Anda di halaman 1dari 17

Referat

INVAGINASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh :

Raiyan Ananda Lubis


2207501010205

Pembimbing :
Dr. dr. Dora Darussalam, Sp.A(K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH
KUALA RUMAH SAKIT DR ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“INVAGINASI”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah
SAW yang telah membawa umat manusia ke masa yang menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan.
Penyusunan referat ini adalah sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Dr.
dr. Dora Darussalam, Sp.A(K)yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis dalam penulisan referat ini.
Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi
para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada
umumnya dan ilmu kesehatan anak khususnya. Penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak untuk referat ini.

Banda Aceh, 11 Agustus 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I...................................................................................................................... 1
BAB II..................................................................................................................... 1
2.1.Definisi........................................................................................................... 1
2.2.Epidemiologi..................................................................................................1
2.3.Etiologi...........................................................................................................2
2.4.Patofisiologi....................................................................................................3
2.5.Manifestasi klinis............................................................................................3
2.6 Diagnosis........................................................................................................5
2.6 Diagnosis Banding..........................................................................................6
2.7 Tatalaksana....................................................................................................7
2.8 Prognosis......................................................................................................10
2.9 Komplikasi...................................................................................................10
BAB III................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Invaginasi adalah salah satu penyakit sistem pencernaan yang paling


umum dan darurat untuk anak-anak di bawah usia tiga tahun. Insidennya
bervariasi dari 0,24 hingga 2,4 per 1000 kelahiran hidup. Kejadian anak laki-laki
dua sampai delapan kali lebih banyak daripada anak perempuan, dan kejadian
puncak terjadi antara usia lima dan sembilan bulan.
Tingkat insidensi invaginasi meningkat secara signifikan selama maraknya
kejadian gastroenteritis di beberapa populasi. Karena peningkatan invaginasi yang
signifikan secara statis mengikuti beberapa bentuk vaksin rotavirus, (RRV-TV:
Rotashield). Riwayat infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, dan gejala
mirip flu muncul pada sepertiga pasien sebelum timbulnya invaginasi. Infeksi
adenoviral telah dikaitkan dengan peningkatan risiko invaginasi.
Penyebab invaginasi sering idiopatik. Dari kondisi seperti hipertrofi
limfoid tampaknya menjadi penyebab paling umum, melibatkan virus atau asal
bakteri untuk sebagian besar kasus. Penyebab potensial patologis lainnya titik
utama termasuk divertikulum Meckel, kista duplikasi, polip, dan limfoma.
Vaksinasi terhadap rotavirus telah terbukti meningkatkan risiko dari
invaginasi. Saat ini, vaksin rotavirus monovalent menyumbang peningkatan 5,3
kasus invaginasi per 100.000 bayi yang menerima dua dosis vaksin. Namun,
setiap tahun, infeksi rotavirus menyebabkan gastroenteritis, mengakibatkan
592.000 kematian di antara anak-anak di bawah lima tahun tahun, dengan 82%
kematian dilaporkan di negara berkembang. Oleh karena itu, vaksinasi rotavirus
dipertimbangkan bermanfaat. Hubungan yang jauh lebih kuat antara invaginasi
dan an vaksin rotavirus yang lebih tua menyebabkan penarikannya di seluruh
dunia pada tahun 1999.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Invaginasi didefinisikan sebagai masuknya salah satu segmen usus ke segmen
yang berdekatan. Itu intussusceptum mengacu pada segmen proksimal yang
berinvaginasi ke segmen distal, atau intussuscipiens (penerima segmen).
Invaginasi, lebih sering terjadi pada usus kecil dan jarang hanya melibatkan usus
besar saja, secara historis disajikan sebagai obstruksi usus kecil. riwayat alami
invaginasi dimulai dengan titik awal, biasanya neoplastik (seperti limfadenopati,
polip, atau kanker), yang bertindak sebagai area fokus traksi yang menarik usus
proksimal di dalam usus distal yang bergerak peristaltik. Gejala terjadi akibat
kontraksi peristaltik yang berlanjut segmen invaginasi terhadap obstruksi. Dengan
invaginasi terus mengakibatkan edema, akhirnya aliran vaskular ke usus menjadi
terganggu, yang berakibat iskemia ke segmen yang terkena,sehingga jika tidak
ditatlaksana segera, bisa mengakibatkan nekrosis dan perforasi.
Pada populasi pediatrik, invaginasi ileokolik adalah jenis yang paling
umum. Etiologi invaginasi pada anak biasanya idiopatik, sering dipengaruhi oleh
anatomi atau faktor infeksius. Diagnosis dan penatalaksanaan pada populasi ini
umumnya dimulai dengan reduksi intususeptum nonoperatif menggunakan enema
udara atau kontras.
2.2. Epidemiologi
Invaginasi biasanya didiagnosis pada masa bayi dan anak usia dini.
Invaginasi menyerang sekitar 2000 anak di Amerika Serikat pada tahun pertama
kehidupan. Invaginasi biasanya terlihat pada usia lima bulan, memuncak pada usia
empat hingga sembilan bulan, dan kemudian secara bertahap menurun pada usia
sekitar 18 bulan. Invaginasi lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan, dengan perbandingan sekitar 3:1.
Insiden invaginasi adalah 1-4 bayi per 1000 kelahiran hidup. Dari
penelitian Bisset didapatkan hampir 70 % kasus invaginasi terjadi pada anak usia
kurang dari 1 tahun, sedangkan Orloff mendapatkan 69% dari 1814 kasus pada

