Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN DENGAN

DIAGNOSIS STATUS EPILEPTIKUS DI IGD RSUD PRABUMULIH

Disusun Oleh:
Mahasiswa Prodi D-IV Keperawatan Palembang
Periode 11 Februari – 23 Februari 2019

Alpita Dina PO.71.20.4.15.002


Eky Okta Vizar PO.71.20.4.15.006
Ikhlima Elfiani PO.71.20.4.15.008
Luh Icha PO.71.20.4.15.010
Meivi Pransisca A PO.71.20.4.15.012
Pandu Rifqi Amalia PO.71.20.4.15.014
Rizki Witia Ningsih PO.71.20.4.15.016
Sri Astuti PO.71.20.4.15.018
Tasya Syafhira A PO.71.20.4.15.020
Vini Silvia Indah PO.71.20.4.15.022
Andini Dwifenisah PO.71.20.4.15.025

POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Judul :

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN DENGAN DIAGNOSIS


STATUS EPILEPTIKUS DI IGD RSUD PRABUMULIH

Oleh:
Alpita Dina PO.71.20.4.15.002
Eky Okta Vizar PO.71.20.4.15.006
Ikhlima Elfiani PO.71.20.4.15.008
Luh Icha PO.71.20.4.15.010
Meivi Pransisca A PO.71.20.4.15.012
Pandu Rifqi Amalia PO.71.20.4.15.014
Rizki Witia Ningsih PO.71.20.4.15.016
Sri Astuti PO.71.20.4.15.018
Tasya Syafhira A PO.71.20.4.15.020
Vini Silvia Indah PO.71.20.4.15.022
Andini Dwifenisah PO.71.20.4.15.025

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian stase
kegawatdaruratan di Bagian IGD RSUD Prabumulih Periode 11 Februari s/d 23 Februari
2019.
Prabumulih, Februari 2019
Mengetahui,
Kepala Ruangan IGD

Indra Gunawan, S.ST


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan


Kegawatdaruratan dengan Diagnosis Status Epileptikus” untuk memenuhi tugas ilmiah

yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran pada stase kegawatdaruratan, khususnya di

IGD RSUD Prabumulih.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Indra Gunawan,

S.ST selaku pembimbing yang telah membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga

makalah ini dapat selesai.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat

kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun

sangat penulis harapkan. Demikian lah makalah ini, semoga bermanfaat.

Prabumulih, Februari 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam

keadaan kritis dan apabila tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan

menyebabkan kematian. Salah satu kegawatdaruratan di bidang neurologi adalah

status epileptikus. Status epileptikus merupakan kegawatdaruratan medis berupa

kondisi kejang berkepanjangan yang memerlukan diagnosis dan tatalaksanaan segera

(Susan., dkk, 2016).

International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2006 menyatakan

bahwa status epileptikus merupakan kejang yang terjadi secara terus-menerus selama

lebih dari 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa ada pemulihan

kesadaran di antaranya (PERDOSSI, 2014 & Rilianto, 2015).

Insiden terjadinya status epileptikus bervariasi di setiap wilayah dan rentang

usia. Angka insiden status epileptikus berkisar antara 9,9 hingga 15,8 per 100.000

penduduk di Eropa dan kisaran 18,3 hingga 41 per 100.000 penduduk di Amerika

Serikat (Lawson., dkk, 2016). Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius

karena terjadi terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang

sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas

sehingga apabila status epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar

kemungkinan dapat terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat

menyebabkan kematian.

Aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit dan usia lanjut

merupakan faktor yang berperan memperburuk diagnosis. Kisaran 60-80% penderita

yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau
berlanjut menjadi penderita Status Epileptikus. Angka kematian untuk status

epileptikus tetap tinggi, yaitu kisaran 22-25%, walaupun telah dilakukan pengobatan

secara agresif. Kematian pada status epileptikus disebabkan oleh hiperpireksia atau

obstruksi ventilasi, aspirasi muntahan, dan kegagalan mekanisme kompensasi dan

regulatorik. Oleh karena itu, perlu diketahui gejala dan cara mendiagnosis status

epileptikus sehingga dapat ditangulangi secepat mungkin dengan intervensi yang

sesuai.

