TENTANG
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Substansi landasan filosofis dalam menyusun naskah akademik suatu
Rancangan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, termasuk Rancangan
Peraturan Daerah berisikan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-
cita moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa
Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat atau dirancang haruslah
memiliki landasan atau dasar bentukan. Menurut Bagir Manan, suatu peraturan
perundang-undangan agar mempunyai kekuatan berlaku harus memiliki tiga landasan
berlaku yaitu landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan filosofis. Peraturan
Daerah sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
tentu harus memiliki dasar sebagaimana yang dikemukakan di atas. Setiap masyarakat
selalu mempunyai cita hukum (rechts-idee) yaitu apa yang mereka harapkan dari
hukum seperti keadilan, ketertiban, kepastian, kesejahteraan, demokratisasi, partisipasi
dan lain-lain.
Eksistensi hukum pada hakekatnya adalah untuk mengatur prilaku subyek
hukum (manusia dan badan hukum) dalam mengadakan hubungan hukum, baik
hubungan antar individu, individu dengan badan hukum (privat dan publik) maupun
antar badan hukum., termasuk hubungan hukum antar lembaga negara. Dalam
hubungan hukum itu, penghargaan, penghormatan, serta perlindungan hak asasi
manusia (HAM) merupakan hal amat penting yang tidak mengenal ruang dan waktu.
Masalah HAM ini tonggak awalnya adalah Magna Charta tahun 1215, yang
merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan Raja John dari Kerajaan Inggris, telah
berkembang hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia. Salah
satu bidang HAM yang menjadi perhatian bersama, baik di dunia internasional maupun
di Indonesia, adalah hak-hak perempuan dan anak.
Perempuan dan anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai karunia, anak merupakan
harapan masa depan. Kepada anak digantungkanlah berbagai harapan, sehingga anak
diharapkan menjadi orang yang berguna bagi orang tua, masyarakat, bangsa dan
negara. Orang tua mengharapkan anaknya dapat meneruskan keturunan, merawatnya di
hari tua, mengembalikan harkat dan martabat keluarga (mamangkik batang tarandam).
Oleh masyarakat, bangsa dan negara anak diharapkan menjadi generasi penerus, guna
melanjutkan pengurusan, pengembangan, dan pelestarian eksistensi masyarakat, bangsa
dan negara itu. Kepada anak itulah digantungkan keberlangsungan dan nasib dari
masyarakat, bangsa dan negara. Demikian pula halnya dengan perempuan, kepadanya
diharapkan lahir anak dan terbentuknya keluarga, masyarakat, bangsa dan negara yang
adil dan makmur ;
Sebaliknya , sebagai amanah, seorang anak itu merupakan beban yang harus
dipikul oleh orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Bagi orang tua, anak dipandang
sebagai kewajiban yang berat, memberi makan, mendidik, dan melindungi mereka.
Semua itu memerlukan biaya, tenaga dan waktu yang banyak. Akibatnya, ada orang
tua yang tidak mampu untuk melaksanakan kewajiban itu, sehingga anaknya menjadi
terlantar, terlunta-lunta, hidup di jalanan, mengemis, diekploitasi, bahkan karena emosi
ada yang menyakiti anak secara melampaui batas, dsb. Demikian pula bagi masyarakat,
bangsa dan negara, sebagai amanah, anak dipandang sebagai beban, yakni penyedian
fasilitas pendidikan, oleh raga, kesehatan, ekonomi, dsb. yang kadang-kadang tidak
mampu lagi dipikul dengan income negara.
Dalam hal perempuan dan anak sebagai beban inilah terjadi pelanggaran atas
hak-hak perempuan dan anak, baik oleh orang tua, maupun masyarakat dan negara,
sehingga perlu diatur secara tegas pelaksanaan kewajiban itu agar tidak melanggar hak-
hak mereka.
