Anda di halaman 1dari 18

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ANALISIS KUALITATIF NATRIUM BENZOAT

Tujuan analisis kualitatif natrium benzoat adalah untuk mengetahui


apakah di dalam suatu sampel terkandung natrium benzoat. Pada analisis ini,
sampel yang digunakan adalah sampel saus sambal dan minuman dalam
kemasan yang terdapat di pasaran. Kedua jenis sampel yang dipilih tersebut
adalah yang mengandung natrium benzoat, seperti yang tercantum pada label
kemasan. Masing-masing sampel dilakukan analisis dengan tiga kali ulangan.
Metode analisis yang dilakukan mengacu pada AOAC Official Method
910.02B (1999) yaitu dengan uji feriklorida. Persiapan sampel yang dilakukan
untuk saus sambal berbeda dengan sampel minuman dalam kemasan. Pada
sampel saus sambal, karena karakteristik substrat atau matriks sampel
diperlukan perlakuan pendahuluan yang lebih kompleks agar dapat
menghilangkan interferen yang mengganggu dan meningkatkan konsentrasi
solute. Untuk sampel minuman, perlakuan pendahuluan yang dilakukan tidak
terlalu rumit dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan pada makanan
(Gomis dan Alonso 1996). Pada saus sambal, dilakukan persiapan sampel
untuk sampel padatan atau semi padatan. Pertama-tama sampel diencerkan
terlebih dahulu, lalu dibasakan dengan penambahan NaOH 10 %, kemudian
didiamkan selama + 2 jam agar reaksi dengan NaOH berjalan dengan
sempurna. Setelah itu campuran disaring. Sementara untuk sampel minuman,
tidak perlu diencerkan terlebih dahulu. Sampel langsung ditambahkan NaOH
10 % hingga alkalis, kemudian disaring. Untuk sampel minuman ini, tidak
perlu diencerkan lagi karena total padatan terlarut (TPT) tidak melebihi 15 %.
Filtrat yang diperoleh diasamkan dengan penambahan HCl (1+3),
kemudian diekstrak dengan eter (dietil eter). Ekstraksi yang dilakukan pada
penelitian ini termasuk ekstraksi pelarut (liquid-liquid extraction). Ekstraksi
pelarut didefinisikan sebagai proses pemisahan suatu zat dari sebuah
campuran dengan melarutkan zat tersebut dalam sebuah pelarut dimana zat
tersebut dapat larut tetapi zat lain yang ada dalam campuran tidak dapat larut
(Holden 1999). Prinsip dari ekstraksi yaitu jika sebuah larutan kontak dengan
27

pelarut immiscible, solute akan terdistribusi di antara dua fase cair (liquid)
(Jacobs et al. 1974). Pada kesetimbangan, rasio konsentrasi solute dalam dua
fase kurang lebih konstan. Rasio ini dinamakan rasio distribusi atau koefisen
distribusi. Ketika komponen yang diinginkan berada dalam larutan air (fase
kedua), maka komponen itu bisa dipindahkan dengan menggunakan pelarut
yang tidak larut air (fase satu). Komponen yang diinginkan tersebut mudah
larut dan impurities tidak atau hanya sedikit larut. Ekstraksi sangat berguna
untuk memisahkan solute yang diinginkan dari impurities dan by product yang
larut air.
Pelarut yang baik untuk ekstraksi harus mempunyai kelarutan yang
rendah di fase kedua (biasanya air), titik didih rendah, dan memiliki
kemampuan untuk melarutkan analit tanpa melarutkan impurities (Jacobs et
al. 1974). Pelarut juga harus bersifat inert dan tidak mengalami reaksi dengan
reaktan atau produk. Dietil eter adalah pelarut yang umum digunakan untuk
ekstraksi karena sifatnya yang inert dan kelarutan air yang rendah dalam eter
(1 g/75 g eter). Kelemahan dari pelarut eter ini adalah sangat mudah terbakar
sehingga diperlukan penanganan yang hati-hati.
Setelah ekstraksi, akan terdapat dua lapisan yang terpisah. Lapisan
bawah adalah fase aqueous, sedangkan lapisan atas merupakan fase eter. Hal
ini disebabkan berat jenis eter (ρ=0.713 g/ml) lebih rendah daripada berat jenis
air (ρ=1 g/ml). Pemisahan kedua fase ini dapat dilihat pada Gambar 3. Ekstrak
eter kemudian diuapkan pada penangas air (hotplate) pada suhu yang rendah,
sehingga akan tersisa residu. Residu tersebut dilarutkan dalam air dan
ditambahkan dengan NH3 hingga basa. Larutan kemudian diuapkan untuk
menghilangkan kelebihan NH3. Residu yang terbentuk dilarutkan dengan air
panas dan disaring untuk menghilangkan kotoran-kotoran sehingga
pembentukan ferribenzoat akan jelas terlihat. Filtrat tersebut kemudian
ditambahkan dengan FeCl3. Jika sampel positif mengandung benzoat, maka
akan terbentuk endapan ferribenzoat yang berwarna kekuningan atau salmon.
Terjadinya endapan ferribenzoat dapat dilihat pada Gambar 4. Pada Gambar 4
terlihat bahwa sebelum ditambah dengan FeCl3, larutan masih terlihat jernih.
Namun setelah ditambah dengan FeCl3, terdapat endapan ferribenzoat yang
28