Dari penjelasan di atas dan sehubungan dengan penulis melaksanakan praktik

klinik stase kegawatdaruratan di RSUD Prabumulih, Kota Prabumulih Sumatera

Selatan Tahun 2019, maka penulis mengangkat tertarik mengangkat tema mengenai

“Asuhan Keperawatan Gawatdaruratan pada Pasien dengan Diagnosis Status

Epileptikus di ruang IGD RSUD Prabumulih, Kota Prabumulih Sumatera Selatan

Tahun 2019.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diangkat di ruang di

ruang IGD RSUD Prabumulih, yaitu “Bagaimana Asuhan Keperawatan

kegawatdaruratan pada Pasien dengan Diagnosis Status Epileptikus ?”.

1.3. Tujuan Penulisan

A. Tujuan Umum

Setelah menyelesaikan laporan ini diharapkan mahasiswa/i dapat

mengetahui tentang penyakit Status Epileptikus dan mengetahui asuhan

keperawatan kegawatdaruratan untuk pasien dengan diagnosis Status Epileptikus.

B. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui konsep teori mengenai diagnosis Status Epileptikus.


2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan gawat darurat pasien dengan

diagnosis Status Epileptikus.

3. Untuk mengetahui bagaimana asuhan yang diberikan pada pasien dengan

diagnosis Status Epileptikus di ruang IGD RSUD Prabumulih, Kota

Prabumulih Sumatera Selatan Tahun 2019.

1.4. Manfaat Penulisan

A. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan pengetahuan dibidang kesehatan terutama

mengenai Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Pasien dengan Diagnosis

Status Epileptikus di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prabumulih, Kota Prabumulih

Tahun 2019. Makalah ini juga diharapkan menjadi bagian dari landasan dalam

pengembangan evidence based di bidang kesehatan terutama bidang ilmu

keperawatan.

B. Manfaat Praktis

1. Bagi Poltekkes Kemenkes Palembang Prodi D-IV Keperawatan

Menjadi bahan masukan untuk mengembangkan keilmuan dan

keterampilan dalam bidang keperawatan, dan untuk meningkatkan mutu

pendidikan sehingga dihasilkan sumber daya manusia yang bermutu khususnya

di Poltekkes Kemenkes Palembang Prodi D-IV Keperawatan.

2. Bagi RSUD Prabumulih

Menjadi bahan informasi bagi RSUD Prabumulih, Kota Prabumulih

agar dapat lebih meningkatkan mutu asuhan dan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat khususnya di instalasi gawatdarurat.


3. Bagi Mahasiswa/i

Memberikan pengalaman baru bagi mahasiswa/i dalam melaksanakan

praktik klinik di IGD RSUD Prabumulih dan dapat mengetahui Asuhan

Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien dengan Diagnosis Status Epileptikus

di RSUD Prabumulih Tahun 2019 serta dapat mengaplikasikannya sebagai

media pengetahuan mahasiswa/i sendiri.

4. Bagi Masyarakat

Makalah ini dapat memberikan manfaat pengetahuan mengenai

diagnosis Status Epileptikus dan mampu memberikan pertolongan pertama

penanganan kejang di rumah.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KONSEP STATUS EPILEPTIKUS

2.1.1. DEFINISI

International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 2006

menyatakan bahwa status epileptikus merupakan kejang yang terjadi secara

terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih

kejang terpisah tanpa ada pemulihan kesadaran di antaranya (PERDOSSI,

2014 & Rilianto, 2015). Trinka., dkk (2015) mengatakan bahwa definisi

status epileptikus (SE) mengalami perubahan dimana sudah mencakup seluruh

tipe dari status epileptikus yaitu suatu kondisi yang diakibatkan dari kegagalan

mekanisme yang bertanggung jawab dalam terminasi kejang atau dari

mekanisme inisiase, yang memicu terjadinya kejang yang tidak normal dan

berkepanjangan (setelah titik waktu t1). Status epileptikus adalah kondisi yang

dapat memiliki konsekuensi jangka panjang (setelah titik waktu t2) yang

meliputi kerusakan neuron, cedera neuron dan perubahan jaringan neuron,

tergantung pada tipe dan lama kejang. Titik waktu t 1 mengindikasikan kapan

tatalaksana kejang harus diberikan dan titik waktu t2 mengindikasikan kapan

konsekuensi jangka panjang dari kejang dapat terjadi (Trinika., dkk, 2015).

