Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

VAKSIN ROTAVIRUS & JAPANESE ENCEPHALITIS

Mata Kuliah :
Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita Dan Apras

Dosen Pengampu :
Warda Anil M., SST., M.Kes

Disusun Oleh :

NUR AINI ALI SYAFITRI


NIM. 2021010025

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA JOMBANG


PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga saya selaku penyusun dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Vaksin Rotavirus & Japanese Encephalitis”.
Dengan selesainya makalah ini semuanya tidak terlepas dari bantuan dan
dorongan dari semua pihak. Untuk itu penulis menyampaikan setulus-tulusnya
ucapan terima kasih kepada :
1. Dra. Hj. Soelidjah Hadi, M. Kes, MM., selaku Ketua STIKES Husada
Jombang
2. Warda Anil M., SST., M.Kes, selaku Dosen Pembimbing STIKES Husada
Jombang.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian dan penyusunan
makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi
teman-teman Mahasiswa pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jombang, Desember 2022

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3
A. Vaksin Rotavirus...................................................................... 3
B. Vaksin Japanese Encephalitis (JE).......................................... 14
BAB III PENUTUP..................................................................................... 23
A. Kesimpulan.............................................................................. 23
B. Saran........................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gastroenteritis virus akut disebabkan oleh 4 kategori besar virus yaitu
Rotavirus, Norwalk dan Norwalk-like virus, Calivirus lain dan Astrovirus.
Virus yang menyebabkan gastroenteritis ini ditransmisikan melalui jalur fecal
oral. Infeksi paling sering terjadi pada waktu dimana cuaca lebih dingin,
berbeda dengan diare yang disebabkan infeksi bakteri yang biasanya terjadi
pada waktu dimana cuaca lebih hangat.
Gastroenteritis (diare) merupakan penyebab utama kematian anak (5-
10 juta per tahun) pada negara berkembang dimana kasus malnutrisi masih
umum terjadi. Perkiraan terkini gastroenteritis virus memegang persentase
sebanyak 30-40 % infeksi diare di Amerika Serikat dari kasus kasus diare
yang terdokumentasi (diare yang disebabkan oleh bakteri dan parasit). Di
Amerika Serikat, diare yang disebabkan rotavirus sebanyak 3,5 juta kasus.
Persentase angka rawat inap yang disebabkan oleh rotavirus sebanyak 35%
dan angka kematian 75-150 per tahun.
Gastroenteritis virus paling sering terjadi pada bayi usia 1-11 bulan,
dimana virus menyerang sel epitel usus halus bagian atas, yang menyebabkan
gangguan absorbsi, transport sodium dan diare. Manifestasi klinis bervariasi
dari asimptomatik, diare yang ringan dengan sakit kepala dan demam, sampai
dengan diare yang berat yang menyebabkan dehidrasi yang fatal. Gejala
muntah hampir selalu ada. Gastroenteritis virus biasanya akan sembuh sendiri.
Penatalaksanaan dilakukan dengan terapi penggantian cairan dengan cairan
yang bersifat isotonis, analgesik dan obat antiperistaltik
Rotavirus adalah penyebab utama penyakit diare pada bayi manusia
dan binatang muda termasuk anak sapi dan anak babi. Infeksi pada orang
dewasa dan binatang juga sering. Beberapa rotavirus merupakan agen
penyebab diare infantil pada manusia, diare anak sapi di Nebraska, diare yang
menyerang bayi tikus dan virus SA 11 pada kera. Rotavirus menyerupai
reovirus dalam batasan morfologi dan strategi replikasinya

1
Rotavirus kadang-kadang menyerang para wisatawan dewasa
(traveler’s diarrhea) dan menyerang orang-orang dengan daya tahan tubuh
yang lemah (seperti pada penderita AIDS), orang tua dengan anak-anak yang
menderita diare karena rotavirus dan manular.
Japanese Encephalitis merupakan virus dari gigitan nyamuk culex
yang terinfeksi virus JE hingga menyebabkan penyakit radang otak. Walaupun
nama tersebut ada unsur jepangnya, faktanya virus ini tidak hanya menyerang
negara jepang saja.
Nyamuk Culex biasa di temukan di daerah persawahan, kolom, atau
daerah yang memiliki genangan air dan sering menggit di malam hari. Virus
JE ini memerlukan hewan sebagai inang peranta seperti babi, kerbau dan
beberapa jenis burung. Nyamuk Culex sifatnya antrosoofilik, hewan yang
tidak hanya menghisap darah binatang saja tetapi juga menghisap darah
manusia, karena itu penularan JE dari hewan kepada manusia pun bisa terjadi.
Oleh karena itu telah ditetapkan bahwa manusia bukanlah sumber utama
penyakit tersebut.
Gejala pada penyakit ini umumnya akan muncul 5-15 hari setelah
terjadinya infeksi, gejala yang muncul seperti demam, menggigil, sakit kepala,
lemas, mual, muntah bahkan hingga kejang yang sering dialami oleh anak
kecil.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, efek samping dan kontraindikasi vaksin rotavirus?
2. Apa pengertian, efek samping dan kontraindikasi vaksin japanese
encephalitis?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian, efek samping dan kontraindikasi vaksin rotavirus
2. Mengetahui pengertian, efek samping dan kontraindikasi vaksin japanese
encephalitis
3.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Vaksin Rotavirus
1. Definisi
Vaksin rotavirus adalah vaksin untuk mencegah penyakit akibat
infeksi rotavirus, seperti diare. Infeksi rotavirus merupakan penyebab
utama diare dengan dehidrasi berat. Secara global, infeksi rotavirus adalah
penyebab utama kematian akibat diare, yaitu 19,11% kematian pada tahun
2019, di mana mortalitas tertinggi pada anak usia <5 tahun dan lansia >70
tahun.

