Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

Pielonefritis Akut

Disusun oleh :
dr. Dearni Anggita Krismayani Purba

Pembimbing :
dr. Dwi Lestari Wahyuni

UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA


KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN RI
RIAU
2021-2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan program dokter internsip
UPT Puskesmas Tembilahan Kota
Komite Internsip Dokter Indonesia dengan judul:
Pielonefritis Akut

Hari, tanggal : Agustus 2022

Oleh:

dr. Dearni Anggita Krismayani Purba

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing

dr. Dwi Lestari Wahyuni

NIP: 19860126 201102 2 001

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Pielonefritis Akut” ini. Adapun selain untuk memperluas pengetahuan
dan pemahaman penulis mengenai Pielonefritis Akut, laporan kasus ini ditulis
sebagai salah satu syarat refleksi kasus Program Dokter Internsip periode IV
tahun 2021-2022 di UPT Puskesmas Tembilahan Kota, Indragiri Hilir, Riau. Pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Dwi Lestari
Wahyuni selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam proses
penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan laporan kasus ini dapat
memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari isi maupun susunan bahasanya. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam penulisan
selanjutnya.

Tembilahan, Agustus 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................i


KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS ...........................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
2.1 Definisi dan Epidemiologi................................................................
2.2 Klasifikasi..........................................................................................
2.3 Etiologi..............................................................................................
2.4 Faktor risiko......................................................................................
2.5 Patogenesis........................................................................................
2.6 Diagnosis...........................................................................................
2.7 Tatalaksana........................................................................................
BAB III KESIMPULAN................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran kemih merupakan istilah kolektif untuk menjelaskan


infeksi yang terjadi pada bagian dari organ sistem perkemihan. ISK sendiri dapat
terbagi sesuai dengan letak anatomis organ yang terkena menjadi ISK atas jika
mengenai ginjal dan ureter, sementara jika terkena kandung kemih dan urethra
digolongkan kepada ISK bawah (Tan & Chlebicki, 2016).
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit akibat infeksi
mikroba yang paling umum ditemui dalam praktik medis yang dapat diderita
semua orang dari segala umur. Di seluruh dunia, prevalensi infeksi saluran kemih
diperkirakan mencapai 150 juta orang per tahun (Sewify dkk., 2016). Wanita
secara signifikan lebih rentan terkena infeksi saluran kemih dibandingkan pria.
Setidaknya
81% dari semua kasus ISK yang dilaporkan terjadi pada wanita (Salvatore
dkk., 2011) Hampir 1 dari 3 wanita akan mengalami setidaknya satu kali episode
ISK yang membutuhkan terapi antibiotik pada umur 24 tahun dan hampir separuh
dari semua wanita akan mengalami ISK setidaknya sekali dalam seumur hidup
(Foxman, 2002). ISK sangat umum terjadi pada semua jenis kelamin. Sekitar
40% wanita dan 12% laki-laki mengalami infeksi saluran kemih setidaknya sekali
seumur hidup (VR dkk., 2019). ISK juga merupakan penyakit yang tersebar luas
dengan prevalensi seumur hidupnya sebesar 37% dan risiko terjadinya ISK
berulang sangat tinggi sebagaimana mayoritas wanita (79%) dilaporkan
mengalami lebih dari sekali episode infeksi (Bleidorn dkk., 2016)
ISK merupakan penyebab morbiditas yang signifikan pada bayi laki-laki,
lansia dan wanita dengan segala umur. Sekuele serius dari ISK termasuk
rekurensi yang sering, pyelonefiritis dengan sepsis, kerusakan ginjal pada anak-
anak, kelahiran prematur dan komplikasi yang diakibatkan oleh penggunaan
antimikroba
yang terlalu sering seperti resistensi bakteri dan kolitis akibat infeksi
Clostridium difficile (Flores-Mireles dkk., 2015). Berdasar suatu telaah

1
sistematis yang dilakukan oleh Bermingham dan Ashe (2012) ditemukan bahwa
kejadian ISK sangat berhubungan dengan kualitas hidup penderita terutama pada
kasus kegagalan pengobatan ISK. Termasuk juga keadaan kesehatan, vitalitas dan
skor domain kesehatan mental yang memburuk didapati pada pasien dengan
diagnosis ISK.
Berdasarkan data statistik, pada masa neonatus infeksi saluran kemih
lebih banyak terdapat pada bayi laki-laki (2,7%) yang tidak menjalani sirkumsisi
dari pada bayi perempuan (0,7%). Data juga menunjukkan bahwa penambahan
usia memberikan gambaran perbandingan prevalensi yang berubah yaitu pada
masa anak-anak prevalensi terbalik dengan ditemukannya angka kejadian sebesar
3% pada anak perempuan dan 1% pada anak laki-laki. Insiden infeksi saluran
kemih ini pada usia remaja anak perempuan meningkat 3,3% sampai 5,8%
(Purnomo, 2009). Di Indonesia sendiri berdasarkan perkiraan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia jumlah penderita infeksi saluran kemih
mencapai 90-100 kasus per
100.000 penduduk pertahunnya atau sekitar 180.000 kasus baru pertahun
(Survei Demografi dan Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh VR dkk (2019) mengenai prevalensi
terjadinya infeksi saluran kemih di India bagian selatan menunjukkan terjadinya
infeksi saluran kemih sebesar 12,83% pada laki-laki dan 11,77% pada wanita
untuk sampel dengan rentang umur 10-20 tahun serta 6,09% pada laki-laki dan
17,13% untuk sampel dengan rentang umur 20-30 tahun. Di Amerika infeksi
saluran kemih simtomatik terjadi paling sering pada perempuan 15-29 tahun yaitu
dengan frekuensi sebesar 20%. Perkiraan insidensi terjadinya infeksi saluran
kemih pertahunnya pada populasi dengan rentang umur 18 tahun ke atas adalah
12,6% pada perempuan dan 3% pada laki-laki (Foxman, 2010).Ada setidaknya
250.000 kasus pyelonefritis di Amerika pertahunnya dan cenderung terjadi pada
perempuan. Insidensi pyelonephritis pada wanita berumur 18-49 tahun
diperkirakan terjadi pada
28 dari 10.000 orang pada populasi dimana 7% butuh perawatan di rumah sakit.
Di Amerika, lebih dari 100.000 pasien dirawat di rumah sakit dengan diagnosis
infeksi saluran kemih dengan mayoritas kasus pyelonefritis. Insidensi perawatan