berwarna kekuningan atau warna salmon. Adanya endapan tersebut


menandakan bahwa sampel tersebut positif mengandung natrium benzoat.

fase eter

fase air

Gambar 3. Pemisahan Fase Eter dan Fase Air

A B

Gambar 4. Pembentukan Ferribenzoat, A = Larutan Sebelum Ditambah


Pereaksi FeCl3 0.5 %, B = Larutan Setelah Ditambah Pereaksi
FeCl3 0.5 %

Hasil analisis kualitatif natrium benzoat pada sampel saus sambal dan
minuman dalam kemasan dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis
29

menunjukkan bahwa kedua sampel tersebut positif mengandung natrium


benzoat pada ketiga ulangan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan komposisi
yang tertera pada label kemasan yang menyebutkan bahwa kedua sampel
tersebut mengandung natrium benzoat.

Tabel 5. Hasil Analisis Kualitatif Natrium Benzoat pada Saus Sambal dan
Minuman Dalam Kemasan
Ulangan Saus Sambal Minuman Dalam Kemasan
1 + +
2 + +
3 + +
Keterangan :
+ : positif mengandung benzoat, ditandai dengan terbentuknya endapan
berwarna salmon

B. PRINSIP ANALISIS KUANTITATIF NATRIUM BENZOAT

Analisis kuantitatif berkaitan dengan penetapan berapa banyak suatu


zat yang terkandung dalam suatu sampel (Day dan Underwood 2002). Zat
yang ditetapkan tersebut, yang seringkali dinyatakan sebagai konstituen atau
analit, menyusun sebagian kecil atau sebagian besar sampel yang dianalisis.
Jika zat yang dianalisa (analit) tersebut menyusun lebih dari 1 % dari sampel,
maka analit ini dianggap sebagai konstituen utama. Namun jika jumlahnya
berkisar antara 0.01 hingga 1 % dari sampel, maka zat itu dianggap sebagai
konstituen minor. Jika zat yang terkandung di dalamnya kurang dari 0.01 %
dianggap sebagai konstituen perunut (trace).
Prosedur analisis kuantitatif benzoat didahului dengan persiapan
sampel yang prosedurnya sedikit berbeda untuk tiap sampel. Tetapi, secara
umum sampel dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian dijenuhkan dengan
penambahan NaCl powder. Sampel dibuat menjadi basa dengan penambahan
NaOH 10 % agar benzoat yang terdapat dalam sampel berubah menjadi
bentuk garamnya sehingga semakin larut dalam fase air dan dapat
meningkatkan efisiensi ekstraksi benzoat. Penambahan NaOH juga bertujuan
untuk mengendapkan komponen pangan yang lain seperti protein dan lipida
sehingga komponen tersebut tidak masuk ke dalam filtrat. Selanjutnya sampel
30