Gambar 1. Vaksin Rotavirus


Terdapat 2 tipe vaksin rotavirus peroral, yaitu vaksin monovalen
(RV1) yang mengandung virus yang dilemahkan dan vaksin pentavalen
(RV5) yang mengandung virus hidup. Virus di dalam vaksin akan
bereplikasi di usus dan berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh pasien
untuk menghasilkan kekebalan.
Pada tahun 2006, kedua vaksin rotavirus peroral hidup telah
mendapat lisensi. Pada tahun 2018, vaksin ini telah memenuhi syarat oleh
WHO, sehingga penggunaannya dan ketersediaannya diperluas secara
global untuk mencegah mortalitas akibat gastroenteritis, diare, dan
dehidrasi berat.
Vaksin RV1 diberikan 2 kali dengan interval pemberian 4 minggu,
pada anak usia 6–24 minggu. Vaksin RV1 memberikan proteksi terhadap
rotavirus dengan serotipe G1, G3, G4, dan G9. Vaksin RV5 diberikan

3
sebanyak 3 kali dengan jarak antar dosis 4 minggu, pada anak usia 6–32
minggu. Vaksin RV5 memberikan proteksi terhadap rotavirus dengan
serotipe G1, G2, G3, dan G4.
Tabel 1. Deskripsi Singkat Vaksin Rotavirus
Perihal Deskripsi
Kelas Vaksin, serum, dan immunoglobulin
Subkelas Vaksin
Akses Resep
Wanita hamil Kategori FDA: C; Kategori TGA: B2
Wanita menyusui Tidak direkomendasikan pada orang dewasa
Tidak direkomendasikan pada anak usia >32
Anak-anak minggu
Infant Dapat diberikan pada bayi usia 6–32 minggu
FDA Approved

2. Farmakologi
Farmakologi vaksin rotavirus adalah memicu respon imun tanpa
menyebabkan penyakit. Vaksin rotavirus saat ini terdiri dari 2 jenis, yaitu
vaksin monovalen (RV1) yang mengandung virus yang dilemahkan dan
vaksin pentavalen (RV5) yang mengandung virus hidup. Vaksin ini dinilai
memiliki imunogenitas yang tinggi sehingga dapat membentuk respon
imun yang adekuat.
a. Farmakodinamik
Virus di dalam vaksin akan bereplikasi di usus dan berinteraksi
dengan sistem kekebalan tubuh pasien untuk menghasilkan kekebalan.
Setelah diberikan vaksin, pasien memiliki proteksi terhadap serotipe
rotavirus sesuai yang ada pada vaksin untuk kasus gastroenteritis dan
terhadap semua jenis serotipe untuk penyakit yang lebih berat.
Infeksi rotavirus merupakan penyebab utama diare dengan
dehidrasi berat, terutama pada anak usia <5 tahun.
Studi terhadap vaksin RV1 di Meksiko dan Brazil
menunjukkan adanya penurunan angka kematian akibat diare pada
bayi dan anak yang lebih muda setelah pemberian vaksin rotavirus.
Penelitian di Meksiko menunjukkan bahwa penurunan paling tinggi
ditemukan pada kelompok usia di bawah 11 bulan dengan reduksi
relatif 41%. Sementara studi di Brazil juga menunjukkan hal serupa

4
dengan penurunan angka kematian akibat diare paling tinggi
ditemukan pada kelompok usia di bawah 2 tahun (22–28%).
Efikasi vaksin sampai saat ini telah dinilai sampai tahun ketiga
pemberian vaksin. Pada vaksin RV5, efikasi terhadap penyakit berat
adalah 98%. Penurunan angka rawat inap akibat infeksi rotavirus
masih ditemukan hingga tahun ketiga pascavaksinasi.
Sementara itu, efikasi terhadap vaksin RV1 juga berada di atas
70%. Studi di Amerika Latin menunjukkan efikasi sebesar 83%. Studi
di Eropa menunjukkan angka efikasi yang lebih tinggi, yaitu 96%.
Sebuah studi kontrol acak di 3 negara berpenghasilan tinggi di Asia
menunjukkan bahwa efikasi vaksin terhadap penyakit berat yang
disebabkan oleh rotavirus adalah 100% sampai tahun ketiga
kehidupan.
b. Farmakokinetik
Data mengenai farmakokinetik dari vaksin rotavirus masih
belum ditemukan.
3. Formulasi
Formulasi vaksin rotavirus tersedia dalam bentuk pemberian
peroral. Di Indonesia, terdapat 2 jenis vaksin rotavirus, yaitu vaksin
monovalen (RV1) yang berbentuk serbuk dan vaksin pentavalen (RV5)
yang berbentuk larutan.
a. Bentuk Sediaan
Vaksin rotavirus tersedia dalam 2 bentuk, yaitu vaksin
monovalen (RV1) dan vaksin pentavalen (RV5). Vaksin ini digunakan
untuk mencegah infeksi rotavirus, yang menyebabkan gastroenteritis
dengan gejala diare dan dehidrasi berat, terutama pada anak usia < 5
tahun.
1) Sediaan Vaksin Monovalen (RV1)
Vaksin rotavirus monovalen (RV1) memiliki nama dagang
Rotarix®, yang tersedia dalam serbuk yang harus dilarutkan
terlebih dahulu untuk pemberian oral. Vaksin RV1 berasal dari

5
jenis strain G1P yang diisolasi dari bayi yang mengalami
gastroenteritis.
Vaksin RV1 mengandung 10.000.000 partikel rotavirus
dalam 1 mL dosis.
2) Sediaan Vaksin Pentavalen (RV5)
Nama dagang vaksin RV5 adalah RotaTeq®, yang tersedia
dalam bentuk larutan yang diberikan peroral. Vaksin ini terdiri dari
5 jenis virus yang diisolasi dari manusia dan sapi. Empat virus dari
sapi mengekspresikan salah satu protein VP7 (G1, G2, G3, atau
G4) dari strain yang ada di manusia dan protein VP4 dari strain
yang ada di sapi. Virus terakhir mengekspresikan protein VP4 dari
strain yang ada di manusia dan G6 dari strain yang ada di sapi.
Vaksin RV5 mengandung 2–2,8 x 10.000.000 unit per jenis
virus dalam 2 mL dosis.
b. Cara Penggunaan
Vaksin rotavirus hanya dapat diberikan secara oral, tidak dapat
diberikan secara parenteral. Sebelum dan sesudah pemberian vaksin,
pasien dapat minum atau makan. Anak diposisikan dalam posisi
berbaring. Vaksin diberikan secara langsung ke mulut dengan menekan
larutan hingga keluar. Larutan ini diteteskan di bagian dalam pipi.
Seluruh larutan dalam kemasan harus diberikan.
1) Cara Penggunaan Vaksin Monovalen (RV1)
Vaksin RV1 tersedia dalam bentuk bubuk sehingga
membutuhkan rekonstitusi. Rekonstitusi hanya dapat dilakukan
dengan menggunakan pelarut yang tersedia dan digunakan
maksimal 24 jam setelah dilarutkan.
2) Cara Penggunaan Pentavalen (RV5)
Vaksin RV5 merupakan vaksin yang tersedia dalam bentuk
larutan, sehingga tidak perlu diencerkan atau direkonstitusi.
Sebelum dibuka, perhatikan apakah ada perubahan warna atau
partikel asing di dalam vaksin. Jika ada, maka vaksin tidak dapat
digunakan.

