Anda di halaman 1dari 52

HIPEROSMOLAR NON KETOTIK

PADA
DIABETES MELITUS TIPE II
(Laporan Kasus)

Oleh :
dr. Serafina Subagio

Pembimbing :

dr. Agus Sutanto, M.Sc., Sp.PD

INTERNSHIP

RSUD ZAINAL ABIDIN PAGAR ALAM

WAY KANAN

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

presentasi kasus penyakit dalam ini dengan judul “ HIPEROSMOLAR NON

KETOTIK PADA DIABETES MELITUS TIPE II ” sebagai salah satu

persyaratan Program Internship.

Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga laporan kasus ini selesai

tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang

telah diberikan, baik moril maupun materil, maka selanjutnya penulis ingin

menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada seluruh

pihak yag telah membantu penulis dalam menyelesaikan presentasi kasus ini.

2
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Usia : 24 tahun
Pekerjaan : Akademi Polisi
Agama : Islam
Alamat :-
Jenis kelamin : Laki-laki
Ruangan : III/ Ruang Penyakit Dalam
No. RM : 70XXXX
Tanggal Masuk : 16 Oktober 2019
Pembiayaan : BPJS

II. Anamnesa

Keluhan Utama :
Tuan A datang dengan pertama ke IGD jam 12.16 dengan keluhan lemas sejak
pagi.

Keluhan Tambahan :
Sesak nafas
Kejang +/- 15 menit
Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :


Tuan A datang dengan pertama ke IGD jam 12.16 dengan keluhan lemas sejak
pagi. Pasien merasa lemas tidak bisa beraktivitas, merasa kelaparan dan
kehausan terus menerus tetapi setelah makan dan minum tetap merasa lemas.
Keluhan disertai sesak nafas. Setelah keadaan stabil, dan GDS: 220mg/dl

3
pasien di pindahkan dari IGD ke ruang rawat inap pukul 14.00. Pada pukul
16.30 WIB penurunan kesadaran dan kejang +/- 15 menit. Sebelum kejang os
mengeluh badan sebelah kiri kesemutan dan tangan kirinya tidak bisa
digerakan dan badan demam. Pasien mengaku sudah pernah mengalami hal
seperti ini dan kejang sebanyak 2x dalam setahun ini. Pasien dialih rawat dari
ruang rawat inap ke HCU RSUD ZAPA.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien mengatakan sebelumnya sudah mengalami kejang yang berulang.
Penyakit DM (+) rutin berobat memakai insulin 12U-12U-12U
Pasien juga menyangkal adanya riwayat Hipertensi dan penyakit ginjal
Pasien juga menyangkal adanya riwayat Asma dan Alergi.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat Hepatitis pada keluarga disangkal
Riwayat Hipertensi dan gangguan ginjal pada keluarga disangkal
Pasien mangaku ada dari keluarga yang mengidap DM
Riwayat TB paru pada keluarga disangkal
Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal

Anamnesis Sistem:
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip
(-) menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.

Kepala
(-) Trauma (-) Nyeri kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri sinus
(-) Rambut rontok

Mata
(-) Nyeri (-) Anemis
(-) Radang (-) Gangguan penglihatan
(-) Sklera Ikterus (-) Penurunan ketajaman penglihatan

4
Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan pendengaran
(-) Kehilangan pendengaran

Hidung
(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis

Mulut
(-) Bibir (-) Lidah
(-) Gusi (-) Gangguan pengecapan
(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara
(-) Nyeri menelan

Leher
(-) Benjolan/ massa (-) Nyeri leher

Jantung/ Paru
(-) Nyeri dada (+) Sesak nafas
(-) Berdebar-debar (-) Batuk darah
(-) Ortopnoe (-) Batuk

Abdomen
(-) Rasa kembung (-) Splenomegali
(+) Mual (-) Muntah darah
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Caput medusae (-) Melena
(-) Hepatomegali (-) Tinja berwarna dempul
(-) Nyeri perut (-) Pelebaran vena

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria (-) Kencing nanah
(-) Stranguri (-) Nyeri
(-) Poliuria (-) Oliguria

5
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi urin
(-) Batu ginjal (-) Kencing menetes
(-) Kencing kuning keruh atau air teh

Otot dan Syaraf


(-) Anestesi (-) Sukar menggigit
(+) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot lemah (-) Hipo/hiper-estesi
(+) Kejang (-) Pingsan / syncope
(-) Afasia (-) Kedutan (tick)
(-) Amnesis (-) Pusing (Vertigo)
(-) Lain-lain (-) Gangguan bicara (disartri)

Ekstremitas
(+) Dingin (-) Deformitas
(-) Nyeri sendi (-) Sianosis
(-) Ikterik (-) Eritem palmar
(+) Infeksi Luka Tusukan Jarum
Insulin

III. Pemeriksaan Fisik


a. Tanda Vital:
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Koma, GCS E1 V2 M2
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 130kali/menit
Respirasi : 32x kali/menit
Suhu : 39,20C

STATUS GENERALIS:
1. Kepala :
Normocephal, rambut beruban tidak lebat, dan tidak mudah
dicabut.

