Anda di halaman 1dari 34

1.

Pokok Bahasan
1.1. Prinsi-prinsip Kaidah Agama

2. Sub Pokok Bahasan


2.1. Falsafah Agama
2.2. Fungsi Agama bagi kehidupan (Hubungan manusia dengan agama).
2.3. Prinsip-prinsip Kehidupan.
2.4. Manusia dan alam semesta
2.5. Agama dan Iptek
2.6. Sumber Ajaran Agama dan ruang lingkupnya
2.6.1. Sumber Ajaran Agama Samawi.
2.6.2. Sumber Ajaran Agama Ardhi.
2.1 FALSAFAH AGAMA

Kaidah Agama
Kaidah atau norma adalah pedoman atau ukuran berperilaku atau
bersikap dalam kehidupan bermasyarakat. Ada kaidah kepercayaan/agama,
kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan/adat dan kaidah hukum. Kaidah
kepercayaan/agama menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
yang didasarkan pada ajaran agama berupa perintah dan larangan serta
bertujuan untuk menyempurnakan hidup di dunia. Kaidah kesusilaan
berhubungan dengan manusia sebagai makhluk individu, berasal dari manusia
juga dan bertujuan untuk menjaga akhlak pribadi. Kaidah kesopanan
ukurannya kebiasaan, kepatutan atau kepantasan dan mempunyai tujuan untuk
pencapaian ketertiban masyarakat.
Kaidah Agama mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan yang
menjadi kepercayaannya, bisa berupa Larangan dan Anjuran bagi
pemeluknya.
Kaidah kesusilaan bersumber dari hati mengatur hubungan manusia dalam
hidup sosial agar manusia itu bersusila sesuai dengan tingkah laku yang
diinginkan masyarakat.
Kaidah Kesopanan mengatur hubungan manusia dengan manusia agar
tingkah laku manusia itu teratur dalam hubungan.sosial di masyarakat
Kaidah Hukum berasal dari hukum positif yang ada di suatu negara.
Hukum ini bersifat memaksa bagi semua individu yang tercakup dalam
negara, dan hukum dikenalkan pada masyarakat umum melalui sosialisasi
terhadap hukum itu.
Hubungannya sangat erat kaitannya yaitu Kaidah Hukum itu sebagai
"Pusat" daripada kaidah lainnya, dan kaidah lainnya termasuk kedalam
pemicu terciptanya kaidah hukum. Misalnya: Kalau ada orang yang melanggar
salah satu diantara 4 kaidah yang Anda sebutkan, pasti dia akan berhubungan
juga dengan Kaidah Hukum yang ada di negaranya, berupa sanksi-sanksi yang
tegas dan hukuman kurungan penjara. Lalu bagaimana jika norma agama? Dia
akan menerima balasan perbuatannya di akhirat, disamping itu juga dia kena
hukuman penjara "kalo terbukti bersalah".

Pengertian Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta, “a” yang berarti tidak dan
“gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam
kehidupan manusia. Ternyata agama memang mempunyai sifat seperti itu.
Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia.
Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti
hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu
direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-
gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan
kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul
dalam kitab suci yang harus dibaca..
Selain itu dalam al-Qur’an terdapat kata din yang menunjukkan
pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan
dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Qur’an menyebut kata din ada
menunjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata
dain diartikan dengan utang.
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa Agama ialah kepercayaan
kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk
ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin
tertentu. Karena dalam definisi yang dikemukakan di atas terlihat kepercayaan
yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba
mengemukakan definisi Agama Islam, yaitu : kepercayaan kepada Allah
SWT yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk
taqwa berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari
pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diridhoi Allah
ialah sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia
tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berbagai aspek
kehidupan, termasuk aqidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang
disyari`atkan Allah untuk manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk agama, yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan
kekuatan ghaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan
yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan kepada sesuatu ikatan ghaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan ghaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal
dari suatu kekuatan ghaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
seorang Rasul.

Pengertian Filsafat
Filsafat adalah berpikir dan merasa sedalam-dalamnya terhadap segala
sesuatu sampai kepada inti persoalan. Filsafat berasal dari kata Yunani yang
tersusun dari dua kata yaitu philos dan Sophia. Philos berarti senang, gemar
atau cinta, sedangkan Sophia dapat diartikan sebagai kebijaksanaan. Dengan
begitu filsafat dapat diartikan sebagai suatu kecintaan kepada kebijaksanaan.
Kata lain dari filsafat adalah hakikat dan hikmah, jadi kalau ada orang
yang mengatakan, “Apa hikmah dari semuanya ini?”, berarti mencari latar
belakang terdalam kejadian sesuatu dengan kajian secara filsafati, yaitu apa,
bagaimana dan mengapa sesuatu itu terjadi, yang dalam filsafat disebut dengan
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Menurut kesimpulan Prof. Hamka, bahwa akhir filsafat itu tidak lain
daripada mengumpulkan berbagai-bagai bentuk pikiran, hanya tentang dua
soal, yaitu: ada atau tidak ada. Belum dapat filsafat itu mengemukakan soal
lain, yang ketiga, yang diluar daripada ada dan tidak ada. Dan itupun tidak
mungkin. Itu sebabnya maka bagaimanapun kemajuan filsafat, dia hanya dapat
memperkembangkan pada kedua soal itu saja. Atau memisah-misahkan soal-
soal yang timbul dari pokok filsafat, lalu dijadikan ilmu yang tersendiri, dan
dihentikan pembicaraan dari hal Yang Ada atau Tidak Ada. Dan berhenti
membicarakan bukanlah artinya bahwa soal ”ada tidak ada” tidak ada lagi.
(Hamka, Pelajaran Agama Islam, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1984: 7)

