Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

SINUSITIS KRONIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik


Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin
Banda Aceh

Oleh:

MUSTAQIN 1607101030051
M.FACHRIAL IMAM 1607101030081
DIAN MUTIA 1607101030119
DAYU PILA FITA 1607101030145

Pembimbing:

dr. Fadhlia, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT -KL, FICS


dr. Suriyanti, M.Ked. (ORL-HNS), Sp.THT -KL, FICS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT atas nikmat dan
karunia-Nya serta salawat beriring salam kepada nabi besar Muhammad SAW yang
telah memberi tauladan hidup sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
laporan kasus yang berjudul “Sinusitis Kronik” yang diajukan sebagai salah satu
tugas dalam menjalani kepaniteraan klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan THT – KL Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Ucaapan terima kasih penulis kepada dr. Fadhlia, M.Ked (ORL-HNS),


Sp.THT –KL FICS, dr. Suriyanti M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT –KL FICS yang
telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis untuk penulisan tugas ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan – rekan yang
telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai pada
waktunya. Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penuisan tugas
Laporan Kasus ini, namun penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan.
Segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk
penyempurnaan tulisan ini. Akhir kata penulis berharap semoga tugas ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan semua pihak khususnya di bidang kedokteran serta
dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.

Banda Aceh, Juni 2018

Penulis

ii
ABSTRAK

Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Peradangan tersebut akan memberikan gejala
berupa hidung tersumbat, nyeri kepala hebat dan vertigo, nyeri pada sinus, edema
orbita, sekret nasal yang purulen, dan pasien mengalami demam. Gejala yang
disebut diatas adalah gejala akut, pada gejala kronik akan didapati pasien
mengalami batuk, sekret purulen kronis, nyeri kepala kronis pada daerah
periorbital, kemampuan penciuman hilang dan nyeri wajah terutama pada saat
bangun tidur pagi hari. Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium
sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
penunjang berupa CT scan sinus merupakan gold standar diagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Penatalaksanaan secara medikamentosa
berupa antibiotik spektrum luas dan dekongestan, Sedangkan jika ada obstruksi
kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki usia 16 tahun dengan
diagnosa Sinusitis kronik dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
sesuai dengan keluhan subjektif dan objektif yang ditemukan. Terapi yang
diberikan berupa antibiotik yang sesuai dengan terapi empirik dan kuman
penyebab. Pemberian dekongestan oral, topikal dan analgetik sesuai dengan
keluhan nyeri pada pasien, mukolitik, steroid topikal/oral serta pencucian rongga
hidung dengan NaCl. Kita juga harus memberikan edukasi kepada pasien bahwa
sinusitis ini dapat berulang apabila terpapar dengan faktor pencetus seperti debu,
mengkonsumsi makanan dan minuman dingin.

Kata Kunci : Sinusitis, Komplek osteo meatal, septum deviasi,

iii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................6


2. 1 Definisi ..................................................................................................6
2. 2 Etiologi .................................................................................................6
2. 3 Patofisiologi ..........................................................................................7
2. 4 Klasifikasi..............................................................................................8
2. 5 Gejala Klinis ..........................................................................................8
2. 6 Diagnosis .............................................................................................10
2. 7 Penatalaksanaan ..................................................................................11
2. 8 Edukasi ................................................................................................12
2. 9 Komplikasi ..........................................................................................13
2. 10 Prognosis .............................................................................................13

BAB III LAPORAN KASUS ..............................................................................14


3.1 Identitas Penderita ...............................................................................14
3.2 Anamnesis ...........................................................................................14
3.3 Pemeriksaan Fisik ...............................................................................15
3.3.1 Status Present dan Generalisata .................................................15
3.3.2 Status Lokalisata .......................................................................16
3.4 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................16
3.5 Diagnosis .............................................................................................16
3.6 Diagnosis Banding ...............................................................................16
3.7 Penatalaksanaan ..................................................................................16
3.7.1 Terapi Suportif ...........................................................................16
3.7.2 Terapi Awal ................................................................................16
3.8 Prognosis .............................................................................................17
3.9 Edukasi ...............................................................................................17

