pelarut immiscible, solute akan terdistribusi di antara dua fase cair (liquid)
(Jacobs et al. 1974). Pada kesetimbangan, rasio konsentrasi solute dalam dua
fase kurang lebih konstan. Rasio ini dinamakan rasio distribusi atau koefisen
distribusi. Ketika komponen yang diinginkan berada dalam larutan air (fase
kedua), maka komponen itu bisa dipindahkan dengan menggunakan pelarut
yang tidak larut air (fase satu). Komponen yang diinginkan tersebut mudah
larut dan impurities tidak atau hanya sedikit larut. Ekstraksi sangat berguna
untuk memisahkan solute yang diinginkan dari impurities dan by product yang
larut air.
Pelarut yang baik untuk ekstraksi harus mempunyai kelarutan yang
rendah di fase kedua (biasanya air), titik didih rendah, dan memiliki
kemampuan untuk melarutkan analit tanpa melarutkan impurities (Jacobs et
al. 1974). Pelarut juga harus bersifat inert dan tidak mengalami reaksi dengan
reaktan atau produk. Dietil eter adalah pelarut yang umum digunakan untuk
ekstraksi karena sifatnya yang inert dan kelarutan air yang rendah dalam eter
(1 g/75 g eter). Kelemahan dari pelarut eter ini adalah sangat mudah terbakar
sehingga diperlukan penanganan yang hati-hati.
Setelah ekstraksi, akan terdapat dua lapisan yang terpisah. Lapisan
bawah adalah fase aqueous, sedangkan lapisan atas merupakan fase eter. Hal
ini disebabkan berat jenis eter (ρ=0.713 g/ml) lebih rendah daripada berat jenis
air (ρ=1 g/ml). Pemisahan kedua fase ini dapat dilihat pada Gambar 3. Ekstrak
eter kemudian diuapkan pada penangas air (hotplate) pada suhu yang rendah,
sehingga akan tersisa residu. Residu tersebut dilarutkan dalam air dan
ditambahkan dengan NH3 hingga basa. Larutan kemudian diuapkan untuk
menghilangkan kelebihan NH3. Residu yang terbentuk dilarutkan dengan air
panas dan disaring untuk menghilangkan kotoran-kotoran sehingga
pembentukan ferribenzoat akan jelas terlihat. Filtrat tersebut kemudian
ditambahkan dengan FeCl3. Jika sampel positif mengandung benzoat, maka
akan terbentuk endapan ferribenzoat yang berwarna kekuningan atau salmon.
Terjadinya endapan ferribenzoat dapat dilihat pada Gambar 4. Pada Gambar 4
terlihat bahwa sebelum ditambah dengan FeCl3, larutan masih terlihat jernih.
Namun setelah ditambah dengan FeCl3, terdapat endapan ferribenzoat yang
28
fase eter
fase air
A B
Hasil analisis kualitatif natrium benzoat pada sampel saus sambal dan
minuman dalam kemasan dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis
29
Tabel 5. Hasil Analisis Kualitatif Natrium Benzoat pada Saus Sambal dan
Minuman Dalam Kemasan
Ulangan Saus Sambal Minuman Dalam Kemasan
1 + +
2 + +
3 + +
Keterangan :
+ : positif mengandung benzoat, ditandai dengan terbentuknya endapan
berwarna salmon
O ONa O OH
+ HCl + NaCl
O OH O ONa
+ NaOH + H2 O
1100
a
900
800
700
600
500
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
ada perbedaan nyata pada uji ANOVA (p>0.01)
3.5
3 2.69
2.5 RSD
RSD (%)
2 1.61 RSD Horwitz
1.5
1 0.80
0.5
0
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
yaitu 9.925 dan -9.925, maka hipotesis nol diterima. Ini berarti bahwa rataan
perlakuan 2 dan rataan perlakuan 3 tidak berbeda nyata. Uji F yang dilakukan
menghasilkan nilai F hitung sebesar 3.958. Karena nilai F hitung ini lebih
kecil dari F tabel maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara standar
deviasi perlakuan 2 dan standar deviasi perlakuan 3.
Uji t dan F juga dilakukan untuk membandingkan perlakuan 1 dan
perlakuan 3. Nilai t hitung yang diperoleh sebesar 0.836 dan nilai ini berada di
antara nilai t tabel, maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa rataan
perlakuan 1 dan 3 tidak berbeda nyata. Nilai F hitung sebesar 11.683 dan nilai
ini lebih kecil dari nilai F tabel, karena itu standar deviasi perlakuan 1 dan
perlakuan 3 tidak berbeda nyata (hipotesis nol diterima).
Di samping uji t, dilakukan juga uji ANOVA untuk memastikan hasil
dari uji t (Lampiran 12). Nilai probabilitas yang didapat sebesar 0.445. Karena
nilai probabilitas > 0.01 maka H0 diterima. Ini berarti bahwa tidak terdapat
perbedaan rata-rata di antara ketiga perlakuan tersebut.
