Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Invaginasi

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan


dalam menyelesaikan Program Dokter Internsip

Oleh:

dr. Sabrina Alfaqihah

Pembimbing:

dr. Achmad Nasrullah, Sp.B

dr. Raden Suwargo

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA
RS PTP XXI TOLOENGREDJO PARE KEDIRI
November 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Invaginasi” ini tepat pada waktunya. Laporan kasus ini
disusun dalam rangka mengikuti memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan Program Dokter Internsip .

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan


bimbingan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. dr. Achmad Nasrullah, Sp.B selaku DPJP


2. dr. Raden Suwargo selaku pembimbing internsip stase RS
3. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan kasus ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat di bidang ilmu
pengetahuan dan kedokteran.

Kediri, November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2
2.1 Definisi ....................................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi .............................................................................................. 2
2.3 Etiologi ....................................................................................................... 3
2.4 Patofisiologi ............................................................................................... 5
2.5 Manifestasi Klinis ...................................................................................... 6
2.6 Diagnosis .................................................................................................... 7
2.7 Tatalaksana................................................................................................. 8
2.8 Prognosis .................................................................................................... 10
BAB III LAPORAN KASUS........................................................................... 11
3.1 Identitas Pasien........................................................................................... 11
3.2 Anamnesis .................................................................................................. 11
3.3 Pemeriksaan Fisik ...................................................................................... 12
3.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 13
3.5 Assessment ................................................................................................. 17
3.6 Planning ..................................................................................................... 17
3.7 Laporan Operasi ......................................................................................... 17
3.8 Follow Up .................................................................................................. 18
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 23
BAB V SIMPULAN ........................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Invaginasi atau yang sering juga disebut sebagai intususepsi merupakan


suatu keadaan masuknya satu segmen usus ke lumen usus yang lainnya.
Invaginasi menjadi penyebab tersering obstruksi usus pada bayi dan anak-anak.
Puncak insidens tertinggi pada anak usia 4—9 bulan. Etiologi invaginasi
dilaporkan idiopatik pada sekitar 90% kasus. Hanya sedikit kasus yang
berhubungan dengan keadaan patologis seperti divertikel Meckel, atau proses
tumor jinak atau ganas seperti polip intestinal, tumor usus dan limfoma usus. Ada
laporan kasus yang menyebutkan pasien usia 80 tahun mengalami invaginasi
karena melanoma maligna.1-2 Dalam beberapa kasus, invaginasi juga dikaitkan
dengan infeksi virus seperti adenovirus dan rotavirus. Beberapa juga melaporkan
kasus infeksi SARS-CoV-2 pada anak dengan kejadian invaginasi. Namun hingga
saat ini belum ada penelitian yang mampu menegakkan hubungan antara infeksi
virus dengan kejadian invaginasi pada anak-anak.3-4
Invaginasi sering terjadi pada anak- anak dan merupakan kasus langka
pada dewasa. Trias gejala klasik terdiri dari nyeri perut, muntah dan darah pada
feses. Namun ketiga gejala ini hanya muncul pada kurang dari 1/3 anak dengan
invaginasi. Kasus sering hadir dengan gejala non-spesifik, termasuk muntah, nyeri
perut, rewel, nafsu makan menurun dan lesu. Hal ini membuat diagnosis
invaginasi sulit ditegakkan dan dideteksi secara dini terutama pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang tidak memiliki penunjang memadai seperti
pemeriksaan radiologi. Keberhasilan pengelolaan invaginasi tergantung pada
pengenalan dan diagnosis dini, resusitasi cairan, terapi antibiotik, dan tindakan
reduksi segera. Kegagalan diagnosis dan pengobatan yang tepat waktu sering
menyebabkan keadaan darurat bedah karena perkembangan iskemia usus,
perforasi dan peritonitis yang menyebabkan hasil akhir yang fatal.1-2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Invaginasi adalah suatu keadaan gawat darurat akut dibidang ilmu bedah
dimana suatu segmen usus masuk kedalam lumen usus bagian distalnya sehingga
dapat menimbulkan gejala obstruksi dan pada fase lanjut apabila tidak segera
dilakukan reposisi dapat menyebabkan strangulasi usus yang berujung pada
perforasi dan peritonitis.5

Pada invaginasi, satu segmen usus (intussusceptum) berjalan ke depan di


dalam usus distal yang berdekatan (intussuscipiens). Puncak invaginasi disebut
lead point. Setelah fenomena teleskopik ini terbentuk maka selanjutnya akan
terjadi obstruksi usus. Invaginasi ileokolika merupakan salah satu kedaruratan
bedah yang lebih umum dalam 2 tahun pertama kehidupan.6

2.2 Epidemiologi

Insidensi invaginasi di dunia memiliki variasi luas. Usia puncak kejadian


invaginasi ileo-colic adalah pada bayi berusia 5-7 bulan, dan 70% pasien berusia
antara 3 dan 12 bulan. Anak laki-laki lebih sering terkena daripada anak
perempuan. Pada anak di bawah usia 1 tahun, insiden mulai dari 35 kasus tiap
100.000 anak di Brazil sampai 1200 kasus tiap 100.000 anak di Inggris. Telaah
literature tahun 2013 menilai epidemiologi invaginasi di bawah usia 18 tahun di
dunia pada tahun 2002—2012; penelitian itu mengungkapkan 44.454 kejadian
invaginasi di wilayah Amerika, Asia, Eropa, Oseania, Afrika, dan Mediteranian
Timur.6, 7

Angka kejadian terendah adalah pada usia 0—2 bulan, yaitu 13—37 per
100.000 anak dan insiden tertinggi pada usia 4—7 bulan yaitu 97—126 per
100.000 anak. Beberapa negara dengan insiden lebih dari 100 per 100.000 anak,
yaitu Australia (101), Hongkong (108), Jepang (185), Israel (219), Vietnam (302),
dan Korea Selatan (328). Sedangkan beberapa negara dengan insidens rendah, di

2
bawah 20 kejadian per 100.000 orang adalah Finlandia (20), India (18), Malaysia
(18), dan Bangladesh (9).7

Insiden, distribusi usia dan kematian kasus invaginasi di rumah sakit


bervariasi menurut wilayah. Di wilayah Afrika, Mediterania Timur dan Asia
Tenggara, lebih dari 80% rawat inap invaginasi terjadi pada tahun pertama
kehidupan, dibandingkan dengan di Amerika, Eropa, dan wilayah Pasifik Barat.
Kami menemukan perbedaan ekstrim antara tingkat kematian kasus di Afrika (1
kematian dalam setiap 10 penerimaan rumah sakit) dibandingkan seluruh dunia
(kurang dari 1 kematian dalam setiap 100-2000 penerimaan rumah sakit). Di
Afrika, banyak anak terlambat datang ke rumah sakit dan datang dalam keadaan
kritis.8

