Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
oleh:
Pembimbing:
i
Bagian Ilmu Penyakit Dalam LAPORAN KASUS
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
HALAMAN JUDUL
Oleh
Mengetahui,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Diabetic Foot pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Anita Rahmadani Adnan, Sp.PD, sebagai dosen pembimbing klinik selama
stase Ilmu Penyakit Dalam.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2017 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki
laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
lipat untuk mengalami ulkus dibandingkan dengan pasien diabetes mellitus kurang
dari 5 tahun (Purwanti, 2013).
Luka yang timbul secara spontan atau oleh karena trauma dapat menyebabkan
luka terbuka yang mampu menghasilkan gas gangren dan berakibat terjadinya
osteomielitis. Gangren kaki adalah penyebab utama untuk tindakan amputasi kaki
non traumatik. Pasien diabetes mellitus sangat rentan mengalami amputasi
disebabkan kondisi penyakit yang kronik dan risiko komplikasi yang lebih besar
(Jain A. K., 2012). Masalah pada diabetic foot seperti ulserasi, infeksi, dan gangren
merupakan penyebab umum perawatan di rumah sakit bagi para pasien dengan
diabetes mellitus. Faktor utama yang mempengaruhi pembentukan diabetic foot
merupakan kombinasi dari neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi
vaskular, dan infeksi (Waspadji, Kaki Diabetes, 2015).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah wawasan
penulis dan pembaca dalam studi kasus mengenai “Diabetic Foot” serta
meningkatkan kemampuan dalam menganalisa kasus dan permasalaham yang
ditemukan pada kasus tersebut.
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 4 Juli 2017 pukul 09.30 WITA, anamnesis dilakukan
pada tanggal 8 Juli 2017 pukul 10.00 wita. Anamnesis yang dilakukan berupa
autoanamnesis.
ANAMNESIS UMUM
Identitas
Nama : Ny. T
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bontang
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
ANAMNESA KHUSUS
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie dengan keluhan nyeri
pada kaki kiri berupa nyeri tajam seperti tertusuk-tusuk yang dirasakan setiap saat.
Nyeri kaki kiri ini sudah dirasakan sekitar satu bulan yang lalu. Nyeri yang timbul
berasal dari luka pada kiri kanan pasien. Luka berada di jempol kaki yang meluas
ke bagian punggung kaki, telapak kaki, diikuti luka yang tiba-tiba muncul di bagian
dalam punggung kaki dan di sekitar mata kaki bagian dalam. Sejak satu bulan yang
lalu luka sudah mulai berdarah, bernanah, dan bengkak. Satu bulan yang lalu
muncul lecet gelembung pertama kali karena menggunakan sepatu terus, setelah
3
pasien melakukan perjalanan jauh. Luka tersebut dibiarkan saja oleh pasien, sampai
akhirnya pecah dan tidak sembuh-sembuh. Selanjutnya pasien ke puskesmas
terdekat untuk dibersihkan lukanya tetapi semakin hari luka semakin meluas dan
bernanah. Keluhan badan lemas juga dirasakan sejak 2 hari yang lalu, pasien
mengalami penurunan nafsu makan. Pasien mengalami deman naik turun dari 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Tidak ada keluhan pada buang air besar dan buang
kecil pasien. Sebelum mengalami keluhan ini, pasien mengetahui memiliki kencing
manis saat ke puskesmas ketika cek gula darah sekitar 6 bulan yang lalu. Pasien
hanya mengonsumsi obat anti diabetes dari apotek sesekali saja, tidak rutin.
Riwatat Kebiasaan
Pasien mengaku bahwa sejak kecil menyukai makanan dan minuman yang
manis, dalam satu hari dapat mengonsumsi minuman berasa sekitar 3 gelas dan
hanya sedikit minum air putih. Pasien mengonsumsi makanan besar 3 kali sehari
dengan jumlah nasi sekitar ¾ piring dan ¼ lauk.
4
T : 36.8 0C (axila)
Kepala/leher
Umum
Ekspresi : sakit ringan
Rambut : tidak ada kelainan
Kulit muka : tidak terlihat kuning dan tidak terlihat pucat
Mata
Palpebra : oedema (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sclera : ikterus (-/-)
Pupil : isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung
Septum deviasi (-)
Sekret (-)
Nafas cuping hidung (-)
Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal, sekret (-)
Proc. Mastoideus : nyeri (-/-)
Pendengaran : normal
Mulut
Nafas : bau aseton (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Gusi : perdarahan (-)
Mukosa : hiperemis (-), pigmentasi (-)
Lidah : makroglosia (-), mikroglosia (-) Atrofi papil lidah (-)
Faring : hiperemis (-)
Leher
Umum : simetris, tumor (-)
Kelenjar limfe : membesar (-)
Trakea : di tengah, deviasi (-)
5
Tiroid : membesar (-)
Thorax
Umum
Bentuk dan pergerakan dada simetris
Ruang interkostalis (ICS) tampak jelas
Retraksi (-)
Pulmo
Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara nafas ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi : Kanan : ICS III parasternal dextra
Kiri : ICS V mid axilla line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung, kulit normal , striae (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-) , defans muscular (-),
turgor kulit lambat
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), Asites (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
Superior
Ekstremitas hangat, CRT < 2 detik, Oedema (-), Eritematosa (-), Sianosis (-),
Clubbing finger (-), Palmar eritema (-), Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5 = 5)
6
Inferior
Ekstremitas hangat, CRT < 2 detik, tampak oedema pada pedis sinistra, terdapat
ulkus pada pedis digiti I sinistra meluas ke dorsum dan plantar pedis dan bagian
maleolus medialis sinistra. Eritematosa (-), Sianosis (-), Clubbing finger (-),
Palmar eritema (-), Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5 = 5)
Status Lokalis
Regio ekstremitas inferior sinistra
Inspeksi
Regio digiti I sisi medial sinistra tampak luka dengan ukuran ± 4 cm x 3 cm,
bentuk memanjang, ulkus (+), pus (-), oedema (+), hiperemi (+), kulit sekitar
tepi luka berwarna hitam tidak rata, tengahnya hiperemi (+).
Regio dorsalis pedis tampak luka dengan ukuran ± 5 cm x 4 cm, bentuk tidak
beraturan, ulkus (+), pus (+), oedema (+), hiperemi (-).
Regio plantar pedis tampak luka dengan ukuran ± 5 cm x 4 cm, bentuk tidak
beraturan, ulkus (+), pus (+), oedema (+), hiperemi (-).
Regio maleolus medialis sinistra tampak luka dengan ukuran ± 15 cm x 4 cm,
bentuk tidak beraturan, ulkus (+), pus (+), oedema (+), hiperemi (-).
Palpasi
Nyeri tekan (+), pulsasi arteri poplitea sinistra (+), arteri dorsalis pedis
sinistra sulit dievaluasi.
7
Gambar 2.1 Kaki pasien: ulkus pedis sinistra
8
2.3 Pemeriksaan Penunjang (6 juli 2017)
Darah Lengkap
Ht 36,5 37-54 %
Kimia Klinik
Elektrolit
Cl 98 98-108 mmol/L
9
EKG
Interpretasi:
Irama sinus normal, QRS rate 98x/menit, Aksis normal, Gelombang P normal,
Interval PR 0,12“, Durasi QRS 0,08“.
