Disusun oleh :
dr. Annisa Tria Fadilla
Pembimbing :
dr. Dwi Lestari Wahyuni
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan program dokter internsip
UPT Puskesmas Tembilahan Kota
Komite Internsip Dokter Indonesia dengan judul:
Haemorrhoid Interna Grade III
Oleh:
Pembimbing
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
LAPORAN KASUS
iii
Saluran Pencernaan
Nafsu Makan : menurun Penurunan BB : tidak jelas
Keluhan Menelan :(-) Keluhan Defekasi :(-)
Keluhan Perut :(-) Lain-lain :(-)
Saluran Urogenital
Sakit Buang Air Kecil :(-) Buang Air Kecil Tersendat: ( - )
Mengandung Batu :(-) Keadaan Urin : Pekat
Sesak nafas :(+) Riwayat Urin berdarah: ( + )
Sendi dan Tulang
Sakit Pinggang :(-) Keterbatasan Gerak :(-)
Keluhan Persendian :(+) Lain- lain :(-)
Endokrin
Haus/Polidipsi :(-) Gugup :(-)
Poliuri :(-) Perubahan suara :(-)
Polifagi :(-) Lain-lain :(-)
Saraf Pusat
Sakit Kepala :(-) Hoyong :(-)
Penurunan Kesadaran :(+)
Darah dan Pembuluh Darah
Pucat :(+) Perdarahan :(-)
Petechie :(-) Purpura :(-)
Lain-lain :(-)
Sirkulasi Perifer
Claudicatio Intermitten :(-) Lain-lain :(-)
iv
PEMERIKSAAN FISIK
Deskripsi Umum Vital Sign
Pemeriksaan Sistem
Kulit : Ichthyosis generalisata (+), Hiperkeratosis (+), lesi
hipopigmentasi (-), lesi hiperpigmentasi (-), pucat (+), kemerahan (-),
ikterus (-)
Kepala : Lionine facies (+), Alis menghilang (+)
Mata : Isokor, Kelainan visus (-/-), Konjungtiva Pucat (+/+),
Sklera ikterik (-/-) Kelopak edema (-/-)
Leher : Kaku kuduk (-), JVP 5 + 2 cm H 2O, pembesaran kelenjar
getah bening (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Telinga : discharge (-), pembengkakan cuping daun telinga (-/-)
Hidung : saddle nose (-), kering, discharge (-) hiperemis (-),
gerakan cuping hidung (-)
Rongga mulut : mukosa bibir pucat dan kering (+), papil atrofi (-)
Tenggorokan : faring hiperemi (-), T1-T1
Paru Anterior
Ins : simetris (+), barrel chest (-), pectus
excavatum (-), ketinggalan gerak (-),
retraksi (-),
Pal : Nyeri tekan (-), fremitus taktil sonor,
kanan dan kiri teraba sama SDV
Per : sonor (+/+) (+/+)
Aus : suara dasar vesikular (+/+),
wheezing (-/-), rhonki (-/-)
30
Jantung
Abdomen
Ekstremitas
Ekstremitas Atas
Telapak Tangan Pucat (+/+)
Claw hand (-/-)
Atrofi (-)
Radang Sendi (-)
Edema (-)
Clubbing finger(-)
RoM bebas terbatas
Ekstremitas Bawah
Drop foot (-/-)
Atrofi (-)
Radang Sendi (-)
Edema (-)
Clubbing finger(-)
Luka (-)
RoM bebas terbatas
31
Pemeriksaan Fisik Sensorik dan Motorik Kusta
Nervus Gangguan Sensorik Penebalan Gangguan Motorik
N. Auricularis Anestesi/Anestesi -/- Sulit dievaluasi
magnum
N. Radialis Hipoestesi/Hipoestesi Sulit Menurun/Menurun
dievaluasi
N. Ulnaris Hipoestesi/Hipoestesi Sulit Menurun/Menurun
dievaluasi
N. Medianus Hipoestesi/Hipoestesi sulit Menurun/Menurun
dievaluasi
32
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (13 Desember 2021)
Hasil Satuan Nilai rujukan
Gula Darah 37 mg/dl < 200
Sewaktu
Hb 4,1 g/dl 12.0 – 16.0
Leukosit 10,3 103 / uL 4.50 – 11.00
Hct 12.0 % 40.0 – 54.0
Trombosit 155 103 / uL 150 – 450
Eritrosit 1.60 106 / uL 4.50 – 5.50
MCV 75.0 fL 80.0 – 96.0
MCH 25.6 pg 26.0 – 33.0
MCHC 34.2 g/dl 33.0 – 36.0
Ureum Darah 298 mg/dl 10.0 – 50.0
Kreatinin Darah 13.2 mg/dl < 1,2
Natrium 132 Mmol/L 135 – 148
Kalium 5.4 Mmol/L 3.5 – 5.3
Klorida 119 Mmol/L 98 - 107
HIV Non Reaktif Non Reaktif
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
GFR Estimation 5 ml/min/173 m2
DIAGNOSIS
TATALAKSANA
33
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau
mikroba tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna (IDAI, 2011). Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan adanya
invasi mikroorganisme pada saluran kemih (Haryono, 2012). ISK merupakan
penyakit dengan kondisi dimana terdapat mikroorganisme dalam urin yang
jumlahnya sangat banyak dan mampu menimbulkan infeksi pada saluran kemih
(Dipiro et al, 2011).