Beberapa penelitian skala nasional juga dilakukan di beberapa negara


Asia, antara lain Taiwan dan Malaysia. Penelitian nasional mengenai invaginasi
diadakan karena adanya kontroversi bahwa vaksin rotavirus berhubungan dengan
peningkatan risiko invaginasi jangka pendek; 78,9% kasus invaginasi di Taiwan
terjadi pada usia di bawah 5 tahun, 83,1% kasus invaginasi pada usia di bawah 10
tahun, 15,8% kasus pada usia 20 tahun ke atas. Angka kejadian paling rendah
pada dewasa muda. Sedangkan di Malaysia, 74,2% kasus pada anak di bawah usia
1 tahun, 58,1% pada anak laki – laki.9, 10

Berdasarkan laporan rumah sakit dr Hasan Sadikin Bandung pada tahun


2009 hingga 2011 ada 47 kasus invaginasi yang ditangani oleh departemen bedah
anak dengan perbandingan 2:1 antara laki-laki dan perempuan. Sebagian besar
kasus terjadi pada pasien berusia kurang dari satu tahun; dengan puncaknya pada
usia 8 bulan. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa
kasus invaginasi paling banyak terjadi pada anak di bawah 1 tahun.11

2.3 Etiologi

Pada anak – anak, sekitar 90% kasus invaginasi merupakan kasus


idiopatik. Kasus invaginasi idiopatik seringkali diasumsikan karena peristaltik
usus yang tidak terkoordinasi, atau karena hiperplasia limfoid, yang mungkin
terjadi pada infeksi gastrointestinal. Dalam kasus seperti itu, puncak invaginasi

3
kemungkinan besar adalah jaringan limfoid submukosa yang membesar di ileum
distal (plak Peyer), yang telah mengalami hiperplasia reaktif yang kemungkinan
disebabkan infeksi virus. Dengan peristaltik yang berlanjut, lead point bergerak
melalui katup ileo-caecal ke dalam kolon dan bahkan dapat mencapai anus.
Contoh lead point patologis termasuk divertikulum Meckel, limfoma, polip, dan
kista. Kemungkinan lesi seperti itu meningkat seiring bertambahnya usia. Pada
anak-anak usia sekolah yang datang ke unit gawat darurat dengan nyeri perut
kolik, baru-baru ini diketahui bahwa banyak yang mengalami invaginasi ileo-
ileum, mungkin akibat gastroenteritis yang menyebabkan gangguan pada
peristaltik normal usus.6

Perbedaan asupan makanan pada bayi, ASI, antibodi maternal, prevalensi


enteropatogen seperti adenovirus dan rotavirus, berkontribusi pada risiko
terjadinya invaginasi. Hanya 10% kasus invaginasi pada anak yang termasuk
invaginasi sekunder, yaitu mempunyai patologi pada usus, seperti massa fokal
atau abnormalitas dinding usus. Adanya patologi pada usus ditandai dengan gejala
obstruksi usus yang lebih menonjol, segmen usus yang terkena invaginasi lebih
panjang, dan adanya cairan bebas intraperitoneal. Penelitian pada bayi invaginasi
ileokolik idiopatik menunjukkan bahwa mayoritas bayi tidak lagi mengonsumsi
ASI sehingga terjadi hilangnya imunitas maternal yang didapat secara pasif.
Sebuah studi di India menyatakan bahwa 78,84% bayi invaginasi mendapat
makanan pengganti ASI saat usia 2 – 4 bulan, 15,38% bayi mendapat makanan
pengganti saat masih berusia 4 – 6 bulan. Pada penelitian tersebut, hanya 1 anak
dengan ASI eksklusif yang menderita invaginasi.12

Kasus invaginasi dewasa berbeda dibandingkan pada anak – anak. Hampir


90% kasus invaginasi pada dewasa merupakan invaginasi sekunder, yaitu
invaginasi karena ada bagian patologis pada usus. Titik patologis ini menjadi
penyebab invaginasi. Beberapa contoh penyebab invaginasi sekunder ini adalah
karsinoma, polip, divertikel Meckel’s, divertikulum kolon, striktur, atau
neoplasma jinak yang sering ditemukan intraoperatif. Adenokarsinoma
merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada invaginasi di kolon;
sedangkan di usus halus, metastasis menjadi penyebab tersering.13

4
Invaginasi juga dapat mengalami rekurensi, yaitu sekitar 8–15% kasus.
Rekurensi bisa lebih dari 1 kali. Sebuah jurnal melaporkan 481 kasus dari 191
pasien; beberapa kasus mengalami rekurensi lebih dari 1 kali, bahkan 11 kasus
mengalami rekurensi 6 kali. Rekurensi tertinggi terjadi pada 24 jam pertama.
Pasien berusia lebih dari 1 tahun lebih berisiko rekuren, mungkin karena pada
anak di bawah 1 tahun, tindakan operasi lebih sering daripada reduksi enema.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa onset kurang dari 12 jam, tidak ada
muntah; teraba massa di perut bagian kanan juga mampun menjadi prediktor
peningkatan faktor risiko rekurensi invaginasi. Invaginasi sekunder lebih sering
rekuren, muntah, dan teraba massa di perut bagian bawah kiri.14

2.4 Patofisiologi

Mayoritas invaginasi pada anak bersifat idiopatik. Invaginasi dianggap


berkaitan dengan peristaltik usus yang tidak terkoordinir atau adanya hiperplasia
limfoid karena diare. Invaginasi juga berhubungan dengan pemberian makanan
pada anak; pemberian makanan pengganti ASI sebelum waktunya menimbulkan
pembengkakan payer patch di ileum terminalis, menyebabkan invaginasi segmen
ileum ke kolon proksimal. Tipe invaginasi ini yang paling sering terjadi, sesuai
dengan hasil studi yang menyatakan 88,46% kasus merupakan invaginasi
ileokolikal. Jika segmen ileum masuk ke kolon, terjadi kompresi pembuluh darah
mesenterika, menyebabkan inflamasi dan edema intestinal yang dapat berujung
pada obstruksi usus, gangguan vaskuler, dan bahkan nekrosis usus.1

Invaginasi paling sering ileocolic, lebih jarang cecocolic, dan lebih jarang
lagi ileal. Sangat jarang juga, apendiks membentuk puncak invaginasi. Bagian
atas usus, intussusceptum, berinvaginasi ke bagian bawah, intussuscipiens,
menarik mesenteriumnya bersama dengannya ke dalam loop yang membungkus.
Konstriksi mesenterium menghalangi aliran balik vena; Pembengkakan
intususeptum diikuti, dengan edema, dan perdarahan dari mukosa menyebabkan
tinja berdarah, kadang-kadang mengandung lendir. Puncak invaginasi dapat
meluas ke kolon transversum, desendens, atau sigmoid, bahkan ke dan melalui
anus pada kasus yang terabaikan. Presentasi ini harus dibedakan dari prolaps

