Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan Praktik Pra
Klinik Keperawatan IV Program Studi S-1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka
Harap Palangkaraya.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan Studi Kasus TB paru ini dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penyusunan Laporan Pendahuluan ini bertujuan untuk memenuhi tugas Praktik Praklinik
Keperawatan IV (PPK IV) pada Program Studi S-1 Keperawatan.
Penulis menyadari bahwa pelaksanaan dan penyusunan Laporan Pendahuluan ini tidak
lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes, selaku Ketua STIKes Eka Harap Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep, Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
3. Ibu Ika Paskaria S.Kep., Ners , Selaku Koordinator PPK IV
4. Ibu Ika Paskaria S.Kep., Ners ,Selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak memberi
arahan, masukan dan bimbingan dalam penyelesaian Studi Kasus ini.
5. Ibu Susilawati, S.Kep., Ners selaku pembimbing lahan di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangkaraya yang telah memberikan uji ditempat.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan pendahuluan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, untuk
perbaikan dimasa yang akan mendatang. Akhir kata penulis mengucapkan sekian dan terima
kasih.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................
1.3 Tujuan..............................................................................................................................
1.4 Manfaat............................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronis
2.1.1 Defisinis Pemfigus Vulgaris......................................................................................
2.1.2 Anatomi Fisiologis.....................................................................................................
2.1.3 Etiologi.......................................................................................................................
2.1.4 Klasifikasi..................................................................................................................
2.1.5 Patofisiologi (WOC)..................................................................................................
2.1.6 Manifestasi Klinis......................................................................................................
2.1.7 Komplikasi.................................................................................................................
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................................
2.1.9 Penatalaksanaan.........................................................................................................
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian Keperawatan............................................................................................
2.2.2 Diagnosa Keperawatan..............................................................................................
2.2.3 Intervensi Keperawatan.............................................................................................
2.2.4 Implementasi Keperawatan........................................................................................
2.2.5 Evaluasi Keperawatan................................................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN...............................................................................
BAB IV PENUTUP..............................................................................................................
4.1 Kesimpulan......................................................................................................................
4.2 Saran ...............................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemfigus merupakan kata yang berasal dari Yunani pemphix berarti bula. Sehingga definisi
dari pemfigus adalah suatu prototipe penyakit autoimun dengan manifestasi bula yang bersifat
kronik. Penyakit ini menimbulkan kerusakan pada permukaan mukosa dan kulit.1Pemfigus
secara garis besar dibagi menjadi empat tipe yaitu pemfigus vulgaris, pemfigus eritematosus,
pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans. Pemfigus vulgaris yaitu penyakit autoimun yang
diperoleh (acquired) dan 2 merupakan tipe pemfigus yang sering dijumpai kira-kira 80 % dari
total kasus pemfigus. Pemfigus vulgaris dapat ditemukan di seluruh dunia dan secara
epidemiologi jenis kelamin tidak mempengaruhi angka kejadian penyakit ini. Pada umumnya
terjadi pada dekade keempat dan kelima. Angka insiden pemfigus vulgaris di Spanyol yaitu 0,1-
0,5 kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya. Selain itu di Yerusalem angka insiden sekitar
1,6 per 100.000 populasi setiap tahun
Pemfigus vulgaris (PV) adalah penyakit bula intraepidermal kronik yang berpotensi
menyebabkan bula dan erosi yang luas. Manifestasi klinis PV pada awalnya berupa bula di atas
kulit normal yang selanjutnya berkembang menjadi bula dengan dasar eritematosa, kemudian
pecah, sehingga timbul erosi yang biasanya disertai krusta dan rasa nyeri. Etiologi PV tidak
diketahui, namun diperkirakan timbul sebagai hasil interaksi antara faktor genetik pejamu dan
faktor pencetus yang berasal dari lingkungan misalnya obat-obatan, diet, sinar ultraviolet, virus,
dan lainnya. Distribusi penyakit ini di seluruh dunia mengenai 0,1 – 0,5 pasien per 100.000
populasi pertahun. Kasus PV di RSUP Sanglah Denpasar tercatat 11 kasus pada tahun 2014-
2016. Pemfigus vulgaris dapat terjadi pada semua umur, namun sering mengenai usia
pertengahan.1 Infeksi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien PV, akibat
kerusakan sawar epidermis pada lesi pemfigus. Selain itu, perawatan di rumah sakit serta
penggunaan obat imunosupresif menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi pada PV. Pada
beberapa penelitian telah dilaporkan infeksi bakteri pada pasien PV. Zeinab dkk. melaporkan
dari 196 pasien PV sebanyak 53,7% mengalami infeksi jaringan lunak dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan 53,6% adalah methicillin-resistant staphylococcus
aureus (MRSA).5 Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) RSUP Sanglah pada tahun
2016 melaporkan kejadian infeksi MRSA sebanyak 23 kasus, dan pada periode Januari hingga
Juni 2017 sebanyak 19 kasus.