6
c. Cara Penyimpanan
Vaksin disimpan dalam kulkas dengan suhu 2–8C, dan tidak
dapat dibekukan. Jika vaksin sudah beku, maka tidak dapat digunakan.
Untuk vaksin RV1, setelah dikeluarkan dan direkonstitusi harus
langsung digunakan. Vaksin yang telah direkonstitusi dapat disimpan
dalam suhu 2–8C, atau dalam suhu <25C dalam waktu 24 jam.
d. Kombinasi dengan Obat Lain
Sampai saat ini tidak ada sediaan gabungan antara rotavirus
dengan vaksin lain. Pemberian vaksin rotavirus dengan vaksin lain,
seperti vaksin difteri, tetanus toksoid, vaksin polio yang diinaktivasi
(injeksi), vaksin H. Influenzae tipe B, vaksin hepatitis B, dan vaksin
pneumokokus, tidak mengganggu respon imun maupun keamanan dari
masing-masing vaksin.
Pemberian vaksin rotavirus dosis pertama dengan vaksin polio
oral tidak disarankan, karena diduga vaksin polio oral dapat
menurunkan respon imun vaksin rotavirus. Namun, untuk pemberian
dosis kedua dan ketiga, kedua vaksin tersebut dapat diberikan
bersamaan.
4. Indikasi dan Dosis
Indikasi vaksin rotavirus adalah untuk profilaksis terhadap infeksi
rotavirus, terutama pada bayi. Vaksin rotavirus tidak diindikasikan untuk
orang dewasa. Bayi yang pernah mengalami gastroenteritis akibat
rotavirus tetap diberikan vaksin, karena infeksi awal biasanya hanya
memberikan imunitas parsial. Vaksin tidak dapat diberikan sebagai
profilaksis pasca pajanan.
a. Vaksin Monovalen (RV1)
Untuk vaksin RV1, vaksin diberikan 2 kali dengan jarak 4
minggu antar dosis. Dosis yang diberikan adalah 1 mL. Jadwal
pemberian yang dianjurkan adalah saat usia 2 bulan dan 4 bulan. Usia
minimal pemberian adalah 6 minggu dan usia maksimal pemberian
adalah 24 minggu.

7
b. Vaksin Pentavalen (RV5)
Untuk vaksin rotavirus RV5, dosis vaksin yang diberikan
adalah 2 mL per dosis. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan
interval minimal 4 minggu antar dosis. Jadwal yang disarankan adalah
saat usia 2, 4, dan 6 bulan. Usia minimal pemberian vaksin rotavirus
adalah 6 minggu, sedangkan usia maksimal pemberian vaksin rotavirus
adalah 8 bulan 0 hari.
Pemberian vaksin rotavirus dianjurkan menggunakan jenis yang
sama dalam 3 kali pemberian tersebut. Akan tetapi, jika jenis vaksin
sebelumnya tidak diketahui, vaksin rotavirus jenis apapun dapat diberikan.
Tidak diperlukan penyesuaian dosis bagi pasien dengan gangguan hepar
maupun gangguan ginjal
5. Efek Samping dan Interaksi Obat
Efek samping pemberian vaksin rotavirus yang paling sering
ditemukan adalah demam, iritabilitas, penurunan nafsu makan, batuk, dan
hidung berair. Efek samping intususepsi jarang ditemukan. Vaksin
rotavirus memiliki interaksi dengan obat-obat kemoterapi, kortikosteroid
dosis tinggi, imunoglobulin, dan interferon.
a. Efek Samping
Walaupun diberikan peroral, risiko anafilaksis tetap dapat
ditemukan tetapi sangat jarang terjadi. Efek samping yang dapat
ditemukan:

8
1) Gastrointestinal: diare (24,1%); muntah (15,2%); flatulens, nyeri
perut (1-10%); hematokezia, gastroenteritis (0,1-1%); intususepsi,
peningkatan pergerakan usus (< 0,1%)
2) Respiratori: batuk, hidung berair (31%); nasofaringitis,
bronkospasme (1-10%); bronkiolitis, pneumonia (0,1-1%); apneu
(< 0,1%)
3) Psikiatri: iritabilitas (52%)
4) Kulit: dermatitis (0,1-1%); urtikaria, ruam, eksim, dermatitis atopik
(< 0,1%); angioedema
5) Metabolik: penurunan nafsu makan (25%); dehidrasi (< 0,1%)
6) Sistem saraf: kejang, episode hipotonik-hiporesponsif, sinkop (<
0,1%)
7) Kardiovaskular: penyakit Kawasaki (<0,1%)
8) Hematologi: immune trombositopenia purpura
9) Genitourinari: infeksi saluran kemih (0,1-1%)
10) Lainnya : demam (28%), otitis media (14,5%), kematian (0,1-1%)
Efek samping intususepsi jarang ditemukan pada pasien yang
diberikan vaksin rotavirus pada usia yang sesuai dengan rekomendasi.
Walaupun kejadian intususepsi pernah dilaporkan pasca pemberian
vaksin rotavirus, angka ini tidak bermakna secara statistik.
b. Interaksi Obat
Vaksin rotavirus memiliki beberapa interaksi dengan obat-
obatan lain, terutama obat-obat yang mensupresi sistem imun, seperti
kemoterapi dan kortikosteroid dosis tinggi. Selama pasien masih
menggunakan obat tersebut, pemberian vaksin rotavirus tidak
dianjurkan.
Kondisi imunosupresi ini dapat meningkatkan risiko infeksi
dari virus hidup yang dimasukkan, serta menurunkan respon imun
terhadap vaksin. Vaksin dapat diberikan minimal 1 bulan setelah
pemberian kortikosteroid dosis tinggi dihentikan atau 3 bulan setelah
rangkaian obat-obat kemoterapi dihentikan.