2
di rumah sakit untuk kasus pyelonefritis terjadi pada 11,7 dari 10.000 wanita
dan 2,4 dari 10.000 laki-laki (Öztürk & Murt, 2020).
Namun data yang menunjukkan prevalensi kejadian infeksi saluran kemih
di Indonesia masih sangat terbatas padahal infeksi saluran kemih sendiri menurut
National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse (NKUDIC)
ada di peringkat kedua sebagai penyakit infeksi tersering setelah infeksi saluran
pernafasan atas (NIDDK, 2011). Hal ini dirasa sangat penting oleh penulis
sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait
prevalensi
infeksi saluran kemih.

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan tulisan ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, faktor risiko, etiologi,
diagnosis, dan tatalaksana pielonefritis akut.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya mengenai pielonefritis akut

3
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SH
Umur : 44 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 62 kg
TB : 150 cm
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Handayani, Tembilahan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 27 Juli 2022 pukul 09.30 WIB

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri pada pinggang
Telaah :
- Pasien datang ke UPT Puskesmas Tembilahan Kota dengan keluhan utama
Nyeri pada pinggang kanan sejak kurang lebih 1 minggu sebelum masuk
puskesmas. Awalnya nyeri pada pinggang dijumpai hilang timbul namun
dalam 2 hari terakhir dirasakan terus menerus hingga mengganggu aktivitas
pasien. Demam dialami pasien sejak 2 hari yang lalu hilang timbul dengan
suhu tertinggi tidak diketahui pasien. Badan meriang dan tubuh terasa nyeri
juga dikeluhkan oleh pasien.
- Nyeri Buang Air Kecil dan BAK panas dialami pasien sejak 2 minggu yang
lalu namun saat ini mengaku sudah sedikit berkurang. Akibat rasa nyeri
tersebut, pasien mengaku sering menahan Buang Air kecilnya. Perasaan
anyang-anyangan dijumpai. BAK berdarah, BAK tersendat dan BAK berpasir
disangkal pasien. Keluhan Buang Air Besar disangkal oleh pasien.

4
- Keputihan, Kontrasepsi, Riwayat Kebiasaan
Riwayat Penyakit Terdahulu : HT (-), DM (-)
Riwayat Pemakaian Obat : Paracetamol (07.00 WIB)
Riwayat Penyakit Keluarga :-

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum Vital Sign

 Keadaan umum : Baik  Kesadaran: Compos Mentis

 Kesan Sakit : Sedang  TD : 124/73 mmHg

 Gizi:  RR : 20x/min

o Berat Badan : 62 kg  Nadi : 110x/min

o Tinggi Badan : 1.50 m  T : 38,0 ˚C

o IMT  SpO2 : 98% :


27,5 kg/m2 (Normal : 18,5-22,9)

Pemeriksaan Sistem
 Kepala : Mesocephal
 Mata : Isokor, Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
 Telinga : sekret (-)
 Hidung : kering, discharge (-) hiperemis (-), nafas cuping hidung (-)
 Leher : JVP 5 + 2 cm H2O, pembesaran kelenjar getah bening (-),
penggunaan otot bantu nafas (-)
 Rongga mulut: Sianosis (-), Mukosa basah
 Tenggorokan : faring hiperemi (-), T1-T1
 Paru
Inspeksi : Normochest, simetris (+), ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), fremitus taktil kanan dan kiri teraba sama
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi: suara dasar vesikular (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tak kuat angkat

5
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: S1-S2 reguler, bising (-), gallop (-)
 Abdomen
Ins : Simetris, Distensi (-)
Pal : Soepel, Hepar dan Spleen tidak teraba
Aus : Bising usus (+), normal 10x/menit
Per : Timpani (+)
 Status Genitourinaria
o Pemeriksaan Regio Costo-vertebralis
 Inspeksi : Tanda radang (-), Luka (-), Benjolan (-)
 Palpasi : Ballotemen (-/-), Nyeri saat palpasi (-/-)
 Perkusi : Ketok Costovertebra Angle (+/-), pekak (+)
 Auskultasi : Bruit (-)
o Pemeriksaan suprapubik
 Inspeksi : Bulging (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (+), Bulging (-)
 Perkusi : pekak (-)
o Pemeriksaan Genitalia Wanita : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”
Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
Pucat (-/-) Pucat (-/-)
Atrofi (-) Atrofi (-)
Radang Sendi (-) Radang Sendi (-)
Edema (-) Edema (-)
Clubbing finger(-) Clubbing finger(-)
RoM bebas terbatas RoM bebas terbatas