34
wanita lebih sering menderita daripada pria (Sudoyo Aru,dkk 2014). ISK
ialah istilah umum untuk menyatakan adanya pertumbuhan bakteri di dalam
saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di
kandung kemih. Pertumbuhan bakteri yang mencapai > 100.000 unit koloni per
ml urin segar pancar tengah (midstream urine) pagi hari, digunakan sebagai
batasan diagnosis ISK (IDAI, 2011).
2.1.2 EPIDEMIOLOGI
ISK
35
(Gradwohl, 2011). Perempuan umumnya beresiko empat hingga lima kali
mengalami ISK dibandingkan dengan laki – laki. Hal tersebut disebabkan oleh
anatomi uretra perempuan lebih pendek dibandingkan uretra laki – laki,
sehingga mikroorganisme dari luar lebih mudah mencapai kandung kemih yang
letaknya dekat dengan daerah perianal (Febrianto, A.W dkk, 2013).
Perempuan dewasa (25% - 35%) pernah mengalami ISK. Faktor
pencetusnya berupa kebersihan organ intim, penggunaan kontrasepsi atau gel
spermisida, dan aktivias sex yang memungkinkan bakteri terdorong masuk ke
saluran kemih, wanita hamil pun beresiko ISK akibat perubahan hormonal
(Dharma, P.S dkk, 2015).
Prevalensi infeksi meningkat mencapai 10% pada usia lanjut. Produksi
hormone estrogen menurun pada perempuan usia postmenopouse mengakibatkan
pH pada cairan vagina naik sehingga perkembangan mikroorganisme pada vagina
meningkat (Adib,M. 2011). ISK pada laki – laki biasanya dikarenakan adanya
kelainan anatomi, batu saluran kemih atau penyumbatan pada saluran kemih
(Sudoyo dkk, 2014).
36
1)
Sistitis
Sistitis adalah presentasi klinik infeksi kandung kemih disertai
bakteriuria.
2) Sindrom Uretra Akut
(SUA)
Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa
ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis
bakterialis.
b. Laki – laki
Presentasi klinis ISK pada laki – laki mungkin sistitis, prostatitis,
epidimidis dan urethritis.
ISK sebagian besar disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur tetapi bakteri
yang sering menjadi penyebabnya. Penyebab ISK terbanyak adalah bakteri gram-
negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus dan akan naik ke sistem
saluran kemih antara lain adalah Escherichia coli, Proteus sp, Klebsiella
sp,
Enterobacter sp (Purnomo, 2014). Pasca operasi juga sering terjadi infeksi
oleh
37
Pseudomonas, sedangkan Chlamydia dan Mycoplasma bisa terjadi tetapi jarang
dijumpai pada pasien ISK. Selain mikroorganisme, ada faktor lain yang dapat
memicu ISK yaitu faktor predisposisi (Fauci dkk., 2008).
Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
a. Escherichia coli : 90% penyebab ISK uncomplicated (simple)
b. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK
complicated c. Staphylococcus,Streptococcus,dan lain-lain.
a. Escherichia coli. bakteri batang gram negatif yang menunjukkan hasil positif
pada tes indol, methyl red, lisin dekarboksilase, dan fermentasi karbohidrat,
serta menghasilkan gas dari glukosa. Pada isolat dari urin dapat segera
diidentifikasi sebagai Escherichia coli dengan melihat morfologi koloni yang
khas dengan kilap logam (methalic sheen) pada agar EMB (Lydyard, et
al.,
2010).
b. Klebsiella sp. adalah bakteri batang gram negatif yang menghasilkan koloni
yang mukoid, kapsul polisakarida yang besar dan tidak motil. Spesies
ini menunjukkan hasil negatif terhadap uji motilitas, positif terhadap sitrat dan
ornitin dekarboksilase dan menghasilkan gas dari glukosa. Klebsiella sp
memberikan hasil positif terhadap reaksi Voges-Proskauer (Brooks, et
al.,
2007).
c. Pseudomonas aeruginosa. merupakan bakteri gram negatif, berbentuk
batang, motil, obligat aerob, dan membentuk koloni bulat halus dengan warna
flurosensi hijau. Bakteri ini bersifat oksidase-positif, tidak memfermentasi
o o
karbohidrat, dan dapat tumbuh baik pada suhu 37 -42 C. (Brooks, et
al.,
2007).
d. Staphylococcus sp. adalah bakteri coccus gram positif, biasanya tersusun
dalam kelompok seperti anggur yang tidak teratur. Genus Staphylococcus
sedikitnya memiliki 30 spesies. S. saprophyticus relatif sering menjadi
penyebab ISK pada wanita muda. Staphylococcus sp. tidak motil dan tidak
membentuk spora. Organisme ini memfermentasikan karbohidrat secara
38
lambat, menghasilkan asam laktat, tetapi tidak membentuk gas (Brooks, et
al.,
2007).
e. Streptococcus sp. adalah bakteri coccus gram positif yang khasnya
berpasangan atau membentuk rantai selama pertumbuhannya.
Pertumbuhan dan hemolisis dibantu dengan intubasi dalam 10% CO2.
Sebagian besar streptococccus sp tumbuh di medium padat sebagai koloni
diskoid, biasanya berdiameter 1-2 mm (Brooks, et al., 2007).
f. Proteus sp. adalah bakteri batang gram negatif yang
mendeaminasi fenilalanin, motil, tumbuh pada medium kalium sianida (KCN)
dan memfermentasi xilosa. Proteus sp. merupakan urease-positif dan
sangat lambat memfermentasi laktosa atau tidak memfermentasikannya sama
sekali. Proteus sp. menghasilkan urease, yang mengakibatkan hidrolisis urea
secara cepat dan membebaskan amonia. Karena itu, pada ISK akibat proteus,
urin bersifat basa, sehingga memudahkan pembentukan batu dan membuat
pengasaman hampir tidak mungkin. Motilitas protease yang cepat membantu
invasinya ke saluran kemih (Brooks, et al., 2007).
ISK terjadi ketika bakteri (kuman) masuk ke dalam saluran kemih dan
berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung kemih, uretra dan dua
ureter dan ginjal (Purnomo, 2014). Sejauh ini diketahui bahwa saluran kemih atau
39
urin bebas dari mikroorganisma atau steril. ISK terjadi pada saat
mikroorganisme ke
dalam saluran kemih dan berkembang biak di dalam media urin (Israr,
2009).
Mikroorganisme penyebab ISK umumnya berasal dari flora usus dan hidup
secara komensal dalam introitus vagina, preposium penis, kulit perinium, dan
sekitar anus. Kuman yang berasal dari feses atau dubur, masuk ke dalam saluran
kemih bagian bawah atau uretra, kemudian naik ke kandung kemih dan dapat
sampai ke ginjal (Fitriani, 2013).
Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui empat cara, yaitu:
1) Ascending, kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang
berasal dari flora normal usus dan hidup secara komensal introitus vagina,
preposium penis, kulit perineum, dan sekitar anus. Infeksi
secara ascending (naik) dapat terjadi melalui empat tahapan yaitu:
a) Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus
vagina b) Masuknya mikroorganisme ke dalam buli-buli
c) Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung
kemih d) Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal
(Israr, 2009).
2) Hematogen (descending) disebut demikian bila sebelumnya terjadi infeksi
pada ginjal yang akhirnya menyebab ke dalam saluran kemih melalui
peredaran darah.