Kesan: sinus normal
2.4 Assesment
Diagnosa IGD: Ulkus pedis sinistra Wagner II + DM tipe II
Injeksi Novorapid 3 x 4 u
Injeksi Santagesik 3x 1 amp IV
Diet DM 2100 kkal
Ranitidine 2 x 1amp
Metoclopramide 3 x 1
Cek GDS jam 06.00
10
2.6 Follow up
Mata: anemis (-/-), ikterik Mata: anemis (-/-), ikterik Mata: anemis (-/-), ikterik
(-/-) (-/-) (-/-)
Leher : pemb KGB(-/-) Leher : pemb KGB(-/-) Leher : pemb KGB(-/-)
C: S1S2 tgl, m(-), g(-) C: S1S2 tgl, m(-), g(-) C: S1S2 tgl, m(-), g(-)
P: P: P:
Tx: Tx: Tx:
+ Injeksi novorapid 8-8-10 + Tramadol 2x50 mg k/p
Cek GDP, GD2PP, u + Injeksi novorapid 8-8-8
HbA1c, asam urat, + Injeksi levemir 0-0-10 u u
profil lipid Bed rest + Injeksi levemir 0-0-8 u
Cek GDS per hari Diet DM 2100 kkal Bed rest
IVFD Nacl 0.9% 14 Diet DM 2100 kkal
Tx:
tpm
Bed rest
11
Diet DM 2100 kkal Injeksi ceftriaxone 2x1 IVFD Nacl 0.9% 14
IVFD Nacl 0.9% 14 g tpm
tpm Metronidazole Injeksi ceftriaxone
Injeksi novorapid 6-6- 3x500mg 2x1 g
6u Injeksi santagesik 3x1 Metronidazole
Injeksi ceftriaxone 2x1 gr 3x500mg
g Injeksi ranitidine 2x1 Injeksi santagesik 3x1
Metronidazole gr gr
3x500mg Injeksi Injeksi ranitidine 2x1
Injeksi santagesik 3x1 metoklopramide 3x1 gr gr
gr Injeksi
Injeksi ranitidine 2x1 metoklopramide 3x1
gr gr
Injeksi
metoklopramide 3x1 gr
12
Kamis, 12/2/2017 Jumat, 13/2/2017 Sabtu, 14/2/2017
Mata: anemis (-/-), ikterik Mata: anemis (-/-), ikterik Mata: anemis (-/-), ikterik
(-/-) (-/-) (-/-)
Leher : pemb KGB(-/-) Leher : pemb KGB(-/-) Leher : pemb KGB(-/-)
C: S1S2 tgl, m(-), g(-) C: S1S2 tgl, m(-), g(-) C: S1S2 tgl, m(-), g(-)
13
P: P: P:
14
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan adanya peningkatan kadar gula dalam darah akibat defek sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis pada diabetes dihubungkan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (American Diabetes Association,
2010).
3.1.2 Klasifikasi
Menentukan jenis diabetes mellitus pada seseorang tergantung dari keadaan
pada saat pasien didiagnosis. Beberapa pasien dengan peningkatan kadar gula
dalam darah tidak hanya berada pada satu klasifikasi saja. Sebagai contoh,
seseorang dengan gestational diabetes mellitus (GDM) dapat terus mengalami
hiperglikemia setelah melahirkan dan lebih berisiko memiliki diabetes mellitus tipe
2. Pada contoh lain, seseorang yang mengalami hiperglikemi karena penggunaan
steroid eksogen dosis tinggi dapat menjadi normoglikemi bila penggunaan steroid
dihentikan (American Diabetes Association, 2010).
15
Tabel 3.1 Klasifikasi DM
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin
16
Pasien ini juga rentan mengalami kelainan autoimun lain seperti penyakit Graves,
tiroiditis hashimoto, vitiligo, hepatitis autoimun, miastenia gravis, dan anemia
pernisiosa (American Diabetes Association, 2010).
Pada diabetes jenis ini, tingkat kerusakan sel β cukup bervariasi, paling dini
diabetes dapat terjadi pada bayi dan anak, dan juga terjadi onset lambat pada usia
dewasa. Beberapa pasien terutama anak dan remaja, dapat terjadi ketoasidosis
sebagai manifestasi awal dari penyakit ini. Manifestasi lain yaitu berupa
hiperglikemia puasa yang dengan cepat terjadi hiperglikemia kronis atau
ketoasidosis dengan adanya infeksi lain (American Diabetes Association, 2010).
b) Diabetes Mellitus Idiopatik
Beberapa jenis dari diabetes mellitus tipe 1 tidak diketahui etiologinya.
Beberapa pasien memiliki insulinopenia permanen dan rentan mengalami
ketoasidosis, tetapi tidak memiliki bukti terjadi proses autoimun. Hanya sedikit
kasus yang memiliki diabetes jenis ini, dan paling sering terjadi pada ras Afrika
atau Asia. Pasien dengan diabetes ini dapat terjadi ketoasidosis episodik dan
menunjukkan defisiensi penggunaan insulin antar episode. Jenis diabetes ini sangat
mungkin diwariskan, karena tidak bukti yang dapat menunjukkan kelainan
autoimun atau pun adanya HLA yang terkait (American Diabetes Association,
2010).
17
mengakibatkan sensitivitas reseptor terhadap glukosa berkurang. Diagnosisnya
sering terjadi bila sudah ada komplikasi (Ndraha, 2014) .
3.1.3 Epidemiologi
Berdasarkan data prevalensi menurut World Health Organization, sekitar 150
juta orang memiliki diabetes mellitus di seluruh dunia, dan jumlah ini mungkin
dapat meningkat dua kali lipat pada tahun 2025. Sebagian besar kenaikan ini akan
terjadi di negara-negara berkembang yang dapat dipengaruhi oleh pertumbuhan
18
populasi, penuaan, diet tidak sehat, obesitas, dan gaya hidup. Pada tahun 2025,
sementara kebanyakan pasien diabetes mellitus di negara maju berusia 65 tahun
atau lebih, di negara-negara berkembang kebanyakan berada pada kelompok usia
45-65 tahun dan terpengaruh pada usia produktif mereka (World Health
Organization, 2017).
Jumlah pasien dengan diabetes mellitus meningkat dari 108 juta pada tahun
1980 menjadi 422 juta di tahun 2014. Prevalensi pasien diabetes mellitus secara
global, yaitu pada pasien dewasa lebih dari 18 tahun, sekitar 4.7% di tahun 1980
dan meningkat menjadi 8.5% pada 2014 (World Health Organization, 2017).
Perkiraan dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2014
menunjukkan bahwa terdapat 387 juta pasien dengan diabetes mellitus. Pada tahun
2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang.
Diperkirakan dari 387 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis,
sehingga terancam berkembang progresif dan dapat mengalami komplikasi tanpa
disadari (International Diabetes Federation, 2015).
3.1.4 Patofisiologi
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai
dengan resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik
dan berakhir dengan kerusakan sel β pankreas. Resistensi insulin didefinisikan
sebagai ketidakmampuan jaringan target seperti otot dan jaringan adiposa untuk
merespon sekresi insulin endogen dalam tubuh. Lipotoxicity dapat berkontribusi
terhadap resistensi insulin. Lipotoxicity mengacu kepada tingginya konsentrasi
asam lemak bebas yang terjadi sebagai akibat tekanan hambatan hormone sensitive
lipase (HSL). Normalnya insulin menghambat lipolisis dengan menghambat HSL,
namun pada resistensi insulin tidak terjadi secara efisien. Hasil dari peningkatan
lipolisis adalah peningkatan asam lemak bebas, dan inilah yang menyebabkan
obesitas dan peningkatan adiposa. Asam lemak bebas menyebabkan resistensi
insulin dengan mempromosikan fosforilasi serin pada reseptor insulin yang dapat
mengurangi aktivitas insulin signalling pathway. Fosforilasi reseptor insulin pada
asam amino tirosin penting untuk mengaktifkan insulin signalling pathway, jika
19
tidak, maka GLUT-4 akan gagal untuk translocate, dan penyerapan glukosa ke
jaringan akan berkurang, menyebabkan hiperglikemia (Guyton AC, 2011).
Pada individu non-diabetik sel β pankreas mampu menangkal resistensi
insulin dengan meningkatkan produksi dan sekresi insulin. Pada penderita DM
apabila keadaan resistensi insulin bertambah berat disertai tingginya glukosa yang
terus terjadi, sel β pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu
mensekresikan insulin dalam jumlah cukup untuk menurunkan kadar gula darah,
disertai dengan peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa
oleh otot dan lemak akan mempengaruhi kadar gula dara puasa dan postpandrial.