9
Pemberian vaksin rotavirus bersamaan dengan imunoglobulin
lain, seperti imunoglobulin tetanus, sitomegalovirus, hepatitis B, dan
rabies juga dapat menurunkan respon imun tubuh terhadap virus.
Vaksin rotavirus dapat diberikan 3 bulan setelah pemberian
imunoglobulin.
Pemberian vaksin rotavirus dengan interferon gamma tidak
dianjurkan, karena berpotensi menimbulkan amplifikasi respon imun.
6. Penggunaan Pada Kehamilan dan Ibu Menyusui
Penggunaan vaksin rotavirus pada kehamilan dan ibu menyusui
harus berdasarkan prinsip manfaat yang lebih tinggi daripada risiko.
Berdasarkan FDA, vaksin rotavirus masuk kategori C untuk penggunaan
pada ibu hamil, sedangkan studi terkait penggunaan pada ibu menyusui
masih minim.
a. Penggunaan pada kehamilan
Berdasarkan Food and Drug Administration (FDA), vaksin
rotavirus termasuk dalam kategori C. Studi pada binatang percobaan
memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, tetapi belum ada
studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika
besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap
janin.
Sedangkan berdasarkan Therapeutic Goods Administration
(TGA), vaksin rotavirus memiliki kategori B2. Obat telah dikonsumsi
oleh sedikit wanita hamil dan wanita usia reproduktif, dan tidak
menunjukkan adanya peningkatan frekuensi malformasi atau efek
berbahaya lain secara langsung maupun tidak langsung pada bayi.
Studi pada hewan juga tidak adekuat atau bahkan kurang, walaupun
data yang ada tidak menunjukkan adanya peningkatan kerusakan pada
fetus.
Vaksin rotavirus digunakan untuk mencegah infeksi rotavirus,
yang menyebabkan gastroenteritis dengan gejala diare dan dehidrasi
berat.

10
Sampai saat ini belum ditemukan adanya studi terkontrol pada
ibu hamil, sehingga masih belum dapat disimpulkan apakah pemberian
vaksin rotavirus dapat menyebabkan gangguan pada fetus maupun
pada proses kehamilan dan persalinan. Secara teori, vaksin rotavirus
yang termasuk dalam vaksin hidup dapat meningkatkan risiko anomali
kongenital pada fetus, tetapi hal ini belum dapat dibuktikan.
b. Penggunaan pada Ibu Menyusui
Vaksin rotavirus tidak diindikasikan pada orang dewasa
sehingga studi terkait pemberian vaksin rotavirus pada ibu menyusui
jarang ditemukan.
Sampai saat ini juga belum diketahui apakah pemberian vaksin
rotavirus pada ibu menyusui dapat menurunkan antibodi pasif ke bayi
atau menimbulkan bahaya bagi bayi. Secara teori, ada kemungkinan
vaksin hidup yang diberikan pada ibu menyusui dapat masuk ke dalam
ASI. Namun, karena minimnya penelitian, hal ini belum dapat
dibuktikan.
7. Kontraindikasi dan Peringatan
Kontraindikasi vaksin rotavirus adalah pada pasien dengan riwayat
hipersensitivitas, riwayat intususepsi, riwayat severe combined
immunodeficiency, dan riwayat malformasi kongenital pada saluran cerna
yang belum ditata laksana.
a. Kontraindikasi
Kontraindikasi pemberian vaksin rotavirus adalah adanya
riwayat hipersensitivitas pada pemberian vaksin sebelumnya, riwayat
hipersensitivitas pada komponen vaksin, adanya riwayat intususepsi
dan severe combined immunodeficiency sebelumnya. Selain itu, vaksin
ini tidak dianjurkan untuk anak dengan riwayat malformasi kongenital
pada saluran pencernaan yang belum dikoreksi, seperti divertikulum
Meckel.
Studi surveilans menemukan adanya hubungan temporal antara
pemberian vaksin rotavirus dan kejadian intususepsi, dengan

11
penambahan 1–1,5 kasus per 100.000 bayi yang divaksinasi. Kejadian
intususepsi ini paling banyak ditemukan 7 hari pasca imunisasi.
Dengan adanya data ini, pemberian vaksin rotavirus pada
pasien dengan riwayat intususepsi tetap tidak direkomendasikan
walaupun pada dua studi acak ganda terkontrol dengan plasebo tidak
ditemukan adanya perbedaan risiko intususepsi pada pasien yang
mendapatkan vaksin rotavirus dengan yang mendapatkan plasebo.
b. Peringatan
Penggunaan vaksin rotavirus perlu diperhatikan pada bayi
prematur, individu dengan riwayat hipersensitivitas terhadap lateks,
serta pasien imunodefisiensi, sakit akut, dan gangguan gastrointestinal
kronik.
1) Bayi Prematur
Pemberian vaksin pada bayi prematur diperbolehkan
selama bayi stabil secara kinis. Vaksin diberikan mengikuti usia
kronologis saat atau setelah bayi dipulangkan dari ruang rawat.
Vaksin rotavirus tidak direkomendasikan diberikan saat bayi masih
dirawat karena terdapat risiko transmisi virus. Keamanan vaksin
rotavirus pada bayi prematur sama dengan bayi yang tidak
prematur.
2) Pasien dengan Riwayat Hipersensitivitas terhadap Lateks
Bahan lateks terdapat pada aplikator oral vaksin rotavirus
monovalen (RV1), sementara vaksin pentavalen (RV5) tidak
mengandung bahan lateks. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
terhadap lateks disarankan untuk diberikan RV5. Jika hanya vaksin
RV1 yang tersedia, maka vaksin tetap dapat diberikan tetapi
dengan pengawasan khusus karena manfaat yang didapat dinilai
lebih besar dibandingkan risiko hipersensitivitas.
Pasien dengan spina bifida dan ekstrofi kandung kemih
dinilai memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami alergi lateks
sehingga pemberian vaksin rotavirus pada kelompok ini juga perlu
diawasi.

