Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

TEXT BOOK READING

“Spinal Cord Injury”

Pembimbing :
dr. Untung Gunarto, Sp.S

Disusun Oleh :
Talitha Nandhika
G4A017053

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING


“Spinal Cord Injury”

Disusun oleh :
Talitha Nandhika
G4A017053

Presentasi TBR ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, September 2018


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Untung Gunarto, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan text book
reading yang berjudul “Spinal Cord Injury”. Penulisan text book reading ini
merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian
Ilmu Saraf RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap text
book reading ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan,
pendidikan, penelitian dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh
berbagai pihak yang berkepentingan. Terima kasih penulis ucapkan kepada dr.
Untung Gunarto, Sp.S selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran
dan motivasi dalam penyusunan text book reading ini.
Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan text
book reading ini. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun
sangat diharapkan.

Purwokerto, September 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iv

I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Vertebrae dan Medulla Spinalis .................................... 2
B. Spinal Cord Injury
1. Definisi .................................................................................. 6
2. Epidemiologi ......................................................................... 6
3. Etiopatogenesis ...................................................................... 7
4. Klasifikasi ............................................................................. 8
5. Penegakan Diagnosis ............................................................ 11
6. Tatalaksana ............................................................................ 12
III. KESIMPULAN ................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 16

iv
I. PENDAHULUAN

Spinal Cord Injury (SCI) atau Cedera Medula Spinalis adalah gangguan
neurologis yang mempengaruhi ribuan individu setiap tahun. Insiden Spinal Cord
Injury (SCI) di Amerika Serikat lebih dari 10.000 per tahun, menghasilkan 720
kasus per juta orang yang mengalami cacat permanen setiap tahun. Dampak
ekonomi dari SCI diperkirakan lebih dari 4 miliar dolar setiap tahun. Studi
praklinis, laporan kasus, dan uji klinis kecil menunjukkan bahwa pengobatan dini
dapat meningkatkan pemulihan neurologis. Sampai saat ini, tidak ada modalitas
terapeutik yang terbukti yang telah menunjukkan efek positif pada hasil
neurologis (Varma, et al., 2013).
Muncul data dari studi klinis dan praklinis terbaru menawarkan harapan
untuk kondisi ini. Selama beberapa dekade terakhir, kemajuan besar telah dibuat
dalam pemahaman kita tentang peristiwa molekuler dan seluler yang dihasilkan
oleh Spinal Cord Injury, memberikan wawasan ke dalam mekanisme penting
yang berkontribusi pada kerusakan jaringan dan kegagalan regeneratif neuron
yang cedera. Pilihan pengobatan saat ini untuk Spinal Cord Injury termasuk
penggunaan metilprednisolon dosis tinggi, intervensi bedah untuk menstabilkan
dan dekompresi sumsum tulang belakang, dan perawatan rehabilitatif. Meskipun
demikian, Spinal Cord Injury masih merupakan kondisi berbahaya yang belum
ada obatnya (Silva, et al., 2013).

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Kolumna Vertebralis dan Medula Spinalis