Filsafat Agama
Filsafat Agama adalah filsafat yang membuat agama menjadi objek
pemikirannya.
Dalam hal ini, filsafat agama dibedakan dari beberapa ilmu yang juga
mempelajari agama, seperti antropologi budaya, sosiologi agama dan
psikologi agama. Kekhasan ilmu-ilmu itu adalah bahwa mereka bersifat
deskriptif.
Antropologi budaya meneliti pola kehidupan sebuah masyarakat dan
kerangka spiritual hidup. Dalam rangka itu, bentuk-bentuk penghayatan
agama dalam masyarakat itu diteliti. Antropologi mengamati dan berusaha
ikut menghayati bagaimana masyarakat yang diteliti menghayati Yang Ilahi.
Antropologi adalah ilmu deskriptif. la tidak menilai apakah penghayatan itu
baik atau buruk dan tidak berusaha untuk mengubah penghayatan itu,
melainkan berusaha untuk memahami apa yang merupakan kenyataan
keagamaan dalam masyarakat.
Sosiologi agama meneliti hubungan timbal balik antara agama dan
masyarakat, khususnya pengaruh agama terhadap kelakuan manusia dalam
masyarakat. Sosiologi agama dapat memberi petunjuk yang berharga untuk
mengetahui, apa sebenarnya kedudukan agama dalam sebuah masyarakat,
apakah agama itu masih berpengaruh, apakah masyarakat masih mentaatinya,
apakah sikap-sikap masyarakat masih dipengaruhi oleh agama.
Psikologi agama meneliti hakekat, bentuk-bentuk dan perkembangan
pengalaman religius pada individu-individu dan kelompok-kelompok.
Psikologi agama meneliti perasaan religius dalam hati, pertobatan, semangat
kenabian, dan perbedaan penghayatan keagamaan dalam masyarakat-
masyarakat sederhana dan dalam kebudayaan-kebudayaan tinggi. Segala
bentuk penghayatan keagamaan serta fungsinya dalam perkembangan
kepribadian diselidiki.
Berbeda dengan ilmu-ilmu deskriptif, filsafat agama mendekati agama
secara menyeluruh. Filsafat agama mengembangkan logika, teori pengetahuan
dan metafisika agama. Filsafat agama dapat dijalankan oleh orang-orang
beragama sendiri yang ingin memahami dengan lebih mendalam arti, makna
dan segi-segi hakiki agama-agama. Ada juga filsafat agama yang reduktif
(mau mengembalikan agama kepada salah satu kebutuhan manusia dengan
menghilangkan unsur transendensi), kritis (mau menunjukkan agama sebagai
bentuk penyelewengan dan kemunduran) dan anti agama (mau menunjukkan
bahwa agama adalah tipuan belaka).
Reduktif misalnya filsafat Immanuel Kant (salah seorang filosof
terbesar zaman modern, penganut kristen protestan yang alim) yang mau
mengembalikan peran agama sebagai penunjang moralitas manusia. Reduktif-
kritis adalah teori Durkheim yang melihat agama sebagai jaminan kekokohan
kesatuan sebuah masyarakat. Kritis, reduktif dan anti agama misalnya filsafat
Feuerbach yang mereduksikan agama pada usaha keliru manusia untuk
merealisasikan diri; Marx yang melihat agama sebagai pelarian orang yang
tertindas, dan Freud yang memahami agama sebagai gejala neurotik.

2.2 FUNGSI AGAMA BAGI KEHIDUPAN

Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam
kehidupan manusia, antara lain adalah :
1. Karena agama merupakan sumber moral
2. Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
3. Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika
4. Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala
suka, maupun di kala duka.
1. Agama, sumber moral
Manusia sangatlah memerlukan akhlak atau moral, karena moral sangatlah
penting dalam kehidupan.
Moral adalah mustika hidup yang membedakan manusia dari hewan.
Manusia tanpa moral pada hakikatnya adalah binatang. Dan manusia yang
membinatang ini sangatlah berbahaya. Ia akan lebih jahat dan lebih buas
dari pada binatang buas itu sendiri.
Tanpa moral, kehidupan akan kacau balau, tidak saja kehidupan
perseorangan tetapi juga kehidupan masyarakat dan negara, sebab baik
buruk atau halal haram tidak lagi diperdulikan orang. Dan kalau halal
haram tidak lagi dihiraukan, ini namanya sudah Machiavellisme.
Machiavellisme adalah doktrin Machiavelli “tujuan menghalalkan segala
cara”. Kalau betul ini yang tarjadi, bisa saja kemudian bangsa dan negara
hancur binasa.
Ahmad Syauqi (penyair arab, hidup 1868 – 1932) berkata, bahwa
Tetapi agama sebagai sumber moral tidak hanya karena agama
mengajarkan iman kepada Tuhan dan kehidupan akhirat, melainkan juga
karena adanya perintah dan adanya larangan dalam agama. Agama
sesungguhnya adalah himpunan perintah dan larangan Tuhan. Adalah
kewajiban manusia untuk taat terhadap semua perintah dan larangan
Tuhan ini. Dari sinilah kemudian juga lahir moral, sebab apa yang
diperintahkan oleh Tuhan selalu yang baik-baik dan apa yang dilarang-
Nya selalu yang buruk-buruk.
2. Agama, petunjuk kebenaran
Manusia adalah makhluk berakal, bahkan juga makhluk tukang bertanya.
Apa saja dipertanyakan oleh manusia dengan akalnya, untuk diketahui.
Kemudian dari akal lahirlah ilmu dan filsafat. Dengan ilmu dan filsafat ini
mungkin besarlah keinginan manusia untuk mengetahui segala sesuatu dan
makin besar kemampuannya untuk itu.
Sekarang, bagaimana manusia mesti mencapai kebenaran ? Sebagai
jawaban atas pertanyaan ini Allah SWT telah mengutus Nabi-nabi dan
Rasul-rasul di berbagai masa dan tempat, sejak Nabi pertama yaitu Adam
sampai dengan Nabi terakhir yaitu Muhammad SAW. Nabi-nabi dan
Rasul-rasul ini diberi-Nya wahyu atau agama untuk disampaikan kepada
manusia. Wahyu atau agama inilah agama Islam, dan inilah pula
sesungguhnya kebenaran yang dicari-cari oleh manusia sejak dahulu kala,
yaitu kebenaran yang mutlak dan universal. Tinggallah kewajiban manusia
untuk beriman dan patuh terhadap agama kebenaran ini.
“Agama sesungguhnya bagaikan satu gedung besar perpustakaan
kebenaran. Masukilah gedung itu dengan membuka pintunya. Tetapi
hanya dengan anak kunci istimewa pintu gedung itu dapat dibuka, yaitu
anak kunci yang bernama: iman”.
Firman Allah menyebutkan,
“Sesungguhnya telah kami turunkan al-Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, agar kamu memberi kepastian hukum di antara manusia
dengan apa yang telah di tunjukkan oleh Allah kepadamu”. (QS al-Nisaa’
:105)
Dan firman-Nya pula,
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali
kamu termasuk orang-orang yan ragu”. (QS al-Baqarah :147).
3. Agama, sumber informasi metafisika
Lebih dari itu, bahkan rahasia metafisika juga termasuk hal yang ingin
di singkap oleh manusia. Padahal masalah metafisika ialah masalah ghaib-
ghaib seperti hidup sesudah mati (akhirat), Tuhan, sorga, neraka, atau hal-
hal lain yang dibalik alam nyata ini. Misalnya persoalan, kalau nyawa
bercerai dari badan, kemana gerangan sang nyawa itu pergi ? Lelakon apa
kira-kira yang bakal di alaminya ? Bagaimana sebenarnya keadaan alam
akhirat yang serba ghaib itu? Masalah-masalah pelik penuh misteri ini
ingin di ketahui oleh manusia.
Firman Allah SWT,
”Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah". (QS al-Naml : 65)
4. Agama, bimbingan rohani bagi manusia, di kala suka dan duka
Hidup manusia di dunia yang fana ini kadang-kadang juga duka.
Maklumlah dunia bukanlah sorga, tetapi juga bukan neraka. Jika dunia itu
neraka tentulah hanya penderitaan yang terjadi. Kenyataan menunjukkan,
bahwa kehidupan dunia adalah rangkaian dari suka dan duka yang silih
berganti.
Firman Allah SWT,
”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada
kamilah kamu dikembalikan”. (QS al-Anbiya’: 35)
Hendaknya orang beriman bersyukur kepada Allah pada waktu
memperoleh sesuatu yang menggembirakan, dan tabah atau sabar pada
waktu ditimpa sesuatu yang menyedihkan. Bersyukur dikala suka dan
sabar dikala duka inilah sikap mental yang hendaknya selalu dimiliki oleh
orang beriman. Dengan begitu orang beriman selalu setabil, tidak ada
goncangan-goncangan, bahkan tentram dan bahagia. Inilah hal yang
menakjubkan dari orang beriman seperti yang dikatakan oleh Nabi.
Keadaan hidupnya seluruhnya serba baik.