diencerkan dengan larutan NaCl jenuh. Kemudian sampel didiamkan selama +


2 jam, sambil sesekali dikocok. Setelah didiamkan, sampel disaring untuk
menghilangkan bagian padatan, namun asam benzoat tertinggal dalam larutan
(filtrat) (Aurand et al. 1987).
Filtrat hasil penyaringan diasamkan dengan HCl (1+3), setelah itu
diekstraksi dengan menggunakan kloroform berkali-berkali dengan volume
kloroform berturut-turut adalah 70 ml, 50 ml, 40 ml, dan 30 ml. Ekstraksi
yang berulang-ulang dengan volume ekstraktan yang lebih kecil dimaksudkan
untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi sehingga jumlah analit yang terekstrak
akan semakin besar (Jacobs et al. 1974). Kloroform walaupun tidak sebaik
pelarut eter, dipilih karena beberapa alasan yaitu melarutkan hanya senyawa
traces dan substansi pengganggu lain, nonflammable (tidak mudah terbakar),
lebih berat daripada air (ρ = 1.48 g/ml) sehingga akan berada pada lapisan
bawah dan karena itu mudah dikeluarkan melalui corong labu pemisah
(Aurand et al. 1987).
Menurut prosedur AOAC tahun 1999, ekstrak kloroform yang
terkumpul kemudian didistilasi pada suhu rendah sampai volume ekstrak
seperempat dari volume semula. Namun pada penelitian ini, ekstrak kloroform
diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary vacuum evaporator
(rotavapor), pada suhu rendah + 40oC, sampai tertinggal sedikit cairan. Cairan
tersebut dipindahkan ke gelas piala. Labu rotavapor harus dibilas beberapa
kali dengan kloroform untuk menghindari hilangnya asam benzoat. Cairan
bilasan tersebut disatukan dengan cairan hasil rotavapor, kemudian diuapkan
pada suhu kamar sampai tertinggal beberapa tetes cairan. Residu tersebut
kemudian dikeringkan semalaman dalam desikator yang mengandung H2SO4
pekat. Residu asam benzoat kemudian dilarutkan dengan alkohol (etanol).
Menurut Jacobs et al. (1974), alkohol adalah pelarut yang larut air karena bisa
bertindak sebagai donor dan akseptor dalam pembentukan ikatan hidrogen.
Etanol adalah pelarut yang paling penting karena bisa melarutkan baik
senyawa polar ataupun non polar dan asam benzoat sangat larut dalam alkohol
(WHO 2000). Larutan tersebut kemudian ditambah air dan indikator
31

phenolphtalein (pp). Tahap selanjutnya adalah titrasi dengan menggunakan


NaOH 0.05 N.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode titrimetri
yaitu titrasi asam basa atau titrasi penetralan. Titrimetri adalah suatu jenis
volumetri. Dalam titrimetri, analat direaksikan dengan suatu bahan lain yang
diketahui atau dapat diketahui jumlah molnya dengan tepat (Harjadi 1990).
Analisis dengan metode titrimetrik didasarkan pada reaksi sebagai berikut
(Day dan Underwood 2002):
αA + t T produk

dimana α molekul analit, A, bereaksi dengan t molekul pereaksi, T.


Pereaksi T, yang disebut titran, ditambahkan secara kontinu, biasanya dari
sebuah buret, dalam wujud larutan yang konsentrasinya diketahui. Larutan ini
disebut larutan standar, dan konsentrasinya ditentukan dengan sebuah proses
yang dinamakan standardisasi.
Penambahan dari titran tetap dilakukan sampai jumlah T secara
kimiawi sama dengan yang telah ditambahkan kepada A. Selanjutnya akan
dikatakan titik ekivalen dari titrasi telah tercapai. Agar diketahui kapan harus
berhenti menambahkan titran, digunakan indikator, yang bereaksi terhadap
kehadiran titran yang berlebih dengan melakukan perubahan warna.
Perubahan warna ini bisa saja terjadi persis pada titik akhir ekivalen, tetapi
bisa juga tidak. Titik dalam titrasi dimana indikator berubah warnanya disebut
titik akhir. Diharapkan titik akhir ini sedekat mungkin dengan titik ekivalen.
Terdapat beberapa syarat reaksi untuk reaksi titrasi, yaitu reaksi harus
berlangsung sempurna, cepat sehingga titrasi dapat diselesaikan dalam
beberapa menit dan ada penunjuk akhir titrasi (indikator) (Harjadi 1990).
NaOH yang digunakan sebagai titran dalam analisis ini harus
distandarisasi terlebih dahulu. Dalam penyimpanannya, NaOH mengalami
perubahan antara lain karena ia bersifat higroskopis sehingga menarik uap air
dari udara, dan juga mudah bereaksi dengan CO2 dalam udara. Hal ini
menyebabkan konsentrasi NaOH berubah dan sukar untuk diketahui
konsentrasinya dengan pasti.
32