2.1.2. ETIOLOGI

Etiologi status epileptikus sangat penting sebagai prediktor mortalitas

dan morbiditas pasien dengan SE. Status epileptikus sering merupakan

manifestasi akut dari penyakit infeksi system saraf pusat, stroke akut,

ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam


darah yang rendah (Rilianto, 2015). Tidak hanya pada penderita epilepsi, status

epileptikus juga dapat terjadi pada penderita tanpa riwayat epilepsi

sebelumnya. Etiologi dari timbulnya status epileptikus menurut Trinka., dkk

(2015) adalah sebagai berikut:

1. Simptomatis (penyebab diketahui):

a. Akut (misalnya, stroke, intoksikasi, malaria, ensefalitis, dan

sebagainya)

b. Remote (misalnya, pascatrauma, pascaensefalitis, pascastroke, dan

sebagainya)

c. Progresif (contohnya, tumor otak, penyakit Lafora, demensia)

2. Kriptogenik (penyebab tidak diketahui)

Sementara itu, etiologi status epileptikus juga dapat bervariasi

tergantung usia. Lebih dari separuh pasien SE pada anak-anak terjadi karena

demam atau infeksi sebelumnya, sedangkan pada dewasa, sebagian besar status

epileptikus disebabkan oleh lesi fokal dari otak yang bersifat akut terutama

disebabkan oleh stroke (Trinka., dkk, 2015).

2.1.3. KLASIFIKASI

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium

untuk mencegah keterlambatan penanganan.Secara umum, dikenal dua tipe

status epileptikus, yaitu SE konvulsif (terdapat bangkitan motorik) dan SE

non-konvulsif (tidak terdapat bangkitan motorik). PERDOSSI (2014)

mengklasifikasikan status epileptikus menjadi beberapa tipe, antara lain:

1. Klasifikasi status epileptikus berdasarkan klinis:

a. SE fokal
b. SE general

2. Klasifikasi status epileptikus berdasarkan durasi:

a. SE dini (5-30 menit)

b. SE menetap (>30 menit)

c. SE refrakter (bangkitan masih tetap ada setelah mendapat dua atau tiga

jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat)

3. Klasifikasi status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK):

a. SE-NK umum

b. SE-NK fokal

2.1.4. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis status epileptikus menurut PERDOSSI (2014) dibagi

menjadi 2, yaitu :

1. Status Epileptikus Non Konvulsif

Status epileptikus non-konvulsif adalah sejumlah kondisi saat

aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan

memberikan gejala klinis non-motorik termasuk perubahan perilaku atau

“awareness”. (PERDOSSI, 2014).

Pada pasien dengan status epileptikus non-konvulsif (NCSE) dapat

menunjukkan beragam manifestasi klinis termasuk koma, konfusi,

somnolen, perubahan afek, keadaan fugue, afasia, gejala-gejala

otonom/vegetatif abnormal, delusi, halusinasi, dan paranoia. Status

epileptikus non-konvulsif dapat dibagi menjadi generalisata (absen), focal

(partial kompleks), atau lainnya. Status epileptikus non konvulsif harus

dipertimbangkan dalam diagnosis banding koma, seperti dalam sebuah


studi baru-baru ini di Medical College of Virginia, di mana 8% pasien

koma berada pada kondisi NCSE (Bassin, 2002).

2. Status Epileptikus Konvulsif

Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih

dari 5 menit atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya

kesadaran diantara perubahan sistemik selama SE tonik-klonik (Rilianto,

2015).

2.1.5. PATOFISIOLOGI

Aktivitas neuronal normal terjadi melalui keseimbangan mekanisme

tingkat seluler yang kompleks. Potensial membran istirahat selalu

dipertahankan pada dinding neuron dengan pompa sodium-potasium. Pada

mekanisme ini, Na+ dan Cl- dipompa dari konsentrasi tinggi ke ruangan

interstitial, sedangkan K+ dipompa keluar ke konsentrasi yang lebih tinggi.