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Nilai rujukan
KIMIA KLINIK
Asam Urat 5,2 Lk 3-7,2mg/dl | Pr 2-6mg/dl
Cholesterol Total 163 <200mg/dl
URIN RUTIN
Leukosit 2+ ( 125 Leu/µL ) Negatif

6
Nitrit + Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Protein 3+ ( 3g/L ) Negatif
pH 5,0 5,0
Blood 2+ (80 sel/µL ) Negatif
SG 1.030 1.000
Keton 1+ (1,5 mmol/L) Negatif
Bilirubin 3+ (70 µmol/L ) Negatif
Glukosa ± ( 5mmol/L ) Negatif
VC - Negatif

DIAGNOSIS
Pielonefritis Akut

PENATALAKSANAAN
- Ciprofloxacin 2x500mg
- Paracetamol 3x500mg
- Bionicom 1x1
- Edukasi :
o Cuci vagina dari depan ke belakang
o Cuci vagina dengan air yang bersih
o Jaga higienitas
o Hindari pemakaian sabun cuci vagina dan kontrasepsi spermatisida
o Banyak minum air putih

PROGNOSIS
- Ad vitam : Ad Bonam
- Ad fungtionam : Ad Bonam
- Ad Sanationam : Ad Bonam
-

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
variasi dari keadaan klinis yang diakibatkan oleh infeksi lokal pada kandung
kemih dengan gejala saluran kemih bawah hingga pielonefritis dengan infeksi
berat pada ginjal dan berpotensi menghasilkan keadaan urosepsis. (McAninch &
Lue, 2020). Dalam keadaan normal, bakteri yang masuk ke saluran kemih akan
secara cepat dibuang dari tubuh sebelum invasinya menimbulkan gejala. Namun,
terkadang imunitas alamiah tubuh tidak dapat melawan bakteri dan kemudian
menyebabkan terjadinya infeksi (NIDDK, 2011).

Gambar. 2.1 Anatomi Saluran Kemih


Manusia

ISK diperkirakan mencapai lebih dari 7 juta kunjungan per tahun, dengan
biaya lebih dari $ 1 miliar. Di Indonesia, ISK merupakan penyakit yang relatif
sering pada semua usia mulai dari bayi sampai orang tua. Semakin
bertambahnya usia, insidensi ISK lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki karena uretra wanita lebih pendek dibandingkan laki-laki
(Sudoyo, 2014; Purnomo, 2014). National Kidney and Urology Disease
Information Clearinghouse (NKUDIC) juga mengungkapkan bahwa meskipun
pria jarang terkena ISK, namun lebih berisiko terkena ISK komplikata (NKUDIC,

8
2012). ISK pada laki – laki biasanya dikarenakan diakibatkan kelainan anatomi,
batu saluran kemih atau penyumbatan pada saluran kemih (Sudoyo dkk, 2014).

2.2 Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih

Melalui panduan yang diterbitkan European Association of Urology (2019),


infeksi saluran kemih dibagi menjadi 5 macam klasifikasi, yaitu:

a. Infeksi saluran kemih non-komplikata (uncomplicated)


ISK non-komplikata dapat berupa infeksi akut, sporadik maupun rekuren yang
terjadi pada saluran kemih bawah (sistitis non-komplikata) dan/atau saluran
kemih bagian atas (pielonefritis non-komplikata). ISK non-komplikata terbatas
pada pasien yang tidak hamil tanpa abnormalitas struktural dan fungsional pada
saluran kemih yang dapat berhubungan sebagai kausa ISK dan juga tidak disertai
dengan komorbiditas lainnya.

b. Infeksi saluran kemih komplikata (complicated)


ISK komplikata didefinisikan sebagai semua kasus ISK yang tidak termasuk
dalam kriteria ISK non komplikata. Dalam arti yang lebih sempit dapat
didefinisikan sebagai kasus ISK yang berhubungan dengan keadaan tertentu,
seperti ISK pada laki-laki atau ibu hamil, pasien dengan abnormalitas struktural
dan fungsional pada saluran kemih yang dapat berhubungan sebagai kausa ISK,
pasien yang menggunakan kateter, disertai penyakit ginjal dengan/tanpa penyakit
komorbid lain yang menekan sistem imun seperti diabetes mellitus.

c. Infeksi saluran kemih berulang (recurrent)


ISK rekuren adalah kasus ISK non-komplikata atau komplikata yang berulang
dengan frekuensi setidaknya 3 kali periode ISK dalam satu tahun atau 2 kali
periode ISK dalam 6 bulan terakhir.

d. Infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan penggunaan kateter urin


ISK yang berhubungan dengan penggunaan kateter urin merujuk kepada kasus
ISK yang terjadi pada pasien yang sedang menggunakan kateter atau pernah
menggunakan kateter dalam waktu 48 jam terakhir.

9
e. Urosepsis
Urosepsis merupakan keadaan dimana terjadinya disfungsi organ yang
mengancam nyawa. Keadaan tersebut diakibatkan oleh disregulasi respon
penjamu terhadap infeksi yang berasal dari saluran kemih.