Pemfigus vulgaris dimulai adanya antibodi imunoglobulin G (IgG) menyebabkan protein
desmosomal menghasilkan bula mukokutan. Hal ini terjadi dengan cara terikatnya IgG pada sel
keratinosit sehingga menyebabkan akantolisis (reaksi pemisahan sel epidermis). Desmoglein 3
dan desmoglein 1 diduga berperan menyebabkan pemfigus vulgaris. Pada umumnya keadaan
umum penderita pemfigus vulgaris buruk. Gejala klinis pemfigus vulgaris diawali oleh lesi pada
kulit kepala yang berambut dan dirongga mulut untuk 60 % kasus. Selain itu disertai dengan
adanya bula yang timbul dengan dinding yang kendur dan mudah pecah serta menghasilkan
krusta saat pecah.
Diagnosis pemfigus vulgaris berdasarkan gejala klinis dan permukaan mukosa dan kulit.
Pemfigus secara garis besar dibagi menjadi empat tipe yaitu pemfigus vulgaris, pemfigus
eritematosus, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti telah melakukan asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit Pemfigus Vulgaris di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangkaraya.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dengan
menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh
selama menempuh pendidikan di Program Studi S1 Keperawatan Stikes Eka Harap
Palangka Raya.
1.4.2 Bagi Klien Dan Keluarga
Klien dan keluarga mengerti cara perawatan pada penyakit dengan dianosa medis
Pemfigus Vulgaris secara benar dan bisa melakukan keperawatan di rumah dengan
mandiri.
1.4.3 Bagi Institusi
1.4.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan tentang Pemfigus Vulgaris dan Asuhan Keperawatannya.
1.4.3.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan Meningkatkan mutu
pelayanan perawatan di Puskesmas kepada pasien dengan diagnosa medis Pemfigus
Vulgaris melalui Asuhan Keperawatan yang dilaksanakan secara komprehensif
1.4.4 Bagi Iptek
Sebagai sumber ilmu pengetahuan teknologi, apa saja alat-alat yang dapat membantu
serta menunjang pelayanan perawatan yang berguna bagi status kesembuhan klien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar menutupi dan melindungi
permukaan tubuh, berhubungan dengan selaput lendir yang melapisi rongga – rongga, lubang –
lubang masuk. Pada permukaan kulit bermuara kelenjar keringant dan kelenjar mukosa. Kulit
terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan subkutan.
a. Epidermis
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan sel yaitu :
(1) Stratum koneum
Selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel, inti selnya sudah mati, dan mengandung zat
keratin.
(2) Stratum lusidum
Selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum adalah se – sel sudah banyak yang
kehilangan inti dan butir – butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Lapisan ini
hanya terdapat di telapak tangan dan telapak kaki. Dalam lapisan terlihat seperi suatu pita
yang bening, batas – batas sel sudah tidak begitu terlihat.
(3) Sratum granulosum
Stratum ini terdiri dari sel – sel pipih seperti kumparan. Sel – sel tersebut terdapat hanya 2 –
3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit. Dalam sitoplasma terdapat butir – butir yang
disebut keratohialin yang merupakan fase dalam pembentukan keratin oleh karena
banyaknya butir – butir stratum granulosum.
(4) Sratum spinosum/stratum akantosum
Lapisan sratum spinosum/stratum akantosum merupakan laisan yang paling tebal dan dapat
mencapai 0,2 mm terdiri dari 5 – 8 lapisan. Sel – selnya disebut spinosum karena jika kita
lihat di bawah mikroskop sel – selnya terdiri dari sel yang bentuknya poligonal (banyal
sudut) dan mempunyai tanduk (spina). Disebut akantosum karena sel – selnya berduri.
