Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

Haemorrhoid Interna Grade III

Disusun oleh :
dr. Annisa Tria Fadilla

Pembimbing :
dr. Dwi Lestari Wahyuni

UPT PUSKESMAS TEMBILAHAN KOTA


KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN RI
RIAU
2021-2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan program dokter internsip
UPT Puskesmas Tembilahan Kota
Komite Internsip Dokter Indonesia dengan judul:
Haemorrhoid Interna Grade III

Hari, tanggal : Agustus 2022

Oleh:

dr. Annisa Tria Fadilla

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing

dr. Dwi Lestari Wahyuni

NIP: 19860126 201102 2 001

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGANTAR ..........................................................................i


DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I LAPORAN KASUS ...........................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
2.1 Definisi dan Epidemiologi................................................................
2.2 Etiologi dan Faktor risiko..................................................................
2.3 Klasifikasi..........................................................................................
2.4 Patofisiologi......................................................................................
2.5 Diagnosis...........................................................................................
2.6 Tatalaksana........................................................................................
2.7 Komplikasi dan Prognosis.................................................................
BAB III KESIMPULAN................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

ii
BAB I

LAPORAN KASUS

No.RM : 37.48. 94 Pendidikan : SMP


Nama : Ny. Dilla Pekerjaan : Pelajar
Umur : 21 tahun Suku : Jawa
Jenis Kelamin : Laki-Laki Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Jl. Gunung Daek, Indragiri Hilir
Tanggal Masuk : 27 Juli 2022 pukul 11.30 WIB

Keluhan Utama : BAB berdarah


Telaah :
- Seorang perempuan usia 21 tahun datang ke PKM kota Tembilahan dengan keluhan
keluar darah setelah BAB. Darah bewarna merah segar dan menetes setelah BAB. Darah
keluar lebih kurang 5 cc, lendir (-). Keluhan dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Sejak 1
bulan yang lalu, pasien merasa ada benjolan yang keluar saat pasien BAB ataupun
mengejan tetapi benjolan tersebut masih bisa masuk sendiri kembali ke dalam
anus. Kemudian sejak 1 minggu yang lalu, benjolan tidak bisa masuk sendiri dan harus
dimasukkan kembali oleh jari ke anus. Awalnya benjolan terlihat kecil dan semakin lama
semakin membesar. Pasien mengeluh BAB keras dan nyeri saat buang air besar. Nyeri
hanya terasa saat buang air besar dan nyeri hilang jika pasien sudah selesai buang air
besar. Tidak didapatkan penurunan berat badan ataupun penurunan nafsu makan. Pasien
sebelumnya tidak pernah memiliki sakit seperti ini. Pasien tidak menyukai makan
makanan berserat seperti buah dan sayur. Pasien juga memiliki kebiasaan mengejan jika
buang air besar. Pasien datang ke PKM kota Tembilahan dalam keadaan sadar. Keluhan
seperti nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), demam (-), sesak (-), nyeri kepala (-), BAK
dalam batas normal.

RPT : HT (-), DM (-), Sirosis Hepatis (-)


RPO : (-)
ANAMNESIS ORGAN
Jantung
Sesak Nafas :(-) Edema :(-)
Angina Pectoris :(-) Palpitasi :(-)
Lain-lain :(-)
Saluran Pernapasan
Batuk-batuk :(-) Asma, bronchitis :(-)
Dahak :(-) Lain-lain :(-)

iii
Saluran Pencernaan
Nafsu Makan : menurun Penurunan BB : tidak jelas
Keluhan Menelan :(-) Keluhan Defekasi :(-)
Keluhan Perut :(-) Lain-lain :(-)
Saluran Urogenital
Sakit Buang Air Kecil :(-) Buang Air Kecil Tersendat: ( - )
Mengandung Batu :(-) Keadaan Urin : Pekat
Sesak nafas :(+) Riwayat Urin berdarah: ( + )
Sendi dan Tulang
Sakit Pinggang :(-) Keterbatasan Gerak :(-)
Keluhan Persendian :(+) Lain- lain :(-)
Endokrin
Haus/Polidipsi :(-) Gugup :(-)
Poliuri :(-) Perubahan suara :(-)
Polifagi :(-) Lain-lain :(-)
Saraf Pusat
Sakit Kepala :(-) Hoyong :(-)
Penurunan Kesadaran :(+)
Darah dan Pembuluh Darah
Pucat :(+) Perdarahan :(-)
Petechie :(-) Purpura :(-)
Lain-lain :(-)
Sirkulasi Perifer
Claudicatio Intermitten :(-) Lain-lain :(-)

iv
PEMERIKSAAN FISIK
Deskripsi Umum Vital Sign

 Keadaan umum : Lemah  Kesadaran: lemah, Apatis

 Kesan Sakit : Berat (E3M5V4)

 Gizi:  TD : 107/73 mmHg

o Berat Badan : 45 kg  RR : 26x/min

o Tinggi Badan : 1.50 m  Nadi : 76x/min

o IMT :  T : 36,7 ˚C,

20 kg/m2 (Normal : 18,5-22,9)