Fungsi Agama Kepada Manusia


Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah
disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk
menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama
mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang diuraikan di bawah ini :
a. Memberi pandangan dunia kepada satu-satunya budaya manusia.
Agama dikatakan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia
senantiasa memberi penerangan mengenai dunia (sebagai satu keseluruhan),
dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi perkara ini
sebenarnya sukar dicapai melalui indera manusia, melainkan sedikit
penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan
kepada umatnya bahwa dunia adalah ciptaan Allah SWT dan setiap manusia
harus mentaati Allah SWT.
b. Menjawab berbagai persoalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah persoalan yang senantiasa ditanya oleh manusia merupakan
persoalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya
persoalan kehidupan selepas mati, matlamat menarik dan untuk
menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab
persoalan-persoalan ini.
c. Memberi rasa kecintaan kepada suatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukan kelompok manusia. Ini
adalah karena sistem agama menimbulkan keseragaman bukan saja
kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai
yang sama.
d. Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyarankan kepada kebaikan. Dalam
ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kode etik yang wajib
dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi
kawanan sosial.

Fungsi Sosial Agama


Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh
yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan
pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan
memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu
agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.

1. Fungsi Integratif Agama


Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti
peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara
anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-
kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini
dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial
didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama
menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.

2. Fungsi Disintegratif Agama


Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang
mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat,
pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai
kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan
menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan
konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok
pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan
menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain

2.3 PRINSIP AGAMA BAGI KEHIDUPAN

Pada dasarnya prinsip-prinsip kehidupan dalam beragama secara global


dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) prinsip utama, yaitu: Pertama, Selalu
merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits dalam menjalani kehidupan ini.
Kedua, Peningkatan iman, ibadah dan mujahadah.
Prinsip Pertama : Merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits
“Al-Quran dan Sunah yang suci merupakan rujukan setiap Muslim dalam
mengetahui hukum-hukum Islam”.
Al-Qur’an asalnya adalah bentuk mashdar dari kata kerja Qara-a. Allah SWT
berfirman,
“Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu”
(QS al-Qiyamah: 18), seperti lafadz kufran dan rujhan. Adapun artinya adalah
himpunan. Disebut Qur’an karena ia menghimpun dan memuat surat-surat.
Adapun al-Sunnah, makna asalnya adalah cara dan perjalanan hidup.
Termasuk menerangkan makna ini, sabda Nabi SAW, Barangsiapa menjalani
suatu cara hidup yang bak dalam Islam, maka ia memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengamalkannya.
Prinsip Kedua : Peningkatan Iman, Ibadah dan Mujahadah
“Iman yang tulus, ibadah yang benar dan mujahadah akan membuahkan
cahaya dan kelezatan yang Allah percikkan ke dalam hati siapa saja yang la
kehendaki. Akan tetapi ilham, lintasan hati, kasyaf, dan mimpi tidak termasuk
dalil-dalil syar’i dan tidak pula diperhitungkan (dianggap), kecuali dengan
syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya”.
Iman yang benar berarti mengikrarkan dengan lisan, membenarkan
dengan hati, dan beramal dengan anggota badan. Imam Syafi’i dalam kitabnya
al-Umm berkata, “Kesepakatan para sahabat, tabi’in, dan generasi sesudah
mereka yang kami ketahui, mengatakan bahwa iman adalah ucapan,
perbuatan, dan niat, salah satu di antara ketiganya tidak mencukupi kecuali
dengan yang lain”. Imam Ahmad berkata, “Karena itu, menurut ahlussunah
ungkapan yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan
termasuk syiar-syiar Sunah”.
2.4 MANUSIA DAN ALAM SEMESTA
Pemahaman manusia tentang alam semesta mempergunakan seluruh
pengetahuan di bumi, berbagai prinsip-prinsip, kepercayaan umum dalam sains
(seperti ketidakpastian Heisenberg tentang pengukuran simultan dimensi ruang
dan waktu), serta berbagai aturan untuk keperluan praktis. Melalui sebuah
kerangka besar gagasan yang menghubungkan berbagai fenomena (teori
relativitas umum, teori kinetik materi, teori relativitas khusus) coba dikemukakan
satu penjelasan. Berbagai hipotesa, gagasan awal atau tentatif dikemukakan untuk
menjelaskan fenomena. Tentu gagasan tersebut masih perlu diuji kebenarannya
untuk dapat dikatakan sebuah hukum.
Dunia fisika membahas konsep energi, hukum konservasi, konsep gerak
gelombang, dan konsep medan. Pembahasan Mekanika pun sangat luas, dari
Mekanika klasik ke Mekanika Kuantum Relativistik. Mekanika Kuantum
Relativistik mengakomodasi pemecahan persoalan mekanika semua benda,
Mekanika kuantum melayani persoalan mekanika untuk semua massa yang
kecepatannya kurang dari kecepatan cahaya. Mekanika Relativistik memecahkan
persoalan mekanika massa yang lebih besar dari 10-27 kg dan bagi semua
kecepatan. Mekanika Newton (disebut juga mekanika klasik) menjelaskan
fenomena benda yang relatif besar, dengan kecepatan relatif rendah, tapi juga bisa
dipergunakan sebagai pendekatan fenomena benda mikroskopik.
Demikianlah, metode sains mencoba dengan lebih cermat menerangkan
realitas alam semesta yang berisi banyak sekali benda langit (dan lebih banyak
lagi yang belum ditemukan).
Pengetahuan tentang luas alam semesta dibatasi oleh keberadaan objek
berdaya besar, seperti Quasar atau inti galaksi, sebagai penuntun tepi alam
semesta yang bisa diamati; selain itu juga dibatasi oleh kecepatan cahaya dan usia
alam semesta (15 miliar tahun). Itulah sebabnya ruang alam semesta yang pernah
diamati manusia berdimensi 15-20 miliar tahun cahaya.
Berbicara tentang daya objek, dalam kehidupan sehari-hari ada lampu
penerangan berdaya 10 watt, 75 watt dan sebagainya; sedangkan Matahari
berdaya 1026 watt dan berjarak satu sa* dari Bumi, menghangatinya. Jika kita
lihat, lampu-lampu Pemahaman manusia tentang alam semesta mempergunakan
seluruh pengetahuan di bumi, berbagai prinsip-prinsip, kepercayaan umum dalam
sains (seperti ketidakpastian Heisenberg tentang pengukuran simultan dimensi
ruang dan waktu), serta berbagai aturan untuk keperluan praktis. Melalui sebuah
kerangka besar gagasan yang menghubungkan berbagai fenomena (teori
relativitas umum, teori kinetik materi, teori relativitas khusus) coba dikemukakan
satu penjelasan. Berbagai hipotesa, gagasan awal atau tentatif dikemukakan untuk
menjelaskan fenomena. Tentu gagasan tersebut masih perlu diuji kebenarannya
untuk dapat dikatakan sebuah hukum.
Mekanika statistik (kuantum klasik) adalah suatu teknik statistik untuk
interaksi benda dalam jumlah besar untuk menjelaskan fenomena yang besar, teori
kinetik dan termodinamik. Dalam penjelajahan akal manusia di dunia
elektromagnet dikenal persamaan Maxwell untuk mendeskripsikan kelakuan
medan elektromagnet, juga teori tentang hubungan cahaya dan elektromagnet.
Dalam pembahasan interaksi partikel, ada prinsip larangan Pauli, interaksi
gravitasi, dan interaksi elektromagnet. Medan menyebabkan gaya; medan-
gravitasi menyebabkan gaya gravitasi, medan-listrik menyebabkan gaya listrik
dan sebagainya. Demikianlah, metode sains mencoba dengan lebih cermat
menerangkan realitas alam semesta yang berisi banyak sekali benda langit (dan
lebih banyak lagi yang belum ditemukan).