Kolumna vertebra merupakan struktur tulang penyokong utama tubuh
(Baron, et al., 2011; Snell, 2010). Vertebra tidak hanya menyokong tulang
tengkorak, tetapi juga toraks, ekstremitas atas, pelvis, dan menyalurkan berat
tubuh ke ekstremitas bawah. Selain itu, struktur ini memberikan perlindungan
yang bermakna bagi struktur-struktur yang ada didalamnya, antara lain medulla
spinalis, nervus spinalis, dan meninges (Snell, 2010). Kolumna vertebralis
terdiri dari 33 vertebrae, antara lain 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbar, 5 sakral
(bergabung menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan bantalan fibrocartilage
di antara tiap segmen yang disebut diskus intervertebralis (Baron, et al., 2011).
Walaupun terdapat perbedaan secara regional pada segmen-segmen tersebut,
namun secara umum terdapat pola anatomi yang mirip. Vertebra umumnya
terdiri dari korpus di bagian anterior dan arkus vertebra di posterior, dan di
antaranya terdapat lubang yang disebut sebagai foramen vertebralis yang
berisikan medulla spinalis dan lapisan meninges (Snell, 2010).
Arkus vertebra terdiri dari sepasang pedikel dan laminae. Arkus
vertebralis membentuk 7 prosesus, antara lain satu prosesus spinosus, dua
prosesus tranversus, dan 4 prosesus artikularis. Prosesus spinosus merupakan
sambungan dari kedua laminae, sedangkan prosesus transversus terletak
diantara laminae dan pedikel. Kedua prosesus tersebut berfungsi sebagai tuas
pengungkit dan menjadi tempat perlekatan otot dan ligamen. Prosesus
artikularis terbagi menjadi dua prosesus superior dan dua prosesus inferior,
kedua prosesus tersebut membentuk sendi sinovial. Pedikel terdiri dari inferior
notch dan superior notch yang membentuk foramen intervertebralis (dari dua
vertebra) (Snell, 2010).
Sendi dari kolumna vertebralis terbagi menjadi 2, antara lain sendi
antara dua korpus vertebra yaitu fibrocartilaginous joint dari diskus
intervertebralis dan sendi antara dua arkus vertebralis yaitu sendi
sinovial antara prosesus artikularis (Snell, 2010). Terdapat 6 ligamen di sekitar
kolumna vertebralis, antara lain ligamen anterior longitudinal dan posterior

2
longitudinal (ligamen di sekitar korpus) dan ligamen supraspinatus,
interspinatus, intertraversum, dan flavum (ligamen diantara arkus vertebralis).
Pada daerah servikal, ligamen supraspinatus dan interspinatus bergabung
membentuk ligamentum nuchae (Snell, 2010).

Gambar 1. A. Gambaran kolumna vertebralis dari lateral. B. Fitur umum dari


tiap vertebra (Snell, 2010)

3
Gambar 2. Ligamen pada kolumna vertebralis (Baron et al., 2011)

Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari


foramen magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh
panjang kanal vertebralis (dibentuk dari seluruh foramen vertebralis),
berkesinambungan dengan medulla oblongata di otak, dan bagian terujung dari
medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra lumbar pertama pada orang
dewasa dan batas bawah vertebra lumbar ketiga pada anak-anak (Snell, 2010).
Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan meninges, antara lain dura mater,
araknoid mater, dan pia mater. Selain itu, likuor cerebrospinalis (LCS) yang
berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan perlindungan tambahan
bagi medulla spinalis (Baron, et al., 2011).
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal,
12 segmen torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal
(Snell, 2010). Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis
tersebut (berjumlah 31 pasang nervus spinalis) dan terdiri dari motor atau
anterior roots (radiks) dan sensory atau posterior root (Snell, 2010; Gondim &
Gest, 2011). Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah
munculnya nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis C1
sampai C7 muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan C8 diantara

4
kolumna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis lainnya muncul dari bawah
kolumna vertebralis yang bersangkutan (Gondim & Gest, 2011).
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia
kelabu (gray matter) yang terletak internal dan substansia alba (white
matter) yang terletak secara eksternal (Snell, 2010; Gondim & Gest, 2011).
Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending
(sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi
menjadi 10 lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang
tersusun dari nukleus-nukleus yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron
(Gondim & Gest, 2011).
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2
arteri spinalis posterior (Chin, 2013). Arteri spinalis anterior memberikan
suplai darah 2/3 bagian anterior dari medulla spinalis. Adanya lesi pada
pembuluh darah tersebut menyebabkan disfungsi dari traktus kortikospinal,
spinotalamik lateral, dan jalur otonom (paraplegia, hilangnya persepsi nyeri
dan temperatur, dan disfungsi otonom). Arteri spinalis posterior secara utama
memberikan suplai darah untuk kolumna dorsalis dan substansia kelabu bagian
posterior (Waxman, 2010). Kedua arteri tersebut muncul dari arteri vertebralis
(Chin, 2013; Waxman, 2010). Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis
dan abdominalis memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis (Chin,
2013).

