BARU
BARU
1. Pelaksanaan kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi.Jenis
pengobatan kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh
sel-sel leukemia.Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa
mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih.
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan
berbagai cara :
Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena)
a. Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di
dalam pembuluh darah balik besar, seringkali di dada bagian
atas - perawat akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk
menghindari suntikan yang berulang kali. Cara ini akan
mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau cedera pada pembuluh
darah balik/kulit.
b. Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal – jika ahli
patologi menemukan sel-sel leukemia dalam cairan yang mengisi
ruang di otak dan sumsum tulang belakang, dokter bisa
memerintahkan kemoterapi intratekal. Dokter akan menyuntikkan
obat langsung ke dalam cairan cerebrospinal. Metode ini
digunakan karena obat yang diberikan melalui suntikan IV atau
diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan sumsum
tulang belakang.
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua
fase yang digunakan untuk semua orang.
a. Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh
sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum
tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan
perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat
menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses
membunuh sel leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan
kemoterapi kombinasi yaitu daunorubisin, vincristin, prednison
dan asparaginase.
b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi
intensifikasi yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia
residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang
resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan
kemudian.
c. Tahap 3 (profilaksis SSP)
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada
SSP. Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan
pada dosis yang lebih rendah.Pada tahap ini menggunakan obat
kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan
terapi radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak dan
sistem saraf pusat.
d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa
remisi.Tahap ini biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun.Angka
harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat
dramatis.Tidak hanya 95% anak dapat mencapai remisi penuh,
tetapi 60% menjadi sembuh.Sekitar 80% orang dewasa mencapai
remisi lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup jangka
panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan
pada sumsum tulang dan SSP.
2. Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi
biologi untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap
kanker.Terapi ini diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh
darah balik. Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis
terapi biologi yang digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan
mengikatkan diri pada sel-sel leukemia. Terapi ini memungkinkan
sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel leukemia di dalam darah
dan sumsum tulang.Bagi penderita dengan leukemia myeloid kronis,
terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami bernama interferon
untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia.
3. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar
berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian
besar pasien, sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi
pada limpa, otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya
sel-sel leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang
diarahkan ke seluruh tubuh. (radiasi seluruh tubuh biasanya diberikan
sebelum transplantasi sumsum tulang.
4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem
cell). Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan
dosis obat yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan
menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal
dalam sumsum tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel
induk (stem cell) yang sehat melalui tabung fleksibel yang dipasang
di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher. Sel-sel darah
yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil
transplantasi ini. Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien
biasanya harus menginap di rumah sakit selama beberapa minggu.
Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi sampai sel-sel
induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah
putih dalam jumlah yang memadai.
5. Transfusi darah
Biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan
transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan
heparin.
6. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya).
Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhir-
nya dihentikan.
7. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp,
metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan
lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine),
sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriami-
sin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi
bersama-sama dengan prednison.Pada pemberian obat-obatan ini
sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis,
leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih
berhziti-hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
8. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter-
capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 - 106),
imunoterapi mulai diberikan.Pengobatan yang aspesifik dilakukan
dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium
dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat
daya tahan tubuh.Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan
sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan
terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga
semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita
leukemia dapat sembuh sempurna.
9. Cara pengobatan.
Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada
pengalamannya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap
pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama.
Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar
pengobatan sebagai berikut:
a. Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian
berbagai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun
intratekal sampai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
b. Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c. Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu
masa remisi yang lama.Biasanya dilakukan dengan pemberian
sitostatika separuh dosis biasa.
d. Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya
dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti
pada induksi selama 10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk
mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak
2.4002.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan
leukemia serebral.Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f. Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama
sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh
sempurna. (Sutarni Nani, 2003).
III. Rencana Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
a. Keluhan Utama : Pada anak keluhan yang sering muncul tiba-
tiba adalah demam, lesudan malas makan atau nafsu makan
berkurang, pucat (anemia) dan kecenderungan terjadi
perdarahan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu : Pada penderita ALL sering
ditemukan riwayat keluarga yang erpapar oleh chemical toxins
(benzene dan arsen), infeksi virus (epstein barr, HTLV-1),
kelainan kromosom dan penggunaan obat-obatan seperti
phenylbutazone dan khloramphenicol, terapi radiasi maupun
kemoterapi.
c. Pola Persepsi - mempertahankan kesehatan : Tidak spesifik dan
berhubungan dengan kebiasaan buruk dalam mempertahankan
kondisi kesehatan dan kebersihan diri. Kadang ditemukan
laporan tentang riwayat terpapar bahan-bahan kimia dari
orangtua.
d. Pola Nurisi : Anak sering mengalami penurunan nafsu makan,
anorexia, muntah, perubahan sensasi rasa, penurunan berat
badan, gangguan menelan, serta pharingitis. Pemeriksaan fisik
ditemukan adanya distensi abdomen, penurunan bowel sounds,
pembesaran limfa, pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah
putih yang berproliferasi secara abnormal, ikterus, stomatitis,
ulserasi oal, adanya pmbesaran gusi (bisa menjadi indikasi
terhadap acute monolytic leukemia)
e. Pola Eliminasi : Anak kadang mengalami diare, penegangan
pada perianal, nyeri abdomen, dan ditemukan darah segar dan
faeces berwarna ter, darah dalam urin, serta penurunan urin
output. Pada inspeksi didapatkan adanya abses perianal, serta
adanya hematuria.