Ternyata spina dan tanduk tersebut adalah hubungan antara sel yang lain yang
disebut intercelular bridges atau jembatan interseluler.
(5) Stratum basal/geminatifum
Stratum basal/geminatifum disebut basal karena sel – selnya terletak di bagian basal.
Stratum germatifum menggantikan sel – sel yang diatasnya dan merupakan sel – sel induk.
Bentuknya silindris (tabung) dengan inti yang lonjong. Di dalamnya terdapat butir – butir
yang halus disebut butir melanin warna. Sel tersebut seperti pagar (palidase) di bagian
bawah sel tersebut terdapat suatu membran yang disebut membran basalis. Sel – sel basalis
dengan membran basalis merupakan batas bawah dari epidermis dengan dermis. Ternyata
batas ini tidak datar tetapi bergelombang. Pada waktu kerium menonjol pada epidermis
tonjolan ini disebut papila kori (papila kulit), dan epidermis menonjol ke arah korium.
Tonjolan ini disebut rete ridges atau rete pegg (prosessus interpapilaris).
b. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi oleh
membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tetapi batas ini tidak
jelas hanya kita ambil sebagai patokan adalah mulainya terdapat sel lemak.
Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas , pars papilaris (stratum papilar) dan
bagian bawah, retikularis (stratum retikularis). Batas antara pars papilaris dan pars
retikularis adalah bagian bawahnya sampai ke subkutis. Baik pars papilaris maupun pars
retikularis terdiri dari jaringan longgar yang tersusun dari serabut – serabut yaitu serabut
kolagen, serabut elastis, dan serabut retikulus.
Serabut ini saling beranyaman dan masing – masing mempunyai tugas yang berbeda.
Serabut kolagen, untuk memberikan kekuatan pada kulit, serabut elastis, memberikan
kelenturan pada kulit, dan retikulus, terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut
dan memberikan kekuatan pada alai tersebut.
c. Subkutan
Subkutis terdiri dari kumpulan – kumpulan sel – sel lemak dan di antara gerombolan ini
berjalan serabut – serabut jaringan ikat dermis. Sel – sel lemak ini bentuknya bulat dengan
intinya terdesak di pinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan lemak ini disebut
penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada tiap – tiap tempat dan juga pembagian
antara laki – laki dan perempuan tidak sama (berlainan). Guna penikulus adiposus adalah
sebagai shock breaker atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit,
isolator panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk
kecantikan tubuh. Di bawah subkutis terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot.
2.1.3 Etiologi
Pemfigus Vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun, dimana sistem kekebalan tubuh
menghasilkan antibodi yang menyerang protein tertentu dipermukaan kulit dan selaput lendir,
antibodi ini menimbulkan suatu reaksi yang menyebabkan pemisahan sel-sel epidermis kulit
(akantolosis), penyebab yang pasti dari pembentukan antibodi yang melawan jaringan tubuhnya
sendiri tidak diketahui, beberapa kasus terjadi karena adanya reaksi terhadap obat.
(Penicilinamin, Katropil).
1. Genetik
2. Obat-obatan
Kadang-kadang pemphigus vulgaris disebabkan oleh obat-obatan tertentu, meskipun hal ini
jarang terjadi. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kondisi ini meliputi:
- Obat yang disebut penicillamine, yang menghilangkan bahan-bahan tertentu dari darah
(chelating agent)
- Obat tekanan darah yang disebut ACE inhibitor
3. Disease association pemfigus (penyakit autoimun) terjadi pada pasien dengan penyakit
autoimun yang lain, biasanya myasthenia gravis dan thymoma. Dimana sistem kekebalan
tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang protein tertentu di permukaan kulit dan selaput
lendir. Antibodi ini menimbulkan suatu reaksi yang menyebabkan pemisahan sel-
sel epidermiskulit (akantolisis). Penyebab yang pasti dari pembentukan antibodi yang
melawan jaringan tubuhnya sendiri, tidak diketahui.