Pemeriksaan Sistem
 Kulit : Ichthyosis generalisata (+), Hiperkeratosis (+), lesi
hipopigmentasi (-), lesi hiperpigmentasi (-), pucat (+), kemerahan (-),
ikterus (-)
 Kepala : Lionine facies (+), Alis menghilang (+)
 Mata : Isokor, Kelainan visus (-/-), Konjungtiva Pucat (+/+),
Sklera ikterik (-/-) Kelopak edema (-/-)
 Leher : Kaku kuduk (-), JVP 5 + 2 cm H 2O, pembesaran kelenjar
getah bening (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
 Telinga : discharge (-), pembengkakan cuping daun telinga (-/-)
 Hidung : saddle nose (-), kering, discharge (-) hiperemis (-),
gerakan cuping hidung (-)
 Rongga mulut : mukosa bibir pucat dan kering (+), papil atrofi (-)
 Tenggorokan : faring hiperemi (-), T1-T1
 Paru Anterior
Ins : simetris (+), barrel chest (-), pectus
excavatum (-), ketinggalan gerak (-),
retraksi (-),
Pal : Nyeri tekan (-), fremitus taktil sonor,
kanan dan kiri teraba sama SDV
Per : sonor (+/+) (+/+)
Aus : suara dasar vesikular (+/+),
wheezing (-/-), rhonki (-/-)

30
 Jantung

Ins : Ictus cordis tidak tampak


Pal : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS
Per : batas jantung kesan tidak melebar
Aus : S1-S2 reguler, bising (-), gallop (-)

 Abdomen

Ins : Supel Pal :


Aus : Bising usus (+) Nyeri tekan: Negatif
Per : Timpani 13 titik Hepar tak teraba
Hepatomegali (-), shifting dullness (-) Splenomegali (-)
Splenomegali (-) Ginjal: ballotement (-)

 Ekstremitas

Ekstremitas Atas
Telapak Tangan Pucat (+/+)
Claw hand (-/-)
Atrofi (-)
Radang Sendi (-)
Edema (-)
Clubbing finger(-)
RoM bebas terbatas
Ekstremitas Bawah
Drop foot (-/-)
Atrofi (-)
Radang Sendi (-)
Edema (-)
Clubbing finger(-)
Luka (-)
RoM bebas terbatas

31
Pemeriksaan Fisik Sensorik dan Motorik Kusta
Nervus Gangguan Sensorik Penebalan Gangguan Motorik
N. Auricularis Anestesi/Anestesi -/- Sulit dievaluasi
magnum
N. Radialis Hipoestesi/Hipoestesi Sulit Menurun/Menurun
dievaluasi
N. Ulnaris Hipoestesi/Hipoestesi Sulit Menurun/Menurun
dievaluasi
N. Medianus Hipoestesi/Hipoestesi sulit Menurun/Menurun
dievaluasi

FOTO KLINIS (13 Desember 2021 )

32
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (13 Desember 2021)
Hasil Satuan Nilai rujukan
Gula Darah 37 mg/dl < 200
Sewaktu
Hb  4,1 g/dl 12.0 – 16.0
Leukosit 10,3 103 / uL 4.50 – 11.00
Hct  12.0 % 40.0 – 54.0
Trombosit 155 103 / uL 150 – 450
Eritrosit 1.60 106 / uL 4.50 – 5.50
MCV  75.0 fL 80.0 – 96.0
MCH  25.6 pg 26.0 – 33.0
MCHC 34.2 g/dl 33.0 – 36.0
Ureum Darah 298 mg/dl 10.0 – 50.0
Kreatinin Darah  13.2 mg/dl < 1,2
Natrium  132 Mmol/L 135 – 148
Kalium 5.4 Mmol/L 3.5 – 5.3
Klorida 119 Mmol/L 98 - 107
HIV Non Reaktif Non Reaktif
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
GFR Estimation 5 ml/min/173 m2

Interpretasi : Hipoglikemia + Anemia mikrositik hipokrom + Penurunan fungsi


ginjal + Elektrolit imbalance

DIAGNOSIS

TATALAKSANA

33
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 INFEKSI SALURAN KEMIH

2.1.1 PENGERTIAN ISK

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau
mikroba tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna (IDAI, 2011). Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan adanya
invasi mikroorganisme pada saluran kemih (Haryono, 2012). ISK merupakan
penyakit dengan kondisi dimana terdapat mikroorganisme dalam urin yang
jumlahnya sangat banyak dan mampu menimbulkan infeksi pada saluran kemih
(Dipiro et al, 2011).