5
Gambar 3. Gambar perfusi medulla spinalis (Waxman SG, 2010)

B. Spinal Cord Injury


1. Definisi
Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan
sebagai cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan
perubahan fungsional, baik secara sementara maupun permanen, pada
fungsi motorik, sensorik, atau otonom (Chin, 2013; Dumont et al., 2001).

2. Epidemiologi
Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus
baru per 1 juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000
kasus baru per tahun (National Spinal Cord Injury Statistical Center, 2012).
Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan
cedera medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Amerika Serikat
(Gondim, 2013).
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang
usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun) (National Spinal Cord

6
Injury Statistical Center, 2012; Gondim, 2013). Hampir seluruh pasien
cedera medulla spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria:
wanita yaitu 4:1) karena resiko yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu
lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi
(seperti diving) (National Spinal Cord Injury Statistical Center, 2012;
Gondim, 2013). Tingkat mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera medula
spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan
tingkat mortalitas bagi pasien yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke
rumah sakit adalah 16%.1 Tingkat harapan hidup pada pasien dengan cedera
medulla spinalis menurun secara drastis apabila dibandingkan pada populasi
normal dan tingkat mortalitas jauh lebih tinggi tahun pertama, apabila
dibandingkan di tahun-tahun berikutnya (National Spinal Cord Injury
Statistical Center, 2012).

3. Etiopatogenesis
Mekanisme terjadinya trauma medulla spinalis dapat disebabkan karena
(Marshall, 2009):
1. Fraktur vertebrae/dislokasi dapat menekan medulla spinalis
2. Luka penetrasi/luka tembus dapat melukai medulla spinalis secara
langsung
3. Perdarahan epidural/subdural dapat menyebabkan penekanan pada
radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri progresif dan paraparesis
4. Trauma tidak langsung (fleksi tiba-tiba, hiperekstensi, kompresi
vertebral, dan rotasi kolumna vertebralis)
5. Trauma intramedular/kontusio

Terdapat sebuah istilah, yakni whiplash injury, di mana terdapat


gerakan hiperekstensi tiba-tiba yang diikuti dengan hiperfleksi servikal
sehingga menyebabkan cedera pada medulla spinalis dan fraktur vertebra.
Jika medulla spinalis mengalami cedera maka dapat terjadi gangguan
seperti berikut ini (Marshall, 2009):
1. Hilangnya gerakan volunteer pada bagian tubuh di bawah lesi

7
2. Hilangnya sensasi pada bagian tubuh setinggi lesi
3. Terganggunya refleks dari semua segmen medulla spinalis yang
mengalami cedera
4. Gangguan sistem otonom meliputi miksi, defekasi, fungsi seksual, dan
berkeringat

4. Klasifikasi
Klasifikasi Spinal Cord Injury ditegakkan dalam waktu 72 jam-7
hari setelah trauma. Klasifikasi berdasarkan American Spinal Injury
Association (ASIA) adalah sebagai berikut :
1. Trauma medulla spinalis komplit, didefinisikan sebagai cedera yang
melibatkan seluruh segmen sakral dari medulla spinalis yaitu S4 dan S5
sehingga fungsi sensorik dan motorik tidak ada sama sekali.
2. Trauma medulla spinalis inkomplit, tidak melibatkan dua segmen sakral
tersebut (fungsi S4-S5 masih ada antara fungsi motorik dan/atau
sensorik)

Gambar 4. Sindrom klasik medulla spinalis. (a) central cord syndrome, (b)
anterior cord syndrome, (c) brown sequard syndrome, dan (d) posterior
cord syndrome (Kaye AH, 2005)