Akhirnya sekresi insulin oleh sel β pankreas akan menurun dan terjadi
hiperglikemia berat (Guyton AC, 2011).
Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM-2 menyebabkan
resistensi adiponektin melalui penurunan regulasi ekspresi reseptor AdipoR1. Hal
ini menyebabkan C-terminal globular domain (gAd), produk gen adiponektin yang
memilik efek metabolik yang poten terutama pada otot skeletal, mengalami
resistensi sehingga kemampuan gAd untuk meningkatkan translokasi GLUT-4,
penyerapan glukosa, penyerapan asam lemak dan oksidasi, serta fosforilasi AMP-
activated protein kinase (AMPK) dan asetil-CoA karboksilase (ACC) mengalami
penurunan (Guyton AC, 2011).
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas,
tetapi faktor risiko ini banyak berperan. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
yaitu, ras dan etnik, riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes),
umur yaitu risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM, Riwayat
melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita
DM gestasional (DMG), Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5
kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal (Guyton AC, 2011).
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi antara lain, berat badan lebih (IMT >
23 kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi ( > 140/90 mmHg), dislipidemia
(HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL), diet tak sehat (unhealthy
20
diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita
prediabetes/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2 (Guyton AC, 2011).
3.1.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis klinis diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa:
21
3.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan diabetes mellitus secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup pasien. Tujuan penatalaksanaan meliputi tujuan jangka pendek,
tujuan jangka panjang, dan tujuan akhir (Rudijanto, et al., 2015).
22
dengan diabetes mellitus dapat memakan dengan keluarga yang lain.
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Pemanis alternatif
dapat digunakan sebagai glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi
harian (Accepted Daily Intake/ADI). Dianjurkan makan tiga kali sehari, bila
perlu dapat diberi makanan selingan atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori (PERKENI, 2011).
b) Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang
dianjurkam adalah lemak jenih kurang dari 7% kebutuhan kalori, lemak
tidak jenuh ganda kurang dari 10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans, antara lain daging berlemak, dan
susu fullcream. Konsumsi kolesterol dianjurkan kurang dari 200mg/hari
(PERKENI, 2011).
c) Protein
Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan energi. Sumber protein
yang baik adalah yang berasal dari ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan
tempe. Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan
protein menjadi 0.8% g/kgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi,
dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada pasien
diabetes mellitus yang sudah menjalani hemodialisa asupan protein
menhadi 1-1.2 g/kgBB per hari (PERKENI, 2011).
d) Natrium
Anjuran asupan natrium untuk pasien diabetes mellitus sama dengan orang
sehat yaitu kurang dari 2300 mg perhari. Pasien diabetes mellitus dengan
hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual. Sumber
natrium antara lain adalah gram dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit (PERKENI, 2011).
23
e) Serat
Pasien diabetes mellitus dianjurkan mengonsumsi kacang-kacangan, buah
dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. Anjuran komsumsi
serat adalah 20-35 gram perhari uang berasal dari berbagai sumber bahan
makanan (PERKENI, 2011).
f) Pemanis alternatif
Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis
tak berkalori. Pemanis berkalori yaitu gula alkohol dan fruktosa. Gula
alkohol antara lain isomalt, lactilol, maltilol, mannitol, sorbitol, xylitol. Bila
menggunakan pemanis berkalohi, makan perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak
dianjurkan digunakan pada pasien diabetes mellitus karena berefek samping
pada lemak darah. Pemanis tanpa kalori masih dapat digunakan seperti
aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame. Pemanis
aman digunakan, asal tidak melebihi batas aman (Acceptes Daily
Intake/ADI) (PERKENI, 2011).
B. Kebutuhan kalori
Terdapat beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
pasien diabetes, yaitu dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.
Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah: (Rudijanto, et al., 2015).
a) Perhitungan Berat Badan Ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
Berat badan ideal, 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
Pria dengan tinggi badan kurang dari 160 cm dan wanita dengan
tinggi badan kurang dari 150 cm, rumus modifikasi mendi (TB
dalam cm – 100) x 1 kg
Klasifikasi BBI:
BB normal: BB ideal 10%
Kurus: kurang dari BB ideal – 10%
24
Gemuk: lenoh dari BB ideal + 10%
b) Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT), dengan
rumus:
𝐵𝐵 (𝑘𝑔)
IMT = 𝑇𝐵 (𝑚2 )
Klasifikasi IMT:
BB kurang < 18,5
BB normal 18,5 – 22,9
BB lebih ≥ 23,0
o Dengan risiko 23,0 – 24,9
o Obes I 25,0 – 29,9
o Obes II ≥ 30
a) Jenis kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari pada perempuan adalah sebesar 25 kal/kgBB
dan pada pria adalah 30 kal/kgBB
b) Umur
Pasien dengan usia lebih dari 40 tahun, kebutuhan kalorinya dikurangi 5%
untuk setiap dekade, yaitu antara 40 – 59 tahun. Pada pasien dengan usia
antara 60 – 69 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 10%. Usia lebih dari 70
tahun, kebutuhan kalori dikurangi 20%
c) Aktivitas Fisik
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
keadaan istirahat. Penambhan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas
ringan seperti pegawai kantor, guru, dan ibu rumah tangga. Penambahan
sejumlah 30% pada aktivitas sedang yaitu pada pegawai industri ringan,
mahasiswa militer yang sedang tidak perang. Penambahan sejumlah 40% pada
aktivitas berat seperti petani, buruh, atlet, militer dalam keadaan latihan.
Sedangakn penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat seperti
tukang becak dan tukang gali.
25
d) Stres Metabolik
Penambahan 10 – 30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis,
operasi, trauma).
e) Berat Badan
Pasien dengan diabetes mellitus yang gemuk, kebutuhan kalori
dikurangi sekitar 20 – 30% tergantung tingkat kegemukan. Pasien diabetes
mellitus yang kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20 – 30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meingkatkan BB. Jumlah kalori yang diberikan
paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kal
perhari untuk pria (Rudijanto, et al., 2015).
Umumnya makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan
komposisi tersebut, dibagi dalam 3 porsi besar yaitu makan pagi (20%), siang
(30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Pada
kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis makanan dilakukan sesuai
dengan kebiasaan. Pasien diabetes mellitus yang memiliki penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya (Rudijanto, et al.,
2015).
26
Tabel 3.2 Aktivitas Fisik Sehari-hari
(PERKENI, 2011)
1. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makanan dan
latihan jasmani. Terapi farmakolis berupa obat oral dan suntikan.
a) Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjadinya, obat antihiperglikemia oral dapat dibagi
menjadi 5 golongan yaitu pemacu sekresi insulin, peningkat sensitivitas
terhadap insulin, penghambat absorpsi glukosa di saluran cerna, penghambat
DPP-IV, dan penghambat SGLT-2.
27
Pemacu sekresi insulin
Pemacu sekresi insulin terdiri dari golongan sulfonylurea dan glinid.
Obat golongan sulfonylurea ini memiliki efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel β pankreas. Penggunaan sulfonylurea berisiko
tinggi terjadi hipoglikemia. Sedangkan glinid adalah obat dengan cara
kerja yang sama dengan sulfonylurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin pertama. Golongan glinid terdiri dari dua
macam obat yairu reoaglinid dan nateglinid. Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek
sampingnya adalah 28ias terjadi hipoglikemia (Rudijanto, et al., 2015).
Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Peningkat sensitivitas insulin yaitu biguanid dan tiazolidindion.
Metformin termasuk dalam kelompok biguanid yang memiliki efek
utama untuk mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesin), dan
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin adalah
pilihan pertama pada sebagian kasus diabetes mellitus tipe 2. Dosis
metformin diturunkan pada pasien dengan fungsi ginjal (GFR 30-60
ml/menit/1.73) (PERKENI, 2011)
Penghambat absorpsi glukosa di saluran cerna
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens
(PERKENI, 2011)
Penghambat DPP-IV
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) adalah suatu hormone peptide
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.
GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat
FLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi
28
metabolit GLP-1-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada
pasien dengan diabetes mellitus, sehingga upaya untuk meningkatkan
GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan diabetes
mellitus, peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat
DPP-4) (PERKENI, 2011).
Penghambat SGLT-2
Obat golongan penghambat SGLT-2 adalah obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja
mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015
(Rudijanto, et al., 2015).
29
Agonis GLP-1/Increatin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 adalah pendekatan
baru untuk pasien diabetes. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel β
pankreas sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, memiliki efek
menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan
menghambat nafsu makan. Efek dari penurunan berat badan agonis GLP-
1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan pada pasien
diabetes dengan obesitas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah, obat yang termasuk golongan
ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide
(Rudijanto, et al., 2015).
3.1.8 Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus dapat digolongkan sebagai komplikasi akut dan
komplikasi kronik bisa reversibel atau iteversibel. Sebagian besar komplikasi akut
bersifat reversibel sedangkan komplikasi kronik bersifat iteversibel tetapi
perjalanan penyakit dapat diperlambat dengan intervensi. Umumnya, komplikasi
kronik disebabkan oleh kelainan mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan
nefropati) dan makrovaskular. Perbedaan HbA1c sebesar 1% sudah dapat
menunjukkan pengurangan risiko komplikasi sebanyak 25-50% (World Diabetes
Foundation, 2009)
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat mengakibatkan kerusakan otak yang menetap. Faktor
penyebab dan dampaknya mungkin akan berbeda setiap individu. Mengenali gejala
hipoglikemia adalah yang paling penting karena apabila terjadi berulang dapat
terjadi fenomena hypoglycemic unawareness. Insiden hipoglikemia dapat dihindari
dengan meningkatkan pemantauan gula darah (World Diabetes Foundation, 2009).
Akibat kerja insulin berlebih maka dapat terjadi hipoglikemia berat dengan
gejala kejang, koma, bahkan kematian. Gejala dan tanda hipoglikemia harus dicatat
30
dan selalu ditanyakan kepada pasien. Keterangan tersebut kemudian dicocokkan
dengan data hasil pemantauan mandiri glukoasa darah. Apabila didapat hasil
glukosa darah rendah tetapi penderita tidak merasa apa-apa maka perlu diwaspadai
adanya hypoglycemic unawareness. Fenoma ini terjadi akibat menurunnya ambang
hipoglikemia sehingga pesien tidak akan merasakan gejala awal hipoglikemia yang
akan membahayakan (World Diabetes Foundation, 2009).
a) Gejala hipoglikemia
Gejala klinis hipoglikemia bervariasi dan dibagi menjadi gejala
neurogenik dan gejala neuroglikopenia
31
Tabel 3.4 Gejala hipoglikemia berdasarkan berat ringannya gejala klinis
Tingkat Gambaran klinis Terapi
Ringan Lapar, tremor, mudah Sari buah, limun manis, anggur manis,
goyah, pucat, ansietas, makanan ringan. Jika hipoglikemia sangat
berkeringat, palpitasi, ringan dapat diatasi dengan memajukan
takikardi, penurunan jadwal makan, apabila episode terjadi
konsentrasi, dan dalam 15-30 menit dari jadwal yang
kemampuan kognitif. ditentukan.
Sedang Sakit kepala, sakit 10-20 gram gula yang dapat dicerna segera,
perut, perubahan diikuti dengan pemberian
tingkah laku, agresif, snack.
ganguan visus,
bingung, ngantuk,
lemah, kesulitan bicara,
takikardi, pucat,
berkeringat, dilatasi
pupil.
Berat Disorientasi berat, Bila jauh dari pertolongan medis:
penurunan kesadaran, Bila tersedia glukagon, berikan injeksi
koma, kejang. glukagon (SC, IM atau IV) untuk usia < 5
tahun berikan 0,5 mg dan usia > 5 tahun 1,0
mg. Bila tak ada respon dalam 10 menit
ulangi sekali lagi. Kemudian diikuti
dengan makan dan monitoring berkala.
Bila tidak ada glukagon, oleskan selai atau
madu kebagian dalam mulut sambil segera
membawa pasien ke rumah sakit.
Di rumah sakit:
Berikan dekstrose 10% intravena dengan
dosis 2 mL/kgBB diikuti infus dekstrose
untuk menstabilkan kadar glukosa darah
antara 90-180 mg/dL (5-10
mmol/L)
(World Diabetes Foundation, 2009)
b) Pencegahan hipoglikemia
Umumnya, hipoglikemia dapat dicegah walaupun dapat terjadi secra
tiba-tiba dan tidak terduga. Hal-hal yang sering menyebabkan hipoglikemia
adalah asupan makan yang tidak teratur, olah raga yang berlebihan tanpa
ditunjang oleh makan yang cukup seta pengobatan menggunakan insulin
yang berlebihan. Hipoglikemia dapat dicegah dengan keteraturan dalam
32
pengobatan insulin, pengaturan makan/asupan makanan yang disesuaikan
dengan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan. Sering terjadi hipoglikemia
pada malam hari yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti umur yang lebih
muda, dosis insulin yang berlebih, dan regimen insulin yang dipakai.
Pencegahan hipoglikemia pada malam hari yaitu kadr gula dara tengah
malam harus diusahakan sekitar 120-180 mg.dL (7-10 mmol/L). Makanan
yang sebaiknya dikonsumsu dimalam hari adalah karobohidrat yang lambat
dicerna seperti susu, roti, pisang, apel, dan protein (World Diabetes
Foundation, 2009).
33
2. Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis diabetikum atau KAD adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat dan terjadi peningkatan anion gap. Kejadian KAD memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga memerlukan perawatan di rumah
sakit untuk mendapat penatalaksanaan yang memadai (Rudijanto, et al., 2015).
34
digital and color film-based fundal photography (World Diabetes Foundation,
2009).
Kontrol glikemik yang optimal adalah pencegahan dini terjadinya retinopati.
Perbaikan HbA1c 1% dapat menurunkan risiko terjadi komplikasi jangka panjang
sekitar 20-50%. Deteksi dini retinopati dapat dilakukan dengan melakukan kontrol
teratur ke dokter mata dengan melakukan pemeriksaan mata tiap 3 bulan pada
pasien dengan kontrol metabolik buruk yang kronis (World Diabetes Foundation,
2009).
b) Nefropati
Tanda awal terjadinya nefropati pada diabetes mellitus adalah ditemukannya
mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria persisten adalah terjadinya nefropati diabetik
dan meningkatnya risiko mortalias kardiovaskular. Nefropari diabeteik sering
berhubungan dengan adanya hipertensi. Diperkirakan 30-40% nefropati pada
diabetes mellitus dapat berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Deteksini dini
befropati diabetik dengan melakukan pemeriksaan mikroalbuminuria setiap tahun
(walaupun tidak ada gejala) disertai pemeriksaan tekanan darah teratur setiap
kunjungan. Mikroalbuminuria dengan hipertensi memiliki prognosis yang lebih
buruk dibandikan dengan tanpa hipertensi. Sangat penting kontrol glikemi yang
dicapai disertai penggunaan obat anihipertensi untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas mikroalbuminurua menjadi nefropati diabetik (World Diabetes
Foundation, 2009).
c) Neuropati
Sistem saraf terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang,
susunan saraf perifer di oto, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang
mengatur miokardium dan intestinal. Bila dalam jangka panjang glukosa darah
tetap tinggi maka dapat melemahkan pembuluh darah kapiler sebagai penghantar
nutrisi ke saraf, sehingga dapat terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik. Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak dapat mengirimkan
atau ada gangguan dalam menghantarkan impulsnya. Berat ringannya komplikasi
ini bergantung dari lokasi saraf yang terkena dan derajat kerusakannya. Apabila
glukosa darah dapat dikontrol dengan baik, terkadang perbaikan saraf dapat terjadi
(Ndraha, 2014).