4. Secondary disease. Sebagai penyakit penyerta seperti neoplasma
5. Pada neonatal yang mengidap pemfigus vulgaris karena terinfeksi dari antibody sang ibu.
6. Umur Insiden terjadinya pemfigus vulgaris ini meningkat pada usia 50-60 tahun.
2.1.4 Patofisiologi
Semua proses pemfigus sifat yang khas yaitu:
Proses akontolisis
Adanya antibody Ig G terhadap antigen diterminan yang ada pada permukaan keratinosis yang
sedang berdeferensiasi. Sebagian besar pasien, pada mulanya ditemukan dengan testoral yang
tampak sebagai erosi – erosi yang bentuknya ireguler yang terasa nyeri, mudah berdarah dan
sembuh lambat. Bula pada kulit akan membesar, pecah dan meninggalkan daerah daerah erosi
yang lebar serta nyeri disertai dengan pembentukan krusta dan pembesaran cairan. Bau yang
menususk dan khas akan memancar dari bula dan yang merembes keluar. Kalau dilakukan
penekanan yang meminimalkan terjadinya pembentukan lepuh/ pengelupasan kulit yang normal (
tanda nikolsky ). Kulit yang erosi sembuh dengan lambah sehingga akhirnya daerah tubuh yang
terkena sangat luas. Sekunder infeksi disertai dengan terjadinya gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit sering terjadi akibat kehilangan cairan dan protein ketika bula mengalami ruptur.
Hipoalbuminemia sering dijumpai kalau proses penyakit mencakup daerah permukaan kulit
tubuh dan membran mukosa yang luas.
Penyebab pasti pemphigus vulgaris belum diketahui. Banyak teori yang mendasari
timbulnya penyakit ini, antara lain karena virus, namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Hal lain,
seperti kelainan metabolisme, intoksikasi, dan psikogenik, lebih merupakan akibat, bukan
penyebab pemphigus. Teknik imunofluresensi (IF), mendemonstrasikan adanya zat anti–IgG
yang beredar di dalam serum penderita. Zat anti ini beraksi atau terikat pada substansi yang
melekatkan sel-sel epidermis (substansia intraseluler). Ini spesifik untuk pemphigus vulgaris.
Titer zat anti atau antibodi ini berhubungan dengan aktifitas/ berat ringannnya penyakit,
sehingga mungkin dapat dipakai untuk mengevaluasi pengobatan. Pada pemeriksaan
imunofloresensi langsung dengan menggunakan epitel berlapis sebagai antigen, misalnya
selaput lendir kerongkongan kera atau bibir marmut, komplek antigen antibodi terlihat sebagai
susunan retikuler di sepanjang stratum spinosum. Pemeriksaan IF langsung ini mempunyai arti
penting untuk diagnosis, karena hasilnya positif pada awal penyakit dan tetap positif untuk
waktu lama atau beberapa tahun setelah penyakit sembuh atau tanpa pengobatan. Dari
pengamatan IF, jelas adanya peran mekanisme autoimun di dalam patogenesis pemphigus.
Namun walaupun antibodi yang timbul spesifik terhadap pemphigus ternyata antibodi antiepitel
tersebut bisa pula didapatkan pada penderita luka bakar, pemfigoid, NET, mikosis fungiodes,
dan erupsi kulit karena penisilin. Hubungan pemphigus dengan HLA terlihat pada studi populasi
terhadap penderita pemphigus yang menunjukan kenaikan HLA-A10 pada orang Jepang dan
Yahudi yang menderita pemphigus. Dan ada hubungan kuat dengan HLA-DR4 pada orang
Yahudi yang menderita pemphigus.
Penyakit autoimun
Obat-obatan
genetik
PEMFIGUS
Menimbulkan bula
pada kulit
Resiko tinggi
infeksi
Struktur Desmosom
Penting untuk terlebih dahulu
memahami fungsi desmosom
untuk dapat
selanjutnya memahami
patofisiologi pemfigus vulgaris.
Desmosom (atau maculae
adherens) merupakan organel
yang bertanggung jawab
terhadap perlekatan
antarsel pada keratinosit.
Bagian ekstraselulernya, yaitu
desmoglea, tersusun dari
glikoprotein perlekatan
transmembran yang
merupakan bagian dari
cadherin
Struktur Desmosom
Penting untuk terlebih dahulu
memahami fungsi desmosom
untuk dapat
selanjutnya memahami
patofisiologi pemfigus vulgaris.
