Anda di halaman 1dari 88

LABORATORIUM DASAR TEKNIK ELEKTRO

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA

PERCOBAAN V
RANGKAIAN LC RESONANSI, DAN
GAYA GERAK LISTRIK

M. HUSNUL ULLUM AZHARI


(1605541030)

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
PERCOBAAN V
RANGKAIAN LC RESONANSI, DAN
GAYA GERAK LISTRIK

5.1 Tujuan
1. Mengetahui sifat dari rangkaian LC sebagai fungsi frekuensi
2. Mempelajari prinsip Induksi Gaya Gerak Listrik dan aplikasinya.

5.2 Alat dan Bahan


1. Board mount BR-3
2. Board NO-07 (LC CIRCUIT and RESONANCE)
3. Papan no-14
4. Generator fungsi
5. Multimeter digital
6. Osiloskop
7. Penghitung frequensi (10Hz – 100KHz)
8. Kabel koneksi

5.3 Dasar Teori


5.2.1 Rangkaian RLC
Rangkaian RLC adalah rangkaian yang terdiri dari resistor, induktor,dan
kapasitor, dihubungkan secara seri atau paralel. Mengapa di namakan RLC,
karena nama ini menjadi simbol listrik biasa untuk ketahanan, induktansi dan
kapasitansi masing-masing. Rangkaian ini membentuk osilator harmonik dan akan
beresonansi hanya dalam cara yang sama sebagai rangkaian LC. Perbedaan dari
rangkaian ini terlihat dari resistor, yang di mana setiap osilasi disebabkan di sirkuit
akan mati dari waktu ke waktu jika tidak terus berjalan dengan sumber. Ini efek dari
resistor yang disebut redaman. Resistensi dari beberapa resistor tidak dapat di
hindari di sirkuit nyata, bahkan jika resistor tidak secara khusus dimasukkan
sebagai komponen. Sebuah sirkuit LC murni adalah suatu ideal yang benar-benar
hanya ada dalam teori. Untuk rangkaian RLC seri yang menggunakan arus AC,
maka arus listrik akan mendapat hambatan dari R, L dan C. Hambatan tersebut
dinamakan Impedansi (Z). Impedansi merupakan gabungan secara vektor dari XL,
XC dan Ryang besarannya dilihat dari satuan Z. Ada berbagai macam jenis RLC
untuk sirkuit ini. Sehingga rangkaian ini paling banyak digunakan dalam berbagai
jenis rangkaian osilator. Rangkaian yang terpenting adalah untuk tuning, seperti di
penerima radio atau televisi, di mana digunakan untuk memilih rentang frekuensi
yang sempit dari gelombang radio ambien. Rangkaian RLC ini sering di
sebut sebagai sirkuit disetel. Sebuah rangkaian RLC dapat digunakan sebagai band-
pass filter atau band-stop filter. Tuning aplikasi, misalnya contoh dari band-pass
filter. Filter RLC digambarkan sebagai sirkuit kedua-order, yang berarti bahwa
setiap tegangan atau arus pada rangkaian dapat digambarkan dengan persamaan
diferensial orde kedua dalam analisis rangkaian. Tiga elemen penting dalam
rangkaian ini dapat di kombinasikan dalam sejumlah topologi yang berbeda. Semua
tiga elemen secara seri atau ketiga elemen secara paralel adalah rangkain sederhana
dalam konsep dan yang paling mudah untuk menganalisa. Namun demikian,
pengaturan lain, beberapa dengan kepentingan praktis di sirkuit nyata. Demikian
penjelasan singkat mengenai Rangkaian RLC, semoga bermanfaat bagi anda yang
sedang mencari info penting dari komponen RLC. Anda juga bisa membaca artikel
kami lainnya, yaitu Rangkaian LED,Rangkaian Flip Flop dan Rangkaian Paralel.
Ketika sebuah induktor dan kapasitor, bersama dengan resistor, dari
rangkaian RLC seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.1(a), hubungan fase antara
XL dan XC ditunjukkan pada gambar 5.1(b).

Gambar 5.1 Rangkaian RLC Seri


Impedansi Z dari rangkaian di atas adalah
𝑍 2 = √𝑅2 + (𝑋𝐿 − 𝑋𝐶 )2 ..................................................... (5.1)
Pada persamaan di atas diasumsikan bahwa XL lebih besar dari XC. Jika tidak, itu
bias menjadi (XC-XL). Dalam rangkaian LC, baik L atau C harus memiliki tanda
minus. Alasan untuk tanda minus adalah perbedaan fase antara L dan C sebesar 180
derajat.
Contoh: Pada gambar 5.1, R = 30 ohm, XL = 100 ohm dan XC = 90 ohm.
𝑍 = √302 + (100 − 10)2 = 31,62 𝑂ℎ𝑚
Jika XL = XC ,kemudian Z = 30 ohm yang sama seperti R , XL dan XC
membatalkan satu sama lain. Ketika R, L dan C terhubung secara paralel,
karakteristik rangkaian dapat dilihat pada gambar 5.2.

Gambar 5.2 Rangkaian Paralel RLC

Impedansi rangkaian adalah


𝐸
𝑍= .................................................................... (5.2)
𝐼𝑇

𝐼𝑇 = √𝐼𝑅 2 + (𝐼𝐿 − 𝐼𝐶 )2 ........................................................... (5.3)

Ketika IL = IC , arus benar-benar membatalkan satu sama lain dan IT =IR.


Catatan :
Resistor R pada rangkaian dapat menjadi sebuah resistor eksternal atau
kerugian komponen pada L dan C. Hal ini berarti R mengalami kerugian komponen
dari L dan C, sehingga besar nilai R menjadi sangat tinggi. Hal ini berarti ketika IL
= IC (XL = XC) arus yang diberi dari sumber terlalu kecil. Keadaan seperti ini disebut
resonansi LC paralel dan frekuensinya disebut frekuensi resonansi.
Sejauh ini secara ringkas dapat dikelompokkan menjadi: impedansi
rangkaian LC seri bersifat minimum ketika XL = XC. impedansi rangkaian LC paralel
bersifat maksimum ketika XL = XC. Rangkaian RLC seri dan respon frekuensi dapat
dilihat pada gambar 5.3.

Gambar 5.3 Rangkaian RLC Seri

Pada gambar 5.3 (b) .jelas bahwa besarnya arus yang maksimum pada
frekuensi resonansi Fo karena ini adalah di mana XL dan XC membatalkan satu sama
𝐸 𝐸
lain. Oleh karena itu, R menjadi impedansi rangkaian dan 𝐼𝑂 = 𝑍 = 𝑅.

Meningkatnya frekuensi atau penurunannya berpusat di sekitar Fo, arus rangkaian


bervariasi dengan cepat. Rasio antara Fo dan bandwidth yang secara grafis
didefinisikan dalam gambar, disebut Q pada rangkaian. Pada gambar, Q digunakan
untuk mewakili selektivitas frekuensi dari rangkaian. Oleh karena itu :
Q = Fo / Bw atau Q = XL / R
Gambar 5.4 Rangkaian RLC Paralel

Rangkaian RLC paralel ditunjukkan pada gambar 5.4. Terlihat bahwa


susunan paralel memberikan karakteristik yang berbeda.
Catatan pada gambar arus rangkaian diminimalkan pada Fo, karena pada frekuensi

ini, IL– IC= 0 oleh karena itu 𝐼𝑂 = √𝐼𝑅 2 + (𝐼𝐿 − 𝐼𝐶 )2 = 𝐼 𝑅 .

Q dari rangkaian RLC paralel dapat didefinisikan dengan cara yang sama
Q = F0 / BW atau Q = ZTANK / XL

PAPAN NO-08 RANGKAIAN RLC DAN RESONANSI


Gambar 5.5 Percobaan Rangkaian LC Board NO-08 dan Resonansi

5.2.2 Pembangkitan Gaya Gerak Listrik Induksi


Kumparan pada transformator memindahkan energi listrik dari satu
kumparan ke kumparan yang lain melalui kopling magnetik. Kumparan primer dan
sekunder secara fisik terisolasi satu sama lain. Namun, ketika kumparan primer
menarik arus dari sumber tegangan AC dimana ini terhubung maka, arus yang sama
menghubungkan kumparan sekunder dan menaikkan tegangan pada kumparan
sekunder sebagai akibat dari gaya gerak listrik induksi. Induktansi bersama yang
menghubungkan primer dan sekunder di..definisikan sebagai:

𝑀 = (𝑁2 ∅)/𝑖1 ………………………………………..(5.4)


dimana L1 dan L2 adalah induktansi sendiri primer dan sekunder :
k = Koefisien Kopling
i1 = Konten Primer
N2 = Jumlah Gulungan Sekunder
∅ = Kebocoran Flux
Ketika tidak ada kebocoran fluks antara primer dan sekunder, k = 1. Dalam
transformator yang sebenarnya, sulit untuk mengharapkan tidak ada kebocoran.
Namun, dengan desain yang baik dapat membuat k mendekati 1 ketika praktek
berikut sudah dilakukan.
1. Dua kumparan harus ditempatkan sedekat mungkin. konsentris berliku
penempatan pada kumparan tunggal menghasilkan kopling yang baik.
2. Sebuah inti tanpa celah udara akan memiliki flux kopling (gandengan)
bersama yang lebih besar seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.6

Gambar 5.6 Flux dalam Inti Magnet

Dalam inti magnetik tegangan induksi pada kumparan sekunder adalah:


𝑑𝑖
𝑒2 = −𝑀 .................................................................. (5.5)
𝑑𝑡

Tegangan induksi sebanding dengan M dan arus primer i, tetapi berbanding terbalik
dengan periode waktu.

5.2.3 Pembangkitan Gaya Gerak Listrik Dalam Medan Magnet


Prinsip terbentuknya gaya gerak listrik (GGL) dalam sebuah penghantar merupakan
peristiwa induksi seperti gambar di samping. Apabila sebatang penghantar digerak-
gerakkan sedemikian rupa dalam medan magnet sehingga memotong garis-garis
gaya magnet, maka pada penghantar tersebut akan terbentuk GGL induksi.
Gambar 5.7 Arah GGL

Arah gerak GGL induksi yang terjadi ditunjukkan dengan aturan tangan
kanan sebagai berikut (perhatikan gambar 5.7). Bila telapak tangan kanan dibuka
sedemikian rupa sehingga ibu jari dan keempat jari lainnya saling tegak lurus (900),
maka ibu jari menunjukkan arah gerak penghantar (F) sedangkan garis yang
menembus telapak tangan kanan adalah garis gaya (medan) magnit (Φ) dan empat

jari lainnya menunjukkan arah GGL induksi yang terjadi (e), perhatikan gambar
(5.7).

Gambar 5.8 Terbentuknya GGL Induksi

Untuk lebih memahami prinsip terbentuknya GGL induksi perhatikan


percobaan Faraday seperti pada gambar (5.8). Jika batang magnet didorong masuk,
jarum galvanometer G akan bergerak dan jika mendorongnya dihentikan, jarum
galvanometer akan diam. Demikian pula sebaliknya, jika batang magnet diubah
arah gerakannya (ditarik), jarum galvanometer akan bergerak sesaat dan kembali
diam jika gerakan batang magnet dihentikan dan gerakan jarum galvanometer
mempunyai arah yang berlawanan dengan arah gerakan semula.
Bergeraknya jarum galvanometer tersebut disebabkan oleh adanya GGL induksi
pada kumparan dan besar GGL induksi yang terjadi sesuai dengan hukum Faraday
II adalah :

Besarnya GGL induksi yang terjadi dalam suatu penghantar atau rangkaian
berbanding lurus dengan kecepatan perubahan flux magnet yang

dilingkupinya. Secara matematis dituliskan :


Jika penghantar tersebut merupakan sebuah kumparan dengan N lilitan, maka besar
GGL induksi yang terjadi adalah :

Tanda negatif pada persamaan di atas menunjukkan persesuaian dengan hukum


Lenz sebagai berikut :

Arah arus induksi dalam penghantar sedemikian rupa sehingga medan magnet yang
dihasilkan melawan perubahan garis-garis gaya maget yang menimbulkannya.
Gambar 5.9 Kumparan Lilitan N yang Diputar

Gambar di atas adalah sebuah kumparan dengan N lilitan yang diputar pada suatu
sumbu dalam medan magnet homogen. Saat kumparan pada posisi A – B (lihat
gambar A dan gambar B), fluks magnet (Ф) yang berhasil dilingkupi adalah
maksimum (Фm). Tetapi saat kumparan diputar berlawanan arah jarum jam sejauh
α dan berada posisi A’ – B’ maka fluks
magnet yang berhasil dilingkupi hanya sebesar :

Ф = Фm cos α. . . . . (1)

Bila kumparan kumparan tersebut diputar dengan kecepatan ω dan perubahan dari
posisi AB ke posisi A’ B’ ditempuh dalam waktu t detik, maka besar sudut yang
ditempuh adalah α = ω . t.