35
2. Makrovaskular
a) Coronary Arteryal Disease
Coronary arteryal disease atau penyakit jantung koroner merupakan suatu
kondisi yang disebabkan oleh suplai darah dan oksigen ke miokardium tidak
adekuat, dapat terjadi ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai darah. Penyebab
utama penyakit jantung koroner adalah sumbatan plak aterom pada arteri koroner
sehingga dapat disebut juga penyakit jantung iskemik (Liwang & Wijaya, 2014).
b) Stroke
Stroke adalah suatu keadaan defisit neurologis fokal (atau global) yang terjadi
mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor vaskuler.
Secara global, saat ini stroke menjadi salah satu penyebab kematian utama dan
penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Gejala awal serangan stroke
mendadak yang sering dijumpai adalah kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi
wajah, lengan, dan tungkai (hemiparesis, hemiplegi), gangguan sensorik pada salah
satu sisi wajah, lengan, dan tungkai (hemihipestesi, hemianesthesi), gangguan
bicara (disartria), gangguan berbahasa (afasia), dan gejala neurologik lain seperti
jalan sempoyongan (ataksia), rasa berputar (vertigo), kesulitan menelan (disfagia),
penglihatan ganda (diplopia), penyempitan lapang pandang (hemianopsia) (Ikatan
Dokter Indonesia, 2014).
c) Peripheral Arterial Disease
Peripheral Arterial Disease adalah penyumbatan yang terjadi pada arteri
perifer akibat adanya proses atherosklerosis atau proses inflamasi yang
menyebabkan lumen arteri menyempit atau stenosis, dan adanya pembentukan
trombus. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh
darah yang dapat menimbulkan penurunan tekanan perfusi ke area distal.
Mekanisme dan proses hemodinamik yang terjadi pada peripheral arterial disease
sangat mirip dengan mekanisme pada coronary arteryal disease. Lokasi tersering
terjadinya peripheral arterial disease adalah daerah tungkai bawah dan jarang
ditemukan pada ekstremitas atas (Hanafi, 2003).
36
3.2 Diabetic Foot
3.2.1 Definisi
Diabetic foot adalah salah satu komplikasi kronik dari diabetes mellitus, dapat
berupa luka terbuka pada lapisan kulit dan bisa meluas hingga kebagian tendon dan
tulang. Diabetic foot merupakan komplikasi kronik makroangiopati pada pasien
diabetes yang mengenai pembuluh darah perifer (Waspadji, Kaki Diabetes, 2015).
3.2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta amputasi pada pasien
diabetes setiap tahun. Sekitar 68% pasien dengan gangren diabetik adalah laki-laki,
dan 10% pasien gangren mengalami rekuren. Angka kematian dan angka amputasi
masing-masing sebesar 16% dan 25%. Sekitar 14,3% pasien dengan gangren akan
meninggal dalam setahun pasca amputasi dan 37% akan meninggal dakam tiga
tahun pasca-operasi (Kartika, 2017).
3.2.3 Etiologi
Proses terjadinya diabetic foot berawal dari proses angiopati, neuropati, dan
infeksi. Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang dapat menghilangkan
atau menurunkan sensai nyeri pada kaki, sehingga luka kaki dapat terjadi tanpa
disadari. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai sehingga mengubah
titik tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan mengganggu aliran
darah ke kaki, penderita dapat merasa nyeri tungkai setelah berjalan dalam jalan
tertentu. Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurannya aliran darah atau
neuropati. Ulkus diabetik dapat berlanjut menjadi gangren diabetic foot. Penyebab
gangren pada pasien diabetes mellitus yang paling sering adalah bakteri anaerob
yaitu Clostridium. Bakteri ini dapat menghasilkan gas yang disebut gas gangren
(Desalu, Salawu, Jimoh, Adekoya, Busari, & Olokoba, 2011).
37
3.2.4 Patofisiologi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya ulkus pada diabetic foot
adalah faktor neuropati, biomekanika kaki yang abnormal, penyakit arteri perifer,
dan penyembuhan luka yang buruk. Terjadinya masalah kaki diawali oleh adanya
hiperglikemi pada pasien diabetes mellitus yang menyebabkan kelainan neuropati
dan kelainan pembuluh darah. Faktor neuropati sensorik perifer mempengaruhi
terjadinya cedera pada kaki. Komplikasi diabetes mellitus ini menyebabkan
gangguan pada mekanisme proteksi kaki yang normal, sehingga pasien dapat
mengalami cedera pada kaki tanpa disadari. Neuropati otonom dapat menyebabkan
terjadinya anhidrosis dan gangguan perfusi kaki. Akibatnya kulit dapat menjadi
kering dan terbentuk fisura-fisura (Priantono & Sulistianingsih, 2014).
Faktor biomekanika yang abnormal disebabkan oleh beberapa faktor yang
berhubungan dengan neuropati, bisa secara langsung maupun tidak langsung.
Gangguan propiosepsi menyebabkan distribusi berat badan yang tidak merata. Hal
ini dapat berperan dalam terjadinya kalus atau ulserasi pada kaki perubahan
struktural pada kaki dapat terjadi akibat adanya komplikasi neuropati sensorik dan
motorik (Priantono & Sulistianingsih, 2014).
Infeksi kaki berperan penting dalam terjadinya diabetic foot. Infeksi pada
diabetic foot dapat melibatkan banyak spesies bakteri sehingga dapat mempersulit
penatalaksanaan. Kemungkinan timbulnya infeksi pada diabetic foot semakin
meningkat akibat adanya penyakit arteri perifer yang dapat menyebabkan gangguan
oksigenasi jariangan sehingga dapat menghambat proses penyembuhan luka
(Priantono & Sulistianingsih, 2014).
3.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi diabetic foot diperlukan untuk mengetahui perkembangan luka
saat perawatan dan untuk lebih memahami proses terjadinya diabetic foot.
Klasifikasi diabetic foot bermacam-macam seperti klasifikasi Kings College
Hospital, klasifikasi University of Texas, klasifikasi PEDIS, dan lain-lain. Namun,
dua sistem klasifikasi yang paling mapan adalah sistem Wagner-Meggitt dan
University of Texas (Jain A. K., 2012).
38
1. Klasifikasi Wagner-Meggitt
Klasifikasi ini dikembangkan sekitar tahun 1970an, yang telah menjadi
sistem penilaian diabetic foot yang paling banyak digunakan dan diterima secara
universal. Sistem ini memiliki 6 derajat lesi. Empat derajat pertama (derajat
0,1,2,3) didasarkan pada kedalaman fisik lesi dan melalui jaringan lunak kaki.
derajat 4 dan derajat 5 berbeda karena didasarkan pada tingkat keparahan gangren
dan hilangnya perfusi di kaki. derajat 4 mengacu pada gangren kaki parsial dan
derajat 5 gangren kaki total. Kekurangan dari klasifikasi ini adalah tidak mencakup
semua ulkuserasi dan infeksi diabetic foot dan terbatas untuk mengidentifikasi
penyakit vaskular sebagai faktor risiko independen. Selain itu, luka superfisial yang
terinfeksi atau tidak tervaskularisasi tidak dapat diklasifikasikan oleh sistem ini
(Jain A. K., 2012).
Klasifikasi Wagner-Meggitt dianjurkan oleh International Working Group on
Diabetic Foot (IWGDF) dan dapat diterima oleh semua pihak agar memudahkan
perbandingan hasil-hasil penelitian, dengan klasifikasi ini maka dapat ditentukan
kelainan yang dominan, vaskulatm infeksi, atau neuropatik (Kartika, 2017).