8
a. Central cord syndrome atau Schneider syndrome merupakan salah
satu sindrom lesi inkomplit dari medulla spinalis yang paling umum
dan terjadi akibat cedera hiperekstensi pada daerah servikal dengan
kompresi medulla spinalis oleh osteofit secara anterior dan
ligamentum flavum secara posterior (Ropper & Samuels, 2009;
Kaye, 2005). Sindrom ini merupakan akibat dari proses patologi
yang terjadi di dalam dan sekitar kanal sentralis sehingga pada lesi
awal (lesi kecil) hanya traktus spinotalamik yang mengalami
penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat. Seiring dengan
meluasnya lesi ke lateral (Gruener & Biller, 2008), traktus
kortikospinal akan terlibat dan menyebabkan kelemahan motorik
yang lebih bermakna di ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas
bawah (tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat pada traktus
yang lebih medial yaitu traktus kortikospinal untuk ekstremitas atas)
(Sheerin, 2005). Penurunan fungsi sensorik umumnya minimal,
berbentuk shawl-like (seperti syal) atau nonspesifik dan terjadi
dibawah lesi (Bill & Harkins, 2003). Disfungsi buli-buli yang
menyebabkan retensio urin terjadi pada beberapa kasus.
b. Anterior cord syndrome atau Anterior Spinal Artery Syndrome
merupakan sindroma klinis pada cedera medulla spinalis akibat
retropulsi dari tulang atau diskus yang mengakibatkan kompresi dan
mengganggu perfusi dari medulla spinalis anterior (arteri spinalis
anterior) (Dewenskus & Zaidat, 2004). Hal ini menyebabkan
kerusakan pada traktus kortikospinal dan spinotalamik, tetapi tidak
pada traktus kolumna dorsalis (perfusi utama berasal dari arteri
spinalis posterior). Sindrom ini umumnya terjadi setelah cedera
fleksi atau kompresi (axial loading). Adanya kelemahan motorik,
dan sensorik pada beberapa level di bawah level motorik tanpa
adanya gangguan bermakna pada fungsi proprioseptif, raba halus,
dan getaran sugestif mengarahkan diagnosis pada anterior cord
syndrome (Kaye, 2005).

9
c. Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior
medulla spinalis yang menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif,
getaran, dan two-point discrimination. Sindrom ini jarang terjadi
pada TSCI, dan seringnya terasosiasi dengan multiple sclerosis.
Adanya tanda Romberg yang positif, gaya jalan ataksik
(atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda
utama dari sindrom ini (Gruener & Biller, 2008).
d. Brown-Sequard syndrome terjadi karena hemisection dari medulla
spinalis akibat trauma tembus (baik karena pisau maupun luka
tembak) atau fraktur tulang belakang. Kondisi ini jarang terjadi, dan
umumnya datang dengan presentasi berupa parase motorik ipsilateral
dibawah lesi, hilangnya fungsi sensorik untuk nyeri, temperatur, dan
raba pada kontralateral dari lesi, dan hilangnya fungsi proprioseptif
ipsilateral dari lesi (Kaye, 2005).
e. Conus medullary syndrome melibatkan level T11-L1. Sindrom ini
terjadi akibat cedera pada thorakolumbal yang menyebabkan
fragmen tulang atau diskus mengkompresi daerah medulla spinalis.
Adanya disfungsi miksi dini dan saddle-type anesthesia, kelemahan
flaccid ekstremitas bawah yang simetris, nyeri minimal (bila
dibandingkan dengan nyeri hebat pada cauda equina syndrome)
membedakan sindrom ini dengan cauda equina syndrome.
(Dewenskus & Zaidat, 2004).