Anak bagaikan lembaran putih pada saat lahir ke dunia, hitam dan putihnya
lembaran itu tergantung kepada peranan orang tua, masyarakat dan negara yang
mengisinya.
Konsep Negara Kemakmuran (Welfare State) memandang bahwa anak
merupakan asset suatu Negara. Bapak Negara Soekarno pernah berorasi bahwa kita
sebagai bangsa memiliki kekuatan yang besar, ia mengandaikan dipinjamkan sepuluh
orang pemuda maka akan diperintahkan memindahkan Gunung Semeru, demikianlah
ungkapan Soekarno menghormati sumber daya anak bangsa. Walaupun demikian
besarnya harapan digantungkan kepada perempuan dan anak, karena fisiknya yang
lemah dibanding laki-laki dan orang dewasa serta karena kodratnya perempuan itu
sendiri, mereka sering menjadi objek pelampiasan kehendak, kemarahan, ekploitasi
ekonomi, kekerasan (fisik, psikis dan seksual), kekejaman, penelantaran, dsb.
Oleh karena itu, sebagai asset bangsa maka kita wajib melindungi keberadaan
seorang perempuan dan anak. Dalam Undang-undang Dasar 1945, dalam Preambule ,
Alinea ke 4 secara tersurat jelas dinyatakan bahwa Negara aktif melindungi warga
negara, dalam hal ini termasuk juga perempuan dan anak. Oleh karena itu perempuan
dan anak harus memproleh perlindungan hukum sebagai hak warga negara dari segala
macam tindakan yang merugikan terhadap diri mereka, baik secara pidana, perdata
maupun hukum tata negara. Perlindungan Hukum mempunyai beberapa aspek yaitu
perlindungan hukum preventif, reprepresif dan postremedial. Perlindungan preventif
adalah upaya untuk mencegah jangan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak
dan perempuan, seperti sosialisasi kepada suami, orang tua, guru, dan pemuka adat
setempat tentang hak-hak anak dan sanksi bagi yang melanggarnya. Perlindungan
represif dilakukan melalui penegakan hukum terhadap pihak yang melanggar hak-hak
anak perempuan melalui proses hukum dengan penghukuman, baik sanksi pidana
maupun perdata. Perlindungan postremedial adalah usaha rehabilitasi terhadap anak
yang menjadi korban pelanggaran hak-hak anak, seperti pendampingan dalam proses
hukum, pengobatan, dan bimbingan olen psikolog dan rohaniwan . Dalam hal ini kita
dapat memanfaatkan konsep perlindungan hukum dominan dilakukan oleh negara
sebagai organisasi kekuasaan, dan konsep partisipasi/ peran organisasi yang bukan
mengatasnamakan negara (NGO).
Dalam Konvensi Hak Anak (Child Right Convention ) pasal 52 menegaskan
bahwa harus dilakukan upaya pencegahan agar anak terhindar dari penculikan,
penyeludupan dan penjualan. Dalam upaya pemerintah untuk menindaklanjuti
Konvensi Hak Anak dan turut serta dalam melakukan pencegahan kejahatan terhadap
anak, maka Pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagai instrument Nasional dari program aksi Nasional dalam
membahas implementasi hak anak menyangkut Perlindungan Anak.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 59. “Pemerintah dan
Lembaga Negara lainya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan
perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas, dan terisolasi, anak tereksploitasi secara
ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan Narkotika,alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainya/ napza, anak
korban kekerasan baik fisik dan/ mental anak yang menyandang cacat, dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran”
Sedangkan menurut Pasal 68 UU No 23 Tahun 2002 dalam ayat (1)
“perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan,
perlindungan, pencegahan, perawatan dan rehabilitasi oleh Pemerintah dan Masyarakat.