5
rektum. Kebanyakan invaginasi tidak menyebabkan strangulasi usus dalam 24 jam
pertama tetapi dapat menyebabkan gangren usus dan syok.15

2.5 Manifestasi Klinis

Nyeri merupakan gejala yang paling penting (85%). Ini biasanya dimulai
sebagai nyeri kolik yang berlangsung 2-3 menit, selama waktu itu bayi berteriak
dan menarik lututnya. Spasme biasanya terjadi pada interval 15-20 menit. Bayi
kadang menjadi pucat dan lembap (mirip dengan episode sinkop pada anak yang
lebih besar), kelelahan dan lesu di antara spasme. Setelah 12 jam atau lebih, rasa
sakit menjadi lebih terus menerus. Muntah hampir selalu terjadi juga: biasanya
sekali atau dua kali pada jam-jam pertama dan kemudian terjadi lagi jika obstruksi
usus sepenuhnya terjadi.6

Anak-anak dengan invaginasi terlihat pucat dan lesu, kecuali jika mereka
rewel karena spasme yang menyebabkan nyeri hebat. Massa (kadang-kadang
digambarkan berbentuk sosis) teraba, pada lebih dari separuh bayi, dan biasanya
ditemukan di hipokondrium kanan, meskipun mungkin di mana saja antara garis
usus besar dan umbilikus. Massa invaginasi paling mungkin dirasakan lebih awal,
sebelum disembunyikan oleh distensi abdomen dan peningkatan nyeri tekan
abdomen. Feses yang normal atau encer sering dikeluarkan segera setelah
timbulnya gejala, dan diare apapun cenderung volumenya kecil dan bersifat
sementara. Sekitar setengah dari kejadian kasus invaginasi, pasien mengeluarkan
tinja yang mengandung darah dan lendir (red currant jelly), yang dibentuk oleh
diapedesis sel darah merah melalui mukosa intussusceptum yang tersumbat.
Darah dapat diidentifikasi pada sarung tangan setelah pemeriksaan rektal, yang
dapat mengungkapkan puncak intususeptum di dalam rektum. Bayi pucat, lemas
dan lelah serta mengalami takikardia. Jika diagnosis terlambat, bayi mengalami
dehidrasi, lesu dan demam, distensi abdomen dan tampak sakit. Ini adalah tanda-
tanda terlambat dan idealnya diagnosis harus dibuat sebelum tanda tersebut
muncul.6

6
2.6 Diagnosis

Invaginasi menghasilkan sakit perut kram parah pada anak yang sehat dari
3 bulan sampai 3 tahun. Dua pertiga anak yang mengalami invaginasi berusia
kurang dari 1 tahun. Anak sering menarik kaki ke atas selama episode nyeri dan
biasanya tenang selama periode intervensi. Gejala lain termasuk muntah,
keluarnya lendir berdarah (red currant jelly), dan massa perut yang teraba. Pada
sekitar 50% kasus, diagnosis invaginasi dapat dicurigai pada radiografi polos
abdomen berdasarkan adanya massa yang teraba, gas kolon yang jarang, atau
obstruksi usus halus distal lengkap. Saat ini, USG abdomen digunakan sebagai tes
diagnostik awal. Temuan sonografi karakteristik invaginasi termasuk target sign
dari lapisan usus yang terinvaginasi pada tampilan melintang atau tanda
pseudokidney bila dilihat secara longitudinal.16

Skrining ultrasound untuk dugaan invaginasi meningkatkan hasil enema


diagnostik atau terapeutik dan mengurangi paparan radiasi yang tidak perlu pada
anak-anak. Temuan diagnostik invaginasi pada USG termasuk massa tubular
dalam pandangan longitudinal dan penampilan donat atau target pada gambar
transversal. Ultrasonografi memiliki sensitivitas sekitar 98-100% dan sensitivitas
sekitar 88% dalam mendiagnosis invaginasi. Udara, hidrostatik (saline), dan, lebih
jarang, enema kontras yang larut dalam air telah menggantikan pemeriksaan
barium. Kontras enema menunjukkan defek pengisian atau mengisi di kepala
media kontras di mana kemajuannya terhalang oleh intususeptum. Kolom media
kontras linier sentral dapat terlihat pada lumen terkompresi dari intususeptum, dan
tepi tipis kontras dapat terlihat terperangkap di sekitar usus yang mengalami
invaginasi pada lipatan mukosa di dalam intususcipiens (coiled-spring sign),
terutama setelah evakuasi. Retrogresi intususeptum di bawah tekanan dan
divisualisasikan pada x-ray atau dokumen ultrasound berhasil dikurangi.
Pengurangan udara dikaitkan dengan komplikasi yang lebih sedikit dan paparan
radiasi yang lebih rendah daripada teknik hidrostatik kontras tradisional.15

Mungkin akan sangat sulit untuk mendiagnosis invaginasi pada anak yang
sudah menderita gastroenteritis; perubahan pola penyakit, sifat nyeri, atau sifat
muntah atau timbulnya perdarahan rektal harus diwaspadai oleh dokter. Kotoran

7
berdarah dan kram perut yang menyertai enterokolitis biasanya dapat dibedakan
dari invaginasi karena pada enterokolitis rasa sakitnya kurang parah dan kurang
teratur, serta ada diare dengan volume yang banyak. Pada invaginasi, feses kecil
yang keluar pada awal perjalanan penyakit hanya menggambarkan evakuasi kolon
yang terstimulasi di luar obstruksi. Muntah terus-menerus dan nyeri tanpa diare
tidak mungkin gastroenteritis. Pendarahan dari divertikulum Meckel biasanya
tidak menimbulkan rasa sakit. Gejala sendi, purpura, atau hematuria biasanya
tetapi tidak selalu menyertai perdarahan usus purpura Henoch-Schönlein. Karena
invaginasi dapat menjadi komplikasi dari gangguan ini, ultrasonografi mungkin
diperlukan untuk membedakan kondisinya. Hernia inguinalis strangulata dapat
muncul dengan nyeri perut, muntah, dan distensi, tetapi dapat dikenali dengan
mudah ketika benjolan yang tidak dapat direduksi terlihat pada pemeriksaan regio
inguinalis.6, 15