10
5. Penegakan Diagnosis
Anamnesis (Soertidewi, et al, 2006)
- Mekanisme trauma, jenis trauma, dan waktu kejadian
- Ada tidaknya nyeri
- Gangguan fungsi sensorik (nyeri, suhu, tekan dan raba)
- Gangguan motorik yang dialami
- Gangguan miksi, defekasi, dan fungsi seksual
- Adanya gangguan pernapasan mengindikasikan kemungkinan cedera
servikal

Pemeriksaan Fisis
- Lakukan pemeriksaan fisis umum. Tanda vital, deformitas, ada tidaknya
luka terbuka, tanda-tanda radang, dan nyeri tekan.
- Pemeriksaan neurologis (sensorik, motorik, dan otonom reflex
fisiologis, dan refleks patologis)

11
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, urinalisis, gula darah
sewaktu, ureum, kreatinin, analisis gas darah
- Pemeriksaan radiologi :
o Foto vertebra posisi anteroposterior/lateral/odontoid sesuai letak
lesi
o CT scan/MRI. CT scan baik untuk pemeriksaan patologi tulang
sedangkan MRI baik untuk menilai jaringan lunak.
- Pemeriksaan lain : EKG bila terdapat aritmia jantung, AGD jika ada
gangguan pernapasan.

6. Tatalaksana
Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya
tidak dapat diperbaiki sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah
terjadinya kerusakan lebih lanjut yang belum terjadi (sekunder) dan
komplikasi-komplikasi dari cedera tersebut. Prinsip utama dari tatalaksana
CMS, antara lain mencegah kerusakan sekunder dari CMS, reduksi dan
stabilisasi dari cedera (tulang dan ligamen), mencegah dan menangani
komplikasi dari CMS, dan rehabilitasi (Kaye, 2005).

Tatalaksana di Tempat Kejadian (Soertidewi, et al, 2006)


1. Imobilisasi korban dengan membatasi fleksi dan gerakan lain
2. Penanganan imobilisasi dengan neck collar atau vertebral brace bila
tersedia

Tatalaksana di Unit Gawat Darurat (Soertidewi, et al, 2006)


1. Periksa dan Stabilkan ABC
- Airway : periksa dan pastikan jalan napas tetap lapang
- Breathing : pastikan napas adekuat
- Circulation : bedakan antara syok hipovolemik dan syok neurogenic
 Syok hipovolemik (hipotensi, takikardi, ekstremitas
dingin/basah). Berikan cairan kristaloid atau koloid.

12
 Syok neurogenik (hipotensi, bradikardi, ekstremitas
hangat/kering). Beriksan vasopressor (dopamine, adrenalin 0.2
mg subkutan). Target MAP >70 mmHg
2. Pasang kateter foley untuk memonitor hasil urin dan mencegah retensi
urin
3. Pemasangan selang nasogastric untuk pemberian nutrisi
4. Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebra :
- Servikal : pasang kerah fiksasi leher (collar neck)
- Torakal : fiksasi dengan toracolumbal brace
- Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal
5. Pemberian kortikosteroid
- Diagnosis ditegakkan <3 jam pascatrauma : metilprednisolon 30
mg/kgBB bolus IV selama 15 menit kemudian ditunggu selama 45
menit. Selanjutnya diberikan infus metilprednisolon terus-menerus
selama 23 jam dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam
- Diagnosis ditegakkan 3-8 jam : pemberian metilprednisolon sama
dengan pemberian saat diagnosis ditegakkan <3 jam tetapi
pemberian infus dilanjutkan sampai 47 jam
- Diagnosis ditegakkan dalam >8 jam : tidak dianjurkan pemberian
kortikosteroid

Tatalaksana di Ruang Rawat (Soertidewi, et al, 2006)


1. Pemantauan tanda-tanda vital dalam batas normal
2. Medikamentosa
- Lanjutkan pemberian metilprednisolon
- Analgetik yang adekuat sesuai dengan WHO stepladder. Jika
analgetik steroid sudah diberikan, jangan berikan OAINS (obat
antiinflamasi non steroid). Tramadol drip dapat diberikan pada
nyeri berat. Tramadol oral dapat diberikan pada nyeri sedang.
Pada nyeri ringan dapat diberikan paracetamol.
- Antibiotik bila terdapat infeksi