1
bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun. Chairil Ismail pada tahun 1988
mendapatkan insiden tertinggi dicapai pada anak usia antara 4 - 9 bulan. Insiden
penyakit ini lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Angka
kejadian pada anak laki-laki 4 kali lebih besar bila dibandingkan anak perempuan.
Seiring dengan pertambahan usia, perbedaan jenis kelamin menjadi bermakna.
Pada anak usia lebih dari 4 tahun, insiden laki-laki dengan perempuan adalah 8:1.

2.3. Etiologi
Penyebab invaginasi sering idiopatik, meskipun setiap kondisi yang
menghasilkan lead point patologis (lesi di usus) dapat menyebabkan invaginasi.
Invaginasi terjadi karena adanya sesuatu di usus yang menyebabkan terjadinya
gerakan peristaltik yang berlebihan, biasanya terjadi pada anak, tetapi dapat juga
terjadi pada dewasa. Sekitar 95% penyebab invaginasi pada anak tidak diketahui,
hanya 5% yang mempunyai kelainan pada ususnya sebagai penyebabnya,
misalnya diverticulum Meckel, polip usus, hemangioma, lymphoma, duplikasi
usus, Henoch-Schoenlein purpura.
Tingkat insidensi invaginasi meningkat secara signifikan selama
maraknya kejadian gastroenteritis di beberapa populasi. Karena peningkatan
invaginasi yang signifikan secara statis mengikuti beberapa bentuk vaksin
rotavirus, (RRV-TV: Rotashield). Riwayat infeksi saluran pernapasan atas, otitis
media, dan gejala mirip flu muncul pada sepertiga pasien sebelum timbulnya
invaginasi. Infeksi adenoviral telah dikaitkan dengan peningkatan risiko
invaginasi.
Vaksinasi terhadap rotavirus telah terbukti meningkatkan risiko dari
invaginasi. Saat ini, vaksin rotavirus monovalent menyumbang peningkatan 5,3
kasus invaginasi per 100.000 bayi yang menerima dua dosis vaksin. Namun,
setiap tahun, infeksi rotavirus menyebabkan gastroenteritis, mengakibatkan
592.000 kematian di antara anak-anak di bawah lima tahun tahun, dengan 82%
kematian dilaporkan di negara berkembang. Oleh karena itu, vaksinasi rotavirus
dipertimbangkan bermanfaat. Hubungan yang jauh lebih kuat antara invaginasi
dan an vaksin rotavirus yang lebih tua menyebabkan penarikannya di seluruh
dunia pada tahun 1999.
Struktur gastrointestinal bagian atas, khususnya esofagus, lambung, dan

2
duodenum, jarang terlibat invaginasi karena kurangnya mobilitas, redundansi,
dan fiksasi anatomi yang khas. Apalagi yang paling umum lokasi berada di
persimpangan antara segmen yang bergerak bebas dan area yang tetap, seperti ke
retroperitoneum (yaitu, intussuscepting ileum sepenuhnya peritonealized dan
mobile ke dalam sekum tetap, retroperitoneal) atau melalui adhesi.