BAB IV ANALISA KASUS .................................................................................18

BAB V KESIMPULAN ......................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................21

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dampak pembangunan di segala bidang, tidak hanya dapat memberikan kesejahteraan


kepada masyarakat saja akan tetapi dapat juga merugikan masyarakat. Hal yang sangat
merugikan ini adalah pencemaran lingkungan seperti asap dari kendaraan bermotor, timbal
yang tidak diolah dengan baikdari pabrik-pabrik ataupun perusahaan, asap rokok dan lain
sebagainya. Sehingga akan menimbulkan gangguan kesehatan.1
Gangguan kesehatan akibat pencemaran lingkungan diantaranya akan terjadi gangguann
pada organ dan fungsi pernafasan, salah satunya hidung. Dimana hidung merupakan salah satu
panca indera yang mempunyai fungsi untuk penciuman dan jalur bagi udara untuk masuk dan
keluar dari paru-paru. Dimana udara yang kotor atau polusi udara di lingkungan kita dapat
memicu ataupun merangsang terjadinya peradangan hidung dan akan terjadi penyumbatan
pada saluran pernafasan yang sering disebut dengan sinusitis.2
Pada tahun 2015, lebih dari 35 juta orang dewasa Amerika menderita sinusitis dan lebih
dari 460.000 pembedahan sinus dilakukan setiap tahun, sehingga pembedahan ini menjadi
salah satu tindakan bedah yang paling sering dilakukan.3
Data dari Riskesdas tahun 2013 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada
pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat
jalan di rumah sakit dan 30% dari jumlah tersebut mempunyai indikasi infeksi pada rahang
atas, yaitu infeksi odontogen yang biasanya disebabkan oleh karena karies gigi.4,5
Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang
dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS)
menggunakan istilah rinosinusitis menggantikan sinusitis. Sinusitis dapat didefinisikan sebagai
peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu
oleh infeksi virus, bakteri, atau jamur. Sumber infeksi terjadinya sinusitis dapat disebabkan
oleh karena infeksi hidung (rinogen), atau infeksi gigi (odontogen).1
Sinus paranasalis merupakan rongga-rongga disekitar hidung denganbentuk bervariasi dan
terdiri dari empat pasang sinus, yaitu sinus maksilaris,sinus frontalis, sinus etmoidalis, dan
sinus sfenoidalis. Adanya gangguan pada sinus paranasalis disebut sebagai sinusitis.3

1
Peradangan tersebut akan memberikan gejala berupa hidung tersumbat, nyeri kepala hebat
dan vertigo, nyeri pada sinus, edema orbita, sekret nasal yang purulen, dan pasien mengalami
demam. Yang disebut diatas adalah gejala akut, pada gejala kronik akan didapati pasien
mengalami batuk, sekret purulen kronis, nyeri kepala kronis pada daerah periorbital,
kemampuan penciuman hilang dan nyeri wajah terutama pada saat bangun tidur pagi hari.6
Faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional dapat mempengaruhi mukosa hidung,
demikian juga mukosa sinus dalam derajat yang lebih rendah. Secara umum, sinusitis kronik
lebih lazim pada iklim yang dingan dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan, tubuh yang tidak
bugar, dan penyakit sistemik umum perlu dipertimbangkan lagi dalam etiologi sinusitis.
Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembaban, dan
kekeringan, demikianpula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan faktor
predisposisi infeksi. Dalam daftar faktor predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan
terhadap infeksi sebelumnya, misalnya common cold.7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sinusitis
2.1.1. Definisi
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam kedokteran -itis
berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus paranasal. Sinusitis
adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri
maupun jamur.8
Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus
ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sphenoidalis
(terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat
berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid.Bila yang
terkena lebih dari satu sinus disebutmultisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut
pansinusitis.8

2.1.2. Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang)maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian
atas (misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaannormal
tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainasedari sinus tersumbat
akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yangsebelumnya tidak berbahaya
akan berkembang biak dan menyusup ke dalamsinus, sehingga terjadi infeksi sinus
akut.