Telah dijelaskan di atas bahwa standardisasi adalah proses dimana


konsentrasi larutan ditentukan secara akurat. Umumnya larutan distandarisasi
dengan titrasi, di mana larutan tersebut bereaksi dengan sejumlah standar
primer yang telah ditimbang. Standar primer harus mempunyai karakteristik
sebagai berikut : (1) harus tersedia dalam bentuk murni, (2) harus stabil,
mudah dikeringkan dan tidak terlalu higroskopis sehingga tidak banyak
menyerap air selama penimbangan, (3) memiliki berat ekivalen yang tinggi
agar dapat meminimalkan galat pada saat penimbangan (Day dan Underwood
2002).
Untuk titrasi asam basa, biasanya disiapkan larutan asam dan basa dari
konsentrasi yang kira-kira diinginkan dan kemudian menstandardisasikan
salah satunya dengan sebuah standar primer. Larutan yang telah
distandardisasi dapat dipergunakan sebagai standar sekunder untuk
mendapatkan konsentrasi dari larutan lainnya. Standar primer yang
dipergunakan secara luas untuk larutan basa terdiri dari kalium hidrogen ftalat,
KHC8H4O4 (KHP), asam sulfamat, HSO3NH2, dan kalium hidrogen iodat,
KH(IO3)2. Natrium karbonat, Na2CO3, dan tris (hidroksimetil)aminometana,
(CH2OH2)3CNH2, dikenal sebagai TRIS atau THAM, secara umum adalah
standar primer untuk asam kuat. Dalam percobaan ini, digunakan standar
primer KHP untuk menstandardisasi NaOH.
Indikator yang digunakan pada saat titrasi adalah indikator pp.
Indikator ini memiliki rentang pH 8.0-9.6, dan perubahan warna yang terjadi
dengan meningkatnya pH yaitu dari tidak berwarna ke merah. Untuk titrasi
asam lemah, fenolftalein berubah warna di sekitar titik ekivalen dan
merupakan indikator yang sesuai.
Prinsip dari analisis kuantitatif natrium benzoat secara titrimetri dapat
dijelaskan sebagai berikut. Natrium benzoat dalam contoh bebas lemak diubah
menjadi asam benzoat oleh suatu asam sehingga dapat larut dalam pelarut
organik non polar dengan proses ekstraksi. Selanjutnya melalui proses
destilasi dan penguapan pelarut dapat diperoleh asam benzoat yang junlahnya
dapat diketahui dengan titrasi asam basa. Reaksi yang terjadi dapat dilihat
pada Gambar 5.
33

O ONa O OH

+ HCl + NaCl

O OH O ONa

+ NaOH + H2 O

Gambar 5. Prinsip Analisis Kuantitatif Natrium Benzoat dengan


Titrimetri (Rohman dan Sumantri 2007)

C. PENENTUAN PENGGUNAAN PEREAKSI

Untuk analisis kuantitatif, pertama-tama dilakukan analisis pada


larutan natrium benzoat standar dalam pelarut air dengan konsentrasi +1000
ppm dengan tiga perlakuan yang berbeda. Masing-masing perlakuan dilakukan
satu kali ulangan dan duplo. Masing-masing perlakuan digunakan bahan kimia
NaCl, kloroform, dan alkohol yang berbeda-beda (pro analysis dan teknis).
Pemilihan ketiga bahan kimia ini didasarkan pada pertimbangan harga dan
jumlah yang dibutuhkan untuk analisis di mana ketiga bahan tersebut memiliki
harga yang lebih tinggi dan jumlah yang digunakan untuk analisis lebih
banyak dibandingkan dengan bahan kimia yang lain. Untuk perlakuan 1,
digunakan NaCl, kloroform, dan alkohol yang semuanya p.a. Untuk perlakuan
2, digunakan NaCl p.a., kloroform teknis, dan alkohol teknis. Sementara
perlakuan 3 digunakan NaCl teknis, kloroform teknis, dan alkohol teknis.
Data lengkap yang diperoleh pada tahapan ini dapat dilihat pada
Lampiran 7. Rata-rata konsentrasi benzoat pada perlakuan 1 sebesar 970.61
ppm, pada perlakuan 2 sebesar 944.51 ppm, dan pada perlakuan 3 sebesar
954.55 ppm. Perlakuan 1 memiliki standar deviasi sebesar 26.08 ppm,
perlakuan 2 sebesar 15.18 ppm, dan perlakuan 3 sebesar 7.63 ppm. Nilai rata-
rata dan standar deviasi pada ketiga perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.
34

1100
a

[ ] Benzoat Rata-rata (ppm)


970.61+26.08 a a
1000 944.51+15.18 954.55+7.63

900

800

700

600

500
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
ada perbedaan nyata pada uji ANOVA (p>0.01)

Gambar 6. Konsentrasi Rata-rata Natrium Benzoat pada Berbagai Perlakuan

Nilai RSD masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.