2.4. Patofisiologi
Invaginasi adalah suatu kondisi yang melibatkan bagian usus yang terlipat
ke dalam bagian yang berdekatan dengannya. Bagian dari usus proksimal
meluncur ke bagian distal yang berdekatan dan dapat menyebabkan obstruksi usus
serta iskemia usus. Pasokan darah ke usus yang terkena kompresi akan terganggu.
Perforasi dan sepsis terjadi dari segmen usus yang menjadi nekrotik sekunder
akibat iskemia; pasien akan menjadi demam karena proses ini. Demam biasanya
bukan merupakan gejala invaginasi sampai yang terakhir berupa nekrosis dan
perforasi usus. Proses selanjutnya adalah proses obstruksi usus strangulasi berupa
rasa sakit dan perdarahan peranal. Sakit mula-mula hilang timbul kemudian
menetap dan sering disertai rangsangan muntah. Darah yang keluar peranal
merupakan darah segar yang bercampur lendir. Proses obstruksi usus sebenarnya
sudah terjadi sejak invaginasi, tetapi penampilan klinik obstruksi memerlukan
waktu, umumnya setelah 10-12 jam sampai menjelang 24 jam.
Intususepsi biasanya melibatkan usus kecil dan jarang usus besar.
Gejalanya meliputi nyeri perut kram, yang bisa intermiten atau terus-menerus,
muntah (bisa empedu), kembung, dan bahkan tinja berdarah. Ini dapat
menyebabkan obstruksi usus kecil atau besar. Pasien dapat mengembangkan tanda
dan gejala sugestif dekompensasi seperti hipotermia atau hipertermia, hipotensi,
dan takikardia sekunder akibat komplikasi seperti nekrosis usus atau sepsis.
Komplikasi lain mungkin termasuk peritonitis atau perforasi usus.
2.5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik mulai tampak dalam waktu 3-24 jam setelah terjadinya
invaginasi. Gejala yang terjadi merupakan tanda-tanda obstruksi usus. Pada
beberapa kepustakaan disebutkan bahwa trias klasik dari invaginasi yaitu
muntah, teraba massa di abdomen, dan perdarahan rektum atau tinja yang
berdarah. Pada tahap awal muncul gejala strangulasi berupa nyeri perut hebat

3
yang tiba-tiba. Nyeri perut bersifat serangan setiap 15-30 menit, lamanya 1-2
menit. Bayi menangis dengan sangat kesakitan dan keras saat muncul
serangan, dan kembali normal di antara dua serangan. Dengan adanya
serangan rasa sakit/kolik yang makin bertambah dan mencapai puncaknya,
dan kemudian menghilang sama sekali, diagnosis pasti hampir dapat
ditegakkan. Rasa sakit berhubungan dengan pasase dari intususepsi. Di antara
satu serangan dengan serangan berikutnya, bayi dapat sama sekali bebas dari
gejala. Bayi tersebut akan menarik lututnya ke dada. Selanjutnya anak akan
bertambah pucat, lemas, dehidrasi, demam, dan perut kembung. Biasanya
nyeri perut disusul oleh muntah, yang berisi makanan atau minuman yang
masuk sebelumnya.
Muntah dapat terjadi dalam 3 jam pertama perlangsungan penyakit.
Beratnya gejala muntah tergantung pada letak usus yang terkena. Semakin
tinggi letak obstruksi, semakin berat gejala muntah. Setelah serangan kolik
yang pertama, tinja masih normal karena belum terjadi gangguan pasase isi
usus secara total. Kemudian disusul keluarnya darah bercampur lendir (red
currant jelly) melalui rektum. Darah lendir berwarna segar pada awal
penyakit, kemudian berangsur-angsur bercampur jaringan nekrosis, disebut
terry stool oleh karena kerusakan jaringan dan pembuluh darah.
Pada palpasi abdomen dapat teraba massa (sausage shape). Suatu massa
dengan lekukan dan posisinya mengikuti garis usus kolon ascenden sampai
sigmoid dan rektum. Massa sukar diraba bila berada di belakang hati atau pada
dinding yang tegang. Perkusi pada tempat invaginasi terkesan suatu rongga
kosong. Bising usus terkesan meningkat saat serangan kolik, dan menjadi
normal kembali di luar serangan. Colok dubur memperlihatkan darah lendir
dan kadang-kadang teraba pseudoportio bila invaginasi mencapai
rectosigmoid. Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh perubahan
faal saluran pencernaan, ataupun oleh karena infeksi. Diare yang disebut
sebagai gejala paling awal invaginasi, didapatkan pada 85% kasus.
Pasien biasanya mendapatkan intervensi medis maupun tradisional pada
waktu tersebut. Intervensi medis berupa pemberian obat-obatan. Hal yang sulit
untuk diketahui adalah jenis obat yang diberikan, apakah suatu antidiare (suatu