Ayat (2) “ Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau
perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Walaupun perlindungan hak-hak perempuan dan anak itu telah diatur dalam
Undang-undang tingkat nasional, berhubung terdapat kekhasan dalam pola hidup dan
prilaku masyarakat Dayan gunung yang dipengaruhi modernisasi, terlihat bahwa
perlindungan hak-hak perempuan dan anak belum terlaksana dengan baik.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Ada beberapa masalah dalam hal perlindungan perempuan dan anak di Lombok Utara yaitu:
1. Bagaimana bentuk terjadinya pelanggaran hak-hak perempuan dan anak dalam
kuantitas dan kualitas yang mengkhawatirkan di Lombok Utara ,
2. Belum adanya pengaturan yang bersifat implementatif untuk melindungi hak-hak
perempuan dan anak di Lombok Utara .
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencari langkah-langkah untuk menanggulangi
pelanggaran hak-hak perempuan dan anak di Lombok Utara , baik langkah preventif
maupun represif dan post remedial
2. Kegunaan
3. Hasil penelitian ini berguna untuk arahan dalam menyusun Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Lombok Utara Tentang Perlindungan Perempuan dan anak.
D. METODE PENELITIAN
1. Tipologi Penelitian
Menurut sifatnya, penelitian ini dapat digolongkan ke dalam jenis penelitian
deskriptif analitis. Penelitian ini membahas dan mengkaji perlindungan anak di
seluruh wilayah kabupaten Lombok Utara . Hasil kajian tersebut menjadi
bahanmasukan terhadap pembentukan rancangan peraturan daerah tentang
perlindungan perempuan dan anak. Kemudian, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dibagi ke dalam 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan hukum
normatif dan pendekatan hukum empiris.
2. Data dan Sumber Data
Seperti yang telah diuraikan di atas, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan hukum normatif
dan pendekatan hukum empiris. Sebagaimana diketahui, data utama dalam penelitian
hukum normatif adalah data primer, sedangkan data utama dalam penelitian hukum
empiris adalah data sekunder. Dengan demikian, data yang diperlukan dalam
penelitian ini, meliputi:
1) Data Primer
Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini berupa informasi yang terkait
dengan perlindungan anak di Kabupaten Lombok Utara . Data ini diperoleh melalui
pelaskanaan Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan pihak-pihak yang
mempunyai pengalaman dengan perlindungan perempuan dan anak
2) Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan fokus kajian penelitian. Selain itu, literatur-literatur yang membahas
perlindungan perempuan dan anak, hasil-hasil penelitian, dan dokumen-dokumen
lainnya yang terkait dengan penelitian ini, juga menjadi data sekunder dalam
penelitian. Berikut bahan hukum primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3039);
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran
Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3243);
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
d. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);
e. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO 138
Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835);
f. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
g. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 166 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3887);
h. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO 182
tentang Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3941);
i. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi manusia
(Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 208 Tambahan Lembaran Negara Nomor
4026);
j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235);
k. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara
Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4252);
l. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);
m. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4301);
n. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4419);
o. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4548);
p. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak
Bagi Yang Mempunyai Masalah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3367);
q. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
r. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak;
s. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Trafiking);
t. Keputusan Presiden Nomor 77 tahun 2004 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia;
u. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
Tanggal 28 Januari 20120;
A. KAJIAN TEORITIS
a) Pengertian perempuan
Partisispasi sejajar antara perempuan dan laki laki dalam kehidupan adalah
salah satu prinsip mendasar yang diamanatkan didalam Konvensi Penghapusan Segala
bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Agains Woman atau CEDAW) yang diadopsi oleh siding umum PBB
pada tahun 1979 dan disahkan mulai tahun 1981.