12
3) Pasien dengan Imunodefisiensi
Pasien dengan imunodefisiensi selain severe combined
immunodeficiency dapat diberikan vaksin rotavirus, tetapi
memerlukan perhatian khusus karena data mengenai efikasi dan
keselamatan belum banyak ditemukan.
Pasien dengan kondisi imunosupresi memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami gastroenteritis berkelanjutan dan
respon imun terhadap vaksin rotavirus berkurang. Berikut adalah
beberapa kondisi imunosupresi yang memerlukan perhatian:
a) Neoplasma yang menyebabkan supresi pada sumsum tulang
atau mempengaruhi sistem limfatik (leukemia atau limfoma)
b) Resipien kemoterapi atau radioterapi
c) Pengguna kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka panjang
d) Defisiensi imun seluler
e) Hipogammaglobulinemia dan agammaglobulinemia
f) Infeksi HIV
Konsultasi kepada ahli imunologi dianjurkan sebelum
memberikan vaksin kepada anak imunodefisiensi.
4) Pasien yang Sakit Akut
Pasien dengan sakit ringan masih dapat diberikan vaksin
rotavirus. Akan tetapi, pada pasien dengan derajat penyakit sedang,
pemberian vaksin dapat ditunda sampai pasien sembuh. Pasien
dengan gastroenteritis akut disarankan untuk menunda pemberian
vaksin rotavirus sampai kondisi membaik.
5) Gangguan Gastrointestinal Kronik
Pasien dengan gangguan gastrointestinal kronik yang tidak
mendapatkan terapi imunosupresif dapat diberikan vaksin
rotavirus. Namun, data mengenai efikasi dan keamanan pada
pasien dengan sindrom malabsorbsi kongenital, penyakit
Hirschsprung, sindrom usus pendek, muntah persisten yang belum
diketahui penyebabnya, diare kronik, gagal tumbuh, riwayat
gangguan abdomen kongenital, dan riwayat pembedahan pada

13
abdomen belum banyak didapatkan, sehingga pemberian vaksin
rotavirus pada kelompok tersebut tetap memerlukan perhatian
khusus.
8. Pengawasan Klinis
Pengawasan klinis setelah pemberian vaksin rotavirus terutama
diperlukan pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap lateks.
Hal ini karena bahan lateks terdapat pada aplikator oral vaksin rotavirus
monovalen (RV1).
Epinefrin 1:1000 di dalam spuit perlu dipersiapkan untuk
mengatasi reaksi hipersensitivitas berat atau anafilaksis. Adanya kejadian
gastroenteritis akut dan intususepsi juga perlu diawasi sampai 21 hari
pasca pemberian vaksin.
Pelaporan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) harus dipahami
oleh pasien atau keluarga. Pengawasan dengan menggunakan parameter
laboratorium tidak diperlukan.

B. Vaksin Japanese Encephalitis (JE)


1. Definisi
Vaksin Japanese Encephalitis (JE) adalah vaksin yang bermanfaat
dalam mencegah infeksi virus Japanese Encephalitis (JEV) dengan
memicu sistem imun untuk menghasilkan antibodi terhadap JEV. Infeksi
JEV ditularkan melalui vektor nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang
terinfeksi.

Di seluruh dunia, vaksin JE tersedia dalam 4 jenis, antara lain live-


attenuated vaccine, inactivated vero cell-derived vaccine, inactivated
mouse brain-derived vaccine, dan live attenuated chimeric vaccine dengan

14
strain virus Beijing-1 dan SA 14-14-2. Jenis vaksin JE yang tersedia di
Indonesia adalah live attenuated chimeric vaccine.
Berdasarkan rekomendasi CDC, vaksin JE diberikan pada individu
yang pindah, bepergian ke negara endemik, seperti Indonesia, dalam
jangka waktu panjang (≥ 1 bulan) atau jangka pendek (< 1 bulan) dengan
peningkatan risiko berdasarkan durasi perjalanan, musim, lokasi, kegiatan
dan akomodasi. Menurut CDC, vaksin JE dapat diberikan pada pasien usia
mulai dari 2 bulan sampai dewasa.
Di Indonesia, IDAI merekomendasikan pemberian vaksin JE mulai
usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang akan bepergian ke
daerah endemis tersebut
Tabel 2. Deskripsi Singkat Vaksin Japanese Encephalitis (JE)
Perihal Deskripsi
Kelas Vaksin, serum dan immunoglobulin
Subkelas Vaksin
Akses Resep
Wanita hamil Kategori FDA (Inactivated Virus Vaccine) : B
Wanita menyusui Tidak ada data yang jelas apakah disekresikan ke
dalam ASI
Anak-anak Keamanan dan efikasi pada bayi usia di bawah 2
bulan belum diketahui
Infant
FDA Approved

2. Farmakologi
Farmakologi vaksin Japanese Encephalitis (JE) adalah dengan
menginduksi kekebalan tubuh melalui produksi antibodi.
a. Farmakodinamik
Vaksin Japanese Encephalitis (JE) terbagi dalam 4 jenis, yaitu
inactivated mouse brain-derived vaccine, inactivated vero cell-derived
vaccine, live-attenuated vaccine, serta live attenuated chimeric vaccine
dengan strain virus berbeda.
Pada inactivated mouse brain-derived vaccine dengan strain
Beijing-1 dilakukan modifikasi untuk mengurangi atau menghilangkan
bahan otak dalam vaksin sehingga dapat menghindari potensi

15
komplikasi neurologis, serta meningkatkan kemurnian vaksin dengan
ultrasentrifugasi dan pengendapan protein.
Pada inactivated vero cell-derived vaccine dengan strain SA
14-14-2, terdapat beberapa kelebihan seperti biaya yang lebih murah
dan kontrol kualitas vaksin yang lebih mudah karena komponennya
diatur dengan baik untuk mencegah adanya serum, antibiotik, atau
imunogen potensial lain.
Live-attenuated vaccine strain 14-14-2 merupakan vaksin
berbasis sel Primary Hamster Kidney (PHK) yang tidak aktif serta
hanya membutuhkan dosis tunggal untuk menginduksi respon imun.
Vaksin JE terbaru, yakni live attenuated chimeric vaccine,
menggunakan nonstructural protein backbone dari vaksin virus yellow
fever (YFV) 17D dengan protein struktural prM dan E dari vaksin live-
attenuated strain 14-14-2 yang diintegrasikan ke dalam genom.
b. Farmakokinetik
Vaksin Japanese Encephalitis (JE) terbukti efektif memberikan
perlindungan terhadap penyakit akibat infeksi virus Japanese
Encephalitis (JEV). Dalam 2 studi uji klinis spesifik di Taiwan dan
Thailand, didapatkan efikasi proteksi vaksin JE sebesar 80-90%
setelah pemberian 2 dosis vaksin inactivated mouse brain-derived.
Selain itu, vaksin inactivated vero cell-derived juga terbukti aman dan
efektif. Penggunaan regimen vaksinasi primer dua dosis terbukti
meningkatkan respon antibodi sebesar 97,3% pada hari ke 56 pasca
imunisasi.
Pada vaksin live-attenuated, dilaporkan efikasi sebesar 95%
setelah inokulasi tunggal hingga 96% pada 5 tahun setelah dosis
tunggal. Efikasi dapat meningkat menjadi 97,5% setelah pemberian
booster 1 tahun.
3. Formulasi
Formulasi vaksin Japanese Encephalitis (JE) yang tersedia di
Indonesia adalah vaksin live attenuated chimeric dengan strain SA 14-14-