f. Pola Tidur dan Istrahat : Anak memperlihatkan penurunan
aktifitas dan lebih banyak waktu dihabiskan untuk tidur/istrahat
karena mudah mengalami kelelahan.
g. Pola Kognitif dan Persepsi : Anak penderita ALL sering
ditemukan mengalami penurunan kesadaran (somnolence) ,
iritabilits otot dan “seizure activity”, adanya keluhan sakit
kepala, disorientasi, karena sel darah putih yang abnormal
berinfiltrasi ke susunan saraf pusat.
h. Pola Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam
kondisi yang lemah dengan pertahan tubuh yang sangat jelek.
Dalam pengkajian dapat ditemukan adanya depresi, withdrawal,
cemas, takut, marah, dan iritabilitas. Juga ditemukan
peerubahan suasana hati, dan bingung.
i. Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat
dikaji
j. Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa
kehilangan kesempatan bermain dan berkumpul bersama teman-
teman serta belajar.
k. Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami
kelemahan umum dan ketidakberdayaan melakukan ibadah
l. Pengkajian tumbuh kembang anak.
2.1.2 Pemeriksaan Fisik: data focus
a. Keadaan umum : aktif
b. Kesadaran : compos mentis
c. Tanda-tanda vital :
HR 80x/menit suhu 37 C
RR 24 x/menit
d. Kepala : rambut hitam, tipis, tidak ada ketombe, tidak ada lesi
e. Mata : simetris, isokor, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik
f. Hidung : simetris, tidak ada discharge
g. Mulut : simetris, tidak ada epistaksis,
h. Telinga : simetris, tidak ada discharge
i. Pipi : simetris, udem pada pipi kanan dan kiri
j. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
k. Dada
1) Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
b) Palpasi : ictus cordis teraba di SIC VI 2 cm lateral
LMCS
c) Perkusi : pekak
d) Auskultasi : bunyi jantung I-II murni
2) Paru-paru
a) Inspeksi : simetris, tidak ada retraksi dada,
b) Palpasi : tidak ada nyeri tekan
c) Perkusi : sonor
d) Auskultasi : suara dasar vesikuler, tidak ada suara
tambahan
l. Abdomen
1. Inspeksi : tidak ada lesi, ada udem
2. Auskultasi : bising usus 15 kali/menit
3. Palpasi : tidak ada nyeri tekan
4. Perkusi : timpani pada lambung
Lingkar perut : 53,5 cm
m. Ekstremitas : akral hangat, capillery refill < 2 detik, tidak ada
udem pada kaki kanan dan kiri
2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1 : Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem
pertahanan tubuh.
2.3 Perencanaan
1. Kaji TTV ( TD, nadi, suhu tubuh dan tanda gejala infeksi lainnya
setiap 4 jam)
R/ Untuk mengetahui tanda infeksi sedini mungkin
2. Menjelaskan pada pasien penyebab terjadinya infeksi
R/ Pasien mengerti dan kooperatif tentang penyebab infeksi
3. Tempatkan pada ruangan khusus dan batasi pengunjung
R/ menghindari atau mengurangi kontak sumberinfeksi, untuk
menjaga klien dari agent patogenyang dapat menyebabkan
infeksi
4. Kaji apakah terdapat infeksi pada klien
R/ Memberi informasi tentang ada atau tidaknya infeksi pada
klien.
5. Kolaborasi pemberian analgesic SOD
R/ Mengurangi reaksi inflamasi pada tubuh.
1. Observasi TTV
R/ menisfestasi kardiopulmunal dari upaya jantung dan paru
untuk membawa oksigen adekuat ke jaringan
2. Kaji kemampuan ADLs klien.
R/ Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan
3. Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan dan
kelemahan otot.
R/ Menunjukan perubahan neurologi karena defisiensi vitamin
B12 mempengaruhi keamanan pasien/ resiko cedera
4. Batasi pengunjung berikan lingkungan tenang.
R/ Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen
dan menurunkan regangan jantung dan paru.
5. Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan klien istirahat bila
terjadi kelelahan dan kelemahan, anjurkan klien beraktivitas
semampunya (tanpa memaksakan diri)
R/ Meningkatkan aktivitas secara bertahap sampai normal dan
memperbaiki tonus otot / stamina tanpa kelelahan.
1. Kaji TTV
R/ Identifikasi adanya penurunan kondisi tubuh akibat
trombositopen.
2. Anjurkan pasien untuk banyak istirahat(bedrest)
R/ Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan
3. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga untuk melaporkan
jika ada tanda perdarahan seperti: melena, epistaksis
R/ Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk
penaganan dini bila terjadi perdarahan
4. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak,
pelihara kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap
selesai ambil darah.
R/ Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut
5. Kolaborasi, monitor trombosit setiap hari
R/ Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat diketahui
tingkat kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan perdarahan
yang dialami pasien.
IV. Daftar Pustaka