Desmosom (atau maculae
adherens) merupakan organel
yang bertanggung jawab
terhadap perlekatan
antarsel pada keratinosit.
Bagian ekstraselulernya, yaitu
desmoglea, tersusun dari
glikoprotein perlekatan
transmembran yang
merupakan bagian dari
cadherin
2.1.5 Manisfestasi Klinis
Gejala klinis pemfigus vulgaris biasanya didahului dengan keluhan subyektif berupa
malaise, anoreksia, subfebris, kulit terasa panas dan sakit serta sulit menelan. Rasa gatal
(pruritus) jarang didapat. Kelainan kulit ditandai dengan bula derdinding kendor yang timbul di
atas kulit normal atau pada selaput lendir. Lebih dari setengan penderita pemfigus vulgaris
didapatkan lesi pada mukosa mulut yang akan diikuti beberapa bulan kemudian dengan lesi kulit.
Bila bula itu pecah akan menimbulkan erosi yang akan terasa nyeri dan akan meluas ke bibir
menyebabkan terjadinya fisura dengan krusta di atasnya. Bila lese mengenai faring, akan timbul
kerusakan menelan karena sakitnya. Selaput lendir lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva,
hidung, vulva penis, dan mukosa rektum atau anus. Daerah predileksi biasanya mengenai muka,
badan, daerah yang terkena tekanan, lipat paha dan aksila. Bula berdinding kendor mula – mula
berisi cairan jernih yang kemudian menjadi keruh (seropurulen) atau hemoragik. Dinding bula
mudah pecah dan menimbulkan daerah – daerah erosi yang luas (denuded area), basah, mudah
berdarah, dan tertutup krusta. Bila terjadi penyembuhan, lesi meninggalkan bercak – bercak
hiperpigmentasitanpa jaringan parut. Daerah – daerah erosi pada tubuh dan mulut menimbulkan
bau yang merangsang dan tidak sedap. Tanda dariNikolsky dapat ditemukan dengan cara kulit
yang terlihat normal akan terkelupas apabila ditekan dengan ujung jari secara hati – hati atau isi
bula yang masih utuh melebar bila kita lakukan hal yang sama (bulla spread phenomenon). Hal
ini menunjukkan kohesi antara sel – sel epidermis telah hilang.
Tanda dan gejala pemfigus :
1. Pemfigus Vulgaris
a. Kulit berlepuh, Ø 1-10 cm, bula kendur, mudah pecah, nyeri pada kulit yang terkelupas, erosi
b. Krusta bertahan lama, hiperpigmentasi
c. Tanda nikolsky (vesikel dan bula) ada
d. Kelamin, mukosa mulut 60%
e. Biasanya usia 30-60 tahun
f. Bau specifik
2. Pemfigus Eritematosus
a. Biasanya pada usia 60-70 tahun
b. Lesi awal : daerah wajah, kulit kepala, punggung, seluruh tubuh berupa bercak, eritematosa
batas tegas ( seperti kupu-kupu pada wajah) , krusta sifatnya kronis residif
c. Dinding bula kendur, mudah pecah, erosif yang dikelilingi dasar eritematosa, krusta dan
skuama krusta basah, bau khas
d. Tanda nikolsky ada
e. Mukosa mulut terkena
3. Pemfigus Bullosa
a. Biasanya usia 50-70 tahun
b. Dinding bula tegang berisi cairan jernih/ hemoragic diatas kulit yang tampak normal atau
eritema
c. Diameter bula bervariasi
d. Lesi mulut / genitalis ( 20 – 40 %)
e. Tidak ada tanda nikolsky
4. Pemfigus Vegetans
a. pada usia lebih muda dibandingkan dengan pemfigus vulgaris
b. lesi awal dimukosa mulut berbulan-bulan
c. lesi kulit : lokasi inter triginose, wajah, kepala, hidung, extremitas, selluruh tubuh berupa bula
kendur, mudah pecah, erosi vegetans, bau amis, hiperpigmentasi
d. tanda nikolsky ada
Keadaan umum penderita umumnya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit
kapala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, sehingga sering salah
didiagnosis sebagai pioderma pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi
sekunder. Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula
generalisata.