16
2 untuk mencegah infeksi virus Japanese Encephalitis (JEV) dalam bentuk
sediaan bubuk kering.
a. Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan vaksin Japanese Encephalitis (JE) dibedakan
berdasarkan jenis vaksin, yakni vaksin inaktif (inactivated mouse
brain-derived vaccine dan inactivated vero cell-derived vaccine) dan
vaksin hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccine dan live
attenuated chimeric vaccine).
1) Inactivated Virus Vaccine
Untuk vaksin inaktif (inactivated mouse brain-derived
vaccine dan inactivated vero cell-derived vaccine), sediaan vaksin
JE adalah bentuk suspensi untuk injeksi dengan pre-filled syringe
dan jarum suntik dalam satu kemasan sebagai dosis tunggal (0,5
ml). Contoh merek yang ada di luar negeri adalah JEspect®.
2) Live-Attenuated Vaccine
Untuk vaksin hidup yang dilemahkan (live-attenuated
vaccine dan live attenuated chimeric vaccine), sediaan vaksin JE
adalah bentuk sediaan bubuk kering yang dicampur dengan pelarut
sebelum diinjeksikan sebagai dosis tunggal (0,5 ml). Sediaan yang
ada di Indonesia adalah Imojev®.
b. Cara Penggunaan
Cara penggunaan vaksin Japanese Encephalitis (JE) berbeda
tergantung dari jenis vaksinnya. Vaksin inaktif tersedia dalam bentuk
sediaan suspensi dilengkapi pre-filled syringe dan jarum suntik dalam
satu kemasan, sehingga dapat langsung diinjeksi tanpa harus
direkonstitusi. Pada anak berusia <3 tahun, vaksin diinjeksikan pada
regio anterolateral paha atas, sedangkan untuk usia ≥3 tahun injeksi
dilakukan di regio deltoid secara intramuskular (IM).
Vaksin hidup yang dilemahkan tersedia dalam bentuk bubuk
kering untuk injeksi, sehingga harus dicampurkan dengan pelarut
sebelum diinjeksikan. Untuk usia 9-24 bulan, injeksi

17
direkomendasikan pada regio anterolateral paha atas atau deltoid,
sedangkan pada usia >2 tahun pada regio deltoid secara subkutan (SC).
c. Cara Penyimpanan
Vaksin Japanese Encephalitis (JE) disimpan pada suhu 2-8 C.
Hindari dari paparan sinar matahari langsung. Pastikan vaksin tidak
membeku dan tidak digunakan lagi setelah tanggal kadaluarsa.
4. Indikasi dan dosis
Indikasi vaksin Japanese Encephalitis (JE) adalah untuk mencegah
infeksi virus Japanese Encephalitis (JEV) yang ditularkan melalui vektor
nyamuk Culex tritaeniorhynchus. WHO merekomendasikan pemberian
dosis tunggal vaksin JE pada daerah endemik. Untuk perlindungan jangka
panjang, dapat diberikan booster 1-2 tahun berikutnya. Vaksin JE juga
direkomendasikan bagi wisatawan yang akan tinggal selama > 1 bulan di
daerah endemik.
CDC merekomendasikan pemberian vaksin JE dilakukan pada
individu yang pindah atau bepergian ke negara endemik, seperti Indonesia,
dalam jangka waktu panjang (≥ 1 bulan) atau pendek (< 1 bulan) pada
individu mulai dari usia 2 bulan sampai dewasa.
IDAI merekomendasikan pemberian vaksin JE mulai usia 12 bulan
pada daerah endemis atau pada turis yang akan bepergian ke daerah
endemis tersebut.
Dosis vaksin JE diberikan berdasarkan jenis vaksin dan usia.
Vaksin inaktif diberikan dalam 2 dosis dengan jarak 28 hari, diikuti
pemberian booster 1-2 tahun kemudian. Vaksin hidup yang dilemahkan
diberikan sebagai dosis tunggal diikuti booster 5 tahun kemudian, dapat
mulai diberikan saat usia 9 bulan.
a. Dosis Inactivated Virus Vaccine
Dosis diberikan berdasarkan usia sebagai berikut :
1) Usia 2 bulan sampai <3 tahun : Pemberian 2 dosis vaksin JE
dengan dosis masing-masing 0,25 ml diberikan pada hari ke-0 dan
hari ke-28. Dapat dilanjutkan dengan pemberian booster pada 1-2

18
tahun kemudian. Vaksin diberikan secara intramuskular (IM),
umumnya pada regio anterolateral paha atas.
2) Usia ≥ 3 tahun–17 tahun : Pemberian 2 dosis vaksin JE dengan
dosis masing-masing 0,5 ml diberikan pada hari ke-0 dan hari ke-
28. Dapat dilanjutkan dengan pemberiaan booster 1-2 tahun
kemudian. Vaksin diberikan secara intramuskular (IM), umumnya
pada regio
3) Dewasa : Pemberian 2 dosis vaksin JE dengan dosis masing-
masing 0,5 ml diberikan pada hari ke-0 dan hari ke-28. Jika tidak
terdapat cukup waktu untuk mengikuti regimen standar, pemberian
vaksin dapat dipercepat menjadi pemberian 2 dosis pada hari ke-0
dan hari ke-7. Pemberian vaksin harus selesai minimal 1 minggu
sebelum paparan. Dapat dilanjutkan pemberiaan booster 1-2 tahun
kemudian. Vaksin diberikan secara intramuskular (IM) umumnya
pada regio
b. Dosis Live-Attenuated Vaccine
Dosis diberikan berdasarkan usia sebagai berikut :
1) Usia 9 bulan – 17 tahun : Pemberian vaksin JE dosis tunggal 0,5
ml. Dapat dilanjutkan dengan pemberian booster 1-2 tahun
kemudian pada individu berisiko. Untuk anak usia 9-24 bulan,
injeksi dilakukan pada regio anterolateral paha atas atau deltoid.
Untuk anak usia > 2 tahun, injeksi dilakukan pada regio deltoid
secara subkutan (SC).
2) Dewasa : Pemberian vaksin JE dosis tunggal 0,5 ml dilanjutkan
dengan pemberian booster 5 tahun kemudian pada individu
berisiko. Vaksin diinjeksikan secara subkutan (SC) pada regio
deltoid.
5. Efek samping dan interaksi obat
Efek samping vaksin Japanese Encephalitis (JE) yang paling umum
terjadi adalah reaksi lokal yang ringan serta dapat hilang dengan
sendirinya. Reaksi lokal dapat berupa eritema, bengkak, dan memar pada