2.7 Tatalaksana

Terapi invaginasi pada anak berawal dari terapi operasi segera setelah
diagnosis, namun saat ini reduksi radiologis rutin dilakukan dengan morbiditas
yang minimal. Operasi tetap menjadi pilihan pada pasien yang tidak stabil,
ditemukan peritonitis atau perforasi, tidak ada ahli radiologi, atau yang paling
sering, jika reduksi enema gagal. Reduksi dengan enema harus dicoba dalam
banyak kasus, kecuali ada bukti klinis usus mati, seperti yang ditunjukkan oleh
peritonitis atau septikemia. Gas (udara atau oksigen) adalah media enema yang
paling umum digunakan dan lebih disukai daripada barium enema yang pernah
ada karena efikasi dan keamanannya yang unggul. Reduksi enema sedikit kurang
berhasil jika ada gejala yang berkepanjangan (>24 jam), jika pasien berada di luar
rentang usia yang biasa (<3 bulan atau >24 bulan) atau jika ada obstruksi usus
kecil yang terbentuk dengan air-fluid level pada x-ray. Jika tidak ada peritonitis,
masih layak dicoba reduksi enema dalam keadaan ini. Jika anak tetap stabil secara
klinis setelah dicoba, reduksi tidak lengkap, enema ulangi tertunda 30 menit
hingga 2 jam kemudian dilakukan. Secara keseluruhan, 80-90% dari invaginasi
harus direduksi menggunakan enema gas.6

8
Invaginasi yang terletak seluruhnya di dalam usus kecil tidak mungkin
direduksi dengan enema. Reduksi yang berhasil dicapai pada lebih dari 80% kasus
dan dikonfirmasi oleh resolusi massa, bersama dengan refluks udara ke ileum
terminal. Tingkat kekambuhan setelah reduksi hidrostatik adalah sekitar 11%, dan
biasanya terjadi dalam 24 jam setelah reduksi. Ketika berulang, biasanya dikelola
oleh reduksi hidrostatik lain. Kekambuhan ketiga merupakan indikasi untuk
manajemen operatif. Pasien diresusitasi dengan cairan intravena dan tetap hangat.
Kateter Foley dimasukkan ke dalam rektum. Untuk mencapai segel, balon kateter
digelembungkan dan/atau bokong diikat erat. Gas (biasanya oksigen dari suplai
dinding) dimasukkan ke dalam usus besar melalui kateter, tekanannya
dikendalikan oleh manometer. Di bawah kontrol fluoroskopi terus menerus,
kemajuan pengurangan dipantau. Pengisian tiba-tiba dari usus kecil dengan gas
menunjukkan reduksi selesai. Bayi dapat diberi makan dalam beberapa jam
setelah prosedur.6, 16

Indikasi operasi dengan invaginasi termasuk adanya peritonitis atau


obstruksi usus halus lengkap pada presentasi awal, serta gagal reduksi hidrostatik
atau rekunsi berulang. Adanya bukti kuat dari lesi patologis pada titik awal,
misalnya, pigmentasi sirkumoral dari sindrom Peutz-Jegher, juga merupakan
indikasi operasi. Laparotomi melalui sayatan supra-umbilikal kanan transversal,
atau laparoskopi, dapat digunakan. Invaginasi dikurangi dengan manipulasi,
meskipun reseksi segmental mungkin diperlukan jika ada gangren atau di mana
ada lesi patologis pada titik awal, misalnya, divertikulum atau polip Meckel.6

Invaginasi dilahirkan melalui sayatan melintang di sisi kanan perut dan


direduksi secara retrograde dengan mendorong massa ke proksimal. Setelah
dikurangi, bantalan hangat dapat ditempatkan di atas usus dan periode
pengamatan mungkin diperlukan dalam kasus viabilitas usus yang meragukan.
Jaringan limfoid di daerah ileocecal menebal dan edematous dan dapat
disalahartikan sebagai tumor di dalam usus kecil; oleh karena itu, sangat hati-hati
harus dilakukan sebelum melakukan reseksi bedah. Tingkat kekambuhan sangat
rendah setelah reduksi bedah. Reseksi usus diperlukan dalam kasus di mana
invaginasi gagal direduksi, kelangsungan hidup usus tidak pasti, dan/atau titik
awal diidentifikasi. Sebuah ileocolectomy dengan reanastomosis primer biasanya

9
dilakukan. Apendektomi adalah komponen penting, terlepas dari reseksi usus.
Baru-baru ini, penggunaan laparoskopi dalam pengelolaan invaginasi telah
mendapatkan popularitas.16

2.8 Prognosis

Invaginasi yang tidak diobati pada bayi biasanya berakibat fatal, karena
kemungkinan pemulihan secara langsung berhubungan dengan durasi invaginasi
sebelum direduksi. Sebagian besar bayi sembuh jika invaginasi direduksi dalam
24 jam pertama, dan angka kematian meningkat dengan cepat setelah waktu ini,
terutama setelah hari kedua. Reduksi spontan selama persiapan untuk operasi
tidak jarang terjadi. Tingkat kekambuhan invaginasi setelah direduksi adalah
sekitar 10%, dan setelah tindakan bedah adalah 2-5%; tidak ada yang kambuh
setelah reseksi bedah. Kortikosteroid dapat mengurangi frekuensi invaginasi
berulang. Invaginasi berulang biasanya dapat direduksi secara radiologis.
Sedangkan untuk invaginasi yang disebabkan oleh lesi seperti limfosarkoma,
polip, atau divertikulum Meckel tidak akan berhasil direduksi dengan intervensi
radiologis. Dengan manajemen bedah yang memadai, tindakan operasi membawa
tingkat kematian yang sangat rendah pada kasus-kasus awal.15

10
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : An. MHA


No RM : 319800
Umur : 6 bulan
Berat badan : 7 kg
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Ternate 1/2 Kapasan Puncu Kediri
Agama : Islam
Tanggal MRS : 23 Oktober 2022

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
BAB Darah

Riwayat Penyakit Sekarang


Alloanamnesis dengan orang tua pasien.
Menurut orang tua, pasien mengalami bab darah sejak pagi hari ini. Bab
darah merah segar bercampur lendir dalam jumlah banyak hingga 1/2 pampers.
Keluhan disertai ada muntah 1x hari ini berisikan air saja. Sebelumnya pasien
mengalami bab cair dengan ampas sedikit-sedikit selama 2 hari, frekuensi 3-4x
sehari. Pasien juga mengalami demam yang naik turun sejak 3 hari lalu. Pasien
masih mau menyusu, dapat bergerak aktif dan menangis dengan kuat.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


Pasien tidak pernah sakit sebelumnya.

11
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengeluhkan hal serupa.

Riwayat Kelahiran
Pasien lahir pada usia kehamilan 39 minggu (cukup bulan) di klinik bidan.
Lahir dengan berat badan 3900 gram dan panjang badan 48 cm.

Riwayat Kehamilan
Saat hamil ibu pasien rutin anc di bidan dan tidak menderita sakit apapun
saat hamil.

