Anda di halaman 1dari 27

A.

Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling
tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988). Epilepsi adalah
penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel
(Tarwoto, 2007). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri
timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-
ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak,
yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000). Epilepsi
adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-
ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi
klinik dan laboratorik.

B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),
sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol

4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,


hiponatremia)

5. Tumor Otak

6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab


utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi
simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh
kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut
ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari
kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda,
masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk. Dipandang
dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi
neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai
prediksi sebagai berikut:
- Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan
ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka
resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan
pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan
pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan
pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan
resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian
besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan
pertama.

Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang,
yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan
adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi,
kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan
untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang
bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera
karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

C. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi
dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik
di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik
akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya
dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian
akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi,
aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada
talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang
umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya
banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat
membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera


setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan
cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
D. Pathway Epilepsi

E. Klasifikasi Kejang
1. Berdasarkan penyebabnya
a. epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
b. epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan
kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu
bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian
tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
epilepsi Jackson.
- Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata,
tuibuh.
- Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku
dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca
indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-
tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil).
- Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku
kata, kata atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa
seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau
sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa
di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih
kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang
bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan
kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti
pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah,
menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan,
mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik).
 Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
 Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
 Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
- Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan
terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat
memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan
biasanya dijumpai pada anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan,
biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut,
atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-
otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas
sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-
otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak
mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke
belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
- Gangguan tonus yang lebih jelas.
- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak,
sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua
otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif,
tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau
torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi
lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada
anak.
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali
dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu
epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit
diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini
biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika
kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan
napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat
serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih
rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau
menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada
anak.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan
bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

F. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran
atau gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang
epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap
sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala
sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi,
bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode
epileptikus tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat
berbicara secara tiba- tiba
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air
kecil
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara
tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap
rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang
pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke
segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya
menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-
putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar.
Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti
dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat
sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba
melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan
tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan
anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau
pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan
antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya
aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau
adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh
sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya
epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi
lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan
jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic
resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas
2. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan
3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
H. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
1. Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari
epilepsi
2. Melakukan terapi simtomatik
3. Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf
pusat yang normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika
penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia,
hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut
menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah
serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin
(difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik.
Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut
di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton
yang ingin tahu
b. Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari
bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat /
benda berbahaya.
d. Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya
kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan
pernapasan.
e. Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda
keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi
patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat
diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan
sampai menutupi jalan pernapasannya.
f. Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya
epilepsi atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai
dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2,
tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi
yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan
aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun
pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau
tidur.
g. Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau
penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit
terdekat.

2. Setelah Kejang
a. Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang
terjadi.
b. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah
aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d. Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-
tiba setelah kejang
e. Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap
lingkungan
f. Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang
selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g. Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang
(postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan
yang lembut dan member restrein yang lembut
h. Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini
penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut
penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang
lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak
yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga
maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
I. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus
ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi
dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau
kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada
bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar
melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di
identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau
cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin
selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada
usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan
obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup
merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
J. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita
akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan
jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan
menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta
beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada
30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi
dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang
yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu
harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering
dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap
kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada
kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.
Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini
bisa berlangsung seumur hidupnya. Pada epilepsi umum sekunder, obat-
obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan
fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine,
topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua.
Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma
konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih
kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan.
Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan
diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.11

Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang
terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi
potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca
ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.11
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat
memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke
dalam membran sinaptik.11
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik,
sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan
GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor
Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang
potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya.
Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya
letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan
karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur
oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal
saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.11
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-
transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama
dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
VPA bekerja pada saluran Na peka voltase, dan menghambat letupan
frekuensi tinggi dari neuron.
VPA memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron
thalamus.11
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran
Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.11
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.11
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari
GABA.11
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.

Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat


akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin,
fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan
osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat
menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur
Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat
dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.

K. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis
epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum
obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-
70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,
sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun
serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun
atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental
mempunyai prognosis relatif jelek.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan
stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan
kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang
klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering
tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota
keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
c. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d. Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
e. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan
merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab
terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh
faktor keturunan.
f. Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang
diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial
yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang
lebih umum di masyarakat).
g. Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi
apnea, aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun,
inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat
menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
h. Analisis Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan


DS: perubahan aktivitas listrik Resiko cedera
DO: pasien kejang (kaki di otak
menendang- nendang, Keseimbangan terganggu
ekstrimitas atas fleksi), gerakan tidak terkontrol
gigi geligi terkunci, lidah
menjulur
DS: sesak, gangguan nervus V, IX, X Bersihan jalan napas tidak
DO:apnea, cianosis lidah melemah efektif
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi
DS: terjadi aura Terjadi depolarisasi Gangguan persepsi sensori
(mendengar bunyi yang berlebih
melengking di telinga, Bangkitan listrik di bagian
bau- bauan, melihat otak serebrum
sesuatu), halusinasi, Menyebar ke nervus-
perasaan bingung, nervus
melayang2. Mempengaruhi aktivitas
DO: penurunan respon organ sensori persepsi
terhadap stimulus, terjadi
salah persepsi
DS: klien terlihat rendah Stigma masyarakat yang Isolasi sosial
diri saat berinteraksi buruk tentang penyakit
dengan orang lain epilepsi atau ”ayan”
DO:menarik diri Klien merasa rendah diri
Menarik diri
DS: klien terlihat cemas, Terjadi kejang epilepsi Ansietas
gelisah. Kurang pengetahuan
DO: takikardi, frekuensi tentang kondisi penyakit
napas cepat atau tidak Bingung
teratur
DS: pasien mengeluh Terjadi bangkitan listrik di Ketidakefektifan pola napas
sesak otak
DO: RR meningkat dan Menyebar ke daerah
tidak teratur, medula oblongata
Mengganggu pusat
respiratori
Mempengaruhi pola napas
DS: klien merasa lemas, terjadi bangkitan listrik di Intoleransi aktivitas
klien mengeluh cepat lelah otak
saat melakukan aktivitas menyebar ke MO
DO:takikardi, takipnea, mengganggu pusat
kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke
jaringan menurun
metabolisme aerob menjadi
anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas
DS: pasien menunjukkan CO menurun Resiko penurunan perfusi
kelelahan, diam, tidak Suplai darah ke otak serebral
banyak bergerak berkurang
DO: penurunan kesadaran, Iskemia jaringan serebral
penurunan kemampuan (O2 tidak adekuat)
persepsi sensori, tidak ada
reflek

2. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma
buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
4) Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
5) Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
6) Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori
persepsi
7) Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
8) Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke
otak
3. Intervensi dan rasional
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan
dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang
aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam
kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:

Identivikasi factor lingkungan yangBarang- barang di sekitar pasien dapat


memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri

Jauhkan benda- benda yang dapatMengurangi terjadinya cedera seperti


mengakibatkan terjadinya cedera padaakibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendahArea yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktuMemberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegahLidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadikarena menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yangUntuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saatsebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang
Kolaborasi:

Berikan obat anti konvulsan sesuaiMengurangi aktivitas kejang yang


advice dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:

Anjurkan pasien untuk memberi tahuSebagai informasi pada perawat untuk


jika merasa ada sesuatu yang tidaksegera melakukan tindakan sebelum
nyaman, atau mengalami sesuatu yangterjadinya kejang berkelanjutan
tidak biasa sebagai permulaan terjadinya
kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentangMelibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selamaresiko cedera
pasien kejang

2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan


lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak
ada dispnea

Intervensi Rasional
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkanmenurunkan resiko aspirasi atau
mulut dari benda / zat tertentu / gigimasuknya sesuatu benda asing ke faring.
palsu atau alat yang lain jika fase aura
terjadi dan untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal.
meningkatkan aliran (drainase) sekret,
Letakkan pasien dalam posisi miring,
mencegah lidah jatuh dan menyumbat
permukaan datar
jalan nafas
Tanggalkan pakaian pada daerah leher /untuk memfasilitasi usaha bernafas /
dada dan abdomen ekspansi dada

Melakukan suction sesuai indikasi Mengeluarkan mukus yang berlebih,


menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.

Membantu memenuhi kebutuhan oksigen


agar tetap adekuat, dapat menurunkan
Kolaborasi
hipoksia serebral sebagai akibat dari
Berikan oksigen sesuai program terapi
sirkulasi yang menurun atau oksigen
sekunder terhadap spasme vaskuler
selama serangan kejang.

3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma
buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan
masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:

Identifikasi dengan pasien, factor- factorMemberi informasi pada perawat tentang


yang berpengaruh pada perasaan isolasifactor yang menyebabkan isolasi sosial
sosial pasien pasien
Mandiri

Memberikan dukungan psikologis danDukungan psikologis dan motivasi dapat


motivasi pada pasien membuat pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:

Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu mengatasi


perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat padaMemberikan kesempatan untuk
kelompok penyokong, seperti yayasanmendapatkan informasi, dukungan ide-
epilepsi dan sebagainya. ide untuk mengatasi masalah dari orang
lain yang telah mempunyai pengalaman
yang sama.
Edukasi:

Anjurkan keluarga untuk memberiKeluarga sebagai orang terdekat pasien,


motivasi kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar dalam
keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga danMenghilangkan stigma buruk terhadap


teman dekat pasien bahwa penyakitpenderita epilepsi (bahwa penyakit
epilepsi tidak menular epilepsi dapat menular).

DAFTAR PUSTAKA
Dongoes M. E. et all, 1989, Nursing Care Plans, Guidelines for Planning Patient
Care, Second Ed, F. A. Davis, Philadelpia.

Harsono (ED), 1996, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.

Hudac. M. C. R and Gallo B. M, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik


(Terjemahan), Edisi VI, EGC, Jakarta Indonesia.

Kariasa Made, 1997, Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi, FIK-UI, Jakarta.

Luckman and Sorensen S, 1993, Medikal Surgical Nursing Psychology Approach,


Fourt Ed, Philadelpia London.

Price S. A and Wilson L. M, 1982, Pathofisiology, Clinical Concepts of Desease


Process, Second Ed, St Louis, New York.

Anda mungkin juga menyukai