2.5 AGAMA DAN IPTEK

Perkembangan Iptek yang begitu mengagumkan,ternyata mampu


menyentuh masalah penciptaan, suatu masalah yang sebelumnya bukan
merupakan kajian ilmu pengetahuan. Pada waktu ilmu pengetahuan masih
menggunakan teori Newtonian, masalah penciptaan sama sekali tidak pernah
disinggung. Ilmu pengetahuan pada waktu itu menyatakan bahwa, alam atau
universe itu kekal dan ada dengan sendirinya, tidak terbatas dan tidak akan
hancur.
Sedang astrofisika yang lahir dari paradigma probabilistic justru
menyatakan bahwa, jagad raya itu ada saat awalnya yang di sebut penciptaan, ada
saat kejadiannya, dan alam semestinya akan mengalami akhir pula yang
diperkirakan seratus milyard tahun mendatang. Demikian pula dengan
ditemukannya ilmu biologi mokuler, ilmu pengetahuan yang mampu berbicara
tentang nasib, sesuatu yang dahulunya merupakan monopoli bidang keagamaan.
Contoh yang lain adalah tentang dunia lain, yang merupakan kajian keagamaan.
Dengan adanya Ilmu Fisika Kuantum, adanya dunia lain tersebut sudah
mulai dapat dikuak oleh ilmu pengetahuan. Perhitunga fisika kuantum
menjelaskan adanya dimensi ruang-waktu yang lain selain dimensi ruang-waktu
kita. Menurutnya, terdapat tujuh dimensi ruang-waktu yang lain selain dimensi
ruang-waktu yang lain selain ruang-waktu yang kita diami. Kita ini sekarang
berada pada dimensi ruang-waktu yang dikenal jagad raya dan seisinya. Dan
dunia di sini bukanlah planet, tapi dunia yang dimaksudkan adalah bumi ini serta
universe.
Contoh-contoh diatas merupakan contoh-contoh yang sangat dekat dengan
pandangan keagamaan dan lebih-lebih lagi agama islam. Maka tak aneh, jika dua
orang yang masing-masingpakar dalm fisika inti, Prof. Abdulsalam yang
memenangkan hadiah Nobel Fisika tahun 1979 dan Prof. Ahmad Baiquni, sangat
tertarik untuk menggunakan temuan-temuan baru di bidang Astrofisika, fisika
kuantum bahkan biologi mokuler untuk menafsirkan ayai-ayat Qur’aniyah yang
berkenaan dengan penciptaan alam semesta maupun yang berkenaan dengan ayat-
ayat kauniyah lain yang terdapat di dalam al-qur’an.
Big-bang theory yang menyatakan bahwa sebelum terjadinya dentuman
besar ruang alam dan waktu adalah satu, berupa singularitas, maka menurut
Baiquni ini sesuai dengan pernyataan di dalam ayat 30 surat al- anbiya’ yang
menyatakan:
“Dan tidaklah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa sama’(langit yang berarti
ruang alam) dan ardh(bumu, materi, alam)itu dahulunya sesuatu yang padu,
kemudian kami pisahkan keduanya”
Adanya tujuh dimensi ruang-waktu yang lain, seperti yang dijelaskan melalui
perhitungan fisika kuantum, hal ini pun telah disinggung oleh al-qur’an didalam
surat al-thalaq ayat 12:
“Allah yang telah menciptakan tujuh langit (sama’) dan (ardl)seperti itu pula”
Itulah dintara dimensi-dimensi yang telah bisa dikuak dengan pendekatan
paradigma pribabilita. Lalu, apakah paradigma probabilita itu bisa punah? Tidak.
Hal ini karena masing-masing paradigma saling melengkapi, paradigma
probabilita tidak bisa meninggalkan semuanya dari paradigma mekanistik –
ditermistik. Tetapi untuk masalah –masalah yang sangat krusial yang menyangkut
dunia-dunia yang paling halus itu pasti dengan probabilita. Hal ini disebabkan,
probabilistic-relatifistik yang paling dekat dengan ketuhan-an. Meskipun
demikian masih terdapat keraguan, jika dengan ilmu pengetahuan kita mampu
membuktikan tuhan. Akan sangat berat untuk membuktikan tuhan. Membuktikan
ciptaan tuhan yang namanya universe saja membutuhkan evolusi yang begitu
lama, dan itu pun belum tuntas. Hal ini sama dengan komputer untuk
membuktikan adanya manusia. Sehingga wajar bila kebebasan otak manusia itu
akan terbentur kalau kita sudah membicarakan masalah-masalah ketuhanan.
Sehubungan dengan manusia, sebetulnya ilmu pengetahuan sejak
paradigma Newtonian telah banyak menyorotinya. Namun masih terbatas dalam
arti manusia sebagai body. Stuktur manusia masih dipelajari dalam anatomi,
proses kejadian metabolisme dipelajari dalam fisiologi. Bagian-bagian dari
manusia yang dikatakan nyawa ataupun kata hati tidak sampai jangkauan ilmu
pengetahuan. Apakah ilmu pengetahuan dan teknologi dengan paradigma yang
baru itu akan sampai kesana? Jawabnya wallahu a’lam. Tetapi bahwa fisika
kuantum sekarang sudah menjangkau masalah-masalah yang metafisis. Materi
yang paling kecil yang kita kenal sebagai atom ternyata masih bisa di belah
menjadi proton dan electron; masih bisa dibelah lagi menjadi quark, masih bisa
lagi dibelah kecil, kecil, kecil. Yang akhirnya ada suatu materi yang masanya atau
beratnya itu adalah 0,001 atau praktis nol. Dan materi dengan masa yang sekecil
itulah yang memungkinkan kita bisa melihat apa saja, tapi bisa dideteksi
tentangnya dengan alat tertentu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi saat ini sudah mulai bersinggungan dengan masalah-masalah yang
sebelumnya merupakan aras keagamaan. Hal tersebut seharusnya menarik
perhatian para ulama atau peminat keagamaan. Mengapa demikian? Karena
temuan-temuan ilmiah baru itu sangat mencocoki dengan pernyataan-pernyatan
Qur’aniah dan, oleh karena itu, dapat ikut membantu dalam memahami ayat-ayat
Qur’aniah,yang sebelumnya belum ditafsirkan dengan tepat. Hal ini bukan suatu
langkah untuk mencocok-cocokan ataupun apologetik, tetapi kita lihat. Tetapi
untuk menyakinkan kita akan kebenaran yang terdapat didalam al-qur’an. Dan
juga sebagai pengendali dari perkembangan iptek yang begitu pesat, sehingga
akan didapatkan perkembangan iptek yang terikat oleh nilai-nilai etik agama, yang
akhirnya tidak akan terdapat penyelewengan ilmu.
2.6 SUMBER AJARAN AGAMA DAN RUANG LINGKUPNYA