4
spasmolitik), obat yang sering kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya
invaginasi. Sehingga keberadaan diare sebagai salah satu gejala invaginasi
atau pengobatan terhadap diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit
ditentukan

2.6 Diagnosis
Mendiagnosis invaginasi sama halnya dengan penyakit lainnya yaitu
melalui:
a. Anamnesis, pemeriksaan fisik
Anamnesis dengan keluarga dapat diketahui gejala-gejala yang timbul dari
riwayat pasien sebelum timbulnya gejala, misalnya sebelum sakit anak mendapat
makanan padat padahal usia anak dibawah 6 bulan. Juga ditemukan adanya trias
invaginasi yaitu muntah, teraba massa di abdomen, dan perdarahan rektum atau
tinja yang berdarah. Pemeriksaan fisik, pada palpasi diperoleh abdomen yang
distensi, massa seperti sosis
Penemuan klinis tergantung dari lamanya invaginasi terjadi. Umumnya
bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Mungkin beberapa hari sebelumnya
menderita radang saluran nafas atau diare. Bayi tiba-tiba menangis seperti
menahan sakit untuk beberapa menit kemudian diam, main-main atau tidur
kembali. Sering disertai muntah berupa minuman/makanan yang masuk. Gejala
klinis dari invaginasi adalah TRIAS gejala yang terdiri dari:
1) Nyeri perut yang bersifat kolik,
2) Muntah, dan
3) Berak lendir darah (red currant jelly = selai kismis merah).
Adapula yang menyebutkan bahwa TRIAS gejala tersebut adalah:
1) Nyeri perut yang bersifat kolik,
2) Teraba massa tumor diperut seperti sosis (sausage’s sign), dan
3) Berak lendir darah. Sekum yang teraba kosong disebut dengan “dance’s sign”.
Pada colok dubur (rectal toucher) dapat ditemukan sebagai berikut:
1) Tonus sfingter ani melemah,
2) Mungkin invaginat dapat diraba berupa massa seperti portio/pseudo portio
(portio like appearance)

