TATA LAKSANA
1. ANASTESI
Anastesi merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya kesadaran
dan atau persepsi nyeri (bersama atau terpisah), yang dapat dilakukan secara temporer
dengan menggunakan obat anastesi.
a. Anastesi Umum
Secara singkat, anastesi umum dapat diartikan suatu tindakan yang
menyebabkan perubahan fisiologik yang reversibel yang dikondisikan untuk
memungkinkan pasien menjalani berbagai prosedur medis.
Dahulu dikenal dengan istilah “Trias Anastesi”, yaitu hipnotis, analgesia dan
arefleksia. Sekarang anastesi umum komponen yang ada dalam anastesi umum
adalah : hipnotis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit),
arefleksia (hilangnya reflek-reflek motorik tubuh memungkinkan imobilisasi
pasien ), amnesia ( hilangnya memori pasien selama menjalani prosedural).
1. Kelebihan Dan Kekurangan Anastesi Umum
Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani dibawah
anastesi umum. Namun demikian, semua tehnik anastesi harus dapat sewaktu
– waktu di konversikan menjadi anastesi umum. Oleh karena itu di semua
tempat pelayanan anastesi, meskipun hanya monitored anasthesia care (
MAC) harus tersedia perlengkapan untuk anastesi umum.
Kelebihan anastesi umum
- Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama
prosedur medis berlangsung.
- Efek anastesia efek amnesia meniadakan memori buruk
pasien yang di dapat akibat ansietas dan berbagai kejadian
intraoperatif yang mungkin memberikan trauma psikologis.
- Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan
waktu lama.
- Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.
Kekurangan anastesi umum
- Sangat mempengaruhi fisiologi, hampir semua regulasi
tubuh menjadi tumpul di bawah anastesi umum
6
- Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit
- Tidak dapata mendeteksi gangguan susunan saraf pusat,
misalnya perubahan kesadaran
- Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.
2. Stadium Anastesi Umum
Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937,
meliputi :
7
Stadium (stage) 4 : merupakan stadium overdosis obat anastesi. Anastesi
menjadi terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk
batang otak. Stadium ini letal
b. Anastesi Regional
Anastesi atau analgesia regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan
dengan cara menyuntikan obat anastesi lokal pada lokasi serat saraf yang
menginervasi regio terntentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls
aferen yang bersifat temporer.
Pada analgesia jenis ini obat yang disuntikkan jauh dari lapangan operasi.
Cara ini dilakukan untuk tindakan operasi disaerah ektremitas dan untuk area yang
diinervasi oleh saraf tertentu.
Blok spinal dan epidural menghasilkan blokade sistem saraf simpatis, analgesia
atau anastesi sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis,
konsentrasi atau volume anastesi lokal setelah pemberian melalui jarum ke plana
neuraksial. Walaupun terlihat serupa, ketiga teknik tersebut berbeda secara
fisiologis dan farmakologis. Anastesi spinal membutuhkan jumlah obat yang lebih
8
sedikit dengan efek blok yang lebih nyata dalam jangka waktu singkat
dibandingkan dengan epidural yang membutuhkan sejumlah besar anastesi lokal
dengan efek blok saraf yang lebih lemah tetapi dengan durasi yang lebih lama.
Potensi toksisitas juga lebih besar pada anastesi epidural dibanding spinal karena
jumlah yang besar ini. Sejak dikenalkannya teknik kombinasi spinal epidural,
btasan antara keduanya semakin tidak jelas tetapi teknik ini memiliki efek klinis
yang lebih sesuai harapan.
Penggunaan anastesi regional sangat bermanfaat, terutama bagi kasus yang
merupakan indikasi kontra anastesi umum atau beresiko terlalu tinggi untuk
anastesi umum. Anastesi regional juga memiliki keterbatasan dalam setiap
anastesi regional selalu ada kemungkinan konversi ke anastesi umum. Oleh sebab
itu sebelum melakukan anastesi regional semua kelengkapan anastesi umum
sudah harus siap tersedia.
Jenis anastesi regional
1. Blok Saraf
Tindakan analgesia regional dengan cara menyuntikkan obat
analgesia lokal didaerah urat saraf yang melayani daerah yang
akan dieksplorasi.
2. Blok Fleksus Brakhialis
Tindakan analgesia regional dengan cara menyuntikkan obat
analgesia lokal didaerah perjalanan fleksus brakhialis yang
melayani ektrimitas superior
3. Blok Sub Arakhnoid
Blok Sub Arakhnoid adalah blok regional yang dilakukan dengan
jalan menyuntikkan obat anastesi lokal ke dalam ruang sub
arakhoid melalui tindakan fungsi lumbal
4. Blok Epidural
Blok Epidural adalah tindakan blok regional yang dilakukan
dengan jalan menyuntikkan obat analgesia lokal ke dalam ruang
epidural
5. Blok Regio Intravena
Blok Regio Intravena adalah blok yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anastesi lokal ke dalam vena yang telah di
eksangunasi secara tertutup baik pada ekstrimitas inferior
9
Komplikasi tindakan
1. Hipotensi berat akibat blok simpatis terjasi venouspooling pada
dewasa dicegah dengan memberikan cairan infus cairan elektrolit
1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
2. Bradikardi dapat terjadi disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat
blok sampai T-2
3. Hipoventilasi akibat paralisis sarafrenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
Kontra Indikasi Anastesi Spinal Dan Epidural
1. Hipovolemia
2. Curah jantung rendah yang menetap
3. Sepsis kulit lokal
4. Koagulopati
5. Peningkatan tekanan intrakranial
6. Riwayat alergi terhadap obat-obat anastesi golongan amida
7. Pasien yang sangat tidak kooperatif
8. Penyakit SSP penyerta
9. Pembedahan spinal sebelumnya atau anatomu spinal yang abnormal
10
1. Anamnesa
Anamensa bisa diperoleh dari pasien atau keluarga pasien. Anamnesa
meliputi : pemeriksaan TTV, riwayat pemberian obat sedasi yang pernah
didapatkan, riwayat alergi obat-obatan, riwayat penyakit yang diderita
pasien sebelumnya, riwayat merokok, riwayat minum alkohol dan
penyalahgunaan obat-obatan. Pengkajian data dasar (AMPLE) meliputi:
Pengumpulan data berkaitan dengan riwayat anastesi dan
riwayat alergi terhadap makanan atau obat dan lainya (A).
Riwayat pengobatan/ medikasi yang saat ini digunakan
berkaitan dengan kondisi pasien saat ini (M).
Riwayat penyakit masa lalu / Past Ilness (P).
Riwayat terakhir intake oral (Last Meal) pasien baik padat
maupun cair sebelum dilakukan tindakan anastesi (L).
Kondisi sekarang pasien yang menghasruskan dilakukan
tindakan / event (E).
2. Penilaian fungsi organ meliputi:
a. Fungsi pernafasan
Dilakukan penilaian patensi jalan nafas, dilihat adakah
sumbatan jalan nafas atas sebagian atau total oleh karena
penurunan kesadaran, benda asing berupa padat atau cair.
Bila terjadi sumbatan jalan nafas segera dibebaskan baik tanpa
a;at atau menggunakan alat pembebas jalan nafas sederhana
sampai definitif. Dilakukan suctioning / penghisapan dengan
kateter suction besar bila terjadi sumbatan dari cairan misalnya
darah atau muntahan.
Segera pasang alat untuk membebaskan jalan nafas
menggunakan orofaring airway bahkan bila perlu intubasi.
Dilihat apakah ada tanda-tanda retraksi dinding dada, nafas
cuping hidung.
Dilihat apakah gerakan dada kiri dan kanan simetris waktu
inspirasi dan ekspirasi. Bila asimetris manakah yang tertinggal.
Dilihat apakah gerakan dada see saw seperti orang menggergaji.
Didengarkan adakah suara nafas tambahan :
11
- Snoring (mengorok)
- Gurgling (berkumur)
- Stridor (suara serak)
- Crowing (melengking)
- Tidak ada suara nafas
Dirasakan adakah hembusan udara dari hidung atau mulut bila
pasien tidak sadar.
Dilakukan perkusi untuk menilai adakah kelainan suara, seperti
hipersonor pada kasus pneumothorax atau suara redup pada
hematothorax. Bila ditemukan tension pneumothorax segera
lakukan needle thoracosintesis untuk dekompresi menggunakan
jarum terbesar yang tersedia di ICS 2 MCL ispilateral.
Dilakukan auskultasi suara nafas paru kanan dan kiri.
Melakukan penilaian untuk mengetahui adanya sulit intubasi
dengan cara menentukan mallampati score, jarak mentohyoid,
gerak leher, masa di leher.
b. Fungsi Cardiovascular
Pemeriksaan fungsi jantung / EKG
Dilihat apakah pasien tampak pucat
Dilihat apakah ditemukan sumber perdarahan
Dieriksa apakah perfusi di ujung jara Hangat Kering Merah
(normal) atau Dingin Basah dan Pucat.
Diperiksa apakah capilary refil time kurang dari 2 detik.
Raba pulsasi nadi pada pasien sadar, bisa pada nadi radialis atau
brachialis, dihitung frekuensinya, bagaimana iramanya, apakah
kuat angkat. Pada pasien tidak sadar diraba nadi carotisnya,
dirasakan apakah ada denyutan nadi.
Dilakukan pengukuran tekanan darah bila perlu dilakukan
pengukuran tenganan darah pada lengan kiri dan kanan.
12
Dilakukan auskultasi untuk evaluasi suara jantung
c. Fungsi neuro / muskuloskeletal
Menilai kesadaran dengan Glascow Coma Scale
13
banyak intra operasi. Kaji adanya sirosis, hepatitis/ikerus dan
mual muntah.
f. Lain-lain
Kaji adanya anemia, kanker, hemophia, penyakit imunosupresan,
kehamilan, riwayat tranfusi dan anti koagulan.
3. Laboratorium
14
Dari semua pemeriksaan tersebut akhirnya dapat diambil keputusan jenis
anastesi apakah yang aman untuk pasien tersebut.
Anastesi menurut jenis operasinya sebagai berikut:
a. Regio Kepala Dan Leher:
General anastesi untuk operasi bedah saraf, operasi bedah plastik,
operasi THT, operasi mata, operasi bedah umum, operasi bedah
onkologi.
Regional anastesi Peripheral Blok
Lokal Anastesi Untuk Operasi Kecil
b. Regio Dada Pungung
General anastesi untuk bedah umum, operasi bedah plastik, operasi
bedah onkologi, operasi bedah saraf, operasi Bedah Thorax Kardio
Vaskuler
Regional anastesi Peripheral Blok
Lokal Anastesi Untuk Operasi Kecil
c. Regio Extremitas Atas
General anastesi
Lokal Anastesi Untuk Operasi Kecil
d. Regio abdomen atas (diatas pusar)
General anastesi untuk operasi bedah digestif, operasi bedah anak,
operasi bedah umum, operasi bedah urologi.
Dapat dikombinasikan dengan regional anastesi yaitu Epidural Blok
untuk manajemen nyeri intra dan pasca operasi.
Lokal Anastesi Untuk Operasi Kecil
e. Regio abdomen bawah dan urogenitalia :
Regional anastesi (Sub Arachnoid Blok, Epidural Blok) untuk operasi
bedah urologi, operasi kandungan, operasi bedah umum, operasi
bedah digestive.
General anastesi bila ada indikasi lain seperti ditemukannya penyulit
saat dilakukan anastesi regional.
Lokal Anastesi Untuk Operasi Kecil
f. Regio extremitas bawah :
Regional anastesi
15
General anastesi apabila ada indikasi lain seperti ditemukannya
penyulit saat dilakukan anastesi tersebut.
Lokal Anastesi Untuk Operasi Kecil
D. Evaluasi Pra Induksi
Kaji ulang makan dan minum terakhir pasien, pemeriksaan TTV pra
induksi, dan adakah perubahan rencana anastesi. Jika ada perubahan rencana
anastesi catat penyebabnya. Dokumenntasikan obat-obatan yang diberikan
selama pra induksi.
E. Induksi Anastesi
Pada tahab ini pasien sudah siap dan akan segera dilakukan pembiusan.
Catat teknik intubasi dan teknik induksi, posisi pasien, dan penggunaan ETT.
F. Monitoring Intra Anastesi
Setelah dilakukan induksi, pasien akan disiapkan posisi operasi sesuai
kebutuhan operasinya. Pada masa operasi ini selalu dilakukan penilaian ulang
yang terus menerus terhadap fungsi vital pasien agar tetap dalam batas normal
oleh dokter ahli anastesi dibantu dengan perawat anastesi.
Adapun tugas perawat anastesi yaitu:
1. Membebaskan jalan nafas dengan cara mempertahankan posisi kepala tetap
ekstensi, mempertahankan posisi endotracheal tube.
2. Mengukur tanda-tanda vital.
3. Memberi obat-obat sesuai program pengobatan dari dokter anastesi.
4. Melaporkan hasil pemantauan kepada dokter anastesi.
5. Menjaga keamanan pasien dari bahaya jatuh.
6. Menilai efek hilangnya obat anastesi pada pasien.
7. Memenuhi keseimbangan oksigen dan N2O dengan cara memantau
flowmeter pada mesin anastesi.
8. Mempertahankan keseimbangan cairan dengan cara mengukur dan
memantau cairan tubuh yang hilang selama pembedahan.
9. Memberi obat-obat sesuai progam pengobatan dari dokter anastesi.
10. Melaporkan hasil pemantauan kepada dokter anastesi.
11. Menjaga keamanan pasien dari bahaya jatuh.
12. Menilai efek hilangnya obat anastesi pada pasien.
16
Semua monitoring fungsi vital dan tindakan anastesi dicatat pada status
anastesi . dan melakukan observasi fungsi vital selama operasi, perawat anastesi
harus berespon dan mendokumentasikan semua perubahan fungsi vital pasien
selama anastesi/pembedahan. Adanya perdarahan serta kegawatan fungsi vital
pasien harus segera dilaporkan pada dokter ahli anastesi agar segera
mendapatkan tindakan penanganan. Selama anastesi berlangsung harus selalu
diawasi:
1. Kedalaman anastesi
2. Kardiovaskular
a. Tekanan darah
b. EKG
c. CVP
3. Ventilasi respirasi:
a. Gunakan stetoskop
b. Pulse oksimetri
4. Suhu: hypertermia: naiknya suhu tubuh sangat cepat
5. Produksi urine : ½ - 1 cc/kgBB/jam
6. Terapi cairan: maintenance cairan dan cairan pengganti perdarahan bila
diperlukan, lebih dari 20% perdarahan diberikan tranfusi “Whole Blood”.
7. Sirkuit anastesi pada mesin anastesi
17
monitoring durante/selama operasi dan selalu berkomunikasi dengan dokter
spesialis anastesi untuk melaporkan perkembangan status pasien serta tindakan
yang harus dilakukan.
2. Persiapan alat
Sebelum operasi dimulai selalu dicek persiapan alat yang meliputi :
a. Sumber oksigen, cek tekanannya antara 4-5 bar.
b. Alat untuk membebaskan jalan nafas
Orofaring airway, nasofaring airway
Laryngoscope dengan dua ukuran serta laryngoscope McCoy
untuk intubasi sulit, dicek lampu menyala terang berwarna
putih
Endotrakeal tube dengan tiga ukuran, dicek tidak ada
kebocoran cuff. Siapkan non kingking untuk posisi
18
tengkurap, palatorapy ( operasi/tindakan daerah wajah dan
jalan nafas)
Masker beberapa ukuran
Magyl forcep
Stylet
Plester/hipafix
Kassa gulung kecil pengganjal gigi ompong
Kassa ukuran sedang
Kassa tampon
c. Meja troli anastesi untuk meletakkan semua perlengkapan di atas
d. Mesin suction dicek apakah berfungsi dengan baik dan pilih kateter
suction yang sesuai
e. Fiber optic untuk kasus prediksi intubasi sulit
f. Alat bantuan nafas cadangan, dicek adakah amboe bag dan berfungsi
g. Monitor : ECG, saturasi, Tensimeter, Termometer
h. Meja operasi dicek fungsingnya sengan berbagai posisi
i. Defiblirator dalam posisi siap pakai
j. Mesin anastesi meliputi
Cek tekanan oksigen normalnya antara 4-5 bar
Sambungkan dengan tekanan oksigen
Sambungkan dengan sumber listrik bila dilengkapi dengan
ventilator
Tes kebocoran
Cek isi gas inhalasi
Cek perubahan warna sodalime
Cek fungsi ventilator
3. Persiapan obat meliputi:
a. Obat induksi
Midazolam: disiapkan dalam spuit 5cc dengan sediaan
1mg/cc
Propofol : disiapkan dalam spuit 10 cc dengan sediaan 10
mg/cc
19
Ketamin: disiapkan dalam spuit 10 cc dengan sediaan 10
mg/cc
Golongan narkotik:
- Morfin : disiapkan dalam spuit 10 cc dengan sediaan
1 mg/cc
- Pethidine : disiapkan dalam spuit 2,5 cc dengan
sediaan 50 mg/cc. Biasanya perlu diencerkan lagi
dalam spuit 5cc dengan sediaan 5mg/cc
- Fentanyl : disiapkan dalam spuit 2,5 cc dengan
sediaan 50 mg/cc
Gas inhalasi :
- Isoflurane : vaporizer diberi label berwarna ungu,
dicek isinya
- Sevoflurane : vaporizer diberi label berwarna kuning,
dicek isinya
- Etrane, desflurane, halothane
Obat pelumpuh otot :
- Vecorium : disiapkan dalam spuit 3cc dengan sediaan
4mg/cc
- Actracurium : disiapkan dalam spuit 3cc dengan
sediaan 10 mg/cc
b. Obat emergency
Epineprine
Nor Epineprine
Sulfas Atropin
Ephedrine
Dopamine
Lidokaine
Furosemide
20
Amiodaron, aminophylin, dexametasone bila diperlukan
c. Cairan infus
Crystaloid ( Ringer Laktat, normal saline), dan
Colloid (Haes 6%, Gelatin)
4. Induksi Anastesi
Pada tahap ini pasien sudah siap dan akan segera dilakukan
pembiusan umum. Diberikan pramedikasi di lingkungan kamar operasi
atas indikasi. Diberikan loading dose obat anastesi agar pasien mulai
tidur serta dilanjutkan dengan dosis maintenance untuk memelihara
kadar obat anastesi. Pada tahap ini gas inhalasi dapat diberikan lewat
face mask maupun intubasi. Dalam melakukan intubasi, dokter dibantu
perawat anastesi.
Tahapanya adalah:
1. Dokter anastesi dan perawat anastesi melakukan cek persiapan alat
dan obat
2. Siapkan dan pilih ukuran serta macam endotrakeal tube sesuai dengan
yang dikehendaki.
3. Pasang stylet, atur panjang dan bentuk lengkungnya
4. Lakukan tes kemudahan stylet dapat keluar masuk pipa
5. Lakukan tes cuff dengan meniupkan udara memakai spuit, biarkan
sesaat, lihat kembali adakah kebocoran cuff atau tidak.
6. Posisikan pasien pada kondisi normal, pada pasien dewasa berikan
bantal setebal 10-12cm padat dibawah kepalanya.
7. Dokter anastesi telah siap memegang masker dengan ukuran yang
sesuai dan oksigen telah dinyalakan
8. Perawat anastesi memberikan obat induksi sesuai advis dokter
anastesi dan diawasi oleh dokter anastesi
9. Setelah obat bekerja dan pasien siap maka dilakukan intubasi.
10. Perawat anastesi menyerahkan laryngoscope serta endotrakeal tube
11. Perawat anastesi membantu melakukan sellick manuver saat dokter
anastesi melakukan intubasi.
12. Pipa ETT sudah pada tempatnya cabut stylet hati-hati, pegang pipa
erat erat agar tidak bergeser.
21
13. Endotrakeal tube dihubungkan dengan mesin anastesi
14. Dokter anastesi menilai apakah dada mengembang simetris saat
diberi inhalasi dan suara nafas diauskultasikan apakah terdengar
sama antara kanan dan kiri.
15. Bila terjadi intubasi endotrakea tarik pipa ETT pelan-pelan ambil
lakukan penilaian diatas.
16. Bila letak pipa ETT sudah tepat, masukkan pipa orofaring sebagai
bite blok dan selanjutnya dilakukan fiksasi endotrakeal tube di pipi
pasien menggunakan plester.
17. Buka vaporizer / obat inhalasi, Selanjutnya maintenance.
18. Akhiri tindakan anastesi dengan benar dan tepat setelah tindakan
operasi selesai.
5. Monitoring
Ada beberapa jalan untuk memonitor pasien selama anastesi:
1. Pulse oximetry : pengukuran kecukupan kebutuhan oksigenasi dengan
pulse oxymetri.
2. Kapnografi :
Pengukuran dari CO2 akhir ekspirasi secara langsung
berkolerasi dengan konsentrasi CO2
Kapnografi digunakan untuk :
- Penilaian keberhasilan ventilasi alveloar,
- Pemeliharaan normokapia selama ventilasi mekanik,
- Memperlihatkan bahwa peralatan pernafasan
tersambung dengan tepat,
- Memperhatikan bahwa ETT ada di trakea bukan di
esofagus,
- Untuk tanda awal hipertermi malignant,
- Indikasi penurunan cardiac output pada pasien dengan
frekuensi nafas normal ( emboli paru, henti jantung
atau hipovolemia berat). Manifest sebagai penurunan
gradual CO2 , karena jika sedikit CO2 yang mencapai
paru dari sirkulasi maka terjadi V/Q mismatch
22
- Alarm dapat diatur untuk mengingatkan ketika level
CO2 turun ke batas yang berbahaya.
3. ECG
ECG memantau detak jantung dan ritme, hal ini penting
untuk memperlihatkan : iskemia, gangguan elektrolit, blok
jantung, henti jantung.
ECG 3 lead sering kali digunakan.
4. Tekanan darah non invasif
Tekanan darah secara kontinue diukur menggunakan cuff tekanan
darah, untuk memperkirakan perfusi end-organ.
5. Tekanan darah invasif
a. Indikasi :
- Kelainan kardiovaskuler
- Penggunaan inotropik/vasodilator
- Obesitas
b. Tekanan darah dinilai dengan memasukkan line arteri perifer
c. Keuntungan: kontinue dan pengukuran segera
d. Kelemahan: prosedur yang sulit, salah penempatan line
menimbulkan perdarahan
e. Sumber eror : gumpalan darah, emboli udara
6. Temperatur
Anastesi mempengaruhi homeostatis temperatur. Oleh karena itu,
pasien berisiko untuk mengalami fluktuasi temperatur saat di
anastesi.
7. Kedalaman anastesi
Kedalaman anastesi ini harus dinilai selama induksi dan
pemeliharaan. Konsebtrasi plasma agen induksi akan mencapai
puncak dan menurun dalam hitungan menit yang menyebabkan
fluktuasi
23
Tekanan vena central (CVP) digunakan untuk memberikan hasil
yang lebih representatif untuk status volume dibandingkan tekanan
cuff.
9. Kehilangan darah
Kehilangan darah harus dimonitor untuk memastikan tata laksana
cairan yang tepat. Meskipun demikian kehilangan sulit dihitung
secara akurat, jadi anastesis harus menilainya dengan kontinue
secara klinis.
10. Peripheral nerve stimulator
Peripheral nerve stimulator digunakan: ketika memasukkan obat
pelumpuh otot, untuk menilai apakah masih ada residu pelumpuh
otot setelah pembedahan.
6. Pemulihan
Di akhir pembedahan, dokter anastesi harus memulihkan proses
anastesi, sering disebut sebagai “membangunkan pasien”. Andai saja hal
itu sedemikian sederhananya sebagai konsekuensi variasi teknik anastesi
yang digunakan, tidak ada protokol absolut bagi stadium anastesi ini.
Namun terdapat dua prioritas utama, pemulihan kesadaran dan
pemeliharaan jalan nafas yang paten. Disini, kedua hal tersebut akan
dibahas dalam hubungannya dengan pasien yang bernafas secara spontan
dan mereka yang diberi ventilasi bantuan.
a. Observasi sampai pasien terbebas dari resiko depresi sistem
kardiorespirasi
b. Oksigenasi harus dipantau secara rutin dan teratur sampai pasien
terbebas dari risiko hipoksemia
c. Ventilasi dan sirkulasi harus dipantau secara rutin dan teratur sampai
pasien diperbolehkan pulang.
d. Gunakan kriteria pemulangan yang sesuai untuk meminimalisir resiko
depresi kardiovaskuler / pernapasan setelah pasien dipulangkan.
b. Anastesi Regional
a. Anamnesa
Dilakukan pengkajian ulang pasien terhadap ;
B1 (airway dan fungsi pernafasan)
B2 (fungsi cardiovaskuler)
24
B3 (fungsi kesadaran)
B4 (fungsi ginjal)
B5 (fungsi pencernaan)
Puasa
Obat yang digunakan
b. Induksi anastesi
Pada tahap ini pasien sudah siap dan akan segera dilakukan pembiusan.
Diberikan premedikasi di lingkungan kamar operasi atas indikasi.
c. Macam-macam anastesi regional
1. Blok saraf
Tatalaksananya adalah:
Desinfeksi area
Suntikkan obat anastesi lokal pada lokasi yang paling mudah
dicapai dari perjalanan saraf tersebut, misalnya blok nervus
ulnaris pada siku ulnaris
Sebelum obat dimasukkan aspirasi terlebih dahulu untuk
meyakinkan bahwa ujung jarum tidak berada didalam
pembuluh darah
Tunggu 5-10 menit guna menunggu mulai kerja obat
2. Blok fleksus brakhialis intersklaeni
Pasang alat pantau yang diperlukan
Pasien tidur terlentang dengan bantal di punggung
Apabila blok dilakukan dikanan, kepala miring ke sebelah kiri
dan sebaliknya
Desinfeksi area
Suntikkan obat anastesi lokal sebanyak 20-30 ml pada celah
intersklaeni
Sebelum obat dimasukkan, dilakukan aspirasi terlebih dahulu
Tunggu 5-10 menit untuk menunggu kerja obat
3. Blok fleksus brakhialis supraklavikula
Tata laksananya adalah:
Pasang alat pantau yang diperlukan
Pasien tidur terlentang dengan bantal di punggung
25
Apabila blok dilakukan dikanan, kepala miring ke sebelah kiri
dan sebaliknya
Desinfeksi area
Suntikkan obat anastesi lokal sebanyak 20-30 ml pada titik
yang berjarak satu centi meter diatas titik sepertiga tengah
klavikula ke arah tulang iga pertama
Sebelum obat dimasukkan, dilakukan aspirasi terlebih dahulu
Tunggu 5-10 menit untuk menunggu kerja obat
4. Blok fleksus brakhialis aksiler
Tatalaksanaanya adalah
Pasang alat pantau yang diperlukan
Pasien tidur terlentang dengan bantal di punggung
Apabila blok dilakukan dikanan, kepala miring ke sebelah kiri
dan sebaliknya
Desinfeksi area
Suntikkan obat anastesi lokal sebanyak 20-30 ml pada puncak
aksila disekitar pembuluh darah
Sebelum obat dimasukkan, dilakukan aspirasi terlebih dahulu
Tunggu 5-10 menit untuk menunggu kerja obat
5. Blok sub arakhnoid
Tatalaksanaanya adalah:
Pasang alat pantau yang diperlukan
Pungsi lumbal dapat dilakukan dengan posisi pasien tidur
miring ke kiri , kanan atau duduk sesuai dengan indikasi
Desinfeksi area pungsi lumbal dan tutup dengan doek lubang
steril
Lakukan pungsi lumbal dengan jarum ukuran paling kecil
pada celah interspinosum lumbal3-4 atau 4-5 sampai keluar
cairan likuor
Masukkan obat anastesi lokal yang dipilih sambil melakukan
barbotase
Tutup luka tusukan dengan kassa steril
26
Atur posisi pasien sedemikian rupa agar posisi kepala dan
tungkai lebih tinggi dari badan
Nilai ketinggian blok dengan skor “bromage”
Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi
6. Blok epidural lumbal
Tata laksananya adalah:
Pasang alat pantau yang diperlukan
Posisi pasien tidur miring ke kanan atau ke kiri sesuai dengan
posisi untuk melakukan pungsi lumbal
Desinfeksi area pungsi lumbal dan tutup dengan doek lubang
steril
Lakukan uji bebas tahanan (sebagai tanda bahwa ujung jarum
sudah berada di ruang epidural) dengan spuit berisi udara atau
cairan isotonis
Masukkan kateter epidural melalui jarum epidural ke arah
kranial sampai kateter yang berada diruang epidural sepanjang
20-30 cm
Masukkan obat lidokain 2% atau obat yang lain sebanyak 20-
30ml sambil melakukan aspirasi
Setelah selesai tindakan, posisi pasien diatur sedemikian rupa
agar posisi kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan
Nilai ketinggian blok dengan skor “bromage”
Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi
7. Blok epidural kaudal
Tatalaksanaanya adalah:
Pasang alat pantau yang diperlukan
Posisi pasien tidur miring ke kanan atau ke kiri sesuai dengan
posisi untuk melakukan pungsi lumbal, atau kaki yang di
bawah lurus sedangkan kaki yang diatas ditekuk maksimal
Desinfeksi area pungsi lumbal dan tutup dengan doek lubang
steril
Lakukan suntikan pada hiatus sakralis dengan jarum suntik
10ml ke arah kranial
27
Lakukan uji bebas tahanan (sebagai tanda bahwa ujung jarum
sudah berada di ruang epidural) dengan spuit berisi udara atau
cairan isotonis
Masukkan obat lidokain 2% atau obat yang lain sebanyak 20-
30ml sambil melakukan aspirasi
Setelah selesai tindakan, posisi pasien dikembalikan terlentang
datar
Pantau tekanan darah dan denyut nadi
8. Blok regional intravena
Tatalaksananya adalah:
Pasang alat pantau yang diperlukan
Pasien tidur terlentang
Apabila blok dilakukan pada ekstrimitas superior, pasang
torniket manset ganda pada lengan atas, apabila blok
dilakukan pada ektrimitas inferior, pasang torniket manset
ganda pada paha
Lakukan eksaguinasi tertutup, selanjutnya pompa torniket
proksimal sampai tekanannya mencapai 2x tekanan sistolik (
untuk ekstrimitas atas, atau 3x tekanan sistolik ( untuk
ekstrimitas bawah)
Masukkan obat anastesi lokal yang dipilih melalui “wing
nedle” atau kanul intravena yang telah terpasang secara pelan-
pelan
Tunggu kurang lebih 5-10 menit untuk memberikan
kesempatan obat mulai bekerja (onset of action)
Apabila pasien sudah mengalami bebas nyeri pada area bagian
distal.
Tindakan/prosedur pembedahan sudah bisa dimulai.
I. Pasca Anastesi
a. Kelompok I
28
Pasien yang mempunyai resiko tinggi gagal nafas dan goncangan kardiovaskuler pada
anastesi / bedah, sehingga perlu nafas kendali pasca anastesi / bedah. Pasien yang
termasuk kelompok ini langsung di rawat di Unit Terapi Intensif pasca anastesi /
bedah tanpa menunggu pemulihan di ruang pulih.
b. Kelompok II
Sebagian besar pasien pasca anastesi / bedah termasuk dalam kelompok ini. Tujuan
perawatan pasca anastesi / bedah adalah menjamin agar pasien secepatnya mampu
menjaga keadekuatan respirasinya.
c. Kelompok III
Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasien pada kelompok
ini bukan hanya fungsi respirasinya adekuat tetapi harus bebas dari rasa kantuk,
ataksia, nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa kembali pulang.
29
terbuka dan lidah ke depan sampai reflek faring pulih. Bila pasien tidak bisa
batuk dan mengeluarkan dahak dan lendir harus dibantu dengan suction.
Terapi oksigen O2 sering diberikan pada pasien pasca operasi, karena obat
anastesi dapat menyebabkan hipoksemia. Selain pemberian O2 harus diberikan
latihan nafas dalam setelah pasien sadar.
2. Memepertahankan sirkulasi
Hipotensi yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari posisi satu ke
posisi lainnya. Seperti posisi litotomi ke posisi horizontal atau dari posisi
lateral ke posisi telentang. Bahkan memindahkan pasien yang masih dalam
keadaan anastesi , dapat menimbulkan masalah vaskuler juga. Untuk itu
memindah pasien harus secara berhati-hati, perlahan dan cermat.
Hipotensi dan aritmia merupakan komplikasi kardiovaskuler yang peling
sering terjadi pada pasien post anastesi.
Pemantauan tanda- tanda vital dilakukan tiap 15 menit sekalil selama pasien
berada diruang pemulihan.
3. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pemberian infus merupakan usaha pertama untuk mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
Monitor cairan per infus sangat penting untuk mengetahui kecukupan
pengganti dan pencegah kelebihan cairan. Begitu pula cairan yang keluar juga
harus di monitor.
4. Mempertahankan keamanan dan kenyamanan
Pasien post operasi atau post anastesi sebaiknya diselimuti dan pada tempat
tidurnya dipasang pengaman side rail sampai pasien sadar penuh untuk
menghindari injury. Posisi pasien sering di ubah untuk mencegah kerusakan
saraf akibat tekanan kepada saraf otot dan persendian.
Obat analgesik dapat diberikan pada pasien yang kesakitan dan gelisah sesuai
dengan program dokter.
Linen yang basah oleh darah atau cairan yang lainnya harus segera diganti
dengnan yang kering dan bersih untuk menghindari kontaminasi.
Pada pasien yang mulai sadar, memerlukan orientasi dan merupakan
tunjangan agar tidak merasa sendirian. Pasien harus diberi penjelasan bahwa
operasi sudah selesai dan diberitahu apa yang sedang dilakukan.
30
Hal lain yang juga harus diperhatikan diantaranya adalah letak insisi bedah,
perubahan vaskuler. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali
pasien pasca operasi dipindahkan. Nbanyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup
tinggi dan setiap pergerakan dilakukan untuk mencegah adanya komplikasi pada luka
operasi atau perdarahan luka operasi. Pasien selalu diposisikan dengan posisi tertentu,
sehingga tidak menyumbat drain yang terpasang.
31
Syarat-syarat ruang pulih sadar :
1) Berada didalam kompleks kamar operasi atau satu atap dengan kamar operasi
dan satu koridor.
2) Ruangan cukup memadai untuk 4-6 tempat tidur.
3) Jarak tempuh dari masing-masing kamar operasi ke ruang pulih kurang lebih 5
menit.
4) Dilengkapi dengan tempat tidur khusus, penerangan yang cukup dan tempat
cuci.
5) Dilengkapi dengan monitor, mesin suction, dan obat resusitasi.
6) Personilnya terampil dalam bidang resusitasi, dengan jumlah minimal 1 orang
untuk 2 tempat tidur.
Ruang pulih sadar dilengkapi dengan tenaga perawat yang khusus dengan
kompetensi mampu merawat pasien pada masa pemulihan dari pembiusan. Alat-alat
untuk kondisi emergensi tersedia seperti masker dan ambu bag, suction.
Posisi kepala pasien lebih rendah dan kepala dimiringkan pada pasien dengan
pembiusan umum, sedang pada pasien dengan anastesi regional posisi semi
fowler.
Pasang pengaman apda tempat tidur.
Monitor tanda-tanda vital : Tekanan darah, Nadi, Respirasi tiap 15 menit.
Penghisapan lendir daerah mulut dan trakea.
Beri O2 2-3 liter sesuai program.
Observasi adanya muntah.
Catat intake dan output cairan.
Catat fungsi vital pasien.
Adanya perdarahan yang mungkin terjadi.
Evaluasi derajat nyeri pasca operasi.
32
Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian
terhadap kondisi pasien. Terutama untuk resusitasi pernafasandan kardiovaskuler.
Alat di ruang pulih sadar seperti O2, suction, obat-obatan, alat-alat untuk keadaan
darurat. Untuk pasien anak-anak kalau perlu salah satu keluarga boleh menunggu
diruang pulih sadar, untuk membantu mengawasi teutama paasien anak-anak akan
merasa tenang jiak orang tua atau keluarga hadir.
1) Komplikasi umum
Langsung
- Nyeri
- Perdarahan
- Syok
- Atelektasis basal
- Keluaran urin sedikit
Segera
- Nyeri
- Mual dan muntah pasca operasi (PONV)
- Syok
- Kebingungan akut
- Gangguan jantung
- Infeski ( Pneumonia, Infeksi saluran kencing, Infeksi luka )
- Dehinscence vena dalam (DVT) atau emboli paru (PE)
- Retensi urin
- Ileus paralitik
Lambat
- Pembentukan adhesi
- Hernia insisional
- Kehilangan mobilitas
- Nyeri kronis
- Kegagalan pembedahan atau patologi awal muncul kembali
2) Sepsis
33
3) Nyeri (pain)
4) Analgesia
5) Mual muntah pasca operasi
6) Kehilangan darah akut
1. Respirasi
Parameter respirasi yang harus dinilai pasca anastesi adalah :
Parameter Normal
Suara nafas paru Sama pada kedua paru
Frekukensi nafas 10 – 35 x/menit
Irama nafas Teratur
Volume tidal Minimal 4 - 5 ml/kgbb
Kapasitas vital 20 - 40 ml/kgbb
Inspirasi paksa -40 cmH2O
PaO2 pada FiO2 30% 100 mmHg
PaCO2 30 - 45 mmHg
34
Apabila dalam penilaian tersebut di atas dijumpai tanda-tanda insufisiensi respirasi,
segera dicari penyebabnya sehingga dengan cepat dilakukan usaha untuk memulihkan
fungsinya.
Supra laring Lidah jatuh ke hipofaring, air liur, bekuan darah lambung
akibat muntah atau regurgitasi.
Laring Benda asing, spasme, edema dan kelumpuhan pita suara.
Infra laring Trakeo – malasea, aspirasi benda asing, dan spasme bronkus.
Depresi nafas :
1) Depresi sentral : paling sering akibat efek sisa obat, disamping itu juga
disebabkan oleh keadaan hipokanea, hipotermia, dan hipoperfusi.
2) Depresi perifer : karena efek sisa pelumpuh otot, nyeri, distensi
abdomen dan rigditas otot.
2. Sirkulasi
Parameter hemodinamik yang perlu diperhatikan adalah :
a. Tekanan Darah
35
Tekanan darah normal berkisar 90/50 -160/100 mmHg. Aldreta menilai perubahan
tekanan darah pasca anastesi dengan kriteria sebagai berikut :
- Perubahan sampai 20% dari nilai pra bedah = 2
- Perubahan antara 20-50% dari nilai pra bedah = 1
- Perubahan melebihi 50% dari nilai pra bedah = 0
Penyebab hipertensi pasca bedah adalah hipertensi yang diderita prabedah, nyeri,
hipoksia, dan hiperkarbia, penggunaan vasopresor, dan kelebihan cairan.
Penyebab hipotensi atau syok pasca bedah adalah perdarahan defisit cairan,
depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh darah yang berlebihan.
Penanggulangannya disesuaikan dengan penyebabnya.
b. Denyut jantung
Denyut jantung normal berkisar 55-120x/menit, dengan irama yang teratur.
Sebab-sebab gangguan irama jantung :
Takikardia, disebabkan oleh hipoksia, hipovolumia, akibat obat
simpatomimetik, demam, dan nyeri. Penanganannya disesuaikan dengan
penyebabnya.
Bradikardia, disebabkan oleh blok subarakhnoid, hipoksia (pada bayi) dan
reflek vagal. Penanganannya disesuaikan dengan penyebab, umumnya
diberikan sulfas atropin.
Disritmia (diketahui dengan EKG), paling sering disebabkan karena hipoksia.
Penanggulangannya adalah memperbaiki ventilasi dan oksigenasi. Apabila
sangat mengganggu dapat diberikan obat anti disritmia seperti lidocain.
3. Suhu tubuh
Penyulit hipotermi pasca bedah, tidak bisa dihindari terutama pada pasien bayi atau
anak dan usia tua. Beberapa penyebab hipotermi di kamar operasi adalah :
36
Usaha untuk menghangatkan kembali di ruang pulih sadar adalah dengan cara :
5. Kesadaran
Pemanjangan pemulihan kesadaran, merupakan salah satu penyulit yang sering
dihadapi di ruang pulih sadar. Banyak faktor yang terlibat dalam penyulit ini. Apabila
hal ini terjadi, diusahakan memantau tanda-tanda vital dan mempertahankan
fungsinya agar tetap adekuat. Disamping itu pasien yang belum sadar tidak merasakan
adanya tekanan, jepitan atau rangsangan pada anggota gerak, mata atau pada kulitnya
sehingga mudah mengalami cedera, oleh karena itu posisi pasien harus diatur
sedemikian rupa, mata ditutup dengan plester atau kassa yang basah sehingga
terhindar dari cedera sekunder.
Penyebab gaduh gelisah pasca bedah :
a. Pemakaian ketasmin sebagai obat anastesia.
b. Nyeri yang hebat.
c. Hipoksia.
d. Buli-buli yang penuh.
37
e. Stress yang berlebihan prabedah.
f. Pasien anak-anak, seringkali mengalamai hal ini.
Penanggulangannya, disesuaikan dengan penyebabnya.
6. Aktifitas Motorik
Pemulihan aktifitas motorik pada penggunaan obat pelumpuh otot, berhubungan erat
dengan fungsi respirasi. Bila masih ada efek sisa pelumpuh otot, pasien mengalami
hipoventilasi dan aktifitas motorik yang lain juga belum kembali normal.
Petunjuk yang sangat sederhana untuk menilai pemulihan otot adalah dengan menilai
kemampuan pasien untuk membuka mata dan kemampuan untuk menggerakkan
anggota gerak terutama pada pasien menjelang sadar. Kalau sarana memadai, dapat
dilakukan uji kemampuan otot rangka dengan alat perangsang saraf.
7. Masalah nyeri
Trauma akibat luka operasi sudah pasti akan menimbulkan rasa nyeri. Hal ini harus
disadari sejak awal dan bila pasien mengeluh rasa nyeri atau ada tanda-tanda pasien
menderita nyeri, segera berikan analgetika.
Diagnosis nyeri ditegakkan melalui pemeriksaan klinis berdasarkan pengamatan
perubahan perangai, psikologis, perubahan fisik antara lain pola nafas, denyut nadi
dan tekanan darah, serta pemeriksaan laboratorium yaitu kadar gula darah.
Intensitas nyeri pada pasien anak usia > 6 tahun dan pasien dewasa dinilai dengan
Wong Baker Face Pain Scale dan Numerical Pain Scale (FPS) dengan rentang nilai
dari 1-10 yang dibagi menjadi :
a. Nyeri ringan ada pada skala 1-3
b. Nyeri sedang ada pada skala 4-7
c. Nyeri berat ada pada skala 8-10
Sedang untuk pasien anak 29 hari sampai dengan 6 tahun menggunakan FLACC
Behaviour Pain Assesment adalah alat ukur pengkajian tingkah laku nyeri pasien yang
dapat digunakan untuk pengkajian nyeri pada pasien anak usia 29 hari sampai dengan
<6 tahun, pasien dengan keterbatasan perkembangan mental, gangguan jiwa, bisu, tuli
dan gangguan lain, serta lanjut usia yang tidak dapat menggunakan skor subyektif.
Caranya yaitu dengan mengobservasi tingkah laku pasien dan memberikan skor dari
masing-masing kategori pengukuran (dari 0, 1, atau 2)sesuai dengan penjelasan yang
diberikan. Jumlahkan masing-masing kategori yang telah didapat, kemudian
dokumentasikan skornya.
38
FLACC Behavioral Pain Assessment Scale
KATEGORI 0 1 2 SKOR
F Wajah Tersenyum / tidak Kadang Sering
(Face) ekspresi khusus menangis / menggetarkan
menarik dagu dan
diri mengatupkan
rahang
L Tungkai / Kaki Gerakan normal / Tidak Kaki dibuat
(Legs) relaksasi tenang / menendang/
tegang menarik diri
A Aktifitas Tidak ada, posisi Gerakan Melengkungkan
(Activity) normal, mudah menggeliat, punggung /
bergerak berguling, kaku /
kaku mengehentak
C Tangisan (Cry) Tidak menangis Mengerang, menangis terus
(saat bangun / merengek menerus
tidur)
C Bersuara Bersuara normal / Tenang bila Sulit untuk
/mebuat senang mudah dipeluk, ditenangkan
dan nyaman ditenangkan digendong
(Consolability) atau di ajak
bicara
TOTAL Skala FLACC (0 – 10) =...../ 10
4 -6 = nyeri sedang
Neonatal infant score (NIPS) adalah alat ukur nyeri yang digunakan untuk mengukur
tingkah laku nyeri dan psikologis bayi usia 0 – 28 hari dnegan melihat :
39
a. Ekspresi wajah
b. Tangisan
c. Pola nafas
d. Pergerakan tangan
e. Pergerakan kaki
f. Kesadaran
Bayi yang dilahirkan tidak langsung menangis, kemungkinan masih merasakan nyeri
sehubungan dengan adanya “shut-down reflex”, hal ini dikarenakan bayi tidak memiliki
kekuatan yang cukup untuk menangis. Secara fisiologis pada bayi baru lahir, menangis
merupakan suatu alat komunikasi untuk memberitahukan perasaannya (misal : nyeri )
tetapi bukan berarti bayi yang tidak menangis tidak merasa nyeri.
Kategori 0 1 2 Skor
1. Ekspresi Otot wajah Wajah tegang, alis
wajah rileks, berkerut, rahang dagu
ekspresi tegang
netral
2. Tangisan Tenang, Mengerang, sebentar- Terus
tidak sebentar menangis menerus
menangis menangis,
menangis
kencang,
melengking
3. Pola nafas rileks Pola nafas berubah : tidak
teratur, lebih cepat dari
biasanya, tersedak,
menahan nafas
4. Tangan Rileks, Fleksi / ekstensi yang
otot-otot kaku, meluruskan tangan
tangan tapi dengan cepat
tidak melakukan fleksi /
40
kaku, ekstensi yang kaku
kadang
tangan
bergerak
tidak
beraturan
5. Kaki Rileks, Fleksi/ ekstensi yang
otot-otot kaku, meluruskan kaki
kaki tidak tapi dengan cepat
kaku, melakukan fleksi .
kadang ekstensi yang kaku
kaki
bergerak
tidak
beraturan
6. Kesadaran Tidur Rewel, gelisah dan
pulas / meronta-ronta
cepat
bangun,
alert dan
tenang
TOTAL = ...../ 7
a. Menekan pada proses transduksi di daerah cedera, mempergunakan preparat atau obat
analgesia lokal atau analgesia non steroid atau anti prostaglandin, misalnya : asam
mefenamat, ketoprofen, dan ketorolac.
b. Menekan pada proses transmisi mempergunakan obat analgesia lokal dengan tehnik
analgesia regional, seperti misalnya : blok interkostal dan blok epidural.
c. Menekan pada proses modulasi mempergunakan preparat narkotika secara sistemik
yang diberikan secara intermiten atau tetes kontinyu atau diberikan secara regiuonal
melalui kateter epidural.
41
Nyeri luka operasi laparatomi, menimbulkan pengaruh yang seriu terhadap
fungsi respirasi. Pengembangan diafragma ke arah rongga abdomen akan menurun,
menyebabkan kapasitas residu fungsional akanmenurun sehingga ventilasi alveolar
berkurang.
Disamping itu kemampuan batuk pasca bedah untuk menegeluarkan sputum. Oleh
karena itu, pada pasien pasca laparatomi tinggi yang insisinya mencapai prosesus
sifoideus dilakukan ventilasi mekanik selama 1x24 jam, selnajutnya pada saat
yang sama dipasang kateter epidural untuk mengendalikan nyeri mempergunakan
preparat opiat (morfin).
42
2. Selanjutnya dilakukan penilaian setiap saat dan dicatat setiap 5 menit sampai
tercapai nilai total 10.
3. Nilai untuk pengiriman pasien adalah 10.
Jika skor total > 8 , pasien boelh keluar ruang pemulihan. Namun, bila
pasien tersebut anak-anak, kriteria pemulihan yang digunakan adalah Skor Stewart,
yang dinilai antara lain pergerakan, pernafasan, dan kesadaran. Bila skor total di
atas 5, pasien boleh keluar dari ruang pemulihan.
Kriteria Nilai
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tidak mampu ekstensi tungkai 1
Tidak mampu fleksi lutut 2
Tidak mampu fleksi pergerakan kaki 3
43
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum memulangkan atau
memindahkan pasien ke ruangan adalah :
44
J. Anastesi Lokal
Anastesi lokal adalah obat yang disuntikkan pada jaringan agar mati rasa.
Anastesi lokal menghentikan kerja syaraf untuk sementara sehingga pasien tidak
merasakan sakit. Bentuk paling sederhana dari anastesi lokal adalah dengan
menyuntikkan obat anastesi hanya pada bagian dimana operasi akan dilakukan.
Dapat juga dilakukan pada seluruh syaraf pada lengan atau kaki (nerve block)
Di RSI Aminah Blitar anastesi lokal dilakukan oleh dokter bedah atau
dpjp yang akan melakukan tindakan pembedahan atau operasi minor. Penanggung
jawab monitoring lokal anastesi adalah dokter operator atau dokter yang
melakukan anastesi lokal.
2. SEDASI
2.1 Definisi Sedasi
Sedasi adalah penggunaan obat untuk menghasilkan keadaan depresi dari
sistem saraf pusat sehingga memungkinkan untuk dilakukan tindakan medis.
Secara garis besar ada tingkatan sedasi yaitu:
a) Sedasi ringan/ minimal (anxlolysis) adalah kondisi dimana pasien masih dapat
merespon dengan normal terhadap stimulus verbal. Meskipun fungsi kognitif
dan koordinasi dapat terganggu, ventilasi dan fungsi kardiovaskuler tidak
terpengaruh.
b) Sedasi sedang / moderat ( pasien sadar) adalah suatu kondisi depresi tingkat
kesadaran dimana pasien memberikan respon terhadap stimulus sentuhan.
Tidak diperlukan intervensi untuk mempertahankan patensi jalan nafas dan
pernafasan spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler tidak terganggu
c) Sedasi berat / dalam adalah suatu kondisi depresi tingkat kesadaran di mana
pasien memberikan respon terhadap stimulus berulang/nyeri. Pasien sulit
dibangunkan. Fungsi pernafasan dapat terganggu / tidak adekuat. Pasien
mungkin membutuhkan bantuan untuk mempertahankan patensi jalan nafas.
Fungsi kardiovaskuler pada umumnya terjaga dengan baik. Pasien tidak dapat
mengingat proses yang terjadi (amnesia).
sedasi Sedasi Sedasi berat Anastesi
ringan / sedang/modera / dalam umum
minimal t (pasien sadar)
45
(anciolysis
)
Respons Respon Merespon Merespon Tidak sadar
normal terhadap setelah meskipun
terhadap stimulus diberikan dengan
stimulus sentuhan stimulus stimulus
verbal berulang / nyeri
setimulus
nyeri
Jalan nafas Tidak Tidak perlu Mungkin Sering
terpengaru intervensi perlu memerluka
h intervensi n intervensi
Ventilasi Tidak Adekuat Dapat tidak Sering tidak
spontan terpengaru adekuat adekuat
h
Fungsi Tidak Biasanya dapat Biasanya Sering tidak
kardiovaskule terpengaru dipertahankan dapat adekuat
r h dengan baik dipertahanka
n dengan
baik
Tabel 1. Perbedaan sedasi dan anastesi umum
2.2 Tujuan Pemberian Sedasi
Tujuan pemberian sedasi antara lain:
a) Mengurangi kecemasan dan rasa tidak nyaman
b) Meminimalkan rasa nyeri
c) Mendukung keberhasilan prosedur tindakan atau diagnostik
2.3 Faktor Resiko Dan Komplikasi Sedasi
Faktor resiko sedasi antara lain adalah:
a) Riwayat gagal sedasi
b) Mengalami efek samping pada pemberian obat sedasi
c) Riwayat sulit intubasi atau ventilasi
d) Bentuk jalan nafas tidak normal
e) Status ASA 3 dan 4
46
f) Pengosongan lambung terganggu dan refluk gastro-esphageal yang tinggi
g) Neonatus, infant dan prematuritas
h) Kehamilan
i) Geriatri
j) Gangguan fungsi organ vital yang berat (jantung, paru, hati atau ginjal)
2.4 Prosedur Yang Dapat Dilakukan Dengan Sedasi
Sedasi sedang atau moderat : prosedur diagnostik yang memerlukan
ketenangan pasien. CT-Scan, MRI dan EEG (Elektro Encephalo
Graph). Prosedur tindakan pada anak-anak yang tidak kooperatif atau
gelisah. Prosedur tindakan pada pasien tua maupun pikun.
Sedasi dalam : prosedur yang menimbulkan nyeri, misalnya : tindakan
obstetric gynecology ringan, mengangkat jaringan dari bagian tubuh (
biopsy), tindakan perawatan luka bakar luas.
A. Pra Sedasi
1. Anamnesa
Anamnesa bisa diperoleh dari pasien atau keluarga pasien. Anamnesa
meliputi riwayat pemberian obat sedasi yang pernah diberikan, riwayat
obat-obatan, riwayat penyakit yang diderita pasien sebelumnya, riwayat
merokok, riwayat minum alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan.
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan tanda-tanda vital
b. Pengukuran berat badan
c. Pemeriksaan fungsi organ
d. Pemeriksaan jalan nafas
3. Pemeriksaan penunjang
Memeriksa/ menganalisa hasil pemeriksaan penunjang dan melakukan
tindakan-tindakan yang diperlukan apabila ada hasil yang abnormal,
pemeriksaan penunjang meliputi:
a) Laboratorium
b) Thorax foto
c) EKG
4. Persiapan puasa
47
Intruksi tentang puasa diberikan kepada pasien sebagai persiapan
sebelum tindakan sedasi dan harus dilakukan pengecekan dengan
memberikan pertanyaan- pada pasien mencangkup jam berapa pasien
terakhir kali makan dan minum. Dan data ini harus didokumentasikan.
Pemberian sedasi pada situasi emergensi berpotensi terjadi pnemonia
aspirasi, pertimbangkan dalam menentukan tingkat / kategori sedasi,
apakah perlu penundaan prosedur dan apakah perlu proteksi trakea dengan
intubasi.
Adapun panduan puasa sebelum pasien menjalani prosedur sedasi
menurut AMERICAN SOCIETY OF ANASTHESIOLOGIST adalah sebagai
berikut:
JENIS MAKANAN PERIODE PUASA MINIMAL
Cairan jernih / jernih tanpa ampas 2 jam
Air susu ibu (ASI) 4 jam
Susu formula untuk bayi 6 jam
Susu sapi 6 jam
Makanan padat 6-8 jam
Tabel 2. Kriteria puasa
5. Status ASA
Status ASA pasien dinilai sebelum dilakukan tindakan sedasi (sedasi
moderat dan dalam). Adapun penilaian klasifikasi fisik ASA adalah
sebagai berikut:
ASA 1 Pasien sehat dan normal
ASA 2 Pasien dengan sistem penyakit penyakit ringan dan tidak ada
batasan fungsional (contoh: penggunaan tembakau, darah
tinggi yang terkontrol, diabetes yang terkendali)
ASA 3 Pasien dengan sistem penyakit berat yang membatasi aktifitas,
batasan fungsional, CHF, CRF, diabetes yang tak terkendali)
ASA 4 Pasien dengan sistem penyakit berat dan ancaman bagi hidup
(contoh: metastatik kanker, cardiomiopati)
ASA 5 Pasien yang hampir mati, tidak mungkin bertahan dalam 24
jam
D Pelaksanaan darurat
48
Tabel 3. Penilaian Klasifikasi ASA
6. Persetujuan tindakan
Lembar inform consent sedasi tersebut harus diisi dengan lengkap dan
didokumentasikan pada rekam medis pasien.
49
dipengaruhi suhu udara di sekitar dan hipotermia dapat menyebabkan
depresi sirkulasi dan depresi pernafasan. Oleh karena itu bungkus dan
selimuti pasien anak tersebut dengan baik. Setiap pasien anak sangat
sensitif bila terjadi dehidrasi. Sebagian besar pasien anak tidak kooperatif
dalam menjalani prosedur medis sehingga perlu melibatkan orang tua
pada saat anamnesa.
50
Obat-obatan emergency yang harus tersedia di ruang pelayanan sedasi,
antara lain:
a. Sulfas Atropin (SA)
b. Ephineprine
c. Epedrine
d. Lidokain
e. Dexamethasone
f. Aminophilyne
7. IV kanul dan infus set
8. Cairan infus
9. Lembar rekam medis
Lembar rekam medis yang diperlukan adalah:
a. Form laporan sedasi
b. Form informed consent
C. Pemerian Sedasi / Intra Sedasi
1. Pemberian obat-obatan sedasi yang dilakukan harus sesuai dengan prinsip
7 benar, meliputi: benar obat, benar dosis, benar waktu, benar waktu
pemberian obat dan aturan pakai, benar rute pemberian, benar pasien,
benar informasi, dan benar dokumentasi. Adapun pedoman macam obat-
obatan sedasi dan dosisnya:
a. Intravena
OBAT DOSIS EFEK SAMPING
51
0,5-1 mg/kgBB Onset cepat
Propofol
Durasi kerja cepat
Apneu mungkin terjadi
0,5-1 mg/kgBB Efek halusinasi
Ketamin
Mual-muntah
b. Obat inhalasi
OBAT DOSIS EFEK SAMPING
2 vol% Pemulihan cepat
Isoflurane
dibanding halotane
Analgesia kurang
Membutuhkan mesin
anastesi
2 vol% Onset cepat
Sevoflurane
Membutuhkan mesin
anastesi
52
Obat reversal adalah obat pembalikan dari obat sedasi yang telah
diberikan. Tersedia nalokson jika pasien diberikan obat opioid dan
benzodiazepine. Pemberian melalui intravena, pada pasien dewasa dosis
pemberian nalokson 0,4 mg. Pengulangan diijinkan setiap 2-3 menit
sampai titik maksimum 10mg. Pada pasien anak-anak dosis 0.05-0.1
mg/kgBB
D. Pasca Sedasi
Setelah prosedur selesai, monitoring terus dilakukan pasca sedasi setidaknya
30 menit atau hingga tercapai kriteria pemulihan. Kriteria pemulihan pasca
sedasi menggunakan alderette skor untuk pasien dewasa dan steward skor
untuk pasien anak-anak.
1. Kriteria pemulihan
a. Alderette score (Dewasa)
Penilaian:
1) Oksigenasi
a) SpO2 >92% dengan udara bebas: 2
b) SpO2 ≥90% dengan oksigen : 1
c) SpO2 <90% : 0
2) Pernafasan
a) Dapat bernafas dalam dan batuk : 2
b) Sesak atau pernafasan terbatas : 1
c) Apnue atau henti nafas : 0
3) Tekanan Darah
a) Tekanan darah menyimpang <20% dari normal : 2
b) Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal: 1
c) Tekanan darah menyimpang >50% dari normal: 0
4) Kesadaran
a) Sadar baik dan orientasi baik : 2
b) Bangun setelah dipanggil: 1
c) Tidak ada tanggapan terhadap rangsang: 0
5) Aktivitas
a) Seluruh ekstrimitas dapat digerakkan : 2
b) 2 ekstrimitas dapat digerakkan : 1
c) Tidak mampu menggerakkan ekstrimitas: 0
53
Jika jumlahnya >8, pasien dapat dipindahkan ke ruangan.
54
f. Pasien rawat jalan dan pendampingnya harus diberikan instruksi
tertulis mengenai diet pasca prosedur, obat-obatan, aktivitas dan nomor
telepon yang dapat dihubungi jika terjadi keadaan emergensi.
55
56