Agama Wahyu dan Agama Budaya


Dilihat dari asal atau sumbernya, dapat dibedakan antara Agama Wahyu
dan Agama Budaya.
Agama Wahyu disebut juga Agama Samawi, Agama Langit, Agama
Profetis, Revealed Religion. Agama Budaya disebut juga Agama Ardhi,
Agama Bumi, Agama Filsafat, Agama Ra’yu, Natural Religion, Non Revealed
Religion.
Kedua agama tersebut mempunyai ciri-ciri yang sangat berbeda, dan
dengan memperhatikan ciri-ciri yang ada, dapat diketahui apa yang disebut
Agama Wahyu dan ada pula yang disebut Agama Budaya.
Agama Wahyu mempunyai ciri-ciri antara lain :
a. Berasal dari wahyu Allah, jadi bukan ciptaan manusia atau siapapun selain
Allah.
b. Ajaran ketuhanannya Monotheisme (Tauhid) mutlak.
c. Disampaikan oleh manusia yang dipilih oleh Allah sebagai Nabi/Rasul-
Nya.
d. Mempunyai kitab suci yang autentik (asli), bersih dari campur tangan
manusia.
e. Ajaran-ajarannya bersifat tetap, tidak berubah-rubah, walaupun tafsirannya
dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan pengikut-
pengikutnya.

Agama Budaya mempunyai ciri-ciri antara lain :


a. Hasil fikiran dan atau perasaan manusia.
b. Ajaran ketuhanannya paling tinggi Monotheisme Nisbi, bahkan kadang-
kadang Dinamisme, Animisme atau Politheisme.
c. Tidak disampaikan oleh Nabi/Rasul Allah.
d. Umumnya tidak mempunyai kitab suci. Kalaupun ada, sudah mengalami
perubahan-perubahan (bertambah dan berkurang) dalam perjalanan
sejarahnya.
e. Ajaran-ajarannya berubah-ubah sesuai dengan perubahan akal fikiran
pengikut-pengikutnya.
Yang termasuk agama wahyu satu-satunya ialah agama Islam, sedang
selebihnya, kecuali agama Nasrani dan Yahudi, termasuk Agama Budaya.
Agama Nasrani dan Yahudi dalam bentuknya yang asli juga termasuk Agama
Wahyu, sebab kedua agama tersebut dalam bentuknya yang asli tidak lain
adalah Agama Islam. Menurut al-Qur’an, agama yang dianut oleh semua Nabi
ialah Agama Islam. Adapun agama Nasrani dan Yahudi dalam bentuknya
seperti yang ada sekarang, tidak bisa disebut sebagai Agama Budaya, tetapi
juga kurang memenuhi persyaratan untuk dikatakan sebagai Agama Wahyu.
Kedua agama tersebut dalam wujudnya seperti yang ada sekarang dapat
digolongkan sebagai Semi Agama Wahyu. (Humaidi Tatapangarsa, Ed., 1990
: 21-22).

2.6.1 Sumber Ajaran Agama Samawi

 Sumber Ajaran Islam

Sumber ajaran Islam (Hukum Islam, Syariat Islam) itu ada tiga, yakni Al-Quran,
As-Sunnah, dan Ijtihad. Yang pertama dan kedua asalnya langsung dari Allah
SWT dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang ketiga merupakan hasil
pemikiran umat Islam, yakni para ulama mujtahid (yang berijtihad), dengan tetap
mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

1. Al-Quran

Secara harfiyah, Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana


firman Allah dalam Q.S. 75:17-18.
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan ‘membacanya’.
Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.

Secara definitif dapat dikatakan, Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang
keimanan, peribadahan, dan budi pekerti.

Al-Quran merupakan salah satu Kitabullah atau Kitab-Kitab Allah, yakni wahyu-
wahyu yang diterima para Nabi/Rasul Allah. Al-Quran adalah mukjizat terbesar
Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi
sebelumnya.

Mukjizat para nabi terdahulu lebih bersifat inderawi, yakni bisa diamati dan
dilihat langsung oleh indera penglihatan atau lainnya, untuk menampilkan rasa
takjub terhadap kaumnya. Kepada Nabi Muhammad Saw, Allah SWT
memberikan mukjizat Al-Quran yang kekal abadi sepanjang zaman sehingga
dapat disaksikan oleh semua umat manusia dari semua zaman dan tempat sampai
akhir nanti

Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum


yang telah ditetapkan sebelumnya.

“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang
ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S.
10:37).

“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang
benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).

Al-Quran tersusun dalam 114 surat dengan 6.236 ayat, 74.437 kalimat, dan
325.345 huruf. Al-Quran diturunkan Allah dalam dua periode:
1. Periode Makkah, yakni selama 12 tahun 13 hari. Ayat-ayatnya disebut
Ayat Makiyah. Ayat pertama turun adalah Q.S. Al-’Alaq:1-5, ketika Nabi
Muhammad berkhalwat di Gua Hira tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus
610 M yang dikenal sebagai “Malam Qadar” (Lailatul Qadr).