Suyono Usman mengatakan bahwa tidak banyak perempuan yang menempati
posisi sentral didalam badan Legislatif dan eksekutif. Kebanyakan dari mereka berada
dipinggiran ( Periphery zone ) dan kurang kuat pengaruhnya dalam proses
pengambilan keputusan.
b) Anak
Secara umum dapat dikatakan bahwa anak merupakan manusia yang belum
dewasa. Menurut Zakaria Ahmad Al Barry, orang yang dewasa adalah cukup umur
untuk berketurunan dan muncul tanda laki-laki dewasa untuk putra, muncul tanda-tanda
wanita dewasa pada putri. Inilah dewasa yang wajar yang biasanya setelah anak putra
berumur 12 tahun dan putri sudah berumur 9 tahun. Kalau sudah melewati usia tersebut
diatas, ternyata belum nampak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa yang
bersangkutan telah dewasa, maka harus ditunggu sampai ia berumur 15 tahun. Sedang
Zakiah Derajat mengatakan bahwa mengenai batas usia anak-anak dan dewasa
berdasarkan pada usia remaja adalah masa usia antara 13 tahun sampai 21 tahun.
Dimana anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat disegala bidang dan mereka
bukan lagi anak-anak, baik untuk badan, sikap, cara berfikir, cara bertindak, tetapi
mereka bukan pula orang dewasa. Pendapat dua sarjana diatas dilatar belakangi oleh
pandangan ajaran Islam. Menurut hukum adat ukuran dewasa bukanlah dari umur tetapi
kecakapan untuk bekerja dan melakukan tindakan-tindakan yang disyaratkan dalam
hidup bermasyarakat. Selanjutnya dapat pula dikutip pendapat Hilman Hadikusuma
yang menyatakan bahwa menarik batas antara belum dewasa dan sudah dewasa tidak
perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa,
namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa
telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya, walaupun ia belum berwenang
kawin.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pertata (BW) Pasal 330. Belum dewasa
ialah mereka yang belum berumur genap dua puluh sata tahun atau sebelum belum
pernah kawin. Menurut UU No.23 Tahun 2004 Tentang Perlindungan anak Pasal 1
angka 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas ) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berhubung perda ini menyangkut perlindungan anak, maka dalam perda ini
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
juga yang telah kawin. Sedangkan pengertian perempuan adalah seseorang yang
terlahir, diakui masyarakat dan diregistasikan sebagai seorang perempuan.
1. Pengertian dan bentuk perlindungan yang akan diberikan terhadap anak
perempuan?
a. Pengertian Perlindungan Perempuan dan anak .
Seminar perlindungan anak/remaja yang diadakan oleh prayuana pusat tanggal 30 Mei
1977 menghasilkan 2 perumusan tentang pengertian perlindungan anak yaitu:
Segala daya dan upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun
lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan,
penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan sosial anak dan remaja yang
sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perseorangan, keluarga,
masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan
pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0 – 21 tahun, tidak
dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasinya dan kepentingannya agar
dapat mengembangkan diri seoptimal mungkin. Dua rumusan diatas menunjukkan
luasnya cakupan perlindungan anak baik upaya pencegahan, rehabilitasi maupun
pemberdayaan terhadap anak yang mengalami tindak perlakuan yang salah (child
abuse). Sehubungan dengan ini, Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan :
“Masalah perlindungan hukum bagi perempuan dan anak-anak merupakan salah satu
sisi pendekatan untuk melindungi perempuan anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak
semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas yaitu
ekonomi, sosial dan budaya.”