Riwayat Imunisasi dan Nutrisi


Imunisasi dasar hingga bulan ke 3 lengkap, bulan ke 4 tidak imunisasi
karena anak demam. Pasien baru saja memulai mengkonsumsi makanan pengganti
ASI pada usia 6 bulan. Namun untuk pemberian ASI eksklusif pada pasien hanya
berlangsung 3 bulan pertama karena ASI kemudian tidak keluar sehingga
digantikan dengan susu formula.

3.3 Pemeriksaan Fisik


STATUS GENERALIS
Kondisi umum : Sakit berat
GCS : E4V4M6
Nadi : 122 kali/menit, regular
Respirasi : 22 kali/menit, regular
Suhu aksila : 37o C
SpO2 : 97% NC 2 lpm

Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-, reflek cahaya
+/+, Pupil bulat 2mm | 2mm isokor, edema palpebral -/-
THT :
Telinga : daun telinga N/N, tidak ditemukan sekret, pendengaran
normal
Hidung : bentuk normal, tidak ditemukan sekret

12
Lidah : ulkus (-), atrofi papil lidah (-)
Bibir : mukosa basah, sianosis (-), stomatitis (-)
Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-) pembesaran kelenjar
tiroid (-)
Thoraks : simetris (+)
Cor :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba, kuat angkat (+), thrill (-)
Auskultasi: S1 tunggal, S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : Bentuk dada normal, gerakan dinding dada simetris.
Palpasi : Fremitus fokal simetris pada kedua lapang paru
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor sonor

Auskultasi : Vesikuler + + Ronchi - - Wheezing - -


+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen :
Inspeksi : Slight distended
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : timpani
Palpasi : teraba massa di region epigastric-iliac (S), dance sign(+)

Ekstremitas : akral hangat + + Edema - -


+ + - -

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (23/10/2022, RS HVA)
Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan
Rujukan

13
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin 11.2 14.0 – 17.5 g/dL
Hematokrit 32.3 40 – 52 %
Leukosit 33.7 4.4 – 11.3 x 10^3 /uL
Trombosit 556 150 – 450 x 10^3 /uL
Eritrosit 4.59 4.4 – 5.9 x 10^3 /uL
Hitung Jenis Darah
MCV 74.7 80 – 96 fL
MCH 24.4 28 – 33 pg
MCHC 32.7 33 – 36 g/dL
RDW 12.7 11.5 – 14.5 %
PCT 0.41 0.1 – 0.5 %
MPV 7.2 8 – 12 fL
PDW 18.8 10 – 18 %
Limfosit% 19.8 25 – 40 %
Monosit% 4 2–8 %
Eosinofil% 0.2 0–4 %
Basofil% 0.9 0–2 %
Neutrophil% 75.1 50 – 70 %
Limfosit 6.7 0.4 – 4.4
Monosit 1.4 0.0 – 0.8
Eosinofil 0.1 0.0 – 0.6
Basofil 0.3 0.0 – 0.2
Neutrophil 25.3 1.7 – 7.7
KIMIA KLINIK
Faal Hati
SGOT 40.2 < 31 u/L
SGPT 24.6 < 34 u/L
Faal Ginjal
Blood Urea 7.8 < 24 mg/dL
Nitrogen
Serum Kreatinin 0.6 < 1.2 mg/dL
Asam Urat 4.29 < 5.7 mg/dL
Gula Darah
Glukosa Darah IGD = 157 70 – 115 mg/dL
Sewaktu
Elektrolit
Natrium 137 136 – 145 mmol/L
Kalium 4.08 3.5 – 5.1 mmol/L
Clorida 106.6 98 – 106 mmol/L
Calsium Ion 1.44 1.17 – 1.29 mmol/L
Penanda Jantung
PPT 17.5 control 14.4 2-5 detik dr Detik
control
APPT 36 control 30.8 7-11 detik dr Detik
control

14
Laboratorium (25/10/2022, RS HVA)

Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan


Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin 12.1 14.0 – 17.5 g/dL
Hematokrit 36.1 40 – 52 %
Leukosit 19 4.4 – 11.3 x 10^3 /uL
Trombosit 281 150 – 450 x 10^3 /uL
Eritrosit 4.47 4.4 – 5.9 x 10^3 /uL
Hitung Jenis Darah
MCV 80.8 80 – 96 fL
MCH 27.1 28 – 33 pg
MCHC 33.5 33 – 36 g/dL
RDW 15.1 11.5 – 14.5 %
PCT 0.22 0.1 – 0.5 %
MPV 7.9 8 – 12 fL
PDW 18.3 10 – 18 %
Limfosit% 10.4 25 – 40 %
Monosit% 12 2–8 %
Eosinofil% 0.1 0–4 %
Basofil% 0.5 0–2 %
Neutrophil% 77 50 – 70 %
Limfosit 2 0.4 – 4.4
Monosit 2.3 0.0 – 0.8
Eosinofil 0 0.0 – 0.6
Basofil 0.1 0.0 – 0.2
Neutrophil 14.6 1.7 – 7.7

15
Foto X-Ray Thorax AP (23/10/2022, RS HVA)

- Cor : besar dan bentuk tampak normal


- Pulmo : tak tampak infiltrate
- Sinus frenicocostalis kanan kiri tajam
- Trakea ditengah
- Tulang dan soft tissue tampak baik
- Kesimpulan: Cor dan pulmo tak tampak kelainan

16
3.5 Assessment
• Bloody Diarrhea ec Invaginasi

3.6 Planning
• O2 Nasal Canule 2 lpm
• IVFD RL bolus 75cc selanjutnya 40cc/jam selama 12 jam awal
• IV Ceftriaxone 2x 200mg
• IV Metronidazole 2x 75mg
• IV Asam tranexamat 3x 75mg
• PO lacto b 1x1
• Explorasi laparatomi

3.7 Laporan Operasi


1. Persiapan operasi : Informed consent
2. Posisi pasien : Terlentang
3. Desinfektan : Betadine
4. Insisi kulit dan pembukaan : Insisi transversal just above umbilical
lapangan operasi
5. Pendapatan lapangan operasi : -Hernia umbilical reponibel—Herniotomy
dan apa yang di kerjakan -Invaginasi ileo-colo-colical—Reposisi
tidak berhasil—reseksi ileum sampai
dengan colon desendens
6. Hasil Operasi : Ileo-colon sigmoid end to end anastomosis
7. Lain-lain yang perlu : Post operasi: - D5 ¼ NS 700cc/24jam
- terapi lain sesuai dr SpA
- NGT terbuka
- Puasa 3 hari
- Catat balance cairan