3
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan jamur
yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system kekebalan. Pada
orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnyapada
penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan
danpenderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Penyebab sinusitis kronis:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.9

2.1.3. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens
dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung
substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.10

4
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami edema, sehingga mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga
menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal
yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial
yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam
sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret
akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi
antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari
mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.10

2.1.4. Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas:
a. Sinusitis akut (beberapa hari – 4 minggu)
b. Sinusitis subakut (4 minggu – 3 bulan)
c. Sinusitis Kronis (> 3 Bulan)
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2:
a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan
sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)11

2.1.5 Gejala Klinis


Keluhan utama sinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa tekanan pada
muka dan ingus purulen yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai
gejala sistemik seperti demam dan lesu.Keluhan nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus yang
terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta nyeri juga terasa ditempat lain.

• Sinusitis maksila : nyeri pada pipi


• Sinusitis etmoid : nyeri diantara atau dibelakang kedua bola mata
• Sinusitis frontal : nyeri didahi atau seluruh kepala

5
• Sinusitis sfenoid : nyeri di verteks, oksipital, belakang bola mata, daerah mastoid
Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas, kadang-kadang
hanya satu atau 2 dari gejala berikut seperti sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustacheus,
gangguan ke paru seperti bronkhitisdan serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada
anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.9

Gejala subjektif
• Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal.
• Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
• Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu
• Nyeri / sakit kepala
• Gejala mata karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-lakrimalis
• Gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang terdapat komplikasi di paru
• Gejala saluran cerna,karena mukopus yang tertelan.
Gejala objektif
• Gejala objektif→berupa pembengkakan di daerah muka.
o Sinusitis maksilaris→di pipi dan kelopak mata bawah
o Sinusitis frontal→di dahi dan kelopak mata atas
o Sinusitis etmoid→jarang bengkak,kecuali bila ada komplikasi
• Pada rinoskopi anterior tampak konka hiperemis dan edema
o Sinusitis maksila,frontal dan etmoid anterior tampak mukopus di meatus medius
o Sinusitis etmoid poterior dan sfenoid tampak nanah keluar dari meatus superior
 Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).12

2.1.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah
adanya pus dimeatus medius atau didaerah meatus superior.
Kriteria Rinosinusitis akut menurut American Academy of Otolaringology & American
Rhinologic Society adalah sebagai berikut:

6
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan didaerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi
waters, PA atau lateral , umumnya hanya mampu menilai kondisi-kondisi sinus-sinus besar.
Kelainan akan terlihat berupa perselubungan, batas udara cairan atau penebalan mukosa. CT
scan sinus merupakan gold standar diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung
dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Namun, karena mahal hanya dikerjakan sbagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak
membaik dengan pengobatan atau praoperasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi
sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil secret dari meatus
medius/superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil dari
pungsi sinus maksila.11

2.1.7. Penatalaksanaan
Sinusitis akut umumnya di terapi dengan:
1. Antibiotik spektrum luas, seperti: amoxicillin, ampicillin, atau eritromisin. Alternatif
lain berupa amoxicillin/klavulanat, sefaklor, sefuroksim, dan trimetoprim plus
sulfonamid.
2. Dekongestan, seperti: pseudoefedrin, tetes hidung fenilefrin (neosynephrine) atau
oksimetazolin dapat diberikan selama beberapahari pertama infeksi namun kemudian
harus dihentikan.
3. Analgetik untuk meringankan gejala, seperti aspirin dan asetaminofen.
4. Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala.