Gejala klinis pemphigus vulgaris biasanya didahului dengan keluhan subjektif berupa malaise,
anoreksia, subfebris, kulit terasa panas dan sakit serta sulit menelan. Rasa gatal (pruritus) jarang
didapat. Kelainan kulit ditandai dengan bula berdinding kendur yang timbul di atas kulit normal
atau pada selaput lendir. Bila lesi mengenai paru akan timbul kesukaran menelan karena
sakitnya. Selaput lendir lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva, hidung, vulva, penis, dan
mukosa hidung-anus.
Daerah predileksi biasanya mengenai muka, badan, daerah yang terkena tekanan, lipat
paha, dan aksila. Bula berdinding kendur mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi keruh
(seropurulen) atau hemoragik. Dinding bula mudah pecah dan menimbulkan daerah-daerah erosi
yang meluas (denuded area), basah, mudah berdarah, dan tertutup krusta. Bila terjadi
penyembuhan, lesi meninggalkan bercak-bercak hiperpirmentasi tanpa jaringan parut.
Daerah-daerah erosi pada tubuh dan mulut menimbulkan bau yang merangsang dan tidak sedap.
Tanda nikolsky dapat ditemukan dengan cara: kulit yang terlihat normal akan terkelupas apabila
ditekan dengan ujung jari secara hati-hati atau isi bula yang masih utuh melebar bila kita lakukan
hal yang sama (bulla spread phenomenon). Hal ini menunjukkan bahwa kohesi antar sel-sel
epidermis telah hilang.
2.1.6 Komplikasi
1. Malignansi dari penggunaan imunosupresif biasanya ditemukan pada pasien yang mendapat
terapi immunosupresif.
2. Growth retardation, ditemukan pada anak yang menggunakan immunosupresan dan
kortikosteroid.
3. Supresi sumsum tulang Dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresant. Insiden
leukemia dan lymphoma meningkat pada penggunaan imunosupresif jangka lama.
4. Osteoporosis. Terjadi dengan penggunaan kortikosteroid sistemik
5. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Erosi kulit yang luas, kehilangan cairan serta
protein ketika bulla mengalami rupture akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit. Kehilangan cairan dan natrium klorida ini merupakan penyebab terbanyak
gejala sistemik yang berkaitan dengan penyakit dan harus diatasi dengan pemberian infuse
larutan salin. Hipoalbuminemia lazim dijumpai kalau proses mencapai kulit tubuh dan
membrane mukosa yang luas.
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan visula oleh dermatologis.
b. Biopsi lesi, dengan cara memecahkan bula dab membuan apusan untuk diperiksa di
bawah mikroskop atau pemeriksanaan immunofluoresent.
c. Tzank test, apusan dari dasar bula yang menunjukkan akantolisis.
d. Nikolsky’s sign positif bila dilakukan penekanan minimal akan terjadi pembentukan
lepuh dan pengelupasan kulit.
Pemphigus vulgaris biasanya terjadi pada usia lanjut dan disertai keadaan umum yang
lemah. Selain itu, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
a. Gambaran klinis yang khas dan tanda dari nikolsky positif.
b. Test tzanck positif dengan membuat apusan dari dasar bula dan dicat dengan giemsa akan
terlihat sel tzanck atau sel akantolitik yang berasal dari sel-sel lapisan spinosum
berbentuk agak bulat dan berinti besar dengan dikelilingi sitoplasma jernih (halo).
c. Pemeriksaan hitopatologik: terlihat gambaran yang khas, yakni bula yang terletak supra
basal dan adanya akantolisis.
d. Pemerikssaan imunofluoresensi
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler tipe IgG dan C3.
Pada tes imunofluoresensi secara langsung didapatkan antibodi pemphigus tipe IgG. Tes
pertama lebih terpercaya daripada tes kedua, karena telah positif pada penuaan penyakit.
Kadar titernya pada umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan
menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.
2.1.8 Penatalaksanaan Medis
1. Pemfigus vulgaris
a. Umum
- Perbaiki keadaan umum
- Atasi keseimbangan cairan ( input atau output ), elektrolit, tanda-tanda vital
b. Sistemik
- Kortikosteroid : Prednison 60-150 mg/hr ( tergantung berat ringannya
penyakit
- Tapering off disesuaikan dengan kondisi klinis dan kadar IgG dalam darah
sampai dosis pemeliharaan
- Dapat dikombinasikan kortikosteroid dan sitostatika (Azotlapin 1-3 mg/kg BB )
untuk sparing efek.