0 Tidak ada luka terbuka, mungkin terdapat deformitas, kalus atau selulitis
Ulkus meluas sampai ligamen, tendon, kapsula sendi atau fasia dalam tanpa
2 abses atau osteomielitis
39
Derajat 0 Derajat 1
Derajat Derajat 3
2
Derajat 4 Derajat 5
40
Tabel 3.7 Klasifikasi University of Texas
1) Perfusion (Perfusi)
Sistem klasifikasi diabetic foot ini dirancang agar sesuai dengan sistem
klasifikasi PAD (Peripheral Artery Disease) (IWGDF, 2004).
Derajat 1: tidak ada tanda dan gejala dari PAD di kaki yang sakit, bersamaan
dengan:
o Arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior
o Indeks ankle-brachial 0,9 sampai 1,10 atau
41
o Indeks toe-brachial > 0,6 atau
o Tekanan oksigen transkutan (TcPo2) > 60 mmHg
Derajat 2: terdapat tanda dan gejala PAD, tapi bukan CLI (Critical Limb
Ischemia):
o Adanya klaudikasi intermiten
o Indeks ankle-brachial < 0,9 namun tekanan ankle > 50 mmHg atau
o Indeks toe-brachial < 0,6, namun tekakanan sistolik ibu jari > 30 mmHg
o TcPO2 30-60 mmHg atau
o Ada kelaianan lain pada uji non invasif yang sesuai dengan PAD tapi bukan
suatu CLI
Derajat 3: CLI, dengan:
o Tekanan darah sistolik pada kaki < 50 mmHg atau
o tekanan darah sistolik ibu jari < 30 mmHg
o TcpO2 < 30 mmHg
2) Extent/Size (Luas)
Ukuran luka (diukur dalam sentimeter persegi,diukur setelah debridement
bila memungkinkan. Batas luar ulkus harus diukur dari kulit yang utuh yang
mengelilingi ulkus (IWGDF, 2004).
3) Depth/tissue loss (Kedalaman)
Kedalaman sulit ditentukan dan besifat relatif. Ulkus yang hanya berukuran
beberapa milimeter saja dapat menembus ke dalam tulang atau sendi. Sedangkan di
kasus lalin, ulkus dapat meluas beberapa sentimeter saja namun tidak melibatkan
struktur yang berada lebih dalam. Oleh karena itu, ulkus dapat dibagi menjadi lesi
yang terbatas pada kulit (superficial) atau lesi yang lebih dalam menembus bawah
kulit. Jika ulkus tampaknya tidak menembus di bawah kulit, infeksi klinis pada
jaringan subktan (seperti abses atau osteomyelitis) berarti itu adalah ulkus yang
dalam. Lesi yang luas perlu dievaluasi dengan bijaksana setelah debridement awal,
terutama bila ada CLI (IWGDF, 2004).
Derajat 1: ulkus full-thickness superficial, tidak menembus struktur apapun
melewati dermis.
Derajat 2: ulkus dalam, menembus bagian bawah dermis hingga struktur
subkutan, melibatkan fascia, otot, dan tendon.
42
Derajat 3: semua lapisan terlibat, termasuk tulang dan/atau sendi (tulang
terpapar, probing mencapai tulang).
4) Infection (Infeksi)
Infeksi pada ulkus diabetic foot didefinisikan sebagai invasi dan multiplikasi
mikroorganisme pada jaringan tubuh yang terkait dengan kerusakan jaringan atau
respon inflamasi. Dalam menilai infeksi, terdapat tiga parameter yang relevan
dengan penanganan klinis dan hasilnya yaitu keterlibatan pada kulit saja,
keterlibatan sruktur yang lebih dalam, dan respon inflamasi sistemik pasien.
Kategori ini sulit didefinisikan karnadapat tumpang tindih dengan katagori lainnya
(IWGDF, 2004).
Derajat 1: tidak ada tanda atau gejala infeksi.
Derajat 2: infeksi hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutan (tanpa
keterlibatan jaringan yang terletak lebih dalam dan tanpa disertai tanda sistemik
di bawah ini), setidaknya ditemukan 2 dari:
o Pembengkakan atau indurasi lokal
o Eritema 0,5 - 2 cm disekitar ulkus
o Nyeri lokal
o Hangat pada perabaan lokal
o Duh purulen (sekret tebal, opak hingga putih, atau sanguinosa). Penyebab
inflamasi lain seperti trauma, gout, Charcot neuro-osteoartropati akut, fraktur,
trombosis, stasis vena harus disingkirkan
Derajat 3: eritema > 2 cm ditambah slah satu temuan di atas, atau adanya infeksi
yang melibatkan struktur di bawah kulit dan jaringan subkutan, misalnya abses,
osteomielitis, artritis septik, maupun fasciitis. Tidak ada respon inflamasi
sistemik.
Derajat 4: infeksi kaki dengan tanda sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS),
yaitu dua atau lebih kedalaman di bawah ini:
o Suhu < 36 atau > 38oC
o Frekuensi denyut jantung > 90x/menit
o Frekuensi pernapasan > 20x/menit
o PaCO2 < 32 mmH
o Hitung leukosit < 4.000 atau > 12.000 sel/mm3 dan/atau
43
o 10% bentuk imatur
5) Sensation (Sensasi)
Sistem ini mengkategorikan pasien memiliki sensasi protektid atau tidak pada kaki
yang terkena. Sistem ini tidak mengkategorikan pasien dengan polineuropati,
penyebab hilangnya sensasi protektif, dan juga tingkat keparahan kehilangan
sensorik. Baik sensasi tekanan dan getaran harus ditentukan pada setiap pasien
(IWGDF, 2004).
Derajat 1: tidak ada kehilangan sensasi protektif pada kaki yang terkena
Deraja 2: terdapat kehilangan sensasi protektif kaki yang terkena. Dalam hal ini
berarti terdapat kehilangan persepsi pada salah satu pemeriksaan dibawah ini:
o Tidak adanya sensasi tekanan pada pemeriksaan monofilamen 10 g pada 2
dari 3 titik plantar pedis.
o Tidak adanya sensasi getar pada pemeriksaan garpu tala 128 Hz atau ambang
vibrasi > 25 V. Pemeriksaan dilakukan pada regio hallux.
3.2.6 Diagnosis
Evaluasi mengenai ulkus pada diabetic foot, perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang cermat. Pada anamnesis perlu
ditanyakan riwayat penyakit secara umum, terarah, maupun secara khusus
mengenai luka yang diderita.
Anamnesis
Anamnesis umum meliputi lamanya menderita diabetes mellitus, rutin kontrol
glikemik, penyakit penyerta, gejala komplikasi, status nutrisi, alergi, riwayat
faktor risiko, pengobatan yang sudah diterima, hingga perawatan di rumah sakit
sebelumnya.
Anamnesis terarah meliputi aktivitas sehari-hari, riwayat pajanan, pemakaian
sepatu, kalus, riwayat operasi, serta adanya klaudikasio. Secara khusus perlu
ditanyakan riwayat luka pasien, yaitu lokasi, durasi, infeksi, kekambuhan,
riwayat dirawat di rumah sakit, riwayat trauma, perawatan luka, adanya
bengkak, serta kelainan bentuk kaki Charcot dan riwayat pengobatannya
(Priantono & Sulistianingsih, 2014).
44
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk mengetahui ada
tidaknya sepsis, pemeriksaan sistematik organ untuk mencari komplikasi
diabetes yang lain (gangguan jantung atau infeksi paru), dan pemeriksaan
ekstremitas, serta kondisi luka lokal.
Pemeriksaan eksteremitas antara lain pemeriksaan vaskular (inspeksi, palpasi,
indeks ankle-brachial) dan pemeriksaan neuropati (vibrasi dengan garpu tala 128
Hz, sensasi halus, refleks, diskriminasi, keseimbangan, sensaasi suhu, raba,
nyeri) (Priantono & Sulistianingsih, 2014).
3.2.7 Pengelolaan
Pengelolaan diabetic foot dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pencegahan
terjadinya diabetic foot dan terjadinya ulkus (Pencegahan primer sebelum terjadi
luka) dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan
sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang telah terjadi) (Waspadji,
Kaki Diabetes, 2015).