2.3 Etiologi Infeksi Saluran Kemih

Pada kasus Infeksi Saluran Kemih yang didapat dari komunitas, E. coli menjadi
bakteri patogen penyebab ISK paling umum oleh karena E. coli merupakan flora
normal pada saluran cerna manusia sehingga sangat mudah berkolonisasi pada
saluran kemih. Beberapa studi menunjukkan persentase uropatogen yang
terlibat sebagai penyebab ISK yang terjadi pada komunitas yaitu E. coli sebanyak
46,4%-74,2% kasus, Klebsiella spp dengan 6.0%-13,45% kasus, Enterococcus
spp pada 5,3%-9,54% dan Proteus spp dengan 4,7%-11,9% kasus (Kaur dkk.,
2020).
Pada kasus ISK nosokomial dapat diakibatkan oleh infeksi bakteri yang
lebih beragam seperti Pseudomonas dan Staphylococcus spp. Staphylococcus
saprophyticus yang sering menjadi kontaminan urin dan dapat juga
mengakibatkan ISK non-komplikata pada remaja wanita. Pada anak-anak,
spektrum bakteri penyebab kasus ISK sedikit berbeda namun disertai juga dengan
E. coli sebagai penyebab utama. Enterobacter, Enterococcus, dan Klebsiella dapat
menyebabkan ISK pada anak-anak (McAninch & Lue, 2020).

Gambar 2.1 Etiologi dan Faktor Risiko ISK (Flores-Mireles dkk., 2015).

10
2.4 Faktor Risiko Infeksi Saluran Kemih

Faktor risiko infeksi saluran kemih dapat berupa faktor perilaku, faktor
anatomis dan faktor genetik alamiah yang bervariasi pada populasi dan bentuk
ISK tertentu. Kondisi yang transien seperti kehamilan dapat mengakibatkan
terjadinya ISK atau meningkatkan komplikasi serius dari infeksi. Beberapa
kondisi yang permanen seperti kasus disfungsi kandung kemih neurogenik oleh
akibat trauma medulla spinalis dapat meningkatkan risiko ISK. Tindakan seperti
menjaga higienitas atau menghindari kateterisasi sebisa mungkin dapat
mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, sementara untuk faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi disarankan untuk menggunakan terapi
profilaksis (Storme dkk., 2019).
Kaur dkk. (2020) menjelaskan ada beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko kejadian ISK khususnya pada wanita, yaitu :

a. Faktor perilaku

Faktor perilaku adalah faktor paling kuat yang dapat mengakibatkan ISK
pada wanita, termasuk meningkatkan risiko rekurensi ISK. Frekuensi koitus
menjadi salah satu perilaku yang dapat menjadi faktor penting sebagai pencetus
ISK. Ada hubungan yang proprosional antara frekuensi koitus dalam 7 hari
terakhir dengan indeks risiko relatif untuk mengalami ISK. Perilaku setelah koitus
seperti menggunakan spermisida juga memainkan peran penting dalam terjadinya
ISK. Penggunaan spermisida akan mempengaruhi flora normal yang ada pada
vagina yang dapat mengakibatkan kolonisasi pathogen periutetra.
Untuk perilaku yang berhubungan dengan higienitas menunjukkan hasil
yang variatif. Vyas dkk.(2015) dalam studinya menyebutkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara ISK dengan higienitas perineal. Studi
tersebut menyimpulkan bahwa teknik yang salah saat membersihkan daerah
perineal, bahan dasar pakaian dalam yang dipakai, higienitas selama
menstruasi dan penggunaan pembalut yang tidak tepat akan meningkatkan risiko
mengalami ISK. Berdasarkan randomized clinical trial yang dilakukan oleh
Hooton dkk. (2018) terdapat penurunan pada frekuensi terjadinya rekurensi

11
sistitis pada wanita yang konsumsi air minum hariannya ditingkatkan dengan
penurunan sebanyak 50% angka rekurensi dan hampir menyamai angka
penurunan risiko rekurensi pada penggunaan regimen antimikroba. Lestari dkk.
(2014) mengatakan bahwa kebiasaan menahan kemih dan berkemih tidak
sempurna dapat meningkatkan kejadian ISK oleh karena sejatinya pada proses
berkemih terjadinya pembilasan mikroorganisme yang terdapat pada saluran
kemih.

b. Faktor genetik

Beberapa studi sudah mengkonfirmasi adanya pengaruh profil genetik terhadap


kecenderungan mengidap ISK. Perempuan yang mengalami ISK berulang
seringkali mempunyai riwayat ISK dalam keluargnnya. Hasil studi Schaeffer dkk.
(1982) juga menunjukkan wanita dengan ISK berulang menunjukkan daya ikat
(binding receptivity) terhadap bakteri E. coli yang meningkat. Hal ini diuji tidak
hanya dari mukosa vagina dan uretra namun juga dari mukosa pipi, yang mungkin
diakibatkan oleh kelainan genetik pada mukosa. Pada sebuah studi oleh Scholes
dkk. (2015) juga menunjukkan riwayat ISK pada saudara wanita berhubungan
erat secara konsisten dengan terjadinya rekurensi dari ISK dan pielonefritis.
Peningkatan risiko dengan adanya riwayat keluarga mengindikasikan bahwa
faktor genetik bertanggungjawab pada meningkatnya kerentanan terhadap infeksi
ini.

c. Faktor usia

Faktor terkait usia yang paling signifikan adalah berhubungan dengan kadar
estrogen pada wanita. Proliferasi Lactobacillus dan keadaan pH vagina yang
cenderung asam menjadi agen pertahanan tubuh paling kuat yang dapat menekan
kolonisasi organisme patogen. Namun, ketika sudah memasuki fase menopause
level estrogen akan semakin menurun yang akhirnya mengakibatkan perubahan
flora normal pada vagina dari dominasi Lactobacillus menjadi E. coli atau
Enterobacteriaceae lainnya yang selanjutnya meningkatkan kerentanan infeksi
saluran kemih.