6
2. Mata :
Normal, Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Lebam
pada orbita dekstra, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+)

3. Hidung :
Bentuk normal, deviasi septum (-), epistaksis (-/-), secret (-/-)

4. Telinga :
Membran timpani intak (+), serumen (-/-), secret (-/-)

5. Mulut :
Mukosa mulut basah dan lidah dalam batas normal, tidak
sianosis

6. Tenggorokan :
Uvula ditengah, tonsil normal, faring hiperemis (-)

7. Leher :
Tidak tampak pulsasi vena pada leher, tidak teraba adanya
massa atau pembesaran KGB.

8. Dada :
a. Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat, retraksi dinding
dada (+)
 Palpasi : Iktus cordis teraba pada sela iga ke-5
sinistra
 Perkusi :
Batas pinggang jantung : ICS II linea parasternal
sinistra

7
Batas kanan jantung : ICS IV linea parasternal
dextra
Batas kiri jantung : ICS V linea midclavicula
sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-),
gallop (-)

b. Paru
 Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
 Palpasi : Fremitus taktil dan fremitus vokal simetris
kanan dan kiri sama
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki +/+,
wheezing -/-

9. Abdomen
Inspeksi :Tampak simetris, tidak terdapat sikatrik,
tidak ditemukan adanya spider nevi. tidak
terlihat massa, terlihat adanya pelebaran
vena, tidak ada kelainan kulit
Auskultasi : Bising usus (+), bising aorta abdominalis
tidak terdengar.
Perkusi :Terdengar suara dominan timpani pada
keempat kuadran abdomen, shifting
dullness (-)
Palpasi :Supel, lembut, turgor normal,
hepatosplenomegali (+), tidak terdapat
nyeri tekan.

8
10. Ekstremitas
Superior : Akral dingin, sianosis -/-, infeksi pada
lengan atas (+), region brachii terdapat
nodus eritema , pus (+) , bekas jarum suntik
Inferior : Akral Dingin, sianosis -/-, edema -/-

IV. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (IGD, 16 Oktober 2019)
o Hb : 15,2g/dl
o Ht : 43 %
o Leukosit : 18.8/uL
o Trombosit : 347.000/uL
o SGPT : 55 u/l
o SGOT : 34 U/L
o GDS : Hi 600mg/dl mg/dl
o Ureum : 53 mg/dl
o Kreatinin : 1,2 mg/dl
o Gol. Darah : O (Rh +)
o Natrium : 141,5 mmol/L
o Kalium : 4,41 mmol/L
o Chlorida : 85,7 mmol/L
 Urine Lengkap
o Warna (urine) : Kuning
o Kekeruhan : Jernih
o Berat Jenis (urine) : 1.020
o PH : 6.0
o Protein : Positive +3
o Glucosa (Urine) : Positive +3
o Keton : Negative
o Bilirubin Urine : negative
o Urobilinogen : Normal
o Nitrit : Negative

9
o Darah Samar : 20 / LPB
o Sedimen : Kristal : Negatif
o Sedimen : slinder : Negatif

 Laboratorium ( HCU, 17 Oktober 2019 )

o Hemoglobin : 13,4 mg/dl


o Ureum : 64 mg/dl
o Kreatinin : 1,6 mg/dl

 Laboratorium
o GDS : 266 mg/dl
o Hb : 14,7 g/dl
o Leukosit : 11, 95
o Trombosit : 265000
o Hematokrit : 43,5

Hitung Osmolaritas serum


Nilai Normal
270 - 295 mOsm/L

Osmolaritas
BUN (Blood Urea Nitrogen )
= Ureum/ 2,14= 64/ 2,14 =29,90

Osmolalitas
= 2 (Na) + (GDS/ 18)+ (BUN/ 2,8)
= 2 (141,5) + ( 600/ 18) + (29,90/ 2,8)
= 283 +33,33 +10,67
= 326,97 mOsm/L

10
V. Diagnosis
Diagnosis Kerja:
Penurunan kesadaran ec Hiperosmolar Non Ketotik
Observasi Febris

VI. Diagnosis Banding


Ketoasidosis Diabetikum

VII. Pemeriksaan yang Dianjurkan


- Pemeriksaan Laboraturium
- Darah Rutin, GDS
- Fungsi Ginjal, Fungsi Hati
- Elektrolit, Urine Lengkap
- Analisa Gas Darah
- EKG
- Hitung Osmolaritas

11
VIII. Terapi yang diberikan

IGD
• Oksigen 2-4 lpm
• Loading Nacl 1000 cc
• Stesolid 10 g sup jika kejang
• Loading 1 jam :
- I : 1000 cc
- II : 1000 cc
- III: 500 cc IVFD D5% 20
tpm
• Inj Ceftriakson 2gr / 12 jam
• Omeprazole 40 mg/ 24 jam
• Bicnat 500mg 2x1 tablet

IX. Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad Bonam
 Quo ad functionam : dubia ad Bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad Bonam

12
Follow Up

16 Oktober 2019 jam 16.45

S: O: A: P:

Pasien datang dengan o KU: lemah - Penurunan • Informed Consent


penurunan kesadaran o KS: Koma E1V1 Kesadaran e.c keadaan kritis pasien ke
disertai kejang +/- M1 susp HONK keluarga
15menit sebelum kejang o TD: 110/70
badan kesemutan dan o RR: 32x/menit - Hiperglikemia • Loading Nacl 1000 cc
tangannya tidak bisa o N: 130 Pada DM II
• Oksigen 8 lpm NRM
digerakkan o S: 39,2oC - Obs. Konvulsi
o Kepala : • Loading Nacl 1000 cc
Demam (+), sesak nafas dan demam
normocephal • Stesolid 10 g supp
(+) o Mata : CA -/ • Loading 1 jam :
Si -/-
- I : 1000 cc
o THT : dbn
o Wajah : dbn - II : 1000 cc
o Leher : dbn - III: 500 cc IVFD D5%
o Dada :
20 tpm
simetris, retraksi (+)
o Cor : BJ I-II reg, m(- • Inj Ceftriakson 2gr / 12
) g(-) jam
o Pulmo : ves +/+,
• Omeprazole 40 mg/ 24
wh(-) rh(-)
o Abd. : supel, jam
NT(-), BU(+) N • Ondansentron 8 mg/ 8
hepatosplenomegali jam
(-)
o Ext: dingin (+), • Bicnat 500mg 2x1 tablet
pada region • Novorapid 15 U-15U-
brachialis terdapat 15U
nodus hiperemis
• Pasang DC
diameter 8 cm, pus
(-), teraba hangat • Pasang NGT
(+) • Konsul spesialis anestesi
GDS: Hi
Alih rawat HCU

13
16 Oktober 2019 HCU 18.00 (High Care Unit)

S: O: A: P:

Penurunan Kesadaran o KU: tampak sakit - Penurunan -Oksigen sungkup 6 lpm


berat Kesadaran e.c
Sesak Nafas (+) susp HONK -Rehidrasi IVFD 2 line
o KS: E1 V1 M1
I Titofusin 20 tpm
- Hiperglikemia
o TD: 100/70 Pada DM II II Rehidrasi Ringer Fudin 2
o RR: 34x/menit liter
- Obs. Konvulsi
o N: 171x/menit dan demam dalam 6 jam

o S: 38,8oC -Selanjutnya IVFD 30 tpm


-Inj. Omeprazole 40 mg/ 24
o SpO2: 80%
jam
o Kepala :
normocephal -Inj. Paracetamol 1 gram/ 12

o Mata : CA -/- jam


Si -/- -Insulin IV 16 U selanjutnya
o THT : dbn 5 unit/ jam

o Wajah : dbn -Jika GDS


400-600 mg/dl : 6 Unit/ jam
o Leher : dbn
300-400 mg/dl : 4 Unit/ jam
o Dada :
simetris, retraksi 200-300 mg/dl : 3 Unit/ jam
(+) 100-200 mg/dl: 1-2 Unit/ jam
o Cor : BJ I- -Cek GDS tiap 2 jam
II reg, m(-) g(-)
o Pulmo : ves -/-,
wh(-) rh(-)
o Abd. : supel,
NT(-), BU(+) N
o Ext. : akral
+ +
dingin /+ /+

14
15
17 Oktober 2019 HCU 8.30 (High Care Unit)

S: O: A: P:

Os mengatakan lemas o KU: tampak sakit - Penurunan -Rehidrasi IVFD 2 line


sedang Kesadaran e.c
Penurunan kesadaran I Titofusin 20 tpm
susp HONK
(-) o KS: E4 V5 M6 II Rehidrasi Ringer Fudin 2
- Hiperglikemia
o TD: 90/60 liter
Mual (+) Pada DM II
o RR: 18x/menit dalam 6 jam
Kejang (-) - Obs. Konvulsi
o N: 89x/menit dan demam -Selanjutnya IVFD 30 tpm
Sesak nafas (-) -Inj. Omeprazole 40 mg/ 24
o S: 36,8oC
jam
o SpO2: 94%
-Inj. Paracetamol 1 gram/ 12
o Kepala : jam
normocephal
-Insulin IV 16 U selanjutnya
o Mata : CA -/-
Si -/- 5 unit/ jam
-Jika GDS
o THT : dbn
400-600 mg/dl : 6 Unit/ jam
o Wajah : dbn
300-400 mg/dl : 4 Unit/ jam
o Leher : dbn
200-300 mg/dl : 3 Unit/ jam
o Dada : 100-200 mg/dl: 1-2 Unit/ jam
simetris, retraksi
(-) -Cek GDS tiap 2 jam

o Cor : BJ I- - Injeksi Ceftriaxone 1 gr/ 12


II reg, m(-) g(-) jam
o Pulmo : ves -/-, -Inj Nor epinefrin 0,2
wh(-) rh(-) mikrogram/ jam
o Abd. : supel, Jam 10.00 tensi 170/110
NT(-), BU(+) N
Inj nor epinefrin 0,1 mcg
o Ext. : akral
+ +
dingin /+ /+