Pertimbangan yang lain selain analisis statistik dalam pemilihan
perlakuan adalah biaya yang dibutuhkan untuk analisis. Rincian biaya untuk
masing-masing perlakuan (satu kali ulangan dan duplo) dapat dilihat pada
Lampiran 13. Biaya yang dibutuhkan untuk perlakuan 1 sebesar Rp 153,016,
perlakuan 2 sebesar Rp 141,752, dan perlakuan 3 sebesar Rp 72,032. Karena
perlakuan 3 membutuhkan biaya yang lebih rendah dan hasilnya tidak berbeda
nyata dengan perlakuan 1 dan 2, maka perlakuan 3 dipilih untuk digunakan
pada analisis sampel saus sambal.
Terdapat dua perlakuan yang dilakukan pada analisis saus sambal ini.
Parameter perlakuan terletak pada ekstraksi sampel. Perlakuan pertama,
ekstraksi menggunakan labu pemisah (separator) seperti pada prosedur
AOAC, sedangkan perlakuan kedua ekstraksi menggunakan plateform shaker
(modifikasi AOAC). Pemilihan parameter ini disebabkan ekstraksi
menggunakan labu pemisah sangat tergantung pada analis dan faktor
kelelahan mengocok merupakan faktor utama yang menjadi penyebab
38
keragaman data yang dihasilkan dari metode ini. Dengan cara ekstraksi
menggunakan plateform shaker (kecepatan 40 rpm dan waktu setiap ekstraksi
30 menit), diharapkan data yang dihasilkan akan menjadi lebih teliti.
Pada tahapan ini, proses titrasi tidak dilakukan seperti pada tahap
penentuan penggunaan pereaksi yang menggunakan cara titrasi seperti
biasanya (colorimetric titration). Cara titrasi yang dilakukan adalah dengan
menggunakan titrasi potensiometrik. Pada jenis titrasi ini, digunakan pH-meter
untuk melihat titik akhir titrasi. Hal ini disebabkan karena ekstrak yang
dihasilkan berwarna oranye, sehingga sangat sulit untuk menentukan titik
akhir titrasi jika digunakan colorimetric titration. Oleh karena itu ketika
larutan berwarna akan dititrasi menggunakan indikator pp, metode yang
sebaiknya digunakan adalah titrasi potensiometrik. Sampel dititrasi sampai pH
8.2 jika digunakan indikator pp (Nielsen 2003).
Saus sambal yang digunakan untuk analisis harus berasal dari batch
yang sama untuk menghindari terjadinya bias, karena itu dipilih saus sambal
yang memiliki kode produksi yang sama. Analisis dilakukan sebanyak 7 kali.
Data analisis kuantitatif saus sambal dengan metode labu pemisah dan shaker
dapat dilihat pada Lampiran 14 dan 15.
A B
1000
700
600
500
400
labu pemisah shaker lab
terakreditasi
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
ada perbedaan nyata pada uji ANOVA (p>0.01)
Gambar 10. Konsentrasi Rata-rata Natrium Benzoat pada Saus Sambal dengan
Metode Labu Pemisah, Shaker, dan Laboratorium Terakreditasi
4.5
3.90 3.89 3.87
4
3.5 3.12
2.92
3
RSD (%)
2.5 RSD
2 1.72 RSD Horwitz
1.5
1
0.5
0
labu pemisah shaker lab
terakreditasi
Gambar 11. % RSD Hasil Analisis Natrium Benzoat pada Saus Sambal
dengan Metode Labu Pemisah, Shaker, dan Laboratorium
Terakreditasi
41
Tabel 7. Uji t dan F untuk Metode Labu Pemisah, Shaker, dan Lab
Terakreditasi (α = 0.01)
Metode t hitung t tabel F hitung F tabel
labu pemisah dan -1.623 3.055 dan 1.085 8.466
shaker -3.055
labu pemisah dan lab -2.252 3.499 dan 2.976 5858.950
terakreditasi -3.499
shaker dan lab -1.181 3.499 dan 2.743 5858.950
terakreditasi -3.499
Faktor alat terbagi menjadi dua yaitu pH-meter dan neraca analitik.
Neraca analitik dan pH-meter sebaiknya dikalibrasi terlebih dahulu karena
dapat menyebabkan keragaman pada data yang dihasilkan. Faktor analis yaitu
keterampilan, sikap /perilaku dan faktor kelelahan juga menjadi faktor yang
penting. Keterampilan analis dalam melakukan analisis kuantitatif natrium
benzoat sangat diperlukan karena pada analisis ini lebih banyak digunakan
tangan dan mata analis, serta sikap/perilaku analis daripada alat. Faktor
kelelahan pada saat mengocok dengan labu pemisah menyebabkan tidak
konstannya pengocokan sehingga dapat menyebabkan beragamnya data yang
dihasilkan.
Metode
Reagen
ekstraksi
umur simpan
pengambilan sampel
kemurnian
/kontaminasi penguapan pelarut
pengeringan desikator
sifat-sifat kimia reagen
titrasi
kesalahan
pH-meter pelatihan/ analisis
keterampilan
neraca analitik
kelelahan
kalibrasi
sikap/perilaku
Alat Analis