12
Studi oleh Arinzon dkk. (2012) yang diujikan kepada wanita
pramenstruasi dan pascamenstruasi menunjukkan bahwa keadaan klinis pada
wanita pascamenstruasi lebih berat dibandingkan pada wanita premenstruasi.
Ditemukan juga bahwa gejala-gejala yang timbul pada wanita pramenstruasi
bersifat lokal, sementara pada wanita pascamenstruasi gejala yang timbul
cenderung tidak spesifik dan gejala penyimpanan (storage symptoms).

d. Faktor yang terkait kehamilan

Kehamilan menjdi salah satu faktor risiko independen pada kejadian infeksi pada
saluran kemih. Penting diketahui bahwa risiko terjadinya ISK pada wanita hamil
dan wanita yang tidak hamil pada usia subur sebenarnya sama, namun
perubahan faktor psikologis yang diakibatkan oleh kehamilan yang meningkatkan
risiko terjadinya ISK pada wanita hamil. Risiko terjadinya ISK pada wanita hamil
makin meningkat pada kehamilan dengn usia tua, status sosioekonomi rendah,
abnormalitas struktural dari saluran kemih, diabates dan anemia sel sabit.
Kejadian ISK sangat umum dijumpai pada wanita yang sedang hamil
dengan presentasi klinis yang bervariasi, namun yang paling dikhawatirkan
adalah ISK yang asimtomatik. Di seluruh dunia ada sebanyak 2-10% dari kasus
ISK asimtomatik dilaporkan terjadi pada wanita hamil. Ada beberapa morbiditas
yang dihubungkan dengan ISK atas pada kehamilan yaitu berat badan lahir
rendah, prematuritas, persalinan caesar dan preeklamsia.

e. Riwayat intervensi medis pada saluran kemih

Kateterisasi jangka pendek (clean intermittent catheterisation) dan kateterisasi


uretral dengan indwelling urinary catheter dihubungkan dengan tingginya
kejadian ISK di rumah sakit dengan perkiraan prevalensi 1-10% serta
menggambarkan 30-40% dari keseluruhan kasus infeksi nosokomial. Adanya
prosedur pembedahan pada saluran kemih dapat menjadi faktor pencetus ISK
pada semua individu, sehingga perlu juga digali terutama pada laki-laki dengan
keluhan saluran kemih.

f. Faktor komorbid

13
Ada beberapa penyakit komorbid yang dapat meningkatkan risiko seseorang
terkena ISK, termasuk penyakit disfungsi uretra seperti kondisi dengan tekanan
intravesika yang tinggi atau refluks vesiko ureter, serta penyakit yang
mengakibakan imunodefisiensi seperti diabetes mellitus. Pasien yang menerima
transplantasi ginjal juga dihubungkan dengan peningkatan terhadap kejadian ISK
oleh karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Florian dkk., 2020). ISK
sangat umum ditemukan pada pasien dengan tekanan darah yang tinggi. Pasien-
pasien hipertensi rata-rata mengalami tiga kali kasus ISK per tahunnya.
Pengendalian tekanan darah sangat penting untuk menghindari komplikasi dan
juga untuk mengidentifikasi kelompok dengan risiko tinggi (Saleh dkk., 2017).

2.5 Patogenesis Infeksi Saluran Kemih


Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui 4 cara, yaitu :
a. Hematogen
Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya
tahantubuh yang rendah, karena menderita sesuatu penyakit kronis, atau pada
pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen
bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat lain, misalnya infeksi S.
aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi di
tulang, kulit, endotel, atau tempat lain. M. Tuberculosis, Salmonella,
pseudomonas, Candida, dan Proteus sp termasuk jenis bakteri/ jamur yang dapat
menyebar secara hematogen. Walaupun jarang terjadi, penyebaran hematogen
ini dapat mengakibatkan infeksi ginjal yang berat, misal infeksi Staphylococcus
dapat menimbulkan abses pada ginjal.
b. Infeksi Ascending
Infeksi secara ascending (naik) dapat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu : (1)
Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina; (2)
Masuknya mikroorganisme ke dalam buli-buli; (3) Multiplikasi dan
penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih; (4) Naiknya
mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal.