16
Non Farmakologi
Nutrisi
BB 48 kg TB 165 cm
IMT 17,6 Kekurangan BB
TK ringan
Diet DM 1700kkal
Kebutuhan energi :
30 kkalx 48 : 1440 kkal
Kebutuhan protein
20%x 1440: 21,6 gram
Kebutuhan lemak
25%x 1440 : 40 gram
Kebutuhan karbohidrat
55%x1440 : 198 gram

17
18 Oktober 2019 HCU 8.30 (High Care Unit)

S: O: A: P:

Os mengatakan lemas o KU: tampak sakit - Penurunan IVFD Titofusin 20 tpm


sedang Kesadaran e.c
Penurunan kesadaran dalam 6 jam
o KS: E4 V5 M6 susp HONK
(-) Bila GDS ≤ 200mg/dl infus
o TD: 100/80 - Hiperglikemia
Mual (+) o RR: 18x/menit Pada DM II d5%
o N: 89x/menit -Inj. Omeprazole 40 mg/ 24
Kejang (-) o S: 36,8oC - Obs. Konvulsi
dan demam jam
o SpO2: 94%
Sesak nafas (-) -Inj. Paracetamol 1 gram/ 12
o Kepala :
normocephal jam bila demam
o Mata : CA -/-
-Jika GDS
Si -/-
o THT : dbn 400-600 mg/dl : 6 Unit/ jam
o Wajah : dbn 300-400 mg/dl : 4 Unit/ jam
o Leher : dbn 200-300 mg/dl : 3 Unit/ jam
o Dada :
simetris, retraksi 100-200 mg/dl: 1-2 Unit/ jam
(-) -Cek GDS tiap 2 jam
o Cor : BJ I- - Injeksi Ceftriaxone 1 gr/ 12
II reg, m(-) g(-)
jam
o Pulmo : ves -/-,
wh(-) rh(-)
o Abd. : supel,
NT(-), BU(+) N
o Ext. : akral
+ +
dingin /+ /+
o GDS 127 mg/dl

18
Non Farmakologi
Nutrisi
BB 48 kg TB 165 cm
IMT 17,6 Kekurangan BB
TK ringan
Diet DM 1700kkal
Kebutuhan energi :
30 kkalx 48 : 1440 kkal
Kebutuhan protein
15%x 1440: 21,6 gram
Kebutuhan lemak
25%x 1440 : 40 gram
Kebutuhan karbohidrat
55%x1440 : 198 gram

19
19 Oktober 2019 RPD jam 08.00

S: O: A: P
Os mengatakan lemas o KU: tampak sakit - Penurunan -IVFD NaCl 20 tpm
Penurunan kesadaran (-) sedang Kesadaran e.c -Inj. Omeprazole 40 mg/ 24 jam
Mual (+) o KS: E4 V5 M6 susp HONK
-Inj. Paracetamol 1 gram/ 12
Kejang (-) o TD: 100/80 - Hiperglikemia
Sesak nafas (-) o RR: 18x/menit Pada DM II jam bila demam
o N: 89x/menit - Obs. Konvulsi -Insulin rapid acting 6U-6U-6U
o S: 36,8oC dan demam
- Injeksi Ceftriaxone 1 gr/ 12
o SpO2: 94%
o Kepala : jam
normocephal Jika GDS < 200 mg/dl infus
o Mata : CA -/-
d5% berisi 20 unit insulin
Si -/-
o THT : dbn
o Wajah : dbn Non Farmakologi
o Leher : dbn Nutrisi
o Dada :
simetris, retraksi (-) BB 48 kg TB 165 cm
o Cor : BJ I-II reg, m(- IMT 17,6 Kekurangan BB TK
) g(-) ringan
o Pulmo : ves -/-,
Diet DM 1700kkal
wh(-) rh(-)
o Abd. : supel, Kebutuhan energi :
NT(-), BU(+) N 30 kkalx 48 : 1440 kkal
o Ext. : akral
+ +
Kebutuhan protein
dingin /+ /+
o GDS 201 mg/dl 15%x 1440: 21,6 gram
Kebutuhan lemak
25%x 1440 : 40 gram
Kebutuhan karbohidrat
55%x1440 : 198 gram

20
20 Oktober 2019 RPD jam 08.00

S: O: A: P
Os mengatakan lemas o KU: tampak sakit - Penurunan -IVFD NaCl 20 tpm
Penurunan kesadaran (-) sedang Kesadaran e.c -Inj. Omeprazole 40 mg/ 24 jam
Mual (+) o KS: E4 V5 M6 susp HONK
-Inj. Paracetamol 1 gram/ 12
Kejang (-) o TD: 90/60 - Hiperglikemia
Sesak nafas (-) o RR: 18x/menit Pada DM II jam bila demam
o N: 89x/menit - Obs. Konvulsi -Insulin rapid acting 6U-6U-6U
o S: 36,8oC dan demam
- Injeksi Ceftriaxone 1 gr/ 12
o SpO2: 94%
o Kepala : jam
normocephal
o Mata : CA -/-
Non Farmakologi
Si -/-
o THT : dbn Nutrisi
o Wajah : dbn BB 48 kg TB 165 cm
o Leher : dbn IMT 17,6 Kekurangan BB TK
o Dada :
simetris, retraksi (-) ringan
o Cor : BJ I-II reg, m(- Diet DM 1700kkal
) g(-) Kebutuhan energi :
o Pulmo : ves -/-,
30 kkalx 48 : 1440 kkal
wh(-) rh(-)
o Abd. : supel, Kebutuhan protein
NT(-), BU(+) N 15%x 1440: 21,6 gram
o Ext. : akral
+ +
Kebutuhan lemak
dingin /+ /+
o GDS 203 mg/dl 25%x 1440 : 40 gram
Kebutuhan karbohidrat
55%x1440 : 198 gram