7
Dengan terapi tersebut, pasien biasanya memperlihatkan tanda-tanda perbaikan dalam
dua hari dan proses penyakit biasanya menyembuh dalam 10 hari meskipun konfirmasi
radiologis dalam hal kesembuhan total memerlukan waktu 2 minggu atau lebih. Kegagalan
penyembuhan dengan suatu terapi aktif menunjukan organisme tidak lagi peka terhadap
antibiotik atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokulasi infeksi. Pada kasus demikian, ostium
sinus dapat odem sehingga drainase sinus terhambat dan terbentuk abses sejati. Bila demikian,
terdapat indikasi irigasi antrum segera.11
1. Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik
(2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol
dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk
memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien
atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka
pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan
maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin
klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi
tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-
endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret
tertahan oleh sumbatan.

2. Sinusitis Subakut
a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,
yaitu diatermi atau pencucian sinus.
b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan
resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa
dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.

8
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki
vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal
atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus
cara Proetz.10

3. Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-
14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik
alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi
10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-
endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks
osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika
tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.2
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
− Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
− Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
− Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
− Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.11

9
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1.Identitas Pasien
Nama : Anak AF
Umur : 16 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Montasik
Suku : Aceh
No. CM :1-17-55-17
Tanggal masuk :29-06-2018
Tanggal pemeriksaan :29-06-2018

3.2.Anamnesis
3.2.1.Keluhan utama
Nyeri kepala

3.2.2.Keluhan tambahan
Hidung tersumbat disertai batuk

3.2.3.Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke RSUDZA dengan keluhan nyeri kepala yang dirasakan sejak ± 1
bulan terakhir. Nyeri kepala dirasakan semakin hari semakin nyeri, dan memberat dalam 1
minggu terakhir. Nyeri dirasakan diseluruh kepala memberat apabila pasien sujud dalam shalat,
dan keluhan ringan jika pasien menggunakan bantal kepala. Pasien mengeluh adanya nyeri
tekan pada dahi dan seluruh kepala, dan nyeri tekan pada kedua pipi serta nyeri di antara ke
dua bola mata. Nyeri kepala berputar tidak ada, mual muntah tidak ada. Pasien juga mengeluh
hidung tersumbat yang dirasakan ± 2 bulan yang lalu, tersumbat pada kedua hidung dan
dirasakan terus menerus, namun masih dapat bernapas melewati hidung. Keluhan hidung
tersumbat diperberat apabila pasien mengkonsumsi makanan dan minuman yang dingin dan
apabila pasien terkena debu. Pada hidung juga terdapat adanya septum yang bengkok ke
sebelah kanan. Pasien juga mengeluh pilek yang dirasakan ± 1 bulan yang lalu, dengan cairan

10
yang keluar dari hidung bewarna kuning kental dan tidak berbau dan juga disertai darah. Rasa
penuh pada telinga tidak ada, gema suara sendiri lebih keras tidak ada.

3.2.4.Riwayat penyakit dahulu


Riwayat asma disangkal.

3.2.5.Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada

3.2.6.Riwayat penggunaan obat


Pasien mengonsumsi obat ambroxol yang didapat dari RSUD Meuraxa Banda Aceh

3.2.7.Riwayat kebiasaan sosial


Pasien mengaku alergi terhadap debu, pasien seorang murid di pesantren.