45
Pengelolaan diabetic foot terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya
ulkus, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Penggunaan alas kaki yang baik
dapat mencegah terjadinya ulkus oleh karena faktor mekanik. Penyuluhan pada
katagori risiko 2 dan 5, perlu diberi perhatian khusus mengenai alas kaki yang
dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Katagori risiko 4 yaitu
permasalahan vaskular, perlu melakukan latihan kaki dengan benar untuk
memperbaiki vaskularisasi kaki. Pada ulkus complicated, tentu semua usaha dan
dana ditujukan untuk penyelamatan kaki, yang termasuk dalam pencegahan
sekunder (Waspadji, Kaki Diabetes, 2015).
46
tekanan darah. Terdapat beberapa cara untuk mengevaluasi keadaan pembuluh
darah secara invasif, semiinvasif, atau invasif, seperti pemeriksaan ankle brachial
index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan ekhodopler dan
pemeriksaan arteriografi (Waspadji, Kaki Diabetes, 2015).
c) Kontrol infeksi (infection control)
Jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi maka harus diberikan pengobatan
infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap
namun tidak terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi). Data mengenai pola
kuman perlu diperbaiki secra berkala untuk setiap daerah yang berbeda. Antibiotik
yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan
resistensinya.
d) Kontrol luka (wound control)
Berupa pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur.
Perawatan lokal pada luka termasuk kontrol infeksi, dengan menggunakan konsep
TIME:
Tissue debridement: membersihkan luka dari jaringan mati
Inflammation and infection control: kontrol inflamasi dan infeksi
Moisture balance: menjaga kelembaban
Epithelial edge advancement: mendekatkan tepi epitel
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang adalah hal yang harus
dikerjakan dengan baik dan teliti, evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin.
Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Banyak jenis
dressing (pembalut) yang dapat disesuaikan dengan keadaan luka atau posisi luka.
Dressing yang mengandung komponen zat penyerap seperti carbonate dressing,
alginate dressing, akan bermanfaat pada keadaan luka yang masih produktif.
Hydrophilic fiber atau silver impregnated dressing akan dapat bermanfaat untuk
luka produktif dan terinfeksi. Jangan lupa bahwa tindakan debridement adalah
syarat mutlak yang harus dikerjakan dulu sebelum menilai dan mengklasifikasikan
luka. Debridement yang baik akan membantu mengurangi jaringan nekrotik dan
mengurangi produksi pus atau cairan dari ulkus/gangren (Waspadji, Kaki Diabetes,
2015).
47
e) Kontrol tekanan (pressure control)
Mengurangi tekanan pada kaki, karena tekanan yang berulang dapat
menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari. Mengurangi tekanan adalah hal yang
sangat penting dilakukan pada ulkus neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai
sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan. Jika tetap
dipakai untuk berjalan berarti kaki dipakai untuk menahan berat badan-weight
bearing, luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat sembuh, apalagi bila
luka tersebut berada di baigan plantar pedis. Berbagai cara surgikal dapat dipakai
untuk mengurangi tekanan pada luka, yaitu dekompresi ulkus/abses dengan insisi
abses dan prosedur koreksi bedah seperti operasi hammer tore, metatarsal head
resection, achilles tendon lenghtening, dan partial calcanectomy (Waspadji, Kaki
Diabetes, 2015).
f) Penyuluhan (educational control)
Berupa penyuluhan yang baik seperti edukasi mengenai perawatan kaki
secara mandiri, edukasi dangat penting untuk semua tahan pengelolaan diabetic
foot. Dengan penyuluhan yang baik, pasien diabetes mellitus dan ulkus/gangren
diabetik dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk
kesembuhan luka yang optimal. Rehabilitasi merupakan program yang penting
untuk pengelolaan diabetic foot, bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik
dan segera setelah perawatan. Pemakaian alas kaki/sepatu khusus untuk
mengurangi tekanan pada plantar, akan membantu mencegah terjadinya ulkus baru
(Rudijanto, et al., 2015).
Terdapat beberapa tindakan pencegahan diabetic foot, yaitu: (Misnadiarly,
2006)
48
7. Memotong kuku secara hati-hati dan jangan terlalu dalam
8. Hindari penggunaan air panas dan bantal panas
9. Memotong kuku secara hati-hati dan jangan terlalu dalam
10. Pakai kaos kakiyang pas dan diganti tiap hari
11. Jangan berjalan tanpa alas kaki
12. Hindari trauma berluang
13. Hindari pemakaian obat yang bersifat vasokonstriktor
14. Periksa secara rutin bila ada luka dikaki
49
BAB 4
PEMBAHASAN
Anamnesis
Kasus Teori
Keluhan utama: Gejala kronik yang sering dialami
Nyeri kaki kiri oleh penderita DM adalah
Riwayat penyakit sekarang: kesemutan, kulit terasa panas, atau
- Nyeri kaki kiri berupa nyeri tajam seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa
seperti tertusuk-tusuk yang tebal di kulit, kram, capai, mudah
dirasakan setiap saat. Dari kiri mengantuk, mata kabur, gatal di
pasien juga mengeluarkan bau sekitar kemaluan terutama wanita,
busuk gigi mudah goyah dan mudah lepas,
- Nyeri kaki kiri sudah dirasakan kemampuan seksual menurun bahkan
sejak 1 bulan yang lalu, yang impotensi pada pria.
berasal dari luka lecet di kaki kiri Diabetic foot merupakan komplikasi
pasien. kronik makroangiopati pada pasien
- Satu bulan yang lalu jempol kaki diabetes yang mengenai pembuluh
kiri pasien lecet karena darah perifer.
menggunakan sepatu dalam waktu Anamnesis umum meliputi lamanya
yg lama, pasien tidak sadar ada lecet menderita diabetes mellitus, rutin
karena kaki terasa kebas kontrol glikemik, penyakit penyerta,
- Pasien baru menyadari lecet pada gejala komplikasi, , pengobatan yang
kaki kiri tiga hari kemudian dan sudah diterima, hingga perawatan di
baru sadar ketika jempol kaki kiri rumah sakit sebelumnya.
terbentuk gelembung Anamnesis terarah meliputi aktivitas
- Keluhan lainnya berupa penurunan sehari-hari dan riwayat pajanan.
nafsu makan, demam naik turun Secara khusus perlu ditanyakan
sejak 3 hari sebelum masuk rumah riwayat luka pasien, yaitu lokasi,
sakit. durasi, dan infeksi.
50
Riwayat penyakit dahulu
- Pasien riwayat DM sejak ± 6 bulan Faktor-faktor yang dapat
yang lalu, tidak rutin minum obat mempengaruhi terjadinya ulkus pada
- Pasien mengaku memiliki riwayat diabetic foot adalah faktor neuropati,
tekanan darah tinggi, tidak rutin penyakit arteri perifer, dan
minum obat penyembuhan luka yang buruk.
Faktor neuropati sensorik perifer
mempengaruhi terjadinya cedera
pada kaki, sehingga pasien dapat
mengalami cedera pada kaki tanpa
disadari. Neuropati otonom dapat
menyebabkan terjadinya anhidrosis
dan gangguan perfusi kaki.
Akibatnya kulit dapat menjadi
kering dan terbentuk fisura-fisura
Berdasarkan teori diabetic foot dan diabetes mellitus, pada pasien ini terdapat keluhan
berupa nyeri kaki kiri yang tidak sembuh, semakin hari semakin memberat, ada rasa
kebas sebelumnya, demam, dan pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak ± 6
bulan yang lalu tidak terkontrol. Hal ini sesuai dengan teori yaitu pasien diabetes
mellitus memiliki gejala kronik berupa rasa kebas dan rasa tebal dikulit, hal ini
menandakan saat awal terbentuk lecet pasien tidak menyadari. Pasien dengan
diabetes mellitus dapat mengalami komplikasi kronik yaitu diabetic foot, dengan
gambaran yang berbeda-beda sesuai klasifikasinya.
51
Pemeriksaan fisik
Kasus Teori
Tanda Vital Pemeriksaan fisik meliputi
TD: 140/80 mmHg (lengan kanan, pemeriksaan tanda vital untuk
berbaring) mengetahui ada tidaknya sepsis,
N: 98 x/menit regular, isi cukup, pemeriksaan sistematik organ untuk
kuat angkat, equal mencari komplikasi diabetes yang
RR: 20 x/menit lain (gangguan jantung atau infeksi
T: 36.8 0C (axila) paru), dan pemeriksaan ekstremitas,
Status Lokalis serta kondisi luka lokal.
Regio ekstremitas inferior Penentuan klasifikasi diabetic foot
sinistra berdasarkan pemeriksaan fisik:
Inspeksi Derajat Lesi
pus (+), oedema (+), hiperemi (-). Gangren yang terbatas pada
Regio maleolus medialis sinistra 4 sebagian kaki
tampak luka dengan ukuran ± 15
52
cm x 4 cm, bentuk tidak beraturan, Gangren yang luas meliputi
5 seluruh kaki
ulkus (+), pus (+), oedema (+),
hiperemi (-).
Palpasi
- Nyeri tekan (+), pulsasi arteri
poplitea sinistra (+), arteri
dorsalis pedis sinistra sulit
dievaluasi
Pemeriksaan penunjang
Kasus Teori
Hasil lab (6/7/17) Diagnosis DM dapat ditegakkan
Leukosit : 20.170/ µL melalui tiga cara :
Hb : 11,8 g/dL - Pemeriksaan glukosa plasma
Ht : 36.5% puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya
GDS : 242 mg/dL keluhan klasik.
Ur : 32,7 mg/dL - Pemeriksaan glukosa plasma ≥
Cr : 0,5 mg/dL 200 mg/dl 2 jam setelah Tes
Na : 136 mmol/L Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
K : 4,0 mmol/L dengan beban glukosa 75 gram.
Cl : 98 mmol/L - Pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan
Hasil lab (9/7/17) keluhan klasik.
GDS: 247 mg/dL Pada kasus diabetic foot perlu
HbA1c: 10,4 % dilakukan beberapa aspek
Albumin: 2,8 g/dL pengelolaan seperti kontrol infeksi
Total protein: 6,4 g/dL yaitu melihat dari ada tidaknya
Cholesterol: 133 mg/dL
53
Asam urat: 3,1 mg/dL infeksi berdasarkan hasil
Hasil GDS pagi (9-15 Juli 2017) : laboratorium, ditandai dengan ada
252, 245, 191, 232, 131, 142mg/dL tidaknya leukositosis. Selain itu
pemeriksaan laboratorium seperti
EKG : normal sinus takikardi GDS, albumin, lipid, dan lain-lain
dapat mempengaruhi kontrol
metaboliknya.
Hasil pemeriksaan penunjang sesuai dengan teori yang ada yaitu pada pasien ini
ditemukan peningkatan leukosit (leukositosis) yaitu 20.170/ µL, hasil ini dapat
menjadi tanda terjadinya infeksi pada pasien. Hasil GDS awal pasien 242 mg/dL,
yang diikuti pemeriksaan GDS setiap pagi hari, dan hasil HbA1c 10,4%, dapat
mengindikasikan adanya keadaan hiperglikemia (diabetes mellitus).
54
Penatalaksanaan
Fakta Teori
Planning: Terdapat 6 aspek yang termasuk
Cek GDP, GD2PP, HbA1c, asam
dalam pengelolaan kaki diabetes,
urat, profil lipid
Kultur pus yaitu kontrol metabolik, kontrol
Cek GDS per hari vaskular, kontrol infeksi, kontrol
Tx: luka, kontrol tekanan, dan
Bed rest (kontrol tekanan) penyuluhan.
Diet DM 2100 kkal (kontrol
metabolik) Kontrol metabolik berupa
IVFD Nacl 0.9% 14 tpm (kontrol pengendalian keadaan metabolik
metabolik)
Injeksi novorapid 6-6-6 u (kontrol seperti kadar glukosa darah, kadar
metabolik) lipid, albumin, hemoglobin, dan
Transfusi albumin 20% 100cc/hari
(kontrol metabolik) sebagainya.
Injeksi ceftriaxone 2x1 g (kontrol Kontrol infeksi berupa pemberian
infeksi)
antibiotik yang disesuaikan dengan
Metronidazole 3x500mg (kontrol
infeksi) hasil biasakan kuman dan
Injeksi santagesik 3x1 gr
resistensinya.
(simptomatik)
Injeksi ranitidine 2x1 gr (terapi Kontrol luka berupa pembuangan
simptomatik)
jaringan yang terinfeksi dan
Injeksi metoclopramide 3x1 gr
(terapi simptomatik) nekrosis secara teratur
Pro debridement (kontrol luka) (debridement).
Kontrol tekanan dengan cara
mengurangi tekanan pada kaki,
karena tekanan yang berulang
dapat menyebabkan ulkus,
sehingga harus dihindari.
Penyuluhan berupa edukasi
mengenai perawatan kaki secara
mandiri, edukasi dangat penting
55
untuk semua tahan pengelolaan
diabetic foot.
Sesuai dengan teori yang ada, pada pasien telah dilakukan pengelolaan yaitu
kontrol metabolik berupa pemberian obat antihiperglikemik suntikan, kontrol
infeksi berupa pemberian antibiotik, kontrol luka berupa pembuangan jaringan
(debridement), kontrol tekanan berupa pengurangan tekanan pada kaki (bed
rest), serta pemberian terapi simptomatik untuk mengurangi keluhan pasien.
Pada pasien tidak dilakukan kontrol vaskular seperti angioplasti karena tidak
ada data yang merujuk pada keadaan insufisiensi vaskular.
56
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Ny. T, 57 tahun datang dengan keluhan nyeri kaki sejak malam hari sebelum
masuk rumah sakit. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dijelaskan didalam teori didapatkan diagnosis pada pasien ini
adalah Ulkus pedis sinistra wagner II + DM tipe II. Secara umum, penegakan
diagnosis, alur penatalaksanaan telah sesuai dengan literatur yang ada.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap pengobatan dan perkembangan
penyakit pasien.
57
DAFTAR PUSTAKA
58
Ndraha, S. (2014, Agustus). Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini.
Medicinus , 27, pp. 9-16.
PERKENI. (2006). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia 2006. PERKENI.
PERKENI. (2011). Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI.
Priantono, D., & Sulistianingsih, D. P. (2014). Kaki Diabetik. In C. Tanto, F.
Liwang, S. Hanifati, & E. A. Pradipta, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-
4 (p. 792). Jakarta: Media Aesculapius.
Purwanti, O. (2013). Analisis Faktor-faktor Risiko Terjadi Ulkus Kaki pada Pasien
Diabetes Mellitus di RSUD DE. Moewardi. Universitas Indonesia. Depok:
Universitas Indonesia.
RNAO. (2011). Assesment and Management of Foot Ulcers for People with
Diabetes, Second Edition. Ontario, Ontario: RNAO.
Rudijanto, A., Yuwono, A., Shahab, A., Manaf, A., Pramono, B., Lindarto, D., et
al. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pengendalian Diabetes Melitus Tipe
2 di Indonesia 2015.
Suyono, S. (2015). Diabetes Melitus di Indonesia. In S. Setiati, I. Alwi, A. W.
Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, & A. F. Syam, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (pp. 2317-2329). Jakarta: InternaPublishing.
Waspadji, S. (2015). Kaki Diabetes. In S. Setiati, I. Alwi, A. Sudoyo, M.
Simadibrata K, B. Setiyohadi, & A. F. Syam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
(p. 2369). Jakarta: InternaPublishing.
World Diabetes Foundation. (2009). Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
World Health Organization. (2017, November). Diabetes Mellitus. Retrieved
Februari 2018, from http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/
59