Gambar 5.10 Kumparan yang di Pengaruhi Kecepatan


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar flux magnet yang dapat
dilingkupi oleh kumparan setiap saatnya adalah :
Ф = Фm cos ω . t . . . . (2)

Sehingga besar GGL induksi yang terjadi setiap saatnya dapat dihitung sbb :

e = N.Фm sin ωt. ω . . . . (3)

e = ω.N.Фm sin ωt . . . . (4)

Dari persamaan di atas terlihat bahwa GGL induksi (tegangan) e merupakan fungsi
sinus.
Hal ini berarti bahwa tegangan e akan mencapai harga maksimum pada saat
sin ωt = 1.

Dengan demikian besarnya tegangan maksimum dapat dihitung sebagai berikut :


Em = ω.N.Фm . . . . (5)

Sehingga persamaan (4) berubah menjadi :


e = Em sin ωt . . . . (6)

Bila tegangan ini dihubungkan dengan beban resistif, maka arus akan mengalir dan
persamaan arusnya dapat ditulis sebagai berikut :
i = Im sin ωt . . . . (7)
Gambar 5.11 Kumparan Dihubungkan Beban Resitif

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami, bahwa jika kumparan di


atas diputar sejauh 2π radian (3600), maka tegangan yang terjadi akan berbentuk
gelombang sinus seperti pada gambar di samping dan dari gambar tersebut terlihat
bahwa tegangan akan mencapai harga maksimumnya pada saat :

karena pada saat tersebut nilai sinusnya sama dengan satu dan minus satu. Harga
maksimum disebut juga dengan harga puncak (peak value) atau amplitudo.
Sedangkan harga maksimum positif ke maksimum negatif disebut dengan harga
puncak ke puncak (peak to peak value).

Michael Faraday (1791-1867), seorang ilmuwan berkebangsaan Inggris,


membuat hipotesis (dugaan) bahwa medan magnet seharusnya dapat menimbulkan
arus listrik. Untuk membuktikan kebenaran hipotesis Faraday. Berdasarkan
percobaan, ditunjukkan bahwa gerakan magnet di dalam kumparan menyebabkan
jarum galvanometer menyimpang. Jika kutub utara magnet digerakkan mendekati
kumparan, jarum galvanometer menyimpang ke kanan. Jika magnet diam dalam
kumparan, jarum galvanometer tidak menyimpang. Jika kutub utara magnet
digerakkan menjauhi kumparan, jarum galvanometer menyimpang ke kiri.
Penyimpangan jarum galvanometer tersebut menunjukkan bahwa pada kedua ujung
kumparan terdapat arus listrik. Peristiwa timbulnya arus listrik seperti itulah yang
disebut induksi elektromagnetik. Adapun beda potensial yang timbul pada ujung
kumparan disebut gaya gerak listrik (GGL) induksi.

Terjadinya GGL induksi dapat dijelaskan seperti berikut. Jika kutub utara magnet
didekatkan ke kumparan. Jumlah garis gaya yang masuk kumparan makin banyak.
Perubahan jumlah garis gaya itulah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan
jarum galvanometer. Hal yang sama juga akan terjadi jika magnet digerakkan
keluar dari kumparan. Akan tetapi, arah simpangan jarum galvanometer
berlawanan dengan penyimpangan semula. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa penyebab timbulnya GGL induksi adalah perubahan garis gaya magnet
yang dilingkupi oleh kumparan.
Menurut Faraday, besar GGL induksi pada kedua ujung kumparan sebanding
dengan laju perubahan fluks magnetik yang dilingkupi kumparan. Artinya, makin
cepat terjadinya perubahan fluks magnetik, makin besar GGL induksi yang
timbul. Adapun yang dimaksud fluks nmgnetik adalah banyaknya garis gaya
magnet yang menembus suatu bidang.
Dalam pembahasan di atas, sinyal input yang dibutuhkan adalah sinyal AC
yang berubah-ubah atau bervariasi waktu. Pada bagian ini, pembangkitan gaya
gerak listrik dalam bidang DC (atau medan dari magnet permanen) oleh kumparan
bergerak akan dibahas. Prinsip dasar menghasilkan Gaya Gerak Listrik dalam
medan magnet stasioner oleh konduktor bergerak disajikan pada Gambar 5.7.
Sebuah generator nyata berdasarkan Gambar 5.7 dapat dilihat pada modul M-4 dari
Gambar 5.7. Konduktor berputar yang disebut armature memotong medan magnet
seragam dan seperti halnya, menghasilkan Gaya Gerak Listrik. Besarnya Gaya
Gerak Listrik e dinyatakan sebagai berikut:
𝑑∅
𝑒=𝑁 = 𝑁. 𝜔. ∅𝑚 cos(𝜔𝑡) .......................................... (5.6)
𝑑𝑡

Dimana N adalah jumlah gabungan dari kumparan


∅𝑚 adalah flux maksimum yang dipotong oleh kumparan
ω = 2πf
Terlihat jelas dari persamaan di atas bahwa ketika kumparan berorientasi 90
derajat relatif terhadap medan, Gaya Gerak Listrik berada di titik maksimum. Juga,
ketika dinamo berputar pada tingkat frekuensi f, nilai RMS dari Gaya Gerak Listrik
dinyatakan sebagai
𝐸𝑚 2𝑥
𝐸= = 𝑓𝑁∅𝑚 − 4.44𝑓𝑁∅𝑚 ....................................... (5.7)
√2 √2

Gambar 5.7 Generasi emf pada Medan Magnet Statis


5.4 Cara Kerja
1. Pasang board NO-07 ke board mount

Gambar 5.8 Diagram Pengukuran dari Percobaan Rangkaian RLC

5.4.1 Percobaan Rangkaian RLC Seri


1. Mengacu pada gambar 5.7 dan 5.8, hubungkan keluaran (output) dari
generator fungsi ke terminal dimana semua keluaran itu diindikasikan
dengan “f” di sisi kiri bawah dari papan. Atur generator fungsi menjadi
gelombang sinus 20 Khz dan 20 Vp-p. Juga hubungkan CH-1 dan CH-
2 dari osiloskop ke papan.
2. Atur osiloskop sehingga di sekitar 2 siklus sinyal 20 Khz terlihat di layar
osiloskop. Juga pastikan channel inputan semua diatur untuk dikalibrasi
dan osiloskop disesuaikan untuk mengukur fase 2 input.
Catatan:
Melihat tampilan di layar berada pada titik puncak ke puncak,
sedangkan voltmeter membaca nilai RMS:
𝑉𝑝𝑝
𝑉𝑟𝑚𝑠 = ……………………….………..(5.8)
2√2

3. Ukur tegangan di Rd dan tentukan arus I. Juga ukur tegangan melintasi


a-c (Ea-c). Hitung impedansi yang melewati a-c.
Catatan:
Impedansi di a-c = tegangan Ea-c / I. Jika I berada di RMS maka
tegangan harus di RMS
4. Bandingkan tegangan Ea-c dari ke 4 langkah diatas dengan nilai yang
dihitung berdasarkan rumus berikut:
Catatan:

Gambar 5.9 I Vs. F Grafik Rangkaian RLC Seri

5. Gambar 5.9 disediakan untuk menghasilkan grafik frekuensi (f)


berbanding arus (I). Selesaikan grafik dengan merubah frekuensi dari 10
Khz- 100 Khz. Arus diperoleh dengan membagi tegangan di Rd oleh
Rd. Dalam hal ini output dari penurunan generator fungsi, meningkatkan
kerugian output.7
6. Hubungkan generator fungsi untuk rangkaian seperti yang ditunjukkan
pada gambar 5.10 mengatur output dari generator fungsi untuk
gelombang sinus 20 Khz dan 20 Vp-p. Dan tegangan Rd, menentukan
arus rangkaian.
Gambar 5.10 Perangkat Pengukuran untuk Resonansi Paralel (1)

7. Mengubah rangkaian seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.11. Tanpa


mengubah frekuensi dan besarnya sinyal. Mengukur tegangan Rd 1 dan
Rd 2 dan menentukan IL dan IC. Bandingkan nilai IL dan IC dengan arus
yang diperoleh pada arus langkah nomor 7. Jika 2 nilai yang sama
menjelaskan mengapa arus tidak sama dengan IL + IL. Jika nilai R, L dan
C menyimpang itu menyebabkan kesalahan dalam pengukuran.

Gambar 5.11 Perangkat untuk Pengukuran Resonansi Paralel (2)

8. Kembali pada rangkaian gambar 5.10 dan ulangi langkah nomor 6.

5.4.2 Karakteristik Impedansi dan Frekuensi Pada Rangkaian LCR


1. Membuat koneksi per gambar 5.12 dengan garis variasikan frekuensi
generator fungsi dan mencari frekuensi resonansi V0. Hitung resonansi
(Q) impedansi (Z) dari rangkaian tangki. Pastikan output dari generator
dengan kompensasi untuk mempertahankan keluaran konstan.
Frekuensi diperoleh dari hubungan berikut.
1
2𝜋𝑓𝐿 = ………….............………………(5.9)
2𝜋𝑓𝐶

Sehingga:
1
𝑓= ……………………………………(5.10)
2𝜋√𝐿𝐶

2. Membuat koneksi per gambar 5.12 dengan garis putus-putus. Rangkaian


ekuivalen ditunjukkan pada gambar 5.13. Cari frekuensi resonansi K+
dan impedansi paralel. Cari nilai resonansi (Q).

Gambar 5.12 Pengaturan Untuk Pengukuran Rangkaian LCR

Gambar 5.13 Rangkaian Ekuivalen pada Langkah 2

Arus pada rangkaian, ketika tegangan puncak pada resistor 100 Ω


adalah sebagai berikut :
1 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 100 𝑂ℎ𝑚 (𝑝 − 𝑝)
𝐼= ×
2√2 100 𝑂ℎ𝑚
1 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘𝑎𝑛
𝑍= ×
2√2 1

3. Dengan cara yang sama seperti di atas, tentukan arus pada rangkaian I
dengan frekuensi dari 5 KHz sampai 50 KHz dengan kenaikan 2 KHz.
Gambarlah sebuah grafik dari F vs. I. Ulangi prosedur dengan
menambahkan tahanan 10 K Ω dan 1 K Ω pada saat dipasang paralel
menjadi rangkaian penuh. Saat keadaan manakah yang memberikan
harga Q lebih tinggi?
4. Gunakan elemen rangkaian pada gambar pada sisi kanan, hubungkan
rangkaian-rangkaian pada gambar 5.14 dan 5.15. Buatlah sebuah kurva
yang menunjukkan perbandingan F:Eo.
Catatan:

Gambar 5.14 Karakteristik Low Pass Filter

Gambar 5.15 Karakteristik High Pass Filter

Filter- filter terdiri dari R dan L atau R dan C yang memiliki efek
pertama. Ketika frekuensi ganda (1 oktaf), terjadi perubahan pada output
(keluarannya) dengan faktor 2 atau ½ . Namun, filter LC memiliki efek
urutan kedua. Ketika terjadi perubahan frekuensi maka faktornya berupa
2, perubahan outputnya adalah berupa 4 atau ¼. Efek kedua yang
terjadi pada filter LC dapat ditunjukkan dengan tingkat kemiringan yang
lebih curam pada kurva.