- Antibiotika bila ada infeksi sekunder
- KCL 3x500 mg/ hari
- Anabolik ( Anabolene 1x1 tablet/ hari )
c. Topikal
- Eksudatif : kompres
- Darah erosif : - Silver sulfadiazine
- Krim antibiotik bila ada infeksi
- Kortikosteroid lemah untuk lesi yang tidah eksudatif
2. Pemfigus Eritematosus
a. umum
- Pengawasan keadaan umum, tanda vital, input atau output cairan dan elektrolit
- Diet lunak, TKTP, rendah garam
b. Sistemik
- Kortikosteroid : prednison 60-100 mg/hr ( tergantung berat ringannya penyakit)
- Kombinasi kortikosteroid dan azatioprin (1-2 mg/kg BB)
- Antibiotik : bila terdapat infeksi sekunder
- Anbolik ( anabolene 1x1 tb/ hari)
c. Topikal
- Untuk lesi basah : kompres
- Untuk lesi erosif : mupirocin
- Untuk lesi berskuama : kompres hidrokortison 2,5 %, lanalcin 10 %, vaselin
albumin 100
3. Pemfigus bulosa
a. umum
- Pengawasan keadaan umum, tanda vital
- Diet TKTP
- Hindari infeksi sekunder (K/P) infus untuk mengantisipasi gangguan cairan dan
elektrolit
b. Sistemik
- Prednison 40-80 mg/hr, bila tampak perbaikan tapering off
- DDS 200-300 mg/hari
- Dapat diberikan gabungan prednison dengan imunosupresan lain
- MTX 20-30 mg/ minggu interval 12 jam diberikan saat prednison dosis 400 mg
- Azatioprin 50-150 mg/hr setelah 3-4 minggu kemudian dilakukan alternate day
- Anbolik bila ada infeksi sekunder
- CTM 3x1 tablet sehari ( bila gatal)
c. Topikal
- Untuk lesi basah : kompres rivanol
- Untuk lesi erosi kering : kortikosteroid topikal
- Antibiotik topikal
- Bula besar : aspirasi
4. Pemfigus vegetans
a. Umum
- Pengawasan keadaan umum, tanda vital, input output cairan dan elektrolit
- Diet lunak, TKTP, rendah garam
b. Sistemik
- Prednison 60-150 mg/hr, tapering off sesuai dengan kondisi klinis sampai dosis
pemeliharaan
- Antibiotik bila ada infeksi sekunder
- Alternate dapseon 100-200 mg/hari
- KCL 2x500 mg (k/p)
- Anabolik (anabolene 1x1 tablet sehari)
c. Topikal
- Betadine gargle untuk kumur
- Bibir kenalog in arabase
- Garamicin krim atau fucidine krim 2xsehari untuk daerah erosif
- Untuk krusta : kompres salep antibiotik
- Mandi PK / 10.000
2.2. Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
Proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,
penyusunan kriteria hasil, tindakan dan evaluasi. Perawat menggunakan pangkajian dan
penilaian klinis untuk merumuskan hipotesis atau penjelasan tentang penyajian masalah aktual
atau potensial, risiko dan atau peluang promosi kesehatan. Semua langkah-langkah ini
membutuhkan pengetahuan tentang konsep-konsep yang mendasari ilmu keperawatan sebelum
pola diidentifikasikan sesuai data klinis atau penetapan diagnosis yang akurat (Herdman H,
2015).