14
Gambar 1. Masuknya kuman secara ascending ke dalam saluran kemih. (1) kolonisasi kuman di
sekitar uretra, (2) masuknya kumen melaui uretra ke buli-buli, (3) penempelan kuman pada
dinding buli- buli, (4) masuknya kumen melaui ureter ke ginjal.
Terjadinya infeksi saluran kemih karena adanya gangguan keseimbangan
antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent dan epitel
saluran kemih sebagai host. Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh karena
pertahanan tubuh dari host yang menurun atau karena virulensi agent yang
meningkat.
a. Faktor host
Kemampuan host untuk menahan mikroorganisme masuk ke dalam saluran
kemih disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
- Pertahanan lokal dari host
- Peranan sistem kekebalan tubuh yang terdiri dari imunitas selular
dan humoral.
Tabel 2. Pertahanan lokal terhadap infeksi.
No Pertahanan lokal tubuh terhadap infeksi
1. Mekanisme pengosongan urin yang teratur dari buli-buli dan gerakan
peristaltik ureter (wash out mechanism)
2. Derajat keasaman (pH) urin
3. Osmolaritas urin yang cukup tinggi
4. Estrogen pada wanita usia produktif
5. Panjang uretra pada pria
6. Adanya zat antibacterial pada kelenjar prostat atau PAF (Prostatic
Antibacterial Factor) yang terdiri dari unsur Zn uromukoid (protein
tamn-Horsfall) yang menghambat penempelan bakteri pada urotelium

15
Pertahanan lokal sistem saluran kemih yang paling baik adalah mekanisme
wash out urin, yaitu aliran urin yang mampu membersihkan kuman-kuman yang
ada di dalam urin. Gangguan dari sistem ini akan mengakibatkan kuman mudah
sekali untuk bereplikasi dan menempel pada urotelium. Oleh karena itu
kebiasaan jarang minum dan gagal ginjal menghasilkan urin yang tidak adekuat,
sehingga memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih. Keadaan lain yang
dapat mempengaruhi aliran urin dan menghalangi mekanisme wash out adalah
adanya Stagnansi atau stasis urin (miksi yang tidak teratur atau sering
menahan kencing, obstruksi saluran kemih, adanya kantong-kantong pada
saluran kemih yang tidak dapat mengalir dengan baik misalnya pada divertikula,
adanya dilatasi atau refluk sistem urinaria, dan didapatkannya benda asing di
dalam saluran kemih yang dipakai sebagai tempat persembunyian kuman.
b. Faktor agent
(mikroorganisme)
Bakteri dilengkapi dengan pili atau fimbriae yang terdapat di permukaannya. Pili
berfungsi untuk menempel pada urotelium melalui reseptor yang ada
dipermukaan urotelium. Ditinjau dari jenis pilinya terdapat 2 jenis bakteri yang
mempunyai virulensi berbeda, yaitu : (1) Tipe pili 1, banyak menimbulkan
infeksi pada sistitis;
(2) Tipe pili P, yang sering menimbulkan infeksi berat pielonefritis akut.
Selain itu beberapa bakteri mempunyai sifat dapat membentuk antigen,

menghasilkan toksin (hemolisin), dan menghasilkan enzim urease yang dapat


merubah suasana urin menjadi basa.

2.6 Manifestasi dan Diagnosis Infeksi Saluran Kemih

2.6.1 Manifestasi Klinis

ISK bagian bawah biasanya ditandai dengan adanya nyeri ketika


berkemih
dengan atau tanpa peningkatan frekuensi berkemih, nyeri pada regio
suprapubik atau disertai dengan hematuria makroskopik. Sementara ISK bagian
atas umumnya ditandai dengan demam (>37,7°C), nyeri pada pinggang yang
bersifat tumpul (flank pain), malaise, mual muntah, nyeri tekan pada sudut

16
kostovertebra dengan atau tanpa disertai gejala ISK bagian bawah. Gejala demam
tidak umum dijumpai pada ISK bagian bawah dan umumnya dihubungkan
dengan ISK yang sudah berkomplikasi.
Namun semua gejala tersebut bukanlah indikator yang dapat
mengkonfirmasi bahwa seseorang mengalami ISK. Setidaknya hanya 50-50
kesempatan seseorang menunjukkan gejala-gejala tersebut ketika mengalami
infeksi terutama pada pelayanan kesehatan primer. Secara umum, gejala dan
tanda yang dapat dijumpai pada pasien ISK adalah demam, rasa gatal, rasa
seperti terbakar, terbentuk lepuh pada kemaluan, nyeri pada regio suprapubik dan
pyuria (adanya pus pada urin). Infeksi yang simtomatik akan menunjukkan
adanya inflamasi dan jumlah hitung sel darah putih >8 sel/ml dalam urin. Urin
juga dapat tampak berwarna keruh akibat sel darah putih yang mati dan
membentuk pus pada urin. Selain itu gejala-gejala tersebut juga dapat disertai
dengan peningkatan frekuensi berkemih dan urgensi urin (keinginan yang
mendesak untuk segera berkemih), sensasi terbakar ketika berkemih, nyeri pada
abdomen bawah bahkan ketika berkemih dengan sedikit urin, hematuria yang bisa
disertai dengan perubahan bau urin (Kaur dkk., 2020).
Berdasar studi yang dilakukan oleh Mandokhail dkk (2015) menunjukkan
bahwa ISK simtomatik lebih sering terjadi dibandingkan ISK asimtomatik.
Sebuah telaah menjelaskan bahwa 5 gejala secara signifikan dapat
memprediksikan diagnosis dari ISK (yang dikonfirmasi melalui kultur urin), yaitu
disuria, peningkatan frekuensi berkemih, hematuria, nokturia dan urgensi urin.
Hematuria merupakan gejala yang paling berguna sebagai simtom inklusi dari
ISK. Sementara tidak adanya disuria, peningkatan frekuensi berkemih dan
urgensi urin merupakan gejala yang paling berguna sebagai simtom eksklusi dari
ISK. Pada populasi wanita secara umum, gejala diagnostik yang paling banyak
dijumpai adalah peningkatan frekuensi berkemih, disuria, urgensi urin serta ada
atau tidaknya duh tubuh (Chu &
Lowder,
2018).