Ayat-ayat yang turun di Makkah disebut “Ayat-Ayat Makiyah” dengan ciri


khas: ayatnya pendek-pendek, ditujukan kepada umat manusia (diawali
kalimat “Ya Ayuhan Naas”, Wahai Manusia), dan berisi hal-hal yang
berhubungan dengan tauhid, keimanan, ancaman dan pahala, serta sejarah
bangsa-bangsa terdahulu.

2. Periode Madinah, ayat-ayatnya disebut Ayat Madaniyah. Di Madinah pula


ayat terakhir turun, yakni Q.S. 5:3, ketika Nabi Saw tengah menunaikan
ibadah haji Wada di Arafah (9 Dzulhijjah 10 H/Maret 632 M).

Ayat-ayat yang turun di Madinah disebut “Ayat-Ayat Madaniyah”, dengan


ciri khas: umumnya panjang-panjang, ditujukan kepada kaum beriman
(diawali dengan “Ya Ayuhal Ladzina Amanu”, Wahai Orang-Orang
Beriman), dan berisi ajaran tentang hukum-hukum, kemasyarakatan,
kenegaraan, perang, hukum internasional, serta hukum antaragama dan
lain-lain.

Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang


dilakukan para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada
masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk
panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya,
mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushhaf Utsmany.

Al-Quran yang merupakan sumber utama ajaran Islam ini benar-benar merupakan
kebenaran sejati sebagai pedoman hidup (way of life) manusia. Melalui Al-
Quranlah Allah SWT menyatakan kehendak-Nya. Mengikuti tuntunan dan
tuntutan Al-Quran berarti mengikuti kehendak-Nya.
Itulah sebabnya Allah sendiri yang menjamin keaslian Al-Quran sejak pertamakali
diturunkan. Makanya, hingga kini apa yang ada dalam Al-Quran, itu pula yang
diterima dan dicatat para sahabat Nabi Saw. Hingga kini isinya masih dalam teks
asli, tanpa sedikit pun perubahan, baik dalam jumlah surat, ayat, bahkan huruf.
Tidak tercampur di dalamnya ucapan Nabi Muhammad Saw atau perkataan para
sahabat,

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami tetap


memeliharanya” (Q.S. 15:9).

Salah satu indikasi keaslian al-Quran adalah tidak adanya “Quran tandingan”
karena manusia yang paling cerdas sekaligus paling membenci al-Quran pun tidak
akan sanggup membuatnya. Allah SWT sendiri menantangnya.

“Jika kamu masih ragu-ragu tentang kebenaran apa yang Kami turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad), silakan kamu membuat satu surat saja yang sama
dengannya (al-Quran). Panggilah saksi-saksi (pemuka dan para ahli) kamu
(untuk membantumu) selain Allah, sekiranya kamu benar (bisa melakukan hal
itu). Jika kamu tidak sanggup membuatnya dan sekali-kali kamu tidak akan
sanggup, takutilah api neraka yang kayu bakarnya manusia dan bantu yang
disediakan bagi orang-orang kafir (yang menentang kebenaran al-Quran)” (Q.S.
2:23-24).

“Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk mengadakan


yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya tidak mereka akan dapat membuatnya,
biarpun sebagian mereka membantu sebagian yang lain” (Q.S. 17:88).

Ayat pertama yang diturunkan adalah Iqra’ (bacalah!) yang mengindikasikan


kewajiban pertama manusia adalah membaca, baik dengan pancaindera maupun
mata hati.

Dari ayat pertama itu saja, Al-Quran sudah menunjukkan bahwa ia rahmat dan
bimbingan bagi manusia. Membaca adalah jalan untuk memperoleh ilmu. Dengan
ilmu itu manusia bisa mengenal baik dan buruk menurut Allah SWT, mengenal
dirinya, juga mengenal Tuhannya. Rahasia alam akan tersingkap denan membaca,
juga pembentukan kebudayaan termasuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk “menaklukkan” alam.

Allah SWT mewahyukan Al-Quran tidak lain agar menjadi pedoman bagi hidup
umat manusia. Dengan pedoman itu, manusia akan menjalani kehidupan ini
dengan baik dan benar, sehingga tercipta ketentraman, keharmonisan, dan
kebahagiaan hidup.

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan


shalat dan menafkahkan sebagian harta dari rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan. Mereka itu
mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (Q.S. 35:29).

Kewajiban manusia untuk mengimani, membaca, menelaah, menghayati, dan


mengamalkan ajaran Al-Quran secara keseluruhan, serta mendakwahkannya (Q.S.
Al-'Ashr:1-3). Jika kita memang benar-benar beriman kepada Allah SWT atau
mengaku Muslim. Membacanya saja sudah berpahala, bahkan kata Nabi Saw satu
huruf mengandung 10 pahala, apalagi jika mengamalkannya.

2. As-Sunnah

As-Sunnah disebut juga Al-Hadits. Secara harfiyah (etimologis), Sunnah berarti


adat-istiadat (traditions). Secara maknawi (terminologis), Sunnah adalah segala
perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir)
adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku
sahabat.

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan


sabda Nabi Muhammad Saw.
“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka
menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang kamu
berikan dan mereka menerima sepenuh hati” (Q.S. 4:65).

“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa
yang dilarangnya maka tinggalkanlah” (Q.S. 59:7).

“Kutinggalkan untuk kaliam dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama-
lamanya, selama kalian berpegang kepada keduanya, yakni Kitabullah (Quran)
dan Sunnah Rasul-Nya”.

“Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur


Rasyidin setelahku” (H.R. Abu Daud).

Sunnah merupakan “juru tafsir” sekaligus “juklak” (petunjuk pelaksanaan) Al-


Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang kewajiban shalat dan
berbicara tentang ruku’ dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-lah yang
memberikan contoh langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai takbiratul
ihram (bacaan “Allahu Akbar” sebagai pembuka shalat), doa iftitah, bacaan Al-
Fatihah, gerakan ruku, sujud, hingga bacaan tahiyat dan salam.

3. Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata ijtahada, artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran,
berusaha keras, bekerja semaksimal mungkin. Secara terminologis, Ijtihad adalah
berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak
secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut
Mujtahid.

Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan zaman. Ia adalah


“semangat rasionalitas Islam” dalam rangka hidup dan kehidupan modern yang
kian kompleks permasalahannya. Banyak masalah baru yang muncul dan tidak
pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw. Ijtihad diperlukan untuk
merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi.

Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-
Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan
Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan
Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.

“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”

“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”

“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal
itu?”