3.3.Pemeriksaan Fisik
3.3.1.Status Generalisata
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 110/80mmHg
Laju nadi : 80 kali/menit
Laju pernapasan : 20 kali/menit
Suhu tubuh : 36,4 °C
Thorax :
I: simetris, retraksi(-)
P: Stem Fremitus kanan= Stem Fremitus kanan
P: sonor/sonor
A: Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-), Wheezing(-/-)
Cor: BJ I > BJ I, reguler, bising jantung (-)
Abdomen :
I: Simetris, distensi(-)
P: soepel, nyeri tekan (-)
P: timpani (+)
A: peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas :
11
Superior : Edema (-/-), pucat (-/-), sianosis, akral hangat
Inferior : Edema (-/-), pucat (-/-), sianosis, akral hangat

3.3.2. Status Lokalis


1. Telinga
Dekstra Sinistra
Preauricular Tragus sign (-) Tragus sign (-)
CAE Lapang Lapang
Serumen Ada Ada
Sekret Tidak ada Tidak ada
Membran timpani Intak, putih Intak, putih
Refleks cahaya arah jam 5 Arah jam 7
Retroauricular Tidak ada Tidak ada

2. Hidung (Rhinoskopi anterior)


Dekstra Sinistra
Mukosa Merah muda Hiperemis
Sekret Ada Ada
Massa (-) (-)
Konka Inferior Hipertrofi, hiperemis, licin Hipertrofi, hiperemis, licin
Pasase udara Tidak ada hambatan Tidak ada hambatan
Septum nasi Deviasi ke kanan (+)

3. Orofaring
Dekstra Sinistra
Tonsil T1 T1
Kripta Tidak melebar Tidak melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada
Perlengketan Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada

12
Faring Dextra Sinistra
Mukosa Hiperemis hiperemis
Granul Tidak ada Tidak ada
Bulging Tidak ada Tidak ada
Refleks muntah Normal Normal
Arkus faring Simetris Simetris
Uvula Simetris Simetris

4. Maksilofasial
Dekstra Sinistra
Letak Simetris Simetris
Parese N.kranialis VII Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Hematom Tidak ada Tidak ada

13
3.4. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan Sinus Paranasal potongan Coronal, Axial tanggal 22 Juni 2018

Kesimpulan : Sinusitis maxilaris dan ethmoidalis, septum deviasi

14
Endoskopi sinus maxila 29 Juni 2018

3.5. Diagnosis kerja


Sinusitis masxilaris kronis dextra et sinistra + sinusitis ethmoidalis dextra et sinistra+ septum
deviasi

3.6. Diagnosis Banding


1. Sinusitis masxilaris kronis dextra et sinistra + sinusitis ethmoidalis dextra et sinistra+
septum deviasi + Rhinitis Alergi

2. Polip Nasi

3.7. Penatalaksanaan
3.7.1. Terapi supportif
Cuci hidung
3.7.2. Terapi awal (medikamentosa)
1. Cefixime 100mg tablet 2x1
2. Ambroxol 30 mg tablet 3x1
3. Methylprednisolon 4mg tablet 2x1
4. Pseudoefedrin 1x1 tab

15
3.8. Prognosis
1. Quo ad vitam : Bonam
2. Quo ad fungsionam : Bonam
3. Quo ad sanationam : Bonam