17
3.8 Follow Up
23/10/2022 24/10/2022 25/10/2022 26/10/2022
Subjective
Bab darah (+) 2x/hari (+) 3x/hari - -
Demam - + + -
Muntah (+) 1x/hari (+) 1x/hari - -
BAB/BAK +/+ +/+ -/+ +/+
Objective
Kesadaran Menangis Menangis Menangis Menangis
kuat kuat kuat kuat
Nadi (x/mnt) 120 122 132 111
RR (x/mnt) 26 30 32 28
T (°C) 36 37 37,9 36,7
SpO2 (%) 98% 97% NC 2 97% NC 2lpm 99% (-)
lpm
Abdomen Slight Slight BU (-) BU (+)
distended distended
BU (+) BU (+)
Massa
epigastric-
iliac(s)
Dance sign
(+)
NGT - - 50cc/24jam 50cc/24jam
Urine Output - - 250cc/24jam 250cc/24jam
Penunjang Leu 33700/Ul
Hb 11,2 g/dL
Hb post 2x
- transfusi =
CXR-BOF:
12,1 g/dL
Curiga ileus
obstruksi
Assessment

18
Bloody Bloody Post Post
Diarrhea Diarrhea ec Laparatomi Laparatomi
Invaginasi eksplorasi ec eksplorasi ec
Invaginasi Invaginasi
POD 1 POD 2
Planning
IVFD RL Laparotomi IVFD Kaen IVFD Kaen
bolus 75cc eksplorasi 3B 30cc/jam 3B 22cc/jam
selanjytnya cabang cabang
40c/jam IVFD D5 ¼ dengan dengan
selama 12 jam NS 30cc/jam Aminofusin Aminofusin
kedepan IV Terfacef pediatrik pediatric
IV Terfacef 2x 200mg IV Terfacef 8,3cc/jam
2x200mg IV Dazolin 2x 200mg SP Ivelip
IV Dazolin 2x 2X 75mg IV Dazolin 0,8cc/hr
75mg IV Kalnex 3x 2X 75mg IV Terfacef
IV Kalnex 3x 75mg IV Santagesik 2x 200mg
75mg IV Santagesik 3x 100mg IV Dazolin
3x 100mg IV Sanmol 3x 2X 75mg
Cek DL, PO Lacto B 75mg IV Santagesik
GDA, RFT, 1x1 3x 100mg
LFT, FH, Post operasi IV Sanmol 3x
HDT, FL, DL mrs PICU Transfusi WB 75mg
CITO NGT Terbuka 70cc Pindah
Puasa 3 hari ruangan biasa
O2 nasal Catat balans
PO LactoB cairan
1x1 Transfusi WB
70cc/hari

27/10/2022 28/10/2022 29/10/2022 30/10/2022


Subjective

19
Bab darah - - - -
Demam - - + -
Muntah - - - -
BAB/BAK +/+ +/+ +/+ +/+
Bab 2x warna Bab 2x warna Bab 1x warna Bab 1x warna
kuning hijau kekuningan kuning
kehijauan kecokelatan
Objective
Kesadaran Menangis Menangis Menangis Menangis
kuat kuat kuat kuat
Nadi (x/mnt) 100 120 120 111
RR (x/mnt) 28 24 25 28
T (°C) 36,9 36,7 38 36,7
SpO2 (%) 99% 99% 99% 99% (-)
Abdomen BU (+) BU(+) BU (+) BU (+)
NGT 50cc/24jam 20cc/24jam - -
hijau pekat hijau
Urine Output 500cc/24jam 100cc/24jam - -
Penunjang - - - -
Assessment
Post Post Post Post
Laparatomi Laparatomi Laparatomi Laparatomi
eksplorasi ec eksplorasi ec eksplorasi ec eksplorasi ec
Invaginasi Invaginasi Invaginasi Invaginasi
POD 3 POD 4 POD 5 POD 6
Planning
IVFD Kaen IVFD Kaen IVFD Kaen Aff infus
3B 22cc/jam 3B 22cc/jam 3B 22cc/jam Pasien KRS
cabang cabang cabang PO Cefixime
dengan dengan dengan sirup 2x
Aminofusin Aminofusin Aminofusin 1/2cth

20
pediatric pediatric pediatric PO
8,3cc/jam 8,3cc/jam 8,3cc/jam Paracetamol
SP Ivelip SP Ivelip SP Ivelip 3x 100mg
0,8cc/hr 0,8cc/hr 0,8cc/hr pulv
IV Terfacef IV Terfacef IV Terfacef PO Lacob
2x 200mg 2x 200mg 2x 200mg sach 1x1
IV Dazolin IV Dazolin IV Dazolin
2X 75mg 2X 75mg 2X 75mg
IV Santagesik IV Santagesik IV Santagesik
3x 100mg 3x 100mg 3x 100mg
IV Sanmol 3x IV Sanmol 3x IV Sanmol 3x
75mg 75mg 75mg

Aff NGT, DC Diet susu dulu


MSS
Bila tidak ada
keluhan besok
recana KRS

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan sebuah kasus bayi laki-laki usia 6 bulan (termasuk infant)


dengan keluhan BAB darah bercampur lendir dan muntah yang kemudian
didiagnosis dengan invaginasi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang berupa laboratorium (leukositosis) dan radiologi yang
menunjukkan adanya tanda obstruksi usus.
Pasien datang diantar orang tuanya dengan keluhan bab darah bercampur
lendir yang disertai dengan muntah 1 kali. Gambaran klinis pasien dengan
invaginasi terutamanya datang dengan trias klinis khas yaitu muntah, nyeri perut
dan tinja berdarah yang disertai lendir (red current jelly stool). Nyeri perut secara
spesifik akan sulit diobservasi pada bayi karena belum bisa mengkomunikasikan
dimana sakitnya. Namun hal ini dapat diobservasi dari tingkah laku anak yaitu
rewel terus menerus, walau sudah diberi asi dan diganti popok namun anak masih
saja rewel. Pada pasien invaginasi, muntah merupakan salah satu tanda adanya
obstruksi dalam usus yang menyebabkan peningkatan tekanan sehingga isi
lambung terdorong keluar. Sedangkan tinja darah yang bercampur lendir muncul
akibat yang dibentuk oleh diapedesis sel darah merah melalui mukosa usus yang
tersumbat 1,6
Mayoritas penyebab invaginasi pada anak bersifat idiopatik. Perbedaan
asupan makanan pada bayi, ASI, antibodi maternal, prevalensi enteropatogen
seperti adenovirus dan rotavirus, berkontribusi pada risiko terjadinya invaginasi.
Pada kasus ini, pasien baru saja memulai mengkonsumsi makanan pengganti ASI
pada usia 6 bulan sesuai anjuran. Namun untuk pemberian ASI eksklusif pada
pasien hanya berlangsung 3 bulan pertama karena ASI kemudian tidak keluar
sehingga digantikan dengan susu formula. Menurut penelitian, mayoritas bayi
yang mengalami invaginasi idiopatik sudah tidak lagi mengkonsumsi ASI
sehingga terjadi hilangnya imunitas maternal yang didapat secara pasif.
Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan memiliki efek perlindungan pada tubuh
bayi. Diasumsikan bahwa pengenalan protein makanan baru dan berkurangnya
imunitas maternal yang didapat dari ibu menghasilkan patch Payer yang

