Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH: MELURUSKAN PEMAHAMAN HABIB RIZIEQ SHIHAB

Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah dan mengikuti
Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di
samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang
mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa’ (orang
asing).1

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun, karena mereka mengikuti manhaj Salafush
Shalih dari Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka
serta berjalan berdasarkan manhaj mereka –di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena
dinisbatkan kepada Salaf.2

Penamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah ada pada generasi pertama umat Islam pada kurun yang
dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in.3

Allah Ta’ala berfirman:

ََ َ‫ت َ ْكفُ ُرونََ ُك ْنت َُْم ِب َما ْال َعذ‬


َ‫اب فَذُوقُوا ِإي َما ِن ُك َْم َب ْع ََد أ َ َكف َْرت َُْم ُو ُجو ُه ُه َْم اس َْودَّتَْ الَّذِينََ فَأ َ َّما ُو ُجوهَ َوتَس َْودَ ُو ُجوهَ ت َ ْب َيضَ َي ْو َم‬

“Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-
orang yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan): ‘Mengapa kamu kafir setelah
beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” (QS. Ali Imran: 106).

‫تعالى وقوله‬: { ‫يعني } ُو ُجوهَ َوتَس َْودَ ُو ُجوهَ ت َ ْبيَضَ يَ ْو ََم‬: ‫القيامة يوم‬، ‫والجماعة السنة أهل وجوه تبيض حين‬، َ‫عة أهل وجوه وتسود‬
َ ‫البِ ْد‬
‫والفرقة‬، ‫عباس ابن قاله‬، ‫عنهما هللا رضي‬4

Ibnu Abbas berkata, “Yakni pada hari kiamat, ketika menjadi putih wajah-wajah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Dan menjadi hitam wajah-wajah ahlul bid’ah dan perpecahan.”5

Kemudian penggunaan istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama, di antaranya:
Ayyub as-Sikhtiyani (wafat th. 131 H), ia berkata, “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya
seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”6

Sufyan ats-Tsaury (wafat th. 161 H) berkata, “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada
Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.”7

Fudhail bin Iyadh (wafat th. 187 H) berkata, “… Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan,
perkataan, dan perbuatan.”8

Imam Ahmad bin Hanbal (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-
Sunnah, “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal
sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu
‘anhum, dari semenjak zaman para Sahabat hingga pada masa sekarang ini…”9

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H), “… Adapun yang benar dari perkataan tentang
keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama
yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.”10

Faedah: Kami sengaja mencantumkan tahun hidup dan wafat ulama. Dan ini adalah kebiasaan
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas (semoga Allah menjaganya) dalam tulisannya. Dengan
mencantumkan tahun hidup dan wafat ulama akan diketahui orang yang berbohong dalam sejarah.
Akan diketahui juga orang-orang yang dijangkiti kebodohan dalam masalah sejarah -khususnya
sejarah istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah-.

Dengan penjelasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di
kalangan Salaf (generasi awal umat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan
istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan
tentang Aqidah Ahlus Sunnah agar umat faham tentang aqidah yang benar dan untuk membedakan
antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama
kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah muncul pada abad ke-3 dan ke-4
Hijriyyah.11

Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah, karena beberapa
perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:

Golongan Asy’ariyyah menta’wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-
sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa, wajah,
tangan, al-Qur’an Kalamullah, dan lainnya.
Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama Ahlus Sunnah
justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-Syafi’i ketika mencela ilmu kalam.

Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah, mereka
menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka.12

Sekilas tentang Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

Asy’ariyyah.

Mereka adalah pengikut Abul Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (wafat th. 324 H). Sebelumnya beliau
menganut pemahaman Mu’tazilah selama 40 tahun, kemudian berpindah kepada paham Kullabiyyah
yang menetapkan sebagian sifat-sifat Allah dan mentakwil sebagian yang lain. Setelah itu menjelang
akhir hayatnya beliau kembali kepada pemahaman Salaf dan menulis kitab al-Ibanah dan Maqalaatul
Islamiyyin. Dikedua kitab tersebut beliau menyebutkan bahwa beliau mengikuti pendapat Imam
Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal, dan pendapatnya mengikuti semua pendapat Imam Ahmad.
Namun sayang para pengikutnya mengambil pemahaman beliau ketika menganut paham Kullabiyah
dan menisbatkan pemahaman tersebut kepada beliau, sehingga mereka menamakan diri mereka
dengan al-Asyaa’irah atau al-Asy’ariyyah. Sedangkan beliau sendiri berlepas diri dari mereka.13

Maturidiyyah.