19
lokasi penyuntikkan. Pada keadaan yang lebih jarang, dapat terjadi reaksi
anafilaksis yang mengancam jiwa.
a. Efek Samping
Efek samping yang paling sering terjadi dari pemberian vaksin
Japanese Encephalitis (JE) adalah reaksi lokal pada lokasi
penyuntikkan.
Pada bayi berusia 2 bulan sampai <1 tahun, reaksi pada lokasi
injeksi yang paling umum terjadi adalah kemerahan. Efek samping lain
yang dapat timbul adalah reaksi sistemik seperti demam, iritabilitas,
dan diare. Pada anak berusia 1–12 tahun, reaksi yang paling umum
terjadi adalah demam (>20%).
Pada remaja usia 12–18 tahun, nyeri pada lokasi suntikan
menjadi reaksi yang paling sering terjadi. Pada dewasa berusia ≥18
tahun, reaksi lokal yang sering terjadi adalah nyeri, diikuti reaksi
sistemik berupa sakit kepala dan myalgia.
Beberapa efek samping lain yang dapat terjadi, antara lain
mual, muntah, nyeri abdomen, penurunan nafsu makan, ruam
kemerahan pada kulit, batuk, kongesti nasal, dyspnea, rinorrhea,
sinkop, serta reaksi anafilaksis yang mengancam jiwa.
Pada inactivated mouse brain-derived cell culture vaccine,
terdapat kandungan jaringan saraf yang meningkatkan kemungkinan
efek samping neurologis seperti Acute Disseminated
Encephalomyelitis (ADEM). Efek samping ini dilaporkan terjadi pada
1 dari 1 juta vaksin di Jepang. Sedangkan di Denmark, efek samping
ini dilaporkan terjadi pada 1 per 50.000-75.000 vaksin dalam kurun
waktu 12 tahun (1983 – 1995).
b. Interaksi Obat
Vaksin Japanese Encephalitis (JE) dapat meningkatkan risiko
perdarahan jika digunakan bersamaan dengan obat antikoagulan
(seperti aspirin dan warfarin). Pemberian vaksin JE pada individu yang
mendapat terapi imunosupresan, seperti kortikosteroid dosis tinggi,
dapat menurunkan respon imun.

20
Pemberian vaksin JE bersama dengan komponen
imunoglobulin dapat menurunkan respon terhadap vaksin. Untuk
menghindari efek netralisasi, sebaiknya vaksinasi tidak dilakukan
dalam 6 minggu hingga 3 bulan setelah injeksi imunoglobulin atau
produk darah yang mengandung imunoglobulin.
6. Penggunaan Pada Kehamilan dan Ibu Menyusui
Penggunaan vaksin Japanese Encephalitis (JE) tipe Inactivated
Virus Vaccine pada kehamilan dikategorikan sebagai kategori B oleh
FDA. Sedangkan, penggunaan vaksin JE pada ibu menyusui, belum jelas
keamanannya. Penggunaan vaksin JE jenis live-attenuated vaccine
dikontraindikasikan pada ibu hamil dan menyusui. [10-12]
a. Penggunaan pada Kehamilan
Berdasarkan FDA, vaksin Japanese Encephalitis (JE) tipe
Inactivated Virus Vaccine masuk dalam kategori B. Artinya, studi pada
binatang percobaan tidak memperlihatkan adanya risiko terhadap
janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil.
Penelitian dilakukan pada tikus betina dengan memberikan
vaksin JE tipe Inactivated Virus Vaccine dengan dosis sekitar 300 kali
lipat lebih banyak daripada dosis manusia, namun tidak didapatkan
adanya gangguan fertilitas atau teratogenisitas. Belum ada penelitian
terkontrol yang menilai keamanan, imunogenisitas, dan efek dari
vaksin JE tipe Inactivated Virus Vaccine pada ibu hamil. Sementara
itu, penggunaan vaksin JE jenis Live-Attenuated Vaccine
dikontraindikasikan pada ibu hamil.
b. Penggunaan pada Ibu Menyusui
Tidak terdapat data yang jelas mengenai apakah vaksin
Japanese Encephalitis (JE) disekresikan ke dalam ASI.
7. Kontraindikasi dan Peringatan
Vaksin Japanese Encephalitis (JE) kontraindikasi pada pasien yang
mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap vaksin atau komponen vaksin.
Vaksin jenis live-attenuated dikontraindikasikan pada ibu hamil dan
menyusui.