Nilai RSD pada perlakuan 1 sebesar 2.69 %, perlakuan 2 sebesar 1.61 %, dan
perlakuan 3 sebesar 0.80 %. Nilai RSD digunakan untuk menentukan tingkat
ketelitian metode. Menurut Nielsen (2003), nilai RSD dibawah 5 % dapat
diterima. Sedangkan menurut Huber (2001), nilai RSD tergantung pada
konsentrasi analit. Untuk konsentrasi analit 0.10 % (1000 ppm), batas RSD
yang dapat diterima adalah 2.70 % dan untuk konsentrasi analit 100 ppm batas
RSD adalah 5.30 %. Batas RSD yang dapat diterima dalam penelitian
mengacu pada RSD Horwitz dengan batas RSD sebesar 2/3 dari RSD
Horwitz. Dari perhitungan menggunakan rumus Horwitz, didapat batas RSD
yang dapat diterima pada masing-masing perlakuan adalah 3.80 %. Nilai RSD
ketiga perlakuan tersebut lebih kecil daripada nilai RSD Horwitz, oleh karena
itu RSD ketiga perlakuan tersebut masih dapat diterima.
35

4 3.80 3.80 3.80

3.5
3 2.69
2.5 RSD

RSD (%)
2 1.61 RSD Horwitz
1.5
1 0.80

0.5
0
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

Gambar 7. Nilai RSD pada Berbagai Perlakuan

Persen recovery dari ketiga perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8.


Perlakuan 1 memiliki persen recovery tertinggi yaitu sebesar 98.32 %, diikuti
oleh perlakuan 3 sebesar 96.15 %, dan perlakuan 2 sebesar 95.14 %. Persen
recovery ini digunakan untuk menentukan ketepatan atau akurasi.
Akurasi dapat ditentukan melalui berbagai cara (Huber 2001). Yang
pertama adalah dengan membandingkan hasil metode dengan hasil dari
metode acuan. Kedua, akurasi juga dapat ditentukan dengan menganalisis
sampel yang telah diketahui konsentrasinya (misalnya Certified Reference
Material / CRM) dan membandingkan hasil pengukuran dengan nilai CRM.
Jika CRM tidak tersedia, suatu matriks dapat ditambahkan (spike) dengan
konsentrasi yang telah diketahui. Hasil pengukuran dibandingkan dengan
konsentrasi yang ditambahkan dan didapat nilai persen recovery (persen
perolehan kembali/persen PK). Persen PK adalah angka yang menunjukkan
besarnya penambahan standar yang mampu diidentifikasi kembali dengan
suatu metode. Nilai PK bergantung pada matriks sampel. Batas penerimaan
PK menurut Huber (2001) untuk konsentrasi analit 0.1% (1000 ppm) adalah
95-105%, konsentrasi analit 100 ppm adalah 90-107%. Dari hasil yang
diperoleh, nilai persen recovery untuk ketiga perlakuan cukup baik dan dapat
diterima.
36

98.32 95.14 96.15


100
90
80

Persen Recovery (%)


70
60
50
40
30
20
10
0
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

Gambar 8. Persen Recovery pada Berbagai Perlakuan

Hasil analisis pada ketiga perlakuan dilakukan uji t dan F (Lampiran 9,


10, dan 11) untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara
perlakuan-perlakuan tersebut. Uji signifikansi meliputi uji t-student dan uji F.
Nilai-nilai t dan F hitung serta t dan F tabel dapat dilihat pada Tabel 6. Pada
perlakuan 1 dan 2 , didapat t hitung sebesar 1.223 dan t tabel pada taraf (α)
0.01 sebesar 9.925 dan -9.925. Karena t hitung berada di antara t tabel, maka
tidak ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara perlakuan 1 dan perlakuan
2. Berdasarkan uji F, didapat nilai F hitung sebesar 2.952 dan nilai F tabel
pada α = 0.01 adalah 4052.185. F hitung lebih kecil dari F tabel, maka standar
deviasi perlakuan 1 dan perlakuan 2 tidak berbeda secara signifikan artinya
ketelitian perlakuan 1 tidak berbeda nyata dengan ketelitian perlakuan 2.