c. Menurut UU No. 23/2002 tentang Perindungan Anak, Pasal 1 angka 2. Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Berdasrkan pasal ini maka perlindungan anak dan
pemerempuan adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi perempuan dan
anak serta hak-haknya agar dapat hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Bentuk Perlindungan Perempuan dan anak
1) Perlindungan Preventif, yakni usaha untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan
yang melanggar hak-hak perempuan dan anak. Ke dalam bentuk ini dapat dimasukkan
usaha sosialisasi hak-hak perempuan dan anak kepada orang tua, keluarga, pemuka
adat dan majikan; serta pembuatan aturan kerja khusus bagi perempauan dalam
perjanjian perburuhan (perjanjian kerja bersama) antara setrikat buruh dengan
majikan ataua serikat amjikan pada masing-masing perusahaan
2) Perlindungan Represif, yakni usaha untuk menegakkan hukum terhadap orang yang
melanggar hak-hak perempuan dan anak, baik penegakan hukum pidana maupun
perdata (perbuatan melawan hukum- pembayaran ganti rugi). Ke dalam perlindungan
represif ini dapat dimasukkan usaha pendampingan terhadap korban oleh pemuka
adat, pengacara, Lembaga Perlidungan Anak dan serempuan mulai dari tingkat
peneyelidikan, penyidikan, penuntutan/gugatan perkaranya, baik dalam rangka non-
litigasi (di luar pengadilan) maupun litigasi (melalui peradilan);
3) Rehabilitasi, yakni usaha untuk memperbaiki dan mengobati dampak
pelanggaran hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban pelanggaran hak. Ke
dalam bentuk ini termasuk usaha pengobatan penyakit fisik maupun kejiwaan yang
dilakukan oleh tenaga medis (perawat, bidan, dokter) dan psikolog;
4) Penyediaan dana perlindungan perempuan dan anak mulai angka 1 sampai 3 di atas.
3. Hak-hak Perempuan dan Anak Sebagai kewajiban Laki-laki, Orang Tua,
Masyarakat, Majikan dan Negara Setiap perempuan berhak :
a. diperlakukan sama tanpa diskriminasi dalam pekerjaan, pergaulan, agama, dan
kegiatan politik;
b. memperoleh cuti hamil dan menstruasi, menyusui bayi;
c. bebas dari pelampiasan kekerasan dari laki-laki. Ke dalamnya termasuk
kekerasan fisik, seksual, dan mental;
d. bebas dari rasa takut atas ancaman perlakuan dari laki-laki.
Setiap anak berhak :
a. untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari tindak kekerasan,
eksploitasi dan keterlantaran;
b. atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
c. untuk beribadah menurut agamanya dalam bimbingan orang tua;
d. untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;
e. memperoleh pelayanan kesehatan;
f. memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan minat dan bakatnya;
g. menyatakan dan didengar pendapatnya;
h. beristirahat dan memanfaatkan waktu luang demi pengembangan diri;
i. memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan
dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan, sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan
pelibatan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk; dan
j. memperoleh hak-hak lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Subtansi peraturan daerah ini terutama berasal dari muatan local dan
karakteristil local , dalam hal ini yang berkaitan dengan bahan sumber hukum tidak
tertulis adalah yaitu hukum adat dan ada-istiadat Dayan gunung. Pengaturan ini
merupakan kewenangan pilihan (regulatory) yaitu kewenangan yang berdasarkan
karateristik local dapat dilihat dalam pasal 13 Undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, junto pasal 18 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945
menyatakan;
Bersasarkan hal tersebut maka subtansi Peraturan Daerah dapat bersumber dari
Adat setempat dalam hal ini adalah Hukum Adat Dayan gunung. Karena kewenangan
mengatur tersebut disampaikan oleh Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
A. LANDASAN FILOSOFIS
A. KESIMPULAN
1. Pelangaran-pelanggaran berkaitan dengan hak perempuan dan anak serta tindak
kriminal terhadap mereka merupakan hal yang meresahkan masyarakat, sangat
disayangkan peran pemerintah dalam bidang perlindungan belum efektif apalagi
beberapa system perlindungan yang ada belum mampu menghindarkan pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi karena sebagaian masyarakat tidak memperoleh akses
perlindungan. Di samping itu peraturan yang ada hanya bersifat normative tidak
berada dalam lingkup kebijakan dan perencanaan sehingga perlindungan hanya partial
dan sporadic, dan tidak melibatkan komponen masyarakat yang berinteraksi dengan
perempuan anak, sehingga pelanggran dan tindak kriminal terhadap anak menjadi
massive dan ditutup-tutupi oleh fungsionaris masyarakat.