“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”

“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah
Rasulullah?”

“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi


ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”

“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan
hati Rasulullah!”

Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah “sarana
ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas
ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang berhak
melakukan Ijtihad?

Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia


menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan
menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah para
ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad
mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau
kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan.

Dalam hal penggunaan potensi akal dalam kehidupan beragama, Mujtahid


merupakan tingkatan tertinggi, di bawahnya adalah Muttabi’ dan Muqallid.

Muttabi’ artinya mengikuti fatwa atau ijma’ secara kritis, yakni berusaha
memikirkan, menimbang-nimbang, dan membandingkannya dengan fatwa lain,
lalu memilih mana yang dianggap paling benar. Pekerjaan Muttabi’ disebut
Ittiba’.

Muqallid artinya mengikuti sebuah fatwa apa adanya sebagai hal yang wajib
ditaati atau diikuti, dengan tidak menggunakan pertimbangan rasio dan tidak
berusaha mengetahui sumber fatwa itu dikeluarkan. Pekerjaan Muqallid disebut
Taklid. Pekerjaan demikian tercela dalam ajaran Islam karena Islam mengajarkan
penggunaan potensi akal seoptimal mungkin.

Ada sejumlah metode dalam pelaksanaan Ijtihad, yakni Qiyas, Mashalih


Mursalah, Istinbath, Ijma’, dan Istihsan.

a. Qiyas

Qiyas artinya mengukur atau mempersamakan, yakni memperbandingkan atau


mempersamakan hukum suatu perkara dengan perkara lain berdasarkan
persamaan ‘illah (sebab yang mendasari ketetapan hukum). Misalnya, arak
(khamr) diharamkan karena memabukkan (Q.S. 2:219) dan riba diharamkan
karena mengandung unsur penganiayaan (Q.S. 2:275). Maka, secara Qiyas, benda
dan hal lain pun jika ternyata memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan
menjadi haram juga. Kaidah Ushul Fiqih menyatakan, “Hukum itu berputar
menurut ‘illah-nya”.
b. Mashalih Mursalah.

Mashalih Mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak
dianjurkan Quran dan Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara
kelestarian dan keselamatan agama, akal, harta, diri, dan keturunan. Misalnya,
membukukan dan mencetak Al-Quran dan Al-Hadits; menggaji muadzin, imam,
khotib, dan guru agama, serta mengadakan perayaan peringatan Hari-Hari Besar
Islam.

c. Istinbath

Istinbath yaitu menghukumi suatu perkara setelah mempertimbangkan


permasalahannya. Misalnya soal riba (pembayaran berlebih atas utang atau
pinjaman yang disyaratkan pemberi pinjaman). Bunga pinjaman bank secara
istinbath dibolehkan karena pinjaman yang diberikan bersifar pinjaman-produktif.
Tidak ada ilat penganiayaan dalam bunga pinjaman itu karena pinjaman yang
diberikan adalah bukan pinjaman-konsumtif, tetapi untuk modal usaha atau
memperbesar modal perusahaan yang telah berjalan. Kalau pinjaman itu
konsumtif, yakni untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka haram
hukumnya bunga yang ada dalam pinjaman itu.

Namun demikian, ada pula pendapat yang tetap mengharamkan bunga pinjaman-
produktif karena tetap mengandung unsur penganiayaan --bank tidak mau tahu
apakah usaha seseorang itu untung atau rugi.

d. Istihsan

Istihsan adalah penetapan hukum dengan penyimpangan dari hukum umum


kepada hukum khusus untuk mencapai kemanfaatan. Misalnya, menanami tanah
wakaf yang diwakafkan untuk pendirian masjid sambil menunggu biaya
pembangunan. Hasilnya dijual dan disediakan untuk biaya pembangunan masjid.
Contoh lain adalah lupa makan dan minum selagi berpuasa. Hadits menyebutkan,
orang yang berbuat demikian dianjurkan meneruskan puasanya, tanpa penjelasan
batal-tidaknya puasa orang tersebut. Namun orang yang berwudhu lalu lupa atau
tanpa sengaja mengeluarkan angin, ditetapkan batal wudhunya.

e. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara, meliputi:

 Ijma’ Qauli, yaitu para ulama berijtihad bersama-sama atau sendiri-sendiri


tentang suatu masalah lalu memutuskan hukum yang sama.
 Ijma’ ‘Amali, yaitu kesepakatan yang tidak diucapkan namun tercermin
dalam kesamaan sikap dan pengamalan.
 Ijma’ Sukuti, yakni “menyetujui dengan cara mendiamkan”. Ulama
tertentu mengetapkan hukum atas suatu perkara dan ulama lain tidak
membantahnya.

 Sumber Ajaran Kristen

. Sumber-Sumber Pokok Agama Katolik

1. Kitab Suci

Sebagaimana agama lain, agama Kristen mengakui bahwa merekapun


memiliki kitab suci yang mereka yakini sebagi sumber dan pandangan hidup.
Kitab suci agama Kristen adalah “Kitab Injil” atau “Bibel” dan juga bisa
dinamakan “Alkitab” yang terdiri dari perjanjian lama dan perjanjian baru.

a. Perjanjian Lama, m enurut gereja katolik, jumlah kitab suci yang terhimpun
adalah 49 buah, selisih lebih banyak dari yang diakui protestan, kesepuluh
kitab yang tidak diakui disebut “Deuterokanomika” yaitu kitab-kitab dongeng
atau jiplakan yang tidak termasuk kanon Yahudi.
b. Perjanjian Baru, istilah ini mempunyai arti, “tata cara keselamatan yang
diadakan Allah dalam diri Yesus”. Isi perjanjian baru mencakup 27 kitab,
yang terdiri dari 4 injil, yaitu Markus (60 M), Matius (70 M), Lukas (75 M),
dan Yahya (100 M). Dari keempat ini dikarang oleh manusia, namun menurut
kepercayaan kristiani penulisnya mendapat bimbingan dari Roh Kudus yang
diinspiratori oleh Allah.
2. Tradisi

Tradisi yang ada dalam gereja dipandang sebagai sumber kebenaran, yang
disamakan dengan kitab suci. Kekuasaan gereja terbagi menjadi dua macam, yaitu
pertama, Traditio Dekratative yang artinya gereja merupakan satu-satunya badan
yang dapat menerangkan isi kitab tanpa berbuat salah. Kedua, Traditio konstituve,
yaitu gereja mempunyai tradisi yang melengkapi isi kitab Suci.

3. Penagakuan Iman Rosuli

Pengakuan Iman Rosuli merupakan ringkasan yang di hasilkan dari


kesepakatan-kesepakatan antar jemaat mengenai keyakinan iman (rumusan-
rumusan hasil “konsili”), lazimnya dipakai dan diucapkan oleh siapa saja yang
menerima pembaptisan. Termasuk juga Kalekismus yaitu sebuah buku yang
disusun dalam bentuk tanya jawab tentang keimanan.