21
21 Oktober 2019 RPD jam 08.00

S: O: A: P
Os mengatakan lemas o KU: tampak sakit - Penurunan
Penurunan kesadaran (-) sedang Kesadaran e.c BLPL
Mual (-) o KS: E4 V5 M6 susp HONK
Kejang (-) o TD: 100/70 - Hiperglikemia Farmakologi
Sesak nafas (-) o RR: 18x/menit Pada DM II Levamir 6U (malam hari)
o N: 89x/menit - Obs. Konvulsi Novorapid 12U-12U -12 U
o S: 36,8oC dan demam
o SpO2: 94% Non Farmakologi
o Kepala :
Nutrisi
normocephal
o Mata : CA -/- BB 48 kg TB 165 cm
Si -/- IMT 17,6 Kekurangan BB TK
o THT : dbn
ringan
o Wajah : dbn
o Leher : dbn Diet DM 1700kkal
o Dada : Kebutuhan energi :
simetris, retraksi (-)
30 kkalx 48 : 1440 kkal
o Cor : BJ I-II reg, m(-
) g(-) Kebutuhan protein
o Pulmo : ves -/-, 15%x 1440: 21,6 gram
wh(-) rh(-) Kebutuhan lemak
o Abd. : supel,
NT(-), BU(+) N 25%x 1440 : 40 gram
o Ext. : akral Kebutuhan karbohidrat
+ +
dingin /+ /+ 55%x1440 : 198 gram
o GDS 333 mg/dl

22
TABEL OBSERVASI
Demograpi
Nama : Tn . A
No. MR : 866767
BB : 48 kg

Time 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 00 01 02 03 04 05 06 07

16 Oktober
2019

TD 89/ 90/ 90/ 90/ 85/ 80/ 91/ 90/ 84/ 90/ 90/ 85/ 90/ 98/ 84/ 89/ 90/ 86/ 92/ 98/ 85/ 86/ 89/ 84/
57 60 60 6090 / 60 61 50 67 55 87 60 50 60 66 55 59 60 57 60 61 70 57 59 55

HR 140 129 130 130 129 133 130 129 133 121 133 134 124 122 131 130 109 110 98 96 97 98 99 110

RR 41 46 42 34 36 33 41 35 30 34 32 30 33 34 31 34 32 33 31 30 28 24 23 32

T 38,8 37 37,7 36,8 36,5 36,7 36,1 36,5 36,1 36,5 36,3 36,8 36,9 36,2 36,1 36,5 36,3 36,8 36,9 36,2 36,3 36,3 36,4 36

Sp02 88 85 90 92 94 96 99 92 94 96 99 92 94 96 99 92 94 96 99 92 94 96 99 99

GDS Hi Hi 555 443 397 407 476 383 333 304 289 197

23
Parameter yang dinilai (dihitung setiap 2-4 jam)
Corrected Na

Rasio Cl : Na

Anion gap

*Corrected Na = [Na] + 0,4 ([Glukosa] – 5,5) Anion gap = ([Na] + [K]) – ([Cl] + [HCO3]) Hitung setiap 2 – 4 jam
Lab Biokimia Urin & Dipstik
Admisi & per 8 jam Na : K: Osmolaritas : Keton : Glukosa :

Jam Intake Output


21.00-08.00 Rehidrasi 1000cc Urin 600cc
Titofusin 720 cc IWL 7,5x48kg 360cc
PCT 100 cc Diuresis 1,8 cc/ kgBB/ jam
Total 1820 cc 960cc +860 cc

24
TABEL OBSERVASI
Demograpi
Nama : Tn . A
No. MR : 866767
BB : 48 kg

Time 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 00 01 02 03 04 05 06 07

17 Oktober
2019

TD 98/ 150 170 135 130 120 110 120 98/ 111 114 114 115 114 120 110 122 110 106 110 107 100 110 99/
70 /11 /11 /92
/98/98 /90 /89 /87 78 /76 / 78 /92 /78 /92 /78 /68 /78 /81 /85 /88 /87 /79 /70 81
0 0