2. Kebutuhan Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara akan dibuatnya Peraturan
Daerah mengenai Perlindungan Anak sangat perlu sekali karena hal ini dapat ditinjau
dari aspek kewenangan, aspek legalitas, dan aspek kebutuhan sebagai aturan otonomi
yang bersifat responsive. Peraturan daerah ini dibuat untuk mengakomodir kondisi
real di lapangan untuk dapat mewujudkan supremasi hukum dalam bidang
perlindungan perempuan dan anak
B. SARAN
1. Bahwa kiranya segera dibentuk peraturan daerah yang memberikan perlindungan
bagi perempuan dan anak di Lombok Utara sekaligus dapat mengangkat harkat dan
mastabat perempuan dan anak sekaligus memberikan kejelasan bagi masa depan
mereka;
2. Bahwa dalam adat Dayan gunung terlihat jelas bahwa anak dipangku kamanakan
dibimbiang memberian garansi kepada Pemerintah Daerah bahwa secara komunal
seluruh sendi tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin, termasuk organisasi sosial
seperti KAN, LKAAM dan Bundo Kanduang merupakan organ dalam masyarakat
yang ikut bertanggung jawab, dan ini dengan nyata harus dilibatkan secara langsung .
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagir Manan, Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, In
-Hill .Co, Jakarta, 1992, hlm 13.
2. M. Irfan Islami, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanan Negara, Bina
Aksara, Jakarta, 1986, hal 1
3. Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta :1998 hal 24
4. Sjahmunir : kedudukan Wanita dalam Kepemilikan Hak Ulayat di
Minagkabau, Buletin Nagari, 2004
5. Zakaria Ahmad Al Barry, Hukum Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
tanpa tahun, hal 114.
6. Zakiah Derajat, Kesehatan Mental, Inti Idayu Press, Jakarta, 1983, hal 181.
7. Irma Setyowati, op cit, hal 19.
8. Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasai dan Hukum Perlindungan
Anak, Granmedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, 2000, hal 27.
9. Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara,
Jakarta, 1990, hal 14.
10. Abdul Hakim Garuda Nusantara, Prospek Perlindungan Anak, makalah
seminar Perlindungan Anak, Jakarta, 1986, hal 22.
Sistem Perlindungan Hukum adalah suatu ajaran/konsep tentang bagaimana
pelaksanaan perlindungan hukum di tengah-tengah masyarakat, perlindungan hukum
secara aktif dilakukan oleh Negara, sedangkan perlindungan hukum pasif dilakukan
oleh partisan (non governanve). Secara garis besar system perlindungan hukum
menjelaskan tentang kapan dimulai berlakunya perlindungan hukum dan untuk tujuan
apa perlindungan hukum tersebut dilakukan. Olah karena itu dikenallah system
perlindungan hukum yang bersifat preventive, preamtive, dan represif. Kealpaan
Negara dalam system perlindungan hukum, akan berakibat langsung pelanggaran
HAM.
“Law as a toll social engineering” diungkapkan oleh R Pound seorang filsafat
social di Amerika dengan ajaran Sosiological Yurisprudence, di sitir oleh Soejono
Soekamto, Sosiologi Hukum lihat juga Sacipto Raharjo dalam Penghantar Ilmu
Hukum
Politik Hukum ilmu baru dibidang hukum penngemukanya adalah “ Daniel S
L, Mahfud MD, dan Kawan-kawan” bidang ini mengemukakan bagaimana politik dan
kebijakan peraturan menangani suatu fenomena di masyarakat, system hukum apa
yang akan cendrung dengan baik di gunakan dan sterusnya.
Philipus M. Hadjon, ed all, Penghantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gajah Mada Universty Press, jogyakarta, 1994, hal. 152
Philip Nonet dan Philip Zelnic, Hukum Responsive
Istilah lain wilayah kewenangan adalah yurisdiksi
Aturan dan kaarifan local disebut sebagai folklore dan wisdom