2.6.2 Penegakan Diagnosis

17
Pemeriksaan radiologis pada ISK dimaksudkan untuk mengetahui adanya batu
atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi ISK. Pemeriksaan ini
dapat berupa foto polos abdomen, pielonegrafi intravena, demikian pula dengan
pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi dan CTScan. Analisis laboratorium
untuk penegakan diagnosis ISK mencakup tiga hal termasuk urinalisis
menggunakan tes batang celup (dipstick), urinalisis mikroskopik dan
kultur urin. Pada pemeriksaan darah umumnya dijumpai adanya parameter infeksi
seperti leukositosis.

a. Urinalisis dengan tes batang celup (dipstick)


Pemeriksaan urin biasanya dimulai dengan tes batang celup (dipstick) yang
mudah didapat dan tidak membutuhkan waktu lama untuk menginterpretasi
hasilnya. Tipe dipstick yang umum adalah yang bisa menganalisis beberapa
komponen urin termasuk leukosit esterase, nitrit dan eritrosit. Leukosit esterase
terkandung di dalam sel darah putih (leukosit), yang kadarnya pada urin akan
meningkat ketika ada infeksi yang terjadi. Batang celup urin lumayan sensitif
terhadap kadar leukosit esterase pada urin dan akan menunjukkan hasil positif
pada kadar >5-15 sel/LPB. Nitrit juga merupakan indikator akan adanya bakteri
sebagaimana beberapa uropatogen mengandung enzim yang dapat mengubah
nitrat menjadi nitrit. Batang celup urin mampu mendeteksi nitrit ketika kadar
bakteri dengan jumlah >105 CFU/mL. Batang celup urin mampu memberi hasil
positif hematuria walau hanya dengan kadar >1-4 sel darah merah/LPB. Walau
hematuria sering dihubungkan dengan kelainan lainnya, namun jika disertai
dengan gejala-gejala ISK atau hasil positif pada tes nitrit dan leukosit esterase hal
tersebut dapat meningkatkan kemungkinan ISK. Beberapa kondisi dapat
mempengaruhi interpretasi hasil tes batang celup. Uropatogen seperti
Enterococcus dan Staphylococcus saprophyticus tidak dapat mereduksi nitrat
sehingga bisa memberi hasil negatif palsu. Urin yang terlalu larut dapat
mengakibatkan sel menjadi lisis sehingga meningkatkan risiko untuk hasil negatif
palsu. Kemudian, batang celup urin juga tidak bisa membedakan antara
hemoglobin dan mioglobin, sehingga hematuria yang positif harus
dikonfirmasi kembali dengan pemeriksaan urinalisis mikroskopik (Chu &
Lowder, 2018).

18
b. Urinalisis mikroskopik
Urinalisis mikroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya
manual atau otomatis. Keadaan pyuria yang ditandai dengan kadar leukosit urin
sebanyak >5-10 leukosit/LPB atau keadaan bakteruria yang ditandai dengan
kadar bakteri pada urin berjumlah ≥15 bakteri/LPB dapat berguna untuk
mendiagnosis ISK. Terkadang hematuria dengan adanya bakteriuria atau pyuria
juga dapat mengindikasikan ISK. Adanya sel-sel epitel skuamosa juga dapat
terkadang mengindikasikan kontaminasi. Sementara adanya silinder leukosit
(white blood cell cast) dapat mengindikasi infeksi atau inflamasi pada saluran
kemih bagian atas. Pyuria dan bakteriuria dapat berguna sebagai indikator
infeksi, namun sensitivitas dan spesifitasnya bervariasi. Bakteriuria yang tidak
disertai dengan pyuria dapat menandakan kolonisasi atau kontaminasi
dibandingkan infeksi yang sedang aktif. Namun, bakteriuria secara konsisten
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan pyuria
sehingga lebih akurat untuk mendiagnosis ISK (Chu & Lowder, 2018).

c. Kultur urin
Kultur urin menjadi pemeriksaan baku emas (gold standard) untuk
menegakkan diagnosis ISK. Spesimen urin yang digunakan untuk kultur
merupakan urin porsi tengah yang diambil secara bersih (clean catch of
midstream urine). Namun, terkadang spesimen juga diambil melelalui kateter
urin. Walaupun dengan bukti yang terbatas, urin porsi tengah dikatakan sama
akuratnya dengan urin yang berasal dari kateter untuk diagnosis ISK. Kultur urin
merupakan metode tertua untuk mendeteksi mikroorganisme. Kultur urin yang
rutin dilakukan menggunakan teknik sengkelit terkalibrasi untuk metode
semikuantitatif (Chu & Lowder, 2018).
Definisi konvensional dari bakteriuria signifikan adalah 105 CFU/ml, namun
standar ini sering dijumpai sebagai negatif palsu (sensitivitas 90%, spesifisitas 50-
70%). Sebuah studi menunjukkan 30-50% dari wanita yang mengalami ISK
simtomatik disertai hasil kultur yang rendah dari standar, yaitu sekitar 102
CFU/ml. Jumlah kadar hitung bakteri yang rendah juga dapat ditemukan jika
pasien sudah minum antibiotik sebelumnya. Selain itu, hal tersebut juga
mungkin terjadi pada infeksi patogen-patogen seperti Pseudomonas,