2.6.2 Sumber Ajarana Agama Ardhi

 Sumber Ajaran hindu

Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan
ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha
Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber
air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang
abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.

Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang
artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang
maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci
Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah
wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para
maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan.
Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab
yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.

Bahasa Weda

Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama


sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa
Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku
pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.

Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan


dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh
yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian
dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali
diikuti pula oleh Rsi Wararuci.

Pembagian dan Isi Weda

Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang
diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis
buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua
kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga
dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai
kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana
dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang
berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat
wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi
merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan
Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu
yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini
mempertegas pernyataan di atas.
 Sumber Ajaran Budha

Kitab Suci

Kitab Suci yang dipergunakan dalam agama Buddha Theravada adalah Kitab Suci
Tipitaka yang dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama
Buddha yang paling tua, yang diketahui hingga sekarang, tertulis dalam Bahasa
Pali, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai "pitaka" atau
"keranjang") yaitu: Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena
terdiri dari tiga kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan
Tipitaka (Pali).

Ajaran dasar dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia, meliputi:

 Dukkha Ariya Sacca (Kebenaran Arya tentang Dukkha), Dukha ialah


penderitaan. Dukha menjelaskan bahwa ada lima pelekatan kepada dunia
yang merupakan penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua,
sakit, mati, disatukan dengan yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang
diinginkan.

 Dukkha Samudaya Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Asal Mula


Dukkha), Samudaya ialah sebab. Setiap penderitaan pasti memiliki sebab,
contohnya: yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah adanya
keinginan kepada hidup.

 Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Terhentinya


Dukkha), Nirodha ialah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dapat
dilakukan dengan menghapus keinginan secara sempurna sehingga tidak
ada lagi tempat untuk keinginan tersebut.

 Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Jalan yang


Menuju Terhentinya Dukkha).
Marga ialah jalan kelepasan. Jalan kelepasan merupakan cara-cara yang harus
ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan. Delapan jalan kebenaran akan
dibahas lebih mendalam pada pokok pembahasan yang selanjutnya. Inti ajaran
Buddha menjelaskan bahwa hidup adalah untuk menderita. Jika di dunia ini tidak
ada penderitaan, maka Buddha pun tidak akan menjelma di dunia. Semua hal yang
terjadi pada manusia merupakan wujud dari penderitaan itu sendiri. Saat hidup,
sakit, dipisahkan dari yang dikasihi dan lain-lain, merupakan wujud penderitaan
seperti yang sudah dijelaskan diatas. Bahkan kesenangan yang dialami manusia,
dianggap sebagai sumber penderitaan karena tidak ada kesenangan yang kekal di
dunia ini. Kesenangan atau kegirangan bergantung kepada ikatannya dengan
sumber kesenangannya itu, padahal sumber kesenangan tadi berada di luar diri
manusia. Sumber itu tidak mungkin dipengang atau diraba oleh manusia, karena
tidak ada sesuatu yang tetap berada. Semua penderitaan disebabkan karena
kehausan. Untuk menerangkan hal ini diajarkanlah yang disebut pratitya
samutpada, artinya pokok permulaan yang bergantungan. Setiap kejadian pasti
memiliki keterkaitan dengan pokok permulaan yang sebelumnya. Ada 12 pokok
permulaan yang menjadi fokus pratitya samutpada.

Ajaran tentang Delapan Jalan Kelepasan

Agar terlepas dari penderitaan mereka mereka harus melalui 8 jalan kebenaran
yang dibagi menjadi 3 tahap bagian, yaitu:

Sradha / iman

1. Percaya yang benar (Samma ditthi). Sraddha atau iman yang terdiri dari
“percaya yang benar” ini memberikan pendahuluan yang terdiri dari: Percaya
dan menyerahkan diri kepada Buddha sebagai guru yang berwenang
mengajarkan kebenaran, percaya menyerahkan diri kepada dharma atau
ajaran buddha, sebagai yang membawanya kepada kelepasan, dan percaya
setelah menyerahkan diri kepada jemaat sebagai jalan yang dilaluinya. Sila
yaitu usaha untuk mencapai moral yang tinggi
2. Maksud yang benar (Samma sankappa), merupakan hasil “percaya yang
benar” yakin bahwa jalan petunjuka budha adalah jalan yang benar
3. Kata-kata yang benar (Samma vaca), maksudnya orang harus menjauhkan
diri dari kebohongan dan membicarakan kejahatan orang lain, mengucapkan
kata-kata yang kasar, serta melakukan percakapan yang tidak senonoh.
4. Perbuatan yang benar (Samma kammanta), maksudnya bahwa dalam segala
perbuatan orang tak boleh mencari keuntungan sendiri.
5. Hidup yang benar (Sama ajiva), maksudnya secara lahir dan batin orang harus
murni atu bebas dari penipuan diri
6. Usaha yang benar (Samma vayama), maksudnya seperti pengawasan hawa
nafsu agar jangan sampai terjadi tabiat-tabiat yang jahat.
7. Ingatan yang benar (Samma sati), maksudnya pengawasan akal, rencana atau
emosi yang merusak kesehatan moral Semadi
8. . Semadi yang benar (Samma samadhi) Semadi itu sendiri terbagi menjadi 2
bagian yaitu persiapan atau upcara semadi dan semadinya sendiri. Persiapan
atau upacara semadi ini maksudnya kita harus merenungi kehidupan dalam
agamannya seperti 7 jalan kebenaran yang dibahas tadi dengan 4
bhawana,yaitu: metta (persahabatan yang universal), karuna (belas kasih yang
universal), mudita (kesenangan dalam keuntungan dan akan segala sesuatu),
dan upakkha (tidak tergerak oleh apa saja yang menguntungkan diri sendiri,
teman, musuh dan sebagainya. Sesudah merenungkan hal-hal tersebut barulah
masuk kedalam semadi yang sebenarnya dalam 4 tingkatan yaitu: mengerti
lahir dan batinnya, mendapatkan damai batiniahnya, menghilangkan
kegirangannya sehingga menjadi orang yang tenang, sampai akhirnya sukha
dan dukha lenyap dari semuanya, dan rasa hatinya disudikan. Dengan
demikianlah orang sampai pada kelepasan dari penderitaan.
DAFTAR PUSTAKA

AchmadAl-Muhajir. Buku Pendidikan Agama Islam. Mata Kuliah Agama


Murtadin K. 2010. IPTEK dan Agama. http://www.mutadinkafirun.forumotion.net
(Diakses tanggal 24 September 2011)

Moh. Zein. 2011. Materi Agama Tentang Islam dan IPTEK.


http://www.zainesaedi.blogspot.com (diakses tanggal 24 Septemper 2011)

Anda mungkin juga menyukai