Gambar. 2.1 Anatomi Saluran Kemih


Manusia

ISK adalah keadaan adanya infeksi yang ditandai dengan


pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih, meliputi
infeksi parenkim ginjal sampai kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang
bermakna (Soegijanto, 2010). ISK adalah infeksi akibat berkembang biaknya
mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal air kemih
tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain. ISK dapat terjadi baik
pada pria maupun wanita dari semua umur, dan dari kedua jenis kelamin
ternyata

34
wanita lebih sering menderita daripada pria (Sudoyo Aru,dkk 2014). ISK
ialah istilah umum untuk menyatakan adanya pertumbuhan bakteri di dalam
saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di
kandung kemih. Pertumbuhan bakteri yang mencapai > 100.000 unit koloni per
ml urin segar pancar tengah (midstream urine) pagi hari, digunakan sebagai
batasan diagnosis ISK (IDAI, 2011).

Gambar 2.2 Gambaran Letak Bakteri Pada Infeksi Saluran Kemih

2.1.2 EPIDEMIOLOGI
ISK

Di Indonesia, ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada semua


usia mulai dari bayi sampai orang tua. Semakin bertambahnya usia, insidensi
ISK lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki karena uretra
wanita lebih pendek dibandingkan laki-laki (Purnomo, 2014). Menurut data
penelitian epidemiologi klinik melaporkan 25%-35% semua perempuan dewasa
pernah mengalami ISK. National Kidney and Urology Disease Information
Clearinghouse (NKUDIC) juga mengungkapkan bahwa pria jarang terkena ISK,
namun apabila terkena dapat menjadi masalah serius (NKUDIC, 2012). ISK
diperkirakan mencapai lebih dari 7 juta kunjungan per tahun, dengan biaya lebih
dari $ 1 miliar. Sekitar 40% wanita akan mengalami ISK setidaknya sekali
selama hidupnya, dan sejumlah besar perempuan ini akan memiliki ISK
berulang

35
(Gradwohl, 2011). Perempuan umumnya beresiko empat hingga lima kali
mengalami ISK dibandingkan dengan laki – laki. Hal tersebut disebabkan oleh
anatomi uretra perempuan lebih pendek dibandingkan uretra laki – laki,
sehingga mikroorganisme dari luar lebih mudah mencapai kandung kemih yang
letaknya dekat dengan daerah perianal (Febrianto, A.W dkk, 2013).
Perempuan dewasa (25% - 35%) pernah mengalami ISK. Faktor
pencetusnya berupa kebersihan organ intim, penggunaan kontrasepsi atau gel
spermisida, dan aktivias sex yang memungkinkan bakteri terdorong masuk ke
saluran kemih, wanita hamil pun beresiko ISK akibat perubahan hormonal
(Dharma, P.S dkk, 2015).
Prevalensi infeksi meningkat mencapai 10% pada usia lanjut. Produksi
hormone estrogen menurun pada perempuan usia postmenopouse mengakibatkan
pH pada cairan vagina naik sehingga perkembangan mikroorganisme pada vagina
meningkat (Adib,M. 2011). ISK pada laki – laki biasanya dikarenakan adanya
kelainan anatomi, batu saluran kemih atau penyumbatan pada saluran kemih
(Sudoyo dkk, 2014).

2.1.3 KLASIFIKASI ISK

Menurut Purnomo (2014), (ISK) diklasifikasikan menjadi dua macam


yaitu: ISK uncomplicated (sederhana) dan ISK complicated (rumit). Istilah ISK
uncomplicated (sederhana) adalah infeksi saluran kemih pada pasien tanpa
disertai kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran kemih. ISK
complicated (rumit) adalah infeksi saluran kemih yang terjadi pada pasien yang
menderita kelainan anatomik atau struktur saluran kemih, atau adanya penyakit
sistemik kelainan ini akan menyulitkan pemberantasan kuman oleh antibiotika.
Klasifikasi infeksi saluran kemih dapat dibedakan berdasarkan
anatomi dan klinis. Infeksi saluran kemih diklasifikasikan berdasarkan anatomi,
yaitu:

2.1.3.1 INFEKSI SALURAN KEMIH BAWAH

Presentasi klinis saluran kemih bawah tergantung dari gender:


a. Perempuan

36
1)
Sistitis
Sistitis adalah presentasi klinik infeksi kandung kemih disertai
bakteriuria.
2) Sindrom Uretra Akut
(SUA)
Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa
ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis
bakterialis.
b. Laki – laki
Presentasi klinis ISK pada laki – laki mungkin sistitis, prostatitis,
epidimidis dan urethritis.

2.1.3.2 INFEKSI SALURAN KEMIH ATAS

Infeksi saluran kemih atas terbagi menjadi 2, yaitu:


a. Pielonefritis Akut (PNA)
Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang
disebabkan infeksi bakteri.
b. Pielonefritis Kronis (PNK)
Pielonefritis kronis mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih
dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering
diikuti refkluks pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang
ditandai pielonefritis kronik yang spesifik (Sukandar, 2006).