19
Klebsiella, Enterobacter, Serratia dan Moraxella. Informasi yang paling penting
yang bisa didapat dari hasil kultur adalah untuk konfirmasi dari bakteri penyebab
dan sensitivitasnya terhadap antimikroba. Patogen penyebab ISK paling umum
yaitu E. coli menjadi isolat paling sering terlihat pada kultur yaitu sebanyak 70%
(Chu & Lowder, 2018).
Analisis sampel urin dengan tes batang celup dapat menjadi alternatif
terhadap kultur urin untuk mendiagnosis sistitis non-komplikata akut. Kultur urin
direkomendasikan pada pasien dengan faktor risiko untuk ISK komplikata dan
pada situasi berikut: kecurigaan terhadap pielonefritis akut; gejala yang tidak
pulih dalam 2 hingga 4 minggu setelah pengobatan selesai; wanita yang disertai
dengan simtom atipikal; wanita hamil; dan pasien laki-laki dengan kecurigaan
menderita ISK (Tan & Chlebicki, 2016).

Gambar 2.3 Pengambilan sampel urin porsi tengah pada wanita


Sumber: https://nursekey.com/3-urinalysis/

Gambar 2.4 Pengambilan urin porsi tengah pada


pria
Sumber: https://nursekey.com/3-urinalysis/

2.7 Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih

20
Tujuan penatalaksanaan pada kasus ISK selain untuk melenyapkan organisme
yang menyebabkan infeksi, juga mencegah atau mengobati konsekuensi sistemik
infeksi, dan mencegah terulangnya infeksi. Pemilihan agen antimikroba pada
terapi ISK didasarkan pada tingkat keparahan yang ditunjukkan oleh tanda dan
gejala, letak infeksi, dan penggolongan infeksi termasuk dalam ISK komplikata
atau ISK non komplikata. (Dipiro et al, 2015).
Pada terapi ISK pilihan antibiotik untuk terapi sebaiknya dengan panduan
pola resistensi kuman dan uji sensitivitas antibiotik di rumah sakit atau klinik
setempat, tolerabilitas obat dan reaksi negatif, efek ekologi negatif, biaya, dan
ketersediaan obat. Lama pemberian antibiotik tergantung dari obat
yang digunakan dan berkisar dari 1-7 hari untuk penyakit sistitis non komplikata.
Pada pielonefritis non komplikata waktu pemberian antibiotika berkisar antara 10
– 14 hari, sementara pilihan antibiotika disesuaikan dengan kondisi pasien
(Mochtar et al, 2015). Menurut Guideline on Urological Infections Tahun 2015,
terapi antimikroba untuk penyakit ISK pada dewasa adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Terapi antimikroba pada sistitis akut non
komplikata

Tabel 2.2 Terapi antimikroba pada pielonefritis akut non


komplikata

21
Tabel 2.3 Pengobatan antibiotik pilihan pada ISK
komplikata

*BLI = Beta Lactam Inhibitor ; G6PD = glucose-6-phospate dehydrogenase; TMP =


Trimethoprim; SMX = Sulphamethoxazole ; Fluoroquinolone kontraindikasi selama kehamilan
Catatan: Direkomendasikan pengobatan selama 7-14 hari, tapi lama pengobatan berkaitan erat
dengan kelainan yang mendasarinya. Jika perlu dilakukan perpanjang sampai 21 hari
tergantung dari situasi klinik. Sumber: (Guideline on Urological Infection, 2015)

Komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi saluran kemih antara lain batu
saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman
miltisistem, gangguan fungsi ginjal.

22
BAB III

KESIMPULAN

Ny. SH, perempuan berusia 44 tahun didiagnosis dengan Pielonefritis Akut


melalui hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien
dirawat jalan di UPT Puskesmas Tembilahan Kota dan ditatalaksana dengan
Ciprofloxacin 2x500mg, Paracetamol 3x500mg, dan Bionicom 1x1. Pasien
diminta untuk datang kembali setelah obat habis untuk proses follow-up perbaikan
kondisi.
Pasien ini didiagnosis berdasarkan kerusakan struktural dan kronisitas oleh
pencitraan USG dan penurunan fungsi ginjal melalui estimasi GFR sesuai dengan
definisi CKD oleh KDIGO 2012. Penegakan diagnosis lepra pada pasien ini juga
sesuai dengan panduan PERMENKES 2019 yaitu ditemukannya gangguan saraf
tepi dan saraf otonom disertai hasil positif BTA pada hasil kerokan kulit.
Manajemen pasien sudah sesuai dengan evidence terbaru dimana RRT
(Hemodialisis) diindikasikan pada pasien Leprosy Nephropathy. Tatalaksana
CKD ec. Leprosy Nephropathy adalah dengan pemberian obat MDT-MB, pada
pasien ini setelah KU stabil obat MDT-MB kusta hari pertama pun diberikan.

23
DAFTAR PUSTAKA

24

Anda mungkin juga menyukai