Tabel 6. Uji t dan F pada Berbagai Perlakuan (α = 0.01)


Perlakuan t hitung t tabel F hitung F tabel
1 dan 2 1.223 2.952
2 dan 3 -0.836 9.925 dan -9.925 3.958 4052.185
1 dan 3 0.836 11.683

Perbandingan rataan perlakuan 2 dan perlakuan 3 menghasilkan nilai t


hitung sebesar -0.836. Karena nilai t hitung ini berada di antara nilai t tabel
37

yaitu 9.925 dan -9.925, maka hipotesis nol diterima. Ini berarti bahwa rataan
perlakuan 2 dan rataan perlakuan 3 tidak berbeda nyata. Uji F yang dilakukan
menghasilkan nilai F hitung sebesar 3.958. Karena nilai F hitung ini lebih
kecil dari F tabel maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara standar
deviasi perlakuan 2 dan standar deviasi perlakuan 3.
Uji t dan F juga dilakukan untuk membandingkan perlakuan 1 dan
perlakuan 3. Nilai t hitung yang diperoleh sebesar 0.836 dan nilai ini berada di
antara nilai t tabel, maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa rataan
perlakuan 1 dan 3 tidak berbeda nyata. Nilai F hitung sebesar 11.683 dan nilai
ini lebih kecil dari nilai F tabel, karena itu standar deviasi perlakuan 1 dan
perlakuan 3 tidak berbeda nyata (hipotesis nol diterima).
Di samping uji t, dilakukan juga uji ANOVA untuk memastikan hasil
dari uji t (Lampiran 12). Nilai probabilitas yang didapat sebesar 0.445. Karena
nilai probabilitas > 0.01 maka H0 diterima. Ini berarti bahwa tidak terdapat
perbedaan rata-rata di antara ketiga perlakuan tersebut.
Pertimbangan yang lain selain analisis statistik dalam pemilihan
perlakuan adalah biaya yang dibutuhkan untuk analisis. Rincian biaya untuk
masing-masing perlakuan (satu kali ulangan dan duplo) dapat dilihat pada
Lampiran 13. Biaya yang dibutuhkan untuk perlakuan 1 sebesar Rp 153,016,
perlakuan 2 sebesar Rp 141,752, dan perlakuan 3 sebesar Rp 72,032. Karena
perlakuan 3 membutuhkan biaya yang lebih rendah dan hasilnya tidak berbeda
nyata dengan perlakuan 1 dan 2, maka perlakuan 3 dipilih untuk digunakan
pada analisis sampel saus sambal.

D. ANALISIS SAUS SAMBAL

Terdapat dua perlakuan yang dilakukan pada analisis saus sambal ini.
Parameter perlakuan terletak pada ekstraksi sampel. Perlakuan pertama,
ekstraksi menggunakan labu pemisah (separator) seperti pada prosedur
AOAC, sedangkan perlakuan kedua ekstraksi menggunakan plateform shaker
(modifikasi AOAC). Pemilihan parameter ini disebabkan ekstraksi
menggunakan labu pemisah sangat tergantung pada analis dan faktor
kelelahan mengocok merupakan faktor utama yang menjadi penyebab
38

keragaman data yang dihasilkan dari metode ini. Dengan cara ekstraksi
menggunakan plateform shaker (kecepatan 40 rpm dan waktu setiap ekstraksi
30 menit), diharapkan data yang dihasilkan akan menjadi lebih teliti.
Pada tahapan ini, proses titrasi tidak dilakukan seperti pada tahap
penentuan penggunaan pereaksi yang menggunakan cara titrasi seperti
biasanya (colorimetric titration). Cara titrasi yang dilakukan adalah dengan
menggunakan titrasi potensiometrik. Pada jenis titrasi ini, digunakan pH-meter
untuk melihat titik akhir titrasi. Hal ini disebabkan karena ekstrak yang
dihasilkan berwarna oranye, sehingga sangat sulit untuk menentukan titik
akhir titrasi jika digunakan colorimetric titration. Oleh karena itu ketika
larutan berwarna akan dititrasi menggunakan indikator pp, metode yang
sebaiknya digunakan adalah titrasi potensiometrik. Sampel dititrasi sampai pH
8.2 jika digunakan indikator pp (Nielsen 2003).
Saus sambal yang digunakan untuk analisis harus berasal dari batch
yang sama untuk menghindari terjadinya bias, karena itu dipilih saus sambal
yang memiliki kode produksi yang sama. Analisis dilakukan sebanyak 7 kali.
Data analisis kuantitatif saus sambal dengan metode labu pemisah dan shaker
dapat dilihat pada Lampiran 14 dan 15.