5
3) Bila jari di tarik, maka akan keluar darah bercampur lendir (Currant jelly
stool’s).
b. Pemeriksaan penunjang (Foto polos abdomen, Ultrasonography, Barium
Enema) Foto dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien
ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai diagnostik maupun terapeutik.
Foto setelah pemberian enema barium memperlihatkan gangguan pengisisan atau
pembentukan cekungan pada ujung barium ketika bergerak maju dan dihalangi
oleh intususepsi tersebut. Foto polos abdomen 3 posisi akan ditemukan tanda-
tanda obstruksi dengan gambar “air-fluid levels” dan distribusi udara dalam usus
tidak merata. Pemeriksaan barium enema digunakan untuk tujuan diagnostik dan
terapi, dimana akan terlihat gambaran “cupping” dan “coilspring”. Untuk tujuan
terapi, barium enema dikerjakan dengan tekanan hidrostatik untuk mendorong
usus yang masuk ke arah proksimal, teknik ini dapat dikerjakan bila belum ada
tanda-tanda obstruksi usus yang jelas, seperti muntah-muntah hebat, perut
distensi, dan dehidrasi berat. Peritonitis merupakan kontra indikasi dilakukan
reposisi dengan barium enema. Reposisi berhasil bila setelah rectal tube ditarik
dari anus maka barium keluar dengan disertai massa feses dan udara
(menyemprot); pada fluoroskopi terlihat ada reflux barium kedalam lumen ileum
dan massa tumor hilang.
Invaginasi dapat didiagnosis dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG)
secara cepat, mudah dan bersifat tidak invasif. Pemeriksaan dengan USG
memiliki sensitifitas 98-100% dan spesifisitas 88-100%, dengan menggunakan
transduser beresolusi tinggi. USG membantu menegakkan diagnosis invaginasi
dengan gambaran target sign/doughnut sign pada potongan melintang invaginasi,
yang terdiri dari hypoechoic outer sign dan hyperechoic center. Hypoechoic
doughnut adalah bagian yang udem, apex dari intussuseptum, membentuk
gambaran bulan sabit pada doughnut sign, sedangkan hyperechoic center terdiri
dari mesenterium. Sedangkan gambaran pseudo kidney sign/ sandwich sign pada
potongan longitudinal invaginasi

6
2.6 Diagnosis Banding
Penyakit yang memberikan gejala klinis menyerupai Invaginasi antara
lain:
1. Trauma abdomen
2. Appendisitis akut
3. Volvulus
4. Divertikulum Meckel
5. Henoch-Schoenlein purpura

2.7 Tatalaksana
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan olehnya cepatnya
pertolongan yang diberikan. Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi
pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua tindakan:
1. Reduksi hidrostatik
Reduksi invaginasi dilakukan dengan barium enema menggunakan prinsip
tekanan hidrostatik. Dengan menggunakan barium enema yang
dimasukkan melalui rektal kemudian diikuti oleh X ray. Mula-mula
tampak bayangan cupping pada tempat invaginasi. Dengan tekanan
hidrostatik sebesar 1 meter air, barium didorong ke arah proksimal. Tidak
boleh dilakukan pengurutan atau penekanan di perut sewaktu diakukan
reposisi hidrostatik ini. Pengobatan dianggap berhasil bila barium sudah
mencapai ileum terminalis. Pada saat itu pasase usus kembali normal.
Seiring dengan pemeriksaan zat kontras kembali dapat terlihat coiled
spring appearance, yang disebabkan oleh sisa-sisa barium pada haustra
sepanjang bekas tempat invaginasi. Pertama kali keberhasilannya
dikemukakan oleh Ladd tahun 1913 dan diulang keberhasilannya oleh
Hirschprung tahun 1976. Bila reduksi dengan barium enema gagal,
dilakukan operasi segera Reduksi dengan barium enema ini hanya
dilakukan bila tidak ada distensi abdomen yang hebat, tanda peritonitis,
dan demam tinggi. Reduksi hidrostatik dengan barium enema
(Chandrawati, 2009) Tindakan reduksi hidrostatik sudah tidak dilakukan
lagi karena biasanya pasien masuk rumah sakit dengan keadaan invaginasi