Ketika stimulus diberikan, maka neuron akan melepaskan aksi potensial dan

sel mengalami depolarisasi. Terdapat dua neurotransmiter, yaitu

neurotransmiter eksitatori dan neurotransmiter inhibisi. Fungsi otak normal

adalah hasil dari terjadinya keseimbangan antara neurotransmiter eksitatori

dan inhibitor. Glutamat adalah neurotransmiter eksitatori yang paling umum

danɤ-aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmiter inhibitor yang paling

umum (Lawson., dkk, 2016).


Selama kejang berlangsung, baik konvulsif maupun non-konvulsif,

terjadi peningkatan kebutuhan metabolik yang membutuhkan peningkatan

aliran darah otak. Beban kerja yang meningkat ini terjadi selama detik-detik

awal kejang. Ketika peningkatan kebutuhan metabolik selular tidak tercukupi

dapat mengakibatkan kerusakan neuron bahkan kematian sel. Selain itu,

depolarisasi yang masif dari potensial aksi neuron selama kejang memicu

pelepasan glutamat yang berlebihan, yang selanjutnya mengaktivasi reseptor

post sinaps N-methyl-D-aspartate yang memicu masuknya kalsium ke dalam

sel. Oleh sebab itu, selama kejadian status epileptikus berlangsung, terjadi

kegagalan keseimbangan seluler dan peningkatan konsentrasi kalsium

intraseluler yang masuk ke dalam mitokondria. Hal ini kemudian

menyebabkan hilangnya membran potensial dan kegagalan respirasi

mitokondria yang berakhir dengan terjadinya nekrosis sel. Perubahan

patofisiologi dan terjadinya cedera neuron bahkan kematian sel saraf akibat

status epileptikus menuntut diagnosis yang cepat serta tatalaksana yang

adekuat (Lawson., dkk, 2016).


2.1.6. PATHWAY

2.1.7.

Demam, Infeksi Serebral, Trauma Kepala, Gangguan metabolik (hipoglikemi, hiperglikemi, hiponatremi, dan
Trauma infeksi selaput otak berupa lesi
hipokalsemia), Ketidakpatuhan minum Obat Anti Epilepsi, Intoksikasi obat-obatan / alkhohol, dan Idiopatik.

Produksi GABA menurun

Kekurangan neuron tidak terkendali

Ketidakseimbangan ion

Disfungsi Na dan Ca berlebih

Depolarisasi membran

Muatan listrik lepas

KEJANG

STATUS EPILEPTIKUS

Mempengaruhi Kerusakan neurologi Kerusakan Spasme otot Kehilangan


Medulla Lobus temporal kontrol bladder
oblongata
Suplai O2 ke otak menurun Rahang
Penurunan fungsi mengatup kuat Mengompol
Reflek kontrol sensorik,
respirasi Hipoksia otak motorik / otonom
terganggu Inkontinensia
Lidah tergigit / jatuh
Urine Refleks
Kontraksi otot
Resiko Ketidakefektifan
Gangguan berulang / tunggal
Perfusi Jaringan Otak
Ventilasi Intake inadekuat

Resiko Tinggi
Ketidakefektifan Kejang Ketidakseimbangan
Pola Nafas Berulang Nutrisi : Kurang dari
Kebutuhan Tubuh

Hipersalivasi Terjadi secara mendadak


dan singkat, tanpa
kehilangan kesadaran
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan
Nafas Sentakan terjadi
pada tubuh atau
ekstremitas
(Hassan & Alatas, 2013)
Resiko Cidera
2.1.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada

diagnosis Status Epileptikus, yaitu :

1. Elektroensefalografi (EEG).

Pada status epileptikus konvulsif general, diagnosis

dapat langsung ditegakkan dari manifestasi klinis, namun pada

status epileptikus non-konvulsif, gejala klinis sering tidak

jelas, sehingga diperlukan pemeriksaan elektroensefalografi

(EEG) untuk membantu diagnosis. Elektroensefalografi

normal menunjukkan amplitudo dan frekuensi ireguler yang

lebih rendah (Gambar 1). Pada pasien dengan status

epileptikus non-konvulsif menunjukkan gelombang amplitudo

yang lebih tinggi dengan pola yang lebih teratur dengan

beberapa kemiripan seperti tampilan ventrikel takikardia pada

elektrokardiogram (Gambar 2). Selama pemberian obat

anestesi seperti fenobarbital atau propofol, dapat ditemukan

pola burst-pressressed (Gambar 3).

Gambar 1. EEG Normal


Gambar 2. EEG SE Non-Konvulsif

Gambar 3. EEG Burst Suppression selama pemberian Anestesi

Pada pasien dengan status epiteptikus yang juga

direncanakan untuk evaluasi radiologis, harus dilakukan

pertimbangan khusus untuk pemeriksaan EEG dengan

penentuan urutan tes diagnostik berdasarkan kondisi klinis

pasien dan dugaan penyebab kejang (Lawson, 2016).

2. Pemeriksaan Laboratorium

Selain pemantauan elektrografi, pemeriksaan

laboratorium sampel darah harus segera dilakukan. Pada

semua pasien dalam status epileptikus seharusnya dilakukan


pemeriksaan kadar glukosa darah, darah lengkap, dan faal

metabolik termasuk pemeriksaan kadar kalsium dan

magnesium. Bergantung pada riwayat pasien dan temuan

klinis, tes laboratorium tambahan seperti faal toksikologi, tes

fungsi hati, pengukuran kadar troponin, pengambilan darah

untuk analisis gas darah arteri, dan pengambilan lumbal

pungsi untuk pemeriksaan kadar protein dan glukosa, sel dan

kultur cairan serebrospinal (CSS) harus dipertimbangkan

(Lawson, 2016).

2.1.9. PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan aktivitas

kejang baik klinis maupun elektroensefalografik (EEG).

Penatalaksanaan SE meliputi penggunaan obat intravena yang

paten, sehingga dapat menimbulkan efek samping yang serius.

Oleh karena itu, langkah awal adalah memastikan bahwa pasien

sedang mengalami SE. Kejang tunggal yang pulih tidak

membutuhkan tatalaksana, namun jika diagnosis SE ditegakkan

harus ditatalaksana secepat mungkin.

Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat penting.

Jika jalan napas telah bebas, intubasi tidak harus segera dilakukan,

tekanan darah dan nadi harus diobservasi. Pemeriksaan neurologis

dilakukan untuk mencari tanda lesi fokal intracranial.


Langkah selanjutnya mendapatkan akses intravena,

pengambilan sampel darah untuk penilaian serum elektrolit,

ureum, glukosa, kadar obat anti epilepsi dalam darah, skrining

toksisitas obat, dan hitung darah lengkap. Infus cairan isotonik

harus sudah diberikan. Hipoglikemia merupakan pencetus status

epileptikus yang reversibel, glukosa 50ml 50% dapat diberikan

jika diduga suatu hipoglikemia. Tiamin dapat diberikan untuk

mencegah ensefalopati Wernicke.

Setelah pemberian oksigen, kadar gas darah seharusnya

diukur untuk memastikan oksigenasi sudah adekuat. Asidosis,

hiperpireksia, dan hipertensi tidak perlu ditangani, karena

merupakan keadaan umum pada tahap awal SE dan akan membaik

setelah penatalaksanaan umum dilakukan.

Gambar 4. Alur Penanganan SE Konvulsif


2.2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.2.1. PENGKAJIAN

1. Pengkajian Kondisi (Keadaan Umum)

Kondisi umum pasien nampak  sakit berat

2. Pengkajian Kesadaran

Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental

pasien dengan berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya

nama pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi penurunan

kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.

3. Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :

a. Alert (A)  : Pasien tidak berespon terhadap lingkungan

sekelilingnya.

b. Respon velbal (V)    :  Pasien tidak berespon terhadap

pertanyaan perawat.

c. Respon nyeri (P)      : Pasien tidak berespon terhadap

respon nyeri.

d. Tidak berespon (U) : Pasien tidak berespon terhadap

stimulus verbal dan nyeri ketika dicubit dan ditepuk

wajahnya.

4. Pengkajian Primer

Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk

mengidentifikasi dengan segera masalah aktual dari kondisi life

treatening (mengancam kehidupan). Pengkajian berpedoman


pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal

memugkinkan.

Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :

1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal.

Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan

gangguan servikal :

a. Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas

b. Distres pernafasan

c. Adanya kemungkinan fraktur cervical

Pada fase iktal, biasanya ditemukan pasien mengatupkan

giginya sehingga menghalangi jalan napas, pasien

menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal,

biasanya ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat

gigitan tersebut

2) Breathing

Pada fase iktal, pernapasan pasien menurun/cepat,

peningkatan sekresi mukus, dan kulit tampak pucat bahkan

sianosis. Pada fase post iktal, pasien mengalami apneu

3) Circulation

Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, pasien

biasanya dalam keadaan tidak sadar.


4) Disability

Pasien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan

atau karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya

pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat

kejang

5) Exposure

Pakaian pasien di buka untuk melakukan pemeriksaan

thoraks, apakah ada cedera tambahan akibat kejang

5. Pengkajian sekunder

1) Identitas pasien meliputi :

Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat,

tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal

pengkajian dan diagnosa medis.

2) Keluhan utama:

Pasien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan

kesadaran

3) Riwayat penyakit:

Pasien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-

spiritual. Kapan pasien mulai serangan, pada usia berapa.

Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu

tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah

menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran,

kejang, cedera otak operasi otak. Apakah pasien terbiasa


menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang, atau

mengkonsumsi alcohol. Pasien mengalami gangguan

interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa

rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan

dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan

orang lain.

4) Riwayat kesehatan

5) Riwayat keluarga dengan kejang

6) Riwayat kejang demam

7) Tumor intrakranial

8) Trauma kepala terbuka, stroke

9) Riwayat kejang :

a. Bagaimana frekwensi kejang.

b. Gambaran kejang seperti apa

c. Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.

d. Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan

e. Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.

f. Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke

lantai.

10) Pemeriksaan fisik

a. Kepala dan leher :

Sakit kepala, leher terasa kaku

b. Thoraks
Pada pasien dengan sesak, biasanya menggunakan otot

bantu napas

c. Ekstermitas

Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam

beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan

involunter/kontraksi otot

d. Eliminasi

Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus

sfingter. Pada post iktal terjadi inkontinensia

(urine/fekal) akibat otot relaksasi

e. Sistem pencernaan

Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang

berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan

jaringan lunak

2.2.2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN

Diagnosis keperawatan kegawatdaruratan yang mungkin muncul

pada pasien dengan status epileptikus adalah:

1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif b.d Hipersekresi Mukus

2. Risiko Cedera ditandai dengan Serangan Kejang


2.2.3. RENCANA KEPERAWATAN

N STANDAR DIAGNOSIS STANDAR LUARAN STANDAR INTERVENSI


O KEPERAWATAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN
INDONESIA INDONESIA INDONESIA
1. Bersihan Jalan Napas Tidak SLKI : SIKI :
efektif b.d sekresi yang Bersihan Jalan Napas Manajemen Jalan Napas
tertahan (D.0001)
Tujuan : Tindakan Observasi :
Definisi : Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring pola napas
Ketidakmampuan keperawatan selama 1 x 6 jam, (frekuensi, kedalaman,
membersihkan secret atau ekspetasi bersihan jalan napas usaha napas)
obstruksi jalan napas untuk meningkat. 2. Monitoring bunyi napas
mempertahankan jalan napas tambahan
tetap paten. Kriteria Hasil : 3. Monitoring sputum
1. Dapat melakukan batuk (volume, warna)
Penyebab : efektif
Fisiologi 2. Produksi sputum Tindakan Terapeutik :
1. Spasme jalan napas menurun 1. Pertahankan kepatenan
2. Hipersekresi jalan napas 3. Suara Mengi, wheezing, jalan napas dengan head-
3. Disfungsi dan ronkhi tidak tilt dan chin-lift (jaw-
neuromuskuler terdengar thrust jika dicuragi trauma
4. Benda asing dalam jalan 4. Dyspnea (sesak) servikal)
napas menurun 2. Posisikan semi-fowler atau
5. Adanya jalan napas 5. Tidak terjadi sianosis fowler (jika tidak
buatan 6. Tidak gelisah memungkinkan, baringkan
6. Sekresi yang tertahan 7. Frekuensi napas dalam pasien ditempat yang datar
7. Hyperplasia dinding batas normal dan miringkan kepala
jalan napas 8. Pola napas membaik untuk menghindari
8. Proses infeksi terjadinya aspirasi)
9. Respon alergi 3. Berikan minuman hangat
10. Efek agen farmakologis 4. Lakukan fisioterapi dada
(mis. Anastesi) (jika perlu)
5. Lakukan penghisapan
Situasional lender <15 detik
1. Merokok aktif 6. Lakukan hiperoksigenasi
2. Merokok pasif sebelum penghisapan
3. Terpajan polutan lendir melalui endotrakeal
7. Berikan oksigen, jika perlu
Manifestasi Klinis :
Gejala dan Tanda Mayor: Tindakan Edukasi :
1. Subjektif 1. Anjurkan asupan cairan
(Tidak Tersedia) 2000 ml/hari
2. Objektif 2. Ajarkan teknik batuk
a. Batuk tidak efektif efektif
atau tidak mampu
batuk. Tindakan Kolaborasi :
b. Sputum 1. Kolaborasi pemberian
berlebih/obstruksi bronkodilator,
di jalan ekspektoran, mukolitik
napas/meconium di (jika perlu)
jalan napas (pada
neonatus).
c. Mengi, wheezing
dan/atau ronkhi
kering.

Gejala dan Tanda Minor


1. Subjektif
a. Dyspnea
b. Sulit bicara
c. Ortpnea
2. Objektif
a. Gelisah
b. Sianosis
c. Bunyi napas
menurun
d. Frekuensi napas
berubah
e. Pola napas berubah

Kondisi Klinis Terkait :


1. Gullian Barre
Syndrome
2. Sclerosis Multipel
3. Myasthenia Gravis
4. Prosedur Diagnostik
5. Depresi Sistem Saraf
Pusat
6. Cedera Kepala
7. Stroke
8. Kuadriplegia
9. Sindrom Aspirasi
Mekonium
10. Infeksi Saluran Napas
11. Asma

2. Risiko Cedera di tandai dengan SLKI : SIKI :


Kejang (D.0136) Tingkat Cedera Manajemen Kejang

Definisi : Tujuan : Tindakan Observasi :


Berisiko mengalami bahaya Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring terjadinya
atau kerusakan fisik yang keperawatan 1 x 6 jam, kejang berulang
menyebabkan seseorang tidak ekspetasi tingkat cedera 2. Monitoring karakteristik
lagi sepenuhnya sehat atau menurun. kejang (mis. Aktivitas
dalam kondisi baik. motoric, dan progresi
Kriteria Hasil : kejang)
Faktor Risiko : 1. Fungsi sensori membaik 3. Monitoring status
Eksternal 2. Keamanan lingkungan neurologis
1. Terpapar pathogen terjaga 4. Monitoring tanda-tanda
2. Terpapar zat kimia 3. Control kejang membaik vital
toksik 4. Orientasi kognitif
3. Terpapar agen membaik Tindakan Terapeutik :
nosocomial 5. Tingkat jatuh menurun 1. Baringkan pasien agar
4. Ketidakamanan tidak terjatuh
transportasi 2. Berikan alas empuk
Internal dibawah kepala
1. Ketidaknormalan profil 3. Pertahankan kepatenan
darah jalan napas
2. Perubahan orientasi 4. Longgarkan pakaian,
afektif terutama dibagian leher
3. Perubahan sensasi 5. Damping selama proses
4. Disfungsi autoimun kejang
5. Disfungsi biokimia 6. Jauhkan benda-benda
6. Hipoksia jaringan berbahaya tertutama benda
7. Kegagalan mekanisme tajam
pertahanan tubuh 7. Catat durasi kejang
8. Malnutrisi 8. Re-orientasikan setelah
9. Perubahan fungsi periode kejang
psikomotor 9. Dokumentasikan periode
10. Perubahan fungsi terjadinya kejang
kognitif 10. Pasang akses IV
11. Berikan oksigenasi
Kondisi Klinis Terkait
1. Kejang Tindakan Edukasi :
2. Sinkop 1. Anjurkan keluarga
3. Vertigo menghindari memasukkan
4. Gangguan penglihatan apapun kedalam mulut
5. Gangguan pendengaran pasien saat periode kejang.
6. Penyakit Parkinson 2. Anjurkan keluarga tidak
7. Hipotensi menggunakan kekerasan
8. Kelainan nervus untuk menahan gerakan
vestibularis pasien
9. Reterdasi mental
Tindakan Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
antikonvulsan

Anda mungkin juga menyukai