1. Biodata
Umur : biasanya pada usia pertengahan sampai dewasa muda
2. Riwayat kesehatan
Keluhan utama : nyeri karena adanya pembentukan bula dan erosi
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat alergi obat, riwayat penyakit keganasan
( neoplasma ), riwayat penyakit lain, Riwayat hipertensi
3. pola kesehatan fungsional Gordon yang terkait
a. Pola Nutrisi dan Metabolik
Kehilangan cairan dan elektrolit akibat kehilangan cairan dan protein ketika bula
mengalami ruptur
b. Pola persepsi sensori dan kognitif
Nyri akibat pembentukan bula dan erosi
c. Pola hubungan dengan orang lain
Terjadinya perubahan dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya bula atau
bekas pecahan bula yang meninggalkan erosi yang lebar
d. Pola persepsi dan konsep diri
Terjadinya gangguan body image karena adanya bula/ bula pecah meninggalkan erosi
yang lebar serta bau yang menusuk
4. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Tingkat kesadaran : Composmentis
Tanda – tanda vital :
TD : Dapat meningkat/ menurun
N : Dapat meningkat/ menurun
RR : Dapat meningkat/ menurun
S : Dapat meningkat/ menurun
Kepala : Kadang ditemukan bula
Dada : Kadang ditemukan bula
Punggung : Kadang ditemukan bula dan luka dekubitus
Ekstremitas : Kadang ditemukan bula dan luka dekubitus
5. Pemeriksaan penunjang
b. Klinis anamnesis dan pemeriksaan kulit : ditemukan bula
c. Laborat darah : hipoalbumin
d. Biopsi kulit : mengetahui kemungkinan maligna
e. Test imunofluorssen : didapat penurunan imunoglobulin
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang muncul pada pasien dengan Pemfigus Vulgaris adalah sebagai berikut
a) Gangguan Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit Berhubungan Dengan Kehilangan Cairan
Dan Protein
b) Gangguan Rasa Nyaman: Nyeri Berhubungan Dengan Lesi Pada Kulit, Pecahnya Bula
c) Resiko Tinggi Infeksi Berhubungan Dengan Hilangnya Barier Proteksi Kulit Dan
Membran Mukosa
d) Gangguan Atau Kerusakan Integritas Kulit Berhubungan Dengan Rupture Bula Dan
Daerah Kulit Yang Terbuka
e) Intoleransi Aktfitas Berhubungan Dengan Kelemahan Fisik, Kekakuan Sendi
Terapeutik
Edukasi
Terapeutik
Edukasi
Edukasi
Terapeutik
Edukasi
1. Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. Lotin,
serum)
2. Anjurkan minum air yang
cukup
3. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
4. Anjurkan meningkat
asupan buah dan saur
5. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ektrime
6. Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal 30
saat berada diluar rumah
Terapeutik
1. Fasilitasi fokus pada
kemampuan, bukan defisit
yang dialami
2. Sepakati komitmen untuk
meningkatkan frekuensi
dan rentang aktivitas
3. Fasilitasi memilih aktivitas
dan tetapkan tujuan
aktivitas yang konsisten
sesuai kemampuan fisik,
psikologis, dan sosial
4. Koordinasikan pemilhan
aktivitas sesuai usia
5. Fasilitasi makna aktivitas
yang dipilih
6. Fasilitasi transportasi untuk
menghadiri aktivitas, jika
sesuai
7. Fasilitasi pasien dan
keluarga dalam
menyesuaikan lingkungan
untuk mengakomodasi
aktivitas yang dipilih
8. Fasilitasi aktivitas rutin
(mis: ambulasi, mobilisasi,
dan perawatan diri), sesuai
kebutuhan
9. Fasilitasi aktivitas
pengganti saat mengalami
keterbatasan waktu, energi,
atau gerak
10. Fasilitasi aktivitas motorik
kasar untuk pasien
hiperaktif
11. Tingkatkan aktivitas fisik
untuk memelihara berat
badan, jika sesuai
12. Fasilitasi aktivitas motorik
untuk merelaksasi otot
13. Fasilitasi aktivitas aktivitas
dengan komponen memori
implisit dan emosional
(mis: kegiatan keagamaan
khusus) untuk pasien
demensia, jika sesuai
14. Libatkan dalam permainan
kelompok yang tidak
kompetitif, terstruktur, dan
aktif
15. Tingkatkan keterlibatan
dalam aktivitas rekreasi
dan diversifikasi untuk
menurunkan kecemasan
(mis: vocal group, bola
voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas sederhana,
permainan sederhana, tugas
rutin, tugas rumah tangga,
perawatan diri, dan teka-
teki dan kartu)
16. Libatkan keluarga dalam
aktivitas, jika perlu
17. Fasilitasi mengembangkan
motivasi dan penguatan
diri
18. Fasilitasi pasien dan
keluarga memantau
kemajuannya sendiri untuk
mencapai tujuan
19. Jadwalkan aktivitas dalam
rutinitas sehari-hari
20. Berikan penguatan positif
atas partisipasi dalam
aktivitas
Edukasi
Kolaborasi