22
membengkak di ileum terminal. Pembengkakan patch Payer atau hiperplasia
limfoid ini adalah awal mula terjadinya invaginasi pada usia dini.12
Riwayat imunisasi pada pasien dikatakan lengkap sampai bulan ke 3 oleh
ibu pasien namun ibu tidak tahu imunisasi apa saja yang didapat. Bulan ke 4 tidak
vaksin karena saat itu anak sedang demam. Riwayat imunisasi juga berhubungan
karena beberapa jurnal melaporkan adanya hubungan vaksinasi rotavirus dengan
kejadian invaginasi. Sebelum keluhan bab darah, pasien dikatakan oleh ibu
mengalami diare selama 2 hari. Karena adanya riwayat infeksi sebelumnya
meningkatkan kemungkinan terjadinya invaginasi. Hal ini disebabkan karena
adanya hubungan kejadian infeksi utamanya karena virus sehingga jaringan
limfoid submukosa yang membesar di ileum distal (plak Peyer), yang telah
mengalami hiperplasia reaktif yang menjadi titik awal (lead point) mulanya
invaginasi. Dengan adanya diare atau gastroenteritis ini maka peristaltic usus
meningkat, lead point bergerak melalui katup ileo-caecal ke dalam kolon dan
bahkan dapat mencapai anus.6, 18, 19
Dari pemeriksaan fisik ditemukan distensi minimal pada abdomen, teraba
massa pada regio epigastrik-iliac kiri dan ditemukan dance sign. Massa (kadang-
kadang digambarkan berbentuk sosis) teraba, pada lebih dari separuh bayi, dan
biasanya ditemukan di hipokondrium kanan, meskipun mungkin di mana saja
antara garis usus besar dan umbilicus tergantung usus mana yang terlibat. Massa
invaginasi paling mungkin dirasakan lebih awal, sebelum disembunyikan oleh
distensi abdomen dan peningkatan nyeri tekan abdomen. Dance sign dapat
ditemukan karena terjadi kekosongan pada kuadran kanan bawah abdomen yang
diakibatkan perpindahan sekum dan appedik dari tempatnya diakibatkan
invaginasi ileokolika.6, 20
Pemeriksaan penunjang yang digunakan pada pasien yaitu mencakup foto
polos dada yang tampak menunjukkan adanya obstruksi pada usus yang
sebenarnya kurang spesifik untuk menegakkan invaginasi. Sensitivitas foto polos
hanya 45% untuk mendeteksi invaginasi. Namun pada pemeriksaan laboratorium
yang didapatkan adanya leukositosis yang menguatkan keadaan septikemia pada
pasien. Hal ini menjadi penguat penegakkan diagnosis invaginasi berdasarkan
klinis dan penunjang untuk segera dilakukan intervensi bedah.6, 21

23
Pada pasien dilakukan pemasangan nasogastric tube (NGT) yang
berfungsi untuk dekompresi lambung dan mencegah terjadinya regurgitasi dan
aspirasi pulmonal. Tampak pada NGT cairan berwarna kuning kehijauan.
Produksi cairan pada NGT terjadi karena pada pasien terjadi obstruksi usus
sehingga sekresi gastrointestinal mengalami akumulasi. Selain itu, dilatasi usus
yang terjadi akibat obstruksi akan meningkatkan aktivitas sekresi sel-sel sekretori
saluran cerna yang kemudian meningkatkan akumulasi cairan. Pemasangan NGT
dipertahankan sampai terdengar aktivitas peristaltik atau sampai feses keluar.22,23
Terapi yang dipilih untuk mengatasi invaginasi pada pasien ini adalah
terapi bedah karena dari hasil anamnesis hingga pemeriksaan penunjang
kemungkinan telah mengalami keadaan septikemia yang ditandai dengan gejala
demam dan leukositosis. Intervensi operatif diindikasikan ketika reduksi dengan
enema gagal untuk mengurangi invaginasi, ada peritonitis secara klinis atau di
mana ada bukti kuat dari lesi patologis pada lead point, misalnya, pigmentasi
sirkumoral dari sindrom Peutz-Jegher. Pada pasien juga dilakukan reseksi usus
dari ileum hingga colon descendens kemungkinan disebabkan karena matinya
jaringan usus tersebut akibat invaginasi lama yang menghasilkan nekrosis usus.6
Dari penelitian sebelumnya, invaginasi merupakan indikasi paling umum untuk
reseksi usus pada anak-anak kurang dari 15 tahun. Indikasi utama untuk reseksi
usus adalah nekrosis pada intususeptum yang terjadi pada hampir 70% kasus. Ini
biasanya merupakan komplikasi akhir akibat penekanan mesenterium bagian usus
yang terkena, sehingga mengganggu suplai darah. Dalam penelitian ini, usia
merupakan prediktor independen reseksi usus pada invaginasi pediatrik. Anak-
anak berusia kurang dari 12 bulan tiga kali lebih mungkin mengalami reseksi usus
daripada mereka yang berusia lebih dari 12 bulan. Kami berhipotesis bahwa ini
mungkin disebabkan oleh fakta bahwa bayi lebih rentan mengalami syok, yang
selanjutnya dapat membahayakan suplai darah yang sudah genting ke
intususeptum. Reseksi usus pada invaginasi dikaitkan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas pada pasien yang terkena dibandingkan dengan mereka
yang memiliki reduksi manual sederhana. Dari penelitian sebelumnya, lama rawat
inap juga lebih panjang pada mereka yang menjalani reseksi dibandingkan mereka
yang tidak. Tingkat komplikasi 30 hari pasca operasi juga secara signifikan lebih

24
tinggi pada anak-anak yang membutuhkan reseksi usus. Infeksi luka dan
kebocoran anastomosis merupakan komplikasi penting di antara pasien ini.24
Namun perlu diingat bahwa reseksi usus ini menekan angka rekurensi dari
invaginasi. Tingkat kekambuhan setelah reduksi enema adalah sekitar 10%,
setelah reduksi bedah adalah 2-5% dan tidak ada yang kambuh setelah reseksi
bedah.15
Setelah dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 3 hari dan diberikan
nutrisi parenteral. Pembedahan gastrointestinal membuat pemberian makanan
secara oral tidak mungkin untuk sementara waktu: fungsi enzim usus mungkin
buruk, dan berbagai substrat dalam makanan mungkin tidak diserap. Nutrisi
intravena (parenteral) akan diperlukan ketika kelaparan melampaui 4-5 hari atau
dengan indikasi. Indikasi umum untuk nutrisi parenteral pada neonatus termasuk
enterokolitis nekrotikans, reseksi usus luas dan gastroskisis. Tujuan nutrisi
parenteral adalah untuk menyediakan semua zat yang diperlukan untuk
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan normal.6

25
BAB V

SIMPULAN

Telah dilaporkan kasus An. MHA usia 6 bulan dengan Invaginasi.