5.4.3 Pembangkitan dari Gaya Gerak Listrik berdasarkan Persamaan


Kopling
1. Pasang papan no 14 di papan susun
2. Hubungkan generator fungsi kesumber AC di modul M-1. Set generator
ke 100 KHz (RMS)
3. Hubungkan oscilloscope dengan beban kedua.
4. Tekan inti gulungan dan amati outputnya. Apakah outputnya
bertambah? Ulangi langkah tersebut.
Gambar 5.16 Generasi Papan Elektromagnetik

5. Pakai 1MHz, 3 Vrms sinyal ke L₁ modul M-2.


6. Hubungkan oscilloscope melalui l2 dan atur oscilloscope kemudian
amati sinyal 1 MHz 1 Vrms.
7. Pisahkan inti L2 dari L1. Secara perlahan majukan L2 menuju L1dan
amati tegangan pada L2. Ulangi langkah. Jelaskan mengapa tegangan
bertambah pada L2 seperti L2 mendekati L1.
5.4.4 Pembangkitan Gaya Gerak Listrik dari Magnet Permanen
1. Hubungkan oscilloscope ke terminal EMF OUTPUT seperti modul M-
3. Set oscilloscope ke DC dan 20 mV. Atur waktu ke 0.2 S/Div.
2. Tekan tangkai dari modul dan amati output dari oscilloscope.
3. Pindahkan magnet permanent dengan cepat atau perlahan dan amati
keluaran dari oscilloscope. Perhatikan bahwa keluaran dihasilkan hanya
ketika magnet dalam keadaan bergerak. Kemudian, apabila magnet
bergerak dalam keadaan lambat, akan membutuhkan ketelitian untuk
mendapatkan hasil keluaran.
4. Matikan sumber daya dan atur tegangan keluaran kearah berlawan dari
jarum jam untuk mendapatkan keluaran 0V. Hubungkan sumber daya
keluaran ke DC 12V, masukan terminal dalam M-4 pada modul
generator. Sumber daya DC digunakan untuk member energy motor DC
yang menggerakkan generator.
5. Hubungkan multimeter digital ke keluaran AC terminal modul di M-4
dan set multimeter ke kisaran AC 2v.
6. Hubungkan frekuensi counter ke keluaran AC terminal. Set pengukur
untuk pembacaan 60 Hz
7. Hidupkan sumber daya, tambahkan tegangan keluaran secara perlahan.
Amati frekuensi dan keluaran generator dan lengkapi tabel berikut
Tabel 5.1 Frekuensi keluaran generator
10 Hz 20 Hz 30 Hz 40 Hz 50 Hz 60 Hz

8. Hubungkan oscilloscop ke terminal output AC dan perhatikan bentuk


gelombang keluaran. Jelaskan bentuk gelombang yang diperoleh serta
jelaskan keluaran generator.
9. Tegangan output proporsional dengan frekuensi output generator AC .
Jelaskan mengapa dengan mengacu pada persamaan berikut.
𝑒 = 𝑁 ⟒ 𝛷𝘮 𝐶𝑜𝑠 ⟒ 𝑡, ⟒= 2πf
10. Prinsip DC generator ditunjukkan pada Gambar 16-4. Jelaskan
perbedaan antara AC dan DC generator .
Gambar 5.17 Prinsip Generator DC

5.4.5 Rangkuman

5.4.5.1 Rangkaian LC Resonansi


1. Impedansi dari rangkaian LC adalah bernilai minimum ketika terjadi
resonansi pada rangkaian. Pada kenyataannya, impedansi dari rangkaian
paralel LC adalah bernilai maksimum ketika terjadi resonansi pada
rangkaian tersebut. Pada kedua kasus tersebut, diperlukan besar XL =
XC agar bias terjadi resonansi. Frekuensi resonansi dapat ditemukan
dari persamaan 5.11.

2. Ketika frekuensi lebih rendah dari frekuensi resonansi (Fr) maka terjadi
resonansi pada rangkaian LC, dimana XC lebih besar dari XL dan
rangkaian ini terjadi resonansi yang bersifat kapasitif. Ketika frekuensi
lebih tinggi frekuensi resonansi (fr), maka XL lebih besar dari XC, dan
secara keseluruhan impedansi dari rangkaian adalah bersifat induktif.
Berikut adalah hubungan antara XC dan XL yang ditunjukkan pada
gambar di bawah ini:
Gambar 5.18 hubungan antara XC dan XL

3. Pada rangkaian resonan LC paralel, energy dibebankan ke tangki


berisolasi secara bolak-balik antara L dan C. Seperti halnya, sejumlah
energy kecil yang melalui resistansi DC dari L dan kerugian dielektrik
di C pada setiap siklus. Berikut adalah ilustrasi yang terdapat pada
gambar di .bawah ini:

Gambar 5.19 Ilustrasi rangkaian resonan LC parallel

a. Rugi-rugi unsure pada resonansi LC

Gambar 5.20 Gelombang arus beban dilepaskan


b. Hilangnya arus akibat rugi-rugi pada komponen
4. Berdasarkan gambar, Q pada resonan rangkaian RLC seri dapat
dirumuskan Q = XL / R, atau Q = EC / EL atau Q = EL / EI . Dengan
kata lain, tegangan pada XC atau XL diperkuat oleh adanya faktor Q.

Gambar 5.21 Q pada resonan rangkaian RLC

EL = I X √R2 + XL2 ……………………..…………..…..(5.11)


EC = I x Xc……..………………………...……..(5.12)

5. Resonan pada rangkain paralel, Q = ZTank/ XL , atau Q = IL /ISumber


atau Q = IC / ISumber. Dengan kata lain, arus pada rangkaian diperkuat
oleh adanya faktor Q.

Gambar 5.22 Resonan pada rangkain parallel

EI
IL = ………………………………..………(5.13)
√R2 +XL2

Ic = EI x Xc……..…………………………………..(5.14)

6. Menggunakan sifat frekuensi dari resonan rangkaian LC, rangkaian


yang dihubungkan atau filter rangkaian yang dapat dimodelkan. Dua
tipe filter ini adalah : Low pass dan high pass filter.
5.4.5.2 Gaya Gerak Listrik
1. Tegangan induksi dari perangkat induktansi sebanding dengan tingkat
coupling antara dua kumparan dan berbanding terbalik dengan Rm
keengganan jalur magnetik . Rm dapat diminimalkan dengan
memperkenalkan inti yang tepat di jalur magnetik .
2. Ggl induksi sebanding dengan sumber arus i1 dan berbanding terbalik
dengan waktu. Arah arus di sekunder berlawanan dengan arah arus
utama.
3. Output dari generator AC sebanding dengan putaran angker , kekuatan
medan dan jumlah garis fluks dihalangi oleh dinamo dan kecepatan
sudut. Outputnya adalah variasi waktu dari posisi instanteneous armatur
. Hasilnya , output adalah gelombang sinus.
4. Generator DC bekerja menggunakan prinsip yang sama seperti
generator AC . Namun, generator DC memiliki komutator yang
mengubah output dinamo ke DC .
5.5 Data Hasil Percobaan
5.5.1 Pengukuran Rangkaian RLC Seri

Tabel 5.1 Pengukuran Rangkaian RLC Seri

Frekuensi AFG 20 KHz

Channel I (Kuning) II (Biru)

Volt/Div 500mV 2V

Tinggi gelombang (div) 2 div 4 div

Time/div 25 𝜇𝑠 25 𝜇𝑠

Beda Fase 138º 138º

Panjang gelombang (div) 2 div 2 div

Gambar 5.23 Sinyal Rangkaian RLC Seri pada Frekuensi 20KHz


5.5.2 Pengukuran Rangkaian Resonansi Paralel I

Tabel 5.2 Pengukuran Rangkaian Resonansi Paralel I

Frekuens
i 10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V

Tinggi
Gelombang 1.4 1.4 1.6 1.2 1.6 0.6 2 0.6 1.4 1

(div)
Time/div
50 50 25 25 25 25 25 25 5 5
(ms)

Beda Fase 67.9 67.9 -103 -103 -14.8 -14.8 -90 -90 -119 -119

Panjang
Gelombang 2 1.6 2 2 1.4 1.4 1.6 1 2 2

(div)

Gambar 5.24 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel pada Frekuensi 10 KHz


Gambar 5.25 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel pada Frekuensi 20 KHz

Gambar 5.26 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel pada Frekuensi 40 KHz

Gambar 5.27 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel pada Frekuensi 70 KHz


Gambar 5.28 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel pada Frekuensi 100 KHz

5.5.3 Pengukuran Rangkaian Resonansi Paralel II

Tabel 5.3 Pengukuran Rangkaian Resonansi Paralel II

Frekuens
i 10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
200m 500m
Volt/Div 50V 50V 200V 100V 1V 20mV 1V 20mV
V V
Tinggi
Gelombang 2.2 4 2.4 3.2 3 1.2 3 0.8 4.4 0.4

(div)
Time/div
50 50 25 25 10 10 25 25 5 5
(ms)

Beda Fase -163º -163º -95.6º -95.6º -27º -27º -35.4º -35.4º -12.5º -12.5º

Panjang
Gelombang 2 2 2 2 2.6 3 1 0.6 1.8 2

(div)
Gambar 5.29 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel II pada Frekuensi 10 KHz

Gambar 5.30 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel II pada Frekuensi 20 KHz

Gambar 5.31 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel II pada Frekuensi 40 KHz


Gambar 5.32 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel II pada Frekuensi 70 KHz

Gambar 5.33 Sinyal Rangkaian Resonansi Pararel II pada Frekuensi 100 KHz
5.5.4 Percobaan Rangkaian Pengukuran LCR Frekuensi Resonansi K0
Tabel 5.4 Pengukuran Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0

Frekuens
i 10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
500m 200m 200m
Volt/Div 5V 5V 5V 5V 200 V 2V 500V
v V V
Tinggi
Gelombang 2 3.2 2 4 2.2 2 2.2 1.6 4 0.6

(div)

Time/div 50 𝜇𝑠 50𝜇𝑠 25𝜇𝑠 25𝜇𝑠 10𝜇𝑠 10 𝜇𝑠 10 𝜇𝑠 10 𝜇𝑠 5 𝜇𝑠 5 𝜇𝑠

Beda Fase 79,8º 79,8º 84,1º 84,1º 91º 91º 81,5º 81,5º 62,1º 62,1º

Panjang
Gelombang 2.2 2 2 2 2.8 2.4 1.8 2 2 2

(div)

Gambar 5.34 Sinyal Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0 pada Frekuensi 10 KHz
Gambar 5.35 Sinyal Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0 pada Frekuensi 20 KHz

Gambar 5.36 Sinyal Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0 pada Frekuensi 40 KH

Gambar 5.37 Sinyal Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0 pada Frekuensi 70 KHz
Gambar

5.38 Sinyal Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0 pada Frekuensi 100 KHz

5.5.5 Percobaan Rangkaian Pengukuran LCR Impedansi Paralel


Tabel 5.5 Pengukuran Rangkaian LCR Impedansi Paralel

Frekuens
i 10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 2V 5V 2V 5V 5V 5V 5V 5V 5V

Tinggi
Gelombang 2 2 2 2 2 1.6 2 1.4 2 1.2

(div)
Time/div
50 50 25 25 10 10 5 5 5 5
(ms)

Beda Fase 14,7º 14,7º 31.3º 31.3º 16.9º 16.9º 18.2º 18.2º 11,1º 11.1º

Panjang
Gelombang 2.4 2.2 2.1 2 2 2 2.8 2 2.2 2.2

(div)
Gambar 5.39 Sinyal Rangkaian LCR Impedansi Paralel 10 KHz

Gambar 5.40 Sinyal Rangkaian LCR Impedansi Paralel 20 KHz

Gambar 5.41 Sinyal Rangkaian LCR Impedansi Paralel 40 KHz


Gambar 5.42 Sinyal Rangkaian LCR Impedansi Paralel 70 KHz

Gambar 5.43 Sinyal Rangkaian LCR Impedansi Paralel 100 KHz


I. Data Hasil Percobaan
Tabel 5.6 Pembangkitan GGL Berdasarkan Berdasarkan Kopling (M-1 Audio generator 100
kHz)
Induktor Tinggi Gelombang (div) Amplitudo (Vp-p)
0,12 Mh 3,4 DIV 6,64 V
0,15 mH 3,6 DIV 7,12 V
0,17 mH 3,8 DIV 3,36 V

V/div =2V
t/div = 5 μs
Amplitudo = tinggi x V/d

Gambar 5.44 Sinyal Pembangkitan GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (M-1 Audio
Generator 100 KHz) dengan Induktor 0,12 mH

Gambar 5.45 Sinyal Pembangkitan GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (M-1 Audio
Generator 100 KHz) dengan Induktor 0,15 mH
Gambar 5.46 Sinyal Pembangkitan GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (M-1 Audio
Generator 100 KHz) dengan Induktor 0,17 mH

Tabel 5.7 Pembangkitan GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (M-2 Audio Generator 1
MHz)
Titik Inti Koil Tinggi Gelombang (div) Amplitudo (Vp-p)
1 5,8 125mV
2 3 176mV
3 4,8 246mV