7
yang sudah berlangsung lebih 48 jam. Di samping itu juga, sudah terjadi
tanda-tanda obstruksi, perforasi, dan peritonitis. Untuk itu, maka tindakan
yang harus dilakukan adalah langsung dilakukan reposisi secara operatif,
dengan reduksi manual (milking) dan reseksi usus.
2. Reduksi manual (milking)
reseksi usus Reposisi langsung dengan operasi tanpa dilakukan reposisi
barium enema terlebih dahulu jika telah terjadi perforasi, peritonitis, dan
tanda-tanda obstruksi. Keadaan ini biasanya dilakukan pada invaginasi
yang sudah berlangsung 48 jam. Demikian pula pada kasus-kasus yang
relaps. Kejadian invaginasi berulang setelah reposisi barium sekitar 11%
dan 3% pada operasi tanpa reseksi usus. Jika terjadi invaginasi ulang maka
langsung dilakukan reposisi secara operatif. Invaginasi bila mungkin
direduksi intraabdominal dengan melakukan milking mulai dari usus
bagian distal sampai ke usus bagian proksimal. Milking dilakukan secara
perlahan terutama pada bagian proksimal usus yang invaginasi.
Bila reposisi berhasil, dilakukan pemeriksaan viabilitas usus yang
mengalami invaginasi. Perubahan warna, dan edema usus yang mengalami
invaginasi pada mulanya dapat tidak tampak, sehingga usus dibasahi
dengan NaCl 0,9% sehingga gambaran usus lebih jelas. Bila usus tampak
nekrotik, dibiarkan sejenak dan dilakukan penilaian ulang untuk
menghindari dilakukannya reseksi usus yang mungkin tidak perlu
dilakukan. Hal ini dapat terjadi pada kurang dari 5% kasus. Pasien dengan
keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, jumlah lekosit,
mengalami gejala yang berkepanjangan atau ditemukannya gejala yang
sudah berlanjut yang ditandai dengan distensi abdomen, tinja berdarah,
gangguan sistemik usus yang berat sampai timbul syok atau peritonitis,
pasien segera dipersiapkan untuk suatu operasi laparotomi. Tindakan
selama operasi tergantung keadaan usus, reposisi manual dengan milking,
dan keterampilan dan pengalaman operator. Reseksi usus dilakukan
apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila
viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai
penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan anastomosis end to

8
end apabila hal ini memungkinkan. Bila tidak mungkin maka dilakukan
eksteriorisasi atau enterostomi.
1. Sebelum operasi (Pre-operatif)
Penanganan intususepsi secara umum sama seperti penangan pada
kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan umum seperti
rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit yang
disebabkan karena muntah yang berlebihan dan defekasi dengan lendir
dan darah.
2. Saat dilakukan operasi (Durante operatif)
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi dan
tindakan yang dianjurkan adalah reseksi anastosmosis segmen usus
yang terlibat. Batas reseksi pada umumnya adalah 10 cm dari tepi –
tepi segmen usus yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal
minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan anastosmose end to end
atau side to side.
3. Setelah operasi (Pasca operatif)
a. Menghindari terjadinya dehidrasi
b. Mempertahankan stabilitas elektrolit
c. Melakukan pengawasan terhadap akan terjadinya inflamasi dan infeksi
d. Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu motilitas
usus
Pada invaginasi usus besar dengan risiko tumor ganas sebagai
penyebabnya, maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung
dilakukan reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada usus halus, reduksi
boleh dicoba dengan hati-hati, tetapi bila terdapat tanda nekrosis dan
perforasi usus, reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi
saja. Apabila akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi
hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan. Ini
untuk menghindari atau memperkecil timbulnya short bowel syndrome.
Secara ringkas algoritma penanganan invaginasi pada anak

9
2.8 Prognosis
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh diagnosis secara
dini, dan cepatnya pertolongan yang diberikan. Jika pertolongan dilakukan kurang
dari 24 jam dari serangan pertama, maka akan memberikan prognosis yang lebih
baik yaitu mortalitas hanya 1-3%, tetapi jika terjadi invaginasi berulang mortalitas
naik menjadi 3-11%.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dari invaginasi yaitu dapat terjadi strangulasi usus, yang pada
akhirnya dapat terjadi perforasi usus, peritonitis, dan sepsis dan dapat berujung
kepada kematian.