3) Limfogen (jalur limfatik) jika masuknya mikroorganisme melalui sistem
limfatik yang menghubungkan kandung kemih dengan ginjal namun ini
jarang terjadi (Coyle & Prince, 2014).
4) Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau
eksogen sebagai akibat dari pemakaian kateter (Israr, 2009).
40
hingga cukup berat (pielonefritis akut, batu saluran kemih dan bakteremia)
(Semaradana, W.G.P. 2014).
Gejala yang timbul antara lain rasa nyeri pada saluran kemih, rasa
sakit saat buang air kecil atau setelahnya, anyang-anyangan, warna air seni sangat
pekat
seperti air teh, nyeri pada bagian pinggang, hematuria (kencing
berdarah),
perasaan tertekan pada perut bagian bawah, rasa tidak nyaman pada bagian
panggul serta tidak jarang pula penderita mengalami panas tubuh (Dharma,
P.S.
2015). Kasus asimptomatik berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya
infeksi simptomatik berulang yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
(Anggraini,P. 2014)
2.1.8 DIAGNOSIS
ISK
2.1.8.1 RIWAYAT
MEDIS
41
menurunkan ISK. Faktor-faktor yang mungkin dapat meningkatkan ISK
antara lain dysuria, polakisuria, nokturia, adanya atau meningkatnya inkontinen,
mikrohematuria, nyeri suprapubik, bau menyengat pada urin atau urin berwarna
keruh dan adanya riwayat ISK sebelumnya (Schmiemann et.al. 2010).
2.1.8.2 TES
URIN
Tes urin adalah unsur penting kedua dalam uji coba diagnostik ISK
(Schmiemann et.al. 2010). Pemeriksaan yang paling ideal untuk deteksi
adanya
ISK adalah kultur urin. Untuk menegakkan diagnosis ISK bergejala (sistitis
akut
3
dan pielonefritis), nilai ambang batas yang digunakan adalah 10 cfu/ml. Untuk
ISK tak bergejala (bakteriuria asimtomatik), nilai ambang batas yang digunakan
5
adalah 10 cfu/ml. Dalam diagnosis bakteriuria asimtomatik harus digunakan
sampel yang berasal dari urin porsi tengah yang diambil secara bersih
(midstream, clean catch urine sample) (Ocviyanti dan Fernando 2012).
Fakta bahwa spesimen urin begitu mudah diperoleh atau
dikumpulkan sering menyebabkan penanganan spesimen setelah pengumpulan
menjadi kelemahan dalam urinalisis. Perubahan komposisi urin terjadi tidak
hanya invivo tetapi juga invitro, sehingga membutuhkan prosedur penanganan
yang benar. Penanganan spesimen meliputi prosedur penampungan urin dalam
wadah spesimen, pemberian identitas spesimen, pengiriman atau penyimpanan
spesimen. Penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan hasil pemeriksaan
yang keliru (Riswanto dan Rizki, 2015).
a. Wadah spesimen urin
Botol penampung (wadah) urin harus bersih dan kering. Adanya air dan
kotoran dalam wadah berarti adanya kuman-kuman yang kelak
berkembang biak dalam urine dan mengubah susunannya. Wadah
urin yang terbaik adalah yang berupa gelas dengan mulut lebar yang
dapat disumbat rapat dan sebaiknya urin dikeluarkan langsung ke
wadah tersebut. Jika hendak memindahkan urin dari wadah ke wadah lain,
kocoklah terlebih dahulu, supaya endapan ikut terpindah. Berilah
42
keterangan yang lengkap tentang identitas sampel pada wadah spesimen
(Gandasoebrata, 2013).
b. Identitas spesimen urin
Identitas spesimen ditulis dalam label yang mudah dibaca. Label memuat
setidaknya nama pasien dan nomor identifikasi, tanggal dan waktu
pengumpulan dan informasi tambahan seperti usia pasien dan lokasi dan
nama dokter, seperti yang dipersyaratkan oleh protokol institusional
(Riswanto dan Rizki, 2015).