A B

Gambar 9. Potentiometric Titration (A) dan Colorimetric Titration (B)


(Nielsen, 2003)
39

Rata-rata konsentrasi benzoat, standar deviasi dan RSD dari analisis


kuantitatif saus sambal dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11. Dari analisis
dengan perlakuan ekstraksi menggunakan labu pemisah, didapat rata-rata
konsentrasi natrium benzoat pada saus sambal sebesar 796.34 ppm, dengan
nilai standar deviasi sebesar 24.84 ppm dan nilai RSD sebesar 3.12 %.
Analisis dengan perlakuan ekstraksi menggunakan shaker, didapat rata-rata
konsentrasi natrium benzoat sebesar 817.46 ppm dengan nilai standar deviasi
sebesar 23.85 ppm dan nilai RSD 2.92 %. Berdasarkan data tersebut, terlihat
bahwa dengan penggunaan shaker, nilai konsentrasi natrium benzoat yang
didapat lebih tinggi dan nilai RSD lebih kecil, yang menandakan ketelitiannya
lebih tinggi. Nilai RSD Horwitz pada metode ekstraksi labu pemisah sebesar
3.90 % dan pada metode ekstraksi shaker sebesar 3.89 %. Nilai RSD Horwitz
lebih besar daripada nilai RSD yang didapat dari penelitian. Oleh karena itu,
nilai RSD metode ekstraksi labu pemisah dan shaker dapat diterima.
Saus sambal juga dianalisis di laboratorium jasa analisis yang telah
terakreditasi. Metode yang digunakan di laboratorium tersebut adalah metode
HPLC. HPLC yang digunakan adalah reversed phase dengan fase gerak
berupa buffer fosfat dalam metanol, fase diam berupa kolom C-18. Metode
HPLC dan hasil analisis dari laboratorium terakreditasi dapat dilihat pada
Lampiran 16 dan 17. Konsentrasi natrium benzoat dari hasil analisis di
laboratorium terakreditasi sebesar 849.18 ppm dan 828.82 ppm dengan nilai
rata-rata sebesar 839.00 ppm, standar deviasi sebesar 14.40 ppm, dan RSD
sebesar 1.72 %. Nilai standar deviasi dan RSD metode laboratorium
terakreditasi lebih kecil daripada metode ekstraksi labu pemisah dan metode
ekstraksi shaker. Hal ini menunjukkan bahwa metode HPLC lebih teliti.
40

1000

Konsentrasi Benzoat (ppm)


900 a
817.46+23.85
a 839.00+14.40
796.34+24.84a
800

700

600

500

400
labu pemisah shaker lab
terakreditasi

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
ada perbedaan nyata pada uji ANOVA (p>0.01)

Gambar 10. Konsentrasi Rata-rata Natrium Benzoat pada Saus Sambal dengan
Metode Labu Pemisah, Shaker, dan Laboratorium Terakreditasi

4.5
3.90 3.89 3.87
4
3.5 3.12
2.92
3
RSD (%)

2.5 RSD
2 1.72 RSD Horwitz
1.5
1
0.5
0
labu pemisah shaker lab
terakreditasi

Gambar 11. % RSD Hasil Analisis Natrium Benzoat pada Saus Sambal
dengan Metode Labu Pemisah, Shaker, dan Laboratorium
Terakreditasi
41

Hasil analisis dari perlakuan ekstraksi dengan labu pemisah, ekstraksi


dengan shaker, dan hasil dari laboratorium terakreditasi dibandingkan dengan
uji t dan F (Lampiran 18, 19, dan 20). Nilai-nilai t dan F hitung serta t dan F
tabel dapat dilihat pada Tabel 7. Perbandingan metode labu pemisah dan
shaker, didapat nilai t hitung sebesar -1.623 dan nilai t tabel sebesar 3.055 dan
-3.055. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata yang
signifikan antara metode labu pemisah dan metode shaker. Untuk uji F,
didapat nilai F hitung sebesar 1.085. Karena nilai F hitung lebih kecil daripada
nilai F tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara standar deviasi
metode labu pemisah dengan standar deviasi metode shaker.

Tabel 7. Uji t dan F untuk Metode Labu Pemisah, Shaker, dan Lab
Terakreditasi (α = 0.01)
Metode t hitung t tabel F hitung F tabel
labu pemisah dan -1.623 3.055 dan 1.085 8.466
shaker -3.055
labu pemisah dan lab -2.252 3.499 dan 2.976 5858.950
terakreditasi -3.499
shaker dan lab -1.181 3.499 dan 2.743 5858.950
terakreditasi -3.499