13
- Pencegahan thrombosis vena dalam dengan antikoagulan
(misalnya heparin)
3. Pencegahan ulkus decubitus dengan merubah posisi pasien secara
berkala
4. Pemberian antioksidan seperti vitamin C dan E

Indikasi Operasi (Soertidewi, et al, 2006)


Untuk terapi pembedahan, pasien dirujuk ke dokter spesialis bedah
saraf atau bedah ortopedi. Berikut ini adalah indikasi terapi pembedahan
pada pasien trauma medulla spinalis :
- Ada fraktur atau pecahan tulang yang menekan medulla spinalis
- Gambaran neurologis progresif yang memburuk
- Fraktur dan dislokasi yang labil
- Adanya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla
spinalis

Waktu operasi dilakukan antara 24 jam-3 minggu. Semakin cepat


operasi dilakukan, semakin baik hasil keluaran yang diharapkan. Pasien
trauma medulla spinalis juga perlu dirujuk ke bagian rehabilitasi medik
untuk menjalani fisioterapi, latihan fisik, terapi okupasi, terapi psikologis,
sampai latihan untuk miksi dan defekasi rutin.

14
III. KESIMPULAN

1. Spinal Cord Injury (SCI) merupakan cedera atau kerusakan pada medulla
spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik secara sementara
maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom
2. Trauma medulla spinalis dapat disebabkan karena fraktur vertebrae/dislokasi
dapat menekan medulla spinalis, luka penetrasi/luka tembus, perdarahan
epidural/subdural dapat menyebabkan penekanan pada radiks saraf, trauma
tidak langsung (fleksi tiba-tiba, hiperekstensi, kompresi vertebral, dan rotasi
kolumna vertebralis), trauma intramedular/kontusio
3. Prinsip utama dari tatalaksana CMS, antara lain mencegah kerusakan
sekunder dari CMS, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan ligamen),
mencegah dan menangani komplikasi dari CMS, dan rehabilitasi

15
DAFTAR PUSTAKA

Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. 2011. Tintinalli’s Emergency
Medicine: A Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York : McGraw-Hill.

Bill II CH, Harkins VL. Chapter 29. Spinal Cord Injuries. In:Shah SM, Kelly KM.
Principles and Practice of Emergency Neurology. Cambridge University
Press, New York. 2003 p.286-303

Chin, L. S. 2013. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape.

Dumont et al. 2001. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic


Mechanisms. Clin Neuropharmacol ; 24 (5) : 254-64.

Gondim, F. A. A. 2013. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine


Medscape.

Gondim, F. A. A., Gest, T. R. 2013. Topographic and Functional Anatomy of the


Spinal Cord. Emedicine Medscape.

Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and Overview of Spinal


Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol 2008;14(3):11

Kaye AH. 2005. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential
Neurosurgery. 3rdEdition. Victoria, Blackwell Publishing.

National Spinal Cord Injury Statistical Center. 2012. Spinal Cord Injury Facts
and Figures at a Glance. Birmingham, Alabama.

Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of the Spinal Cord. In: Ropper
AH, Samuels MA, eds.Adams and Victor’s Principles of Neurology. 9th ed.
New York: McGraw-Hill; 2009.

Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg


Nurse 2005; 12(9):29-38

Silva, N. A., Sousa N., Reis, R. L., Salgado, A. J. 2013. From basics to clinical: A
comprehensive review on spinal cord injury. Proneu; 1370 : 1-34.

Snell RS. 2010. The Spinal Cord and the Ascending and Descending Tracts. In:
Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia.

Soertidewi L., Misbach J., Sjahrir H., Hamid A., Jannis J., Bustami M. Konsensus
Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta; 2006 h. 1-18.

16
Varma, A. K., Das, A., Wallace, G., et al. 2013. Spinal Cord Injury: A Review of
Current Therapy, Future Treatments, and Basic Science Frontiers.
Neurochem Res; 38(5): 895–905.

Waxman S, G. 2010. Clinical Neuroanatomy. 26th ed. New York: McGraw-Hill.

17

Anda mungkin juga menyukai