c. Pengiriman spesimen urin
Pemeriksaan urinalisis yang baik harus dilakukan pada saat urin masih
segar (kurang dari 1 jam), atau selambat-lambatnya dalam waktu 2 jam
setelah dikemihkan. Penundaan antara berkemih dan pemeriksaan
urinalisis dapat mempengaruhi stabilitas spesimen dan validitas hasil
pemeriksaan (Riswanto dan Rizki, 2015). Unsur-unsur pada urin
(sedimen) mulai mengalami kerusakan dalam 2 jam. Jika dalam waktu 2 jam
belum dilakukan pemeriksaan maka urin dapat disimpan pada suhu
o
4 C (Wirawan, 2015).
d. Cara pengambilan sampel
Sampel urin yang biasa dipakai adalah porsi tengah (midstream). Jenis
pengambilan sampel urin ini dimaksudkan agar urin tidak terkontaminasi
dengan kuman yang berasal dari perineum, prostat, uretra maupun vagina,
karena dalam keadaan normal urin tidak mengandung bakteri, virus atau
organisme lain (Brunzel, 2013). Pengambilan sampel ini dilakukan oleh
pasien sendiri, oleh sebab itu pasien harus diberikan penjelasan cara
pengambilan sampel urin, yaitu sebagai berikut :
1) Pada wanita
Pasien harus mencuci bersih tangan dengan sabun dan dikeringkan
dengan kertas tisu, dengan menggunakan tisu basah dan steril labia
dan sekitarnya dibersihkan. Buang urin pertama yang keluar,
setelah itu urin porsi tengah ditampung dan membuang urin
terakhir yang dikemihkan. Tutup rapat botol sampel.
43
Gambar 2.3 Pengambilan sampel urin porsi tengah pada wanita
Sumber: https://nursekey.com/3-urinalysis/
2) Pada pria
Pasien mencuci bersih tangan dengan sabun dan dikeringkan
dengan kertas tisu, untuk pasien yang tidak disunat tarik preputium
ke belakang, lubang uretra dibersihkan. Pasien yang sudah disunat
langsung membersihkan uretra menggunakan tisu basah ke arah
glans penis setelah itu urin porsi tengah ditampung. Botol sampel
ditutup rapat (Wirawan, 2015).
44
dan gejala, letak infeksi, dan penggolongan infeksi termasuk dalam ISK
komplikata atau ISK non komplikata. (Dipiro et al, 2015).
Kemampuan untuk mengeradikasi bakteri pada penyakit ISK
berhubungan langsung dengan kepekaan organisme dan konsentrasi pencapaian
dari agen antimikroba didalam urin. Penanganan terapi pada ISK yang terbaik,
pertama –
tama dengan mengakategorikan tipe infeksi, antara lain: sistitis non
komplikata
akut, bakteriuria simtomatik, bakteriuria asimtomatik, ISK komplikata,
infeksi
berulang, atau prostatitis. (Dipiro et al, 2015).
Pada terapi ISK pilihan antibiotik untuk terapi sebaiknya dengan panduan
pola resistensi kuman dan uji sensitivitas antibiotik di rumah sakit atau klinik
setempat, tolerabilitas obat dan reaksi negatif, efek ekologi negatif, biaya, dan
ketersediaan obat. Lama pemberian antibiotik tergantung dari obat
yang digunakan dan berkisar dari 1-7 hari untuk penyakit sistitis non komplikata.
Pada pielonefritis non komplikata waktu pemberian antibiotika berkisar antara 10
– 14 hari, sementara pilihan antibiotika disesuaikan dengan kondisi pasien.
(Mochtar et al, 2015).
Menurut Guideline on Urological Infections Tahun 2015 menyatakan
bahwa terapi antimikroba untuk penyakit ISK pada dewasa adalah sebagai
berikut:
45
*G6PD = glucose-6-phospate dehydrogenase; TMP = Trimethoprim; SMX
=
Sulphamethoxazole.
Sumber: (Guidline on Urological Infection, 2015)
Tabel 2.2 Terapi antimikroba pada pielonefritis akut non
komplikata
46
2.1.10 KOMPLIKASI
ISK
47
BAB III
KESIMPULAN
48
DAFTAR PUSTAKA
49
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kusta masih ada di Indonesia.
2018. Available
from: http://www.depkes.go.id/article/print/18013100003/kusta-masih-ada-
di- indonesia.html [ cited 2021 Dec 30th ]
Ketut,S. (ed.) 2015, Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II, Edisi VI, Interna Publishing, Jakarta Pusat, Hlm. 2159-2165.
Levin, A, Stevens, PE, Bilous, RW, Coresh, J, De Francisco, ALM, De Jong, PE,
Griffith, KE, Hemmelgarn, BR, Iseki, K, Lamb, EJ, Levey, AS, Riella, MC,
Shlipak, MG, Wang, H, White, CT & Winearls, CG. 2013, ‘Kidney disease:
Improving global outcomes (KDIGO) CKD work group. KDIGO 2012
clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease’, Kidney International Supplements, vol. 3, no. 1, pp. 1-150.
Mahmood, N., Khan, M.U., Haq, I.U., Jelani, F.A. and Tariq, A., 2019. A case of
dapsone induced methemoglobinemia. Journal of pharmaceutical policy
and practice, 12(1), pp.1-3.
Mannemuddhu, S.S., Ali, R., Kadhem, S. and Ruchi, R., 2021. Unusual cause of
persistent dyspnea in a patient with nephrotic syndrome: dapsone-induced
methemoglobinemia. CEN Case Reports, pp.1-5.
Meneses GC, Libório AB, Daher EF, Silva Junior GB, Costa MF, Pontes
MA, Martins AM. Urinary monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1) in
leprosy patients: increased risk for kidney damage. BMC Infect Dis.
2014;14:451.
MIMS. 2018. “Epoetin alfa: Indication, Dosage, Side Effect, Precaution” Ment 1,
pp. S73–S85.
National Kidney Foundation. 2014, ‘About Chronic Kidney Disease: A Guide
for Patients’, National Kidney Foundation Inc, New York, [Online],
accessed 30 December 2021, Available at:
h t t p s ://www.kidney.org/sites/default/files/11-50-
0160_patientguideCKD.pdf
Papadakis, M.A., McPhee, S.J. and Rabow, M.W. (Eds.). (2018), CURRENT
Medical Diagnosis & Treatment 2019, 58th ed., McGraw-Hill Education.
50
Park, S.Y., Lee, K.W. and Kang, T.S., 2014. High-dose vitamin C management in
dapsone-induced methemoglobinemia. The American journal of emergency
medicine, 32(6), pp.684-e1.
PERDOSKI. 2017. Kusta dalam: Panduan Praktik Klinis. PERDOSKI : Jakarta,
pp.80-89
PERMENKES RI. Pedoman Penanggulangan Kusta Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia; 2019
Polito, M.G., Moreira, S.R., Nishida, S.K. and Mastroianni Kirsztajn, G., 2015. It
is time to review concepts on renal involvement in leprosy: pre-and post-
treatment evaluation of 189 patients. Renal failure, 37(7), pp.1171-1174.
Riskesdas. (2018a). InfoDATIN Ginjal. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Riskesdas. (2018b). InfoDATIN Kusta. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Roehr, A.C., Frey, O.R., Koeberer, A., Fuchs, T., Roberts, J.A. and Brinkmann,
A., 2015. Anti-infective drugs during continuous hemodialysis–using the
bench to learn what to do at the bedside. The International journal of
artificial organs, 38(1), pp.17-22.
Romagnani, P., Remuzzi, G., Glassock, R., Levin, A., Jager, K.J., Tonelli, M.,
Massy, Z., et al. (2017), “Chronic kidney disease”, Nature Reviews Disease
Primers, Macmillan Publishers Limited, Vol. 3, p. 17088.
Saunderson. 2017. Chapter 30 : Chemoteraphy of Leprosy in IAL Textbook of
Leprosy. Jaypee Brothers: India, pp 441 – 447.
Sekar B. Bacteriology of Leprosy. In:Kar KH, Kumar B, editor.IAL Textbook of
51
Silva, G.B.D., Daher, E.D.F., Pires, R.D.J., Pereira, E.D.B., Meneses, G.C.,
Araújo, S.M.H.A. and Barros, E.J.G., 2015. Leprosy nephropathy: a review
of clinical and histopathological features. Revista do Instituto de Medicina
Tropical de São Paulo, 57, pp.15-20.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M. and Setiati, S.
2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Tanto,C.,Liwang,F.,Hanifati,S., Pradipta,E.A. 2016, Kapita Selekta
Kedokteran Dalam Jilid II, Edisi 4, Media Aesculapius, Jakarta Pusat,
Hlm.644-647.
Venkatesan K, Deo N. Biochemical Aspect. In:Kar KH, Kumar B, editor.IAL
52