Uji t untuk perbandingan metode labu pemisah dan metode


laboratorium terakreditasi, didapat nilai t hitung sebesar -2.252. Karena nilai t
hitung berada diantara nilai t tabel, maka rata-rata metode labu pemisah dan
rata-rata dari laboratorium terakreditasi tidak berbeda nyata. Untuk uji F juga
didapatkan hasil bahwa H0 diterima karena nilai F hitung lebih kecil dari nilai
F tabel.
Perbandingan antara metode shaker dan metode dari laboratorium
terakreditasi, didapat nilai t hitung sebesar -1.181. Nilai t hitung berada di
antara nilai t tabel, maka rata-rata metode shaker dan rata-rata metode
laboratorium terakreditasi tidak berbeda secara signifikan. Nilai F hitung
sebesar 2.743 dan nilai ini lebih kecil daripada nilai F tabel, maka standar
deviasi metode shaker tidak berbeda nyata dengan standar deviasi metode
laboratorium terakreditasi.
42

Hasil dari uji ANOVA (Lampiran 21) menunjukkan nilai probabilitas


sebesar 0.086. Karena nilai probabilitas > 0.01 maka H0 diterima. Ini berarti
bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata di antara metode ekstraksi labu
pemisah, metode ekstraksi shaker, dan metode laboratorium terakreditasi pada
taraf 0.01.

E. FAKTOR-FAKTOR KESALAHAN PADA ANALISIS KUANTITATIF

Faktor-faktor kesalahan yang dapat terjadi selama analisis kuantitatif


metode titrimetri digambarkan melalui diagram Ishikawa (Gambar 12).
Faktor-faktor kesalahan digolongkan ke dalam empat faktor utama yaitu
reagen, metode, alat, dan analis. Masing-masing faktor tersebut terbagi lagi
menjadi beberapa faktor. Pada faktor reagen, yang menjadi penyebab adanya
kesalahan pada analisis kuantitatif natrium benzoat antara lain terjadi
kontaminasi pada reagen atau pereaksi yang digunakan, umur simpan reagen,
dan sifat-sifat kimia reagen.
Faktor metode terbagi menjadi beberapa faktor yaitu ekstraksi,
penguapan pelarut, pengambilan sampel, pengeringan dalam desikator, dan
titrasi. Ekstraksi dapat menyebabkan keragaman data karena pada saat
ekstraksi khususnya ekstraksi dengan labu pemisah, campuran sampel dan
pelarut ekstraksi dapat saja tercecer atau tumpah. Pada penguapan pelarut
menggunakan rotavapor, ekstrak dapat terkontaminasi dengan senyawa lain
dan jika tidak hati-hati ekstrak dapat tumpah. Di samping itu, faktor-faktor
dari lingkungan juga dapat muncul pada tahap ini seperti air untuk kondensor
tidak mengalir. Pengambilan sampel yang kurang homogen juga dapat
menjadi penyebab keragaman data analisis. Penjerap dalam desikator untuk
mengeringkan residu benzoat harus selalu diperiksa karena jika terlalu lama
tidak diganti dengan yang baru dikhawatirkan fungsinya sebagai pengering
tidak berfungsi dengan baik. Apalagi untuk sampel saus sambal, diusahakan
sampel benar-benar kering sehingga asam asetat diharapkan benar-benar
hilang. Pada saat titrasi, hal yang sangat penting adalah penentuan titik akhir
titrasi dan proses standarisasi.
43

Faktor alat terbagi menjadi dua yaitu pH-meter dan neraca analitik.
Neraca analitik dan pH-meter sebaiknya dikalibrasi terlebih dahulu karena
dapat menyebabkan keragaman pada data yang dihasilkan. Faktor analis yaitu
keterampilan, sikap /perilaku dan faktor kelelahan juga menjadi faktor yang
penting. Keterampilan analis dalam melakukan analisis kuantitatif natrium
benzoat sangat diperlukan karena pada analisis ini lebih banyak digunakan
tangan dan mata analis, serta sikap/perilaku analis daripada alat. Faktor
kelelahan pada saat mengocok dengan labu pemisah menyebabkan tidak
konstannya pengocokan sehingga dapat menyebabkan beragamnya data yang
dihasilkan.

Metode
Reagen
ekstraksi
umur simpan
pengambilan sampel
kemurnian
/kontaminasi penguapan pelarut
pengeringan desikator
sifat-sifat kimia reagen
titrasi
kesalahan
pH-meter pelatihan/ analisis
keterampilan
neraca analitik
kelelahan
kalibrasi
sikap/perilaku

Alat Analis

Gambar 12. Diagram Ishikawa Faktor-faktor Kesalahan Analisis


Kuantitatif Natrium Benzoat Metode Titrimetri

Anda mungkin juga menyukai