2.1.4 ETIOLOGI ISK

ISK sebagian besar disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur tetapi bakteri
yang sering menjadi penyebabnya. Penyebab ISK terbanyak adalah bakteri gram-
negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus dan akan naik ke sistem
saluran kemih antara lain adalah Escherichia coli, Proteus sp, Klebsiella
sp,
Enterobacter sp (Purnomo, 2014). Pasca operasi juga sering terjadi infeksi
oleh

37
Pseudomonas, sedangkan Chlamydia dan Mycoplasma bisa terjadi tetapi jarang
dijumpai pada pasien ISK. Selain mikroorganisme, ada faktor lain yang dapat
memicu ISK yaitu faktor predisposisi (Fauci dkk., 2008).
Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
a. Escherichia coli : 90% penyebab ISK uncomplicated (simple)
b. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK
complicated c. Staphylococcus,Streptococcus,dan lain-lain.
a. Escherichia coli. bakteri batang gram negatif yang menunjukkan hasil positif
pada tes indol, methyl red, lisin dekarboksilase, dan fermentasi karbohidrat,
serta menghasilkan gas dari glukosa. Pada isolat dari urin dapat segera
diidentifikasi sebagai Escherichia coli dengan melihat morfologi koloni yang
khas dengan kilap logam (methalic sheen) pada agar EMB (Lydyard, et
al.,
2010).
b. Klebsiella sp. adalah bakteri batang gram negatif yang menghasilkan koloni
yang mukoid, kapsul polisakarida yang besar dan tidak motil. Spesies
ini menunjukkan hasil negatif terhadap uji motilitas, positif terhadap sitrat dan
ornitin dekarboksilase dan menghasilkan gas dari glukosa. Klebsiella sp
memberikan hasil positif terhadap reaksi Voges-Proskauer (Brooks, et
al.,
2007).
c. Pseudomonas aeruginosa. merupakan bakteri gram negatif, berbentuk
batang, motil, obligat aerob, dan membentuk koloni bulat halus dengan warna
flurosensi hijau. Bakteri ini bersifat oksidase-positif, tidak memfermentasi
o o
karbohidrat, dan dapat tumbuh baik pada suhu 37 -42 C. (Brooks, et
al.,
2007).
d. Staphylococcus sp. adalah bakteri coccus gram positif, biasanya tersusun
dalam kelompok seperti anggur yang tidak teratur. Genus Staphylococcus
sedikitnya memiliki 30 spesies. S. saprophyticus relatif sering menjadi
penyebab ISK pada wanita muda. Staphylococcus sp. tidak motil dan tidak
membentuk spora. Organisme ini memfermentasikan karbohidrat secara

38
lambat, menghasilkan asam laktat, tetapi tidak membentuk gas (Brooks, et
al.,
2007).
e. Streptococcus sp. adalah bakteri coccus gram positif yang khasnya
berpasangan atau membentuk rantai selama pertumbuhannya.
Pertumbuhan dan hemolisis dibantu dengan intubasi dalam 10% CO2.
Sebagian besar streptococccus sp tumbuh di medium padat sebagai koloni
diskoid, biasanya berdiameter 1-2 mm (Brooks, et al., 2007).
f. Proteus sp. adalah bakteri batang gram negatif yang
mendeaminasi fenilalanin, motil, tumbuh pada medium kalium sianida (KCN)
dan memfermentasi xilosa. Proteus sp. merupakan urease-positif dan
sangat lambat memfermentasi laktosa atau tidak memfermentasikannya sama
sekali. Proteus sp. menghasilkan urease, yang mengakibatkan hidrolisis urea
secara cepat dan membebaskan amonia. Karena itu, pada ISK akibat proteus,
urin bersifat basa, sehingga memudahkan pembentukan batu dan membuat
pengasaman hampir tidak mungkin. Motilitas protease yang cepat membantu
invasinya ke saluran kemih (Brooks, et al., 2007).

2.1.5 FAKTOR RESIKO ISK

Menurut Suharyanto dan Abdul (2013) faktor resiko yang umum


pada penderita ISK adalah:
1) Ketidakmampuan atau kegagalan kandung kemih untuk
mengosongkan isinya secara sempurna
2) Penurunan daya tahan tubuh
3) Peralatan yang dipasang pada saluran perkemihan seperti kateter
dan prosedur sistoskopi

2.1.6 PATOGENESIS ISK

ISK terjadi ketika bakteri (kuman) masuk ke dalam saluran kemih dan
berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung kemih, uretra dan dua
ureter dan ginjal (Purnomo, 2014). Sejauh ini diketahui bahwa saluran kemih atau