3.9. Edukasi
Hindari faktor pencetus seperti debu, mengkonsumsi makanan dan minuman dingin yang
dapat menimbulkan nyeri.

16
BAB IV
ANALISA KASUS

Telah dilakukan pemeriksaan pasien laki-laki usia 16 tahun, Pasien datang ke RSUDZA
dengan keluhan nyeri kepala yang dirasakan sejak ± 1 bulan terakhir. Semakin memberat
dalam 1 minggu terakhir. Nyeri kepala berputar tidak ada, mual muntah tidak ada. Pasien juga
mengeluh hidung tersumbat yang dirasakan ± 2 bulan yang lalu, keluhan hidung tersumbat dan
pilek diperberat apabila pasien mengkonsumsi makanan dan minuman yang dingin. pasien juga
mengeluh pilek yang dirasakan ± 1 bulan yang lalu. Riwayat keluar darah dan berbau tidak
ada.
Menurut Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Pada gejala hidung
tersumbat disertai disertai nyeri dan rasa tekanan pada muka serta ingus purulent, yang sering
kali turun ketenggorok (post nasal drip). Hal ini sesuai dengan teori bahwa organ-organ yang
membentuk KOM (kompleks osteo meatal) letaknya berdekatan dan apabila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi berupa serous. Kondisi ini biasanya di anggap sebagai rhinosinusitis non
bakterial dan biasanya akan sembuh dalam beberapa hari. Bila kondisi ini menetap, secret yang
terkumpul dalam sinus akan menjadi mediator yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga
sekret akan berubah purulen.9
Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter mukus per hari,
yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus KOM akan mengakibatkan
akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan yang lembab dan suasana hipoksia yang
ideal bagi pertumbuhan kuman patogen. Pada pasien juga terdapat septum deviasi sehingga
menyebabkan obstruksi KOM. Ada tiga teori yang menjelaskan hubungan patofisiologis antara
septum deviasi dan sinusitis kronis. Teori mekanik yang menyatakan bahwa sekresi
terakumulasi dalam sinus sebagai akibat penyempitan kompleks ostiomeatal dan dengan
demikian infeksi terjadi di sekresi yang ditahan dan menyebabkan rinosinusitis kronis. Teori
kedua adalah teori aerodinamis. Menurut teori ini, aktivitas mukosiliar menurun mengikuti
peningkatan laju aliran nasal dan kekeringan mukosa dalam kaitannya dengan deviasi septum
hidung dan akibatnya, rinosinusitis kronis berkembang. Teori ketiga adalah teori tekanan
Bachert. Menurut teori ini, deviasi septum hidung posterior menyebabkan rsinusitis kronis
dengan menciptakan tekanan dan perubahan aliran udara dalam sinus maksilaris.13

17
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut serta kadang-kadang nyeri juga terasa ditempat lain (reffered pain). Nyeri yang
timbul bersesuaian dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan yang aktif bagian sinus
maksila atau frontalis nyerinya biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Sedangkan pada
sinus etmoid dan sfenoid yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala. Tidak
begitu jelas lokasi nyeri atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada hubungan
dengan lokasi sinus. Nyeri pipi menandakan sinusitis maxilla, nyeri diantara atau dibelakang
kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan
sinusitis frontal.13
Gejala lain adalah sakit kepala, jenis sakit kepalanya sering unilateral atau dimulai
sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala akan meningkat pada
posisi badan yang membungkuk ke depan dan jika terjadi perubahan posisi secara tiba-tiba.
Nyeri kepala akan menetap saat menutup mata dan saat istirahat. Sakit kepala akibat sinus juga
dikatakan sebagai nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat
yang menetap.
Jika terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan siklus ini seterusnya berputar
sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang kronik. Penyebab sinusitis maxilaris ialah
rhinitis akut, infeksi faring seperti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut, infeksi gigi rahang,
menyelam, barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa.13
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan mukosa cavum nasi dextra pucat dan
sinistra hiperemis, konka media sinistra sulit dinilai dan didapatkan edema, sekret dan
hipertrofi pada konka inferior sinistra. Sekret mukopurulen yang menumpuk dan keluar ke
meatus media dapat menutup aliran muara sinus maxilaris sehingga dapat menyebabkan
tersumbat aliran sinus maxilaris, hal ini dapat memicu terjadinya infeksi. Pada pasien ini hasil
pemeriksaan transluminasi di dapatkan gelap pada pipi kiri dan kanan yang menandakan
adanya sinusitis maxilaris pada kedua pipi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan septum nasi
bergeser ke kiri, menurut teori bentuk septum yang normal ialah lurus di tengah rongga hidung
tetapi pada orang dewasa tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan
tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat menyebabkan penyempitan
pada satu sisi hidung, dengan demian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi.
Menurut teori pemeriksaan transluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Selain dengan pemeriksaan fisik, diagnosis sinusitis maxilaris dapat juga ditegakkan
18
dengan pemeriksaan penunjang, salah satunya adalah pemeriksaan CT Scan Sinus tanpa
kontras yang mana pada pasien ini didapatkan densitas cairan pada sinus maxilaris dan
edmoidalis dan terdapat septum nasalis deviasi. Menurut teori CT Scan sinus merupakan gold
standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit
dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Pada pasien ini diberikan pemberian antibiotik cefixime 100 mg 2x1 tab. Cefixime
golongan cephalosporin generasi ketiga, golongan ini biasanya aktif untuk bakteri gram
negatif. Menurut teori, antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.
Jika diperkirakan kuman telah resisten terhadap beta-laktamase, maka dapat diberikan
amoksisilin klavulanat atau jenis cephalosporin generasi ke dua. Penetalaksanaan lini pertama
pada sinusitis maksilaris menggunakan dekongestan nasal topikal dan irrigasi saline dari cavum
nasi. Dekongestan topikal seperti pseudoefedrin dapat melebarkan ostium sinus paranasal yang
akan melancarkan drainase dengan aktivitas siliaris. Penggunaan dekongestan berlebihan dapat
menyebabkan nasal discomfort dan Rebound mucosal swelling sehingga penggunaannya
dianjurkan tidak lebih dari tujuh hari. Namun pada sinusitis kronik, penggunaan dekongestan
nasal lebih lama namun dibatasi pengunaanya satu kali dalam sehari.