10
BAB III
KESIMPULAN

Invaginasi adalah keadaan gawat darurat akut dibidang bedah dimana


suatu segmen usus masuk kedalam lumen usus bagian distalnya sehingga timbul
obstruksi dan pada fase lanjut berakibat strangulasi usus yang berujung perforasi
dan peritonitis. Gejala klinis awal adalah TRIAS yang terdiri dari nyeri perut
(kolik), muntah, dan currant jelly stool. Beberapa ahli mengganti gejala muntah
dengan sausage’s sign. -Reposisi hidrostatik atau pneumostatik hanya dilakukan
apabila invaginasi masih dalam fase awal (early phase). Milking merupakan
tindakan reposisi operatif pada invaginasi. -Prognosis semakin memburuk apabila
invaginasi dioperasi pada fase lanjut.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Bines JE, Kohl KS, Forster J, Zanardi LR, Davis RL, et al. (2004) Acute
intussusception in infants and children as an adverse event following
immunization: case definition and guidelines of data collection, analysis,
and presentation. Vaccine 22: 569–574.
2. Nakagomi T, Takahashi Y, Arisawa K, Nakagomi O (2006) A high
incidence of intussusception in Japan as studied in a sentinel hospital over
a 25-year period (1978–2002). Epidemiol Infect 134: 57–61.
3. Jo DS, Nyambat B, Kim JS, Jang YT, Ng TL, et al. (2009) Population-
based incidence and burden of childhood intussusception in Jeonbuk
Province, South Korea. Int J Infect Dis 13: e383–388. Patel MM, Haber P,
Baggs J, Zuber P, Bines JE, et al. (2009) Intussusception and rotavirus
vaccination: a review of the available evidence. Expert Rev Vaccines 8:
1555–1564.
4. WHO (2007) Rotavirus vaccines. Wkly Epidemiol Rec 82: 285–295.
5. Tan N, Teoh YL, Phua KB, Quak SH, Lee BW, et al. (2009) An update of
paediatric intussusception incidence in Singapore: 1997–2007, 11 years of
intussusception surveillance. Ann Acad Med Singapore 38: 690–692.
6. O’Ryan M, Lucero Y, Pena A, Valenzuela MT (2003) Two year review of
intestinal intussusception in six large public hospitals of Santiago, Chile.
Pediatr Infect Dis J 22: 717–721.
7. Patel MM, Glass R, Desai R, Tate JE, Parashar UD (2012) Fulfilling the
promise of rotavirus vaccines: how far have we come since licensure?
Lancet Infect Dis 12: 561–570.
8. Zhang Y, Bai YZ, Li SX, Liu SJ, Ren WD, et al. (2011) Sonographic
findings predictive of the need for surgical management in pediatric
patients with small bowel intussusceptions. Langenbecks Arch Surg 396:
1035–1040.
9. Abantanga FA, Amoah M, Adeyinka AO, Nimako B, Yankey KP (2008)
Pneumatic reduction of intussusception in children at the Komfo Anokye
Hospital, Kumasi, Ghana. East Afr Med J 85: 550–555.
10. Ameh EA (2002) The morbidity and mortality of laparotomy for
uncomplicated intussusception in children. West Afr J Med 21: 115–116.
11. Ameh EA (2002) The morbidity and mortality of right hemicolectomy for
complicated intussusception in infants. Niger Postgrad Med J 9: 123–124.
12. Archibong AE, Usoro IN, Ikpi E, Inyang A (2001) Paediatric
intussusception in Calabar, Nigeria. East Afr Med J 78: 19–21.
13. Bode CO (2008) Presentation and management outcome of childhood
intussusception in Lagos: a prospective study. Afr J Paediatr Surg 5: 24–
28.

12
14. Carneiro PM, Kisusi DM (2004) Intussusception in children seen at
Muhimbili National Hospital, Dar es Salaam. East Afr Med J 81: 439–442.
15. Nelson EA, Tam JS, Glass RI, Parashar UD, Fok TF (2002) Incidence of
rotavirus diarrhea and intussusception in Hong Kong using standardized
hospital discharge data. Pediatr Infect Dis J 21: 701–703.
16. Edino ST, Ochicha O, Mohammed AZ, Anumah M (2003) Intussusception
in Kano: a 5-year analysis of pattern, morbidity and mortality. Niger J
Med 12: 221–224.
17. Ekenze SO, Anyanwu PA, Ezomike UO, Oguonu T (2010) Profile of
pediatric abdominal surgical emergencies in a developing country. Int
Surg 95: 319–324.
18. Ekenze SO, Mgbor SO (2011) Childhood intussusception: the
implications of delayed presentation. Afr J Paediatr Surg 8: 15–18

13

Anda mungkin juga menyukai