39
urin bebas dari mikroorganisma atau steril. ISK terjadi pada saat
mikroorganisme ke
dalam saluran kemih dan berkembang biak di dalam media urin (Israr,
2009).
Mikroorganisme penyebab ISK umumnya berasal dari flora usus dan hidup
secara komensal dalam introitus vagina, preposium penis, kulit perinium, dan
sekitar anus. Kuman yang berasal dari feses atau dubur, masuk ke dalam saluran
kemih bagian bawah atau uretra, kemudian naik ke kandung kemih dan dapat
sampai ke ginjal (Fitriani, 2013).
Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui empat cara, yaitu:
1) Ascending, kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang
berasal dari flora normal usus dan hidup secara komensal introitus vagina,
preposium penis, kulit perineum, dan sekitar anus. Infeksi
secara ascending (naik) dapat terjadi melalui empat tahapan yaitu:
a) Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus
vagina b) Masuknya mikroorganisme ke dalam buli-buli
c) Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung
kemih d) Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal
(Israr, 2009).
2) Hematogen (descending) disebut demikian bila sebelumnya terjadi infeksi
pada ginjal yang akhirnya menyebab ke dalam saluran kemih melalui
peredaran darah.
3) Limfogen (jalur limfatik) jika masuknya mikroorganisme melalui sistem
limfatik yang menghubungkan kandung kemih dengan ginjal namun ini
jarang terjadi (Coyle & Prince, 2014).
4) Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau
eksogen sebagai akibat dari pemakaian kateter (Israr, 2009).

2.1.7 MANIFESTASI KLINIS


ISK

Manifestasi klinis ISK sangat bervariasi, dari tanpa gejala (asimptomatis)


ataupun disertai gejala (symptom) dari yang ringan (panas, urethritis, sistitis)

40
hingga cukup berat (pielonefritis akut, batu saluran kemih dan bakteremia)
(Semaradana, W.G.P. 2014).
Gejala yang timbul antara lain rasa nyeri pada saluran kemih, rasa
sakit saat buang air kecil atau setelahnya, anyang-anyangan, warna air seni sangat
pekat
seperti air teh, nyeri pada bagian pinggang, hematuria (kencing
berdarah),
perasaan tertekan pada perut bagian bawah, rasa tidak nyaman pada bagian
panggul serta tidak jarang pula penderita mengalami panas tubuh (Dharma,
P.S.
2015). Kasus asimptomatik berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya
infeksi simptomatik berulang yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
(Anggraini,P. 2014)

2.1.8 DIAGNOSIS
ISK

Gold Standard untuk diagnosis ISK adalah deteksi patogen dengan


adanya gejala klinis. Patogen dapat dideteksi dan diidentifikasi dari pemeriksaan
kultur urin menggunakan midstream urine. Hal itu juga memungkinkan estimasi
tingkat bakteriuria. Namun, tingkat minimum bakteriuria yang menunjukkan
infeksi saluran belum didefinisikan dalam literatur ilmiah atau standard oleh
laboratorium
5
mikrobiologi. Banyak laboratorium menetapkan 10 colony forming
units/ml
(cfu/ml) urin sebagai ambang batas. Namun, ambang batas tersebut menyebabkan
banyak kehilangan infeksi yang terkait. Oleh karena itu ada rekomendasi
3
lain untuk diagnosis ISK menggunakan ambang batas 10 cfu/ml, tergantung
pada jenis bakteri yang terdeteksi (Schmiemann et.al. 2010).

2.1.8.1 RIWAYAT
MEDIS

Diagnosis klinis ISK pada dasarnya didasarkan pada riwayat medis.


Spesifik data yang telah ditetapkan dari studi klinis dapat meningkatkan atau

41
menurunkan ISK. Faktor-faktor yang mungkin dapat meningkatkan ISK
antara lain dysuria, polakisuria, nokturia, adanya atau meningkatnya inkontinen,
mikrohematuria, nyeri suprapubik, bau menyengat pada urin atau urin berwarna
keruh dan adanya riwayat ISK sebelumnya (Schmiemann et.al. 2010).

2.1.8.2 TES
URIN

Tes urin adalah unsur penting kedua dalam uji coba diagnostik ISK
(Schmiemann et.al. 2010). Pemeriksaan yang paling ideal untuk deteksi
adanya
ISK adalah kultur urin. Untuk menegakkan diagnosis ISK bergejala (sistitis
akut
3
dan pielonefritis), nilai ambang batas yang digunakan adalah 10 cfu/ml. Untuk
ISK tak bergejala (bakteriuria asimtomatik), nilai ambang batas yang digunakan
5
adalah 10 cfu/ml. Dalam diagnosis bakteriuria asimtomatik harus digunakan
sampel yang berasal dari urin porsi tengah yang diambil secara bersih
(midstream, clean catch urine sample) (Ocviyanti dan Fernando 2012).
Fakta bahwa spesimen urin begitu mudah diperoleh atau
dikumpulkan sering menyebabkan penanganan spesimen setelah pengumpulan
menjadi kelemahan dalam urinalisis. Perubahan komposisi urin terjadi tidak
hanya invivo tetapi juga invitro, sehingga membutuhkan prosedur penanganan
yang benar. Penanganan spesimen meliputi prosedur penampungan urin dalam
wadah spesimen, pemberian identitas spesimen, pengiriman atau penyimpanan
spesimen. Penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan hasil pemeriksaan
yang keliru (Riswanto dan Rizki, 2015).
a. Wadah spesimen urin
Botol penampung (wadah) urin harus bersih dan kering. Adanya air dan
kotoran dalam wadah berarti adanya kuman-kuman yang kelak
berkembang biak dalam urine dan mengubah susunannya. Wadah
urin yang terbaik adalah yang berupa gelas dengan mulut lebar yang
dapat disumbat rapat dan sebaiknya urin dikeluarkan langsung ke
wadah tersebut. Jika hendak memindahkan urin dari wadah ke wadah lain,
kocoklah terlebih dahulu, supaya endapan ikut terpindah. Berilah