19
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki usia 16 tahun dengan diagnosa Sinusitis
kronik berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang sesuai dengan keluhan
subjektif dan objektif yang ditemukan. Apabila kami menemukan kasus dengan diagnosa
tersebut, akan dilakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior dan terapi yang diberikan dapat
berupa antibiotik yang sesuai dengan terapi empirik dan kuman penyebab. Pemberian
dekongestan oral dan topikal, analgetik sesuai dengan keluhan nyeri pada pasien, mukolitik,
steroid topikal/oral serta pencucian rongga hidung dengan NaCl. Kita juga harus memberikan
edukasi kepada pasien bahwa sinusitis ini dapat berulang apabila terpapar dengan faktor
pencetus seperti debu, mengkonsumsi makanan dan minuman dingin.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Suratun; Paula., 2008. Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi. Jakarta: TIM. Hal.
76

2. Kedokteran, Kapita Selekta. 2011. Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok.
Jakarta: Media Aesculapius. 102-106

3. Lang, Johannes. 2014. Paranasal Sinuses. Dalam: Clinical Anatomy of the Nose, Nasal
Cavity and Paranasal Sinuses, pp: 117-118

4. Departemen Kesehatan RI. Pola Penyakit 50 peringkat utama menurut DTD Pasien
Rawat Jalan di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2003. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI; 2013.

5. Riskesdas. Laporan nasional 2013 badan penelitian dan pengembangan kesehatan


Departemen Kesehatan RI; 2013.

6. Wald, R. Ellen, 2015. Epidemiology, Patophysiology and Etiology of Sinusitis. United


States, vol. 4, no. 6

7. Soepardi EA., Islandar N., Bashiruddin J., Restuti RD.Buku ajar ilmu kesehatan THT-
KL.Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.

8. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3.

9. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam.
Jakarta: FKUI, 2007.

10. Mustafa M, Patawari P, Shimmi SC, Hussain SS, Sien MM. Acute and Chronic
Rhinosinusitis , Pathophysiology and Treatment. 2015;4(2):30–6.

11. Merry AJ. 2001. The Maxillary Antrum. In: Oral Maxillofacial Surgery. An Objective-
Based Textbook. Churchill Livingstone. Edinburg; 211-23.

12. Hilger, Peter, A., penyakit sinus paranasalis BOEIS Buku Ajar Penyakit THT (BOEIS
Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,
1997.

13. Murtaza Mustafa, Acute and Chronic Rhinosinusitis, Pathophysiology and Treatment.
University Malaysia Sabah. 2015

21
22

Anda mungkin juga menyukai