makan
berkurang, pucat (anemia) dan kecenderungan terjadi
perdarahan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu : Pada penderita ALL sering
ditemukan riwayat keluarga yang erpapar oleh chemical toxins
(benzene dan arsen), infeksi virus (epstein barr, HTLV-1),
kelainan kromosom dan penggunaan obat-obatan seperti
phenylbutazone dan khloramphenicol, terapi radiasi maupun
kemoterapi.
c. Pola Persepsi - mempertahankan kesehatan : Tidak spesifik dan
berhubungan dengan kebiasaan buruk dalam mempertahankan
kondisi kesehatan dan kebersihan diri. Kadang ditemukan
laporan tentang riwayat terpapar bahan-bahan kimia dari
orangtua.
d. Pola Nurisi : Anak sering mengalami penurunan nafsu makan,
anorexia, muntah, perubahan sensasi rasa, penurunan berat
badan, gangguan menelan, serta pharingitis. Pemeriksaan fisik
ditemukan adanya distensi abdomen, penurunan bowel sounds,
pembesaran limfa, pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah
putih yang berproliferasi secara abnormal, ikterus, stomatitis,
ulserasi oal, adanya pmbesaran gusi (bisa menjadi indikasi
terhadap acute monolytic leukemia)
e. Pola Eliminasi : Anak kadang mengalami diare, penegangan
pada perianal, nyeri abdomen, dan ditemukan darah segar dan
faeces berwarna ter, darah dalam urin, serta penurunan urin
output. Pada inspeksi didapatkan adanya abses perianal, serta
adanya hematuria.
f. Pola Tidur dan Istrahat : Anak memperlihatkan penurunan
aktifitas dan lebih banyak waktu dihabiskan untuk tidur/istrahat
karena mudah mengalami kelelahan.
g. Pola Kognitif dan Persepsi : Anak penderita ALL sering
ditemukan mengalami penurunan kesadaran (somnolence) ,
iritabilits otot dan “seizure activity”, adanya keluhan sakit
kepala, disorientasi, karena sel darah putih yang abnormal
berinfiltrasi ke susunan saraf pusat.
h. Pola Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam
kondisi yang lemah dengan pertahan tubuh yang sangat jelek.
Dalam pengkajian dapat ditemukan adanya depresi, withdrawal,
cemas, takut, marah, dan iritabilitas. Juga ditemukan
peerubahan suasana hati, dan bingung.
i. Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat
dikaji
j. Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa
kehilangan kesempatan bermain dan berkumpul bersama teman-
teman serta belajar.
k. Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami
kelemahan umum dan ketidakberdayaan melakukan ibadah
l. Pengkajian tumbuh kembang anak.
2.1.2 Pemeriksaan Fisik: data focus
a. Keadaan umum : aktif
b. Kesadaran : compos mentis
c. Tanda-tanda vital :
HR 80x/menit suhu 37 C
RR 24 x/menit
d. Kepala : rambut hitam, tipis, tidak ada ketombe, tidak ada lesi
e. Mata : simetris, isokor, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik
f. Hidung : simetris, tidak ada discharge
g. Mulut : simetris, tidak ada epistaksis,
h. Telinga : simetris, tidak ada discharge
i. Pipi : simetris, udem pada pipi kanan dan kiri
j. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
k. Dada
1) Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
b) Palpasi : ictus cordis teraba di SIC VI 2 cm lateral
LMCS
c) Perkusi : pekak
d) Auskultasi : bunyi jantung I-II murni
2) Paru-paru
a) Inspeksi : simetris, tidak ada retraksi dada,
b) Palpasi : tidak ada nyeri tekan
c) Perkusi : sonor
d) Auskultasi : suara dasar vesikuler, tidak ada suara
tambahan
l. Abdomen
1. Inspeksi : tidak ada lesi, ada udem
2. Auskultasi : bising usus 15 kali/menit
3. Palpasi : tidak ada nyeri tekan
4. Perkusi : timpani pada lambung
Lingkar perut : 53,5 cm
m. Ekstremitas : akral hangat, capillery refill < 2 detik, tidak ada
udem pada kaki kanan dan kiri
2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1 : Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem
pertahanan tubuh.

2.2.1 Definisi : mengalami peningkatan terserang organisme patogenik

2.2.2 Batasan Karakteristik :

a. Klien tidak mengalami kenaikan suhu tubuh, kemerahan, nyeri,


atau tanda-tanda infeksi dan inflamasi lainnya mencakup rubor
(kemerahan), kalor (panas), dolor (rasasakit), dan tumor
(pembengkakan)

2.2.3 Faktor yang berhubungan

a. Kurang pengetahuan untuk menghindari pajanan pathogen


b. Prosedur invasif

Diagnosa 2 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat


anemia.

2.2.4 Definisi : ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk


mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin
dilakukan

2.2.5 Batasan Karakteristik :

a. Respons tekanan darah abnormal terhadap aktivitas


b. Ketidaknyamanan setelah beraktivitas.

2.2.6 Faktor yang berhubungan : ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen

Diagnosa 3 : Resiko cedera: perdarahan berhubungan dengan penurunan


jumlah trombosit.