Mereka dinisbatkan kepada Abu Manshur al-Maturidi as-Samarkand (wafat th. 332 H), imam
mereka. Di antara pendapat bid’ah mereka adalah:

Mereka menafikan sifat fi’liyyah bagi Allah. Sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Menafikan keyakinan bahwa kaum mukminin melihat Allah pada hari kiamat. Padahal keyakinan
yang benar (keyakinan ahlus sunnah) adalah orang mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb (Allah) kalian, sebagaimana kalian
melihat bulan pada malam bulan purnama, kalian tidak terhalang (tidak berdesak-desakan) ketika
melihat-Nya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).14

Mengingkari sebagian besar sifat-sifat Allah Ta’ala. Dan lain-lain.15

BANTAHAN KEPADA HABIB RIZIEQ SHIHAB.

Habib Rizieq berkata:

Apalagi umat Islam dari kalangan Asy’ari dan Maturidi yang sudah 1200 tahun lebih secara
representatif mewakili Ahlussunnah wal Jama’ah.
1000 tahun lebih yang disebut Ahlussunnah itu adalah Asy’ari dan Maturidi.

Bantahan.

Kelirulah Habib Rizieq yang mengatakan Asy’ari (Asy’ariyyah) dan Maturidi mewakili Ahlus Sunnah
wal Jama’ah. Karena yang mewakili Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah para Sahabat Rasulullah,
Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, para ulama dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Asy’ariyyah dan Maturidi tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah karena terdapat perbedaan
antara Asy’ariyyah dan Maturidi dengan Ahlus Sunnah.

Wal hasil Asy’ari dan Maturidi bukan wakil Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena Asy-‘ari dan Maturidi
berbeda/tidak sama dengan Ahlus Sunnah. Bagaimana mungkin suatu yang berbeda dikatakan sama.

Apalagi istilah Ahlus Sunnah wal jama’ah telah dikenal jauh sebelum timbul pemahaman Asy’ariyyah
dan Maturidiyyah. Pahamilah wahai Saudaraku!

Istilah Ahlus Sunnah telah dikenal pada masa Ibnu Abbas yang lahir tiga tahun sebelum hijrah dan
meninggal dunia tahun 68 H. Jauh sebelum masa Abul Hasan al-Asy’ari (wafat 324 H) dan jauh
sebelum masa Abu Manshur al-Maturidi (wafat 332 H).

(Bersambung, Insya Allah).

Disusun oleh Abu Aslam bin Syahmir bin Marbawi.

Footnote:

Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
halaman 38.

Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 35.

Lihat buku “Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, halaman 19. Lihat juga buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” karya Ustadz Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, halaman 41.
Lihat Maktabah Syamilah, Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Ma’idah ayat 106.

Tafsiir Ibni Katsiir (II/92, cet. Daar Thayyibah) dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah
(I/79, no. 74). Lihat buku “Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 20. Lihat juga
buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 42.

Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 42.

Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/71, no. 49 dan 50). Lihat buku “Syarah Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 42.

Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 42.

Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 43.

Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 43.

Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 43-44.

Lihat pembahasan tentang berbagai perbedaan pokok antara Ahlus Sunnah dengan Asy’ariyyah
dalam kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah wa Manhajil Asyaa’irah fii Tauhiidillahi Ta’aalaa oleh
Khalid bin Abdil Lathif bin Muhammad Nur dalam 2 jilid, cet. I/Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyyah,
th. 1416 H. Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 44.

Al-Milal wan Nihal (hal. 94-103), Wasathiyyah Ahlus Sunnah bainal Firaq (hal. 297-299), dan
Mu’jamul Bida’ (hal. 53). Lihat buku “Mulia dengan Manhaj Salaf” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, halaman 519-520.

HR. Al-Bukhari (no. 554) dan Muslim (no. 633 (211)). Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah” halaman 218.

Al-Maaturidiyyah Diraasatan wa Taqwiiman, karya Awadullah bin Dakhil al-Luhaibi al-Harbi, dan
Mu’jamul Bida’ (hal 474). Lihat buku “Mulia dengan Manhaj Salaf” karya Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, halaman 521.

Anda mungkin juga menyukai