21
a. Kontraindikasi
Kontraindikasi vaksin Japanese Encephalitis (JE) adalah pada
pasien yang memiliki reaksi hipersensitivitas berupa riwayat reaksi
alergi atau anafilaksis terhadap vaksin atau komponen vaksin, seperti
protamine sulfate.
Beberapa kontraindikasi pemberian vaksin JE jenis live-
attenuated, antara lain defisiensi imun, termasuk terapi imunosupresif
seperti kemoterapi, kortikosteroid sistemik dosis tinggi, dan HIV.
Vaksin jenis ini juga kontraindikasi untuk ibu hamil dan menyusui.
b. Peringatan
Pemberian vaksin Japanese Encephalitis (JE) harus hati-hati
pada pasien dengan gangguan perdarahan (seperti trombositopenia dan
hemofilia), pasien imunokompromais, atau individu dengan riwayat
dahulu atau keluarga dengan kejang demam.
Pasien dengan terapi kortikosteroid sistemik dosis tinggi yang
diberikan selama ≥14 hari, direkomendasikan untuk menunggu
minimal ≥1 bulan setelah penghentian terapi sebelum melakukan
vaksinasi.
Vaksin JE mengandung protamine sulfate, senyawa yang
menyebabkan reaksi hipersensitivitas pada beberapa individu, sehingga
diperlukan perawatan medis yang tepat jika terjadi reaksi anafilaksis.
Vaksin JE tidak boleh diberikan secara intravaskular.
Pemberian sebaiknya ditunda pada pasien dengan penyakit akut derajat
sedang-berat.
8. Pengawasan klinis
Pengawasan klinis vaksin Japanese Encephalitis (JE) perlu
dilakukan terkait kemungkinan adanya reaksi anafilaksis dan sinkop.
Untuk mengawasi reaksi alergi, ada baiknya dilakukan observasi selama
kurang lebih 15 menit setelah pemberian vaksin. Jika terjadi reaksi, maka
harus dilakukan dokumentasi, sehingga pemberian vaksin JE kedepannya
dapat dicegah. Karena ada kemungkinan terjadi anafilaksis, peralatan dan
obat gawat darurat untuk tata laksana anafilaksis harus tersedia.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rotavirus merupakan penyebab sebagian besar penyakit diare pada
bayi dan anak-anak tetapi tidak pada orang dewasa. Masa inkubasinya 1-3
hari. Gejala yang khas meliputi diare, demam, nyeri perut, dan muntah-
muntah diikuti dehidrasi.
Rotavirus tidak dapat di diagnosis secara akurat berdasarkan presentasi
klinis karena gejala dan tanda infeksi rotavirus secara klinis tidak dapat
dibedakan dari etiologi yang lain. Namun sering juga akhirnya diagnosis
rotavirus dibuat berdasarkan klinis dan epidemiologi. Pemeriksaan
laboratorium jarang dikerjakan dalam praktek. Membuat diagnosis spesifik
dari gastroenteritis rotavirus tidak akan mengubah manajemen nya karena
tidak ada terapi spesifik yang tersedia untuk rotavirus. Maka tes tambahan
untuk anak-anak dengan diare akut biasanya tidak diperlukan
Penatalaksanaan diare karena rotavirus bersifat suportif, untuk
mengkoreksi kehilangan cairan dan elektrolit yang dapat menuju pada keadaan
dehidrasi, asidosis, syok dan kematian. Ini dapat dicapai dengan penggantian
cairan dan perbaikan keseimbangan elektrolit baik secara oral atau melalui
cairan intravena. Angka kematian pada anak karena diare yang jarang pada
negara maju karena penggunaan yang rutin terapi pengganti cairan secara
efektif
Vaksin Japanese Encephalitis (JE) adalah vaksin yang bermanfaat
dalam mencegah infeksi virus Japanese Encephalitis (JEV) dengan memicu
sistem imun untuk menghasilkan antibodi terhadap JEV. Infeksi JEV
ditularkan melalui vektor nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang terinfeksi.
Di seluruh dunia, vaksin JE tersedia dalam 4 jenis, antara lain live-
attenuated vaccine, inactivated vero cell-derived vaccine, inactivated mouse
brain-derived vaccine, dan live attenuated chimeric vaccine dengan strain

23
virus Beijing-1 dan SA 14-14-2. Jenis vaksin JE yang tersedia di Indonesia
adalah live attenuated chimeric vaccine.
Cara penggunaan vaksin Japanese Encephalitis (JE) berbeda
tergantung dari jenis vaksinnya. Vaksin inaktif tersedia dalam bentuk sediaan
suspensi dilengkapi pre-filled syringe dan jarum suntik dalam satu kemasan,
sehingga dapat langsung diinjeksi tanpa harus direkonstitusi. Pada anak
berusia <3 tahun, vaksin diinjeksikan pada regio anterolateral paha atas,
sedangkan untuk usia ≥3 tahun injeksi dilakukan di regio deltoid secara
intramuskular (IM).

B. Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui tentang imunisasi rotavirus, dan kami berharap semua pihak dapat
memberi saran kepada kami agar penyusunan makalah kedepannya lebih baik

24
DAFTAR PUSTAKA

Agopsowicz MH, Ladva CN, et al. Global Review of the Age Distribution of
Rotavirus Disease in Children Aged <5 Years Before the Introduction of
Rotavirus Vaccination, Clinical Infectious Diseases, Volume 69, Issue 6,
15 September 2019, Pages 1071–1078, https://doi.org/10.1093/cid/ciz060

Badan POM RI. Vaksin Rotavirus. 2022.


https://pionas.pom.go.id/monografi/vaksin-rotavirus

Burke RM, Tate JE, et al. Global Experience With Rotavirus Vaccines. J Infect
Dis. 2021 Dec 20;224(12 Suppl 2):S792-S800. doi:
10.1093/infdis/jiab399. PMID: 34374426; PMCID: PMC8687052.

Chen HL, Chang JK, Tang RB. Current recommendations for the Japanese
encephalitis vaccine. J Chin Med Assoc. 2015; 78: 271-275.

Climaco AB. Japanese Encephalitis. 2018. https://emedicine.medscape.com/


article/233802-overview

DrugBank Online. Rotavirus vaccine. 2022.


https://go.drugbank.com/drugs/DB10276

Drugs.com. Rotavirus vaccine pregnancy and breastfeeding warnings. 2022.


https://www.drugs.com/pregnancy/rotavirus-vaccine.html

Du, Y., Chen, C., Zhang, X. et al. Global burden and trends of rotavirus infection-
associated deaths from 1990 to 2019: an observational trend study. Virol J
19, 166 (2022). https://doi.org/10.1186/s12985-022-01898-9

Hegde NR, Gore MM. Japanese encephalitis vaccines: Immunogenicity,


protective efficacy, effectiveness, and impact on the burden of disease.
Hum Vaccin Immunother. 2017; 13(6): 1320–1337.

National Center for Biotechnology Information. PubChem Patent Summary for


US-5932223-A, Rotavirus vaccine formulations. November 2022.
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/patent/US-5932223-A.

WHO. Japanese Encephalitis. 2019.


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/japanese-encephalitis

25

Anda mungkin juga menyukai