2.2.7 Definisi : rentan mengalam cedera fisik akibat kondisi lingkungan


yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber
defensive individu, yang dapat mengganggu kesehatan.
2.2.8 Batasan karakteristik :

a. Profil darah yang abnormal


b. Malnutrisi

2.2.9 Faktor yang berhubungan

a. Profil darah yang abnormal


b. Malnutrisi

2.3 Perencanaan

Diagnosa 1 : Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem


pertahanan tubuh.

2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil :

Tujuan : Menurunkan resiko infeksi

Kriteria hasil : Klien tidak mengalami kenaikan suhu tubuh,


kemerahan, nyeri, atau tanda-tanda infeksi dan inflamasi lainnya
mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasasakit), dan
tumor (pembengkakan)

2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional :

1. Kaji TTV ( TD, nadi, suhu tubuh dan tanda gejala infeksi lainnya
setiap 4 jam)
R/ Untuk mengetahui tanda infeksi sedini mungkin
2. Menjelaskan pada pasien penyebab terjadinya infeksi
R/ Pasien mengerti dan kooperatif tentang penyebab infeksi
3. Tempatkan pada ruangan khusus dan batasi pengunjung
R/ menghindari atau mengurangi kontak sumberinfeksi, untuk
menjaga klien dari agent patogenyang dapat menyebabkan
infeksi
4. Kaji apakah terdapat infeksi pada klien
R/ Memberi informasi tentang ada atau tidaknya infeksi pada
klien.
5. Kolaborasi pemberian analgesic SOD
R/ Mengurangi reaksi inflamasi pada tubuh.

Diagnosa 2 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat


anemia.

2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil :

a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan


tekanan darah, nadi dan RR.
b. Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional

1. Observasi TTV
R/ menisfestasi kardiopulmunal dari upaya jantung dan paru
untuk membawa oksigen adekuat ke jaringan
2. Kaji kemampuan ADLs klien.
R/ Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan
3. Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan dan
kelemahan otot.
R/ Menunjukan perubahan neurologi karena defisiensi vitamin
B12 mempengaruhi keamanan pasien/ resiko cedera
4. Batasi pengunjung berikan lingkungan tenang.
R/ Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen
dan menurunkan regangan jantung dan paru.
5. Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan klien istirahat bila
terjadi kelelahan dan kelemahan, anjurkan klien beraktivitas
semampunya (tanpa memaksakan diri)
R/ Meningkatkan aktivitas secara bertahap sampai normal dan
memperbaiki tonus otot / stamina tanpa kelelahan.

Diagnosa 3 : Resiko cedera: perdarahan berhubungan dengan penurunan


jumlah trombosit.

2.3.5 Tujuan dan kriteria hasil :

Tujuan : Sistem koagulasi darah klien berfungsi dengan baik


Kriteria hasil :
a. Tidak terjadi perdarahan dalam kulit seperti purpura, ekimosis,
dan petekie.
b. Trombosit klien normal

2.3.6 Intervensi keperawatan dan rasional :

1. Kaji TTV
R/ Identifikasi adanya penurunan kondisi tubuh akibat
trombositopen.
2. Anjurkan pasien untuk banyak istirahat(bedrest)
R/ Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan
3. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga untuk melaporkan
jika ada tanda perdarahan seperti: melena, epistaksis
R/ Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk
penaganan dini bila terjadi perdarahan
4. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak,
pelihara kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap
selesai ambil darah.
R/ Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut
5. Kolaborasi, monitor trombosit setiap hari
R/ Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat diketahui
tingkat kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan perdarahan
yang dialami pasien.
IV. Daftar Pustaka

Alimul Hidayat, A. Aziz. (2005). Pengantar ilmu keperawatan anak 1.,


Jakarta: Salemba Medika
Aster, Jon. 2011. Sistem Hematopoietik dan Limfoid dalam Buku Ajar
Patologi Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Atul, Mehta dan A. Victor Hoffbrand. 2006.At a Glance Hematologi.Edisi 2.
Jakarta: Erlangga
Baldy, Catherine M. 2006. Komposisi Darah dan Sistem Makrofag-Monosit
dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.
(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta
Landier W, Bhatia S, Eshelman DA, Forte KJ, Sweeney T, Hester AL, et al.
Development of risk-based guidelines for pediatric cancer survivors:
the Children's Oncology Group Long-Term Follow-Up Guidelines
from the Children's OncologyGroup Late Effects Committee and
Nursing Discipline. J Clin Oncol. Dec 152004 ; 22 (24) : 4979-90.
Margolin JF, Steuber CP, Poplack DG. Acute lymphoblastic leukemia. In:
Pizzo PAPoplack DG, eds. Principles and Practice of Pediatric
Oncology. 15th ed. 2006:538-90.3.
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby
Year-Book, St. Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification
2001-2002, NANDA
Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease
Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. Jakarta : EGC ; 2009.
Putra, D, S, H., et al. 2014. Keperawatan Anak & Tumbuh Kembang
(Pengkajian dan Pengukuran). Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai