Anda di halaman 1dari 224

LAPORAN KLINIS

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR

Malang, 7 Oktober 2019 - 29 November 2019

DISUSUN OLEH :

Ciptania Puspitasari 114218516


Ni Wayan Alit Intan Sari 114218519
Domang Augustyani Jella 114218583
Qurrotul Uyuun 114218574
Asti Gusni D 114218504
Ayu Amalia Putri 114218545
Amalia Rakhmi Nur Habibah 114218580
Bustanul Arifin 114218550
Ajeng Enggar Setiasi P 114218543
Nu Lih Mitha Rini Candra 114218536
Tiara Regina Beatriks Sigar 114218517
Ismawati 114218523
Khalimatus Sakdiyah 114218535
Awanda Dahniar 114218522
Ida Bagus Trisnayana 114218578
Peronica Chrisna Marisa 114218537

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SURABAYA
2019
LAPORAN KLINIS

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

ANGKATAN LVII

UNIVERSITAS SURABAYA

DI INSTALASI FARMASI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 2, Klojen, Kota Malang

(07 OKTOBER – 29 NOVEMBER 2019)

Analisis Kefarmasian
Pada pasien (Systemic Lupus Erythematosus) Pasien IRNA 1 Penyakit Dalam
Ruang 23i

Oleh :

Ciptania Puspitasari 114218516

Ni Wayan Alit Intan Sari 114218519

Domang Augustyani Jella 114218583

Qurrotul Uyuun 114218574

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

2019

i
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

ii
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan .......................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................ ii

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

1.1 SLE (Systemic Lupus Erythematosus) ....................................................................... 1


1.1.1 Definisi SLE .....................................................................................................
1.1.2 Faktor Resiko SLE ...........................................................................................
1.1.3 Gejala SLE .......................................................................................................
1.1.4 Patofisiologi SLE .............................................................................................
1.1.5 Menisfestasi Klinis ...........................................................................................
1.1.6 Penatalaksanaan SLE .......................................................................................
1.2 Lupus Nefritis ............................................................................................................ 12
1.2.1 Definisi Lupus Nefritis .....................................................................................
1.2.2 Etiologi dan Patogenesis Lupus Nefritis ..........................................................
1.2.3 Tanda dan Gejala ..............................................................................................
1.2.4 Menifestasi Klinik ............................................................................................
1.2.5 Tata Laksana ....................................................................................................
1.3 Anemia Normositik Normokrom .............................................................................. 17

BAB II PROFIL PASIEN

2.1 Profil Pasien................................................................................................................ 21


2.2 Tanda Tanda Vital Pasien .......................................................................................... 21
2.3 Tanda Tanda Klinis ................................................................................................... 21
2.4 Data Laboratorium .................................................................................................... 22
2.5 Profil Terapi ............................................................................................................... 27
2.6 Analisis Kefarmasian ................................................................................................. 27
2.6.1 Profil Medik SLE .............................................................................................

iii
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

2.6.2 Problem Medik Lupus Nefritis ........................................................................


2.6.3 Problem medic anemia normositik nomokrom ................................................

BAB III PEMBAHASAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 36

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................... 38

iv
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 SLE (Systemic Lupus Erythematosus)


1.1.1 Definisi SLE
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus merupakan penyakit inflamasi
autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki variasi gambaran klinis
yang luas, dan tampilan perjalanan penyakit yang beragam, faktor genetik,
imunologik dan hormonal, serta lingkungan diduga juga berperan dalam
perjalanan penyakit. Penyakit autoimun adalah istilah yang digunakan saat sistem
imunitas atau kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri. Sistem
kekebalan tubuh penderita Lupus akan menyerang sel, jaringan, dan organ yang
sehat. Sistem kekebalan tubuh pada pasien penyakit Lupus akan mengalami
kehilangan kemampuan untuk melihat perbedaan antara substansi asing (non-self)
dengan sel dan jaringan tubuh sendiri (self) (Bertsias et al, 2012).

1.1.2 Faktor Risiko SLE


Faktor risiko penyakit SLE adalah :
a. Faktor genetik. Diketahui bahwa sekitar 75% pasien SLE memiliki keluarga
dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosa SLE. Oleh
karena itu, faktor genetik merupakan salah satu faktor risiko SLE. Sejauh ini
diketahui terdapat sekitar 30 variasi gen yang dikaitkan dengan kejadian SLE
(Kemenkes, 2017).
b. Faktor lingkungan, yaitu infeksi, stress, makanan, antibiotik (khususnya
kelompok sulfa dan penisillin), cahaya ultraviolet (matahari) dan penggunaan
obat-obat tertentu, merokok, paparan kristal silika, merupakan faktor pemicu
timbulnya SLE (Kemenkes, 2017).
c. Faktor hormonal. Perempuan lebih sering terkena SLE dibandingkan dengan
laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit SLE sebelum periode
menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon,

1
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

khususnya estrogen menjadi pencetus penyakit SLE. Namun, hingga saat ini
belum diketahui secara pasti peran hormon yang menjadi penyebab besarnya
prevalensi SLE pada perempuan pada periode tertentu (Kemenkes, 2017).
1.1.3 Gejala SLE
Gejalanya awal kerap mirip dengan penyakit lain sehingga sulit untuk
didiagnosis. Gejala Lupus sangat beragam. Ada yang ringan dan ada yang bahkan
mengancam jiwa. Gejala Lupus yang paling sering muncul dari semua pasien
tanpa memandang jenis kelamin adalah:
a. Keletihan, sakit kepala, nyeri atau bengkak sendi, demam
b. Anemia (baik karena jumlah sel darah merah/haemoglobin kurang, atau
karena volume darahnya kurang)
c. Nyeri di dada ketika menarik nafas panjang
d. Ruam kemerahan pada pipi hingga hidung, polanya seperti kupu-kupu
e. Sensitif terhadap cahaya atau cahaya matahari
f. Rambut rontok sampai kebotakan (alopecia)
g. Pendarahan yang tidak biasa
h. Jari-jari berubah pucat atau kebiruan ketika dingin (fenomena Raynaud)
i. Sariawan di mulut atau koreng di hidung
Seseorang dikatakan menderita SLE, jika memenuhi 4 dari 11 kriteria SLE
menurut berikut, (Kasjmir, 2011):
1. Artritis/ nyeri sendi
2. ANA diatas titer normal
3. Bercak Malar/ Butterfly Rash
4. Sensitif terhadap sinar matahari (timbul bercak setelah terkena sinar UV A dan
B)
5. Bercak Diskoid
6. Terjadi satu kelainan darah : Anemia hemolitik; Leukosit < 4.000/ mm3;
Limfosit < 1.500/ mm3; Trombosit < 100.000/ mm3
7. Kelainan ginjal proteinuria > 0,5 g per 24 jam
8. Terjadinya pleuritis ataupun perikarditis
9. Terjadi kelainan neurologi baik konvulsi ataupun psikologis
10. Terjadi Ulser di rongga mulut

2
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

11. Adanya salah satu kelainan imunologi: Sel Lupus Erythematosus (LE) positif;
Anti ds- Deoxyribonucleat Acid (DNA) diatas titer normal; Anti Sm (Smith)
diatas titer normal; Tes serologi sifilis positif palsu

1.1.4 Patofisiologi SLE


Faktor lingkungan, seperti organisme infeksius, obat-obatan, dan bahan
kimia, disajikan sebagai agen pencetus dalam genetik dan hormonal individu yang
rentan menstimulasi keadaan dari penataan ulang imun. Respon imun yang
abnormal menyebabkan fungsi sel T-helper tipe 2 limfosit dan limfosit B
hiperaktif. Penekan fungsi T-limfosit, produksi sitokin, dan mekanisme
pengaturan kekebalan tubuh lainnya juga tidak normal dan gagal untuk
menurunkan pembentukan antibodi dari B limfosit hiperaktif. Autoantibodi
terbentuk dari disregulasi imun ini menjadi patogen, bentuk kompleks imun, dan
mengaktifkan komplemen yang mengarah ke kerusakan jaringan host. (APC, sel
antigen-presenting; TH2, T-helper tipe 2). (Dipiro et al.,2008).

Gambar 1. Patofisiologi SLE (Dipiro et al.,2008)

3
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan


aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun.
Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik
yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus,
fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA.
Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi
peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T
akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta
APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Mok
dan Lau, 2003).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel
Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel
tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE
ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang
berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity. Sel T
pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu
meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat
berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B
terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.
Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada
sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun
(Silvia et al, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90)
pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel
limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2
subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai
dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan

4
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan


signal bagi CD8+. Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya
subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif.
Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-
CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok dan Lau, 2003).
Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu
jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme
yaitu:
1. Kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan
dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.
2. Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak
di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan.
3. Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi
komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke
dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi
sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan.
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks
imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take
kompleks imun pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan
berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3
karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga
berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya
gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem
imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ
sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator
inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya
(Isbagio, 2009)

5
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat


menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin
yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis
sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui
kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine
(PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada
di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP,
dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui
reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),
reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor
FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis
yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis
yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (B-Cell Lymphoma 2) (Mok dan
Lau, 2003).

1.1.5 Manisfestasi Klinis


Manifestasi klinis dari SLE sangat bervariasi, penyakit ini bisa timbul
mendadak disertai tanda – tandanya terkena berbagai organ dalam tubuh, seperti
kulit, persendian, ginjal, jantung, paru – paru, dan sistem saraf. Pada
penatalaksanaan terapi SLE sebenarnya tidak ada pengobatan yang permanen
untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi gejala dan melindungi
organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh
(Hahn Bevren et al, 2012).

6
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Gambar 2. Manifestasi Klinis SLE (Sumber: https://www.peacehealth.org )

Gangguan pada regulasi system imun yang terjadi terus menerus


menyebabkan penumpukan kompleks imun (CIC) yang bersifat pathogen pada
jaringan dan organ. Pada sendi, CIC dapat menyebabkan degradasi jaringan yang
memicu terjadinya atrahlgia atau nyeri sendi pada sendi besar. Nyeri pada
penderita SLE juga dapat disebabkan karena lesi yang terjadi di jaringan otak
sehingga impuls saraf menjadi terganggu dan menyebabkan nyeri neuropati.
Sedangkan pada ginjal, gangguan ini terjadi pada pasien derajat sedang dan berat,
dimana respon autoimun sudah semakin parah.
Kompleks imun pathogen yang diproduksi semakin banyak, dapat terbawa
hingga kedalam ginjal khususnya bagian nefron yang bertugas untuk filtrasi
cairan. Degradasi pada nefron menyebabkan gangguan filtrasi sehingga
manifestasinya adalah proteinuria, hematuria, dan glukosuria.
Dalam kondisi SLE, terdapat berbagai macam mediator inflamasi seperti
interleukin 1 alpha (IL-1α), IL-6, tumor necrosing factor- alpha (TNF-α),
interferon -alpha (IFN-α), interferon- beta (IFNβ), interferon gamma (IFN-γ), dan

7
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

transforming growth factor-beta (TGF-β). Produksi EPO sebagai sumber


pembentukan sel darah merah dapat terhambat akibat aksi inhibisi oleh sitokin dan
mediator inflamasi lainnya. Kondisi ini menyebabkan manifestasi klinis yakni
anemia pada penderita SLE.

1.1.6 Penatalaksanaan SLE


Tujuan terapi yang diinginkan untuk pasien SLE adalah untuk manajemen
gejala dan pengurangan induksi selama masa aktif penyakit, serta pemeliharaan
kondisi panderita dari pengurangan induksi selama mungkin. Banyak pasien
dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-
obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang
meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang
dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas. Pasien
dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif (Kemenkes,
2017).
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila
diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu
mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh
NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan
tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan
resiko kardiovaskular. Respon individual tiap pasien yang bervariasi, maka
penting untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling
efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah
tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID
biasanya diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping.
Kadang-kadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti
misoprostol (Kasjmir, 2011).
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan
mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna
terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral,
injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intravena.
Namun, kortikosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan dalam

8
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari
penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari
kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah
membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar
(Kasjmir, 2011).

Gambar 3. Penatalaksanaan SLE (Kasjmir, 2011).

1. NSAID (Non Steroid Anti Inflamasi Drug)


Seperti dibahas sebelumnya, tanda yang paling umum pada pasien SLE
ini adalah demam, arthritis dan serositis. Oleh karena itu, pengobatan awal
diberikan NSAID sebagai pilihan utama, dan dosis yang diberikan pun untuk
memberikan efek anti-inflamasi, meskipun dalam hal ini aspirin dosis rendah
(80-300 mg/hari) berguna dalam pengelolaan pasien SLE dengan sindrom
antifosfolipid. NSAID merupakan pengobatan yang efektif untuk
mengendalikan tingkatan yang ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati

9
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

karena sering menimbulkan efek samping. NSAID juga dapat meningkatkan


resiko iritasi lambung dan tukak lambung. Selain itu, NSAID juga dapat
menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan glomerulus, filtrasi aktif
dan harus hati-hati digunakan pada pasien dengan nefritis.
2. Hidrokloroquin
Klorokuin dan hidroksiklorokuin telah digunakan dengan sukses
dalam pengobatan lupus diskoid dan SLE. Terapi antimalaria ini dapat
mengendalikan eksaserbasi penyakit. Obat ini tidak efektif dengan segera,
obat malaria ini baik digunakan dalam pengelolaan jangka panjang.
Hydroxychloroquine mungkin lebih aman daripada klorokuin dan dianggap
sebagai antimalaria dari pilihan pertama.Secara umum, manifestasi dari SLE
yang dapat diobati dengan antimalaria adalah artralgia, pleuritis, peradangan
ringan, kelelahan dan leukopenia. Mekanisme kerja dari obat antimalaria ini
yaitu dapat mengganggu aktifasi limfosit-T. Efek lain dari antimalaria yang
mungkin bermanfaat bagi pasien SLE termasuk penghambatan sitokin,
penurunan sensitivitas terhadap sinar ultraviolet, aktivitas anti-inflamasi, efek
antiplatelet, dan antihiperlipidemia. Dosis dan lama terapi tergantung pada
respon pasien. Dosis yang disarankan pada SLE yaitu hydroxychloroquine
200 – 400mg/hari dan kloroquine 250 – 500mg/hari. Setelah 1 atau 2 tahun
pengobatan, maka dosis diturunkan secara bertahap. Efek samping dari obat
ini diantaranya sakit kepala, gelisah, insomnia, ruam, pigmentasi perubahan
kulit dan rambut dan toksisitas mata reversibel seperti gangguan pada kornea.
Monitoring efektifitas dan efek samping dari penggunaan jangka panjang
klorokuin harus dilakukan pada awal dan setiap 3 bulan ketika menggunakan
klorokuin dan setiap 6 sampai 12 bulan ketika menggunakan
hidroksiklorokuin.
3. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat digunakan dalam terapi untuk SLE. Pada
lupus nefritis dapat dilakukan dengan menggunakan terapi kortikosteroid.
Seorang pasien tidak langsung memerlukan terapi kortikosteroid, tapi apabila
tidak menimbulkan respon terhadap NSAID atau antimalaria baru digunakan
kortikosteroid. Tujuan dari pengobatan dengan kortikosteroid pada SLE yaitu

10
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

untuk menekan dan mempertahankan penyakit yang aktif dengan dosis


serendah mungkin. Pada pasien dengan penyakit yang ringan, terapi dosis
rendah (Prednison 10-20 mg/hari), tetapi pada pasien yang dengan penyakit
lebih parah, memerlukan dosis yang lebih tinggi (Prednison 1-2
mg/kgBB/hari). Setelah efek tercapai, maka dosis diturunkan secara
berangsur-angsur untuk menekan penyakit lanjutan. Selain itu, pada
penggunaan kortikosteroid ini juga harus dipertimbangkan hal yang lain yang
dapat meningkatkan resiko kortikosteroid, seperti infeksi, hipertensi, penyakit
arterosklerosis, diabetes, obesitas, dan osteoporosis.

Tabel 1. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid (Kemenkes,2017)

4. Cytotoxic
Obat-obat sitotoksik ini adalah siklofosfamid (agen pengalkilasi) dan
azathioprine (antimetabolit). Obat sitotoksik ini biasanya digunakan dalam
kombinasi dengan kortikosteroid, telah menjadi andalan terapi imunosupresif.
Terapi sitotoksik kombinasi dengan kortikosteroid, memungkinkan dosis
steroid yang lebih rendah dan meningkatkan hasil terapi dibandingkan dengan
steroid tunggal.Namun, terapi sitotoksik harus dimonitor efek sampingnya,
dan respon maksimum 6 bulan atau lebih pada beberapa pasien.

11
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

 Azathioprine> Azathioprine adalah antimetabolit imunosupresan yang


bekerja dengan mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk
perkembangbiakan sel termasuk selsistem kekebalan tubuh. Azathioprine
digunakan sebagai agen “steroid-sparing” sehingga dosis kortikosteroid
dapat dikurangi. Pemberian azathioprine lebih efektif dibandingkan
prednisone tunggal. Azathioprine diberikan secara oral dalam dosis 1-3
mg/kg per hari, sering dalam kombinasi dengan kortikosteroid untuk
penyakit yang parah. Azathioprine lebih aman dari siklofosfamid, tetapi
efek samping dapat serius dan termasuk supresi hematopoiesis, infeksi
oportunistik termasuk herpes zoster, kanker, hepatotoksisitas, dan
kegagalan fungsi ovarium.
 Mycophenolate Mofetil: Mycophenolate mofetil berfungsi menghambat
sintesis purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium
(indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia
atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik
ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam kehamilan,
sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur bila disertai
penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangnya waktu
paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum
konsepsi yang direncanakan.
 Methotrexate: Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki
banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi
produksi sitokin. Digunakann seminggu sekali dan jika diperlukan
diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama
dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek samping.
Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia, trombositopenia dan
tes fungsi hati yang abnormal lkadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak
boleh digunakan selama kehamilan.
 Cyclosporin: Menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin

12
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga


pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini dianggap
aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif terendah
dengan memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal.
 Cyclophosphamide: Obat ini telah terbukti meningkatkan efek pengobatan
terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid saja.
Obat ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf
pusat berat dan penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral
harian atau sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit.
Siklofosfamid sering diberikan secara intravena dalam dosis pulse
intermiten untuk meminimalkan toksisitas. Untuk mengurangi risiko
toksisitas kandung kemih, pasien harus terhidrasi dengan baik dengan
pemberian cairan oral atau intravena, dan output urin harus dipantau.
 Rituximab: Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel
esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering
diberikan kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab
ditemukan penurunan tingkat auto antibodi. Rituximab telah menyebabkan
kemajuan dramatis padabeberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk
salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus.

1.2 Lupus Nefritis


1.2.1 Definisi Lupus Nefritis
Lupus nefritis adalah peradangan pada ginjal akibat penyakit systemic
lupus erythematosus (SLE). Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada
pasien dengan SLE. Lebih dari 70% pasien SLE mengalami keterlibatan ginjal
sepanjang perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus
agar tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan
transplantasi atau cuci darah (Kasjmir, 2011).

1.2.2 Etiologi dan Patogenesis Lupus Nefritis


Patogenesis SLE melibatkan interaksi yang kompleks antara kerentanan
genetik dan faktor lingkungan, yang terutama mengakibatkan hilangnya toleransi
kekebalan dan timbulnya autoimunitas kronis. Kerentanan genetik berasal dari

13
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

mutasi genetik yang dapat mempengaruhi pasien memperparah SLE. Faktor-


faktor lingkungan menyebabkan perubahan variasi epigenetik dalam ekspresi gen
yang disebabkan oleh metilasi DNA dan modifikasi histone dan RNA non-coding
- yang dapat memicu timbulnya SLE pada individu yang memiliki faktor genetik.
Perubahan epigenetik dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti infeksi virus,
paparan sinar matahari, perubahan hormon, nutrisi, stres fisik dan mental, dan
obat-obatan.
Hilangnya toleransi imun adalah pemicu awal untuk SLE. Toleransi
kekebalan tidak hilang dalam kondisi normal, karena nuclear self-antigen yang
kemudian menjadi neutrofil apoptosis (NETosis) yang jarang bertahan cukup lama
untuk diproses oleh sel yang menghadirkan antigen. Pembersihan sel-sel mati dan
bahan genetik terganggu pada SLE karena cacatnya proses apoptosis dan
NETosis, yang mengekspos self antigen pada sistem kekebalan tubuh. Beberapa
cacat genetik pada sistem komplemen dapat menyebabkan kelemahan dalam
opsonisasi dan dengan demikian mengganggu pembersihan self antigen.
Munculnya nuclear self-antigen dikenali oleh toll-like receptor (TLR 2 dan TLR
9) sehingga dikonversi sel dendritik menjadi APC (Antigen Presenting Cell)
akibatnya aktivasi sel T autoreaktif. Pada gilirannya, sel T autoreaktif
memperkuat respon imun dengan meningkatkan produksi sel T dan B di sumsum
tulang dan organ limfoid. Sel B aktif dapat berdiferensiasi menjadi sel B plasma
atau sel B memori. Sel B aktif yang terus menerus terpapar antigen mandiri
menghasilkan sejumlah besar autoantibodi, yang kemudian bereaksi dengan
antigen mandiri nuklir untuk membentuk circulating immune complexes (CIC).
CIC tidak terbersihkan dengan baik sehingga disimpan di berbagai jaringan
(Pinheiro., et al. 2018)

14
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Gambar 5. Patofisiologi Lupus Nefritis (Pinheiro., et al. 2018)

Keterlibatan ginjal dalam SLE berasal dari deposisi CIC dalam jaringan
ginjal. Deposisi CIC dalam jaringan ginjal mengaktifkan komplemen klasik, jalur
makrofag, dan neutrofil dari pengikatan reseptor Fc permukaan fagosit dan
kompleks imunoglobulin. Protein sistem pelengkap C1q berikatan dengan daerah
Fc IgG (khususnya IgG1 dan IgG3) atau IgM yang ada dalam endapan IC untuk
meningkatkan aktivasi neutrofil. Aktivasi jalur komplemen klasik mengarah pada
pembentukan protein sistem komplemen kemoattraktan (C3a dan C5a), yang juga
menginduksi rekrutmen neutrofil. Aktivasi dan rekrutmen neutrofil lokal memicu
pelepasan spesies oksigen reaktif (ROS), produksi sitokin proinflamasi, dan
amplifikasi respon imun dan inflamasi pada jaringan ginjal. Sitokin proinflamasi
dan profibrotik [terutama interleukin-4 (IL-4), transforming growth factor-beta
(TGF-beta), tumor necrosis factor (TNF), dan interferon gamma (IFN-gamma)]
menginduksi berbagai tingkat cedera podocyte, proliferasi sel epitel mesangial,
endotel, dan parietal, meningkatkan sintesis dan deposisi matriks ekstraseluler,
dan gangguan ginjal (Pinheiro., et al. 2018).

15
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

1.2.3 Tanda dan gejala


Gejala yang muncul pada lupus nefritis seperti ulserasi di mulut, kelainan
ginjal, kelainan hematologis (anemia hemolitik), kelainan imunologik dengan
tanda yaitu peningkatan titer anti dsDNA, penurunan komplemen C3 dan C4, dan
antibody antinuklear positif. Keterlibatan ginjal yang ditandai dengan gejala
glomerulonephritis seperti hematuria, proteinuria, hipertensi, edema, dan
penurunan fungsi ginjal, telah menunjukkan gejala nefritis lupus (Kemenkes,
2017).

1.2.4 Manifestasi Klinik


Manifestasi kelainan neurologis pada nefritis lupus sangat bervariasi, dapat
berupa nyeri kepala, depresi, kejang, psikosis, korea, neuritis optik,
hemiparsesis/hemiplegia, paralisis nervus kranialis, stroke, dan koma yang
ditemukan pada 20-30% kasus. Manifestasi yang berat dapat terjadi pada
permulaan sakit yang kemungkinan disebabkan keterlibatan pembuluh darah
kecil. Manifestasi yang mendadak dapat terjadi pada penyakit yang kronis sebagai
akibat komplikasi uremia, infeksi, atau stroke (Hahn Bevra H., et al, 2012).

1.2.5 Tata Laksana


Tujuan terapi Lupus Nefritis adalah menghasilkan remisi lengkap dari
penyakit ini, menghasilkan penurunan maksimal dalam aktivitas penyakit,
meminimalkan toksisitas obat, mencegah kekambuhan, mencegah kerusakan
ginjal kronis, meningkatkan kualitas hidup pasien, dan memberikan saran kepada
pasien dan anggota keluarga tentang penyakit ini. Remisi lengkap ditandai dengan
penurunan proteinuria yang signifikan dan perbaikan GFR setelah enam sampai
dua belas bulan perawatan. Remisi parsial ditandai dengan berkurangnya
proteinuria 50% atau lebih besar dan oleh pemulihan parsial GFR setelah enam
hingga dua belas bulan pengobatan (Kemenkes, 2017).

16
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Tabel 1. Terapi Lupus Nefritis berdasarkan Derajat Keparahan (Kemenkes, 2017)


Derajat Histologi/gambaran Induksi Pemeliharaan
klinis
Proliferative
Ringan - Mesangial LN Dosis tinggi - Dosis rendah
kortikosteroid (0,5-1
- Fokal proliferative mg/ kg/hr prednison kortikosteroid (mis
LN tanpa faktor buruk selama 4-6 minggu
prognositik Prednison < 0,125
kemudian secara
bertahap diturunkan mg/kg selang sehari
dalam 3 bulan sampai
atau ditambah AZA
0,125 mg/kg
(1-2 mg/kg/hr)
selang sehari) bila Pertimbangkan
tidak remisi dalam 3
penurunan bertahap
bulan atau aktivitas
lebih lanjut.
penyakit meningkat
dalam tapering
kortikosteroid,
tambahkan obat
imunosupresi lain

- Dosis rendah CYC


(500 mg) setiap 2
minggu selama 3
bulan

- MMF (2-3 gr/hari)


minimal 6 bulan

- AZA ( 1-2
mg/kg/hari) minimal
6 bulan

- Bila tidak ada remisi


setelah terapi 6-12

bulan, ganti terapi


lain
Sedang - Fokal proliferatif LN - Pulse CYC saja atau Pulse CYC pertiga
kombinasi dengan bulan selama 1
tanpa faktor buruk tahun setelah remisi
pulse MP untuk 6 - AZA (1-2
prognositik

17
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

bulan pertama ( Total mg/kg/hari)

- Difus proliferatif & pulse). - Bila remisi setelah


LN, Kortikosteroid 0,5 6-12 bulan, MMF
mg/kg/hari selama 4 diturunkan 1,0 gr
tidak memenuhi mingu, kemudian di /hari 2x perhari
kriteria kurangi selama 6-1 2bulan.
penyakit berat - Dosis rendah CYC Pertimbangkan
(500 mg) setiap untuk menurunkan
dosis setiap akhir
2 minggu selama 3 tahun bila remisi
bulan dengan atau ganti ke AZA
kortikosteroid seperti
diatas.

- MMF ( 3
g/hari)(Atau AZA)
dengan

kortikosteroid seperti
diatas. Bila tidak

ada remisi setelah 6-


12 bulan pertama,
ganti terapi lain.

Berat - Histologi apapun Pulse CYC bulanan Pulse CYC se• ap 3


kombinasi dengan bulan selama 1
dengan fungsi renal tahun setelah remisi,
pulse MP selama 6-12 atau Azatioprine
abnormal ( Kreatinin bulan.
meningkat minimal (1-2 mg/kg/hari),
Bila tidak ada respon, MMF (2-3 gr/hari).
30%) pertimbangkan Optimal terapi MMF

- Difus proliferative MMF atau rituximab atau AZA tidak


diketahui.
LN
Direkomendasikan
dengan multipel
faktor menggunakan
minimal 1 tahun
prognositik yang
setelah remisi
buruk
komplit. Setelah
- Mixed membranous

18
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

dan diambil keputusan

proliferatif (fokal atau untukmenghentikan


obat, maka obat
difus) histologi ditappering secara
- Fibrinoid nekrosis/ bertahap dengan

cresen monitoring yang


>25%glomerulus ketat terhadap
pasien.
- Aktivitas dan
kronisitas

index yang tinggi

- Penyakit yang
moderat

tidak respon terhadap

terapi.

1.3 Anemia Normositik Normokrom


Anemia ditemukan pada 50% pasien SLE, berbagai mekanisme berperan
dalam terjadinya anemia, termasuk inflamasi, insufisiensi renal, kehilangan
darah, intake yang kurang, obat obatan, hemolisis, infeksi, hipersplenisme,
mielofibrosis, mielodisplasia, dan adanya patogenesis autoimun pada anemia
aplastik.
1) Anemia Penyakit Kronik.
Penyebab anemia yang sering pada SLE adalah tertekannya eritropoesis

19
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

akibat inflamasi kronik,merupakan jenis yang paling sering (60 – 80%). Anemia
ini bersifat normositik normokrom dengan jumlah retikulosit yang relatif rendah.
Walaupun kadar serum iron dapat rendah namun penyimpanan besi di sumsum
tulang cukup adekuat dan konsentrasi feritin serum meningkat. Bila tidak terjadi
gejala yang berhubungan dengan anemia ( mis: sesak nafas saat beraktifitas,
mudah lelah) atau insufisiensi renal, anemia penyakiit kronik tidak memerlukan
pengobatan khusus. Tidak cukupnya persediaan EPO pada progenitor
hematopoetik dan meningkatnya resistensi sel-sel terhadap EPO adalah
penyebab utama anemia penyakit kronik pada SLE. Rendahnya produksi EPO
akibat aksi inhibisi sitokin seperti interleukin 1 alpha (IL-1α), IL-6, tumor
necrosing factor- alpha (TNF-α), interferon -alpha (IFN-α), interferon- beta
(IFNβ), interferon gamma (IFN-γ), dan transforming growth factor-beta (TGF-
β).
2) Anemia hemolitik autoimun
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) ditandai dengan peningkatan
retikulosit, kadar haptoglobin yang rendah, peningkatan bilirubin indirek, dan tes

20
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Coomb positif. Anemia ini ditemukan pada 10% penderita SLE. AIHA respon
terhadap pemberian steroid ( Prednison 1mg/kg/hari pada 75-96% pasien).
AIHA dibagi menjadi dua kelompok yaitu warm antibody type (WA-AIHA)
yang diperantarai oleh antibodi yang bereaksi dengan antigen sel darah merah
pada suhu 370C dan hemolisis pada suhu 37oC. Yang kedua adalah cold
antibody type (CA-AHA yang dipereantari oleh IgM suatu complemen -fixing
antibody dan mengikat sel darah merah pada suhu 40C dan hemolisis pada 370C.
SLE berhubungan dengan WA-AIHA.

21
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Gambar 6. Pathway SLE

22
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB II

PROFIL PASIEN

2.1 Profil Pasien

Nama / usia Nn. DT


Usia 19th
Berat Badan 39 kg
Tinggi Badan 157 cm
Alamat Jl Taman sari RT 06
Diagnose awal Derajat berat mex SLEDAI 20, Lupus Nefritis, Anemia
Normositik

Diagnose akhir SLE


MRS/KRS 16-10-2019 / 22-10-2019
Alasan MRS Nyeri Sendi di seluruh tubuh, sakit perut, sesak, kaku
pada kaki kanan dan kiri sejak 1 minggu yang lalu,
demam, lemas.
Riwayat Alergi Tidak ada

2.2 Tanda -Tanda Vital Pasien

Data Nilai Tanggal


Normal
16/10 17/10 18/10 19/10 20/10 21/10 22/10

TD 120/80 117/69 116/79 124/76 117/68 120/70 130/80 120/74


mmHg

Nadi 60- 113x 86x 100x 83x 82x 87x 88x


80x/menit

RR 20 20x 22x 22x 20x 20x 19x 20x


x/menit

Suhu 36-37oC 36C o


37 C
o o
36,8 C 36,7 C 36,7C 36,7C 36 C

23
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

2.3 Tanda – Tanda Klinis

Data Tanggal

16/10 17/10 18/10 19/10 20/10 21/10 22/10

Nyeri +++ +++ +++ ++ +++ ++ +

Ruam + + + + + + +

Mual muntah ++

Sesak +++ +

Gatal pada +++ ++ ++ +


lidah

2.4 Data Laboratorium

DATA Norma 16/10 17/1 18/1 19/10 20/1 21/1 Keterangan


l 0 0 0 0
Hemoglobin 11,4 – 7,90 g/dl 7,70 Hb rendah merupakan tanda Anemia
(HGB) 15,1
Eritrosit 4,0 – 2,93 2,82 Eritrositopenia: Nilai eritrosit rendah dalam darah

26
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

(RBC) 5,0 103//µL merupakan pendukung terjadinya anemia.


Leukosit 4,7 – 8,63 4,36 Leukopenia: Nilai leukosit rendah dapat menyebabkan
(WBC) 11,3 106//µL gangguan hematologik (anemia, penyakit infeksi)
Hematokrit 38 - 42 25,40 % 24,80 Hematokrit (Ht) yang rendah bisa disebabkan karena
kondisi anemia, dimana jumlah sel darah merah yang
rendah.
Trombosit 142- 250 195
(PLT) 424 103//µL
MCV 80-93 86,70 fL 87,90
MCH 27-31 27,00 pg 27,30
MCHC 32-36 31,10 31,00
g/dL
RDW 11,5-14 23,90 % 22,60
PDW 9-13 9,0 fL 8,2
MPV 7,2- 9,8 fL 8,4
11,1
P-LCR 15,0- 22,0 12,5
25,0

27
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

PCT 0,150- 0,24 % 0,16


0,400
NRBC 0 0,00 103 / 0
absolute
NRBC 0 0,0 % 0
Percent

DATA Normal 16/10 17/1 19/10 20/1 Keterangan


18/10
0 0
Hitung jenis

Eosinofil 0-4 0,8 % 0,0


Basofil 0-1 0,1 % 0,0
Neutrofil 51-67 90,2 % 93,3 % Nilai neutrofil dan nilai Limfosit lebih diatas normal berhubungan
dengan inflamasi pada aktivitas SLE derajat berat. menyebakan
Limfosit 25-33 5,8 % 4,6%
glomerulus akan mengalami inflamasi dan akan kehilangan
fungsinya sebagai penyaring secara bertahap, sehingga akan
ditemukan banyak sel darah merah yang melewati glomerulus.
Peningkatan menandakan terjadinya proses inflamasi yang dapat
menyebabkan kerusakan sistem organ dihubungkan dengan
ditemukannya hematuri yang berarti terdapat kerusakan pada

28
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

glomerulus ginjal dapat dijadikan penanda kemungkinan besar


terjadinya lupus nefritis.
Monosit 2-5 3,1 % 2,1

Eosinofil 0,07 0,00


Absolut 103/µL
Basofil 0,01 0,00
Absolut 103 /µL
Neutrofil 7,78 4,07
Absolut 103/µL
Limfosit 0,50 0,20
Absolut 103/µL
Monosit 0,16-1 0,27 0,09
absolut 103/µL
Immature 4,60 % 1,10
Granulosi
t (%)
Immature 0,40 0,05
Granulosi 103/µL
t

29
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Data Normal 16/10 17/1 18/10 19/10 20/1 21/10 Keterangan


0 0
URINALISIS
Kekeruhan Jernih Jernih Agak Jernih
keruh
Warna Kuning Kuning Kuning Kuning

pH 4,5 - 8,0 7,0 6,0 6,0 8,0

Berat Jernih 1,005 – ≥1,-30 ≥1,030 ≥1,030 1,010


1,030
Glukosa negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Protein 1+ 2+ 1+ 2+ Negatif

Keton Negatif Trace Negatif Trace Negatif

Bilirubin Negatif 2+ Negatif Negatif Negatif

Urobilinoge <17µmol/ ≥131 16 33 3,2


n L
Nitrit Negatif Positif Positif Positif Negatif

30
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Lekosit Negatif Trace Trace Negatif 1+

Darah 10x Negatif 5,2 Trace-intact Negatif Negatif 1,8


4,2
epitel Negatif Negatif
Negatif
silinder
40x < 3 LPK 4,0 2,8 0,7
eritrosit
Lekosit < 5 LPB 7,5 5,5 1,4 Jumlah leukosit yang terlalu tinggi
pada urine menunjukkan adanya
infeksi, peradangan pada urinary
tract.
Kristal Ca Ca
oxalate oxalate
++
++
Bakteri <93 x 237,5x 683,9x103 408,5x103 181,7 x 103mL Bakteriuria
103mL 103mL
Adanya bakteri dalam urin
menandakan terjadinya infeksi
pada ginjal atau urinary tract dapat
disebabkan karena adanya bakteri.

31
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Data Normal 17/1 19/1 20/1 21/1 Keterangan


16/10 18/10
0 0 0 0
HEMATOLOGI
Retikulosit

• Retikulosit 0,1278
absolut
• Retikulosit 0,5 – 2,5 4,70 % Retikulositosis: Retikulosit (eritrosit yang
belum matang) yang tinggi dalam darah
menjadi penyebab rendahnya eritrosit dan
menjadi data pendukung adanya anemia
hemolitik.
LED 2-30 mm/jam 115
FAAL GINJAL
Ureum 16,6 – 48,5 mg/dL 27,2
Kreatinin <1,2 mg/dL 0,36
AUTOIMMUNE

IgG Positiv >20 IU/ml >200,0 IgG dan IgM menunjukan hasil positif,
0 artinya bahwa terjadi infeksi yang
IgM Positif >20 IU/ml 73,80 menyebabkan munculnya antibody IgG dan
IgM, dalam hal ini adalah SLE.
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa 104 99
(POCT)

32
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

2.5 Profil Terapi

Tgl
Nama Obat Rute Aturan Pakai 16/10
17/10 18/10 19/10 20/10 21/10 22/10
(IGD)
Infus NS
IV 500cc + + + + + + +
500cc/24jam
O2 nasal canulla Nasal Canulla 2-4 lpm +
Pulse
IV 500mg + + +
Metilprednisolon
Metilprednisolon PO 3x16mg + + + +
Lansoprazol PO 1x30mg + + + + + + +
Klorokuin PO 1x250mg + + + + + + +
Kalk PO 3x500mg + + + + + + +
Paracetamol PO 3x500mg + + + + + +
Azathioprine PO 2x50mg + + + + +

33
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

2.6 Analisa Kefarmasian (SOAP)

2.6.1 Problem Medik SLE

Tanggal Subyektif Obyektif Assasement Plan

16-18 Nyeri Data Lab: Pulse Metilprednisolon 500mg METO:


Oktober pada
Indikasi: imunosupresan Nyeri pada sendi ( - ) gejala inflamasi (-)
2019 seluruh
Glukosa
sendi MESO:
Mekanisme kerja : menekan sistem imun,
18/10: 104 mg/dL sehingga tubuh tidak melepas mediator Candidiasis, amenorhea, hipertensi,
19/10: 99 mg/dL inflamasi yang memicu terjadinya hiperglikemia, dan osteoporosis.
peradangan.
TD Rekomendasi:
16/10: 117/69 Dosis Literatur: Dosis tinggi Terapi dilanjutkan dengan monitoring
22/10: 124/76 Metilprednisolon (250-1000 mg/hari, selama tekanan darah dan kadar gula darah. Terapi
3 hari) Kalk 3x500 mg tetap dilanjutkan untuk
IgG : >200 IU/ml
mencegah resiko osteoporosis.
IgM : 73,80 IU/ml Dosis Pasien: Pulse Metilprednisolon
LED :115 mm/jam 500mg IV (hanya untuk 3 hari)

Pemeriksaan Rute: IV
penunjang: Nyeri Interaksi obat (-)
sendi (+) dengan
intensitas nyeri 3. DRP: terdapat efek samping potensial yaitu
hipertensi, hiperglikemia, dan resiko

34
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

osteoporosis pada penggunaan jangka


panjang dan mega dose.

16-22 Nyeri Data Lab (16/10) Kloroquin 1 x 250 mg METO:


Oktober pada
IgG : >200 IU/ml Indikasi: imunosupresan Nyeri pada sendi ( -) ruam (-)
2019 sendi,
IgM : 73,80 IU/ml
gejala
Mekanisme Kerja: memiliki efek anti-
inflamasi apoptosis dengan menghambat pengeluaran
diseluruh antigen pada makrofag dan antigen MESO:
tubuh presenting cell (APC) yakni toll-like
Gangguan pencernaan, pandangan kabur,
(ruam) receptor
gangguan pendengaran.
Dosis Literatur: 125-250 mg/hari, max. 4
mg/kgBB/hari
Rekomendasi:
Dosis Pasien:
Kloroquin1x250 mg/hari Terapi dapat dilanjutkan.
Rute: PO
Interaksi obat: (-)
DRP: tidak terdapat DRP.
19-22 19/10: TD Metilprednisolon 3x16mg PO METO:
Oktober nyeri sendi,
mulut & 16/10: 117/69 Indikasi: imunosupresan. Nyeri pada sendi (-) gejala inflamasi (-)
2019
lidah terasa 22/10: 124/76
gatal Mekanisme kerja: menekan sistem imun, MESO:

35
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Glukosa sehingga tubuh tidak melepas mediator Candidiasis, amenorhea, resiko


20/10: - 18/10: 104 inflamasi yang memicu terjadinya hiperglikemia dan tekanan darah tinggi
21/10: 19/10: 99 peradangan.
nyeri pada Rekomendasi:
sendi besar, Dosis Literatur: 1-40 mg/hari Disarankan untuk melakukan tappering
gatal & down metilprednisolon untuk mengurangi
perih pada Dosis Pasien: Metilprednisolone 3x16 mg efek samping yang terjadi dengan
lidah PO
monitoring tekanan darah dan kadar gula
22/10: Rute: PO darah.
nyeri sendi Interaksi obat (-)
Terapi Kalk 3x500 mg tetap dilanjutkan
berkurang untuk mencegah resiko osteoporosis
DRP: efek samping potensial yaitu
hipertensi, hiperglikemia, dan osteoporosis.

36
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

2.6.2 Problem Medik Lupus Nefritis

Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Plan


18-22 - Data Lab Azathioprine 2x50mg METO:
Oktober
Proteinuria: Indikasi: imunosupresan Proteinuria (-)
2019
16/10: 2+ Mekanisme kerja: menghambat sintesis MESO:
asam inosinat, fungsi sel B dan sel T,
18/10: 1+ Gangguan GI, resiko mudah terinfeksi
produksi imunoglobulin, dan sekresi IL-2
meningkat.
19/10: 2+
Dosis Literatur: 1-2 mg/kgBB
21/10: Neg.
DosisPasien:
Rekomendasi:
Azathioprine 2x50 mg
Terapi lansoprezol 1x30mg dapat
Rute: PO
dilanjutkan untuk mencegah efek samping
Interaksi obat (-) potensial gangguan GI

DRP: tidak terdapat DRP

37
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

2.6.3 Problem Medik Anemia Normositik Nomokrom

Tanggal Subyektif Obyektif ASSESMENT PLAN


16-22 Lemas Data Lab: DRP: tidak terdapat DRP Rekomendasi : Terapi
Oktober dilanjutkan
16/10
2019
Hb : 7,90 g/dl ; Eritrosit : 2,93
106//µL ; Hematokrit : 25,40 % ; Monitoring: Hb, eritrosit,
Limfosit : 5,8% ; MCV : 86,7 hematokrit
19/10

Hb : 7,70 g/dl ; Eritrosit : 2,82


106//µL ; Hematokrit : 24,80% ;
Limfosit : 4,6% ; MCV : 87,9 ;
Retikulosit : 4,70%

38
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, diketahui data pasien yaitu Nn.DT berusia 19 tahun masuk
rumah sakit (MRS) pada tanggal 16 Oktober 2019 dengan keluhan nyeri sendi di
seluruh tubuh, sakit perut, sesak, demam, lemas, dan kaku pada kaki kanan dan
kiri sejak 1 minggu yang lalu. Tanda-tanda vital yang diukur yaitu suhu tubuh
36oC, nadi 113 kali per menit dan respiratori rate (RR) 20 kali per menit. Pasien
memiliki riwayat penyakit positive (+) SLE sejak satu tahun yang lalu, dengan
riwayat pengobatan diantaranya yaitu Metylprednisolon PO 2x8mg, klorokuin PO
1x25mg, callos PO 3x500mg, dan vit B complex PO. Pasien tidak memiliki
riwayat alergi. Pasien MRS dengan diagnosis utama SLE derajat berat mex
SLEDAI 20, dengan penyakit penyerta Lupus Nefritis dan Anemia normositik
nomokrom.
Berdasarkan problem medik utama yaitu SLE derajat berat mex SLEDAI
20 pasien mengalami keluhan nyeri pada seluruh tubuh. Nilai mex SLEDAI 20
didapatkan dari perhitungan berikut ini :
Deskripsi Bobot
Gangguan ginjal 6
-
Gangguan neurologis
Vaskulitis (ulserasi) 4
Hemolisis trombistopenia (hb<12 g/dl) 3
(retikulosit >3%)
Artritis 2
3
Myositis (nyeri dan lemah otot proximal)
Gangguan mukokutaneus 2
Serositis (nyeri pleura) -
Demam -
Leukopenia limfopeni -
TOTAL 20

39
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Berdasarkan total max sledai yang didapatkan dengan nilai 20, maka
pasien tergolong SLE derajat berat (severe). Penatalaksanaan terapi untuk SLE
derajat berat yaitu metylprednisolon (MP), azathioprine (AZA), siklofosfamid
(CYC), dan Rituximab (RTX), (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

Gambar 3.1 Penatalaksanaan pada terapi SLE

Pada tanggal 16-18 Oktober, terapi pertama yang digunakan pasien adalah
golongan hidroklorokuin (HCQ) yaitu Klorokuin PO 1x250 mg. Pasien
mengeluhkan nyeri pada sendi dan gejala inflamasi (ruam pada kulit) disertai hasil
laboratorium IgG > 200 IU/ml dan IgM 73,80 IU ml. Pada kasus ini, terapi
Kloroquin diindikasikan sebagai imunosupresan Kloroquin adalah obat
lisosomatropik alkali yang akan terakumulasi dalam lisosom dimana akan
menghambat beberapa fungsi penting dengan meningkatkan pH. Ini dapat
menghambat toll-like-receptor, akumulasi fragmen nukleat dalam lisosom,
degradasi autophagic dan dapat menghambat pengikatan beta-2 glikoprotein
menjadi fosfolipid sehingga menghambat respon imun pada pasien SLE. Dosis
yang diberikan telah sesuai dengan dosis lazim yaitu 125-250 mg/hari.
Berdasarkan keluhan pasien maka diperlukan monitoring efek terapi yaitu nyeri

40
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

pada sendi dan ruam pada kulit berkurang, serta monitoring efek samping yaitu
gangguan pencernaan, pandangan kabur serta gangguan pendengaran. Dengan
demikian maka rekomendasi terapi dapat dilanjutkan.
Terapi kedua yang digunakan yaitu pulse methylprednisolon 500 mg
selama 3 hari. Penggunaan pulse methylprednisolon diindikasikan untuk pasien
lupus nefritis WHO kelas III, IV atau V dengan progresivitas penyakit dan juga
gangguan hematologi (Trombositopenia refrakter berat dengan perdarahan,
anemia hematologi). Pasien mengeluhkan nyeri skala 3 pada seluruh sendi disertai
nilai tekanan darah 117/69 mmHg dan data laboratorium diantaranya gula darah
104 mg/dl, IgG > 200 IU/ml, IgM 73,80 IU/ml, LED 115 mm/jam. Terapi
diindikasikan sebagai imunosupresan dengan mekanisme menekan sistem imun
tubuh, sehingga tubuh tidak melepas mediator inflamasi yang memicu terjadinya
perburukan peradangan. Dosis yang diberikan yaitu 500 mg secara IV pulse
selama 1 jam selama 3 hari berturut-turut. Methylprednisolone merupakan
kortikosteroid yang memiliki efek samping potensial kenaikan tekanan darah dan
hiperglikemia. Kortikosteroid akan meningkatkan produksi glukosa endogen, serta
meningkatkan gluconeogenesis di hepar akibat peningkatan counterregulatory
hormones seperti glucagon dan epinefrin. Selain itu kortikosteroid dapat
menyebabkan kenaikan tekanan darah melalui efek mineralokortikoid yaitu
dengan meningkatkan retensi natrium dan air di ginjal dan ekspansi volume
plasma sehingga meningkatkan tekanan darah. Selama pulse methylprednisolone
dilakukan perlu pemantauan tekanan darah dan glukosa darah tiap 15 menit
selama pulse berlangsung untuk monitoring efek samping. Hasil rata-rata
pengukuran nilai tekanan darah 115/65 mmHg, dan gula darah 104 mg/dl.
Berdasarkan keluhan pasien maka diperlukan monitoring efek terapi dengan skala
nyeri <3 dan gejala inflamasi berkurang, serta monitoring efek samping tekanan
darah tinggi terkontrol (<140/90 mmHg). Penggunaan terapi pulse
methylprednisolone memiliki efek samping potensial defisiensi kalsium sehingga
hanya dapat diberikan selama 3 hari pertama. Selanjutnya dilakukan tappering
down disertai penggantian dengan terapi ketiga yaitu metyhlprednisolon PO 3x16
mg dengan monitoring tekanan darah dan gula darah, karena memiliki efek
potensial hipertensi dan hiperglikemia. Pemilihan dosis metylprednisolon PO

41
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

ditujukan untuk mengimbangi produksi hormone steroid oleh tubuh secara


normal. Untuk mengurangi defisiensi kalsium maka diberikan penambahan terapi
kalk PO 3x500 mg.
Problem medik penyerta yaitu lupus nefritis. Terapi yang diberikan yaitu
azathioprine 2x50 mg yang diindikasikan sebagai imunosupresan dengan
mekanisme menghambat sintesis asam inosinate, fugsi sel B, sel T, produksi
Imunoglobulin dan sekresi IL2. Berdasarkan hasil laboratorium didapatkan nilai
proteinurea pada awal MRS yaitu 2+ hingga pasien KRS menjadi negatif, dengan
demikian monitoring efek terapi pada nilai proteinurea telah mencapai target
(negatif). Monitoring efek samping potensial yaitu gangguan gastrointestinal (GI),
sehingga diberikan terapi lansoprazole secara oral dengan dosis 1x30 mg.
Problem medik penyerta selanjutnya yaitu anemia jenis normositik
normokromik. Hasil laboratorium didapatkan nilai Hb 7,9 g/dl, eritrosit 2,93.106
g/µL, hematokrit 25, 40 %, serta nilai MCV yang masuk dalam rentang rujukan
yaitu 87,9 dan nilai retikulosit yang melebihi nilai rujukan yaitu 4,70 % maka
diagnosis pasien digolongkan kedalam anemia hemolitik autoimun (autoimun
hemolytic anemia/AHA). Menurut George A. (2017), Penatalaksaan terapi AHA
pada lini pertama yaitu prednisone dengan dosis 1 mg/kg/hari. Respon Hb
biasanya memakan waktu beberapa hari, oleh karena itu beberapa pasien mungkin
memerlukan dukungan transfusi. Akan tetapi transfusi dapat diberikan jika nilai
Hb <7 g/dl (Pernefri, 2011) dan sedapat mungkin pemberiannya dihindari, karena
dikhawatirkan pasien mengalami penumpukan cairan. Sekitar 80% hingga 90%
pasien menunjukkan respon positif (Hb> 10,0 g / dL) dalam 3 minggu pertama
pengobatan. Ketika respons tercapai, dosis prednison harus dikurangi secara
bertahap sebesar 5 mg atau 2,5 mg/hari setiap bulan. Berdasarkan umur eritrosit,
maka waktu yang diperlukan untuk memastikan bahwa dosis prednison yang
diberikan, cukup untuk mempertahankan nilai Hb dalam nilai target 10-13 g/dl.

42
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
1. Pasien MRS dengan diagnose SLE derajat berat mex SLEDAI 20, Lupus
Nefritis, dan Anemia normositik normokrom.
2. Pasien KRS dengan status SLE derajat berat mex SLEDAI 16
3. Terapi yang diberikan efektif
4. Pasien tetap minum metilprednisolon PO 3x16 mg, kalk PO 3x500 mg,
klorokuin PO 1x250 mg

SARAN
1. Pasien rutin mengkonsumsi metilprednisolon PO 3x16 mg, kalk PO 3x500
mg, klorokuin PO 1x250 mg
2. Menyarankan tetap menjalani kontrol ke Rumah Sakit

ASUHAN KEFARMASIAN

TINDAKAN (USULAN PADA KLINIS,


NO URAIAN MASALAH
PERAWAT, PASIEN)

1. Perubahan rute pemberian (switch) Disarankan untuk melakukan tappering down


untuk metilprednisolon dari rute IV ke metilprednisolon untuk mengurangi efek samping
PO yang terjadi.

2. Terdapat efek samping potensial pada  Disarankan monitoring tekanan darah dan
penggunaan Metilprednisolon yaitu kadar gula darah secara rutin.
hipertensi, hiperglikemia, dan resiko  Terapi Kalk 3x500 mg tetap dilanjutkan untuk
osteoporosis pada penggunaan jangka mencegah resiko osteoporosis.
panjang dan mega dose.

43
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA

Antonis F., et al. 2019. Update of the EULAR Recommendations for The
Management of Systemic Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis: first
published as 10.1136/annrheumdis-2019-215089 on 29 March 2019.
Downloaded from http://ard.bmj.com/ on October 20, 2019 by guest, p.
736–745.

Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. 2012. Systemic Lupus Erythematosus:


Pathogenesis, Clinical Manifestations, and Diagnosis. Eular.

BNF. 2018. British National Formulary 74th Edition. BMJ Publishing Group:
London.

Dipiro et al., 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition.


The McGraw-Hill Companies, Inc., USA.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V. 2015.


Pharmacotherapy Handbook, 9th Edit. McGraw-Hill Education
Companies: Inggris

Giannouli, S, M Voulgarelis, P D Ziakas. 2006. Anaemia in Systemic Lupus


Erythematosus: from Pathophysiology to Clinical Assessment. Greece;
University of Athens (www.annrheumdis.com). p.144-148

George A . Karpouzas, 2017 Hematologic and Lymphoid Abnormalities in SLE.

Hahn Bevra H., et al, 2012. American College of Rheumatology Guidelines


forScreening, Treatment, and Management of Lupus Nephritis.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:


Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579.

Kementerian kesehatan RI. 2017. INFODATIN: Pusat Data dan Informasi


Kemeterian Kesehatan RI Situasi Lupus di Indonesia. Jakarta: Pusdatin .

Kasjmir, Yoga I., et al. 2011. Perhimpunan Reumatologi Indonesia: Diagnosis


dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. PAPDI: Jakarta.

44
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Karen Visser, et al. 2017. Systemic Lupus Erythematosus: Treatment.

Mok C.C, Lau C.S. 2003. Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. p. 481-
490 http://jcp.bmj.com/J Clin Pathol: first published as
10.1136/jcp.56.7.481 on 1 July 2003.

Pinheiro, Sergio V. B. P, et al. 2018. Review Articles Pediatric Lupus Nephritis.


Universidade Federal de Minas:Brasil. p 253-265.

Silva, B.D., W. Plant, and D. Kemmett. 2001. Subacute Cutaneous Lupus


Erythematosus and Life-threatening Hypokalaemic Tetraparesis: A Rare
Complication. British Journal of Dermatology Volume 144 Issue 3, 622-
624.

45
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

DAFTAR SINGKATAN

ACD : Anemia of Chronis Disease


a-EPO Ab : Erythropoietin Antibody
AIHA : Autoimmune hemolytic anemia
ANA : Antinuclear Antibodies
Anti Sm : Anti Smith
APC : Antigen presenting cell
AZA : Azatrioprine
BB : Berat badan
Bcl-2 : B-cell Lymphoma 2
BFU-E : Burst Forming unit-Erythroids
CA : Cold antibody
CD36, 14, 40, 4+, : Cluster of Differentiation
45R+, 8+
CFU-E : Cluster Forming unit-Erythroids
COX : Siklooksigenase
CR 1, 3, 4 : Complement Receptor
CRP : C-reactive protein
CTLA-4 : Cytotoxic T-lymphocyte Associated Antigen
CYC : Siklofosfamid
DMT : Transporter Logam Divalen
DNA : Deoxyribonucleic Acid
DRP : Drug Related Problem
dsDNA : antibody anti-double stranded DNA
EPO : Eritropoietin
FcγR : Fragmen Konstan gamma R
GFR : Gromerular Filtration Rate
GI : Gastro Intestinal
Hgb/Hb : Hemoglobin
HLA : Human Leucocyte Antigen
IFN : Interferon
IgG : Imunoglobulin G
IgM : Imunoglobulin M
IL : Interleukin
IV : Intra Vena
Kg : Kilogram
KRS : Keluar Rumah Sakit
KS : Kortikosteroid
LED : Laju Endap Darah
LN : Lupus Nefritis
MCH : mean corpuscular hemoglobin
MCHC : mean corpuscular hemoglobin concentration
MCV : Mean Corpuscular Volume
MESO : Monitoring Efek Samping Obat

46
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

METO : Monitoring Efektifitas Terapi Obat


MEX-SLEDAI : Mexican - Systemic Lupus Erythematosus Disease
Activity Index
MP : Metilprednisolon
MPV : mean platelet volume
MRS : Masuk Rumah Sakit
MTX : Methotrexate
NC : Nasal cannula
NET : Neutrophil Extracellular Traps
NKC : Natural Killer Cell
NPSLE : Neuropskiatrik Lupus
NRBC : nucleated red blood cell
NSAID : Non Steroid Anti Inflammatory drug
PCT : Procalcitonin
PDW : Platelet Disribution Width
P-LCR : Platelet larger cell ratio
PLT : platelet
PO : Per-oral
POCT : Point of Care Testing
Ps : phosphatidylserine
RBC : Red blood cell
RDW : red cell distribution width
RNA : Ribonucleic Acid
ROS : Spesies Oksigen Reaktif
RP : Respon Penuh
RR : Respiratory Rate
RS : Respon Sebagian
SLE : Systemic lupus erythematosus
TD : Tekanan Darah
TGF : Transforming growth factor
TH : T-Helper
Th1, 2 : T Helper
TIBC : Total Iron Binding Capacity
TLR2, TLR9 : Toll-like Receptor
TNF : Tumor necrosis factor
TR : Tidak Respon
TSP : Tcriple Super Phosphate
UV : UltraViolet
WA : Warm antibody
WBC : White blood cell
αVβ3 : Calcitonin Receptor Integrine

47
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

LAPORAN KLINIS
PRAKTIK KERJA PROFESI
APOTEKER ANGKATAN LVI
UNIVERSITAS SURABAYA
DI INSTALASI FARMASI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 2, Klojen, Kota Malang
(07 Oktobber – 29 November 2019)

Oleh :

Ni Luh Mitha Rini Candra 114218536

Tiara Regina B.S 114218517


Ismawati 114218523
Khalimatus Sakdiyah 114218535

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER RUMAH


SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
2019

i
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

KASUS 2 ............................................................................................................... iv

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

1. ADHF .................................................................................................................. 1

1.1 ADHF ...................................................................................................... 1

1.2 Patofisiologi ............................................................................................. 1

1.3 Tatalaksana .............................................................................................. 2

1.4 Klasifikasi ADHF .................................................................................... 5


2. CAD (Coronary Artery Disease) ......................................................................... 5
2.1 Definisi CAD ........................................................................................... 5
2.2 Etiologi .................................................................................................... 6
2.3 Patofisiologi ............................................................................................. 8
2.4 Tata Laksana CAD .................................................................................. 9
3, DIABETES MELITUS ....................................................................................... 9
3.1 Definisi Diabetes Melitus ........................................................................ 9
3.2 Etiologi .................................................................................................. 10
3.3 Gejala Diabetes Melitus......................................................................... 10
3.4 Patofisiologi ........................................................................................... 12
3.5 Tata Laksana Diabetes Melitus .............................................................. 13
4. PNEMONIA CAP (Community Acquired Pneumonia) ................................... 16
4.1 Definisi Pnemonia ................................................................................. 16
4.2 Etiologi dan Penyebab ........................................................................... 16
4.3 Tanda dan Gejala CAP .......................................................................... 17
4.4 Patofisiologi ........................................................................................... 18
4.5 Tata Laksana Pnemonia ......................................................................... 18
BAB II PROFIL PASIEN................................................................................... 20
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................... 24
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

ii
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

4.1 Kesimpulan ............................................................................................ 29


4.2 Saran ...................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 30
LAMPIRAN ......................................................................................................... 31

iii
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

iv
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1. ADHF (Acute decompensated heart failure )

1.1 Definisi ADHF


ADHF merupakan gagal jantung akut yang didefinisikan sebagai serangan
yang cepat (rapid onset) dari gejala gejala atau tanda tanda akibat fungsi jantung
yang abnormal. Disfungsi ini dapat berupa disfungsi sistolik maupun diastolik,
abnormalitas irama jantung, atau ketidakseimbangan preload dan afterload. ADHF
dapat merupakan serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat
merupakan dekompensasi dari gagal jantung kronik (chronic heart failure) yang
telah dialami sebelumnya. ADHF muncul bila cardiac output tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh..

1.2 Patofisiologi

Tugas jantung dalam proses memompa dan memasok darah ke seluruh


tubuh tidaklah sederhana. Atrium kanan menerima darah dari seluruh tubuh
melalui vena cava, yang kemudian dialirkan ke ventrikel kanan. Darah dari
ventrikel kanan dipompakan keluar jantung menuju ke paru-paru, untuk

1
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

pertukaran karbon dioksida dengan oksigen. Darah yang sudah dipenuhi oksigen
lalu dipompakan masuk ke atrium kiri, kemudian ke ventrikel kiri, yang
selanjutnya dialirkan ke seluruh tubuh melalui aorta.
Agar darah mengalir dengan tepat, jantung memiliki katup. Katup yang
membantu aliran darah dari atrium ke ventrikel adalah katup mitral dan trikuspid.
Sedangkan, katup yang berfungsi mengendalikan aliran darah yang meninggalkan
jantung adalah katup aorta dan katup pulmonalis. Keempat katup tersebut menjaga
darah terus bergerak maju ke satu arah. Katup akan menutup dengan cepat agar
darah tidak berbalik ke arah yang berlawanan

1.3 Tatalaksana

1. Antagonisin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)


ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II dan mengerahkan efek
biologis yang meningkatkan gejala, mengurangi rawat inap, dan
memperpanjang kelangsungan hidup. ACE inhibitor direkomendasikan
untuk semua pasien dengan gagal jantung dengan penurunan fungsi
sistolik. Efek samping utama ACE inhibitor adalah batuk (hingga 20%),
gejala hipotensi dan disfungsi ginjal (Figueroa MD, 2006). Uji klinis telah

2
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

menghasilkan bukti tegas bahwa ACE inhibitor memperlambat


perkembangan penyakit, dan angka kematian menurun pada pasien dengan
gagal jantung dan mengurangi LVEF (tahap C) serta juga digunakan untuk
mencegah pengembangan gagal jantung pada pasien yang berisiko (yaitu,
tahap A dan B).Pasien-pasien ini harus menerima ACE inhibitor kecuali
yang kontraindikasi terhadap ACE inhibitor (DiPiro et al., 2015).
2. Diuretik
Diuretik diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan penyumbatan
(paru dan edema perifer) atau dilatasi jantung (Alldredgeet al, 2013).
Diuretik merupakan satu-satunya obat yang digunakan pada terapi gagal
jantung yang dapat mengatasi retensi cairan gagal jantung. Penggunaan
diuretik yang tepat merupakan kunci keberhasilan obat lain yang
digunakan pada gagal jantung Penggunaan diuretik dosis rendah yang
tidak tepat mengakibatkan retensi cairan dan penggunaan diuretik dosis
tinggi menyebabkan kontraksi volume yang dapat meningkatkan resiko
hipotensi dan insufisiensi ginjal (Yancy et al., 2013).
Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium klorida pada
tempat tertentu di tubulus ginjal. Loop diuretik (bumetanid, furosemid dan
torsemid) bekerja di lengkung henle, sedangkan tiazid, metolazon, dan
diuretik hemat kalium bekerja pada tubulus distal. Loop diuretik paling
banyak digunakan pada pasien gagal jantung (Yancy et al., 2013).
3. Beta blocker
Beta bloker merupakan antagonis yang mengaktifkan sistem simpatis,
secara signifikan terbukti bermanfaat dalam jangka panjang pada gagal
jantung yang berat. Penambahan beta-bloker pada terapi konvensional
dikaitkan dengan dampak yang signifikan pada morbiditas dan mortalitas.
Beta-bloker mengurangi perkembangan CHF pada pasien dengan
gangguan fungsi ventrikel jika diberikan awal periode pasca infark
miokard (NHFA, 2011). Beta-bloker dapat memperlambat perkembangan
penyakit, mengurangi rawat inap dan mengurangi angka kematian pada
pasien gagal jantung sistolik (DiPiro et al., 2015).

3
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

4. Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB)


Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target
lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor
AT1 memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti
vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi
target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.
Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin
II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin angitensin
melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberian ARB mungkin
bermanfaat. ARB mempunyai banyak kemiripan dengan ACEI, tetapi
tidak mendegradasi kinin (Gormer, 2007).
5. Calcium channel blocker (CCB)
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke
dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel-sel otot
polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung,
menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan
memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos
pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada
ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin
dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem).
Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja
antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek
kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina
(Lyrawati, 2008).

4
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

1.4 Klasifikasi ADHF

Klasifikasi klinis GJA dikelompokkan menjadi empat tipe. Tipe hangat


dan basah (perfusi baik dan kongesti) merupakan tipe terbanyak, tipe dingin dan
basah (hipoperfusi dan kongesti), tipe dingin dan kering (hipoperfusi tanpa
kongesti) serta tipe hangat dan kering (kompensasi, perfusi baik tanpa kongesti).
Gagal jantung akut (GJA) adalah kejadian atau perubahan cepat tanda dan
gejala gagal jantung. Kondisi ini dapat mengancam jiwa dan harus ditangani
segera, biasanya perlu perawatan di rumah sakit.
Terdapat lima subtipe GJA, yaitu gagal jantung kronis dekompensata akut
(ADHF), edema paru akut, syok kardiogenik, gagal jantung hipertensif, dan gagal
jantung kanan.

2. CAD (Coronary Artery Disease)


2.1 Definisi CAD
Penyakit arteri koroner atau Coronary Artery Disease (CAD) adalah
penyempitan atau penyumbatan arteri koroner, arteri yang menyalurkan darah ke
otot jantung. Bila aliran darah melambat, jantung tak mendapat cukup oksigen dan
zat nutrisi. Hal ini biasanya mengakibatkan nyeri dada yang disebut angina. Bila

5
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

satu atau lebih dari arteri koroner tersumbat sama sekali, akibatnya adalah
serangan jantung dan kerusakan pada otot jantung (Glassman & Shapiro, 2014).
CAD juga merupakan kondisi patologis arteri koroner yang ditandai dengan
penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding
pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri dan
penurunan aliran darah ke jantung (Glassman & Shapiro, 2014 ).

2.2 Etiologi
Penyebab utama dari CAD adalah terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis
adalah pengerasan pada dinding arteri. Aterosklerosis ditandai dengan adanya
penimbunan lemak, kolesterol, di lapisan intima arteri. Timbunan ini dinamakan
ateroma atau plak. Walaupun pengetahuan tentang kejadian etiologi tidak lengkap,
namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang bertanggung jawab untuk
perkembangan aterosklerosis. Ada beberapa faktor resiko yang mengakibatkan
terjadinya CAD (Hemingway & Marmot, 2015) yaitu:
a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
Yaitu faktor risiko biologis yang tidak dapat diubah, yang meliputi:
1. Usia
Kerentanan terhadap aterosklerosis meningkat dengan bertambahnya usia.
Pada laki-laki biasanya risiko meningkat setelah umur 45 tahun sedangkan
pada wanita umur 55 tahun.
2. Jenis Kelamin
Aterosklerosis 3 kali lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita.
Wanita agaknya relatif lebih kebal terhadap penyakit ini karena dilindungi
oleh hormon estrogen, namun setelah menopause sama rentannya dengan
pria.
3. Ras
Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis dibanding
orang kulit putih.
4. Riwayat Keluarga CAD

6
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Riwayat keluarga yang ada menderita CAD, meningkatkan kemungkinan


timbulnya aterosklerosis prematur.

b. Faktor yang dapat dimodifikasi


Yaitu faktor risiko yang dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup
atau kebiasaan pribadi, yang meliputi:
1. Hiperlipidemia
Adalah peningkatan lipid serum, yang meliputi: Kolesterol > 200 mg/dl,
Trigliserida > 200 mg/dl, LDL > 160 mg/dl, HDL < 35 mg/dl.
2. Hipertensi
Adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan atau diastolik. Hipertensi
terjadi jika tekanan darah melebihi 140/90 mmHg. Peningkatan tekanan
darah mengakibatkan bertambahnya beban kerja jantung. Akibatnya
timbul hipertrofi ventrikel sebagai kompensasi untuk meningkatkan
kontraksi. Ventrikel semakin lama tidak mampu lagi mengkompensasi
tekanan darah yang terlalu tinggi hingga akhirnya terjadi dilatasi dan
payah jantung. Dan jantung semakin terancam oleh aterosklerosis koroner.
3. Merokok.
Merokok akan melepaskan nikotin dan karbonmonoksida ke dalam darah.
Karbonmonoksida lebih besar daya ikatnya dengan hemoglobin daripada
dengan oksigen. Akibatnya suplai darah untuk jantung berkurang karena
telah didominasi oleh karbondioksida. Sedangkan nikotin yang ada dalam
darah akan merangsang pelepasan katekolamin. Katekolamin ini
menyebabkan konstriksi pembuluh darah sehingga suplai darah ke jantung
berkurang. Merokok juga dapat meningkatkan adhesi trombosit yang
mengakibatkan terbentuknya thrombus.
4. Diabetes Mellitus
Hiperglikemi menyebabkan peningkatan agregasi trombosit. Hal ini akan
memicu terbentuknya trombus. Pasien Diabetes Mellitus juga berarti
mengalami kelainan dalam metabolisme termasuk lemak karena terjadinya
toleransi terhadap glukosa.

7
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

5. Obesitas
Obesitas adalah jika berat badan lebih dari 30% berat badan standar.
Obesitas akan meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen.

6. Inaktifitas Fisik
Inaktifitas fisik akan meningkatkan risiko aterosklerosis. Dengan latihan
fisik akan meningkatkan HDL dan aktivitas fibrinolisis.
7. Stres dan Pola Tingkah Laku
Stres akan merangsang Hiperaktivitas HPA yang dapat mempercepat
terjadinya CAD. Peningkatan kadar kortisol menyebabkan ateroklerosis,
hipertensi, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah dan merangsang
kemotaksis (Januzzi dkk, 2014).

2.3 Patofisiologi

2.4 Tata Laksana CAD

8
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

3. DIABETES MELITUS
3.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel- sel beta
Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

9
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

3.2 Etiologi

3.3 Gejala Diabetes Melitus

Tabel 1.1 Gejala dan faktor risiko diabetes mellitus (saikat et al, 2016)
Fitur Diabetes Melitus Tipe 1 Diabetes Melitus Tipe 2
Tanda dan Tiba-tiba dan dramatis, Poliuria, polidipsia,
gejalanya kehausan abnormal dan mulut polifagia, hiperglikemia,
kering, sering buang air kecil, glikosuria, infeksi yang
kelelahan hebat, sering, disfungsi seksual,
hiperglikemia, lapar teratur, kulit kering/gatal,
kehilangan berat badan, kelelahan.
penyembuhan luka lambat,
infeksi berulang,
penglihatan kabur,

Faktor risiko Ketidakcocokan golongan Ras / etnis (yaitu, kulit


darah, infeksi virus pada ibu hitam, Hispanik, penduduk
selama asli Amerika,
kehamilan, paparan dini dan Asia), obesitas, gaya

10
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

komponen susu sapi dan faktor hidup yang tidak sehat, diet,
gizi lainnya, gaya hidup, berat aktivitas fisik, resistensi
badan, pertumbuhan, genetic. insulin, riwayat keluarga,
lingkungan intrauterin,
riwayat GDM, merokok,
peningkatan asupan
alkohol, hipertensi, profil
lipid abnormal, riwayat
penyakit pembuluh darah,
riwayat melahirkan bayi
yang sangat sehat
(kelebihan berat badan),
toksemia, sindrom ovarium
polikistik, depresi

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa


gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal
yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air
kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain
itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali
sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
a. Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah
poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah
(fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
b. Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak
ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru
dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan
komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah
terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk,
dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga
komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes, 2005).

11
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

3.4 Patofisiologi

Meskipun algoritma terapi untuk diabetes mendorong pendekatan


individualisasi, mereka sering diterapkan secara luas dalam keputusan
pengobatan dan penggantian. Banyak jalur yang berbeda, didorong oleh berbagai
faktor genetik dan lingkungan, menghasilkan hilangnya massa sel-b yang
progresif dan / atau fungsi yang bermanifestasi secara klinis sebagai
hiperglikemia. Setelah hiperglikemia terjadi, orang dengan segala bentuk diabetes
beresiko mengembangkan komplikasi yang sama, meskipun tingkat
perkembangannya mungkin berbeda.

Pada kedua tipe DM, terjadi defisiensi insulin. Jika pada DM tipe 1, defisiensi
insulin disebabkan karena proses autoimun, pada DM tipe 2 disebabkan beberapa
faktor, yaitu berkurangnya massa sel β pankreas, kadar asam lemak yang tinggi
(lipotoksisitas), hiperglikemi kronik, amilin, kelelahan sel β pankreas dan factor
genetik (Corwin, 1996). Berkurangnya massa sel β pankreas banyak terjadi pada
penderita DM tipe 2. Pada studi post-mortemtelah dilaporkan terjadi pengurangan
sel β pankreas sebanyak 40-60%. Hiperglikemi kronik selalu diikuti dengan
menurunnya respons sekresi dankerja insulin. Hal ini disebabkan akibat terjadi
gangguan pada hidrolisis membrane eprospoinositida yang mengakibatkan
penurunan konsentrasi diasilgliserol dan inositofosfat dalam sel β dan pada
akhirnya mengurangi sekresi insulin. Hiperglikemi kronik menyebabkan
resistensi insulin sebagai akibatdownregulationdari sistem transport glukosa
dengan adanya konversi fruktosa-6-fosfat menjadi glukosamin-6-fosfat yang
menurunkan sensitivitas insulin di perifer(Corwin, 1996).
Resistensi insulin banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2. Resistensi
insulin terjadi bila kemampuan insulin untuk meningkatkan ambilan dan disposal
glukosa di jaringan perifer (otot dan jaringan adiposa) terganggu atau kadar
insulin normal menghasilkan efek biologis yang kurang dari normal. Faktor-
faktor yang dapat menyebabkan resistensi insulin antara lain, obesitas, diet,
kurang gerak badan, hiperglikemi kronik, dan faktor genetik (Funk&Feingold,
1995)

12
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

3.5 Tata Laksana Diabetes Melitus


Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
target utama, yaitu:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal

2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi


diabetes.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa


parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes
Tabel 1.2 Target Penatalaksanaan Diabetes

Parameter Kadar Ideal yang Diharapkan


Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl
Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur 100–140mg/dl

(Bedtime blood glucose)


Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur 110–150mg/dl

(Bedtime plasma glucose)


Kadar Insulin <7 %
Kadar HbA1c <7mg/dl
Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria)
Kadar Kolesterol HDL >55mg/dl (wanita)
Kadar Trigliserida <200mg/dl
Tekanan Darah <130/80mmHg

13
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Gambar 1.4 Algoritma pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 (Perkeni, 2015)

Penjelasan untuk algoritme Pengelolaan DM Tipe-2

1. Daftar obat dalam algoritme bukan menunjukkan urutan pilihan.


Pilihan obat tetap harus mempertimbangkan tentang keamanan, efektifitas,
penerimaan pasien, ketersediaan dan harga (tabel-11). Dengan demikian
pemilihan harus didasarkan pada kebutuhan/kepentingan penyandang DM
secara perseorangan (individualisasi).
2. Untuk penderita DM Tipe -2 dengan HbA1C < 7% maka
pengobatan non farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sehat dengan
evaluasi HbA1C 3 bulan, bila HbA1C tidak mencapai target <7% maka
dilanjutkan dengan monoterapi oral.
3. Untuk penderita DM Tipe-2 dengan HbA1C 7.5%-<9.0% diberikan
modifikasi gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral. Dalam memilih
obat perlu dipertimbangkan keamanan (hipoglikemi, pengaruh terhadap
jantung), efektifitas, ketersediaan, toleransi pasien dan harga. Dalam
alogaritme disebutkan obat monoterapi dikelompokkan menjadi :

14
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

a. Obat dengan efek samping minimal atau keuntungan lebih banyak:

- Metformin

- Alfa glukosidase inhibitor

- Dipeptidil Peptidase 4- inhibitor

- Agonis Glucagon Like Peptide-1

b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati

- Sulfonilurea

- Glinid

- Tiazolidinedione

- Sodium Glucose coTransporter 2 inhibitors (SGLT-2 i)

4. Bila obat monoterapi tidak bisa mencapai target HbA1C dalam waktu 3
bulan maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam obat, yang
terdiri dari obat yang diberikan pada lini pertama di tambah dangan obat
lain yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.

5. Bila HbA1C sejak awal ≥ 9% maka bisa langsung diberikan kombinasi 2


macam obat seperti tersebut diatas.

6. Bila dengan kombinasi 2 macam obat tidak mencapai target kendali dan
jika target HbA 1c tidak tercapai setelah 3 bulan, pertimbangkan satu dari
lima opsi pengobatan yang dikombinasikan dengan metformin: SU, TZD,
DPP-4 i, GLP-1 RA, atau insulin basal.

7. Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka
langkah berikutnya adalah pengobatan Insulin basal plus/bolus atau
premix.

8. Bila penderita datang dalam keadaan awal HbA1C ≥10.0% atau Glukosa
darah sewaktu ≥ 300 mg/dl dengan gejala metabolik, maka pengobatan
langsung dengan a. metformin + insulin basal ± insulin prandial atau b.
metformin + insulin basal + GLP-1 RA.

15
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

4. PNEMONIA CAP (community acquired pneumonia)


4.1 Definisi pnemonia
Pneumonia Community (CAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang
didapat pasien dari luar rumah sakit , harus dibedakan berdasarkan spectrum
patogen yang lebih luas, dari pneumonia nosokomial (yang muncul lebih dari 48
jam setelah masuk rumah sakit atau dalam waktu 3 bulan setelah keluar dari
rumah sakit) dan dari pneumonia dalam inang immunocompromised (misalnya,
dalam pengaturan neutropenia, imunosupresi terogenik dengan obat-obatan,
status post organ atau transplantasi sel induk, infeksi HIV, atau defisiensi imun
bawaan). Merupakan penyakit menular yang paling umum menyebabkan
kematian, pasien rawat inap dengan CAP memiliki mortalitas rumah sakit yang
tinggi sekitar 13% (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5754574/)

4.2 Etiologi dan Penyebab

Penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif dan


dapat pula bakteri atipik. Laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan
bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia
komuniti adalah bakteri Gram negatif. Hasil pemeriksaan sputum mikrobiologi
penderita pneumonia komuniti sebagai berikut :
a. Klebsiella pneumoniae

b. Streptococcus pneumoniae

c. Streptococcus viridans

d. Staphylococcus aureus

e. Pseudomonas aeruginosa

f. Steptococcus hemolyticus

g. Enterobacter

h. Pseudomonas spp (PDIP, 2003)

16
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

4.3 Tanda dan Gejala Pneumonia Community (CAP)

Adapun Tanda dan Gejala Pneumonia Community (CAP) meliputi :

1. gejala pernapasan (batuk dahak, dispnea, nyeri dada)

2. gejala umum infeksi (Demam >40°C, Hipotermia, malaise)

3. gejala mirip flu

4. gejala peredaran darah( gangguan kesadaran)

5. Temuan fisik yang sesuai (takipnea, takikardia, hipotensi


arteri, kelainan auskultasi fokal)
Manifestasi diatas tidak sensitif atau cukup spesifik untuk diagnosis
definitive. Temuan klinis berikut meningkatkan kemungkinan dilakukan pretest
infiltrat dan harus dilakukan rontgen dada dalam pengaturan rawat jalan yang
meliputi :
1. Ada atau tidaknya rinore

2. Dispnea dan atau frekuensi pernapasan meningkat

3. kelainan auskultasi fokal

4. Tanda vital abnormal (demam, takikardia> 100 / mnt)

5. Peningkatan biomarker (mis., Protein C-reaktif [CRP]> 20-30 mg /


L)

Jika lebih dari dua kriteria ini terpenuhi maka probabilitas


dilakukanpretest infiltrat pada pasien dengan infeksi saluran napas bawah akut
meningkat dari <5% menjadi > 18%. Demonstrasi infiltrat umumnya cukup untuk
membedakan CAP dari bronkitis akut yang tidak perlu diobati dengan antibiotic
karena efek yang tidak diinginkan dari pengobatan antibiotik dalam kasus seperti
itu lebih besar daripada efek menguntungkan pada gejala. Prokalsitonin adalah
biomarker lain yang dapat digunakan untuk membantu menghindari
pemberianantibiotik yang tidak perlu pada pasien rawat jalan dengan infeksi
saluran napas yang lebih rendah, jika tes di tempat perawatan tidak tersedia
direkomendasikan untuk menghindari antibiotic yang tidak perlu.
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5754574/)

17
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

4.4 Patofisiologi

4.5 Tata Laksana Pnemonia

18
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Terapi pneumonia CAP (PPAM Edisi III


2018)

19
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB II
PROFIL PASIEN

 Nama: Tn. YS
 Umur: 61 tahun
 TB/BB: 172cm/50 kg
 MRS: 15 Oktober 2019
 KRS : 21 Oktober 2019
Keluhan Utama : keringat dingin, Dada nyeri sampai tulang belakang, Mual,
Badan rasanya pegal-pegal, batuk kurang lebih selama 2
minggu, kaki bengkak
Alergi : tidak ada
Riwayat Pengobatan : Ramipril, simvastatin, Furosemuid, Clopidogrel,
amoxicilin, spironolacton, brilinta, concor, ASA,
novorapid, levemir.
Obat Yang Digunakan Saat Ini : Noverapid 4 unit, levemir 16 Unit
Riwayat Kesehatan : Penyakit Jantung, Diabetes Militus, Batuk
Riwayat Operasi : Pasang ring pada jantung (januari 2019)
Kebiasaan : Olahraga ( lari pagi dan sepedaan)
 Tanda- Tanda Vital
Parameter Nilai Tanggal
Norma 15 16 17 18 19 20 21
l
Suhu 36- 36 36,5 36 36 36 36,5 36,
(°C) 37 5
Nadi
85- 83 90 89 92 83 80 91
(x/men
80
it)
RR
20 24 20 20 20 20 22 20
(x/menit
)
TD 120/ 105/ 98/ 139 110/ 144/ 110/ 112/
(mmHg) 80 75 62 /87 80 86 70 81
SPO2 95- 97 97 97 98 96 95 97
(%) 100

20
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

 Tanda-Tanda Klinis
Parameter Tanggal
15 1 17 1 1 20 21
6 8 9
Nyeri dada - - - - - - -
Bengka
- - - - - - -
k pada
kaki
Sesak nafas
+ - - - - + -
Batuk + + + + - - -

 Tes laboratorium
Parameter Nilai Normal Nilai Hasil
+ = < 1,0
Troponin 0,10
- = > 1,0
CKMB 7-25 2,5
SGOT 11-41 27
SGPT 10,41 17
Albumin 3,5-5,0 3,56
Kolestrol total <100 90
TG <150 63
HDL >50 30
LDL <100 61
GDA <200 105
Eosinofil (%) 0-4 2,2
Basofil (%) 0-1 0,8
Neutrofil (%) 51-67 74,4
Limfosit (%) 25-33 10,08
Monosit (%) 2-5 11,8
Eusinofil
3
Absolut
0,13
(10 /µL)
Basofil Absolut
3 0,05
(10 /µL)
Neutrofil Absolut
3 0,40
(10 /µL)
Limfosit Absolut
3 0,64
(10 /µL)

21
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Monosit Absolut
3 0,16-1 0,70
(10 /µL)
Immatur Granulosit
0,30
(%)
Immature
3 Granulosit
0,02
(10 /µL)
Pasien (detik) 9,4-11,3 12,10
Kontrol (detik) 10,6
INR (detik) <1,5 1,18
APPT
Pasien (detik) 24,6-30,6 28,00
Kontrol (detik) 24,9 28,02
Hemoglobin (g/dL) 11,4-15,1 10,90
3
Eritrosit (10 /µL) 4,0-5,5 3,82
3
Leukosit (10 /µL) 4,7-11,3 5,92
Hematokrit (%) 38-42 31,30
3
Trombosit (10 /µL) 142-424 181
MCV (fL) 80-93 81,90
MCH (pg) 27-31 28,90
MCHC (g/dL) 32-36 34,80
RDW (%) 11,5-14,5 13,30
PDW (fL) 9-13 10,8
MPV (fL) 7,2-11,1 9,9
P-LCR (%) 15,0-25,0 23,4
PCT (%) 0,150-0,400 0,18

 Profil Pengobatan Pada Saat di RS


Tanggal
Nama Rute Dosis
Obat 15 16 17 18 19 20 21
Total Cairan IV 1500cc/24 √ √
jam
Oral Intake IV 1000cc/24 √ √
jam
Inf. Nacl 0,9% IV 500 cc/jam √ √ √ √

BC IV >- √ √
1000cc/ja
m
Drip ISDN IV 1 ml/jam √
Furosemid IV 3x 40 mg √ √ √ √ 2x40
mg
Furosemid PO 1x 40 mg √ √

22
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Lanzoprazole IV 1 x 30 mg √ √ √ √ √ √ √
Levemir SC 1x 12 u √ √ √ 16 u 16 u 16 u 18 U
Novorapid SC 3x 4 u √ √ √ √ √ √ √
ASA PO 1 x 80 mg √ √ √ √ √ √ √
Brilinta PO 1 x 90 mg √ √ √ √ √ √ √
Captopril PO 3x25 √ √ √ √ 3x
37,5
mg
Ramipril PO 1x 10 mg √ √
Simvastatin PO 1 x 20 mg √ √ √ √
Atorvastatin PO 1 x 40 mg √ √ √
Diazepam PO 0-0-20 √ √ √ √ Stop
Laxadin PO 1x C1 √ √ √ √ Stop
ISDN PO 3 x 10 mg √ √ √ √ √ √
Bisoprolol PO 1x 1,25 √ √
Spironolactone PO 0-25-0 √ √ √ √ √ √ √
NAC PO 3x200mg √ √ √ √
Ceftiaxon IV 1 x 1 gr √ √

23
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB III
PEMBAHASAN

Tn. Y berusia 61 tahun dengan tingi badan 72 cm dan berat badan 50 kg. Mask
rumah sakit pada tanggal 5 oktober 2019 dengan keluhan utama keringat dingin,
Dada nyeri sampai tulang belakang, Mual, Badan rasanya pegal-pegal, batuk
kurang lebih selama 2 minggu, kaki bengkak, tidak alergi makanan dan obat apa-
apa. Riwayat pengobatan pasien : Ramipril, simvastatin, Furosemuid, Clopidogrel,
amoxicilin, spironolacton, brilinta, concor, ASA, novorapid, levemir. Obat yang
dilanjutkan dari riwayat pengobatan adalah Noverapid 4 unit, dan levemir 16 unit.
Riwayat kesehatan: Penyakit jantung, DM, batuk. Pada bulan januari 2019
melakukan tindakan oprasi pasang ring. Aktivitas yang biasa dilakukan rutin adala
berolaraga seperti lari pagi dan bersepeda.

 Tanda- Tanda Vital


Parameter Nilai Tanggal
Norma 15 16 17 18 19 20 21
l
Suhu 36- 36 36,5 36 36 36 36,5 36,
(°C) 37 5
Nadi
85- 83 90 89 92 83 80 91
(x/men
80
it)
RR
20 24 20 20 20 20 22 20
(x/menit
)
TD 120/ 105/ 98/ 139 110/ 144/ 110/ 112/
(mmHg) 80 75 62 /87 80 86 70 81
SPO2 95- 97 97 97 98 96 95 97
(%) 100

24
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

 Tanda-Tanda Klinis
Parameter Tanggal
15 1 17 1 1 20 21
6 8 9
Nyeri dada - - - - - - -
Bengka
- - - - - - -
k pada
kaki
Sesak nafas
+ - - - - + -
Batuk + + + + - - -

 Tes laboratorium
Parameter Nilai Normal Nilai Hasil
+ = < 1,0
Troponin 0,10
- = > 1,0
CKMB 7-25 2,5
SGOT 11-41 27
SGPT 10,41 17
Albumin 3,5-5,0 3,56
Kolestrol total <100 90
TG <150 63
HDL >50 30
LDL <100 61
GDA <200 105
Eosinofil (%) 0-4 2,2
Basofil (%) 0-1 0,8
Neutrofil (%) 51-67 74,4
Limfosit (%) 25-33 10,08
Monosit (%) 2-5 11,8
Eusinofil
3
Absolut
0,13
(10 /µL)
Basofil Absolut
3 0,05
(10 /µL)
Neutrofil Absolut
3 0,40
(10 /µL)
Limfosit Absolut
3 0,64
(10 /µL)
Monosit Absolut 0,16-1 0,70

25
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

3
(10 /µL)
Immatur Granulosit
0,30
(%)
Immature
3 Granulosit
0,02
(10 /µL)
Pasien (detik) 9,4-11,3 12,10
Kontrol (detik) 10,6
INR (detik) <1,5 1,18
APPT
Pasien (detik) 24,6-30,6 28,00
Kontrol (detik) 24,9 28,02
Hemoglobin (g/dL) 11,4-15,1 10,90
3
Eritrosit (10 /µL) 4,0-5,5 3,82
3
Leukosit (10 /µL) 4,7-11,3 5,92
Hematokrit (%) 38-42 31,30
3
Trombosit (10 /µL) 142-424 181
MCV (fL) 80-93 81,90
MCH (pg) 27-31 28,90
MCHC (g/dL) 32-36 34,80
RDW (%) 11,5-14,5 13,30
PDW (fL) 9-13 10,8
MPV (fL) 7,2-11,1 9,9
P-LCR (%) 15,0-25,0 23,4
PCT (%) 0,150-0,400 0,18

 Profil Pengobatan Pada Saat di RS


Tanggal
Nama Rute Dosis
Obat 15 16 17 18 19 20 21
Total Cairan IV 1500cc/24 √ √
jam
Oral Intake IV 1000cc/24 √ √
jam
Inf. Nacl 0,9% IV 500 cc/jam √ √ √ √

BC IV >- √ √
1000cc/ja
m
Drip ISDN IV 1 ml/jam √
Furosemid IV 3x 40 mg √ √ √ √ 2x40
mg
Furosemid PO 1x 40 mg √ √

26
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Lanzoprazole IV 1 x 30 mg √ √ √ √ √ √ √
Levemir SC 1x 12 u √ √ √ 16 u 16 u 16 u 18 U
Novorapid SC 3x 4 u √ √ √ √ √ √ √
ASA PO 1 x 80 mg √ √ √ √ √ √ √
Brilinta PO 1 x 90 mg √ √ √ √ √ √ √
Captopril PO 3x25 √ √ √ √ 3x
37,5
mg
Ramipril PO 1x 10 mg √ √
Simvastatin PO 1 x 20 mg √ √ √ √
Atorvastatin PO 1 x 40 mg √ √ √
Diazepam PO 0-0-20 √ √ √ √ Stop
Laxadin PO 1x C1 √ √ √ √ Stop
ISDN PO 3 x 10 mg √ √ √ √ √ √
Bisoprolol PO 1x 1,25 √ √
Spironolactone PO 0-25-0 √ √ √ √ √ √ √
NAC PO 3x200mg √ √ √ √
Ceftiaxon IV 1 x 1 gr √ √

Berdasarkan diagnosa, pasien terdiagnosa ADHF, yang merupakan gagal


jantung akut yang didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari
gejala gejala atau tanda tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfungsi ini
dapat berupa disfungsi sistolik maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau
ketidakseimbangan preload dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru
tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari
gagal jantung kronik (chronic heart failure) yang telah dialami sebelumnya. Tugas
jantung dalam proses memompa dan memasok darah ke seluruh tubuh tidaklah
sederhana. Atrium kanan menerima darah dari seluruh tubuh melalui vena cava,
yang kemudian dialirkan ke ventrikel kanan. Darah dari ventrikel kanan
dipompakan keluar jantung menuju ke paru-paru, untuk pertukaran karbon
dioksida dengan oksigen. Darah yang sudah dipenuhi oksigen lalu dipompakan
masuk ke atrium kiri, kemudian ke ventrikel kiri, yang selanjutnya dialirkan ke
seluruh tubuh melalui aorta. Berikut adalah tatalaksana dari ADHF:

27
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Terapi yang didapat terkat ADHF diantaranya ada furosemid (Diuretik)


Diuretik diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan penyumbatan (paru dan
edema perifer) atau dilatasi jantung (Alldredgeet al, 2013). Diuretik merupakan
satu-satunya obat yang digunakan pada terapi gagal jantung yang dapat mengatasi
retensi cairan gagal jantung. Penggunaan diuretik yang tepat merupakan kunci
keberhasilan obat lain yang digunakan pada gagal jantung Penggunaan diuretik
dosis rendah yang tidak tepat mengakibatkan retensi cairan dan penggunaan
diuretik dosis tinggi menyebabkan kontraksi volume yang dapat meningkatkan
resiko hipotensi dan insufisiensi ginjal (Yancy et al., 2013). Setelah terapi
diberikan edema yang ada pada kaki pasien mengalami perbaikan. Kemudian ada
bisoprolol (Beta bloker) Beta bloker merupakan antagonis yang mengaktifkan
sistem simpatis, secara signifikan terbukti bermanfaat dalam jangka panjang pada
gagal jantung yang berat. Penambahan beta-bloker pada terapi konvensional
dikaitkan dengan dampak yang signifikan pada morbiditas dan mortalitas. Beta-
bloker mengurangi perkembangan CHF pada pasien dengan gangguan fungsi
ventrikel jika diberikan awal periode pasca infark miokard (NHFA, 2011).
Selain itu pasien ini mendapat terapi CAD post PCI karena pada bulan
Januari 2019 pasien telah melakukan PCI, terapi yang didapat yakni: penggunaan
analgesic opioid seperti diazepam yang di indikasikan sebagai perbaikan kualitas
tidur pasien, dual antiplatelet yang digunakan selama 12 bulan (Ticagrelor,
Clopidogrel dan Aspirin), ACE inhibitor (Captopril), ACE inhibitor mengurangi
produksi angiotensin II dan mengerahkan efek biologis yang meningkatkan gejala,

28
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

mengurangi rawat inap, dan memperpanjang kelangsungan hidup. ACE inhibitor


direkomendasikan untuk semua pasien dengan gagal jantung dengan penurunan
fungsi sistolik. Efek samping utama ACE inhibitor adalah batuk (hingga 20%),
gejala hipotensi dan disfungsi ginjal (Figueroa MD, 2006). Pemberian
ACEinhibitor (Captopril) untuk mencegah kardiak remodeling (ESC, 2017),
dipilih Ace Inhibitor dari pada ARB karena Ace Inhibitor dari segi biaya lebih
murah daripada ARB namun tidak ada perbedaan efektivitas yang berkmakna
sebagai pencegahan cardiac remoedeling (Asenjo RM., Bueno H, Mcintosh M,
2017). Statin merupakan pilihan utama untuk terapi CAD post PCI (ESC, 2017).
Dual antiplatelet seperti clopidogrel dan aspirin untuk mengurangi resiko stent
trombosis (Wallentin., et al 2009). Selain itu pasien diberikan ISDN dengan
tujuan sebagai vasodilator, pemberian atorvastatin untuk mendapatkan efek
pleutropik (secondary prevention), kemudian pasien juga diberikan laxadin
(lactulose) yang bertujuan untuk profilaksis vagal reflects, pemberian lansoprazole
dan metoklopramid untuk gastric protection serta anti emetik karena penggunaan
dual antiplatelet. Berdasarkan guidline ESC 2017 terapi stemi pada pasien ini
sudah sesuai. Pada pasien ini diterapi dengan pemberian diuretic (Furosemid)
bertujuan untuk mengurangi kelebihan cairan dikaki kiri pasien, dan ditambahkan
mukolitik (N Acetyl Cystein) ditujukan untuk mengencerkan dahak dan sebagai
bronkodilator.
Diagnosa lainnya adalah pnemonia CAP yang diterapi dengan
Ceftriazone,yang termasuk kategori terapi pneumonia (PPAM 3, 2018). Pada
kasus ini pasien dirawat di RSSA masuk dalam kategori pneumonia CAP dirawat
inap intensif tanpa memiliki faktor resiko infeksi pseudomonas, maka terapi CAP
pasien ini menganut pada PPAM 2018 yaitu diberi ceftriaxone 1x 1 g.
Pada tgl 16 oktober pasien mengalami perbaikan gejala klinis dimana tidak
merasakan sesak napas, dan bengkak pada kaki menurun kemudian pada tgl 19
oktober pasien tidak mengalami batuk lagi. Sehingga pada tgl 21 pasien KRS
dengan membawa obat:
a. Aspirin 80 mg diminum 1tab pada malam hari
b. Brilinta 90mg diminum 2x 1 tab tiap 12 jam
c. Atorvastatin 40 mg diminum 1 tab pada malam hari

29
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

d. Ramipril 10mg diminum 1 x 1 tab


e. Bisoprolol 1,25mg diminum 1 tab pada pagi hari
f. Spironolacton 30 mg diminum 1 tab pada siang hari
g. ISDN 10 mg diminum 3 x 1 tab tiap 8 jam
h. NAC 200 mg diminum 3 x 1 tab tiap 8 jam
i. Cefadroxil 500 mg diminum 2 x 1 kapsul tiap 12 jam
j. Inj. Levemir 1 x 18 unit pada malam hari
k. Inj. Novorapid 3 x 4 unit

30
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pada pasien Tn YS selama perawatan di Rumah Sakit Saiful Anwar, terapi


yang diberikan efektif sehingga menunjukkan perbaikan kondisi pada pasien,
kemudian pasien keluar rumah sakit tanggal 21 ktober 2019 dengan kondisi
stabil sebagai berikut :
1. Suhu : 36°C
2. TD : 112/81 mmHg
3. Nadi : 80x/menit
4. RR : 20x/menit
5. GCS : 4-5-6
(Perbaikan kondisi pasien)

Obat yang di bawa pulang


a. Aspirin 80 mg diminum 1tab pada malam hari
b. Brilinta 90mg diminum 2x 1 tab tiap 12 jam
c. Atorvastatin 40 mg diminum 1 tab pada malam hari
d. Ramipril 10mg diminum 1 x 1 tab
e. Bisoprolol 1,25mg diminum 1 tab pada pagi hari
f. Spironolacton 30 mg diminum 1 tab pada siang hari
g. ISDN 10 mg diminum 3 x 1 tab tiap 8 jam
h. NAC 200 mg diminum 3 x 1 tab tiap 8 jam
i. Cefadroxil 500 mg diminum 2 x 1 kapsul tiap 12 jam
j. Inj. Levemir 1 x 18 unit pada malam hari
k. Inj. Novorapid 3 x 4 unit

4.2 Saran

1. Melakukan control rutin cek lab lengkap dan konsul ke poli jantung
2. Selalu kontrol tekanan darah
3. Melakukan tes gula darah

31
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Martin K .,et al, 2017, Comunity Accuired Pneumonia in Adults, Disch Arztebl
Int Journal Vol 114 (49)
RSUD Dr Saiful Anwar Malang, 2018, Panduan Penggunaan Antimikroba
Profilaksis dan Terapi Edisi III
PDPI, 2003, Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di
Indonesia
Charles F L., et al, 2009, Drug Information Handbook Ed 17.
American Diabetes Association, (2012); (2017); (2018), Standards of Medical
Carein Diabetes 2018.
Diabetes Mellitus and Oral Health. United State of America : John Wiley &
Sons. Davey , Petrick.2006. At a Glance Medicine.Jakarta : Erlangga
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik.
Freinkel Norbert. 2018. The Journal of Clinical and Applied Research and
Education, Standards of medical care in diabetes. Unites State of America :
American Diabetes Association.
Perkeni, 2015 Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
DiIndonesia,Perkeni.
Ramasamy Ravichandran and Ann Marie Schmidt. 2014. Diabetes Mellitus and
Oral Health. United State of America : John Wiley & Sons.

32
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

LAMPIRAN

Analisa Kefarmasian(SOAP)

Problem Medik ADHF dan CAD


S O A P
(subyektif (obyektif) (assesment) (plan)
)
Nyeri Nadi : 89 Aspirin (15 okt-pulang)
dada Td : MESO :
139/87 Indikasi : sebagai antiplatelet Pendarahan tidak
CAD post PCI (ESC, 2017) terjadi
Mekanisme : Aspirin (GIbleeding,mimi
menghambat sintesis platelet san, feses
melalui asetilasi enzim COX berdarah, gusi
dalam platelet secara ireversibel. berdarah)
Karena platelet tidak mempunyai
nukleus, maka selama hidupnya
platelet tidak mampu membentuk
enzim COX ini. Akibatnya sintesis
tromboksan A2 (TXA2) yang
berperan besar dalam agregasi
trombosit terhambat. Mekanisme
dengan penghambatan sintesis
prostaglandin sehingga
menyebabkan vasokonstriksi
(ESC, 2017)
Dosis Literatur : 1x 80 mg (BNF
73)
Efek Samping: Pendarahan (GI
bleeding,mimisan, feses berdarah,
gusi berdarah)
Dosis Pemberian : 1x 80 mg
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose

Nyeri Nadi : Brilanta 2x 90 mg (Ticagrelor)


dada (15,okt-pulang)
89
MESO
Td : Indikasi : sebagai antiplatelet :Pendarahan
(GIbleeding,mimi
139/87 CAD post PCI (ESC, 2017)
san, feses
Mekanisme : Metabolit aktif berdarah, gusi
berdarah)
ticagrelor akan berikatan secara
irreversibel dengan reseptor

33
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

P2Y12 dalam mencegah aktivasi


dan agregasi trombosit yang
diinduksi oleh ADP (ESC, 2017)
Dosis Terapi : 90 mg/hari
(ESC, 2017)
Efek Samping: Pendarahan (GI
bleeding,mimisan, feses
berdarah, gusi berdarah)
Dosis Pemberian : 90 mg/hari
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose

Inj.Lansoprazole (15okr- METO : tidak


21okt) erjadi
Pendarahan (GI
Indikasi : Gastric protection dari bleeding,
dual antiplatelet (wen hu, 2018. mimisan, feses
influence of PPI on clinical berdarah, gusi
outcomes in CH patient berdarah)
receiving aspirin and
clopidogrel) MESO: Pusing,
Mekanisme : Inhibitor pompa Diare, Mulut
proton mengikat H + / K + - kering,
mengubah ATPase (pompa takikardia,
proton) dalam sel-sel parietal mialgia
lambung, menghasilkan
penekanan sekresi asam basal
dan terstimulasi
Dosis literatur : 30 mg lebih
dari 30 menit setiap hari hingga
7 hari. (BNF 73)
Efek Samping: : Pusing, Diare,
Mulut kering, takikardia, mialgia
Dosis Pemberian : 2x30 mg /
hari
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose

34
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Simvastatin 1x 20 mg (15okt- METO:


17okt) Nilai LDL =
Atorvastatin 1x 40 mg(19okt- <70mg/dL
pulang) (ESC, 2017)
Indikasi : sebagai pleiotropic MESO:
effect (secondary prevention) kelemahan otot,
(Mishra, 2008. Role of Statin sakit kepala,
in Heart Failure) konstipasi
Mekanisme : Menghambat
secara kompetitif koenzim HMG
CoA reduktase, yakni enzim
yang berperan pada sintesis
kolesterol, terutama dalam hati
Dosis literatur simvastatin :
20-40 mg/ hari (BNF 73)
Dosis pemberian simvastatin :
20 mg/hari.
Efek Samping : kelemahan otot,
sakit kepala, konstipasi
Dosis literatur atorvastatin:
40 mg/ hari (BNF 73)
Dosis pemberian atorvastatin :
40 mg/hari.
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose

35
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Edema Injeksi Furosemid METO: edema


paa kaki
( 15okt-19okt) hilang
Furosemid tab (20okt-21okt)
MESO:
Indikasi : mengurangi edema Hipokalemi,
pada kaki (perki, 2015) Hiponatremi
Mekanisme : inhibisi sekresi K=3,5-5,0 (nilai
Na+, K+, 2Cl- di Loop of Henle normal)
dan menyebabkan retensi air
padaurin

Dosis literatur : LD 20- 80mg


(iv) dilanjutkan 5- 10mg/jam
(maks <100mg 6 jam pertama
dan <240mg pada 24
jampertama)
Dosis pemberian: 5mg/jam,
10mg/jam (iv)
1x 40 mg (oral)
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose
ESO : Hipokalemi, Hiponatremi,
Hipotensi
(perki, 2015)
Nyeri Nadi : 89 Drip ISDN 1ml/jam (15 okt) METO:
dada Td : ISDN (16 okt-pulang) nyeri dada
139/87 berkurang.
Indikasi: chest pain MESO:

36
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

mekanisme: Isosorbide Mual, muntah


Dinitrate melepasan oksida nitrat
menyebabkan stimulasi siklase
guanylyl intraseluler yang
menyebabkan peningkatan GMP
siklik. Ini menghasilkan
relaksasi otot polos pembuluh
darah pembuluh darah arteri dan
vena. Peningkatan pooling vena
menurunkan tekanan ventrikel
kiri (preload) dan dilatasi arteri
menurunkan resistensi
arteri(afterload).
Dosis : 30-120 mg / hari dalam
dosis terbagi
Dosis pemberian : 3x 10
mg/hari
Efek Samping: mual, muntah
Interaksi obat : captopril
(meningkatkan efek sinergis dari
obat anti HT (BNF 57)

Bisoprolol Inisiasi (19okt- METO : HR,RR


21okt) MESO : mual,
Bisoprolol tablet 1,25 mg muntah,
(pulang) konstipasi
Indikasi : mengurangi HR
(ESC,2017)
Mekanisme : dengan
memperlambat detak jaantung

37
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

dan mengurangi kerja jantung


berkontraksi
Dosis Literatur : 1,25 mg/ hari
dalam 1 minggu diberikan pada
pagi hari
Efek Samping : : mual, muntah,
konstipasi
Dosis pemberian : 1,25 mg /
hari
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose
(BNF 57)

Captopril (15okt-19okt) METO: TD, HR


Ramipril (20okt-pulang)
Indikasi : anti remodialing MESO:
Mekanisme : inhibisi AT1 ke Batuk kering,
AT2 dan terjadi penumpukan hiperkalemi
bradikinin yang menekan efek
growth factor Saran:
Dosis literatur : 3x 6,25mg- monitoring efek
12,5mg (BNF 72) samping dari
Efek Samping : Batuk kering, captopril
hiperkalemi
Dosis pemberian:3x6,25mg
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose

Spironolakton ( 15okt – 21okt) METO: TD, HR


Indikasi : anti remodialing MESO: mual,

38
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Mekanisme : meningkatkan muntah


ekskresi natrium, air, dan klorida
sehingga menurunkan volume
darah dan cairan ekstraseluler
sehingga terjadi penurunan curah
jantung dan tekanan darah
Dosis literatur : 25-100 mg per
hari (BNF 72)
Efek Samping : mual, muntah
Dosis pemberian: 1 x 25 mg
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose
Diazepam (15okt – 18okt) METO:
Indikasi : meningkatkan perbaikan
kualitas tidur pasien agar tidak kondisi umum,
memperburuk kondisi pasien kualitas tidur
Mekanisme : berikatan dengan pasien baik
reseptor GABA-A meningkatkan MESO: konstipasi
bukaan reseptor dan
meningkatkan efek dari GABA
Dosis literatur : 2 mg/hari,
malam (BNF 72)
Efek Samping : konstipasi
Dosis pemberian: 1 x 2 mg
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose

39
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Problem Medik Pneumonia CAP


S O A P
(subyekti (obyektif) (assesment) (plan)
f)
Normal Saline 0,9%(500cc/24 METO :
jam) Terpenuhinya
elektrolit tubuh
Indikasi : memelihara Nilai normal :
keseimbangan cairan tubuh dan Na (136-145
nutrisi mmol/L)
K (3,5-5,0 mmol/L)
Mekanisme Kerja : Natrium Cl (98-106
Klorida merupakan garam mmol/L)
utama untuk mempertahankan
tonisitas plasma (Lacy, 2009) Saran : Jaga
Dosis : 500 cc/24 jam keseimbangan
elektrolit tubuh,
konsumsi air putih
yang cukup

Deman, Inj.Ceftriaxon 2 x 1g (18okt- MESO : mual dan


batuk 21okt) muntah
berdahak, Cifadroxil 2x 500mg (pulang)
nyeri Indikasi Cefriaxone: lini ketiga METO :
dada dari pengobatan pneumonia cap Tanda-tanda
rawat inap biasa (PPAM, 2019) Infeksi
Indikasi Cefadroxil : lini TTV :
pertama dari pengobatan - Suhu : 36-37°C
pneumonia cap rawat jalan -neutrofil : 51-67
(PPAM, 2019) - SGOT 0-40 u/l
Mekanisme kerja Cefriaxone: - SGPT 3,5-5,0 u/l
Menghambat sintesis dinding
sel bakteri dengan mengikat
satu atau lebih protein pengikat
penisilin (PBs) yang pada
akhirnya menghambat
transpeptidasi akhir sintesis
peptidoglikan pada dinding sel
bakteri, sehingga menghambat
biosintesis dinding sel (Lacy,
2009)
Mekanisme kerja Cefadroxil :
Sefalosporin termasuk golongan
betalaktam spektrum luas yang
bekerja dengan cara
menghambat sintesis dinding sel
mikroba. (Abdurrachman et al,
2017)

40
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Lama penggunaan selama 1- 2


minggu (PPAM,2019)
Dosis terapi inj. ceftriaxone:
IV :1 g sekali hours (DIH 17)
Dosis pemberian cefadroxil:
2x 500 mg
sehari ; pertimbangkan 2 g / hari
untuk pasien berisiko infeksi
yang lebih parah dan / atau
organisme resisten (status ICU,
usia> 65 tahun, infeksi yang
disebar luaskan) (DIH 17)
Dosis pemberian inj.
Cefrtiaxone : 2x 1g
Dosis terapi cefadroxil : Oral:
250-500 mg every 8
Dosis sudah sesui, tidak
overdose/underdose
ESO : sesak (>10%)

N-Acetylcysteine (18 okt- METO: bisa


pulang) mengeluarkan
dahak Pa
Indikasi : Mukolitik (DIH17)
Mekanisme : memecah MESO: mual
benang mukoprotein dan muntah, diare,
mukopolisakarida (DIH 17) pusing
Efek Samping : Mual, muntah,
diare
Dosis literatur : 3x200mg
Dosis pemberian : 3x200mg
Pemberian dosis sudah sesuai
tidak overdose dan underdose
(BNF 57)

Problem Medik Diadetes Militus Tipe 2


S O A P
(subyektif) (obyektif) (assesment) (plan)
GDA : Levemir (15 Okt - pulang) Meto: gula darah
puasa memenuhi
175 mg/dl
target (GDP (80–
Indikasi : mengatur gula
120mg/dl)
darah puasa
Meso: monitoring
Mekanisme : treonin terminal
tanda-tanda
dibuang dari posisi B30 dan
hipoglikemia (rasa
asam miristat dilekatkan pada
lapar, berkeringat,

41
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

lisin terminal B29, modifikasi gelisah, gemetar,


tersebut akan meningkatkan pusing)
ketersediaan insulin di
jaringan subkutan (DIH 2017)
Efek Samping : hipoglikemia
Dosis literatur : 10U 1-2x
sehari (DIH 2017)
Dosis pemberian : 12U/hari
(15,16,17); 16U (18,19,20) ;
18U/hari (pulang)
Pemberian dosis sudah
sesuai tidak overdose dan
underdose (DIH 2017)
GDA : Novorapid (15 Okt - pulang) Meto: gula darah
2JPP memenuhi
175 mg/dl
target (GD2jPP (<
Indikasi : mengatur gula
140 mg/dl)
darah setelah makan
Meso: monitoring
Mekanisme : insulin aspart
tanda-tanda
dibuat melalui substitusi
hipoglikemia (rasa
prolin B28 dengan asam
lapar, berkeringat,
aspart yang bermuatan
gelisah, gemetar,
negative, mdofikasi tersebut
pusing)
mengurangi interaksi normal
antar monomer Pro 28 dan
Gly 23 sehingga menghambat
self-agrgregation insulin
Efek Samping : hipoglikemia
Dosis literatur : 10U 1-
2xsehari (DIH 2017)
Dosis pemberian : 3 x 4U

Pemberian dosis sudah


sesuai tidak overdose dan
underdose (DIH 2017)

Tabel DRP
permasalahan akibat intervensi
Aspirin + Ticagrelor Meningkatkan efek Monitoring tanda-tanda
samping potensial yaitu pendarahan (mimisan,
Bleeding gusi berdarah, feses
berdarah)

42
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Study Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Insulin Levemir + Meningkatkan efek Monitoring tanda-tanda


Novorapid samping potensial yaitu hipoglikemia (lemas)
hipoglikemia
Furosemid + Captopril + Meningkatkan efek Monitorng tanda-tanda
Spironolakton samping potensial yaitu hipotensi
hipotensi

Asuhan Kefarmasian
2. KIE
a. Aspirin 80 mg diminum 1tab pada malam hari
b. Brilinta 90mg diminum 2x 1 tab tiap 12 jam
Penggunaan dual antiplatelet selama 1 tahun kemudian dilakukan
pengecekan tanda-tanda pendarahan bila tidak ada dapat digunakan single
antiplatelet
c. Atorvastatin 40 mg diminum 1 tab pada malam hari
d. Ramipril 10mg diminum 1 x 1 tab
e. Bisoprolol 1,25mg diminum 1 tab pada pagi hari
f. Spironolacton 30 mg diminum 1 tab pada siang hari
Meredakan edema pada kaki bagian kiri
g. ISDN 10 mg diminum 3 x 1 tab tiap 8 jam
h. NAC 200 mg diminum 3 x 1 tab tiap 8 jam
Untuk mengencerkan dahak yang kental dan dapat dikeluarkan pada saat
batuk
i. Cefadroxil 500 mg diminum 2 x 1 kapsul tiap 12 jam
Untuk pengibatan pneumonia cap, digunakan selama 1-2 minggu
j. Inj. Levemir 1 x 18 unit pada malam hari
k. Inj. Novorapid 3 x 4 unit
Untuk mengontril gula darah pasien, dan hati-hati terhadap efek samping
hipoglikemia, segera makan yang manis jika merasakan pusing/lemas
3. Non Farmakologi
a. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur
b. Meningkatkan aktivitas fisik paling tidak berjalan 30 menit/hari

43
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

LAPORAN KLINIS
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER
ANGKATAN LVII
UNIVERSITAS SURABAYA
DI INSTALASI FARMASI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 2, Klojen, Kota Malang
(7 OKTOBER – 29 NOVEMBER 2019)
Analisis Kefarmasian Pada Pasien Peritonitis Generalisata
Pasien IRNA II Ruang 17

Oleh :

Asti Gusni Dharmawati 114218504


Awanda Dahniar 114218522
Ayu Amalia Putri 114218545

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

2019
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

0
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii


BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 1
1.1 Apendisitis .................................................................................................... 1
1.1.1 Definisi Apendisitis.............................................................................. 1
1.1.2 Etiologi Apendisitis.............................................................................. 2
1.1.3 Gejala Apendisitis ................................................................................ 2
1.2 Peritonitis ...................................................................................................... 3
1.2.1 Definisi Peritonitis ............................................................................... 3
1.2.2 Etiologi Peritonitis ............................................................................... 3
1.2.3 Gejala Peritonitis .................................................................................. 4
1.2.4 Patofisiologi Peritonitis ........................................................................ 4
1.2.5 Manifestasi Peritonitis.......................................................................... 6
1.2.6 Penatalaksanaan Peritonitis .................................................................. 6
BAB 2 PROFIL PASIEN .................................................................................. 8
2.1 Profil Pasien .................................................................................................. 8
2.2 Tanda-tanda Vital Pasien .............................................................................. 8
2.3 Tanda-tanda Klinis ........................................................................................ 8
2.4 Data Laboratorium ........................................................................................ 9
2.5 Profil Terapi .................................................................................................. 10
2.6 Analisis Kefarmasian (SOAP) ...................................................................... 10
2.6.1 Pengobatan pada Saat di Ruangan ....................................................... 10
2.6.2 Pengabatan pada Saat KRS .................................................................. 17
BAB 3 PEMBAHASAN .................................................................................... 18
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 24

ii
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Apendisitis
1.1.1 Definisi Apendisitis
Apendisitis merupakan salah satu penyakit akut abdomen dimana terjadi
inflamasi pada apendiks. Apendisitis sering terjadi baik pada anak - anak maupun
pada orang dewasa. Insiden tertinggi apendisitis pada laki-laki adalah pada umur 10-
14 tahun dengan angka kejadian 27,6% kasus per 10.000 populasi. Insiden tertinggi
untuk perempuan yaitu pada usia 15-19 tahun dengan angka kejadian 20,5% kasus
per 10.000 populasi, dan insiden terendah terjadi pada bayi. Apendisitis dapat
diklasifikasikan menjadi apendisitis akut dan kronik. Dimana apendisitis akut jauh
lebih sering dijumpai dari pada apendisitis kronik (Zulfikar et al, 2015)
Apendisitis akut adalah peradangan akibat infeksi mikroorganisme yang
masuk ke lapisan submucosa apendiks dan akhirnya melibatkan seluruh lapisan
dindingnya. Peradangan akut dapat menimbulkan sumbatan lumen apendiks,
sehingga menyebabkan bendungan darah vena dan penutupan arteri. Hal ini
mengakibatkan terjadinya gangren bagian ujung atau tempat sumbatan yang terjadi.
Komplikasi perforasi dapat terjadi, sehingga infeksi menyebar ke jaringan lokal
seperti usus halus, atau menimbulkan peritonitis generalisata (Festiawan et al., 2014).
Diagnosis apendisitis ditegakkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan ultrasonography (USG). Pemeriksaan suhu tubuh
termasuk dalam salah satu kriteria pada skor alvarado untuk penegakkan diagnosis
apendisitis. Suhu tubuh < 37°C didapatkan pada pasien apendisitis tanpa komplikasi
dan pada kasus perforasi terdapat demam tinggi dengan rata-rata 38,3°C. Kadar
leukosit secara signifikan lebih tinggi pada kasus perforasi dibandingkan dengan
tanpa perforasi. Leukositosis pada pasien apendisitis akut dapat mencapai 10.000 -

1
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

18.000 sel/mm3 dan jika > 18.000 sel/mm3 maka umumnya terjadi peritonitis akibat
perforasi (Widya & Sabir, 2014).

1.1.2 Etiologi Apendisitis


Penyakit apendisitis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor
pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui
secara pasti, diantaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen)
appendiks oleh timbunan tinja/feses yang keras (fekalit), hyperplasia (pembesaran)
jaringan limfoid, erosi mukosa oleh cacing askaris dan E.histolytica, parasite
(Zulfikat et al, 2015).

1.1.3 Gejala Apendisitis


a. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus.
b. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
c. Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika
urinaria.
d. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami
diare, timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah
rektum.
e. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 C -
38,5 C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
f. Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik
yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang
mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di
daerah tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau
punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan
apendiks retroileal bias menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi
pada arteri spermatika dan ureter.

2
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

1.2 Peritonitis
1.2.1 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi
aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis
dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer, peritonitis sekunder. Peritonitis
primer disebabkan oleh penyebaran infeksi melalui darah dan kelenjar getah bening
di peritoneum dan sering dikaitkan dengan penyakit sirosis hepatis. Peritonitis
sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus
gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi (Japanesa
et al, 2016).

1.2.2 Etiologi Peritonitis


a. Peritonitis sekunder adalah infeksi peritoneum akut akibat kehilangan
integritas saluran pencernaan atau pankreas yang terinfeksi dan mengalami
nekrosis. Aerob dan anaerob sering terlibat, paling banyak yang umum adalah
Escherichia coli dan Bacteroides fragilis. Invasi bakteri - bakteri dapat
menyerang peritoneum
b. Apendiks yang pecah, usus besar yang pecah salah satu kondisi ini yang dapat
menyebabkan bakteri masuk ke peritoneum melalui lubang saluran
pencernaan
c. Invasi langsung dari lingkungan eksternal (mis. luka yang menembus perut,
infeksi saat laparotomi), pasien dengan dialisis terus menerus.
d. Translokasi dari viscera intra-abdominal yang rusak (mis. perforasi viskus
(mis. ulkus duodenum berlubang), gangren dari viscus (mis. usus buntu),
trauma, iatrogenik (mis. kebocoran anastomosis).

3
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

1.2.3 Gejala Peritonitis


Gejala utama adalah sakit perut. Rasa sakit bisa terasa sangat tajam rasa sakit
yang dialami sering dan terus menerus, dan akan memburuk jika bergerak. Mayoritas
pasien berbaring diam dengan lutut ditekuk dan kepala terangkat hal ini dilakukan
agak mengurangi ketegangan dinding perut dan rasa sakit yang dialami. Apendiks
yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala
sebagai berikut (Ordoñez & Puyana, 2006):
a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b. Nyeri perut
c. Mual dan Muntah
d. Suhu tubuh bisa naik hingga lebih dari 38°C
e. Penurunan denyut nadi
f. Tekanan darah mengingkat
g. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
h. Pembegkakan perut
i. Menghilangnya bising usus
j. Kehilangan selera makan
k. Kelelahan
l. Lebih sedikit buang air kecil

1.2.4 Patofisiologi Peritonitis


Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi
aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis
sekunder umum yang bersifat akut disebabkan oleh berbagai penyebab. Infeksi
traktus gastrointestinal, infeksi traktus urinarius, benda asing seperti yang berasal dari
perforasi apendiks, asam lambung dari perforasi lambung, cairan empedu dari
perforasi kandung empedu serta laserasi hepar akibat trauma.

4
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Gambar 1. Patofisiologi Peritonitis

Pasien Peritonitis pada awalnya mengalami Apendisitis (usus buntu). Pada


apendisitis adanya obstruksi lumen apendiks dan timbulnya infeksi bakteri. Obstruksi
luminal dapat dihasilkan oleh berbagai mekanisme dan menghasilkan retensi lendir.
Jika infeksi bakteri terjadi, infeksi tekanan intraluminal meningkat, menyebabkan
gangguan aliran limfatik dan perkembangan edema apendiks. Proses ini mengarah
pada apendisitis akut yang ditandai dengan edema di apendiks dan tekana intaluminan
menjadi jelas dengan pembentukan beberapa abses di dinding dan cairan purulen.
Kondisi ini jika berkembang lebih lanjut dan menyebabkan terganggunya sirkulasi
lokal dan akan mengakibatkan infark di mana pasokan darah tidak dapat terdistribusi
ke jaringan menyebabkan nekrosis dan mengarah pada perforasi.

5
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

1.2.5 Manisfestasi Klinis


Bermula dari nyeri di daerah umbilikus (nyeri bersifat severe), terdapat juga
keluhan anoreksia, malaise dan demam, biasanya terjadi konstipasi tetapi juga bisa
terjadi diare, mual, muntah, rasa nyeri bertambah jika melakukan pergerakan,
berjalan atau batuk. Peritonitis yang tidak ditangani secara tepat dapat termanifestasi
menjadi sepsis. Manifestasi sepsis dapat ditinjau berdasarkan indikator klinis (suhu,
wbc, neutrofil, limfosit, tekanan darah, hasil kultur), Syok (hipovolemik).

1.2.6 Penatalaksanaan Peritonitis


Diupayakan untuk memperbaiki status hemodinamik dan pernapasan pasien
yang terganggu dalam waktu 6 jam perawatan di ICU. Volume peredaran darah yang
efektif dan dukungan inotropik / vasopresor sering dibutuhkan. Penggunaan
dobutamin yang bertujuan bertujuan agar nilai hemoglobin di atas 7 gr / dL. Transfusi
sel darah merah diberikan ketika ada perdarahan aktif atau jika saturasi oksigen
campuran kurang dari 70% dan nilai hemoglobin kurang dari 7. Menggunakan
kristaloid pasien dapat dengan mudah membutuhkan tiga hingga enam liter pada jam-
jam pertama, tergantung pada keadaan pasien dan penyakitnya. Glukosa darah juga
dimonitor dengan ketat, bertujuan untuk mempertahankan nilai sekitar 220 mg / dL.
Semua pasien menerima obat profilaksis, yaitu omeprazol untuk pencegahan stress
ulcer dan heparin subkutan untuk pencegahan penyakit tromboemboli. Nutrisi enteral
lebih disukai dari pada intravena. Penggunaan steroid dosis rendah selama 7 hari
diindikasikan jika keadaan syok tetap terjadi meskipun resusitasi memadai, jika ada
respons yang buruk terhadap vasopresor atau insufisiensi adrenal.
Terapi antibiotik harus dimulai sesegera mungkin. Terapi awal diberikan
secara empiris. Pemilihan agen antimikroba harus didasarkan pada kecurigaan
mikroorganisme yang mengindikasi pasien dan memilih antibiotik yang memiliki
kapasitas untuk mencapai jumlah yang memadai kadarnya dalam rongga peritoneum.
Umumnya perforasi saluran pencernaan dikaitkan dengan bakteri gram negatif, yang
sensitif terhadap sefalosporin dan penisilin. Perforasi usus kecil dan usus besar distal

6
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

umumnya hadir dengan polimikroba aerob dan anaerob bakteri. Peritonitis sekunder
ditandai oleh kultur positif dengan kombinasi bakteri berikut: E Coli, Streptococcus,
Enterobacter spp, Klebsiella spp, enterococci, Pseudomona aeruginosa, Proteus spp,
Staphylococci aurous. Dalam kasus peritonitis moderat atau yang didapat masyarakat
penggunaan monoterapi cukup. Terapi lini pertama mungkin berbeda dari satu
lembaga ke lembaga lainnya, dan mungkin termasuk obat anti - anaerob seperti
metronidazol atau clindamicina, dikombinasikan dengan aminoglikida dalam kasus-
kasus tertentu (gentamisin atau amikacyn), ciprofloxacyn dan sefalosporin generasi
ketiga atau keempat (ceftriaxone atau sefotaksim). Pada kasus yang parah dan pasien
yang memiliki risiko tinggi infeksi nosokomial, penulis menggunakan monoterapi
awal dengan piperasilin - tazobactam, atau tipe karbapenem (imipenem atau
meropenem). Alternatifnya adalah penggunaan sefalosporin dan metronidazol
generasi keempat (Ordoñez & Puyana, 2006).
Penatalaksanaan terapi untuk Appendicitis Acute Perforata adalah dengan
pemberian IV cairan (cairan kristaloid dan elektrolit), antibiotic spektrum luas, dan
IV analgesic opioid (Skipworth, 2007).

•High-flow oxygen is vital for all shocked patients.


High-flow •hypoxia can be monitored by pulse oximetry or measurement of arterial blood gases.
Oxygen

•Fluid resuscitation is initially with crystalloids (i.v), the volume being dependent on the degree of
shock and dehydration. Electrolyte (especially potassium) replacement may be required.
Fluid •Correct shock, if present, with 20 mL/kg normal saline as a rapid IV bolus. If the child is not in shock
Resuscitation but is dehydrated, give 10-20 mL/kg half-strength normal saline plus 5% glucose over 20 minutes.

•Give antibiotics once the diagnosis is established: Ampicillin (25-50 mg/kg IM or IV four times a day),
Gentamicin (7,5 mg/kg IM or IV once a day), and Metronidazole (10 mg/kg three times a day).
Antibiotics

•Opiate analgesia (i.v) and an appropriate antiemetic will be required. Morphine IV continuous
infusion (as required) and/or Acetminophen as needed for pain/fever.
Analgesa

Gambar 2. Penatalaksanaan Terapi Appendicitis pada Pediatrik

7
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB 2

PROFIL PASIEN

2.1 Profil Pasien

Nama / Usia / BB An. MZA / 5 thn / 25kg


Alamat Jl. Mastrip (Malang)
Diagnosa Awal Peritonitis Generalisata et causa Appendict Acute Perforata
Diagnosa Akhir Peritonitis Post Appendectomy Perlaparotomy
MRS/KRS 27-10-2019 s/d 01-11-2019
Alasan MRS Appendectomy Perlaparotomy
Riwayat Alergi Tidak ada

2.2 Tanda-Tanda Vital Pasien

Parameter Nilai Tanggal


Normal 28/10/19 29/10/19 30/10/19 31/10/19 01/11/19
Suhu (°C) 36-37 36,8 37,5 36,8 36,4 36,7
Nadi 80-120 90 92 98 90 88
(x/menit)
RR 20 24 22 18 18 20
(x/menit)
Tek.Darah 140/90 95/40 - - - -
(mmHg)

2.3 Tanda-Tanda Klinis

Tanggal
Data
28/10/19 29/10/19 30/10/19 31/10/19 01/11/19
Nyeri √ √ √ - -
Demam √ √ - -
Mual - - - - -
Muntah - - - - -
Flatus - - - √ √

8
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

2.4 Data Laboratorium

Parameter Normal 29/10/19 30/10/19 31/10/19 Keterangan


Value
Hemoglobin 11,4- 10,90 - -
(HGB) 15,1
g/dL
Eritrosit 4,0-5,0 4,13 - -
(RBC) 10³/μL
Leukosit 4,7-11,3 18,50 - - Peningkatan
(WBC) 10³/μL nilai leukosit
dapat
menunjukkan
adanya
infeksi
Hematokrit 38-42% 31,80 - -
Trombosit 142-424 293 - -
(PLT) 10³/μL
MCV 80-93 fL 77,00 - -
MCH 27-31 pg 26,40 - -
MCHC 32-36 34,30 - -
g/dL
RDW 11,5-14 12,70 - -
%
PDW 9-13 fL 8,3 - -
MPV 7,2-11,1 8,8 - -
fL
P-LCR 15,0- 14,1 - -
25,0 %
PCT 0,150- 0,26 - -
0,400 %
Albumin 3,5-5,0 3,69 - -
g/dL
Natrium / Na 135-145 130 132 137
mmol/l
Potassium / K 3,5-5,0 2,78 2,70 3,38 Adanya
mmol/l penurunan
nilai
pottasium / K
dapat
menyebabkan
resiko tinggi

9
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

terjadinya
hipokalemia
Chlorida / Cl 98-106 103 105 106
mmol/l

2.5 Profil Terapi

Obat Rute Dosis 28/10 29/10 30/10 31/10 01/11


O2 NRBM 8 tpm √ - - - -
RL IVFD 60 cc/jam √ - - - -
KN3B : D5 ½ IVFD 500 : 1000 cc/24 √ - - - -
NS jam
D5 ½ NS IVFD 1500 cc/24 jam - √ √ - -
D5 ½ NS IVFD 1000 cc/24 jam - - - √ √
Cefazoline IV 2 dd 500 mg √ - - - -
Gentamisin IV 2 dd 40 mg √ √ √ √ √
Metronidazole IV 3 dd 250 mg √ √ √ √ √
Metamizole IV 3 dd 500 mg √ √ √ √ √
Morfin + IV 1 cc/jam √ - - - -
Ketamin
Omeprazole IV 1 dd 40 mg √ - - - -
1 dd 30 mg - √ √ √ √
KCL INF 25 meq - √ - - -
Tramadol DRIP 100 mg/ 24 jam - - k/p - -
dalam PZ 500 cc
Paracetamol PO 3 dd 250 mg - - - - √
(Obat KRS)

2.6 Analisis Kefarmasian (SOAP)

2.6.1 Pengobatan pada saat di ruangan

Hari / Subjective Objective Assasment Plain


Tanggal
28/10/19 - K: 2,78 KN3B : D5 ½ NS 500 : METO :
mmol/l 1000cc/ 24 jam K 3,5-5,0
mmol/l

10
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Komposisi : MESO :
KN3B : Na 50 meq, K 20 Monitoring
meq, Cl 50 meq, laktat 20 kadar
meq, Glukosa 27 g potassium dan
D5 ½ NS : Na 77 meq, Cl kadar natrium
77 meq, dextrose 50 g,
(NaCl 4,5 g)

Indikasi :
Hipokalemia dan
Hiponatremi, rumatan
untuk kasus kasus pasca
operasi

ESO :
Hipernatremi,
hyperkalemia

29/10/19 - Na : 130 (29 s/d 30/10/19) METO :


mmol/l IVFD D5 ½ NS 1500 Na : 135-145
K : 2,78 cc/24 jam mmol/l
mmol/l (31/10/19 s/d 01/11/19) K : 3,5-5,0
Cl :103 IVFD D5 ½ NS 1000 mmol/l
mmol/l cc/24 jam Cl : 98-106
30/10/19 Komposisi : mmol/l
Na : 132 Na 77 meq, Cl 77 meq,
mmol/l dextrose 50 g, (NaCl 4,5 g) MESO :
K : 2,70 Monitoring
mmol/l Indikasi : kadar
Cl :105 Hiponatremia elektrolit (Na,
31/10/19 mmol/l Cl, K)
ESO :
Na : 137 Hipernatremia
mmol/l
K : 3,38
mmol/l
Cl :106
mmol/l
28/10/19 Demam Suhu : 36,8°C Inj. Cefazoline 2 dd 500 METO :
naik turun WBC : 18,50 mg Suhu : 36-
10³/μL 37°C
WBC : 4,3-

11
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Dosis Literatur : 10,3 10³/μL


IV : 25-50 mg/kg/hari HR : 80-
(PPAM, 2019) 85x/menit
RR :
Indikasi : Sebagai 20x/menit
antibiotik profilaksis
MESO :
Mekanisme : Diare, oral
Menghambat candidiasis
transpeptidase sintesis dan Stevens
peptidoglikan dinding sel Johnson
bakteri Syndrome

ESO : Rekomendasi
Diare, Oral candidiasis, DRP :
Stevens Johnson Syndrome Cefazoline
tidak perlu
DRP : diberikan
Dalam kondisi ini pasien
tidak memerlukan AB
sebagai profilaksis
28/10/19 Demam Suhu : 36,8°C Inj. Gentamicin 2 dd 40 METO :
naik turun WBC : 18,50 mg Suhu : 36-
10³/μL 37°C
HR : Dosis Literatur : WBC : 4,3-
90x/menit 2,5 mg/kg / 8 jam (BNF 10,3 10³/μL
RR : For Children P. 312) HR : 80-
24x/menit 2-2,5 mg/kg (PPAM, 85x/menit
29/10/19 Suhu : 37,5°C 2019) RR :
HR : 1-2,5 mg/kg / 8-12 jam 20x/menit
92x/menit (DIH ed 17)
RR :
22x/menit Indikasi :Sebagai MESO :
antibiotik empiris Monitoring
Nephrotoxicity
30/10/19 Suhu : 36,5°C Mekanisme : dengan cara
HR : Menghambat sintesis mengecek faal
98x/menit protein bakteri dengan ginjal (Ureum
RR : mengikat sub unit ribosom dan creatinin)
18x/menit 30s dan 50s yang
mengaibatkan kerusakan

12
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

31/10/19 Suhu : 36,4°C pada membran bakteri.


HR :
90x/menit ESO :
RR : Nephrotoxicity
18x/menit

01/11/19 Suhu : 36,7°C


HR :
88x/menit
RR :
20x/menit

28/10/19 Demam Suhu : 36,8°C Inj. Metronidazole 3 dd METO :


naik turun WBC : 18,50 250 mg Suhu : 36-
10³/μL 37°C
HR : Dosis Literatur : WBC : 4,3-
90x/menit IV 500 mg/ 6-8 jam, maks 10,3 10³/μL
RR : 4g/hari (DIH ed 17) HR : 80-
24x/menit 7,5 mg/kg / 8 jam, maks 85x/menit
29/10/19 Suhu : 37,5°C perdosis 400 mg (BNF For RR :
HR : Children P. 333) 20x/menit
92x/menit IVFD 7,5-15 mg/kg
RR : MESO :
22x/menit Indikasi : Konstipasi dan
Sebagai antibiotik empiris diare
30/10/19 Suhu : 36,5°C post op
HR :
98x/menit Mekanisme :
RR : Menghambat sintesis asam
18x/menit nukleat dengan merusak
untai DNA
31/10/19 Suhu : 36,4°C ESO :
HR : Konstipasi, diare
90x/menit
RR :
18x/menit

13
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

01/11/19 Suhu : 36,7°C


HR :
88x/menit
RR :
20x/menit

28/10/19 Nyeri post VAS : - Inj. Metamizole 3 dd 500 METO :


s/d op mg Monitoring
30/10/19 skala nyeri
Dosis Literatur : (<3)
10-15 mg/kg BB (The
2014 guidelines for post- MESO
operative pain Drowsiness,
management) gastric
discomfort and
Indikasi :Analgesik post nausea
op

Mekanisme :
Menurunkan sintesis
prostaglandin dengan
menghambat COX 1 dan
COX 2 dan menstimulasi
sekresi beta endorpin dari
pituitary hipotalamus (The
2014 guidelines for post-
operative pain
management)

ESO :
Drowsiness, gastric
discomfort and nausea
28/10/19 Nyeri post VAS : - MOKET (Morphine 5 METO :
op mg + Ketamin 25 mg) Monitoring
1cc/24 jam skala nyeri
(Pemberian terapi hanya (<3)
menghabiskan dari OK)
MESO :
Dosis Literatur : *Morfin :
0,15-1,0 mg/kgBB mual, muntah,
sedasi,
konstipasi

14
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Indikasi : *Ketamin :
Sebagai analgesi post op mual, muntah,
halusinasi
Mekanisme :
*Morfin : Mengikat
reseptor opiat di SSP
sehingga dapat
menyebabkan penghambat
jalur nyeri, mengubah
persepsi dan respons
terhadap rasa sakit
*Ketamin: Merilis
katekolamin endogen
(epineprin, norepineprin)
yang dapat menjaga
tekanan darah dan detak
jantung

ESO :
*Morfin : mual, muntah,
sedasi, konstipasi
*Ketamin : mual, muntah,
halusinasi
28/10/19 Mual (-) - Inj Omeprazole 1 dd 40 METO :
s/d Muntah (-) mg ~ inj Omeprazole 1 Monitoring
01/11/19 dd 30 mg stress ucer (-)
Mual (-)
Dosis Literatur : Muntah (-)
Dosis awal 500 mcg/kg
sekali setiap hari, maks
perdosis 20 mg, meningkat MESO :
jika perlu 2 mg/kg sekali Diare,
sehari, maks perdosis Flatulance
40mg (BNF For Children
P. 58)
Rekomendasi
Indikasi : DRP :
Sebagai profilaksis stress Dosis
ulcer diturunkan
menjadi 1 dd
12,5 – 20 mg

15
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Mekanisme :
Meningkatkan H+/K+
untuk mengubah ATPase
dalam sel-sel parietal
lambung dan menghasilkan
penekan sekresi asam
lambung

ESO :
Diare, flatulance

DRP :
Dosis Omeprazole
melebihi dosis lazim
29/10/19 - K: 2,78 IVFD KCl 25 meq METO :
mmol/l Potassium/ K :
Dosis Literatur : 3,5-5 mmol/l
0,5-1 meq/kg/dose
(DIH ed 17) MESO :
Monitoring
Indikasi: kadar kalium
Sebagai terapi hipokalemia

Mekanisme :
Memoderasi kinerja saraf
dan otot melalui regulasi
potensial tindakan eksitasi

ESO:
Hiperkalemia
30/10/19 Nyeri (+) VAS : - Tramadol 100 mg/24 jam METO :
(k/p) Monitoring
skala nyeri
Dosis Literatur : (<3)
100 mg, kemudian 50 mg
setiap MESO :
10-20 menit jika Konstipasi
diperlukan
hingga total maks. 250mg
(BNF For Children P. 287)

16
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Indikasi :
Sebagai analgesik post op

Mekanisme :
Berikatan dengan reseptor
opiate dalam SPP yang
menyebabkan
penghambatan nyeri,
mengubah persepsi dan
respons terhadap
rasa sakit dan juga
menghambat reuptake
norepinefrin dan
serotonin yang juga dapat
memodifikasi jalur nyeri.

ESO :
Konstipasi

2.6.2 Pengobatan pada saat KRS

01/11/19 Nyeri post Paracetamol 3 dd ½ tab 250 METO :


op mg Monitoring
skala nyeri
Dosisi Literatur : (<3)
120-250 mg every 4-6 hr (BNF
For Children 2011-2012) MESO :
GI problem
Indikasi : Anlagesik post op and allergic
Mekanisme : skin reaction
Mengambat sintesis
prostaglandin di SSP dan
memblok impuls nyeri,
memproduksi antipiretik dan
menghambat pusat panas di
hipotalamus (DIH ed 17)

ESO :
GI problem and allergic skin
reaction

17
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB 3

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien An. MZA berusia 5 tahun dengan berat badan (BB) 25
kg masuk rumah sakit (MRS) pada tanggal 27 Oktober 2019 dengan keluhan nyeri
seluruh perut, mual, muntah, dan demam sejak ± 3 hari yang lalu. Tanda-tanda vital
yang diukur yaitu suhu tubuh 36,8°C, nadi 90 kali per menit, respiratory rate (RR) 24
kali per menit, dan tekanan darah 95/40 mmHg. Pasien tidak memiliki riwayat
kesehatan, alergi, maupun pengobatan. Pasien MRS dengan diagnosis utama
Peritonitis Generalisata et causa Appendicitis Acute Perforata.

Pada tanggal 28 Oktober 2019, pasien mengeluhkan demam yang naik turun
paska operasi disertai dengan nilai WBC 18,50 × 103/µL. Terapi pertama yang
digunakan pasien adalah injeksi Cefazoline 2 dd 500 mg, injeksi Gentamycin 2 dd 40
mg, dan injeksi Metronidazole 3 dd 250 mg. Berdasarkan PPAM RSSA tahun 2018,
penggunaan antibiotik untuk bedah anak dengan indikasi Peritonitis adalah
Cefazoline, Gentamycin, dan Metronidazole sebagai antibiotik profilaksis, sehingga
penggunaan obat-obat tersebut telah sesuai dengan literatur. Terapi injeksi Cefazoline
diindikasikan sebagai antibiotik profilaksis pra-operasi yang digunakan 8 jam
sebelum operasi. Pada kasus ini, pasien sudah mengalami perforfasi pada saat MRS
dan segera dilakukan operasi Appendectomy perlaparotomy, sehingga Cefazoline
sebagai profilaksis untuk pencegahan infeksi pra-operasi tidak dibutuhkan. Terapi
injeksi Gentamisin dan Metronidazol diindikasikan sebagai antibiotik empirik dalam
mencegah terjadinya infeksi. Gentamicin merupakan antibiotik golongan
aminoglikosida yang aktif terhadap kuman bakteri gram negatif aerob dan
metronidazol merupakan antibiotik yang aktif terhadap bakteri anaerob (Gunawan et
al, 2016). Pada kasus appendisitis, bakteri anaerob dan gram negatif dalam appendiks
ikut berperan sebagai salah satu penyebabnya, sehingga kedua antibiotik tersebut
merupakan pilihan yang tepat untuk mencegah terjadinya infeksi pada appendisitis

18
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

(Salari, 2012). Dosis yang diberikan telah sesuai dengan dosis lazim, yaitu
Gentamisin 25-62,5 mg setiap 8-12 jam dan Metronidazol 187,5-375 mg setiap 6-8
jam (BNF for Children, 2018). Berdasarkan keluhan pasien, maka perlu dilakukan
monitoring efek terapi yaitu tidak adanya demam dilihat dari suhu tubuh berkisar 36-
37°C dan nilai WBC 4,3-5,5 × 103/µL, serta monitoring efek samping konstipasi dan
diare. Dengan demikian, maka rekomendasi terapi dapat dilanjutkan hingga 4-7 hari.

Pada tanggal 28 Oktober 2019, pasien juga mengeluhkan nyeri paska operasi,
sehingga diberikan injeksi Metamizole 3 dd 500 mg dan injeksi kombinasi Morphine-
Ketamin 1 cc/24 jam. Berdasarkan Guidelines Post-operative Pain Management tahun
2014, terapi analgesik paska operasi yang biasa digunakan adalah Metamizole,
Parasetamol, dan penambahan PCA (Patient-Controlled Analgesia) seperti Morfin
dan Tramadol yang digunakan untuk meningkatkan efektivitas analgesik. Pada kasus
ini, pasien diberikan injeksi kombinasi Morphine-Ketamin yang merupakan terapi
analgesik paska operasi yang apabila dikombinasikan dapat mengurangi efek samping
dari masing-masing obat, seperti mual dan muntah, memberikan efek analgesic
superior untuk paska operasi, dan memberikan efek hemat opioid, dimana diketahui
bahwa Ketamin dapat menurunkan kebutuhan opioid hingga 50% (Setiawan et al,
2014). Terapi ini didapat dari ruang operasi, sehingga penggunaannya dibangsal
hanya untuk menghabiskan obat dari ruang operasi. Berdasarkan keluhan pasien,
maka perlu dilakukan monitoring efek terapi dengan skala nyeri <3 dan monitoring
efek samping kantuk dan rasa tidak nyaman di abdomen.

Pada tanggal 30 Oktober 2019, pasien mengeluhkan nyeri pada luka operasi
sehingga diresepkan injeksi Tramadol 100 mg/24 jam bila perlu. Penggunaan
Tramadol pada anak usia dibawah 12 tahun dikontraindikasikan, karena dapat
menyebabkan respiratory depression, sehingga untuk penggunaan Tramadol tidak
disarankan (Rodieux F et al, 2018). Pasien juga diberikan obat analgesik untuk nyeri
paska operasi seperti Parasetamol dengan dosis 3 dd 250 mg sebagai obat KRS pada
tanggal 1 November 2019.

19
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Pasien juga diberi terapi injeksi Omeprazole 1 dd 40 mg pada tanggal 28


Oktober 2019 dan kemudian diturunkan dosisnya menjadi 1 dd 30 mg pada hari
berikutnya. Terapi diindikasikan sebagai profilaksis stress ulcer paska operasi,
dimana terjadi peningkatan vasokonstriksi yang mengakibatkan hipoperfusi.
Hipoperfusi atau penurunan aliran darah sangat berisiko menyebabkan gagal organ.
Pada saat tubuh mengalami hipoperfusi, prioritas perfusi tubuh adalah organ tertentu,
yaitu otak dan jantung yang berakibat saluran cerna mengalami hipoperfusi.
Hipoperfusi saluran cerna akan menyebabkan penurunan sekresi HCO3, penurunan
aliran darah mukosa, penurunan motilitas GI, dan difusi kembali asam (Sinaga W et
al, 2013; Stollman N et al, 2005). Dosis yang digunakan melebihi dosis lazim, yaitu
10-20 mg/hari, sehingga disarankan untuk dilakukan konfirmasi ulang kepada dokter
yang bersangkutan terkait dosis terapi (Shann F, 2017).

Terapi selanjutnya yang diberikan pada pasien adalah terkait pemenuhan


kebutuhan elektrolit dan nutrisi pasien. Pasien diberikan IVFD RL 60 cc/jam dan
IVFD KN3B : D5 ½ NS 500:1000 cc/24 jam pada tanggal 28 Oktober 2019 yang
diindikasikan sebagai rumatan untuk paska operasi dan terapi hipokalemia dan
hiponatremia dimana berdasarkan hasil laboratorium nilai K dan Na dibawah nilai
batas normal, yaitu 2,78 mmol/L dan 130 mmol/L (Kingley, 2005). Dosis yang
digunakan sudah sesuai dengan jumlah kebutuhan elektrolit pasien, dimana pasien
membutuhkan 1600 mL berdasarkan bobot badan pasien. Perlu dilakukan monitoring
efek terapi dengan menjaga nilai K dan Na dalam rentang normal, yaitu 3,5-5,0
mmol/L dan 136-145 mmol/L sehingga terhindar dari efek samping hipernatremia
(>145 mmol/L) dan hiperkalemia (>4,7-5,9 mmol/L).

Pada tanggal 29 Oktober 2019, pasien diberikan IVFD KCl 25 mEq untuk
memenuhi kebutuhan kalium yang berdasarkan hasil laboratorium masih dibawah
batas nilai normal, yaitu 2,70 mmol/L. Pada kondisi sepsis, perlu dilakukan
monitoring tekanan vena karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari
lumen usus ke dalam rongga peritonial dan menurunkan cairan kedalam ruang

20
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

vaskular (Skipworth, 2007). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis lazim,
yaitu 12,5-25 mEq (DIH Ed 17th). Kemudian pasien diberikan IVFD D5 ½ NS pada
hari berikutnya untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh pasien.

21
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

ASUHAN KEFARMASIAN

Uraian Masalah Tindakan


Pasien mendapatkan obat Paracetamol diminum 3 dd ½ tablet 250 mg
Paracetamol pada saat keluar bila nyeri.
Rumah Sakit (KRS).

22
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

1. Pemberian dan pemilihan terapi bertujuan untuk mengurangi keluhan dan gejala
pada pasien serta meningkatkan kualitias hidup pasien. Dari keluhan pasien
dengan terapi yang diberikan sudah sesuai.
2. Pasien MRS dengan diagnosis Peritonitis Generalisata et causa Appendict Acute
Perforata
3. Pasien KRS dengan diagnosis Peritonitis Post Appendectomy Perlaparotomy
4. Terdapat DRP (Drug Releated Problem) pada penggunaan terapi yang diperoleh
pasien :
- Antibiotik Cefazolin tidak perlu diberikan, karena pada kondisi ini pasien
tidak memerlukan terapi antibiotik sebagai profilaksis
- Penggunaan terapi injeksi omeprazole melebihi dosis lazim, disarankan
untuk adjusted dose (0,8mg/kgBB → 0,8mg x 25kg = 20 mg)
5. Pada saat KRS pasien memperoleh terapi peroral, yaitu paracetamol dengan
aturan pakai 3 dd 250 mg bila nyeri

4.2 SARAN

1. Menjaga pola makan dengan meningkatkan konsumsi makanan tinggi serat


(buah atau sayur)
2. Pastikan tubuh tidak kekurangan cairan, disarankan untuk minum air ± 8-10
gelas per hari

23
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA

BNF, 2018, British National Formulary 74th Edition, BMJ Publishing Group,
London.

Gunawan SG, Setiabudy R, editors. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta:
FKUI.

Howell, Erin C et al. 2018. Perforation Risk in Pediatric Appendicitis: Assesment


and Management. Dovepress.

Ishikawa Hiroshi. 2003. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis. Department


of Surgery, Sasebo Municipal Hospital. JMAJ, Vol. 46, No. 5

Mustafa, Jayaram Menon, RK. Muniandy, J. Sieman, AM. Sharifa, EM. Illzam. 2015.
Pathophysiology, Clinical manifestation and Diagnosis of Peritonitis. IOSR
Journal of Dental and Medical Sciences Volume 14. Malaysia: Faculty of
Medicine and Health Sciences, University Malaysia Sabah

Ordoñez, Juan Carlos Puyana. 2006. Management of Peritonitis in the Critically Ill
Patient. Colombia: Universidad del Valle

Pasca Operasi Histerektomi Perlaparotomi Menggunakan Analgesik Kombinasi


Ketamin Morfin Dengan Morfin Intravena

Puspitadewi, Nur Frhanah, Abdul Mughni. 2018. Analisis Faktor-Faktor Risiko Yang
Mempengaruhi Mortalitas Pada Pasien Complicated Intra Abdominal
Infections. E-Jurnal Kedokteran Volume 7 No. 2. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro

Salari A. Perforated Appendecitis, Current Concept in Colonic Disorders; 2012.


p.151-166

24
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Program Studi Profesi Apoteker Angkatan LVII Universitas Surabaya
Tahun 2019

Setiawan, irvan et al. 2014. Perbandingan Pemulihan Bising Usus Pada Pasien.

Sinaga, Wina et al. 2013. Splanchnic Hypoperfusion and Enteral Feeding. Jakarta:
University of Indonesia.

Skipworth, RJE. 2007. Acute Abdomen: Peritonitis. Elsevier.

Stollman, Neil, Metz David C. 2005. Pathophysiology and prophylaxis of stress ulcer
in intensive care unit patients.

Tjahdjani RK. 2019. Panduan Umum Penggunaan Antimikroba.

Windy, M. Sabir. 2016. Perbandingan Antara Suhu Tubuh, Kadar Leukosit dan
Platelet Distribution Width (PDW) Pada Apendisitis Akut dan Apendisitis
Perforasi di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2014. Sulawesi
Tengah: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Taduloka.

Zulfikar, Prihwanto Budi, Wiratmo. 2013. Studi Penggunaan Antibiotik pada Kasus
Bedah Apendiks di Instalasi Rawat Inap RSD dr. Soebandi Jember. E-Jurnal
Pustaka Kesehatan volume 3 No. 1 Jember: Fakultas Farmasi Jember.
Halaman 45

25
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

LAPORAN FARMASI KLINIS


LAPORAN STUDI KASUS ASUHAN KEFARMASIAN
CEREBRO VASCULAR ACCIDENT INTRACEREBRAL
HEMORRHAGE + HYPERTENSION STAGE II + INFEKSI
SALURAN KEMIH

DI IRNA I RUANG STROKE UNIT


(07 Oktober – 29 November 2019)

DISUSUN OLEH

Ida Bagus Trisnayana 114218578


Amalia Rakhmi Nur H. 114218580
Anthony 2448718062

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SAIFUL ANWAR
MALANG

1
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Stroke
Stroke merupakan penyebab kematian kedua di dunia dan merupakan
penyebab kematian ketiga di Amerika serikat, dibawah penyakit kardiovaskular
dan kanker (Ivanov et al., 2015). Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013,
prevalensi penyakit stroke di Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur.
Kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun
keatas (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar
(0,2%). Prevalensi stroke berdasarkan jenis kelamin lebih banyak laki-laki (7,1%)
dibandingkan dengan perempuan (6,8%). Berdasarkan data 10 besar penyakit
terbanyak di Indonesia tahun 2013, prevalensi kasus stroke di Indonesia
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mill dan 12,1 per mill
untuk yang terdiagnosis memiliki gejala stroke (Kemenkes, 2013).

Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi


cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak (Markus, 2012). Stroke dapat berupa iskemik
atau perdarahan. Berdasarkan laporan American Heart Association (AHA)
menunjukkan angka kejadian untuk stroke iskemik adalah sebanyak 87%
sedangkan stroke perdarahan adalah sebanyak 13% (Fagan and Hess, 2014).

Faktor risiko stroke dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor risiko yang
dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko
yang dapat dimodifikasi antara lain hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus,
dislipidemia, dan merokok, sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
antara lain usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga (Fagan and Hess, 2014).

2
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

1.1.1 Definisi Stroke


Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak (Markus, 2012). Stroke adalah manifestasi
klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak, medulla spinalis, dan retina baik
sebagian atau menyeluruh yang menetap selama 24 jam atau menimbulkan
kematian akibat gangguan pembuluh darah (PNPK, 2019).

1.1.2 Klasifikasi Stroke


Stroke dapat berupa stroke iskemik (87%) dan stroke perdarahan atau
hemoragik (13%) (Fagan and Hess, 2014).

Gambar 1.1 Klasifikasi Stroke

a. Stroke Pendarahan
Stroke perdarahan meliputi perdarahan subarachnoid, perdarahan
intrasebral, hematoma subdural. Perdarahan subarachnoid terjadi bila
darah memasuki area subarachnoid (tempat cairan serebrospinal) baik
karena trauma, pecahnya aneurisma intrakranial, maupun pecahnya
arterivenosa yang cacat. Sebaliknya, stroke iskemik terjadi bila
pembuluh darah pecah dalam parenkim otak, menyebabkan
pembentukan hematoma. Jenis perdarahan ini sangat sering dikaitkan
3
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

dengan tekanan darah yang tidak terkontrol dan jarang antitrombotik.


Hematoma subdural menjelaskan terkumpulnya darah dibawah area
dura (melapisi otak) dan sering disebabkan oleh trauma. Stroke
perdarahan lebih letal dua kali sampai enam kali daripada stroke
iskemik (Fagan and Hess, 2014).

Gambar 1.2 Klasifikasi Stroke Pendarahan

b. Stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi akibat penyumbatan (trombotik atau embolik)
pembuluh darah arteri otak. Penyumbatan pembuluh darah dapat
mengganggu aliran darah ke bagian tertentu di otak, sehingga terjadi
defisit neurologis yang disebabkan oleh hilangnya fungsi yang
dikendalikan oleh bagian otak tersebut (Winkler, 2008).
1.1.3 Patofisiologi
Aliran darah serebral normal rata-rata 50 ml/100 g per menit, dan ini
dipertahankan melalui tekanan darah (rata-rata tekanan arteri dari 50 sampai 150
mmHg) oleh proses yang disebut autoregulasi cerebral. Pembuluh darah otak
melebar dan menyempit sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah, tetapi

4
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

proses ini dapat terganggu oleh aterosklerosis, hipertensi kronis, dan cedera akut
seperti stroke. Hipertensi kronis dan tidak terkendali akan memicu kekakuan
dinding pembuluh darah kecil yaitu mikroangiopati. Hipertensi juga akan memicu
munculnya timbunan plak pada pembuluh darah besar. Timbunan plak akan
menyempitkan lumen pembuluh darah. Kemudian, ketika terjadi stres dapat
mengakibatkan pecahnya plak, paparan kolagen, agregasi platelet, dan
pembentukan bekuan. Bekuan menyebabkan oklusi lokal kemudian terjadi emboli
sampai menuju pembuluh darah dalam otak. Hasil akhir dari trombus dan emboli
adalah oklusi arteri, penurunan aliran darah otak dan menyebabkan iskemik
(Fagan and Hess, 2014).

Ketika aliran darah lokal otak menurun dibawah 20 mL/ 100 g per menit,
iskemia dapat terjadi dan ketika pengurangan lebih lanjut dibawah 12 mL/ 100 g
per menit bertahan, kerusakan permanen otak terjadi yang disebut infark.
Penurunan dalam penyediaan nutrisi ke sel iskemik menyebabkan berkurangnya
fosfat seperti Adenosine Triphosphate (ATP) yang diperlukan untuk menjaga
ketahanan membran. Selanjutnya, kalsium ekstraseluler terakumulasi dan pada
saat yang bersamaan, natrium dan air tertahan menyebabkan sel mengembang dan
lisis. Ketidakseimbangan elektrolit juga menyebabkan depolarisasi sel dan
masuknya kalsium ke dalam sel. Peningkatan kalsium intraseluler mengakibatkan
aktivasi lipase, protease, dan endonukleat dan pelepasan asam lemak bebas dari
membran fosfolipid. Depolarisasi neuron mengakibatkan pengeluaran asam amino
seperti glutamate dan aspartat yang menyebabkan kerusakan saraf ketika
dikeluarkan secara berlebihan. Akumulasi dari asam lemak bebas, termasuk asam
arachidonat menyebabkan pembentukan prostaglandin, leukotrin dan radikal
bebas. Meningkatnya produksi radikal bebas menyebabkan terjadinya asidosis
intraseluler. Peristiwa ini terjadi dalam waktu 2 sampai 3 jam dari onset iskemi
dan berkontribusi pada kematian sel. Target untuk intervensi dalam proses
patofisiologis setelah iskemia serebral termasuk masuknya sel – sel inflamasi aktif
dan inisiasi apoptosis atau sel mati dapat mengganggu pemulihan dan perbaikan
jaringan otak (Fagan and Hess, 2014).

5
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

1.1.4 Faktor Risiko Stroke


Faktor risiko yang dapat menimbulkan stroke iskemik dapat dibagi
menjadi dua yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang
tidak dapat dimodifikasi.

a. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu: merokok, hipertensi,


hiperlipidemia, fibrilasi atrium, penyakit jantung iskemik, penyakit katup
jantung, dan diabetes.
 Merokok
Tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika Serikat
pertahunnya diperkirakan sekitar 21.400 (tanpa ada penyesuaian untuk
faktor resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian), ini menunjukkan
bahwa rokok memberikan kontribusi terjadinya stroke yang berakhir
dengan kematian sekitar 12% sampai 14% (Goldstein et al., 2011).
 Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe stroke,
baik stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Peningkatan risiko stroke
terjadi seiring dengan peningkatan tekanan darah. Walaupun tidak ada
nilai pasti korelasi antara peningkatan tekanan darah dengan risiko stroke,
diperkirakan risiko stroke meningkat 1,6 kali setiap peningkatan 10 mmHg
tekanan darah sistolik, dan sekitar 50% kejadian stroke dapat dicegah
dengan pengendalian tekanan darah. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
apabila hipertensi tidak diturunkan pada saat serangan stroke akut dapat
mengakibatkan edema otak, namun berdasarkan penelitian dari Chamorro
menunjukkan bahwa perbaikan sempurna pada stroke iskemik dipermudah
oleh adanya penurunan tekanan darah yang cukup ketika edema otak
berkembang sehingga menghasilkan tekanan perfusi serebral yang adekuat
(PERDOSSI, 2011).
 Penyakit Jantung
Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak menyerang
pria dewasa, AF ditemukan pada 1–1,5% populasi dinegara–negara barat
dan merupakan salah satu faktor risiko independen stroke. AF dapat
menyebabkan risiko stroke atau emboli menjadi 5 kali lipat daripada
6
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

pasien tanpa AF. Kejadian stroke yang didasari oleh AF sering diikuti
dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan penurunan kemampuan
fungsi daripada stroke karena penyebab yang lain. Risiko stroke karena
AF meningkat jika disertai dengan beberapa faktor lain, yaitu jika disertai
usia >65 tahun, hipertensi, diabetes melitus, gagal jantung, atau riwayat
stroke sebelumnya (Gage et al., 2004).
 Diabetes Mellitus
Orang dengan diabetes mellitus lebih rentan terhadap aterosklerosis dan
peningkatan prevalensi proaterogenik, terutama hipertensi dan lipid darah
yang abnormal. Pada tahun 2007 sekitar 17,9 juta atau 5,9% orang
Amerika menderita diabetes. Berdasarkan studi case control pada pasien
stroke dan studi epidemiologi prospektif telah menginformasikan bahwa
diabetes dapat meningkatkan risiko stroke iskemik dengan risiko relatif
mulai dari 1,8 kali lipat menjadi hampir 6 kali lipat. Berdasarkan data dari
Center for Disease Control and Prevention 1997-2003 menunjukkan
bahwa prevalensi stroke berdasarkan usia sekitar 9% stroke terjadi pada
pasien dengan penyakit diabetes pada usia lebih dari 35 tahun (Goldstein
et al., 2011).
b. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan
riwayat keluarga (Fagan and Hess, 2014).
 Usia
Siapa pun tidak akan pernah bisa menaklukkan usia. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa usia itu kuasa Tuhan. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa 2/3 serangan stroke terjadi pada usia diatas 65 tahun.
Meskipun demikian, bukan berarti usia muda atau produktif akan terbebas
dari serangan stroke (Wiwit, 2010).
 Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke daripada
wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Namun anehnya,
justru lebih banyak wanita yang meninggal dunia karena stroke. Hal ini
disebabkan pria umumnya terkena serangan stroke pada usia muda.

7
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

Sedangkan, para wanita justru sebaliknya, yaitu saat usianya sudah tinggi
(tua) (Wiwit, 2010).
 Riwayat Keluarga
Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan salingberkaitan.
Dalam hal ini, hipertensi, diabetes, dan cacat pada pembuluh darah
menjadi faktor genetik yang berperan. Cadasil, yaitu suatu cacatpada
pembuluh darah dimungkinkan merupakan faktor genetik yang paling
berpengaruh. Selain itu, gaya hidup dan pola makan dalam keluarga yang
sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah juga meningkatkan resiko
stroke (Wiwit, 2010).
1.1.5 Manifestasi Klinis Stroke
Manifestasi klinis yang terjadi antara lain mengalami kelemahan pada satu
sisi tubuh, ketidakmampuan untuk berbicara, kehilangan penglihatan,
vertigo dan sakit kepala (Wells, 2015). Gambaran klinis stroke tergantung
pada area otak yang mengalami iskemik (Sjahrir et al., 2011).
1.1.6 Penatalaksanaan Stroke Umum
Tabel 1.1 Klasifikasi Peringkat Bukti (Level of Evidence)
(PERDOSSI, 2011)

Tabel 1.2 Klasifikasi Kelas Rekomendasi (PERDOSSI, 2011)

8
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat


1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek,
maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan
cermat (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan
klinik stroke akut meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan
kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-
lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri,
dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala
akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena
jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan
paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis
terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem
motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi
kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National
Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class 1, Level of
evidence B)
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
 Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam
9
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

72 jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata (ESO,


Class IV, GCP)
 Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen < 95% (ESO, Class V, GCP)
 Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada
pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien
yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar
dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
 Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence C).
 Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan
terapi oksigen (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
 Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask
Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg
atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko
untuk terjadi aspirasi.
 Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu.
Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan
dilakukan trakeostomi
b. Stabilisasi Hemodinamik
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian
cairan hipotonik seperti glukosa).
 Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan
tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk
rnemasukkan cairan dan nutrisi.
 Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
 Optimalisasi tekanan darah
 Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah
mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara
titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau
epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.
10
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama


24 jam pertama setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence B).
 Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi
(konsultasi Kardiologi).
 Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan
aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung
sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class I, Level of evidence
C).
c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum
 Tekanan darah
 Pemeriksaan jantung
 Pemeriksaan neurologi umum awal:
i. Derajat kesadaran
ii. Pemeriksaan pupil dan okulomotor
iii. Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
 Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral
harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan
tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
 Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan
TIK (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).
 Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70
mmHg.
 Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan
intrakranial meliputi :
i. Tinggikan posisi kepala 200 - 300
ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
11
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

iv. Hindari hipertermia


v. Jaga normovolernia
vi. Osmoterapi atas indikasi:
Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi
setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA,
Class III, Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya
diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40
mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan
dilakukan tindakan operatif.
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi
yang adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara
mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena
akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class
III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti
vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada
histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan
(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien
dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan
otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi
edema otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke
iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada
kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence
A).
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut
akibat stroke iskemik serebelar (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence B).
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik
sereberal yang menimbulkan efek masa, merupakan
tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan

12
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

memberikan hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of


evidence B).
e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan
asimptomatik (AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B).1 Terapi
transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan,
antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan
tekanan darah arterial secara hati-hati.

f. Pengendalian Suhu Tubuh


 Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C)
 Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC
(AHA/ASA Guideline)1 atau 37,5 OC (ESO Guideline).
 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan
kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan
antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan
serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
 Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic
(AHA/ASA Guideline)
g. Pemeriksaan Penunjang
 EKG
 Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal
hemostasis, kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah, dan
elektrolit)
 Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan
punksi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal
 Pemeriksaan radiologi
i. Foto rontgen dada
ii. CT Scan

13
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

B. Penatalaksanaan di Ruang Rawat


1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga
euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral
maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi
urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak
tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita
panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu
diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai
normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas
darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari
kecuali pada keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,
nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan
baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan,
nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
 Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;
 Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %);
 Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0
g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6
minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.
14
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak


memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan
yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak
mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru,
dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan
(AHA/ASA, Level of evidence B and C).
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola
kuman (AHA/ASA, Level of evidence A).1
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai
kasur antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam,
heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid
perlu diberikan (AHA/ASA, Level of evidence A).5 Resiko perdarahan
sistemik dan perdarahan intraserebral perlu diperhatikan.6 Pada pasien
imobilisasi yang tidak bias menerima antikoagulan, penggunaan
stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk mencegah
thrombosis vena dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B).
4. Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia
(kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati
dengan titrasi insulin (AHA/ASA,Class I, Level of evidence C).1
Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat
(<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse
glukosa 10-20%.

15
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

b. jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan
mayor tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol
bias digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan
pasien karena dapat mempengaruhi TTIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium,
MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE,
dan lain-lain sesuai dengan indikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).
1.1.7 Kedaruratan Medik Stroke Akut
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian
hipertensi pada pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya
mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood
Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST: International Stroke Trial
2002).
Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-
shaped relationship) (U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut
(iskemik maupun hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut
menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan
tingginya kematian dan kecacatan.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai

16
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penuurunan


tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.

A. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD)
>120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi
trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan
TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Selanjutnya,
tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg
selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan
adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.
B. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level
of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure
(MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontiniu dengan pemantauan tekanan darah
setiap 5 menit.
C. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
D. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-
hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau
intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP
110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010,
penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan. (AHA/ASA, Class
IIa, Level of evidence B).
E. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman

17
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Setelah kraniotomi, target MAP
adalah 100mmHg.
F. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
G. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol
dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,
digunakan dalam upaya diatas.
H. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan
peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
I. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau
dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk
mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan
ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk mencegah terjadinya
perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid
akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS
160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam mencegah resiko
terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia
pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas
kardiovaskular.
J. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien
apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini
menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.
K. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat
dilakukan dalam penatalksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan
darah belum jelas.
L. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target
organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal
ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-
25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.

18
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

1.1.8 PENATALAKSANAAN KHUSUS STROKE AKUT


A. Penatalaksanaan Stroke Iskemik
1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut
2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak
direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik
(AHA/ASA, Level of evidence A).
3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah
secara karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak
direkomendasikan (grade A).
5. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut (Prosedur Aplikasi
Pemberian Terapi Trombolisis rTPA pada Stroke Iskemik Akut).
6. Pemberian antikoagulan
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke
ulang awal, menghentikan perburukan deficit neurologi, atau
memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak
direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke
iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
b. Antikoagulasi urgent tidak drekomendasikan pada penderita dengan
stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko
komplikasi perdarahan intracranial (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence A).
c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dlam jangka waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah
stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik
akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau
stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi

19
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

pemberian heparin juga termasuk infark besar >50%, hipertensi yang


tidak dapat terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang luas
7. Pemberian antiplatelet
a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24 sampai 48 jam
setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi
akut pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena (AHA/ASA, Class
III, Level of evidence B).
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian obat trombolitik tidak dierkomendasikan (AHA/ASA, Class
III, Level of evidence A).
e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada
stroke iskemik akut, tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence C), kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik, misalnya
angina pectoris tidak stabil, non-Q-wave MI, atau recent stenting,
pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah kejadian
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence B)
8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak
dianjurkan dalam terpi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence A).
9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi
stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk
memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan
tersebut, pemantauan kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan
secara ketat. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).

20
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

11. Tindakan endarterektomi carotid pada stroke iskemik akut akut dapat
mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan.
Tindakan endovascular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat,
sehingga tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C).
12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang
efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence A). Namun, citicolin sampai saat ini masih memberikan
manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut
dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral
2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS
(International Citicholin Trial in Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada
penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI secara multisenter, pemberian
Plasmin oral 3x500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di
Indonesia menunjukkan efek positif pada penderita strke akut berupa
perbaikan motoric, score MRS dan Barthel index.
13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru diketahui
sebesar 80%. Beberapa faktor risiko sering dijumpai bersamaan. Penelitian
The International Study On Cerebral Vein And Dural Sinus Thrombosis
(ISCVT) mendapatkan 10 faktor risiko terbanyak, antara lain kontrasepsi
oral (54,3%), trombofilia (34,1%), masa nifas (13,8%), infeksi dapat
berupa infeksi SSP, infeksi organ-organ wajah, dan infeksi lainnya
(12,3%), gangguan hematologi seperti anemia, trombositemia, polisitemia
(12%), obat-obatan (7,5%), keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%),
presipitasi mekanik termasuk cedera kepala (4,5%), dan vaskulitis (3%).
Penatalaksanaan CVST diberikan secara komprehensif, yaitu dengan
terapi antitrombotik, terapi simptomatik, dan terapi penyakit dasar.
Pemberian terapi UFH atau LMWH direkomendasikan untuk diberikan,
walaupun terdapat infark hemoragik (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidence B). Terapi dilanjutkan dengan antikoagulan oral diberikan
selama 3-6 bulan, diikuti dengan terapi antiplatelet (AHA/ASA, Class IIa,
Level of evidence C).

21
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

B. Penatalaksanaan Pendarahan Intraserebral


1. Diagnosis dan Penilaian Gawat Darurat pada Perdarahan Intrakranial dan
Penyebabnya
a. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI
direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan
perdarahan intracranial (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
b. Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan untuk
membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan hematoma
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence B). Bila secara klinis atau
radiologis terdapat kecurigaan yang mengarah ke lesi structural
termasuk malformasi vaskuler dan tumor, sebaiknya dilakukan
angiografi CT, venografi CT, CT dengan kontras, MRI dengan
kontras, MRA, dan venografi MR (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidence B). (Lihat Bab X Pemeriksaan Diagnostik pada Stroke
Akut).
2. Tatalaksana Medis Perdarahan Intrakranial
a. Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau trombositopenia
berat sebaiknya mendapat terapi penggantian factor koagulasi atau
trombosit (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait
obat antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi
mendapat terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan
mengkoreksi INR, serta mendapat vitamin K intravena (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence C). Konsentrat kompleks protrombin tidak
menunjukkan perbaikan keluaran dibandingkan dengan Fresh Frozen
Plasma (FFP). Namun, pemberian konsentrat kompleks protrombin
dapat mengurangi komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat
dipertimbangkan sebagai alternative FFP (AHA/ASA, Class IIa, Level
of evidence B).
c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai
berikut:

22
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

 Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan


peningkatan INR dan diberikan dalam waktu yang sma dengan
terapi yang lain karena efek akan timbul 6 jam kemudian.
Kecepatan pemberian <1 mg/menit untuk meminimalkan risiko
anafilaksis.
 FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi factor
pembekuan darah bila ditemukan sehingga dengan cepat
memperbaiki INR atau aPTT. Terapi FFP ini untuk mengganti
pada kehilangan factor koagulasi
d. Faktor VIIa rekombinan tidak mengganti semua factor pembekuan,
dan walaupun INR menurun, pembekuan bias jadi tidak membaik.
Oleh karena itu, factor VIIa rekombinan tidak secara rutin
direkomendasikan sebagai agen tunggal untuk mengganti antikoagulan
oral pada perdarahan intracranial. (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence C). Walaupun factor VII a rekombinan dapat membatasi
perluasan hematoma pada pasien ICH tanpa koagulopati, risiko
kejadian tromboemboli akan meningkat dengan factor VIIa
rekombinan dan tidak ada keuntungan nyata pada pasien yang tidak
terseleksi (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
e. Kegunaan dari transfusi trombosit pada pasien perdarahan intrakranial
dengan riwayat penggunaan antiplatelet masih tidak jelas dan dalam
tahap penelitian(AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence B).
f. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan
intrakranial, sebaiknya mendapat pneumatic intermittent compression
selain dengan stoking elastis (AHA/ASA, Class I, Level of evidence
B).
g. Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau UFH
subkutan dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan
tromboemboli vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang setelah
satu hingga empat hari pascaawitan (AHA/ASA, Class IIb, Level of
evidence B).

23
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

h. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50 mg


IV dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin
sulfat perlu pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda hipersensitif
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
3. Tekanan Darah
4. Prosedur/ Operasi
a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial
 Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi
transtentorial,atau dengan perdarahan intraventrikuler yang luas
atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk penanganan dan
pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70
mmHg dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak
(AHA/ASA, Class Iib, level of evidance C).
 Drainase ventrikular sebagai tatalaksana hidrosefalus dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan tingat kesadaran
(AHA/ASA Class IIa, Level of evidance B).
b. Perdarahan Intraventikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type
plasminogen activator (rTPA) untuk melisiskan bekuan darah
intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi yang cukup rendah,
efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan
dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
c. Evakuasi hematoma
 Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial,
kegunaan tindakan operasi masih belum pasti (AHA/ASA, Class
Iib, level of evidance C).
 Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan
neurologis, atau yang terdapat kompresi batang otak, dan atau
hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani operasi
evakuasi bekuan darah secepatnnya (AHA/ASA, Class I, Level of
evidance B). Tatalaksana awal pada pasien tersebut dengan

24
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak


direkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidance C).
 Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di
1 cm dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial
supratentorial dengan kraniotomi standar dapat dipertimbangkan
(AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
 Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal
menggunakan baik aspirasi streotaktik maupun endoskopik dengan
atau tanpa penggunaan trombolitik masih belum pasti dalam tahap
penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
 Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera
dari perdarahan intrakranial supratentorial untuk meningkatakan
keluaran fungsional atau angka kematian, kraniotomi segera dapat
merugikan karena dapat meningkatkan faktor resiko perdarahan
berulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidance B).
d. Prediksi keluaran dan penghentian dukungan teknologi
Perintah penundaan tidak diresusitasi direkoimendasikan untuk tidak
melakukan perawatan penuh dan agresif dilakukan selama 2 hari
(AHA/ASA, Class Iia, Level of evidance B), Kecuali pada pasien yang
sejak semula ada keinginan untuk tidak diresusitasi
e. Pencegahan perdarahan intrakranial berulang
 Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah
disusun untuk mencegah perdarahan berulang keputusan
tatalaksana dapat berubah karena pertimbangan beberapa faktor
risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal, usia lanjut,
dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4
apolipoprotein dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada
MRI (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B).
 Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra
indikasi medis, tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik
terutama pada pasien yang lokasi perdarahannya tipikal dari

25
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

vaskulopati hipertensif (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance


A)
 Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan
darah dapat dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau
<130/80 mmHg jika diabetes penyakit ginjal kronik (AHA/ASA,
Class IIa, Level of evidance B).
 Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai
tatalaksana fibrilasi atrial nonvalvuler mungkin direkomendasikan
setelah perdarahan intrakranial lobar spontan karena relatif berisiko
tinggi untuk perdarahan berulang (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B). Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet setelah
perdarahan intrakranial nonlobar dapat dipertimbangkan, terutama
pada keadaan terdapat indikasi pasti penggunaan terapi tersebut
(AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
 Pelanggaran konsusmsi alkohol berat sangat bermanfaat
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B).
1.2 Hipertensi
1.2.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang (Kemenkes RI,
2013). Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik
sedikitnya140 mmHg atau tekanan darah diastolik sedikitnya 90 mmHg (Price &
Wilson, 2006). Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu
lama dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal, jantung, dan otak bila tidak
dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai (Kemenkes RI,
2013).
Penurunan tekanan darah yang efektif dengan farmakologi telah terbukti
mencegah kerusakan pembuluh darah dan secara substantial menurunkan angka
morbdiitas dan mortalitas (Katzung, 2012)

26
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

1.2.2 Faktor Penyebab

Faktor resiko hipertensi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,


genetik (faktor resiko yang tidak dapat diubah atau dikontrol), kebiasaan
merokok, konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah,
kebiasaan minum-minuman beralkohol, obesitas, kurang aktivitas fisik, stres,
penggunaan estrogen (Kemenkes RI, 2013). Beberapa studi menunjukkan bahwa
seseorang yang memiliki berat badan lebih atau obesitas dari 20% dan
hiperkolesterol mempunyairesiko yang lebih besar terkena hipertensi. Pada
umumnya penyebab obesitas atau berat badan berlebih dikarenakan pola hidup
(Life style) yang tidak sehat (Rahajeng & Tuminah, 2009). Faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi
secara bersama-sama sesuai dengan teori mozaik pada hipertensi esensial. Teori
esensial menjelaskan bahwa terjadinya hipertensi disebabkan oleh faktor yang
saling mempengaruhi, dimana faktor yang berperan utama dalam patofisiologi
adalah faktor genetik 10 dan paling sedikit tiga faktor lingkungan yaitu asupan
garam, stres, dan obesitas (Dwi & Prayitno 2013).

1.2.3 Etiologi
1. Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan
dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi
essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan
terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor,
resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor
lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas
dan lain-lain (Nafrialdi, 2009). Pada sebagian besar pasien, kenaikan
berat badan yang berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki
peran yang utama dalam menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien
hipertensi memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada
berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang
berlebih (obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena
hipertensi primer (Guyton, 2008).
27
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

2. Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder
yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun
tidak, dapat menyebabkan 11 hipertensi atau memperberat hipertensi
dengan menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003). Hipertensi yang
penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa
penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan
sistem saraf pusat (Sunardi, 2000).
1.2.4 Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC untuk pasien dewasa berdasarkan rata-
rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan
klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai
normal tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik
(TDD) <80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi
mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat
ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage)
hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat (JNC VIII,
2016).

Tabel 1.3 Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VIII

28
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

Tabel 1.4 Klasifikasi Tekanan Darah menurut ESC

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah
terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120
mmHg, dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi
(American Diabetes Association, 2018). Pada hipertensi emergensi, tekanan darah
meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut yang bersifat
progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-
jam) untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Contoh gangguan organ target
akut antara lain, encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut
disertai edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil dan
eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan (Depkes 2006).

1.2.5 Patofisiologi Hipertensi


Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula
jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah
melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf pascaganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norpinefrin mengakibatkan
kontriksi pembuluh darah (Brunner, 2002).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan

29
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

hipertensi sangat sensitif terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan


jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin, 2005). Pada saat bersamaan
dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan kortisol dan steroid
lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.
Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Brunner, 2002).
Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang menyebabkan
penurunan distensi dan daya regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta
dan arteri besar mengalami penurunan kemampuan dalam mengakomodasi
volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) sehingga
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer
(Corwin, 2005).
1.2.6 Komplikasi Hipertensi

Komplikasi Hipertensi Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi


terdiri dari stroke, infark miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan
pregnancyincluded hypertension (PIH) (Corwin, 2005).

1. Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24
jam yang berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh
gangguan peredaran darah. Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba
dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan

30
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

oleh oklusi 24 fokal pembuluh darah yang menyebabkan turunnya suplai oksigen
dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi (Hacke, 2003). Stroke dapat
timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas
dari pembuluh otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi
berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah
sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin, 2005).
2. Infark miokardium
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat
mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menyumbat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi kronik dan
hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian
juga, hipertrofi dapat menimbulkan perubahaan-perubahan waktu hantaran listrik
melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung dan peningkatan
risiko pembentukan bekuan (Corwin, 2005).
3. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan
irreversible dari berbagai penyebab, salah satunya pada bagian 25 yang menuju ke
kardiovaskular. Mekanisme terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh
karena penimbunan garam dan air atau sistem renin angiotensin aldosteron (RAA)
(Chung, 1995). Menurut Arief mansjoer (2001) hipertensi berisiko 4 kali lebih
besar terhadap kejadian gagal ginjal bila dibandingkan dengan orang yang tidak
mengalami hipertensi (Mansjoer, 2001).
4. Ensefalopati (kerusakan otak)
Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna
(hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong ke dalam ruang
intersitium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps
yang dapat menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak jarang juga koma serta
kematian mendadak. Keterikatan antara kerusakan otak dengan hipertensi, bahwa

31
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

hipertensi berisiko 4 kali terhadap kerusakan otak dibandingkan dengan orang


yang tidak menderita hipertensi (Corwin, 2005).

1.2.7 Tatalaksana Hipertensi

1. Non Farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan
darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko
permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,
tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila
setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang
diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi (Perki, 2016).
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak pustaka adalah :

a. Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan

Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi


pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada
orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sesorang yang
badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-
33% memiliki berat badan lebih (overweight). Dengan demikian, obesitas harus
dikendalikan dengan menurunkan berat badan (Depkes, 2006). Beberapa studi
menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari
20% dan hiperkolestrol mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi
(Rahajeng, 2009).
b. Mengurangi asupan garam didalam tubuh

Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan


penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan. Batasi
sampai dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak
(Depkes, 2006) dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat
memasak (Depkes, 2006).

32
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

c. Ciptakan keadaan rileks

Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat


mengontrol sistem saraf yang akan menurunkan tekanan darah (Depkes, 2006)
d. Melakukan olahraga teratur

Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit
sebanyak 3-4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah kebugaran dan
memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya mengontrol tekanan darah
(Depkes, 2006b ).
e. Berhenti merokok

Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat


memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat
merusak jaringan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses
arterosklerosis dan peningkatan tekanan darah. Merokok juga dapat meningkatkan
denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.
Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko
kerusakan pada pembuluh darah arteri.
f. Mengurangi komsumsi alkohol
Hindari komsumsi alkohol berlebihan;
Laki-laki : Tidak lebih dari 2 gelas per hari
Wanita : Tidak lebih dari 1 gelas per hari

2. Terapi Farmakologis
Dalam Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular
(PERKI, 2015), dijelaskan secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi
dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan
tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien
dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang
perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping,
yaitu :

33
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

 Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal


 Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
 Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada
usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
 Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-
i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
 Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
 Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur. (PERKI, 2016).
Tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines
memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah tatalaksana hipertensi
secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension 2013;

Gambar 1.3 Tatalaksana Hipertensi


34
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

1.3 INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)


1.3.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau
mikroba tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna (IDAI, 2011). Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan
adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih (Haryono, 2012). ISK
merupakan penyakit dengan kondisi dimana terdapat mikroorganisme
dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu menimbulkan infeksi
pada saluran kemih (Dipiro dkk, 2015).
Penurunan tekanan darah yang efektif dengan farmakologi telah terbukti
mencegah kerusakan pembuluh darah dan secara substantial menurunkan angka
morbdiitas dan mortalitas (Katzung, 2012)
1.3.2 Klasifikasi

Klasifikasi infeksi saluran kemih dapat dibedakan berdasarkan anatomi


dan klinis. Infeksi saluran kemih diklasifikasikan berdasarkan anatomi, yaitu:

a. Infeksi saluran kemih bawah


berdasarkan presentasi klinis dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Perempuan
Sistitis adalah infeksi saluran kemih disertai bakteriuria bermakna
dan Sindroma uretra akut
2. laki-laki
Berupa sistitis, prostatitis, epidimidis, dan uretritis.
b. Infeksi saluran kemih atas
berdasarkan waktunya terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim ginjal
yang disebabkan oleh infeksi bakteri (Sukandar, 2006).
2. Pielonefritis kronis (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari
infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil
(Liza, 2006). Berdasarkan klinisnya, ISK dibagi menjadi 2 yaitu :
a. ISK Sederhana (tak berkomplikasi)
b. ISK berkomplikasi

35
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

1.3.3 Etiologi Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh bakteri,virus dan


jamur tetapi bakteri yang sering menjadi penyebabnya. Penyebab ISK terbanyak
adalah bakteri gram (-) negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus
dan akan naik ke sistem saluran kemih antara lain adalah Escherichia coli,
Proteus sp, Klebsiella, Enterobacter (Purnomo, 2014). Pasca operasi juga sering
terjadi infeksi oleh Pseudomonas, sedangkan Chlamydia dan Mycoplasma bisa
terjadi tetapi jarang dijumpai pada pasien ISK. Selain mikroorganisme, ada faktor
lain yang dapat memicu ISK yaitu faktor predisposisi (Fauci dkk., 2008).

1.3.4 Patofisiologi ISK

Infeksi saluran kemih terjadi ketika bakteri (kuman) masuk ke dalam


saluran kemih dan berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung kemih,
uretra dan dua ureter dan ginjal (Purnomo, 2014). Kuman ini biasanya
memasuki saluran kemih melalui uretra, kateter, perjalanan sampai ke
kandung kemih dan dapat bergerak naik ke ginjal dan menyebabkan
infeksi yang disebut pielonefritis (National Kidney 10 Foundation, 2012).
ISK terjadi karena gangguan keseimbangan antara mikroorganisme penyebab
infeksi (uropatogen) sebagai agent dan epitel saluran kemih sebagai host.

Mikroorganisme penyebab ISK umumnya berasal dari flora usus dan


hidup secara komensal dalam introitus vagina, preposium, penis, kulit
perinium, dan sekitar anus. Kuman yang berasal dari feses atau dubur,
masuk ke dalam saluran kemih bagian bawah atau uretra, kemudian naik ke
kandung kemih dan dapat sampai ke ginjal (Fitriani, 2013).

Mikroorganisme tersebut dapat memasuki saluran kemih melalui 3 cara,


yaitu : Ascending, hematogen seperti penularan M.tuberculosis atau S.aureus,
limfogen dan langsung dari organ sekitarnya yang sebelumnya telah mengalami
infeksi (Purnomo,2014). Sebagian besar pasien ISK mengalami penyakit
komplikasi. ISK komplikasi adalah ISK yang diperburuk dengan adanya penyakit
lainya seperti lesi, obstruksi saluran kemih, pembentukan batu, pemasangan

36
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

kateter, kerusakan dan gangguan neurologi serta menurunya sistem imun yang
dapat mengganggu aliran yang normal dan perlindungan saluran urin.

1.3.5 Tanda dan Gejala ISK

Infeksi saluran kemih dapat diketahui dengan beberapa gejala seperti


demam, susah buang air kecil, nyeri setelah buang air besar (disuria
terminal), sering buang air kecil, kadang-kadang merasa panas ketika
berkemih, nyeri pinggang dan nyeri suprapubik (Permenkes, 2011). Namun,
gejala-gejala klinis tersebut tidak selalu diketahui atau ditemukan pada penderita
ISK. Untuk memegakan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, ureum dan kreatinin, kadar gula darah,
urinalisasi rutin, kultur urin, dan dip-stick urine test. (Stamm dkk, 2001).

Dikatakan ISK jika terdapat kultur urin positif ≥100.000 CFU/mL.


Ditemukannya positif (dipstick) leukosit esterase adalah 64 -90%. Positif nitrit
pada dipstick urin, menunjukkan konversi nitrat menjadi nitrit oleh bakteri gram
negatif tertentu (tidak gram positif), sangat spesifik sekitar 50% untuk infeksi
saluran kemih. Temuan sel darah putih (leukosit) dalam urin (piuria) adalah
indikator yang paling dapat diandalkan infeksi (> 10 WBC / hpf pada spesimen
berputar) adalah 95% sensitif tapi jauh kurang spesifik untuk ISK. Secara umum,
> 100.000 koloni/mL pada kultur urin dianggap diagnostik untuk ISK (M.Grabe
dkk, 2015).

1.3.6 Tatalaksana Terapi

Tatalaksana terapi dapat diawali dengan pertimbangan faktor pasien,


faktor mikrobiologis dan data hasil klinis (Kurniawan, 2005). Antibiotik
(antibakteri) adalah zat yang diperoleh dari suatu sintesis atau yang berasal dari
senyawa nonorganik yang dapat membunuh bakteri patogen tanpa membahayakan
manusia (inangnya). Antibiotik harus bersifat selektif dan dapat menembus
membran agar dapat mencapai tempat bakteri berada (Priyanto, 2010).
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan kekebalan bakteri,
munculnya bakteri-bakteri yang resisten terhadap suatu antimikroba, dan
peningkatan biaya pengobatan (Kurniawan, 2005).

37
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

Resistensi adalah keadaan dimana suatu mikroba tidak terhambat


pertumbuhanya dengan antibiotik dosis normal yang seharusnya. Multiple drug
resisten adalah resistensi terhadap dua atau lebih obat sedangkan cross resisten
adalah resistensi terhadap obat diikuti dengan obat lain yang belum dipaparkan
(Purnomo, 2011).

Prinsip terapi antibiotik menurut European Association of Urology dalam


Guideline On Urological Infections 2015 yang dijadikan standart dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :

Tabel 1.5 Terapi Empiris Antimikroba Oral yang Direkomendasikan


untuk Pyelonefritis Tanpa Komplikasi Akut Ringan dan Sedang

No Nama obat Dosis oral/hari Durasi terapi


1. Siprofloksasin 500-750 mg bid 7-10 hari
2. Levofloksasin 500 mg qd 7-10 hari
3. Levofloksasin 750 mg qd 5 hari
4. Sefodoksim proksetil 200 mg bid 10 hari
5. Seftibuten 400 mg qd 10 hari
6. Trimetoprim-sulfametoksazol 160/800 mg bid 14 hari
7. Co-amoksiclav 125/500 mg tid 14 hari
Tabel 1.6 Terapi Empiris Antimikroba Parenteral yang
Direkomendasikan untuk Pyelonefritis Akut Tanpa komplikasi
No Nama obat Dosis parenteral
1. Siprofloksasin 400 mg bid
2. Levofloksasin 250-500 mg qd
3. Levofloksasin 750 mg qd
4. Sefotaksim 2 gram tid
5. Seftriakson 1-2 gram qd
6. Sefazidim 1-2 gram tid
7. Sefepim 1-2 gram bid
8. Ko-amoksiklav 1,5 gram tid
9. Piperasilin/tazobaktam 2,5-4,5 gram tid
10. Gentamisin 5 mg/kg qd
11. Amikasin 15 mg/kg qd
12. Ertapenem 1 gram qd
13. Imipenemmeropenem 0,5 gram tid
14. Doripenem 1 gram tid
15. Trimetoprim- 0,5 gram tid
sulfametoksazol

38
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

BAB II

PROFIL PASIEN
2.1 Biografi Pasien
Profil Pasien
Nama / usia NG
Usia 51 th
Berat Badan -
Tinggi Badan -
Alamat Jl Cemara Udang RT 2/4 Batu
Diagnose awal CVA ICH SC D Vol 77 CC OH-2 + IVH + HT ST. II

Diagnose akhir CVA ICH SC D Vol 77 CC OH-2 + IVH + HT ST. II + ISK +


Conjungtivis
MRS/KRS 01-11-2019 / ...
Alasan MRS Hilang Kesadaran, Muntah 3x, Pusing berputar, Bicara Pelo

Riwayat Alergi Tidak ada

2.2 Tanda-Tanda Vital


Data Nilai Normal Tanggal
01/11 02/11 03/11 04/11 05/11 06/11 07/11
TD 120/80 mmHg 160/90 190/90 160/180 190/98 150/80 150/80 150/80
Nadi 60-80x/menit 84x 92x 94x 117x 98x 94x 98x
RR 20 x/menit 22x 20x 20x 20x 24x 26x 24x
o o o o
Suhu 36-37 C 36C 37 C 36,8 C 36,7 C 36,7C 36,7C 36 C

Data Nilai Normal Tanggal


08/11 09/11 10/11 11/11 12/11 13/11 14/11
TD 120/80 mmHg 150/80 160/90 160/90 117/68 184/74 158/81 199/88
Nadi 60-80x/menit 86x 90x 104x 104x 104x 88x 110x
RR 20 x/menit 24x 22x 30x 24x 25x 24x 24x
o o o o
Suhu 36-37 C 36C 37 C 36,8 C 36,7 C 36,7C 36,7C 36 C

39
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

2.3 Data Klinis


Data Tanggal
1/11 2/11 3/11 4/11 5/11 6/11 7/11
GCS 325 235 235 235 225 235 235
Demam
Muntah
Hematuria

Data Tanggal
8/11 9/11 10/11 11/11 12/11 13/11 14/11
GCS 235 235 235 235 225 235 324
Demam +
Muntah +
Hematuria +

2.4 Data Laboratorium


NILAI
DATA LAB SATUAN 04/11 10/11
NORMAL

Hemoglobin 11,5-15,1 g/dL 14,5 10,9


Eritrosit (RBC) 4,0-5,5 10⁶/µL 5,07 3,7
Leukosit (LBC) 4,3-10,3 10³/µL 13,17 8,2
Hematokrit 40-47 % 45,4 32,7
Trombosit 142-424 10³/µL 319 168
MCV 80-93 FL 89,5 88,4
MCH 27-31 Pg 28,6 29,5
MCHC 32-36 g/dL 31,9 33,3
RDW 11,5-14,5 % 12,5 12,1
PDW 9-13 FL 11,2 12,7
MPV 7,2-11,1 FL 9,9 10,8
P-LCR 15-25 % 23,7 30,7
PCT 0,15-0,4 % 0,32 0,18
NRBC abs 0 10³/µL 0,00 0,01
NRBC % 0 % 0,0 0,2
Eosinofil 0-4 % 0,8 3,8

40
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

Basofil 0-1 % 0,2 0,2


Neutrofil 51-67 % 82,2 70,3
Limfosit 25-33 % 10,5 18,9
Monosit 2-5 % 6,3 6,8
Urinalisis

Tanggal
Parameter Normal Satuan
3/11 10/11
Kekeruhan Keruh Keruh
Warna Coklat Kuning
PH 4,5-8 6 5,5
Berat jenis 1,005-1,030 1,025 >1,030
Glukosa Negatif - -
Protein Negatif 2+ 2+
Keton Negatif - -
Bilirubin Negatif - -
Urobilinogen <17 µmol/L 16 3,2
Nitrit Negatif + -
Leukosit Negatif 2+ 2+
Darah Negatif 3+ 3+

10x

Epitel ≤3 LPK 0,2 3,0


Silinder -
40x

Eritrosit ≤3 LPB 1935,5 318,2


Eumorfik % 96 95
Dismorfik % 4 5
Lekosit ≤5 LPB 75 1442,9
Kristal -
Bakteri ≤93 x103/ml 1502,5 10142,1

41
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

NILAI
DATA LAB SATUAN 01/11 H2
NORMAL

PH 7,35-7,45 7,34

PCO2 35-45 mmHg 39,6

PO2 80-100 mmHg 92

HCO3 21-28 mmol/L 21,4

BE (-3)-(+3) mmol/L -4,6

Saturasi O2 >95 % 99,9

HB g/dL 13,4

Suhu 36-37 ºC 37,0

NILAI
DATA LAB SATUAN 4/11 10/11
NORMAL

Na 136-145 mmol/L 140 141

K 3,5-5 mmol/L 4,08 4,17

Cl 98-106 mmol/L 117 120

NILAI
DATA LAB SATUAN 01/11 10/11
NORMAL

AST/SGOT 0-32 U/L 21

ALT/SGPT 0-33 U/L 18

Albumin 3,5-5,5 g/dL 4,64 3,28

42
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

NILAI
DATA LAB SATUAN 1/11 H2
NORMAL

TG <250 mg/dL 103

T-Chol <200 mg/dL 178

LDL <100 mg/dL 111

HDL >50 mg/dL 59

NILAI
DATA LAB SATUAN 01/11 H2
NORMAL

GDS <200 mg/dL

GDP 60-100 mg/dL 118

GD2PP <130 mg/dL 154

HbA1c 5,7 %

DATA LAB NILAI NORMAL SATUAN 10/11

Ureum 16,6-48,5 mg/dL 59,3

Cr <1,2 mg/dL 0,67

Asam urat 3,4-7 mg/dL

43
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

2.5 Profil Pengobatan

No OBAT RUTE DOSIS (01/11) (02/11) (03/11) (04/11) (05/11) (06/11) (07/11)
1 O2 NC 2-4 lpm V V NRBM V V V V
8lpm
2 IVFD NaCl 0,9% IV 20 tpn V V V V V V V
3 Citicoline IV 2 dd 250 mg V V V V V V V
4 Omeprazol IV 1 dd 40 mg V V V V V V V
5 Antrain IV 3 dd 1 g V V V Prn prn prn V
6 Metoklopramid IV 3 dd 10 mg V V V Prn prn prn prn
7 Drip Nicardipin IV 5-15 mg/jam V V V - V V V

8 Manitol IV 6 dd 100 cc V V 5 dd 10 V 4 dd 100 3 dd 100 2 dd 10


0 cc cc cc 0 cc
9 Acetazolamide PO 3 dd 250 mg V V V V V V V
10 Drip Diltiazem IV 5-15 mg/jam - - - V - - -
11 Amlodipine PO 10 mg-0-0 - - - V V V V
12 Valsartan PO 0-0-80 mg - - - V V 80-0-80 V
mg
13 Ciprofloxacin IV 2 dd 400 mg - - - V V V V
14 NAC PO 3 dd 200 mg V V
15 Levofloxacin IV 1 dd 750 mg
16 Chloramphenicol 3 dd I ODS
17 Nifedipine PO 3 dd 10 mg

44
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

No OBAT RUTE DOSIS (08/11) (09/11) (10/11) (11/11) (12/11) (13/11) (14/11)
1 O2 NC 2-4 lpm V V V V V V V
2 IVFD NaCl 0,9% IV 20 tpn V V V V V V V
3 Citicoline IV 2 dd 250 mg V V V V V V V
4 Omeprazol IV 1 dd 40 mg V V V V V V V
5 Antrain IV 3 dd 1 g V V V V V V V
6 Metoklopramid IV 3 dd 10 mg prn prn prn prn prn prn V
7 Drip Nicardipin IV 5-15 mg/jam - V V V V - -

8 Manitol IV 6 dd 100 cc 1 dd 100 - - - - - -


cc
9 Acetazolamide PO 3 dd 250 mg V V V V V V V
10 Drip Diltiazem IV 5-15 mg/jam V - - - - - V
11 Amlodipine PO 10 mg-0-0 V V V V V V -
12 Valsartan PO 0-0-80 mg 160-0-1 V V V V V V
60 mg
13 Ciprofloxacin IV 2 dd 400 mg //
14 NAC PO 3 dd 200 mg V V V V V V V
15 Levofloxacin IV 1 dd 750 mg V V V V V V V
16 Chloramphenicol 3 dd I ODS V V
17 Nifedipine PO 3 dd 10 mg V V

45
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

BAB III

PEMBAHASAN

Ny.NG adalah pasien rujukan dari Rumah Sakit Batu pada tanggal 31
Oktober 2019. Keluhan utama pasien adalah penurunan kesadaran, lemah pada
setengah bagian tubuh sebelah kanan, bicara pelo disertai muntah dan pusing
berputar. Riwayat penyakit Hipertensi dengan tidak terkontrol dan Riwayat
penyakit pada keluarga disangkal. Baru terdiagnosa CVA ICH dan IVH saat di RS
Batu dan langsung dirujuk pada tanggal 31 Oktober 2019.

Pasien dirujuk ke IGD RSSA pada tanggal 31 Oktober 2019 mendapatkan


terapi Citicolin (1x500mg PO); Omeprazole (1x40mg IV); Ondansetron (1x40
gram IV); dan Drip Nicardipine (0,5 mg/kgBB) IV, dengan GCS 335. Diagnosa
utama Ny.NG adalah CVA Intracerebral Hemorrhage. Pada tanggal 1 November
2019 pasien dipindahkan dari IGD ke Ruang Stroke Unit IRNA 1 untuk tindakan
kuratif.
Selama dirawat di R25 Pasien mendapatkan terapi untuk kondisi CVA,
Hipertensi, dan ISK yaitu Citicolin IV 2x250mg, Omeprazol IV 1x20mg, Antrain
IV 3x1g, Metoklopramid IV 3x10mg, Drip Nicardipin, Drip Diltiazem, Manitol
IV 6x100cc yang di tappering off secara berkala, Acetazoamide PO 3x250mg,
Amlodipine PO 1x10mg, Valsartan PO 1x80mg yang ditingkatkan menjadi
2x80mg lalu 2x160mg, Nifedipine PO 3x10mg, Ciprofloxacin IV 2x400mg,
Levofloxacin IV 1x750mg, NAC PO 3x200mg, dan Chloramphenicol salep mata
3x ODS.

Terapi yang diberikan untuk CVA yaitu pemberian neuroprotektor


Citicolin. Pasien mendapatkan terapi citicolin 2x250 mg. Penggunaan citicolin
ditujukan untuk menyelamatkan bagian-bagian yang telah mengalami penurunan
aliran darah otak (tetapi tidak berhenti sama sekali) dimana kemungkinan masih
dapat diselamatkan, daerah tersebut yang dinamakan sebagai daerah penumbra
iskemik (Wibowo dan Gofir, 2001). Citicoline sebagai neuroprotektan yang
berfungsi memperbaiki membran sel dengan cara menambah sintesis
phosphatidylcholine yang merupakan komponen utama membran sel terutama
46
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

otak. Meningkatnya sintesis phosphatidylcholine akan berpengaruh pada


perbaikan fungsi membran sel yang mengarah pada perbaikan sel (Doijad, dkk.
2012).

Berdasarkan Panduan Praktik Klinis (PPK) Stroke di RSSA, penggunaan


Citicolin untuk pasien CVA thrombosis adalah <2000mg/hari, sedangkan untuk
CVA hemorrhage adalah <1000mg/hari. Pasien diberikan citicoline 2x250 mg
sesuai dengan pustaka <1000 mg/hari, karena apabila diberikan 250mg/hari terapi
kurang adekuat sehingga pasien diberikan dosis 500mg/hari dengan tujuan untuk
meminimalkan risiko efek samping potensial pendarahan pada penggunaan
citicoline.
Pada pasien sakit kritis sangat mungkin terjadi stress ulcer terutama pada
pasien rawat inap dengan intake makanan rendah dan tirah baring lama. Selain
kondisi dari pikiran pasien dapat meningkatkan produksi hiperasam lambung.
Penanganan pencegahan tinggi nya asam lambung dapat diberikan obat golongan
PPI atau antihistamin-2. Pada pasien diberikan Omeprazole IV 1x40 mg yang
merupakan golongan proton pump inhibitor dengan mekanisme kerja menekan
sekresi asam lambung dgn memblok “proton pump (H+/K+/ATP)” pada sel
parietal lambung. Golongan PPI terbukti lebih efektif dalam juga mencegah
terjadinya pendarahan pada saluran pencernaan pasien (Alhazani, 2013).
Pada tanggal 1,2,3, dan 14 November pasien mengalami mual dan muntah
sehingga diberikan Metoklopramid IV 3x10 mg yang berfungsi sebagai antiemetic
dengan mekanisme memblokade reseptor dopamin dan (ketika diberikan dalam
dosis tinggi) juga akan memblokade reseptor serotonin pada chemoreceptor
trigger zone pada CNS; meningkatkan respon asetilkolin dari jaringan pada
bagian atas GIT yang menyebabkan peningkatan motilitas dan mempercepat
pengosongan lambung (DIH, 2009). Efek samping potensial yang perlu
dimonitoring pada penggunaan metoklopramid adalah ekstrapiramidal dengan
gejala demam, pusing, dan kejang

Kondisi stroke diketahui menyebabkan respon inflamasi dengan


meningkatkan kadar sel darah putih (SDP) pada darah perifer. Konsekensinya
adalah meningkatnya suhu tubuh dan rendahnya fungsi organ. Dapat

47
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

direkomendasikan terapi antibiotik dan terapi antipiretik untuk menanganan


peningkatan suhu tubuh setelah stroke terjadi. Nekrosis pada otak yang terjadi
menyebabkan reaksi inflamasi yang kuat sehingga menyebabkan demam,
peningkatan CRP dan peningkatan SDP. Pasien mengalami demam dengan suhu
tubuh diatas 37oC sehingga diberikan Antrain IV 3x1g yang berfungsi sebagai
antipiretik dengan mekanisme inhibisi siklooksigenase-3 sentral dan aktivasi
sistem opioidergik dan sistem kanabinoid. Metamizole dapat memblokir jalur
demam PG-dependent dan PG-independent yang diinduksi oleh LPS (Jacieska,
2014). Pada panduan tatalaksana, yang direkomendasikan sebagai antipiretik
adalah Acetaminophen PO, namun karena pasien tidak sadar dengan GCS 235 dan
suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi sehingga diberikan Antrain. Namun jika suhu
deman diatas 38oC direkomendasikan pengunaan Acetaminophen IV.
Pasien diberikan nicardipin pada tanggal 1-12 november, namun
dihentikan pada tanggal 4/11. Pada tanggal 4/11 dan 14/11, diberikan dengan drip
diltiazem 5-15 mg/jam, dikarenakan pada tanggal tersebu HR pasien meningkat
menjadi >100 x/menit yaitu 117 x/menit dan 110x/menit. Nicardipin memiliki
efek samping takikardia sehingga direkomendasikan tidak diberikan pada kondisi
HR >100 x/menit. Kemudian untuk diltiazem diberikan pada kondisi HR
>100x/menit karena memiliki mekanisme bradikardi, namun tidak dapat diberikan
saat kondisi HR <60 x/menit.
Kemudian pada tanggal 1/11-8/11 pasien di berikan manitol dengan dosis
awal 8x100 cc. Manitol digunakan untuk mengatasi peningkatan tekanan
intrakranial dengan cara memindahkan cairan intraseluler ke intravaskuler melalui
perbedaan gradien osmotik antara otak dengan darah. Manitol akan menyebabkan
diuresis cairan yang berlebihan sehingga terjadi gangguan cairan dan elektrolit.
Keadaan ini akan menimbulkan hipovolemia dan juga hipotensi yang dapat
mengganggu hemodinamik sehingga menurunkan perfusi otak yang akan
memperburuk kondisi cedera otak traumatik itu sendiri. Dosis manitol dilakukan
tappering off juga dikarenakan efek samping yang lain dari manitol itu sendiri,
yaitu rebound fenomena. Yang dimaksud rebound fenomena adalah peningkatan
tekanan intrakranial pada penggunaan manitol dalam waktu yang lama sehingga
mengakibatkan akumulasi manitol di dalam jaringan otak sehingga tekanan

48
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

osmotik menjadi lebih tinggi di jaringan yang menarik cairan dari pembuluh darah
ke jaringan otak yang menyebabkan edema otak lebih berat.
Kemudian pada tanggal 1/11 – 14/11 pasien diberikan terapi acetazolamid
3x250 mg peroral. Terapi ini diberikan dengan tujuan untuk diuresis pada kondisi
ICH dengan volume darah yang keluar banyak sehingga diberikan duo diuretik.
Acetazolamid merupakan inhibitor karbonat anhidrase yang sangat menekan
reabsorpsi HCO3- di tubulus proksimal. Sedangkan pembentukan cairan
serebrospinal oleh pleksus koroidesus melibatkan sekresi HCO3-.. sehingga
apabila sekresi HCO3- berlebih, maka akan menyebabkan menumpuknya cairan
serebrospinal sehingga menyebabkan terjadinya tekanan inrakranial.
Asetazolamid sendiri merupakan inhibitor karbonat anhidrase, yang mana obat ini
efektif untuk mengurangi tekanan intrakranial.
Pasien diberikan amlodipin 1x10 mg dan valsarta 1x80mg pada tanggal
4/11-12/11, tujuannya adalah untuk menurunkan tekanan darah pasien yang masih
tinggi. Kedua terapi tersebut juga merupakan terapi lini pertama pada kondisi
hipertensi kelas 2. Dalam Kasus ini pasien yang awalnya diberikan terapi
golongan CCB yaitu amlodipin 1x10 mg (long acting) kemudian diganti dengan
nifedipin 3x10mg PO (short acting) pada tanggal 13/11 dengan alasan
penggantian dari obat kerja panjang menjadi kerja pendek adalah karena pasien
membutuhkan penurunan tekanan darah lebih cepat dengan penurunan yang
signifikan
Pada diagnosis penyakit ISK pasien diberikan terapi pengobatan antibiotik
fluoroquinilon dimana obat ini merupakan lini utama untuk bakteri gram (-) yakni
bakteri yang biasanya penyebab ISK antara lain Escherichia coli. Pada tanggal 4
november hingga tanggal 7 november pasien diberikan siprofloksasin sebagai
antibiotik empiris untuk penyakit ISK. Pada tanggal 8 November terapi
pengobatan siprofloksasin diganti menjadi levofloksasin karena melihat dari hasil
Lab kultur bakteri dimana hasil kulturnya yakni biakan urin Entercoccus faeculis
dan spesifik terhadap antibiotik antara lain Ampicillin, Benzilpenicillin dan
Levofloxacin. Hasil kultur tersebut selanjutnya mengacu kepada PPAM RSUD
Saiful anwar, dimana rekomendasi antibiotik lini utama untuk ISK adalah
Levofloxacin.

49
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pemberian dan Pemilihan Terapi bertujuan untuk mengontrol tekanan


intrakranial dan tekanan darah sehingga mengurangi keluhan dan gejala pada
pasien serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

4.2 Saran

DRP Potensial Aktual Intervensi

Pilihan Obat yang - Pada tanggal 10/11- Monitoring HR =


kurang tepat 12/11 ada < 100 x/menit.
peningkatan HR =
Rekomendasi
104 x / menit,
terkait DRP:
Nicardipin IV
kontraindikasi pada Bila HR > 100 x
kondisi dengan HR > / menit terapi
100 x / menit. Nicardipin IV
diganti dengan
diltiazem IV.

50
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

DAFTAR PUSTAKA
Alhazani. proton pump inhibitor versus histamine-2 receptor antagonist for stress
ulcer prophylaxis in critically ill patients: a systematic review and meta-
analysis. journal of Critical Care Medication. 2013. 41(3):693-705.
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson,
P.A.,Kradjan, W.A., 2013, Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics
The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Pennsylvania, United States of America.
Audebert, H., Michaela M. Rott, MD; Thomas Eck, MD; Roman L. Haberl, MD.
Systemic Inflammatory Response Depends on Initial Stroke Severity but Is
Attenuated by Successful Thrombolysis. Journal of Stroke. 2005. 2128-2133
Dennison-himmelfarb C., Handler J. and Lackland D.T., 2014, 2014
EvidenceBased Guideline for the Management of High Blood Pressure in
Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint
National Committee (JNC 8), , 1097, 1–14
Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto B., Turana Y. 2009. Panduan Praktis
Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Dipiro, J.T., 2017, Pharmacoterapy Handbook, 10th Edition, McGraw-Hill, New
York.
Geyer, James D. & Gomez, Camilo R. 2009. Stroke A Practical Approach.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolter Kluwer
Business. Page: 15.
Ghandorh, Hamza& Mackenzie, Justin & De Ribaupierre, Sandrine & Eagleson,
Roy. (2017). Development of Augmented Reality Training Simulator
Systems for Neurosurgery Using Model-Driven Software Engineering.
10.1109/CCECE.2017.7946843.
Hemophill et al; The ICH score: A simple, reliable grading scale for
intracerebralhemorrhage. Stroke 32 (4):891-7, 2001.
Kasper, D.L., Longo D.L., Jameson J.L., Fauci A.S., Hauser S.L. and Loscalzo J.
2012. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 18th ed., McGraw Hill
Companies, Inc., United States of America.

51
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stroke.
Komite Pengendalian Resistensi Antibiotik RSSA. 2019. Pedoman Penggunaan
Anti Mikroba RSSA 2019. RSSA, Malang.
Lacy, C.F., et al., 2009, Drug Information Handbook, 17th Edition, American
Pharmacists Association, Lexi-Comp, Hudson, Ohio.
Mancia G., Fagard R., Narkiewicz K., Redon J., Zanchetti A., Böhm M.,
Christiaens T., Cifkova R., De Backer G., Dominiczak A., Galderisi M.,
Grobbee D.E., Jaarsma T., Kirchhof P., Kjeldsen S.E., Laurent S., et al.,
2013, 2013 ESH/ESC guidelines for the management of arterial
hypertension: The Task Force for the management of arterial hypertension
of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European
Society of Cardiology (ESC), European Heart Journal, 34 (28), 2159–2219.
Sabin, J.A., and Roman, G.C. (2013). The Role of Citicoline in Neuroprotection
and Neurorepair in Ischemic Stroke. Brain Sci. 2013, 3, 1395-1414;
doi:10.3390/brainsci3031395

52
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

LAMPIRAN SOAP HARIAN DAN ANALISA KEFARMASIAN


Analisis Kefarmasian Problem Medik

S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

- GCS: Citicoline IV 2 dd 250 mg METO :


1/11: 335 Indikasi : Neuroprotektor dan memperbaiki sirkulasi darah otak akibat ICH GCS ,
2/11: 235 dengan mengurangi infark volume dan ukuran edema otak (Efek neuroprotektif)
3/11: 235 Mekanisme kerja : menstabilkan membran sel dengan meningkatkan
4/11: 235 sintesis Phosphatidycholine dan Sphingomyelin dan dengan menghambat MESO :
5/11: 225 pelepasan asam lemak bebas; citicoline menghambat pelepasan glutamat Tanda pendarahan
6/11: 225 selama iskemia (Brainsci, 2013)
7/11: 225 Dosis literatur: hingga 1000 mg/hari (MD, 2009)
8/11: 235 Efek samping : Pendarahan
9/11: 235 DRP : -
10/11: 225
11/11: 235
12/11: 225
13/11: 235
14/11: 324

53
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

- - Omeprazol IV 1 dd 40 mg METO :
Indikasi : Pencegahan stress ulcer dan perlindungan lambung pada pasien Mual dan muntah (-)
Mekanisme kerja : menurunkan sekresi asam dalam sel parietal lambung
melalui penghambatan sistem enzim H+/K+ ATPase MESO : -
Dosis literatur: 20-40 mg/hari (DIH, 2009)
Efek samping : -
DRP : -
S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

- Suhu (°C): Antrain (Metamizole) IV 3 dd 1 g METO :


1/11: 35,9 Indikasi : Analgesik dan antipiretik Nyeri (-), Suhu normal
2/11: 36,4 Mekanisme kerja : inhibisi siklooksigenase-3 sentral dan aktivasi sistem <37°C
3/11: 36 opioidergik dan sistem kanabinoid. Metamizole dapat memblokir jalur
4/11: 36,2 demam PG-dependent dan PG-independent yang diinduksi oleh LPS; MESO : -
5/11: 36,8 menghambat pelepasan Ca2 + intraseluler sebagai akibat dari berkurangnya
6/11: 36,5 sintesis inositol fosfat (Jacieska, 2014)
7/11: 36,5 Dosis literatur:
8/11: 37,3 2-5 ml IV/hari - (500mg/ml)

54
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

9/11: 36,7 Efek samping : -


10/11: 37,6 DRP : -
11/11: 36,8
12/11: 37
13/11: 36,8
14/11: 36,3
S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

Tgl.(1/11), (2/11), - Metoklopramid IV 3 dd 10 mg METO :


(14/11): Muntah Indikasi : Antiemetik Mual dan muntah (-)
Mekanisme kerja : Memblokade reseptor dopamin dan (ketika diberikan
dalam dosis tinggi) juga akan memblokade reseptor serotonin pada MESO :
chemoreceptor trigger zone pada CNS; meningkatkan respon asetilkolin Efek ekstrapiramidal,
dari jaringan pada bagian atas GIT yang menyebabkan peningkatan Sakit kepala/pusing
motilitas dan mempercepat pengosongan lambung (DIH, 2009)
Dosis literatur: 10-30 mg IV
Efek samping : Ekstrapiramidal (>10%), Sakit kepala, pusing (1-10%)
(DIH, 2009)
DRP : -

55
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

- GCS: Manitol IV METO:


1/11: 335 Indikasi : mengurangi edema serebral pada perdarahan intraserebral akut GCS meningkat
2/11: 235 Mekanisme kerja : meningkatkan tekanan osmotik filtrat glomerulus yang Psikomotor pasien
3/11: 235 menghambat reabsorpsi air dan elektrolit tubular dan meningkatkan output
4/11: 235 urin. MESO:
5/11: 225 Dosis pustaka : I.V.: 0.25-1.5 g/kg/dose I.V. Larutan 15% - 20% selama 30 Monitoring fungsi ginjal,
6/11: 225 menit. monitoring kadar
7/11: 225 Dosis pasien : 6 x 100 cc (1/11-2/11), 5 x 100 cc (3/11 – 4/11), 4 x 100 cc natrium dan kalium,
8/11: 235 (5/11), 3 x 100 cc (6/11), 2 x 100 cc (7/11), 1 x 100 cc (8/11) monitoring AGD.
9/11: 235 ES : diuresis berat, dehidrasi, nefrotoksik, hipernatremi, hiponatremi,
10/11: 225 hiperkalemia, asidosis metabolik (DIH 17th)
11/11: 235 DRP : -
12/11: 225
13/11: 235
14/11: 324

56
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

- GCS: Acetazolamid METO:


1/11: 335 Indikasi : mengurangi edema pada otak. Peningkatan GCS
2/11: 235 Mekanisme: menghambat karbonat anhidrase dalam sistem saraf pusat
3/11: 235 untuk menghambat pelepasan abnormal dan berlebihan dari neuron SSP MESO:
4/11: 235 Dosis pustaka : 750 mg / hari Monitoring kadar kalium
5/11: 225 Dosis pasien : 3 x 250 mg dan natrium, monitoring
6/11: 225 ES : hipokalemia, hiponatremia, asidosis metabolik analisa gas darah
7/11: 225 DRP : -
8/11: 235
9/11: 235
10/11: 225
11/11: 235
12/11: 225
13/11: 235
14/11: 324

57
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

- TD (mmHg): Drip Nicardipin METO :


1/11: 160/90 Indikasi : antihipertensi pada ICH TD <140/100 mmHG
2/11: 150/90 Mekanisme : menghambat pergerakan kalsium ke dalam sel jantung melalui
3/11: 160/100 pembuluh darah, sehingga dapat meningkatkan pasokan darah dan oksigen MESO :
4/11: 190/80 menuju jantung Monitoring HR > 100 x /
5/11: 150/80 Dosis pustaka : Awal: 5 mg / jam meningkat 2,5 mg / jam setiap 5 menit menit
6/11: 150/80 hingga maksimum 15 mg / jam;
7/11: 150/80 Dosis pasien : 5 – 15 mg / jam (tepat dosis) Rencana terkait DRP:
8/11: 150/80 ES : edema perifer, takikardia Bila HR > 100 x / menit,
9/11: 160/90 DRP: Pilihan obat yang kurang tepat terapi diganti dengan
10/11: 160/90 diltiazem IV
HR : 104 x /
menit
11/11: 184/74
HR : 104 x /
menit
12/11: 156/81

58
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

HR : 104 x /
menit
13/11: 199/88

S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

59
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

- TD (mmHg): Drip diltiazem METO :


4/11: Indikasi : untuk antihipertensi pada strok perdarahan TD < 140/100 mmHg
190/80 HR:117 Mekanisme : menghambat pergerakan kalsium ke dalam sel jantung melalui HR < 100x/menit
8/11: pembuluh darah, sehingga dapat meningkatkan pasokan darah dan oksigen
150/80 HR: 110 menuju jantung MESO :
14/11: Dosis pustaka : 5-20 mcg/kgBB/menit Bradikardi (HR < 60 x /
196/96 HR:110 Dosis pasien : 5 – 15 mg / jam menit)
Efek samping : bradikardia
S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

- TD (mmHg): Valsartan METO :


1/11: 160/90 Indikasi : antihipertensi TD <140/100 mmHg
2/11: 150/90 Mekanisme : menghambat efek angiotensin II yang menyebabkan HR <100 x/menit
3/11: 160/100 pembuluh darah menyempit
4/11: 190/80 Dosis pustaka : 80 mg atau 160 mg sekali sehari (pada pasien yang volume MESO :
5/11: 150/80 tidak habis); dosis dapat ditingkatkan untuk mencapai efek yang diinginkan; HR meningkat > 100 x /
6/11: 150/80 dosis maksimum yang disarankan: 320 mg / hari menit, kadar BUN
7/11: 150/80 Dosis pasien : 80 mg / hari, ditingkatkan menjadi 160 mg / hari
8/11: 150/80 ES : pusing (17%), meningkatkan kadar BUN > 50%

60
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

9/11: 160/90
10/11: 160/90
11/11: 184/74
12/11: 156/81
13/11: 199/88
14/11: 196/96
S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

- TD (mmHg): Amlodipin METO :


1/11: 160/90 Indikasi : antihipertensi TD <140/100 mmHg
2/11: 150/90 Mekanisme : menghambat pergerakan kalsium ke dalam sel jantung melalui HR <100 x/menit
3/11: 160/100 pembuluh darah, sehingga dapat meningkatkan pasokan darah dan oksigen
4/11: 190/80 menuju jantung MESO :
5/11: 150/80 Dosis pustaka : 5 mg sekali sehari; dosis maksimum: 10 mg sekali sehari. HR meningkat > 100 x /
6/11: 150/80 Dosis pasien : 10 mg / hari menit
7/11: 150/80 ES : edema perifer, takikardia
8/11: 150/80
9/11: 160/90
10/11: 160/90

61
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

11/11: 184/74
12/11: 156/81
13/11: 199/88
14/11: 196/96
S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

- 13/11 TD : Nifedipine per oral METO :


199/88 Indikasi : antihipertensi TD menurun < 140/100
14/11 TD : Mekanisme kerja : memblok saluran kalsium, menghambat masuknya mmHg
196/96 transmembran ion kalsium ekstraseluler melintasi membran sel otot polos
miokard dan vaskuler tanpa mengubah konsentrasi kalsium serum, MESO :
menghambat kontraksi otot polos jantung dan pembuluh darah, sehingga Monitoring edema
melebarkan arteri koroner perifer, mual dan
Dosis literatur : 3 x 10 mg sediaan konvensional atau 30 mg/hari bentuk heartburn, lemah saraf.
sediaan sustained release
Dosis pasien : 3 x 10 mg
Efek samping : edema perifer (50%), mual/heartburn (10%), lemah saraf
(12%) (DIH 17th)
S O A (ASSESMENT) P (PLAN)

62
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

(SUBYEKTIF) (OBYEKTIF)

- Nilai WBC Ciprofloxacin METO :


4/11 = 13,17 Indikasi : terapi empiris pada infeksi saluran kemih (PPAM RSSA, 2016) Nilai WBC normal
5/11= 8,2 Mekanisme kerja : menghambat relaksasi DNA, merusak DNA untai ganda
Urinalisis Dosis literatur: 400 mg/ 12 jam intravena MESO :
Dosis pasien : 2 x 400 mg IV Mual, muntah
Efek samping : Mual, muntah
DRP : -
S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

Nilai WBC Levofloxacin METO :


4/11 = 13,17 Indikasi : terapi definitif pada infeksi saluran kemih Nilai WBC normal
5/11= 8,2 Mekanisme kerja : menghambat relaksasi DNA, merusak DNA untai ganda
Hasil Kultur Tgl. Dosis literatur: uncomplicated : 250 mg sehari sekali selama 3 hari. MESO :
6/11: Complicated ; termasuk pielonefritis akut: 250 mg sekali sehari selama 10 Mual, muntah
Rekomoendasi hari atau 750 mg sekali sehari selama 5 hari
Antibiotik Dosis pasien : 1 x 750 mg
Levofloxacin Efek samping : Mual, muntah

63
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

S O A (ASSESMENT) P (PLAN)
(SUBYEKTIF) (OBYEKTIF)
Batuk - N-Acetylcysteine METO :
Indikasi : Mukolitik Pasien dapat
Mekanisme : memecah benang mukoprotein dan mukopolisakarida mengeluarkan dahak
Dosis pustaka: 3x200mg
ES : Mual, muntah,diare MESO :
Efek samping mual
muntah, diare, pusing
dan tinitus
S (SUBYEKTIF) O (OBYEKTIF) A (ASSESMENT) P (PLAN)

Mata berair - Chlorampenicol METO :


Indikasi : konjungtivitis ODS Nilai WBC normal
Mekanisme kerja : mengikat secara reversibel dengan subunit 50s ribosom Kondisi mata membaik,
bakteri berair (-)
Dosis literatur: kloramfenikol salep mata 1%
Dosis pasien : 3 x sehari ODS MESO : -
Efek samping : -

64
Praktek Kerja Profesi Apoteker
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Periode 07 Oktober – 29 November 2019

65
LAPORAN KLINIS
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER
ANGKATAN LVII
UNIVERSITAS SURABAYA
UNIVERSITAS WIDYA MANDALA
DI INSTALASI FARMASI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 2, Klojen, Kota Malang
(7 OKTOBER – 29 NOVEMBER 2019)
Analisis Kefarmasian
Pada pasien Ca Ovarium dengan Dysgerminoma
Pasien IRNA 3 Ruang 9

Oleh :
Bustanul Arifin
Ajeng Enggar S.P
Peronica Chrisna M.
Alfin Giovani

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

2019
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

II
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 1

1.1 Ovarium................................................................................ 1

1.1.1 Anatomi Ovarium.................................................................. 1

1.1. 2 Histologi Ovarium................................................................ 2

1.1. 2 Fisiologi Ovarium................................................................. 2

1.2 Kanker Ovarium....................................................................3

1.2. 1 Definisi Kanker Ovarium......................................................3

1.2. 2 Etiologi Kanker Ovarium......................................................3

1.2. 3 Faktor Resiko Kanker Ovarium............................................ 4

1.2. 4 Patogenesis Kanker Ovarium................................................5

1.2. 5 Manifestasi Klinis Kanker Ovarium..................................... 5

1.2. 6 Stadium Kanker Ovarium..................................................... 6

1.2. 7 Klasifikasi Kanker Ovarium................................................. 6

BAB II STUDI KASUS....................................................................................... 8

2.1 Profil Pasien.......................................................................... 8

2.2 Tanda-Tanda Vital Pasien.....................................................8

2.3 Tanda-Tanda Klinis Pasien................................................... 8

2.4 Data Laboratorium................................................................ 9

2.5 Profil Terapi........................................................................ 10

2.5.1 Protokol Kemoterapi............................................................11

III
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

2.5.2 Perhitungan Body Surface Area (BSA)...............................11

2.5.3 Perhitungan Carboplatin Berdasarkan AUC........................12

2.6 Analisis Kefarmasian (SOAP)............................................ 12

2.7 Obat KRS (Keluar Rumah Sakit)........................................17

2.8 Drug Related Problem........................................................ 19

2.9 Asuhan Kefarmasian...........................................................19

2.10 Saran Terapi Non Farmakologi...........................................19

BAB III PEMBAHASAN............................................................................... 20

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 26

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 27

LAMPIRAN........................................................................................................ 29

IV
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 OVARIUM
1.1.1 Anatomi Ovarium

Ovarium adalah kelenjar-kelenjar yang berbentuk seperti buah almond,


dengan ukuran sekitar 4 cm dan terletak didekat dinding-dinding pelvis lateral,
melekat pada mesovarium ligamentum latum uteri. Ujung distal ovarium
dihubungkan pada dinding-dinding pelvis lateral dengan perantaraan ligamentum
suspensorium ovari, didalam ligamentum suspensorium ini terdapat pembuluh
ovarica pembuluh limfe dan saraf beralih melalui mesovarium ke ovarium.
Masing-masing ovarium melekat pada uterus melalui ligamentum ovarii proprium
yang juga melintas dalam ovarium. Ligamentum ovarian propium ini
menghubungkan ujung proksimal (uterin) ovarium pada sudut lateral uterus, tepat
kaudal dari tuba uterin (Moore & Agur, 2015).

Vaskularisasi ovarium didapat dari aorta abdominalis yang turun


sepanjang dinding abdomen posterior .Arteri kemudian menyilang di pembuluh
darah arteri iliaca eksterna dan masuk ke ligamentum suspensorium. Cabang
ascendens arteri uterina yang merupakan cabang dari arteri iliaca interna berjalan
sepanjang uterus lateral menuju daerah medial ovarium dan tuba. Arteri ovarica
dan arteri uterina ascendens kemudian merupakan cabang perdarahan terakhir dan
kemudian beranatomosis satu sama lainnya yang memberikan sirkulasi kolateral
dari sumber abdominal dan pelvis ke kedua struktur (Moore & Dalley, 2013).

Gambar 1. Anatomi Ovarium (Simamora et al., 2018)

1
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
1.1.2 Histologi Ovarium
Ovarium melekat pada ligamentum latum uteri melalui mesovarium (lipatan
peritoneum) dan bagian lainnya dari ovarium ke dinding uterus melalui ligamentum
ovarii propium (dinding uterus) (Eroschenko, 2017). Permukaan ovarium dilapisi oleh
satu lapisan sel, yaitu epitel germinal dan dibawahnya terdapat jaringan ikat tunika
albuginea. Lapisan berikutnya terdapat korteks yang cukup tebal dan medulla yang
banyak terdapat pembuluh darah. Korteks dan medulla tidak memiliki batas yang jelas
dan kedua bagian ini tampak menyatu. Ovarium memiliki korpus luteum yang berasal
dari folikel yang mengalami ovulasi dan korpus albikans saat korpus luteum
berdegenerasi. Dalam tahap perkembangan (primordial, primer, sekunder, dan matur),
folikel ovarium mengalami proses degenerasi yang disebut atresia dan sel degeneratif
atretik ini kemudian akan dimakan oleh makrofag. Atresia folikel terjadi sebelum
lahir dan akan berlanjut ketika seorang wanita memasuki masa subur (diFiore, 2010).

Gambar 2. Histologi Ovarium (diFiore, 2010)


1.1.3 Fisiologi Ovarium
Ovarium mempunyai lapisan jaringan penyokong diluar dan kerangka jaringan
penyokong di sebelah dalam yang disebut stroma. Sebagian ovarium terdiri dari
korteks luar yang tebal didalamnya berisi folikel ovarium pada berbagai tahap
perkembangan atau tahap menurun. Di bagian tengah ovarium terdapat medulla yang
berisi saraf dan pembuluh darah (Silverthorn, 2014).
Pada organ wanita khususnya pada ovarium yang memiliki fungsi sebagai
penghasil ovum dan mengeluarkan hormone seks wanita yaitu estrogen dan
progesteron. Estrogen berfungsi mengatur pematangan dan pemeliharaan keseluruhan

2
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
sistem reproduksi wanita selain itu estrogen juga berfungsi untuk membentuk
karakteristik seks sekunder pada wanita serta berfungsi untuk pematangan dan
pembebasan ovum, membentuk karakter fisik sekunder wanita, dan transport sperma
dari vagina ke tempat pembuahan di tuba uterina, estrogen juga ikut berperan dalam
perkembangan payudara dalam antisipasi menyusui, (Sherwood, 2014). Sedangkan,
progesteron berperan dalam mempersiapkan lingkungan yang sesuai untuk
memelihara embrio dan kemudian janin serta berperan dalam kemampuan payudara
untuk menghasilkan susu (Sherwood, 2010).

Gambar 3. Fisiologi Ovarium (Tortora, 2010)

1.2 Kanker Ovarium


1.2.1 Definisi Kanker Ovarium
Kanker ovarium adalah kanker yang tumbuh di sel ovarium, kanker ovarium
terdiri dari sel yang terus tumbuh dan sel ini dapat menghancurkan jaringan
disekitarnya, sel kanker dapat menyebar (bermetastasis) ke bagian tubuh yang lain,
kanker ovarium juga merupakan penyakit heterogen yang dapat dibedakan menjadi
tiga jenis utama, yaitu sex cord stromal tumors, germ cell tumor, dan epithelial
ovarium cancer (Canadian Cancer Society, 2017).
1.2.2 Etiologi Kanker Ovarium
Pada hipotesis incessant ovulation penelitian oleh Fathalla yang menjelaskan
hubungan antara ovulasi terus menerus terhadap terjadinya peradangan dan
karsinogenesis ovarium epitel. Hal ini disebabkan karena folikel yang matang tidak
pecah menyebabkan oocyte tidak dilepaskan yang dapat mengakibatkan terjadinya

3
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
lonjakan luteinizing hormon (LH) yang menginduksi ekspresi gen prostaglandin
sintase 2 (PGS-2), kemudian akan mengkodekan enzim yang aktivitasnya sangat
penting untuk ruptur folikel. Hal ini dapat mempengaruhi kerusakan DNA melalui
tekanan oksidatif pada cortical inclusion cysts (CIC) di ovarium, adanya kerusakan
berulang pada lapisan permukaan ovarium saat ovulasi menyebabkan perubahan pada
gen yang mengatur pembelahan sel ovarium sehingga terjadi pembelahan sel yang
berlebihan dan menimbulkan sel kanker (Fathalla, 2013).
1.2.3 Faktor Risiko Kanker Ovarium
1. Usia
Resiko kanker ovarium meningkat seiring dengan bertambahnya umur, kanker
ovarium jarang ditemukan pada wanita yang memiliki usia <40 tahun namun
pada usia ≥60 tahun dapat terjadi kanker ovarium, hal ini dikarenakan wanita
telah mengalami menopause sehingga ovarium seorang wanita berhenti
melepaskan telur dan dapat terjadi peningkatan paparan hormon, seperti
estrogen yang dapat meningkatkan risiko kanker rahim dan kanker payudara
serta adanya peningkatan jumlah ovulasi, yang dapat meningkatkan resiko
kanker ovarium.
2. Jumlah parietas
Jumlah parietas memiliki hubungan dengan penurunan angka kejadian kanker
ovarium ini disebabkan karena pada saat wanita mengalami kehamilan tidak
terjadi proses ovulasi sehingga menurunkan risiko terjadinya mutasi riwayat
keluarga akibat ovulasi yang terus menerus, selain itu pada saat kehamilan
terjadi perubahan hormonal sementara perubahan hormonal ini yang dapat
menginduksi apoptosis sel-sel pre malignan sel kanker (Guire et al., 2016).
Wanita yang memiliki anak memiliki faktor risiko 29% lebih rendah bila
dibandingkan dengan wanita nulipara (wanita yang belum pernah melahirkan
dengan usia keahmilan leboh dari 28 minggu atau belum pernah melahirkan
janin yang mampu hidup diluar rahim) dan semakin angka penurunan risiko
tersebut semakin meningkat setiap kehamilan selanjutnya (Tsilidis et al.,
2012).
3. Obesitas
Obesitas dapat disebabkan karena peningkatan lemak tubuh merupakan lingkungan
yang tepat untuk perkembangan tumor selain itu peningkatan lemak tubuh
akan meningkatkan adhesi sel mesothelial tumor yang akan mengubah struktur

4
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
mesothelial tumor sehingga menyebabkan metastasis ke intraperitoneal (Bae et
al., 2014).
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga salah satu penentu terjadinya kanker ovarium pada anggota
keluarga yang lain. Terutama apabila ibu kandung yang menderita kanker
ovarium, maka 4 sampai 5% maka resiko kanker ovarium pada anggota
keluarga yang lain akan meningkat terutama pada anak perempuan kandung
tersebut.
5. Faktor genetik
Terjadi mutasi genetik BRCA1 dan BRCA2 dengan risiko 50% menyebabkan kanker
ovarium pada kelompok tertentu mekanisme kerjanya adalah berikatan dengan
protein RAD51 selama perbaikan untai ganda DNA, dimana gen ini
mengadakan perbaikan di dalam inti sel, rekombinasi ini menyesuaikan
dengan kromosom dari sel induk, sehingga
kerusakan pada gen ini menyebabkan tidak terdeteksinya kerusakan gen di dalam sel
dan sel yang mengalami mutasi tidak dapat diperbaiki sehingga tumbuh sel
yang bersifat ganas yang berpoliferasi menjadi jaringan kanker (Prawiroharjo,
2013).

1.2.4 Patogenesis Kanker Ovarium


Patogenesis terjadinya kanker ovarium masih belum jelas, akan tetapi berbagai
hipotesis terkait terjadinya kanker ovarium sudah banyak dipublikasikan. Selama
siklus ovulasi berlangsung, epitel permukaan ovarium terus mengalami kerusakan dan
perbaikan berulang. Sel-sel epitel yang mengalami kerusakan dirangsang untuk
berproliferasi, hal ini dapat meningkatkan kemungkinan mutasi spontan. Jika hal ini
terjadi, sel-sel epitel dikenakan lingkungan mikro pro-inflamasi yang unik, yang dapat
meningkatkan tingkat kerusakan DNA, sehingga mempengaruhi risiko kanker.Yang
terakhir kanker ovarium dapat terjadi karena melibatkan gen disfungsional BRCA1
atau BRCA2, menghasilkan karsinoma bermutu tinggi, dengan prognosis yang lebih
buruk (World America Cancer Institute, 2014).

1.2.5 Manifestasi Klinis Kanker Ovarium


Gejala kanker ovarium umumnya sangat bervariasi dan tidak spesifik pada
stadium awal, gejala kanker ovarium pada stadium awal dapat berupa konstipasi dan

5
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
sering berkemih ini dikarenakan apabila kanker ovarium telah menekan rektum atau
kandung kemih.

1.2.6 Stadium Kanker Ovarium


Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
2014 berikut adalah stadium kanker ovarium:
Tabel 1. Stadium Kanker Ovarium (FIGO, 2014)

1.2.7 Klasifikasi Kanker Ovarium


Klasifikasi kanker ovarium berdasarkan tipe sel nya (Simamora et al., 2018) :
I. Ephitelial Ovarium tumors
a. Serious tumours
1. Benign (cystadenoma)
2. Bonderline tumors (serous borderline tumor)
3. Malignant (serous adenocarcinoma)
b. Mucinous tumors, endocervical-like and intestinal type

6
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
1. Benign (cystadenoma)
2. Borderline tumors (endometroid borderline tumor)
3. Malignant (mucinous adenocarcinoma)
c. Endometroid tumors
1. Benign (cystadenoma)
2. Borderline tumors (endometroid borderline tumor)
3. Malignant (endometroid adenocarcinoma)
d. Clear Cell Tumors
1. Benign
2. Borderline tumors
3. Malignant (clear cell adenocarcinoma)
e. Transitional cell tumors
1. Brenner tumor
2. Brenner tumor of borderline malignancy
3. Malignant Brenner tumor
4. Transitional cell carcinoma (non-Brenner type)
f. Epithelial-stromal
1. Adenocarcinoma
2. Carcinoma (mixed Mullerian tumor)
II. Sex Cord-Stromal Ovarium Tumors
a. Granulosa tumor
1. Fibromas
2. Fibrothecomas
3. Thecomas
b. Sertoli cell tumors
1. Cell Leydig tumor
c. Sex cord tumor with annular tubules
d. Gyandroblastoma
e. Steroid (lipid) cell tumors
III. Germ cell Ovarium Tumors
a. Teratoma
b. Monodermal
c. Dysgerminoma
d. Yolk sac tumor (endodermal sinus tumor)
e. Mixed germ cell tumors
IV. Malignant, not otherwise specified
a. Metastatic cancer from non-ovarian primary
b. Colonic, appencieal
c. Gastric
d. Breast

7
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

BAB II
STUDI KASUS
2.1 Profil Pasien

Nama Pasien Ny. LA


Jenis Kelamin Perempuan
Umur/kg/bb 32/54/157
ID Pasien 114XXXXX
Status JKN
Alamat Tulumgrejo, Kediri
MRS/KRS 01-11-2019/04-11-2019
IRNA/RUANG III/9
Dokter Dr.Tatit, SPOK-K
Farmasis Risky
Keluhan Utama Pro Kemoterapi yang ke – IV
Riwayat Penyakit Ca Ovarium Post BSO (Bilateral Salphingo Oophorectomy)
Alergi obat -
Alergi Makanan -

2.2 Tanda – Tanda Vital Pasien


Tanggal
Nilai
Parameter
Normal 2/11 3/11 4/11

Tekanan Darah (mmHg) 120/80 120/80 120/80 120/80

Nadi (x/menit) 80-85 80 80 80

RR (x/menit) 20 22 20 20

Suhu (derajat celcius 36-37 35 36 36

2.3 Tanda – Tanda Klinis Pasien


Tanggal
Parameter 2/11 3/11 4/11

GCS 456 456 456

Mual dan Muntah + + +

8
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
2.4 Data Laboratorium

Hematologi
Tanggal
Parameter Normal Satuan
31/10

Hemoglobin 11,4-15,1 g/dL 11,50

Eritrosit (RBC) 4-5 106/ µL 5,06

Lekosit (WBC) 4,7-11,3 103/µL 6,62

Hematokrit 38-42 % 36,60

Trombosit 142-424 103/µL 318

MCV 80-93 FL 72,30

MCH 27-31 Pg 22,70

MCHC 32-36 g/dL 31,40

RDW 11,5-14,5 % 17,70

PDW 9-13 FL 15,9

MPV 7,2-11,1 FL 10,7

P-CLR 15-25 % 33,1

PCT 0,15-0,4 % 0,34

NRBC abs 103/µL 0,01

NRBC % % 0,2

Eosinofil 0-4 % 1,1

Basofil 0-1 % 0,5

Neutrofil 51-67 % 71,6

Limfosit 25-33 % 17,1

Monosit 2-5 % 9,7

Eosinofil abs 103/µL 0,07

Basofil abs 103/µL 0,03

Neutrofil abs 103/µL 4,75

9
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
Tanggal
Parameter Normal Satuan
31/10/2019

Limfosit abs 103/µL 1,13

Monosit abs 0,16-1 103/µL 0,64

Immature granulosit % % 0,90

Immature granulosit 103/µl 0,06

SGOT 0-32 u/L 32

SGPT 0-33 u/L 58

GDS < 200 mg/dL 102

Ureum 16,6 – 48,5 mg/dL 20,2

Kreatinin < 1,2 mg/dL 0,70

2.5 Profil Terapi

Tanggal Pemberian Obat (mulai MRS)


OBAT RUTE DOSIS
1/11 2/11 3/11 4/11

Ondansetron PO 3 x 8 mg √ (KRS)

Asam Folat PO 2 x 400 mcg √ (KRS)

B.Complex PO 2x 1 tab √ (KRS)

Carboplatin Iv 1 x 532 mg √ //

Etoposide Iv 1 x 152 mg √ √ √

Bleomycin Im 1 x 15 mg √ //

NS Iv 0,9% √ √ √

0,5 cc dalam 8 cc aquad


Lidocain iv √ //
est

Dexametason Iv 4 mg √ √ √

Furosemid Iv 10 mg √ //

Ondansetron iv 8 mg √ √ √

10
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
2.5.1 Protkol Kemoterapi

2.5.2 Perhitungan Body Surface Area (BSA)

11
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
2.5.3 Perhitungan Dosis Carboplatin berdasakan AUC

2.6 Analisa Kefarmasian (SOAP)

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANING

Mual dan muntah Darah Lengkap Carboplatin METO: Monitoring


HB : 11,50 Kadar Hb
RBC : 5,06 Indikasi: Untuk kemoterapi pada
WBC : 6,62 kanker ovarium MESO: monitoring
Hematokrit : 36,6% keluhan mual,
Trombosit : 318 Mekanisme : Agen terapi golongan muntah dan alopecia
platinum, berikatan kovalen
dengan DNA, membentuk ikatan
silang dengan DNA (BCCA, 2014)

Dosis terapi: 532 mg

Dosis literatur: 300-360 mg/m2


(Lucy et al, 2009 )

Dosis sesuai perhitungan:1,53


(300 – 360) = 459 – 551 mg/m2

ESO: Mual muntah dan alopecia


(BCCA, 2014)

12
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANING

Mual dan muntah Darah Lengkap Etoposide METO: Monitoring


HB : 11,50 Kadar HB pasien
RBC : 5,06 Indikasi: Untuk kemoterapi pada
WBC : 6,62 kanker ovarium MESO: Keluhan
Hematokrit : 36,6% mual dan muntah
Trombosit : 318 Mekanisme : Menghambat atau pasien.
mengubah replikasi DNA, bekerja
pada fase G2 (BCCA, 2014)

Dosis terapi : 152 mg

Dosis literatur: 50 – 100 mg/m2


(Boykaza et al, 2017)

Perhitungan dosis : 1,53 x (50 –


100) mg/m2 = 76,5 – 153 mg/m2

Dosis sesuai perhitungan : 114.5 –


153 mg/m2 (dosis sesuai).

ESO: Mual, Muntah dan Alopecia

Mual dan muntah Darah Lengkap Bleomycin METO: Monitoring


HB : 11,50 keluhan mual dan
RBC : 5,06 Indikasi: Untuk kemoterapi pada muntah pasien
WBC : 6,62 kanker ovarium
Hematokrit : 36,6% MESO: Keluhan
Trombosit : 318 Mekanisme : Menghambat mual dan muntah
pembentukan DNA, RNA dan pasien.
sintesis protein dalam fase G2
(BNF 74, 2017)

Dosis: 15 mg

Dosis literatur: 0,25 – 0,5


unit/KgBB

Perhitungan dosis : 54 x (0,25-0,5)


= 13,5 – 27 mg/m2

Dosis sesuai perhitungan : 13,5 –


27 mg/m2 (dosis sesuai).

ESO: mual muntah, alopecia dan


edema

13
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANING

Tidak ada keluhan - Furosemide METO: Monitoring


edema akibat
Indikasi: Untuk membantu penumpukan cairan
mengurangi edema akibat efek
samping dari penggunaan MESO: Monitoring
bleomycin. nilai lab terkait efek
samping
Mekanisme : Loop diuretic, hypokalemia dan
menghambat reabsorbsi ion hiperurisemia
natrium dan klorida pada tubulus
ginjal proksimal dan distal serta
loop henle (AHFS,2011)

Dosis terapi: 40 mg (iv)

Dosis literatur: 40 – 80 mg(dosis


sesuai)

ESO: hypokalemia dan


hiperurisemia (Medscape, 2017)

Tidak ada keluhan Tanda-tanda vital : NS 0,9% METO: monitoring


GCS : 456 nilai elektrolit agar
TD : 120/80 mmHg Indikasi: Untuk mengganti tetap normal
N : 80 x/menit kehilangan air dan Natrium
RR : 22 x/menit Klorida, mengganti cairan MESO: Demam
S : 35 ⁰C ekstraseluler. Flushing pada
kemoterapi

Mekanisme : Natrium klorida


merupakan garam utama untuk
mempertahankan tonisitas plasma
(Lucy et al, 2009)

Komposisi : Tiap 500 ml


mengandung :
Natrium klorida = 4,5 g
Air untuk injeksi ad 500 ml
Natrium = 154 mEq/l
Osmolaritas = 308 mOsm/l
Efek Samping : Demam, abses,
nekrosis jaringan atau infeksi pada
tempat suntikan

14
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANING

Mual dan Muntah Tanda-tanda vital : Dexamethason METO: Monitoring


GCS : 456 mual dan muntah
TD : 120/80 mmHg Indikasi: Untuk mengatasi mual yang dirasakan oleh
N : 80 x/menit dan muntah pada Kemoterapi. pasien.
RR : 22 x/menit
S : 35 ⁰C Mekanisme : bekerja pada MESO: monitor TTV
neurotransmitter 5-HT, dan pada pasien
protein reseptor NK1, NK2. (Chu et
al, 2014)

Dosis terapi: 4 mg (iv)

Dosis literatur: 4 - 12 mg diberikan


secara oral atau iv (dosis sesuai)

ESO: Demam, myalgia, malaise

Mual dan Muntah Tanda-tanda vital : Ondansetron METO: Mual dan


GCS : 456 Muntah akan
TD : 120/80 mmHg Indikasi: Premedikasi kemoterapi berkurang
N : 80 x/menit untuk mual muntah
RR : 22 x/menit MESO: Konstipasi,
S : 35 ⁰C Mekanisme : Merupakan reseptor Ruam dan Sakit
selektif 5HT3 yang akan Kepala.
menghambat reseptor 5HT3 di
saluran pencernaan dan di SSP.
(BNF 74, 2017)

Dosis: 8 mg (iv)

Dosis literatur: 8 mg diberikan 1 –


2 jam sebelum pengobatan, 8 mg
setiap 12 jam sampai 5 hari. (dosis
sesuai).

ESO: Konstipasi, Ruam dan Sakit


kepala.

15
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANING

Tidak ada keluhan Tanda-tanda vital : Lidokain METO: Nyeri setelah


GCS : 456 dilakukan injeksi
TD : 120/80 mmHg Indikasi: Anastesi Infiltrasi kemoterapi
N : 80 x/menit
RR : 22 x/menit Mekanisme : Anestesi lokal MESO: Pusing,
S : 35 ⁰C mencegah pembentukan konduksi Parastesia dan
impuls saraf dengan mengurangi hipotensi.
permebilitas natrium dan
meringankan potensial aksi,
menghambat depolarisasi yang
akan menghasilkan blokade
konduksi (Medscape, 2017)

Dosis terapi : 0,5 cc

Dosis literatur: 0,25 % - 0,5 %

ESO: Pusing, parastesia dan


hipotensi.

16
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
2.7 Obat KRS (Keluar Rumah Sakit)

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANING

Tidak ada keluhan - Ondansetron METO: Mual dan


Muntah akan
Indikasi: Postmedikasi kemoterapi berkurang
untuk mual muntah
MESO: Konstipasi,
Mekanisme : Merupakan reseptor Ruam dan Sakit
selektif 5HT3 yang akan Kepala.
menghambat reseptor 5HT3 di
saluran pencernaan dan di SSP.
(BNF 74, 2017)

Dosis terapi: 3 x 1 tab (8 mg)

Dosis literatur: 8 mg diberikan 1 – 2


jam sebelum pengobatan, 8 mg
setiap 12 jam sampai 5 hari. (dosis
sesuai).

ESO: Konstipasi, Ruam dan Sakit


kepala.

Tidak ada keluhan Darah Lengkap : Asam Folat METO: Monitoring


HB : 11,50 Kadar Hb
RBC : 5,06 Indikasi: Defisiensi asam folat dan
WBC : 6,62 mempertahan kan nilai Hb MESO: Relatif Non
Hematokrit : 36,60 Toksis
Trombosit : 318 Mekanisme : Diperlukan untuk
pembentukan koenzim dalam sistem
metabolisme (sintesis purin dan
pirimidin diperlukan untuk
pemeliharaan erytjropoiesis;
merangsang produksi trombosit
pada anemia defisiensi folat
(Medscape, 2017)

Dosis terapi: 2 x 1 tab (400 mcg)

Dosis literatur: 400 – 800 mcg/hari


po (dosis sesuai)

ESO: Relatif Non Toksik

17
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANING

Tidak ada keluhan - Vitamin B. Complex METO: Monitoring


Kondisi Pasien
Indikasi: Membantu dalam untuk
pemeliharaan jaringan tubuh setelah MESO: Relatif Non
kemoterapi. Toksik

Mekanisme :

Vit B1 : membentuk tiamin


pirofosfat dengan menggabungkan
adenosine trifosfat, koenzim
esensial dalam metabolisme
karbohidrat

Vit B2 : Komponen enzim


flavoprotein, yang diperlkan untuk
respirasi jaringan normal, berperan
dalam aktivasi piridoksin dan
konversi triptfan menjadi niasin

Vit B6 : Beperan dalam


metabolisme protein karbohidrat
dan lemak

Vit B12 : Sintesis protein dan


metabolisme karbohidrat.

Nicotinamide : Koenzim yang


terlibat dalam produksi ATP

Vit B5 : berperan dalam sintesis dan


pemeliharaan koenzim A
(Medscape,2017)

Dosis terapi: 2 x 1 tab

Dosis literatur: 1 – 2 tablet perhari


(dosis sesuai)

ESO: Relatif Non Toksik

18
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

2.8 Drug Related Problem


PERMASALAHAN AKIBAT INTERVENSI

Obat-obat Mual dan Muntah • Monitoring efek samping


Kemoterapi : potensial yang disebabkan oleh
Bleomycin kemoterapi seperti mual dan
Etoposide muntah.
Carboplatin • Disarankan rutin konsumsi obat
antiemetik

2.9 Asuhan Kefarmasian


1. Ondansentron diminum tiga kali sehari sebelum makan dengan tujuan untuk
membantu mengatasi keluhan mual dan muntah pasca kemoterapi
2. Asam folat diminum dua kali sehari sesudah makan untuk membantu
mempertahankan nilai hemoglobin pasien pasca kemoterapi
3. Vit B complex diminum dua kali sehari sekali sesudah makan untuk membantu
perbaikan jaringan setelah dilakukannya kemoterapi.

2.10 Saran Terapi Non Farmakologi untuk Pasien Ca Ovarium pada saat rawat inap:
Mual dan muntah
1. Makan 5-6 porsi kecil per hari
2. Batasi paparan bau makanan dengan menghindari area persiapan makanan
3. Pilih makanan yang dingin dan ringan dengan sedikit bau
4. Hindari makanan berlemak dan berlemak tinggi
5. Konsumsi cairan di antara waktu makan, bukan dengan saat makan
6. Hindari / batasi lotion berbau kuat, sabun, parfum, udara penyegar
7. Minum obat mual seperti yang diresepkan
8. Minum obat pereda nyeri dengan biskuit atau makanan ringan

19
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, Pasien Ny. LA yang berusia 32 tahun dengan berat badan 54 kg
dan tinggi badan 157 cm MRS pada tanggal 1 November 2019 dengan diagnosa Ca
Ovarium post BSO (bilateral Salphingo Oophorectomy) Dysgerminoma. Pasien
hendak melakukan kemoterapi yang ke-IV yang dimana dalam 1 siklus kemoterapi
dilakukan sebanyak 6 kali kemoterapi dengan waktu 21 hari hingga 28 hari sesuai
dengan kondisi tiap pasien yang dikemoterapi. Pasien Ny, LA tidak mempunyai alergi
obat dan tidak mempunyai alergi makanan. Sebelumnya pasien telah mendapatkan
rejimen terapi kemoterapi yaitu BEP (Bleomycin, Etoposide dan Carboplatin),
Ondansetron, Asam folat dan Vitamin B.Complex. Setelah mendapatkan terapi
kemoterapi pasien KRS dengan membawa obat yaitu Ondansetron 3 x 8 mg, Asam
Folat 2 x 400 mcq dan Vitamin B. Complex 2 x 1 tab.
Berdasarkan problem medik pasien mengalami Ca Ovarium post BSO
Dysgerminoma. Ca ovarium post BSO Dysgerminoma merupakan kanker ovarium
yang terdapat pada sel telur yang tidak mengalami diferensiasi. Dysgerminoma adalah
sel tumor pada sel telur yang terjadi pada ovarium pada usia remaja hingga dewasa
muda. Tanda dan gejala umum dari dysgerminoma adalah nyeri perut / panggul (55 –
85 %), terdapat massa pada perut (35 %), demam (10 – 25 %) dan pendarahan vagina
(10 %) (Hazard, 2015). Prevalensi jenis kanker yang sering terjadi pada kanker
ovarium germ cell dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1. Diagram Prevalensi Kanker Ovarium Germ Cell

20
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
Pasien MRS pada tanggal 1 November 2019 untuk melakukan kemoterapi dengan
rejimen terapi BEP untuk seri yang ke-IV. Pada hari pertama MRS pasien tidak
diberikan terapi, dikarenakan dari kondisi pasien yang tidak terdapat keluhan. Data
lab pasien tanggal 31 Oktober 2019 menunjukan nilai yang normal yaitu data lab
darah lengkap ; Hemoglobin = 11,50 g/dL (11,4 – 15,1), Eritrosit = 5,06 x 106 / µl
(4 – 5), Leukosit = 6,62 x 103 / µl (4,7 – 11,3), Hematokrit = 36,60 % (38 – 42) dan
Trombosit = 316 x 103 / µl (142 – 424). Pasien tidak diberikan terapi transfusi PRC
dikarenakan nilai Hb pasien normal. Secara umum kemoterapi mempunyai efek
samping yang dapat mempengaruhi kondisi pasien. Penggunaan obat kemoterapi
digunakan untuk membunuh sel-sel kanker namun karena obat kemoterapi termasuk
dalam obat sitotoksik yang dalam pemberiannya secara intra vena yang berarti obat
akan menyebar ke seluruh bagian tubuh, maka akan mempengaruhi sel sel normal
pada tubuh. Efek samping umum yang disebabkan oleh kemoterapi adalah
terganggunya pembentukan sel darah pada sumsum tulang, folikel rambut yang akan
menyebabkan alopecia dan terjadi efek mual dan muntah yang dapat dirasakan oleh
pasien (American Cancer Society, 2016). Oleh karena itu perlu dipertimbangan
kondisi klinis dan data lab pasien sebelum dilakukan proses kemoterapi pada pasien.
Pada tanggal 2 November 2019 pasien Ny. LA dilakukan kemoterapi dengan
rejimen pemberian BEP. Perhitungan dosis kemoterapi berdasarkan dari perhitungan
BSA (Body Surface Area) yaitu dengan rumus :

Berdasarkan rumus di atas maka untuk perhitungan BSA Ny. LA ada lah sebagai
berikut :

1,53 m2
Setelah hasil BSA di dapatkan maka akan dikalikan dengan dosis dari masing –
masing rejimen kemoterapi yang diberikan. Dengan melakukan perhitungan dosis
menggunakan BSA, maka akan secara umum dapat diasumsikan pasien kanker akan
menerima dosis obat kemoterapi dengan tingkat toksisitas yang dapat diterima oleh

21
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
pasien tanpa mengurangi efek dari obat kemoterapi tersebut (Mathijssen et al, 2007).
Dosis terapi bleomycin yang diberikan adalah 15 mg, dengan dosis dari literatur
0,25 – 0,5 unit/kgBB (lucy et al, 2009) dimana untuk perhitungan dosisnya adalah
sebagai berikut :
54 x (0,25 – 05) = 13,5 – 27 mg (dosis sesuai masuk dalam rentang)
Dosis terapi untuk etoposide dan carboplatin di dapatkan dari hasil perkalian dengan
BSA pasien yaitu dengan perhitungan sebagai berikut :
Dosis terapi etoposide yang diberikan 152 mg dan dosis etoposide berdasarkan
literatur adalah 50 – 100 mg/m2 (Boykaza et al, 2017).
Perhitungan dosis etoposide adalah 1,53 x (50 – 100) mg/m2 = 76,5 – 153 mg/m2
(dosis sesuai)
Dosis terapi carboplatin yang diberikan 532 mg dan dosis carboplatin berdasarkan
literatur adalah 300 – 360 mg/m2 (Lucy et al, 2009)
Perhitungan dosis carboplatin adalah 1,53 x (300 – 360 mg/m2) = 459 – 551 mg/m2
(dosis sesuai)

Ada pun protokol kemoterapi dengan rejimen terapi BEP adalah sebagai
berikut :
Hari ke-1
1. Infus dextrose 5% 1000 cc dalam 5 jam pasang dauer cateter + urobag
2. Paloxy 0,25 mg drip (diberikan 30 menit sebelum pemberian obat sitostatika)
dalam NS 500 cc
3. Injeksi furosemide 40 mg ib
4. Injeksi bleomycin 15 mg im (ditambah 0,5 cc Xylocain dan dioplos dengan
aquabides 8 cc)
5. NS sisa 250 cc + etoposide (42 tetes/menit)
6. Actoplatin 532 mg dalam infus NS 500 cc di drip 55 tetes/menit
7. Infus diganti dengan dextrose 5 % (40 tts/menit)
Hari ke-2
1. Infus diganti 500 cc
2. Injeksi Ondansetron 1 amp iv
3. Injeksi Dexamethasone 1 amp iv
4. Infus NS sisa 250 cc + etoposide 152 mg (55 tetes/menit)
5. Infus diganti dengan dextrose 5 % (40 tts/menit)

22
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
Hari ke-3
1. Infus diganti 500 cc
2. Injeksi Ondansetron 1 amp iv
3. Injeksi Dexamethasone 1 amp iv
4. Infus NS sisa 250 cc + etoposide 152 mg (55 tetes/menit)
5. Infus diganti dengan dextrose 5 % (40 tts/menit)
Penatalaksanaan berdasarkan Union for International Cancer Control untuk
kanker ovarium germ cell menggunakan terapi BEP (Bleomycin, Etoposide dan
Cisplatin) namun karena efek toksisitas yang dihasilkan oleh cisplatin lebih besar
dari carboplatin, maka terapi digantikan dengan menggunakan carboplatin.
Cisplatin dan carboplatin memiliki profil toksisitas yang berbeda, cisplatin
mempunyai toksisitas tingkat mual, muntah, nefrotoksisitas, ototoksisitas yang
lebih tinggi dari pada carboplatin (Davila et al, 2014). Mekanisme kerja obat dari
bleomycin adalah menghambat pembentukan DNA, RNA dan sintesis protein
dalam fase G2 (BNF 74, 2017). Mekanisme kerja obat dari etoposide adalah
menghambat atau mengubah replikasi DNA, bekerja pada fase G2 (BCCA, 2014)
dan mekanisme kerja dari carboplatin adalah berikatan kovalen dengan DNA dan
akan membentuk ikatan silang dengan DNA (BCCA, 2014). Penggunaan
kombinasi dalam pengobatan kemoterapi bertujuan untuk mengurangi toksisitas
dari masing-masing obat kemoterapi. Penggunaan kombinasi obat kemoterapi
dengan mekanisme kerja yang berbeda akan meningkatkan kemungkinan sel
kanker akan dihilangkan karena obat yang bekerja di tempat yang berbeda akan
menghasilkan efek aditif dalam pengobatan. Selain itu penggunaan kombinasi
kemoterapi juga mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi pengobatan
(Eldridge, 2019).
Selain terapi rejimen kemoterapi yang diberikan, terdapat pengobatan lain
yang digunakan sebagai premedikasi sebelum pemberian obat kemoterapi antara
lain Ondansetron 8 mg dan Dexamethason 4 mg secara intra vena. Pemberian obat
kemoterapi akan menyebabkan efek samping potensial yaitu berupa mual dan
muntah pada pasien, oleh karena itu diberikan kombinasi anti emetik seperti
ondansetron dan dexamethasone untu membantu mengatasi efek samping dari
penggunaan kemoterapi. Berdasarkan Society of Clinical Oncology Clinical
Practice (2011) menyarankan untuk menggunakan anti emetic untuk mual dan
muntah seperti antagonis 5HT3, kortikosteroi dan antagonis reseptor NK-1.

23
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
Tingkat risiko mual dan muntah terkait kemoterapi dibagi menjadi empat bagian
yaitu risiko tinggi > 90%, risiko sedang 31-90%, risiko rendah 10-30% dan risiko
minimum > 10 %. Terapi kortikosteroid secara tunggal atau ondansetron tunggal
dapat digunakan untuk risiko tingkat mual muntah rendah, penggunaan kombinasi
kortikosteroid dan antagonis 5HT3 untuk risiko mual dan muntah sedang dan
dengan risiko mual lebih tinggi merekomendasikan kombinasi antagonis 5HT3,
Kortikosteroid dan antagonis reseptor NK1 (Arfiani et al, 2016). Mekanisme kerja
obat dari ondansetron adalah reseptor 5HT3 yang akan menghambat reseptor 5HT3
di saluran pencernaan dan di sistem saraf pusat (BNF 74, 2017). Mekanisme kerja
obat dari dexamethasone sebagai anti emetic adalah bekerja pada neurotransmitter
5HT3 dan pada protein reseptor NK1 NK2 (Chu et al, 2014). Penggunaan
furosemide 40 mg iv ditujukan untuk mengatasi efek samping dari penggunaan
bleomycin yaitu edema (Ge et al, 2014).
Hari ketiga 4 November 2019 pasien menjalankan kemoterapi dengan
pemberian rejimen terakhir yaitu etoposide setelah itu pasien KRS. Untuk obat
pulang pasien diberikan ondansetron 3 x 8 mg (po), asam folat 2x 400 mcq (po),
vitamin b.complex 2 x 1 tab (po). Tujuan untuk pemberian ondansetron adalah
untuk mengatasi efek samping potensial yang disebabkan oleh pemberian obat
kemoterapi yaitu mual dan muntah. Pemberian asam folat bertujuan untuk
mengatasi defisiensi asam folat dan untuk menjaga nilai Hb pasien agar tetap
direntang normal. Pemberian terapi vitamin b.complex bertujuan untuk membantu
dalam pemeliharaan jaringan tubuh pasien setelah dilakukan kemoterapi.
Mekanisme kerja dari asam folat yaitu pembentukan koenzim dalam sistem
metabolisme purin dan pirimidin yang diperlukan dalam proses eritropoiesis dan
merangsang produksi trombosit pada anemia defisiensi folat (Medscape, 2017).
Vitamin b. complex terdiri dari vitamin B1, B2, B6, B5 dan nicotinamide yang
mempunyai mekanisme kerja masing-masing seperti vitamin B1 akan membentuk
tiamin pirofosfat dengan menggabungkan adenosine trifosfat, koenzim esensial
dalam metabolisme karbohidrat, vitamin B2 dengan mekanisme kerja komponen
enzim flavoprotein, yang diperlkan untuk respirasi jaringan normal, berperan
dalam aktivasi piridoksin dan konversi triptfan menjadi niasin, vitamin B5
berperan dalam sintesis dan pemeliharaan koenzim A, vitamin B6 berperan dalam
metabolisme protein, karbohidrat dan lemak, vit B12 berperan dalam sintesis

24
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
protein dan metabolisme karbohidrat dan nicotinamide yaitu koenzim yang
terlibat dalam produksi ATP.
Pada kasus ini terdapat drug related problem berkaitan dengan efek samping
potensial yang disebabkan oleh penggunaan obat kemoterapi yaitu mual dan
muntah. Saran terapi yang diberikan kepada pasien sudah sesuai untuk mengatasi
efek samping potensial yang terjadi pada pasien yaitu ondansetron 3 x 8 mg (po),
asam folat 2 x 400 mcq (po) dan asam folat 2 x 1 tab (po).

25
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Pengobatan kanker ovarium dengan regimen BEP (Bleomycin, Etoposide dan
Carboplatin) mempunyai efek samping terbesar yaitu mual dan muntah.
2. Cisplatin dan Carboplatin merupakan obat kemoterapi golongan analog
platinum, Namun carboplatin mempunyai toksisitas yang lebih rendah dari
cisplatin. Oleh karena itu lebih direkomendasikan penggunaan carboplatin
dalam pemberian terapi.
3. Penggunaan dexamethasone sebagai anti emetic dan dikombinasikan dengan
ondansetron terbukti akan meningkatkan efektivitas anti emetic

4.2 Saran
1. Untuk selalu rutin mengikuti kemoterapi sesuai jadwal yang telah ditentukan
2. Melakukan control rutin cek lab
3. Terapi Non Farmakologi untuk Pasien Ca Ovarium setelah Kemoterapi
a. Mengelola gaya hidup dengan banyak istirahat dan hindari bekerja secara
berlebihan
b. Dapatkan dan tetapkan berat badan yang sehat sesuai dengan BMI
c. Diet: gizi yang seimbang, konsumsi lebih banyak buah dan sayuran segar
yang sesuai seperti makan berbagai makanan sehat dari sumber nabati.
Batasi daging olahan dan daging merah. Makan 2 ½ cangkir atau lebih
sayuran dan buah per hari. Pilih biji-bijian utuh daripada biji-bijian
olahan.

26
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Arfiani, R.F., Susilo, D.H., Suprapti, B. 2016. Comparison of the AntiEmetic
Effectiveness Between Granisetron and Dexamethason with Ondansetron and
Dexamethason in Acute-Phase Chemotheraphy Patients. Folia Medica Indonesiana.
Vol 52 No.3 : 185 – 192.
Allen, G. 2017. Managing Acute Pulmonary Oedema. Volume 40 : 2
Bernard, Richards S.G. 2018. Ovarian Germ Cell Tumour and Bleomycin- Induced
Lung Injury. Southern African Journal Gynecological Oncology. 10(2):30-33
Davila, R.S, Szabo, A, Lara, C.A, Williams, C.D, Kelley, M.J and W, J. 2016.
Cisplatin Versus Carboplatin Based Regimens for the Treatment of Patients with
Metastatic Lung Cancer. An Analysis of Veterans Health Administration Data.
Journal Thorac Oncol. 9(5) : 705 – 709.
Moore KL, Agur AMR. 2015. Essential clinical anatomy: text and atlas. Edisi ke-5.
Philadelphia: Wolters Kluwer Health.
Ge, V. Banakh, I. Tiruvoipati, R. Haji, K. 2014. Bleomycin – Induced Pulmonary
Toxicity and Treatment with Inflliximad : Acase Report. Wiley Clinical Case Report.
Moore, K dan Dalley, A. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis. Dialihbahasakan oleh
Hartanto H. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Simamora RPA, Hanriko R, Sari RDP. 2018. Hubungan usia, jumlah paritas, dan usia
menarche terhadap derajat histopatologi kanker ovarium di RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung. Majoriti Unila. 7(2): 7-13.
Eroschenko, V. P., 2010, Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional, EGC,
Jakarta.
Eroschenko VP. 2017. Atlas of histology di Fiore with fungtional correlation. Edisi
ke-12. Moscow: Sans Tache.
Sherwood L. 2014. Human physiology from cells to systems. Edisi ke-8. Belmont,
CA: Brooks/cole.
Sherwood, L. 2010. Human Physiology From Cells to Systems.7th Ed. Canada:
Yolanda Cossio.
Tortora GJ. Principles of anatomy and physiology. Edisi ke-12. Hoboken, NJ: John
Wiley & Sons; 2010.
Canadian Cancer Society. 2017. Canadian cancer statistics. Toronto: Canadian Cancer.
Tersedia

27
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019
dari:http://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/ovarian/ovariancancer/?
region=on.
Fathalla mf. 2013. Incessant ovulation and ovarian cancer a hypothesis revisited. fvv
in obgyn. 5(4): 292-7.
Guire VMC, Hartge P, Liao LM, Sinha R, Bernstein L, Cancola AJ, et al. 2016. Parity
and oral contraceptive use in relation to ovarian cancer risk in older women. Cancer
Epidemiol Biomakers. 25(7): 1059-63.
Tsilidis KK, Leufkens AM, Van Duijnhoven FJ, Boshuizen HC, Siersema PD, Kunst
AE, Mouw T, Tjønneland A, Olsen A, Overvad K, Boutron-Ruault MC,
Clavel-Chapelon F,Morois S, Krogh V, Tumino R, Panico S, Polidoro S, Palli D,
Kaaks R, Teucher B, Pischon T, Trichopoulou A, Orfanos P, Goufa I, Peeters PH,
Skeie G, Braaten T, Rodríguez L, Lujan-Barroso L, Sánchez-Pérez MJ, Navarro C,
Barricarte A, Zackrisson S, Almquist M, Hallmans G, Palmqvist R, Khaw
KT,Wareham N, Gallo V, Jenab M, Riboli E, Bueno-de-Mesquita HB (2012),
Educational Level and Risk of Colorectal Cancer in EIC with Specific Reference to
Tumor Location, International Journal of Cancer,130(3),622-30.
Bae HS, Kim HJ, Hong JH, Lee JK, Lee NW, Song JW. 2014. Obesity and epithelial
ovarian cancer. Journal of ovarian research. 7(41): 1-8.
Abulmuthalib. 2013. Kelainan hematologik. Dalam: Prawirohardjo S, penyunting.
Ilmu kebidanan. Edisi ke-5. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
American Cancer Society. 2014. Cancer facts & figures. CA: A Cancer Journals of
Clinicians,63(1).
American Cancer Society. 2016. Chemotheraphy side Effects. Diakses pada tanggal
22 November 2019 .
https://www.cancer.org/treatment/treatments-and-side-effects/treatment-types/
chemotherapy/chemotherapy-side-effects.html
FIGO. 2014. Staging classification for cancer of the ovary, fallopian tube, and
peritoneum. International Journal of Gynecology and Obstetrics.124(2014)
Hazard, F.K.G. 2015. Ovarian Dysgerminoma Overview of Ovarian Cancer. Journal
Pediatric Surgical Pathology, Society for Pediatric Pathology.

28
Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Program Study Profesi
Apoteker Angkatan LVII
Universitas Surabaya
Universitas Widya Mandala
Tahun 2019

LAMPIRAN
Pertanyaan saat presentasi
1. Fungsi pemberian lidokain pada protokol kemoterapi dengan rejimen BEP
(Bleomycin, Etoposide dan Carboplatin ?
Jawaban : Pemberian lidokain digunakan untuk mengurangi rasa nyeri pada saat
pemberian Bleomycin. Pemilihan lidokain didasarkan karena lidokain
merupakan merupakan anestesi lokal yang mempunyai duration of action
yang singkat dan efek samping yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan
golongan lain.

2. Bagaimana terapi pengobatan atau tindakan yang diberikan untuk setiap


stadium kanker yang diberikan ?
Jawaban : Untuk kanker ovarium yang masih belum bermetastase terapi yang
diberikan adalah kemoterapi dan radioterapi, namun apabila kanker sudah
bermetastase ke kedua sel ovum hingga ke uterus maka dilakukan
pembedahan atau histerektomi.

3. Mengapa cisplatin tidak digunakan dalam terapi dan digantikan oleh


carboplatin ?
Jawaban : Cisplatin dan carboplatin merupakan obat kemoterapi yang berasal dari
golongan analog platinum. Cisplatin jarang digunakan dikarenakan
mempunyai toksisitas yang lebih besar daripada carboplatin. Toksisitas seperti
kekuatan obat untuk menimbulkan mual dan muntah, nefrotosik dan
neurotoksik. Penggunaan carboplatin sendiri masih bisa ditoleransi dalam segi
toksisitas bagi pasien yang akan dikemoterapi.

4. Mengapa menggunakan dexamethasone sebagai anti emetic dan


dikombinasikan dengan ondansetron ?
Jawaban : dexamethasone selain sebagai antiinflamasi juga dapat digunakan sebagai
anti mual dan muntah pada pengobatan dengan rejimen kemoterapi.
Dexamethasone akan menjadi sinergis sebagai anti mual dan muntah apabila
dikombinasikan dengan ondansetron.

5. Tingkatan keparahan mual dan muntah yang pasien rasakan dan bagaimana
tatalaksana anti emetik yang diberikan ?
Jawaban : untuk tingkat mual muntah rendah terapi anti emetik yang diberikan adalah
ondansetron atau dexamethasone, untuk tingkat mual muntah sedang terapi
anti emetik yang diberikan adalah kombinasi 5HT3 seperti ondansetron dan
dexamethasone. Untuk tingkat mual muntah yang tinggi terapi anti emetik
yang diberikan adalah kombinasi antara 5HT3, NK-1 dan dexamethasone.

29

Anda mungkin juga menyukai