42
keterangan yang lengkap tentang identitas sampel pada wadah spesimen
(Gandasoebrata, 2013).
b. Identitas spesimen urin
Identitas spesimen ditulis dalam label yang mudah dibaca. Label memuat
setidaknya nama pasien dan nomor identifikasi, tanggal dan waktu
pengumpulan dan informasi tambahan seperti usia pasien dan lokasi dan
nama dokter, seperti yang dipersyaratkan oleh protokol institusional
(Riswanto dan Rizki, 2015).
c. Pengiriman spesimen urin
Pemeriksaan urinalisis yang baik harus dilakukan pada saat urin masih
segar (kurang dari 1 jam), atau selambat-lambatnya dalam waktu 2 jam
setelah dikemihkan. Penundaan antara berkemih dan pemeriksaan
urinalisis dapat mempengaruhi stabilitas spesimen dan validitas hasil
pemeriksaan (Riswanto dan Rizki, 2015). Unsur-unsur pada urin
(sedimen) mulai mengalami kerusakan dalam 2 jam. Jika dalam waktu 2 jam
belum dilakukan pemeriksaan maka urin dapat disimpan pada suhu
o
4 C (Wirawan, 2015).
d. Cara pengambilan sampel
Sampel urin yang biasa dipakai adalah porsi tengah (midstream). Jenis
pengambilan sampel urin ini dimaksudkan agar urin tidak terkontaminasi
dengan kuman yang berasal dari perineum, prostat, uretra maupun vagina,
karena dalam keadaan normal urin tidak mengandung bakteri, virus atau
organisme lain (Brunzel, 2013). Pengambilan sampel ini dilakukan oleh
pasien sendiri, oleh sebab itu pasien harus diberikan penjelasan cara
pengambilan sampel urin, yaitu sebagai berikut :
1) Pada wanita
Pasien harus mencuci bersih tangan dengan sabun dan dikeringkan
dengan kertas tisu, dengan menggunakan tisu basah dan steril labia
dan sekitarnya dibersihkan. Buang urin pertama yang keluar,
setelah itu urin porsi tengah ditampung dan membuang urin
terakhir yang dikemihkan. Tutup rapat botol sampel.

43
Gambar 2.3 Pengambilan sampel urin porsi tengah pada wanita
Sumber: https://nursekey.com/3-urinalysis/
2) Pada pria
Pasien mencuci bersih tangan dengan sabun dan dikeringkan
dengan kertas tisu, untuk pasien yang tidak disunat tarik preputium
ke belakang, lubang uretra dibersihkan. Pasien yang sudah disunat
langsung membersihkan uretra menggunakan tisu basah ke arah
glans penis setelah itu urin porsi tengah ditampung. Botol sampel
ditutup rapat (Wirawan, 2015).

Gambar 2.4 Pengambilan urin porsi tengah pada


pria
Sumber: https://nursekey.com/3-urinalysis/

2.1.9 PENATALAKSANAAN ISK

Tujuan terapi pada kasus ISK adalah untuk mengurangi atau


menghilangkan organisme yang menyebabkan infeksi, mencegah atau mengobati
konsekuensi sistemik infeksi, dan mencegah terulangnya infeksi. Tata laksana
pengobatan pasien ISK termasuk evaluasi, seleksi agen antibakteria, dan jangka
waktu terapi, serta evaluasi tindakan lanjutan terapi. Pemilihan agen antimikroba
pada terapi ISK didasarkan pada tingkat keparahan yang ditunjukkan oleh tanda

44
dan gejala, letak infeksi, dan penggolongan infeksi termasuk dalam ISK
komplikata atau ISK non komplikata. (Dipiro et al, 2015).
Kemampuan untuk mengeradikasi bakteri pada penyakit ISK
berhubungan langsung dengan kepekaan organisme dan konsentrasi pencapaian
dari agen antimikroba didalam urin. Penanganan terapi pada ISK yang terbaik,
pertama –
tama dengan mengakategorikan tipe infeksi, antara lain: sistitis non
komplikata
akut, bakteriuria simtomatik, bakteriuria asimtomatik, ISK komplikata,
infeksi
berulang, atau prostatitis. (Dipiro et al, 2015).
Pada terapi ISK pilihan antibiotik untuk terapi sebaiknya dengan panduan
pola resistensi kuman dan uji sensitivitas antibiotik di rumah sakit atau klinik
setempat, tolerabilitas obat dan reaksi negatif, efek ekologi negatif, biaya, dan
ketersediaan obat. Lama pemberian antibiotik tergantung dari obat
yang digunakan dan berkisar dari 1-7 hari untuk penyakit sistitis non komplikata.
Pada pielonefritis non komplikata waktu pemberian antibiotika berkisar antara 10
– 14 hari, sementara pilihan antibiotika disesuaikan dengan kondisi pasien.
(Mochtar et al, 2015).
Menurut Guideline on Urological Infections Tahun 2015 menyatakan
bahwa terapi antimikroba untuk penyakit ISK pada dewasa adalah sebagai
berikut:

Tabel 2.1 Terapi antimikroba pada sistitis akut non


komplikata

45
*G6PD = glucose-6-phospate dehydrogenase; TMP = Trimethoprim; SMX
=
Sulphamethoxazole.
Sumber: (Guidline on Urological Infection, 2015)
Tabel 2.2 Terapi antimikroba pada pielonefritis akut non
komplikata

Catatan: fluoroquinolone kontraindikasi selama


kehamilan
Sumber: (Guideline on Urological Infection,
2015)

Tabel 2.3 Pengobatan antibiotik pilihan pada ISK


komplikata

*BLI = Beta Lactam


Inhibitor
Catatan: Direkomendasikan pengobatan selama 7-14 hari, tapi lama pengobatan
berkaitan erat dengan kelainan yang mendasarinya. Jika perlu
dilakukan perpanjang sampai 21 hari tergantung dari situasi klinik.
Sumber: (Guideline on Urological Infection,
2015)

46
2.1.10 KOMPLIKASI
ISK

Menurut Purnomo (2014), adapun komplikasi yang ditimbulkan


yaitu:
gagal ginjal akut, urosepsis, nekrosis papilla ginjal, terbentuknya batu
saluran kemih, supurasi atau pembentukan abses, dan granuloma.

47
BAB III

KESIMPULAN

48
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. (2018b), “8. Pharmacologic Approaches to


Glycemic Treatment: Standards of Medical Care in Diabetes—2018”,
Diabetes Care, Vol. 41 No. Supple
Antunes, D.E., Goulart, I.M.B., Lima, M.I.S., Alves, P.T., Tavares, P.C.B. and
Goulart, L.R., 2019. Differential Expression of IFN-γ, IL-10, TLR1, and
TLR2 and Their Potential Effects on Downgrading Leprosy Reaction and
Erythema Nodosum Leprosum. Journal of immunology research, 2019.
Bargman, J.M. and Skorecki, K.L. (2018), “Chronic Kidney Disease”, in
Jameson, J.L., Kasper, D.L., Longo, D.L., Fauci, A.S., Hauser, S.L. and
Loscalzo, J. (Eds.), Harrison’s Principle of Internal Medicine, 20th ed.,
McGraw-Hill Education, New York, p. 2011.
Chegondi, M., Ten, I. and Totapally, B., 2018. Dapsone-induced
methemoglobinemia in a child with end-stage renal disease: a brief
review. Cureus, 10(4).
Gomes, R.R., Antunes, D.E., Dos Santos, D.F., Sabino, E.F.P., Oliveira, D.B. and
Goulart, I.M.B., 2019. BCG vaccine and leprosy household contacts:
protective effect and probability to becoming sick during follow-
up. Vaccine, 37(43), pp.6510-6517.
Infodatin. Hapuskan Stigma dan diskriminasi terhadap kusta. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2018. Available from:
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/article/view/18053000001/infodatin-
kusta-2018.html [ cited 2021 Dec 30th]
Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ,
Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th edition. Volume 1. New York:
Mc Graw Hill; 2019.
KDIGO. (2013a), “Summary of Recommendation Statements”, Kidney
International Supplements, Vol. 3 No. 1, pp. 5–14.
KDIGO. (2013b), “Chapter 1: Definition and classification of CKD”, Kidney
International Supplements, Vol. 3 No. 1, pp. 19–62.