HR 90 99 82 78 84 78 70 91 74 64 74 78 76 70 80 74 77 770 69 65 61 70 80 80

RR 30 29 30 28 29 20 21 18 21 28 23 20 21 18 21 20 22 21 20 18 20 18 21 19

T 36,8 36,9 36,7 36,8 36,5 36,7 36,1 36,5 36,1 36,5 36,3 36,8 36,9 36,2 36,1 36,5 36,3 36,8 36,9 36,2 36,3 36,3 36,4 36

Sp02 90 99 90 92 94 96 99 92 94 96 99 92 94 96 99 92 94 96 99 92 94 96 99 99

25
Jam Intake Output
08.00-14.00 Rehidrasi 1000cc Urin 260 cc
Titofusin 420 cc IWL 180 cc
PCT 100 cc Diuresis 1,5 cc/ kgBB/ jam
Terastec 180 cc
Total 1700 cc 440 cc +1260 cc
14.00-21.00 Titofusin 420cc Urin 500cc
Gelofusal 210cc IWL 180cc
Total 630 cc 680 cc
21.00-08.00 Titofusin 720cc Urin 800cc
Gelofusal 360cc IWL 180cc
Paracetamol 100cc
Total 1180 cc 980cc
3510cc 1218 cc +1410 cc
Diuresis 1,3 cc/kg BB/jam

26
ANALISA KASUS

1. Apakah penegakan diagnosis pada kasus ini sudah tepat ?


Sudah Tepat, Saat Tn A 24 tahun datang ke IGD ZAPA dengan lemas sejaka
tadi pagi dan didapatkan gula darah sewaktu yang tinggi (HI), dari pasien dan
keluarga belum mengetahui jika mempunyai penyakit diabetes.

Keluhan yang dirasakan Tn. A sudah sesuai dengan kriteria gejala dari
Hiperosmolar non Ketotik yaitu: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki
kejang. Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum,
local, maupun, mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat
reversible dengan koreksi defisit cairan dan juga ditemukan keluhan mual dan
muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien
datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis,
kejang atau koma.

Dari pemeriksaan fisik Tn A didapatkan nadi 120 x/ menit suhu 36,2 c


Respirasi 24 x/ menit dan pada hasil laboraturium didapatkan gula darah
sewaktu 803 mg/dl hitung osmolar yang didapatkan 326, 97 mOsm/L. dari
seluruh pemeriksaan yang dilakukan sudah menunjang diagnosis dari HONK
yaitu seperti, konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL)
dan osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290 ±
5]), dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak.

2. Mengapa pada pasien hiperosmolar tidak terjadi ketosis atau


ketoasidosis?
Terjadinya Penurunan cairan dan elektrolit tubuh akibat dari intoleransi
glukosa akan diikuti dengan pengurangan pelepasan asam lemak bebas,
sehingga diduga dehidrasi mempunya sifat antiketogenik. Peran penurunan
hormon lipolitik, seperti hormon pertumbuhan, kortison, glukagon,

27
katekolamin (hormon stres) kadar hormon lipolitik yang berkurang ini
memang telah dibuktikan pada koma hiperosmolar, sehingga kadar asam
lemak bebas lebih sedikit atau mempunyai kadar sama dengan pada
ketoasisdosis diabetik.

3. Mengapa pada Tn. A ini bisa mengalami penurunan kesadaran?

Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non


ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan
kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
akan semakin memperberat derajat kehilangan air.

28
Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan
keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan
konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.

Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan


hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat.
Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan
cenderung menjadi koma. Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas
darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan bekuan darah,
tromboemboli, infark cerebral, jantung.

4. Apakah Tatalaksana yang dilakukan sudah sesuai dengan keadaan


pasien ?
Terapi yang diberikan kepada Tn. A
Sudah Tepat, sesuai dengan Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar
Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK) meliputi lima pendekatan
(Soewondo, 2009) :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit
penyerta
e. Pencegahan

Cairan
pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline per jam. Jika
pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma
expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka
diperlukan monitor hemodinamik
a. Elektrolit
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L),
pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan

29
1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3
mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0
mmol per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0
mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor
tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L ,
maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan
intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat)
untuk mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0
mmol per L) dan 5,0 mEq per L.

b. Insulin
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara
intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai
konsentrasi glukosa darah turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per
L) sampai 300 mg per Dl. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tidak
turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan.
Ketika konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL,
sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin
dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan
hiperosmolar

5. Bagaimana Prognosis Pada Pasien yang mengalami keadaan seperti ini?

Keadaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)


merupakan salah satu komplikasi akut atau emergensi Diabetes Melitus
(DM). Kedaruratan ini pun masih merupakan penyebab tingginya morbiditas
dan mortalitas dari pasien penderita Diabetes Melitus (DM).

Angka kejadian Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik masih sulit


diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun
diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di

30
Rumah Sakit. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. Prognosis
dari kasus ini biasanya buruk, meskipun sebenarnya kematian dari pasien
bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar itu sendiri melainkan oleh
karena penyakit yang mendasarinya atau menyertainya. Angka
kematiannya berkisar antara 30 – 50 % yang merupakan angka kematian
yang tinggi hal ini disebabkan karena serinya terjadi kegawatan ini pada usia
lanjut dan berhubungan dengan penyakit penyakit kardiovaskular atau
penyakit yang mendasari lainnya, infeksi, dehidrasi, dan osmoralitas darah
yang sangat tinggi. Namun demikian angka kematian pada negara maju
dapat ditekan menjadi sekitar 12 %.