Invaginasi adalah keadaan dimana salah satu segmen usus (intussusceptum)
berjalan ke depan di dalam usus distal yang berdekatan (intussuscipiens).
Invaginasi ini merupakan salah satu kegawat daruratan bedah yang umum terjadi
pada 2 tahun pertama kehidupan. Gejala khasnya yaitu nyeri perut, muntah dan
tinja berlendir darah (red currant jelly stool). Penegakkan diagnosa pasien ini
berdasarkan anamnesis mneunjukkan gejala klinis invaginasi, pemeriksaan fisik
terabanya massa serta adanya dance sign, dan ditunjang oleh hasil laboratorium
leukositosis dan curiga obstruksi usus di foto polos. Selama 7 hari perawatan dan
pemberian terapi, pasien mengalami perbaikan kondisi sehingga diperbolehkan
pulang di tanggal 26 Oktober 2022. Pembahasan yang disajikan menunjukkan
bawah terdapat kesesuaian antara pilihan terapi dengan teori yang ada.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaya AMES. Diagnosis dan Tatalaksana Intususepsi. CDK-274. 2019; 46(3): 189—
192.
2. Caruso AM, Pane A, Scanu A, Muscas A, Garau R, Caddeo F et al. Intussusception
in Children: Not Only Surgical Treatment. Journal of Pediatric and Neonatal
Individualized Medicine. 2017; 6(1): 1—6.
3. Burnett E, Parashar UD, Tate JE. Associations of Intussusception with Adenovirus,
Rotavirus, and Other Pathogens: A Review of The Literature. Pediatr Infect Dis J.
2020; 39(12): 1127—1130.
4. Giovanni JE, Hrapcak S, Melgar M, Godfred-Cato S. Global Reports of
Intussusception in Infants With SARS-CoV-2 Infection. The Pediatric Infectious
Disease Journal. 2021; 40(1): 35.
5. Sander MA. Invaginasi Ileo-Kolo-Kolika Bagaimana Mengenali Gejala Klinis Sejak
Awal Dan Penatalaksanaannya. Jurnal Keperawatan. 2014; 5(1): 16—22.
6. Hutson JM, Obrien M, Beasley SW, Teague WJ, King SK. Jones’ Clinical Paediatric
Surgery. Seventh Edition. Oxford: John Wiley&Sons; 2015.
7. Jiang J, Jiang B, Parashar B, Nguyen T, Bines J, Patel MM. Childhood
Intussusception: A Literature Review. PLoS ONE. 2013; 8(7): 1—14.
8. Clark A, Hasso-Agopsowicz M, Kraus MW, Stockdale LK, Sanderson CFB, Parashar
UD et al. Update On The Global Epidemiology Of Intussusception: A Systematic
Review Of Incidence Rates, Age Distributions And Case-Fatality Ratios Among
Children Aged <5 Years, Before The Introduction Of Rotavirus Vaccination.
International Journal of Epidemiology. 2019; 48(4): 1316—1326.
9. Hsiao CC, Tsao LY, Lai C. Nationwide Population-Based Epidemiologic Study of
Childhood and Adulthood Intussusception in Taiwan. Pediatrics and Neonatology.
2013; 54: 188—193.
10. Giak CL, Singh HSSA, Nallusamy R, Leong TY, Ng TL, Bock HL. Epidemiology Of
Intussusception In Malaysia: A Three-Year Review. Southeast Asian J Trop Med
Public Health. 2008; 39(5): 1—8.
11. Kusmaheidi A, Diposarosa R, Nugraha HG. Pattern of Intussusceptions on Infants
and Children in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from 2009 to 2011.
Althea Medical Journal. 2015; 2(3): 458—462.
12. John M, Siji CR. A Clinical Study Of Children With Intussusception. John M et al.
Int J Contemp Pediatr. 2016; 3(3): 1083—1088.

27
13. Lu T, Chng Y. Adult Intussusception. Perm J. 2015; 19(1): 79—81.
14. Ye X, Tang R, Chen S, Lin Z, Zhu J. Risk Factors for Recurrent Intussusception in
Children: A Systematic Review and Meta-analysis. Front Pediatr. 2018; 7: 1—14.
15. Kliegman RM et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th Edition. Philadelpia:
Elsevier; 2011.
16. Townsend CM et al. Sabiston Textbook of Surgery. 19th Edition. Philadelpia:
Elsevier; 2012.
17. Koch J, Harder T, Von-Kries R, Wichmann O. Risk of Intussusception After
Rotavirus Vaccination. Dtsch Arztebl Int. 2017; 114: 255—262.
18. Ukarapol N, Khamrin P, Khorana J, Singhavejsakul J, Damrongmanee A, Maneekarn
N. Adenovirus Infection: A Potential Risk for Developing Intussusception in
Pediatric Patients. Journal of Medical Virology. 2016; 88: 1930—1935.
19. Burnett E et al. Infectious Etiologies of Intussusception Among Children <2 Years
Old in 4 Asian Countries. The Journal of Infectious Diseases. 2020; 221: 1499—
1505.
20. Binkovitz LA et al. Pediatric Ileocolic Intussusception: New Observations And
Unexpected Implications. Pediatric Radiology. 2019; 49: 76—81.
21. Normahayu I, Pramusinta W, Widanto, Andarini S, Yueniwati Y. The Presence Of
Trapped Fluid On Ultrasound As High Predictive Value For Intestinal Necrosis In
Pediatric Intussusception. GSC Advanced Research and Reviews. 2021; 08(1): 53—
59.
22. Fromer I, Belani KG. Anesthesia for Intestinal Obstruction. Anesthesiology. 2018;
43: 413—420.
23. Zollinger RM, Ellison EC. Zollinger’s Atlas of Surgical Operation. New York: The
McGraw-Hill; 2011.
24. Ajao AE, Lawal TA, Ogundoyin OO, Olulana DI. Clinical Predictors And Outcome
Of Bowel Resection In Paediatric Intussusception. Afri Health Sci. 2020; 20(3):
1463—1470.

28

Anda mungkin juga menyukai