49
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kusta masih ada di Indonesia.
2018. Available
from: http://www.depkes.go.id/article/print/18013100003/kusta-masih-ada-
di- indonesia.html [ cited 2021 Dec 30th ]
Ketut,S. (ed.) 2015, Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II, Edisi VI, Interna Publishing, Jakarta Pusat, Hlm. 2159-2165.
Levin, A, Stevens, PE, Bilous, RW, Coresh, J, De Francisco, ALM, De Jong, PE,
Griffith, KE, Hemmelgarn, BR, Iseki, K, Lamb, EJ, Levey, AS, Riella, MC,
Shlipak, MG, Wang, H, White, CT & Winearls, CG. 2013, ‘Kidney disease:
Improving global outcomes (KDIGO) CKD work group. KDIGO 2012
clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease’, Kidney International Supplements, vol. 3, no. 1, pp. 1-150.
Mahmood, N., Khan, M.U., Haq, I.U., Jelani, F.A. and Tariq, A., 2019. A case of
dapsone induced methemoglobinemia. Journal of pharmaceutical policy
and practice, 12(1), pp.1-3.
Mannemuddhu, S.S., Ali, R., Kadhem, S. and Ruchi, R., 2021. Unusual cause of
persistent dyspnea in a patient with nephrotic syndrome: dapsone-induced
methemoglobinemia. CEN Case Reports, pp.1-5.
Meneses GC, Libório AB, Daher EF, Silva Junior GB, Costa MF, Pontes
MA, Martins AM. Urinary monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1) in
leprosy patients: increased risk for kidney damage. BMC Infect Dis.
2014;14:451.
MIMS. 2018. “Epoetin alfa: Indication, Dosage, Side Effect, Precaution” Ment 1,
pp. S73–S85.
National Kidney Foundation. 2014, ‘About Chronic Kidney Disease: A Guide
for Patients’, National Kidney Foundation Inc, New York, [Online],
accessed 30 December 2021, Available at:
h t t p s ://www.kidney.org/sites/default/files/11-50-
0160_patientguideCKD.pdf
Papadakis, M.A., McPhee, S.J. and Rabow, M.W. (Eds.). (2018), CURRENT
Medical Diagnosis & Treatment 2019, 58th ed., McGraw-Hill Education.

50
Park, S.Y., Lee, K.W. and Kang, T.S., 2014. High-dose vitamin C management in
dapsone-induced methemoglobinemia. The American journal of emergency
medicine, 32(6), pp.684-e1.
PERDOSKI. 2017. Kusta dalam: Panduan Praktik Klinis. PERDOSKI : Jakarta,
pp.80-89
PERMENKES RI. Pedoman Penanggulangan Kusta Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia; 2019
Polito, M.G., Moreira, S.R., Nishida, S.K. and Mastroianni Kirsztajn, G., 2015. It
is time to review concepts on renal involvement in leprosy: pre-and post-
treatment evaluation of 189 patients. Renal failure, 37(7), pp.1171-1174.
Riskesdas. (2018a). InfoDATIN Ginjal. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Riskesdas. (2018b). InfoDATIN Kusta. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Roehr, A.C., Frey, O.R., Koeberer, A., Fuchs, T., Roberts, J.A. and Brinkmann,
A., 2015. Anti-infective drugs during continuous hemodialysis–using the
bench to learn what to do at the bedside. The International journal of
artificial organs, 38(1), pp.17-22.
Romagnani, P., Remuzzi, G., Glassock, R., Levin, A., Jager, K.J., Tonelli, M.,
Massy, Z., et al. (2017), “Chronic kidney disease”, Nature Reviews Disease
Primers, Macmillan Publishers Limited, Vol. 3, p. 17088.
Saunderson. 2017. Chapter 30 : Chemoteraphy of Leprosy in IAL Textbook of
Leprosy. Jaypee Brothers: India, pp 441 – 447.
Sekar B. Bacteriology of Leprosy. In:Kar KH, Kumar B, editor.IAL Textbook of

Leprosy. 2nd ed. London: Churchil Livingstone.2017:90-101


Shah, Z., Shah, M., Sabir, S., Sultana, R. and Zaman, A. 2015, ‘Estimation
of Chronic Renal Insufficiency By Cockroft-Gault Formula and
Creatinine Clearance’. KJMS, 8(2), pp.218.
Shen, J., Liu, M., Zhou, M. and Li, W., 2011. Causes of death among active
leprosy patients in China. International journal of dermatology, 50(1),
pp.57-60.

51
Silva, G.B.D., Daher, E.D.F., Pires, R.D.J., Pereira, E.D.B., Meneses, G.C.,
Araújo, S.M.H.A. and Barros, E.J.G., 2015. Leprosy nephropathy: a review
of clinical and histopathological features. Revista do Instituto de Medicina
Tropical de São Paulo, 57, pp.15-20.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M. and Setiati, S.
2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Tanto,C.,Liwang,F.,Hanifati,S., Pradipta,E.A. 2016, Kapita Selekta
Kedokteran Dalam Jilid II, Edisi 4, Media Aesculapius, Jakarta Pusat,
Hlm.644-647.
Venkatesan K, Deo N. Biochemical Aspect. In:Kar KH, Kumar B, editor.IAL

Textbook of Leprosy. 2nd ed. London: Churchil Livingstone.2017:87-99


Whelton, P.K., Carey, R.M., Aronow, W.S., Casey, D.E., Collins, K.J., Dennison
Himmelfarb, C., DePalma, S.M., et al. (2018), “2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of
High Blood Pressure in Adults”, Journal of the American College of
Cardiology, Vol. 71 No. 19, pp. e127–e248.
Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. Dalam : Menaldi SL. Bramono
K, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2018. Hal 87-102.
World Health Organization. Leprosy. 2019. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/leprosy [ cited 2021 Dec
30th ]

52

Anda mungkin juga menyukai