31
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik (HHNK) adalah
komplikasi metabolik akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes
mellitus (DM) tipe 2 yang lebih tua. Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia
berat (kadar glukosa serum > 600 mg/dL) yang tanpa disertai ketosis.
Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan
dehidrasi berat. Psien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila tidak
segera ditanganin (Price, 2006).

B. EPIDEMIOLOGI
1. Statistik Amerika Serikat
Tidak ada studi berbasis populasi dari HHS yang telah dilakukan.
Menurut National Hospital Discharge Survey AS yang didanai oleh
Pusat Statistik Kesehatan Nasional Amerika serikat, ada 10.800
kejadian tahunan untuk HNS di Amerika Serikat 1989-1991. HHS
mempengaruhi sekitar 1 dari 500 pasien dengan DM. Insiden
keseluruhan HHS kurang dari 1 kasus per 1000 orang-tahun, sehingga
secara signifikan kurang umum daripada DKA (Diabetes
Ketoasidosis). Seperti prevalensi DM tipe 2 yang meningkat, kejadian
HHS kemungkinan akan meningkat juga (Hemphill, 2012).

2. Demografi Sehubungan dengan Usia


HHS memiliki usia rata-rata onset awal dekade ketujuh kehidupan.
Rata-rata usia pasien dengan HHS adalah 60 tahun. Laporan kejadian
kasus yang paling sering dipublikasikan adalah usia 57-69 tahun.
Sebaliknya, usia rata-rata onset untuk Diabetes Ketoasidosis adalah
awal dekade keempat kehidupan.. HHS juga dapat terjadi pada orang

32
yang lebih muda. Secara khusus, karena laju peningkatan obesitas pada
anak-anak, prevalensi DM tipe 2 juga meningkat pada kelompok usia
ini dan dapat menyebabkan peningkatan insiden HHS pada populasi
ini (Hemphill, 2012).

Masyarakat yang hidup di panti jompo beresiko untuk HHS. Hal hal
yang mendasari adanya pencegahan hidrasi yang memadai, termasuk
imobilitas, usia lanjut, kelemahan, demensia, agitasi, dan aktivitas
yang menurun, menempatkan pasien pada risiko. Gangguan indera,
seperti tuli dan kebutaan, dapat menyebabkan isolasi sosial dan juga
meningkatkan risiko HHS (Hemphill, 2012).

3. Demografi Sehubungan dengan Jenis Kelamin


Tidak ada predileksi seks dicatat dalam seri yang paling sering
dipublikasikan HHS. Namun, beberapa data menunjukkan bahwa
prevalensi sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada laki-
laki. Dalam Survei Discharge US National Hospital (lihat di atas),
3700 orang adalah laki-laki dan 7100 adalah perempuan (Hemphill,
2012).

4. Demografi Sehubungan dengan Ras


Afrika Amerika, Hispanik, dan penduduk asli Amerika yang
terpengaruh oleh HHS sebagai konsekuensi dari peningkatan
prevalensi DM tipe 2 .Dalam Survey National Hospital Discharge AS
dari 10.800 buangan rumah sakit daftar HHS di Amerika Serikat antara
tahun 1989 dan 1991, ada 6300 pasien putih dan 2.900 pasien
Amerika-Afrika, sisa pembuangan orang-orang dari ras lain atau ras
tidak diketahui (Hemphill, 2012).

C. ETIOLOGI
Koma hiperosmolar hipoglikemik nonketotik dapat disebabkan oleh hal-
hal sebagai berikut (Soewondo, 2009) :

33
1. Infeksi
a. Selulitis
b. Infeksi gigi
c. Pneumonia
d. Sepsis
e. Infeksi saluran kemih
2. Pengobatan
a. Obat kemoterapi
b. Glukokortikoid
c. Fenitoin
d. Diuretik tiazid
e. Propanolol
3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes
Melitus terhadap penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal
mengkonsumsi makanan, tidak patuh meminum obat, melewatkan
jadwal penyuntikan, dan lain-lain.
4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.
5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.
6. Penyakit penyerta
a. Infark miokard akut
b. Tumor yang menghasilkan hormone adrenokortikotropin
c. Kejadian serebrovaskular
d. Sindrom cushing
e. Hipertermia
f. Hipotermia
g. Trombosis mesenterika
h. Pankreatitis
i. Emboli paru
j. Gagal ginjal
k. Luka bakar berat
l. Tirotoksitosis

34
D. PATOMEKANISME
Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam membawa glukosa
kedalam sel. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh
sel beta di p u l a u - p u l a u l a n g e r h a n s d i p a n k r e a s . I n s u l i n
y a n g d i k e l u a r k a n o l e h s e l b e t a di ibaratkan sebuah anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, kemudian di
dalam sel glukosa itu dimetabolisme menjadi energi ataut e n a g a . B i l a
insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk sel
s e h i n g g a glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah
yang artinya kadarnya dalam darah meningkat (hiperglikemik)
(Soegondo dkk, 2007; WHO, 2007).