V/div = 100 mV
t/div = 5 μs
Amplitudo = tinggi x V/div

Gambar 5.47 Pembangkitan GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (M-2 Audio Generator
1 MHz) Titik Inti Koil 1
Gambar 5.48 Pembangkitan GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (M-2 Audio Generator
1 MHz) Titik Inti Koil 2

Gambar 5.49 Pembangkitan GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (M-2 Audio Generator 1
MHz) Titik Inti Koil 2
Tabel 5.8 Pembangkitan GGL dari Magnet Permanen (M-3 Inti Induktor dengan Trigger)
Trigger Perlahan (Kecepatan Konstan) Trigger Cepat (Kecepatan Konstan)

Tabel 5.9 Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Pertama)


V.Motor V AVO Tinggi (div) Panjang (div) T/div F (KHz)
3V 2,3 V 3,8 2,4 5 ms 100,9
6V 3,4 V 3,4 2 5 ms 100,6
12 V 10,27 V 4 2 5 ms 100,6

1
F=T

T = Panjang gelombang x t/div

Gambar 5.50 Sinyal Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Pertama) 3 volt
Gambar 5.51 Sinyal Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Pertama) 6 volt

Gambar 5.52 Sinyal Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Pertama) 12volt

Tabel 5.10 Pembangkitan GGL dari Magnet Permanen (M-4 Kedua)


Frekuensi AFG Tegangan pada AVO Amplitudo pada Osiloskop
10 Hz 9,9 38V
20 Hz 9,9 46,8V
30 Hz 9,9 52V
40 Hz 8,7 54,8V
50 Hz 7,5 54,8V
60 Hz 7,4 49,2V

V/div = 50 V
t/div = 10 ms
Gambar 5.54 Sinyal Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Kedua) 10Hz

Gambar 5.55 Sinyal Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Kedua) 20Hz

Gambar 5.56 Sinyal Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Kedua) 30Hz
Gambar 5.57 Sinyal Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Kedua) 40Hz

Gambar 5.58 Sinyal Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Kedua) 50Hz

Gambar 5.59 Sinyal Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Kedua) 60Hz
VI. Analisa Data
5.6.1 Rangkaian RLC Seri
Tabel 5.11 Pengukuran Rangkaian RLC Seri

Frekuensi AFG 20 KHz

Channel I (Kuning) II (Biru)

Volt/Div 500mV 2V

Tinggi gelombang (div) 2 div 4 div

Time/div 25 𝜇𝑠 25 𝜇𝑠

Beda Fase 138º 138º

Panjang gelombang (div) 2 div 2 div

1. Perhitungan Secara Teori


Pada percobaan RLC seri, diketahui besar nilai dari R = 10Ω, L = 1mH =
0,001H, C = 0,01µF= 1x108F. Input gelombang tegangan diatur generator fungsi
yakni gelombang sinus sebesar 20 KHz = 20000 Hz dan 20Vp-p. Pertama yaitu
mencari besar Vrms dan Irms yang bekerja pada rangkaian yaitu:
Vp-p = 2Vmax……………..……..…….…….(5.15)
20
Vmax = = 10 Volt
2
10
Vrms = = 7,07 Volt
√2

Vrms = Irms .R……………..……...…….…….(5.16)


𝑉𝑟𝑚𝑠 7,07
Irms = = = 0,707A = 707 mA
𝑅 10

Imax = Irms .√2 = 707 . √2 = 999,85 mA


Jadi, didapat harga arus puncak positif Imax = 999,85 mA
Selanjutnya mencari amplitudo dari sinyal yang terukur pada osiloskop.
Dimana rumus untuk mencari amplitudo adalah sebagai berikut:
A = t x Volt/div………..……...………………(5.17)
Dimana : t = tinggi gelombang terukur pada osiloskop
Volt/div = tegangan yang terukur pada osiloskop
Perhitungan amplitudo untuk:
a. Channel I dimana t =2 dan Volt/div = 0.5V
A = 2 x 0.5
= 1V
b. Channel II dimana t = 4 dan Volt/div = 2V
A = 4x2
= 8V
Selanjutnya menghitung besarnya frekuensi resonansi yang bekerja pada
rangkaian dengan rumus:
1 1
fo= 2𝜋 …………….………………...………(5.18)
√𝐿.𝐶
1 1
fo= 2.3,14
√0,001(1𝑥10−8 )
1 1
fo= 6,28 3,16𝑥10−6
1
fo= 1,98𝑥10−5

fo= 50505Hz = 50,505KHz


Pada percobaan rangkaian RLC seri didapatkan beda sudut fase rangkaian
berdasarkan hasil pengukuran. Selanjutnya bandingkan hasil dari pengukuran
dengan hasil secara perhitungan secara teori menggunakan rumus:
𝑋𝐶 −𝑋𝐿
Tan-1 θ = ….……….…………..…………(5.19)
𝑅
Sebelumnya cari terlebih dahulu nilai XL dan XC sebagai berikut:
XL = 2πfL
= 2 x 3,14 x 20000 x 0,001
= 125,6 Ω
1
XC = 2π𝑓C
1
= 2x3,14x20000x(0,01x10−6 )
1
= 1,256𝑥10−3

= 796,1 Ω
796,1−125,6
Tan θ = = 67,01
10

maka beda fase pada rangkaian (θ) = 89,14º

2. Tabel Perhitungan
Tabel 5.12 Pengukuran Rangkaian RLC Seri

Frekuensi AFG 20 KHz

Channel I (Kuning) II (Biru)

Volt/Div 500mV 2V

Tinggi gelombang (div) 2 div 4 div

Time/div 25 𝜇𝑠 25 𝜇𝑠

Beda Fase 89,14º 89.14º

Panjang gelombang (div) 2 div 2 div


3. Tabel Perbandingan Perhitungan Dengan Percobaan
Tabel 5.13 Perbandingan Perhitungan dan Pengukuran Rangkaian RLC Seri

Frekuensi AFG 20 KHz


Channel I (Kuning) II (Biru)
Volt/Div 0.5 V 2V
Tinggi gelombang (div) 2 div 4 div
Time/div 25 𝜇𝑠 25 𝜇𝑠
Beda Fase (Percobaan) 138º 138º
Beda Fase (Perhitungan) 89,14º 89,14º
Panjang gelombang (div) 2 div 2 div
Amplitudo (Perhitungan) 2V 2V
4. Perhitungan Persentase Kesalahan
Besar persentase kesalahan pengukuran dengan perhitungan secara teori
dapat dicari dengan rumus:
θTeori – θPengukuran
% Kesalahan Relatif = | | x 100%………...…(5.20)
θTeori

Sehingga,
89,14−138
% Kesalahan Relatif = | | x 100% = 54.8%
89,14

5. Tabel Persentase Kesalahan


Tabel 5.14 Pengukuran Rangkaian RLC Seri

Frekuensi AFG 20 KHz


Channel I (Kuning) II (Biru)
Volt/Div 0.5 V 2V
Tinggi gelombang (div) 2 div 4 div
Time/div 25 𝜇𝑠 25 𝜇𝑠
Beda Fase (Percobaan) 138º 138º
Beda Fase (Perhitungan) 89,14º 89,14º
Panjang gelombang (div) 2 div 2 div
Amplitudo (Perhitungan) 2V 2V
Persentase Kesalahan (%)
54,8% 54,8%
Beda Fase
Dari hasil pengukuran dan perhitungan secara teori dimana hasil
perhitungan XC-XL bernilai positif maka rangkaian bersifat kapasitif, persentase
kesalahan yang di dapat adalah 54,8 %. Dapat disimpulkan bahwa dasar teori
rangkaian RLC dengan hasil pengukuran praktikum sudah mendekati hasil yang
sesuai. Dimana pengukuran menggunakan osiloskop 2 channel dan dihitung beda
fase antara kedua gelombang sinyal output. Besarnya frekuensi resonansi yang
bekerja pada rangkaian sebesar 50,505KHz.
6. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan antara beda fase perhitungan dengan beda fase percobaan dengan
persentase kesalahan mencapai 5,45%. Perbedaan hasil pada beda fase tersebut
disebabkan oleh adanya kesalahan dalam pengukuran.

5.6.2 Percobaan Rangkaian Pengukuran Resonansi Paralel I


Tabel 5.15 Pengukuran Rangkaian Resonansi Paralel I

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V

Tinggi
Gelombang 1.4 1.4 1.6 1.2 1.6 0.6 2 0.6 1.4 1

(div)
Time/div
50 50 25 25 25 25 25 25 5 5
(ms)

Beda Fase 67.9 67.9 -103 -103 -14.8 -14.8 -90 -90 -119 -119

Panjang
Gelombang 2 1.6 2 2 1.4 1.4 1.6 1 2 2

(div)
1. Perhitungan Secara Teori
Data hasil percobaan dapat diketahui besar nilai dari R = 10Ω, L = 1mH
= 0,001H, C = 0,01µF = 1x10-8F. Input gelombang tegangan diatur generator fungsi
yakni gelombang sinus yang bervariasi dari 10Khz-100Khz dan 20Vp-p. Pertama
yaitu mencari besar Vrms dan Irms sebagai berikut:
20
Vmax = = 10 Volt
2
10
Vrms = = 7,07 Volt
√2
𝑉𝑟𝑚𝑠 7,07
Irms = = = 0,707A = 707 mA
𝑅 10

Imax = Irms .√2 = 707 . √2 = 999,85 mA


Jadi, didapat harga arus puncak positif Imax = 999,85 mA
Selanjutnya mencari amplitudo gelombang yang terukur pada osiloskop
dengan persamaan 5.17.
Perhitungan amplitudo untuk Frekuensi AFG 10KHz :
a. Channel I dimana t = 1,4 dan Volt/div = 5V
A = 2x5
= 10 V
b. Channel II dimana t = 1.4 dan Volt/div = 0,5V
A = 1.6 x 0,5
= 0,8 V
Untuk variasi frekuensi yang lain menggunakan rumus yang sama dan
data hasil perhitungan amplitudo dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.16 Tabel Perhitungan Amplitudo Pengukuran Resonansi Paralel I

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG
Channel I II I II I II I II I II
Amplitudo
7 0.7 8 0,6 8 0,3 10 0.3 7 0,5
(Volt)
Selanjutnya hitung besarnya frekuensi resonansi yang bekerja pada
rangkaian dengan persamaan 5.18, sehingga:
1
fo =
2.3,14√0,001(1𝑥10−8 )
1
fo= 1,98𝑥10−5

fo= 50505Hz = 50,505KHz


Pada percobaan rangkaian resonansi paralel I didapatkan beda sudut fase
rangkaian berdasarkan hasil pengukuran dengan inputan bervariasi dari 10KHz -
100KHz. Lalu bandingkan hasil dari pengukuran dengan hasil secara perhitungan
secara teori. Sebelumnya cari terlebih dahulu nilai XL dan XC pada frekuensi 10
KHz = 10000Hz sebagai berikut:
XL = 2πfL
= 2 x 3,14 x 10000 x 0,001
= 62,8 Ω
1
XC = 2π𝑓C
1
= 2x3,14x10000x(0,01x10−6 )
1
= 6,28𝑥10−4

= 1592Ω
1592−62,8
Tan θ = = 152,92
10

maka beda fase pada rangkaian (θ) = 89,62º


Dengan menggunakan cara yang sama maka data hasil perhitungan untuk
variasi frekuensi input-an yang lain dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 5.17 Tabel Beda Fase Pengukuran Resonansi Paralel I

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG
Channel I II I II I II I II I II
XC 1592Ω 796Ω 398Ω 227Ω 159Ω
XL 62,8Ω 125,6Ω 251,2Ω 439,6Ω 628Ω
Beda Fase
67,9º -103º -14,8º -90º -119º
(Pengukuran)
Beda Fase
89,6º 89,1º 86º -87,2º -88,7º
(Perhitungan)

Dari hasil pengukuran dan perhitungan secara teori dimana hasil XC-XL
bernilai positif maka rangkaian bersifat kapasitif sedangkan jika beda fase bernilai
negatif maka bersifat induktif. Dimana pengukuran menggunakan osiloskop 2
channel dan output diukur pada channel 1 osiloskop. Besarnya frekuensi resonansi
yang bekerja sebesar 50,505KHz.
2. Tabel Perhitungan
Tabel 5.18 Perhitungan Beda Fase Rangkaian Resonansi Paralel I
Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V

Tinggi
Gelombang 1.4 1.4 1.6 1.2 1.6 0.6 2 0.6 1.4 1

(div)
Amplitudo
7 0.7 8 0,6 8 0,3 10 0.3 7 0,5
(V)
Beda Fase
(Perhitungan) 89,6º 89,6º 89,1º 89,1º 86º 86º -87,2º -87,2º -88,7º -88,7º
3. Tabel Perbandingan Perhitungan dengan Percobaan
Tabel 5.19 Perbandingan Beda Fase Perhitungan dan Percobaan Rangkaian Resonansi Paralel I
Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V

Tinggi
Gelombang 1.4 1.4 1.6 1.2 1.6 0.6 2 0.6 1.4 1

(div)
Amplitudo
7 0.7 8 0,6 8 0,3 10 0.3 7 0,5
(V)
Beda Fase
67.9 67.9 -103 -103 -14.8 -14.8 -90 -90 -119 -119
(Pengukuran)
Beda Fase
(Perhitungan) 89,6º 89,6º 89,1º 89,1º 86º 86º -87,2º -87,2º -88,7º -88,7º

4. Perhitungan Persentase Kesalahan


Besar persentase kesalahan pengukuran dengan perhitungan secara teori
dapat dicari dengan persamaan 5.20, sehingga:
89,6 –67,9
a. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 24.2%
89,6

89,1 – 103
b. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 15.60%
89,1

86 – 14,8
c. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 82.79%
86

87,2 – 90
d. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 3.21%
87,2

88,7 – 119
e. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 34.16%
88,7
5. Tabel Persentase Kesalahan
Tabel 5.20 Persentase Kesalahan Pengukuran Rangkaian Resonansi Paralel I
Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG
Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V 5V 0,5V

Tinggi
Gelombang 1.4 1.4 1.6 1.2 1.6 0.6 2 0.6 1.4 1

(div)
Amplitudo
7 0.7 8 0,6 8 0,3 10 0.3 7 0,5
(V)
Beda Fase
67.9 67.9 -103 -103 -14.8 -14.8 -90 -90 -119 -119
(Pengukuran)
Beda Fase
(Perhitungan) 89,6º 89,6º 89,1º 89,1º 86º 86º -87,2º -87,2º -88,7º -88,7º
Persentase
Kesalahan
(%) 24,2 24,2 15,60 15,60 82,79 82,79 3,21 3,21 34,16 34,16
6. Analisa Grafik

Gambar 5.60 Grafik Rangkaian Resonansi Paralel I

Pada grafik diatas, terdapat garis merah dan garis biru. Garis merah untuk
channel 1 dan garis biru untuk channel 2. Amplitudo puncak pada channel 1 terjadi
pada saat frekuensi 70 KHz (10V) , sedangkan pada channel 2 terjadi pada saat
frekuensi, 70 (0,3 V). Perbedaan pada grafik tersebut disebabkan oleh perbedaan
beda fase perhitungan dengan percobaan. Rangkaian resonansi paralel I merupakan
rangkaian band pass filter pada channel I dan high pass filter pada channel II.

7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan antara beda fase perhitungan dengan beda fase percobaan dengan
persentase kesalahan pada frekuensi 10 KHz mencapai 41,40%, dan pada frekuensi
20 KHz, 40 KHz, 70 KHz dan 100 KHz berturut-turut adalah 24,2%, 15,60%,
82,79%, 3,21%, dan 34,16%. Perbedaan hasil pada beda fase tersebut disebabkan
oleh adanya kesalahan dalam pengukuran. Rangkaian resonansi paralel I
merupakan rangkaian band pass filter pada channel I dan high pass filter pada
channel II.
5.6.3 Percobaan Rangkaian Pengukuran Resonansi Paralel II
Tabel 5.21 Rangkaian Pengukuran Resonansi Paralel II

Frekuens
i 10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
200m 500m
Volt/Div 50V 50V 200V 100V 1V 20mV 1V 20mV
V V
Tinggi
Gelombang 2.2 4 2.4 3.2 3 1.2 3 0.8 4.4 0.4

(div)

Time/div 50 50 25 25 10 10 25 25 5 5

Beda Fase -163º -163º -95.6º -95.6º -27º -27º -35.4º -35.4º -12.5º -12.5º

Panjang
Gelombang 2 2 2 2 2.6 3 1 0.6 1.8 2

(div)

1. Perhitungan Secara Teori


Data hasil percobaan dapat diketahui besar nilai dari R1 = R2 = 10Ω, L =
1mH = 0,001H, C = 0,01µF = 1x10-8F. Input gelombang tegangan diatur generator
fungsi yakni gelombang sinus yang bervariasi dari 10Khz-100Khz dan 20Vp-p.
Pertama yaitu mencari besar Vrms dan Irms sebagai berikut:
20
Vmax = = 10 Volt
2
10
Vrms = = 7,07 Volt
√2
𝑉𝑟𝑚𝑠 7,07
Irms = = = 1,414 A
𝑅 5

Imax = Irms .√2 = 1,414 . √2 = 1,99 A


Jadi, didapat harga arus puncak positif Imax = 1,99 A
Selanjutnya mencari amplitudo gelombang yang terukur pada osiloskop
dengan persamaan 5.17.
Perhitungan amplitudo untuk Frekuensi AFG 10KHz :
a. Channel I dimana t = 2.2 dan Volt/div = 50 V
A = 2,2 x 50
= 110 V
b. Channel II dimana t = 4 dan Volt/div = 0,02V
A = 4 x 0,2
= 0,8 V
Untuk variasi frekuensi yang lain menggunakan rumus yang sama dan
data hasil perhitungan amplitudo dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.22Tabel Perhitungan Amplitudo Pengukuran Resonansi Paralel II

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG
Channel I II I II I II I II I II
Amplitudo
110 0,8 120 0,64 0,03 0,6 0,06 0,016 0,088 0,008
(Volt)

Selanjutnya hitung besarnya frekuensi resonansi yang bekerja pada


rangkaian dengan persamaan 5.18, sehingga:
1
fo =
2.3,14√0,001(1𝑥10−8 )
1
fo= 1,98𝑥10−5

fo= 50505Hz = 50,505KHz


Pada percobaan rangkaian resonansi paralel II didapatkan beda sudut fase
rangkaian berdasarkan hasil pengukuran dengan inputan bervariasi dari 10KHz -
100KHz. Lalu bandingkan hasil dari pengukuran dengan hasil secara perhitungan
secara teori. Sebelumnya cari terlebih dahulu nilai XL dan XC pada frekuensi 10
KHz = 10000Hz sebagai berikut:
XL = 2πfL
= 2 x 3,14 x 10000 x 0,001
= 62,8 Ω
1
XC = 2π𝑓C
1
= 2x3,14x10000x(0,01x10−6 )
1
= 6,28𝑥10−4

= 1592Ω
1592−62,8
Tan θ = = 305,84
5

maka beda fase pada rangkaian (θ) = 89,8º


Dengan menggunakan cara yang sama maka data hasil perhitungan untuk
variasi frekuensi inputan yang lain dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 5.23 Tabel Beda Fase Pengukuran Resonansi Paralel II
Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG
Channel I II I II I II I II I II
XC 1592Ω 796Ω 398Ω 227Ω 159Ω
XL 62,8Ω 125,6Ω 251,2Ω 439,6Ω 628Ω
Beda Fase
-163º -95,6º 27º 35,4º -12,5º
(Pengukuran)
Beda Fase
89,8º 89,6º 88,1º 88,6º 89,4º
(Perhitungan)

Dari hasil pengukuran dan perhitungan secara teori dimana hasil XC-XL
bernilai positif maka rangkaian bersifat capasitif sedangkan jika beda fase bernilai
negatif maka bersifat induktif. Dimana pengukuran menggunakan osiloskop 2
channel dan output diukur pada channel 1 osiloskop. Besarnya frekuensi resonansi
yang bekerja sebesar 50,505KHz.
2. Tabel Perhitungan
Tabel 5.24 Tabel Perhitungan Beda Fase Resonansi Paralel II

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
200m 500m
Volt/Div 50V 50V 200V 100V 1V 20mV 1V 20mV
V V
Tinggi
Gelombang 2.2 4 2.4 3.2 3 1.2 3 0.8 4.4 0.4

(div)

Amplitudo 0,01 0,08 0,00


110 0,8 120 0,64 0,03 0,6 0,06
(V) 6 8 8
Beda Fase
(Perhitungan) 89,8º 89,8º 89,6º 89,6º 88,1º 88,1º 88,6º 88,6º 89,4º 89,4º

3. Tabel Perbandingan Perhitungan dengan Percobaan


Tabel 5.25 Tabel Perbandingan Beda Fase Perhitungan dan Percobaan Resonansi Paralel II
Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
200m 500m
Volt/Div 50V 50V 200V 100V 1V 20mV 1V 20mV
V V
Tinggi
Gelombang 2.2 4 2.4 3.2 3 1.2 3 0.8 4.4 0.4

(div)

Amplitudo 0,01 0,08 0,00


110 0,8 120 0,64 0,03 0,6 0,06
(V) 6 8 8
Beda Fase
(Perhitungan) 89,8º 89,8º 89,6º 89,6º 88,1º 88,1º 88,6º 88,6º 89,4º 89,4º
Beda Fase
-163º -163º -95.6º -95.6º -27º -27º -35.4º -35.4º -12.5º -12.5º
(Percobaan)
4. Perhitungan Persentase Kesalahan
Besar persentase kesalahan pengukuran dengan perhitungan secara teori
dapat dicari dengan persamaan 5.20, sehingga:
89,8−163
a. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 81,5%
89,8
89,6−95,6
b. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 6,69%
89,6
88,1 – 27
c. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 69,35%
88,1
88,6 – 35,4
d. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 60%
88,6
89,4 – 12.5
e. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 86%
89,4

5. Tabel Persentase Kesalahan


Tabel 5.26 Tabel Persentase Kesalahan Pengukuran Resonansi Paralel II

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
200m 500m
Volt/Div 50V 50V 200V 100V 1V 20mV 1V 20mV
V V
Tinggi
Gelombang 2.2 4 2.4 3.2 3 1.2 3 0.8 4.4 0.4

(div)

Amplitudo 0,01 0,08 0,00


110 0,8 120 0,64 0,03 0,6 0,06
(V) 6 8 8
Beda Fase
(Perhitungan) 89,8º 89,8º 89,6º 89,6º 88,1º 88,1º 88,6º 88,6º 89,4º 89,4º
Beda Fase
-163º -163º -95.6º -95.6º -27º -27º -35.4º -35.4º -12.5º -12.5º
(Percobaan)
Persentase
Kesalahan 81,5 81,5 6,69 6,69 69,35 69,35 60 60 86 86

(%)
6. Analisa Grafik

Gambar 5.61 Grafik Rangkaian Resonansi Paralel II

Pada grafik di atas, terdapat garis merah dan garis biru. Garis merah untuk
channel 1 dan garis biru untuk channel 2. Amplitudo puncak pada channel 1 terjadi
pada saat frekuensi 20 KHz (120V), sedangkan pada channel 2 terjadi pada saat
frekuensi 20 KHz (0,64V). Perbedaan pada grafik tersebut disebabkan oleh
perbedaan beda fase perhitungan dengan percobaan. Rangkaian resonansi paralel II
merupakan rangkaian low pass filter pada channel I dan pada channel II.

7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan antara beda fase perhitungan dengan beda fase percobaan dengan
persentase kesalahan pada frekuensi 10 KHz mencapai 81,5%, dan pada frekuensi
20 KHz, 40 KHz, 70 KHz dan 100 KHz berturut-turut adalah 6,69%, 69,35%, 60%
dan 86%. Perbedaan hasil pada beda fase tersebut disebabkan oleh adanya
kesalahan dalam pengukuran. Rangkaian resonansi paralel II merupakan rangkaian
low pass filter pada channel I dan pada channel II.

5.6.4 Percobaan Rangkaian Pengukuran LCR Frekuensi Resonansi K0


Tabel 5.27 Pengukuran Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0
Frekuens
i 10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
500m 200m 200m 200m
Volt/Div 5V 5V 5V 5V 2V 500V
v V V V
Tinggi
Gelombang 2 3.2 2 4 2.2 2 2.2 1.6 4 0.6

(div)
79.8 81.5 81.5 62.1 62.1
Time/div 79.8𝜇𝑠 84.1𝜇𝑠 84.1𝜇𝑠 91𝜇𝑠 91𝜇𝑠
𝜇𝑠 𝜇𝑠 𝜇𝑠 𝜇𝑠 𝜇𝑠

Beda Fase 75,3º 75,3º 81,7º 81,7º 78,6º 78,6º 86,1º 86,1º 87,0º 87,0º

Panjang
Gelombang 2.2 2 2 2 2.8 2.4 1.8 2 2 2

(div)

1. Perhitungan Secara Teori


Data hasil percobaan dapat diketahui besar nilai dari R = 100Ω, L = 10mH
= 0,01H, C = 0,1µF = 1x10-7F. Inputan gelombang tegangan diatur generator fungsi
yakni gelombang sinus yang bervariasi dari 10Khz-100Khz dan 20Vp-p. Pertama
yaitu mencari besar Vrms dan Irms sebagai berikut:
20
Vmax = = 10 Volt
2
10
Vrms = = 7,07 Volt
√2
𝑉𝑟𝑚𝑠 7,07
Irms = = = 0,0707A = 70,7 mA
𝑅 100

Imax = Irms .√2 = 70,7 . √2 = 99,9 mA


Jadi, didapat harga arus puncak positif Imax = 99,9 mA
Selanjutnya mencari amplitudo gelombang yang terukur pada osiloskop
dengan persamaan 5.17.
Perhitungan amplitudo untuk Frekuensi AFG 10KHz:
a. Channel I dimana t = 2 dan Volt/div = 5V
A =2x5
= 10
b. Channel II dimana t = 3,2 dan Volt/div = 0,5 V
A = 3,2 x 0,5
= 1,6
Untuk variasi frekuensi yang lain menggunakan rumus yang sama dan
data hasil perhitungan amplitudo dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.28 Tabel Perhitungan Amplitudo Pengukuran Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG
Channel I II I II I II I II I II
Amplitudo
10 1,6 10 0,8 11 0,4 11 0,32 8 0,3
(V)

Selanjutnya hitung besarnya frekuensi resonansi yang bekerja pada


rangkaian dengan persamaan 5.18, sehingga:
1
fo =
2.3,14√0,01(1𝑥10−7 )
1
fo= 6,28𝑥3,16x10−5

fo= 5035Hz = 5,035KHz


Pada percobaan rangkaian LCR frekuensi didapatkan beda sudut fase
rangkaian berdasarkan hasil pengukuran dengan inputan bervariasi dari 10KHz -
100KHz. Lalu bandingkan hasil dari pengukuran dengan hasil secara perhitungan
secara teori. Sebelumnya cari terlebih dahulu nilai XL dan XC pada frekuensi 10
KHz = 10000Hz sebagai berikut:
XL = 2πfL
= 2 x 3,14 x 10000 x 0,01
= 628 Ω
1
XC = 2π𝑓C
1
= 2x3,14x10000x(0,1x10−6 )
1
= 6,28𝑥10−3

= 159,2Ω
159,2−628
Tan θ = = 4,688
100

maka beda fase pada rangkaian (θ) = 77,9º


Dengan menggunakan cara yang sama maka data hasil perhitungan untuk
variasi frekuensi inputan yang lain dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 5.29 Tabel Beda Fase Pengukuran Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG
Channel I II I II I II I II I II
XC 159,2Ω 79,6Ω 39,8Ω 22,7Ω 15,9Ω
XL 628Ω 1256Ω 2512Ω 4396Ω 6280Ω
Beda Fase
79,8º 84,1º 91º 81,5º 82,1º
(Pengukuran)
Beda Fase 77,9º 85,1º 87,7º 88,7º 89,1º
(Perhitungan)

Dari hasil pengukuran dan perhitungan secara teori dimana hasil XC-XL
bernilai positif maka rangkaian bersifat kapasitif sedangkan jika beda fase bernilai
negatif maka bersifat induktif. Dimana pengukuran menggunakan osiloskop 2
channel dan output diukur pada channel 1 osiloskop. Besarnya frekuensi resonansi
yang bekerja sebesar 5,035 KHz.
2. Tabel Perhitungan
Tabel 5.30 Tabel Perhitungan Pengukuran Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
500 200m 200m 200m
Volt/Div 5V 5V 5V 5V 2V 500V
mv V V V
Tinggi
Gelombang 2 3.2 2 4 2.2 2 2.2 1.6 4 0.6

(div)
Amplitudo
10 1,6 10 0,8 11 0,4 11 0,32 8 0,3
(V)
Beda Fase
(Perhitungan) 77,9º 77,9º 85,1º 85,1º 87,7º 87,7º 88,7º 88,7º 89,1º 89,1º

3. Tabel Perbandingan Perhitungan dengan Percobaan


Tabel 5.31 Tabel Perbandingan Perhitungan dengan Percobaan Pengukuran Rangkaian LCR
Frekuensi Resonansi K0

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
500 200m 200m 200m
Volt/Div 5V 5V 5V 5V 2V 500V
mv V V V
Tinggi
Gelombang 2 3.2 2 4 2.2 2 2.2 1.6 4 0.6

(div)
Amplitudo
10 1,6 10 0,8 11 0,4 11 0,32 8 0,3
(V)
Beda Fase
79,8º 79,8º 84,1º 84,1º 91º 91º 81,5º 81,5º 62,1º 62,1º
(Pengukuran)
Beda Fase
(Perhitungan) 77,9º 77,9º 85,1º 85,1º 87,7º 87,7º 88,7º 88,7º 89,1º 89,1º
4. Perhitungan Persentase Kesalahan
Besar persentase kesalahan pengukuran dengan perhitungan secara teori
dapat dicari dengan persamaan 5.20, sehingga:
77,9 – 79,8
a. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 2,43%
77,9
85,1 – 84,1
b. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 1,17%
85,1
87,7−91
c. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 3,76 %
87,7
88,7 – 81,5
d. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 8,11%
88,7
89,1 – 62,1
e. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 1,61%
89,1

5. Tabel Persentase Kesalahan


Tabel 5.32 Tabel Persentase Kesalahan Pengukuran Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0
Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II
500 200m 200m 200m
Volt/Div 5V 5V 5V 5V 2V 500V
mv V V V
Tinggi
Gelombang 2 3.2 2 4 2.2 2 2.2 1.6 4 0.6

(div)
Amplitudo
10 1,6 10 0,8 11 0,4 11 0,32 8 0,3
(V)
Beda Fase
79,8º 79,8º 84,1º 84,1º 91º 91º 81,5º 81,5º 62,1º 62,1º
(Pengukuran)
Beda Fase
(Perhitungan) 77,9º 77,9º 85,1º 85,1º 87,7º 87,7º 88,7º 88,7º 89,1º 89,1º
Persentase
Kesalahan
(%) 2,43 2,43 1,17 1,17 3,76 3,76 8,11 8,11 1,61 1,61
6. Analisa Grafik

Gambar 5.62 Grafik Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0

Pada grafik diatas, terdapat garis merah dan garis biru. Garis merah untuk
channel 1 dan garis biru untuk channel 2. Amplitudo puncak pada channel 1 terjadi
pada saat frekuensi 40 Khz, 70 Khz (11V), sedangkan pada channel 2 terjadi pada
saat frekuensi 10 KHz (1,6 v). Perbedaan pada grafik tersebut disebabkan oleh
perbedaan beda fase perhitungan dengan percobaan. Rangkaian LCR frekuensi
resonansi K0 merupakan rangkaian high pass filter pada channel I dan pada channel
II.

7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
antara beda fase perhitungan dengan beda fase percobaan dengan persentase
kesalahan pada frekuensi 10 KHz mencapai 2,43%, dan pada frekuensi 20 KHz, 40
KHz, 70 KHz dan 100 KHz berturut-turut adalah 1,17%, 3.76%, 8,11% dan 1,61%.
Perbedaan hasil pada beda fase tersebut disebabkan oleh adanya kesalahan dalam
pengukuran. Rangkaian LCR frekuensi resonansi K0 merupakan rangkaian high
pass filter pada channel I dan pada channel II.

Percobaan Rangkaian LCR Impedansi Paralel

Tabel 5.33 Pengukuran Rangkaian LCR Impedansi Paralel

Frekuens
i 10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 2V 5V 2V 5V 5V 5V 5V 5V 5V

Tinggi
Gelombang 2 2 2 2 2 1.6 2 1.4 2 1.2

(div)
Time/div
50 50 25 25 10 10 5 5 5 5
(ms)

Beda Fase 14,7º 14,7º 31.3º 31.3º 16.9º 16.9º 18.2º 18.2º 11,1º 11.1º

Panjang
Gelombang 2.4 2.2 2.1 2 2 2 2.8 2 2.2 2.2

(div)

1. Perhitungan Secara Teori


Data hasil percobaan dapat diketahui besar nilai dari R1 = 100Ω, R2 =
1KΩ, R3 = 10KΩ, L = 1mH = 0,001H, C = 0,1µF = 1x10-7F. Input-an gelombang
tegangan diatur generator fungsi yakni gelombang sinus yang bervariasi dari
10Khz-100Khz dan 20Vp-p. Pertama yaitu mencari besar Vrms dan Irms sebagai
berikut:
20
Vmax = = 10 Volt
2
10
Vrms = = 7,07 Volt
√2
𝑉𝑟𝑚𝑠 7,07
Irms = = 90,09 = 0,078 A = 78 mA
𝑅

Imax = Irms .√2 = 78 . √2 = 110,3 mA


Jadi, didapat harga arus puncak positif Imax = 110,3 mA
Selanjutnya mencari amplitudo gelombang yang terukur pada osiloskop
dengan persamaan 5.17.
Perhitungan amplitudo untuk Frekuensi AFG 10KHz :
a. Channel I dimana t = 2 dan Volt/div = 5V
A = 2x 5
= 10 V
b. Channel II dimana t = 2 dan Volt/div = 2 V
A = 2x2
= 4V
Untuk variasi frekuensi yang lain menggunakan rumus yang sama dan
data hasil perhitungan amplitudo dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.34 Tabel Perhitungan Amplitudo Rangkaian LCR Impedansi Paralel

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG
Channel I II I II I II I II I II
Amplitudo
10 4 10 4 10 8 10 7 10 6
(V)

Selanjutnya hitung besarnya frekuensi resonansi yang bekerja pada


rangkaian dengan persamaan 5.18, sehingga:
1
fo =
2.3,14√0,001(1𝑥10−7 )
1
fo= 6,28x10−5

fo= 15923Hz = 15,923KHz


Pada percobaan rangkaian LCR impedansi parallel didapatkan beda sudut
fase rangkaian, berdasarkan hasil pengukuran dengan inputan bervariasi dari
10KHz - 100KHz. Lalu bandingkan hasil dari pengukuran dengan hasil secara
perhitungan secara teori. Sebelumnya cari terlebih dahulu nilai XL dan XC pada
frekuensi 10 KHz = 10000Hz sebagai berikut:
XL = 2πfL
= 2 x 3,14 x 10000 x 0,001
= 62,8 Ω
1
XC = 2π𝑓C
1
= 2x3,14x10000x(0,1x10−6 )
1
= 6,28𝑥10−3

= 159,2Ω
159,2−62,8
Tan-1 θ = = 1,1
90,09

maka beda fase pada rangkaian (θ) = 47º


Dengan menggunakan cara yang sama maka data hasil perhitungan untuk
variasi frekuensi inputan yang lain dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 5.35 Tabel Beda Fase Pengukuran Rangkaian LCR Impedansi Paralel
Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG
Channel I II I II I II I II I II
XC 159,2Ω 79,6Ω 39,8Ω 22,7Ω 15,9Ω
XL 62,8Ω 125,6Ω 251,2Ω 439,6Ω 628Ω
Beda Fase
14,7 31,3 16,4 18,2 11,1
(Pengukuran)
Beda Fase
47º 27º 67º 77,8º 81,6º
(Perhitungan)

Dari hasil pengukuran dan perhitungan secara teori dimana hasil XC-XL
bernilai positif bernilai positif maka rangkaian bersifat kapasitif sedangkan jika
beda fase bernilai negatif maka bersifat induktif. Dimana pengukuran
menggunakan osiloskop 2 channel dan output diukur pada channel 1 osiloskop.
Besarnya frekuensi resonansi yang bekerja sebesar 15,923 KHz.
2. Tabel Perhitungan
Tabel 5.36 Tabel Perhitungan Pengukuran Rangkaian LCR Impedansi Paralel

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 2V 5V 2V 5V 5V 5V 5V 5V 5V

Tinggi
Gelombang 2 2 2 2 2 1.6 2 1.4 2 1.2

(div)
Amplitudo
10 4 10 4 10 8 10 7 10 6
(V)
Beda Fase
(Perhitungan) 47º 47º 27º 27º 67º 67º 77,8º 77,8º 81,6º 81,6º

3. Tabel Perbandingan Perhitungan dengan Percobaan


Tabel 5.37 Tabel Perbandingan Perhitungan dengan Percobaan Pengukuran Rangkaian LCR
Impedansi Paralel

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 2V 5V 2V 5V 5V 5V 5V 5V 5V

Tinggi
Gelombang 2 2 2 2 2 1.6 2 1.4 2 1.2

(div)
Amplitudo
10 4 10 4 10 8 10 7 10 6
(V)
Beda Fase
14,7 14,7 31,3 31,3 16,9 16,9 18,2 18,2 11,1 11,1
(Pengukuran)
Beda Fase
(Perhitungan) 47º 47º 27º 27º 67º 67º 77,8º 77,8º 81,6º 81,6º
4. Perhitungan Persentase Kesalahan
Besar persentase kesalahan pengukuran dengan perhitungan secara teori
dapat dicari dengan persamaan 5.20, sehingga:
47 –14,7
a. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 68,72%
47
27 – 31,3
b. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 15,9%
27
67 – 16,4
c. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 75,52%
67
77,8 – 18,2
d. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 76,60%
77,8
81,6 – 11,1
e. % Kesalahan Relatif = | | x 100% = 86,39%
81,6

5. Tabel Persentase Kesalahan


Tabel 5.38 Tabel Persentase Kesalahan Pengukuran Rangkaian LCR Impedansi Paralel

Frekuensi
10 KHz 20 KHz 40 KHz 70 KHz 100 KHz
AFG

Channel I II I II I II I II I II

Volt/Div 5V 2V 5V 2V 5V 5V 5V 5V 5V 5V

Tinggi
Gelombang 2 2 2 2 2 1.6 2 1.4 2 1.2

(div)
Amplitudo
10 4 10 4 10 8 10 7 10 6
(V)
Beda Fase
14,7 14,7 31,3 31,3 16,9 16,9 18,2 18,2 11,1 11,1
(Pengukuran)
Beda Fase
(Perhitungan) 47º 47º 27º 27º 67º 67º 77,8º 77,8º 81,6º 81,6º
Persentase
Kesalahan 68,72 68,72 76,60 76,60 86,32 86,32
(%) % % 15,9% 15,9% 75,52% 75,52% % % % %
6. Analisa Grafik

Gambar 5.63 Grafik Rangkaian LCR Impedansi Paralel

Pada grafik diatas, terdapat garis merah dan garis biru. Garis merah untuk
channel 1 dan garis biru untuk channel 2. Amplitudo puncak tidak terjadi pada
channel 1 karena amplitude pada channel 1 sama yaitu 10 V, sedangkan pada
channel 2 amplitudo puncak terjadi pada frekuensi 40 khz (8 V). Perbedaan pada
grafik tersebut disebabkan oleh perbedaan beda fase perhitungan dengan
percobaan. Rangkaian LCR impedansi paralel merupakan rangkaian high pass filter
pada channel I dan band pass filter pada channel II.

7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan antara beda fase perhitungan dengan beda fase percobaan dengan
persentase kesalahan pada frekuensi 10 KHz mencapai 68,72%dan pada frekuensi
20 KHz, 40 KHz, 70 KHz dan 100 KHz berturut-turut adalah 15,9%, 75,52%,
76,60% dan 86,32%. Perbedaan hasil pada beda fase tersebut disebabkan oleh
adanya kesalahan dalam pengukuran. Rangkaian LCR impedansi paralel
merupakan rangkaian high pass filter pada channel I dan band pass filter pada
channel II.

II. Analisa Data Hasil Percobaan


5.6.1 Analisa Pembangkitan GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (m-1
Audio Generator 100 kHz)
Pada rangkaian tabel M-1 induktor dirangkai secara paralel terhadap sumber.
Dimana dalam hal ini dapat diamati bahwa induktor yang disisipkan secara pararel
bereaksi hanya sebagai pelandai awal gelombang. Namun demikian untuk beberapa
nilai konstanta waktu TL nilai tegangan dan arus tidak tergantung induktor. Induktor
memberikan pengaruh terhadap penyimpanan energi magnetik yang meningkatkan
kenaikan awal gelombang yang curam, tetapi tidak memberikan pengaruh yang
sama pada bagian akhir gelombang yang landai.
Sehingga semakin besar nilai dari sebuah induktor yang digunakan maka
daya simpan energi magnetiknya juga semakin besar dan memberikan peningkatan
yang singnifikan pada gelombang seiring dengan nilai konstanta waktu,
peningkatan ini berdampak pada amplitudo yang dihasilkan. Amplitudo akan
meningkat apabila peningkatan yang diakibatkan energi megnetiknya semakin
besar akibat dari besarnya daya simpan dari induktor.
Perhitungan Amplitudo Secara Teori
a. Induktor 0,12 mH
Amplitudo = tinggi × V/div
= 3,4 × 2 V
= 6,8 V
b. Induktor 0,15 mH
Amplitudo = tinggi × V/div
= 3,6 × 2 V
= 7,12 V
c. Induktor 0,17 mH
Amplitudo = tinggi × V/div
= 3,8 × 2 V
= 7,36 V

Perhitungan persentase kesalahan


𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖 − 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑜𝑏𝑎𝑎𝑛
|%𝐸| = | 𝑥100%|
𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖
a. Induktor 0,10 mH
6,8 − 6,64
|%𝐸| = | 𝑥100%| = 2 %
6,8
b. Induktor 0,12 mH
7,12 − 7,12
|%𝐸| = | 𝑥100%| = 0 %
7,12
c. Induktor 0,15 mH
7,36 − 7,36
|%𝐸| = | 𝑥100%| = 0 %
7,36

Tabel 5.39 Perbandingan Perhitungan dan Hasil Pengukuran


Induktor Amplitudo Amplitudo Persentase
Pengukuran Perhitungan Kesalahan
0,10 mH 6,64 V 6,8 V 2%
0,12 mH 7,12 V 7,12 V 0%
0,15 mH 7,36 V 7,36 V 0%
Analisa Grafik

Gambar 5.64 Grafik Perbandingan Tegangan Induktor pada M-1

Hubungan tegangan terhadap induktor pada rangkaian AC adalah dimana


semakin besar induktor yang digunakan maka semakin besar tegangan yang
dihasilkan. Hal ini bisa terjadi karena pada induktor yang dilairi arus AC akan
menghasilkan induksi reaktansi. Besarnya nilai induksi reaktansi bergantung pada
besarnya nilai induktor dan frekuensi yang digunakan. Induktor juga memiliki daya
simpan energi magnetik yang berimbas pada peningkatan terhadap gelombang
sehingga amplitudo menjadi naik.
5.6.2 Analisa Pembangkitan GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (m-2
Audio Generator 1 MHz)
Jika kawat yang dililitkan pada sebuah inti dengan jumlah lilitan tertentu dan
dengan luas koil atau penampang tertentu dialiri arus listrik akan menghasilkan
medan magnet sesuai dengan kaedah tangan kanan. Ibujari berperan sebagai
penunjuk arah arus, telunjuk sebagai penunjuk arah lilitan dan jari tengah
menunjukkan arah medan magnet. Dalam percobaan ini tidak dihitung lilitan dan
luas koil atau penampang yang digunakan. Untuk lilitan yang diam mendapat
suplay tegangan dari AFG sedangkan untuk lilitan yang tidak tetap mendapat supply
yang sangat rendah dari oscilloscope. Sehingga medan magnet yang dihasilkan
akan lebih besar pada lilitan yang diam dibandingkan lilitan yang bergerak.
Menurut Michael Faraday lilitan dengan medan magnet yang lebih besar akan
mempengaruhi lillitan yang ada didekatnya dengan medan magnet yang lebih kecil.
Sehingga saat lilitan 1 didekatkan terhadap lilitan 2 medan magnet akan
mempengaruhi medan magnet dari lilitan 1 dan menyebabkan terjadinya induksi
magnet yang mempengaruhi tampilan amplitudo pada oscilloscope. Semakin dekat
jarak antar lilitan maka semakin besar induksi magnet atau pengaruh medan magnet
terhadap lilitan 1 yang menyebabkan naiknya amplitudo pada oscilloscope, begitu
juga sebaliknya semakin jauh jarak maka semakin kecil induksi magnet yang terjadi
sehingga pengaruh yang diberikan juga semakin kecil dan peningkatan amplitudo
juga sangat kecil.

Perhitungan secara teori


a. Inti koil 1
Amplitudo = tinggi × V/div
= 5,8 × 0,1
= 0,58 V
b. Inti koil 2
Amplitudo = tinggi × V/div
= 3 × 0,1
= 0,3 V
c. Inti koil 3
Amplitudo = tinggi × V/div
= 4,8 × 0,1
= 0,48 V

Perhitungan persentase kesalahan


𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖 − 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑜𝑏𝑎𝑎𝑛
|%𝐸| = | 𝑥100%|
𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖

a. Inti koil 1
0,58 − 0,125
|%𝐸| = | 𝑥100%| = 78,4 %
0,58
b. Inti koil 2
0,3 − 0,176
|%𝐸| = | 𝑥100%| = 41,3 %
0,3
c. Inti koil 3
0,48 − 0,246
|%𝐸| = | 𝑥100%| = 48,7 %
0,48

Tabel 5.40 Perbandingan Perhitungan dan Hasil Pengukuran


Inti Koil Amplitudo Amplitudo Persentase
Pengukuran Perhitungan Kesalahan
1 0,125 V 0,58 V 78,4 %
2 0,176 V 0,3 V 41,3 %
3 0,246 V 0,48 V 48,7 %
Analisa Grafik

Gambar 5.65 Grafik Perbandingan Tegangan Induktor pada M-2


Dari gambar grafik yang disajikan terlihat besar kecilnya amplitudo
dipengaruhi oleh jarak yang dimiliki antar lilitan. Dimana berdasarkan teori medan
magnet, gaya magnet yang dihasilkan oleh suatu sistem berbanding lurus dengan
jarak antar lilitannya. Hal ini juga mempengaruhi amplitudo yang dihasilkan
dimana semakin dekat jarak antar lilitan maka semakin besar amplitudo yang
dihasilkan akibat dari induksi magnet yang terjadi begitu juga sebaliknya semakin
jauh jarak antar lilitan maka semakin kecil nilai amplitudo yang dihasilkan.
Tinggi gelombang pada tampilan oscilloscope dipengaruhi oleh jarak antar
lilitan, sehingga tinggi gelombang juga mempengaruhi amplitudonya nanti. Jika
jarak antar lilitan semakin dekat maka semakin kuat induksi yang dihasilkan dan
mengakibatkan semakin besarnya amplitudo yang tejadi. Sebaliknya jika jarak
antar lilitan jauh maka induksi yang terjadi juga semakin lemah berdampak pada
kecilnya nilai amplitudo yang terjadi.
5.6.3 Analisa Pembangkitan GGL dari Magnet Permanen (m-3 Inti Induktor
dengan Trigger)
Induktor merupakan sebuah lilitan yang memiliki inti. Dimana inti yang
digunakan dapat berupa inti besi dan inti udara, induktansi dapat ditingkatkan untuk
jumlah tembaga yang yang sama sehingga meningkatkan faktor Q. Penggunaan inti
juga memberikan kerugian pada frekuensi tinggi. Bahan inti khusus dipilih untuk
hasil terbaik dimana bahan inti udara baik digunakan pada frekuensi yang lebih
tinggi. Bahan inti besi akan mengalami stagnan pada arus tinggi menyebeabkan
pengurangan induktansi dan faktor Q yang sangat signifikan. Hal ini dapat
ditanggulangi dengan menggunakan inti udara.
Pada saat modul praktikum sudah terangkai dan T/div diatur sebesar 10 ms
dan V/div diatur sebesar 100 mV, selanjutnya dilakukan pentriggeran
mengakitbatkan amplitudo dari gelombang yang ada. Pemberian trigger secara
konstan dengan tempo perlahan akan membangkitkan amplitudo secara perlahan
juga. Apabila dibandingkan frekuensinya dengan pemberian trigger secara konstan
dengan tempo perlahan pemberian trigger dengan tempo cepat akan memiliki
frekuensi yang lebih besar jika dibandingkan dengan frekuensi yang dimiliki oleh
pentriggeran secara konstan dengan kecepatan perlahan.
Hal ini bisa terjadi akibat dari pergantian inti besi secara konstan namun
dengan tempo yang cepat. Pada saat peralihan dari inti udara menjadi inti besi
amplitudo dipicu untuk mencapai nilai maksimal.

Tabel 41 Pembangkitan GGL dari Magnet Permanen (m-3 Inti Induktor dengan Trigger)
Trigger Perlahan (Kecepatan Konstan) Trigger Cepat (Kecepatan Konstan)
5.6.4 Analisa Pembangkitan GGL dan Magnet Permanen (M-4 Pertama)
Dari percobaan yang telah kami lakukan sebanyak 3 kali dengan inputan
tegangan yang berbeda ke motor yang terhubung ke komutator generator. Dimana
untuk percobaan pertama dengan inputan tegangan sebesar 3 volt DC pada motor
membangkitkan frekuensi pada generator sebesar 100,9 kHz dan menghasilkan 2,3
Volt AC dengan panjang gelombang 2,4 div. Saat percobaan kedua dengan inputan
tegangan sebesar 6 volt DC pada motor membangkitkan frekuensi pada generator
sebesar 100,6 kHz dan menghasilkan 3,4 Volt AC dengan panjang gelombang 2 div
dan pada percobaan terakhir yang ketiga inputan tegangan sebesar 12 volt DC pada
motor membangkitkan frekuensi pada generator sebesar 100,6 kHz dan
menghasilkan 10,27 Volt AC dengan panjang gelombang 4 div.

Tabel 5.42 Pembangkitan GGL dengan Magnet Permanen (M-4 Pertama)


V.Motor V AVO Tinggi (div) Panjang (div) T/div F (KHz)
3V 2,3 V 3,8 2,4 5 ms 100,9
6V 3,4 V 3,4 2 5 ms 100,6
12 V 10,27 V 4 2 5 ms 100,6

5.6.5 Analisa Pembangkitan GGL dari Magnet Permanen (M-4 Kedua)


Dari data hasil percobaan yang sudah diperoleh pada tabel m-4 yang pertama
selanjutnya frekuensi yang dibangkitkan oleh komutator generator kemudian
ditumpangkan dengan frekuensi pada AFG sehingga frekuensinya akan mengikuti
frekuensi dari AFG. Hal ini mengakibatkan meningkatnya tegangan yang
dihasilkan oleh komutator generator sebesar 8,88 Volt. Penumpangan frekuensi
yang dilakukan sebanyak 6 kali diantaranya 10 Hz, 20 Hz, 30 Hz, 40 Hz, 50 Hz dan
60 Hz. Penumpangan frekuensi ini juga menghasilkan amplitudo yang nilainya
berkisar 38-49,2 Vp-p.
5.7 Kesimpulan
1. Komponen induktor mampu untuk menyimpan energi magnetik yang
berfungsi untuk memicu pelandaian pada bagian awal gelobang dan
memicu kenaikan diakhir gelombang, sehingga semakin besar nilai
induktor semakin besar amplitudo yang dihasilkan akibat besarnya daya
simpan energi magnetik oleh induktor.
2. Jarak antar lilitan juga mempengaruhi amplitudo yang dihasilkan dimana
semakin dekat jarak maka semakin besar induksi magnet yang terjadi
memicu salah satu lilitan yang memiliki induksi magnet yang lebih kecil.
Dikarenakan pada percobaan ini lilitan yang bergerak memiliki induksi
magnetik lebih kecil dan terhubung langsung ke oscillscope maka
amplitudo yang ditampilkan adalah amplitudo dari llilitan bergerak.
3. Pergantian inti lilitan yang cepat secara konstan dapat mengakibatkan
pembangkitan nilai dari amplitudo.
4. Hubungan antara motor yang terhubung dengan komutator dari generator
yang dialiri tegangan DC rendah menghasilkan frekuensi yang kecil
secara otomatis memiliki nilai pangjang gelombang yang besar dan
membangkitkan tegangan AC yang rendah pula, begitu juga sebaliknya.
5. Penumpangan sinyal yang dilakukan dapat mengakibatkan naiknya nilai
tegangan AC yang dihasilkan komutator generator dengan hasil
peningkatan tegangan dan amplitudo yang hampir sama pada setiap
penumpangan yang dilakukan.
Berdasarkan data hasil percobaan serta analisis data percobaan
Rangkaian LC dan resonansi, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :
1. Berdasarkan perhitungan amplitudo dan beda fase, maka dapat
disimpulkan untuk rangkaian RLC seri bersifat kapasitif karena nilai XC
lebih besar daripada nilai XL. Persentase kesalahan yang diperoleh yaitu
5,45%, sehingga hasil pengukuran yang telah dilakukan dengan
perhitungan secara teori sudah mendekati hasil yang sesuai. Pengukuran
dilakukan dengan osiloskop 2 channel dan perhitungan beda fase antara
kedua gelombang sinyal output.
2. Pada rangkaian resonansi paralel I, rangkaian bersifat kapasitif pada
frekuensi 10 KHz – 40 KHz karena nilai XC – XL bernilai positif dan pada
frekuensi 70 KHz – 100 KHz bersifat induktif karena nilai XC – XL
bernilai negatif. Rangkaian resonansi paralel I merupakan rangkaian
band pass filter pada channel I dan high pass filter pada channel II.
3. Pada rangkaian resonansi paralel II, rangkaian bersifat induktif pada
frekuensi 10 KHz – 40 KHz karena nilai XC – XL bernilai negatif dan
pada frekuensi 70 KHz – 100 KHz bersifat kapasitif karena nilai XC – XL
bernilai positif. Rangkaian resonansi paralel II merupakan rangkaian low
pass filter pada channel I dan channel II.
4. Pada rangkaian LCR frekuensi resonansi K0, rangkaian bersifat induktif
karena nilai XC – XL bernilai negatif. Rangkaian LCR frekuensi resonansi
K0 merupakan rangkaian high pass filter pada channel I dan channel II.
5. Pada rangkaian LCR impedansi paralel, rangkaian bersifat kapasitif pada
frekuensi 10 KHz karena nilai XC – XL bernilai positif dan pada frekuensi
20 KHz – 100 KHz bersifat induktif karena nilai XC – XL bernilai negatif.
Rangkaian LCR impedansi paralel merupakan rangkaian high pass filter
pada channel I dan band pass filter pada channel II.
5.8 Daftar Referensi

Malvino and Albert Paul. Elektronika Komputer Digital. Jakarta: Erlangga.

Emery, E. 2013. Resonansi dalam Rangkaian L-C atau R-L-C


http://powertread.co.id/2013/10/resonansi-dalam-rangkaian-l-c-atau-r-l-
c.html
Diakses Pada : 12 November 2017

Haris Bakri, A. 2008. Dasar-dasa Elektronika. Makassar: Badan Penerbit


UNM.

Edisutoto. 2011. Pengertian Gaya Gerak Listrik (GGL)


https://edisutoto.com/2011/03/07/pengertian-gaya-gerak-listrik-ggl/
Diakses Pada 12 November 2017
SYNTAX MATLAB
RANGKAIAN LC DAN RESONANSI

1. Grafik Hubungan antara Amplitudo dengan Frekuensi Pengukuran


Rangkaian Resonansi Paralel I
A=[10 20 40 70 100];
B=[7 8 8 10 7];
C=[0.7 0.6 0.3 0.3 0.5];
D=[-10];
figure;subplot(1,1,1);
h1=plot(A,B,'r-o',A,C,'b--o',A,D,'y-');
set(h1,'LineWidth',1.5);
legend('Channel 1','Channel 2');
grid on;
xlabel('Frekuensi(KHz)');
ylabel('Amplitudo (V)');
set(gca,'YTick',[0.5 0.15 0.30 0.50]);
set(gca,'XTick',[10 20 40 70 100]);
title ({'Grafik Hubungan antara Amplitudo dengan Frekuensi
Pengukuran Rangkaian Resonansi Paralel I'
});

2. Grafik Hubungan antara Amplitudo dengan Frekuensi Pengukuran


Rangkaian Resonansi Paralel II
A=[10 20 40 70 100];
B=[31.8 90 1.8 1.8 1.4];
C=[0.012 0.16 0.02 0.016 0.012];
D=[-0.5];
figure;subplot(1,1,1);
h1=plot(A,B,'r-o',A,C,'b--o',A,D,'y-');
set(h1,'LineWidth',1.5);
legend('Channel 1','Channel 2');
grid on;
xlabel('Frekuensi(KHz)');
ylabel('Amplitudo (V)');
set(gca,'YTick',[0.5 0.15 0.30 0.50]);
set(gca,'XTick',[10 20 40 70 100]);
title ({'Grafik Hubungan antara Amplitudo dengan Frekuensi
Pengukuran Rangkaian Resonansi Paralel II'
'Dewa Made Baskara Puruhita Wija (1504405038)'});
3. Grafik Hubungan antara Amplitudo dengan Frekuensi Pengukuran
Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0
A=[10 20 40 70 100];
B=[10 10 11 11 8];
C=[1.6 0.8 0.4 0.32 0.3];
D=[-0.5];
E=[50];
figure;subplot(1,1,1);
h1=plot(A,B,'r-o',A,C,'b--o',A,D,'y-',A,E,'y-');
set(h1,'LineWidth',1.5);
legend('Channel 1','Channel 2');
grid on;
xlabel('Frekuensi(KHz)');
ylabel('Amplitudo (V)');
set(gca,'YTick',[3 8 12 20 25 50]);
set(gca,'XTick',[10 20 40 70 100]);
title ({'Grafik Hubungan antara Amplitudo dengan Frekuensi
Pengukuran Rangkaian LCR Frekuensi Resonansi K0'});

4. Grafik Hubungan antara Amplitudo dengan Frekuensi Rangkaian LCR


Impedansi Paralel
A=[10 20 40 70 100];
B=[10 10 10 10 10];
C=[4 4 8 7 6];
D=[-0.5];
E=[50];
figure;subplot(1,1,1);
h1=plot(A,B,'r-o',A,C,'b--o',A,D,'y-',A,E,'y-');
set(h1,'LineWidth',1.5);
legend('Channel 1','Channel 2');
grid on;
xlabel('Frekuensi(KHz)');
ylabel('Amplitudo (V)');
set(gca,'YTick',[0.010 0.030 0.10 0.30 30 50 80 100 130]);
set(gca,'XTick',[10 20 40 70 100]);
title ({'Grafik Hubungan antara Amplitudo dengan Frekuensi
Pengukuran Rangkaian LCR Impedansi Paralel'
});
5. Grafik Perbandingan Teori dan Pengukuran Tegangan Pembangkit GGL
Berdasarkan Persamaan Kopling (M1 Audio Generator 100 KHz)
A=[0.10 0.12 0.15];
B=[6.64 7.12 7.36];
C=[6.8 7.12 7.36];
figure;subplot(1,1,1);
h1=plot(A,B,'r-o',A,C,'b--o');
set(h1,'LineWidth',1.5);
legend('Teori','Pengukuran');
grid on;
xlabel('Induktor (mH)');
ylabel('Amplitudo (V)');
set(gca,'YTick',[20.6 21 23 27.8 28]);
set(gca,'XTick',[0.1 0.12 0.15]);
title ({'Grafik Perbandingan Teori dan Pengukuran Amplitudo
Pembangkit GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (M1 Audio
Generator 100 KHz)'});

6. Grafik Perbandingan Teori dan Pengukuran Amplitudo Pembangkit GGL


Berdasarkan Persamaan Kopling (M2 Audio Generator 1 MHz)

A=[1 2 3];
B=[0.125 0.176 0.246];
C=[0.58 0.3 0.48];
figure;subplot(1,1,1);
h1=plot(A,B,'r-o',A,C,'b--o');
set(h1,'LineWidth',1.5);
legend('Teori','Pengukuran');
grid on;
xlabel('Titik Inti Koil');
ylabel('Amplitudo (mV)');
set(gca,'YTick',[170 182 190 196 200]);
set(gca,'XTick',[1 2 3]);
title ({'Grafik Perbandingan Teori dan Pengukuran
Amplitudo Pembangkit GGL Berdasarkan Persamaan Kopling (M2
Audio Generator 1 MHz)'
});

Anda mungkin juga menyukai