Mekanisme timbulnya penyakit kencing manis atau diabetes mellitus


adalah sebagai berikut. Pada kondisi normal, glukosa dalam tubuh yang
berasal dari makanan, diserap ke dalam aliran darah dan bergerak ke sel-
sel di dalam tubuh. Glukosa tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai
sumber energi. Pengubahan glukosa dalam darah menjadi energi dilakukan
oleh hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas. Hormon
insulin juga berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. Secara
normal, glukosa akan masuk ke sel-sel dan kelebihannya dibersihkan dari
darah dalam waktu 2 jam . Namun apabila insulin yang tersedia jumlahnya
terbatas dan atau tidak bekerja dengan normal,maka sel-sel di dalam tubuh
tidak terbuka dan glukosa akan terkumpul dalam darah. Kadar glukosa
darah di atas 10 mmol per liter merupakan kondisi di atas ambang serap
ginjal. Apabila kadar glukosa dalam darah berlebihan, maka sebagian
glukosa kemudian dibuang bersama urin. Peristiwa terbuangnya glukosa
bersama-sama urin tersebut dikenal dengan istilah kencing manis (Kurnia,
2010).

Mekanisme hampir serupa dengan KAD. Pada mulanya sel β pankreas


gagal atau terhambat oleh beberapa keadaan stres yang menyebabkan

35
sekresi insulin mejadi tidak adekuat. Pada keadaan stres terjadi
peningkatan hormon glukagon sehingga pembentukan glukosa meningkat
dan menghambat pemakaian glukosa perifer, akhirnya akan timbul
hiperglikemia. Selanjutnya terjadi diuresis osmotik yang menyebabkan
cairan dan elektrolit tubuh berkurang, perfusi ginjal menurun, dan sebagai
akibatnya sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar
hiperglikemik (Mansjoer, 2001).

Sampai saat ini para ahli belum dapat menetapka, mengapa pada pasien
hiperosmolar tidak terjadi ketossis atau ketoasidosis. Beberapa hipotesis
diajukan tetapi rupanya patogenesis yang diajukan Gerich mendapat
perhatian dan pandangan lebih tepat (Mansjoer, 2001).
Beberapa hipotesis mengenai KHNK sebagai berikut :
1. Pada pasien KHNK diduga kadar insulin masih cukup untuk mencegah
ketosis tetapi tak dapat mempertahankan homeostasis glukosa.
Hipotesis ini ternyata tidak benar, karena diketahui bahwa kadar
insulin pada keadaan hiperosmolar dan ketoasidosis diabetik sama.
William menduga kadar insulin vena porta cukup banyak atau sel-sel
lemak yang sensitif terhadap insulin (Mansjoer, 2001).
2. Peran hiperosmolar dan dehidrasi. Pada binatang percobaan, dengan
mengurangi cairan ternyata intoleransi glukosa akan diikuti
pengurangan pelepasan asam lemak bebas, sehigga diduga dehidrasi
mempunyai sifat antiketogenik (Mencegah lipolisis) (Mansjoer, 2001).

Peran penurunan hormon lipolitik, seperti hormon pertumbuhan, kortison,


glukagon, katekolamin (hormon stres) kadar hormon lipolitik yang
berkurang ini memang telah dibuktikan pada koma hiperosmolar, sehingga
kadar asam lemak bebas lebih sedikit atau mempunyai kadar sama dengan
pada ketoasisdosis diabetik. Shunt mengajukan hipotesis bahwa
prostalglandin E2 (PGE2) mempunyai sifat anti lipolisis yang lebih kuat
dibandingkan insulin sehingga bila PGE2 meninggi tentu dapat mencegah
ketosis, tetapi hal ini belum terbukti (Mansjoer, 2001).

36
E. PATOFISIOLOGI

(Smeltzer, 2002).

Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan


kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan
insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga
terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon
menyebabkan glikogenolisis yang dapat meningkatkan kadar

37
glukosa plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar.
Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam
intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler. Bila
klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan kekurangan cairan
(Sudoyo, 2006).

Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga


timbul glikosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara
berlebihan (poliuria). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan
cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium,sodium dan phospat
(Sudoyo, 2006).

Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi


glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi.
Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk
gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka
ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam
darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua
kelebihan dikeluarkan bersama urin yang disebut glukosuria. (Sudoyo,
2006).

Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non


ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan
kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal,
ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu.
Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal
yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular,
menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih
banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin
yang ada tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah,
terutama jika terdapat resistensi insulin (Soewondo, 2009).

38
Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang
disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini
akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus
menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi
ginjal menurun mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan
timbul hiperosmolar hiperglikemik (Sudoyo, 2006).

Kemudian produksi insulin yang kurang pun akan menyebabkan


menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan
makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis.
Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien
akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut
poliphagia. Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan
mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan
dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport
oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma. Hemokonsentrasi akan
meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan
bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung (Sudoyo, 2006).

danya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan


tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul
dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan
hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan.
Keadaan koma merupakan stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini,
dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi (Soewondo, 2009).

F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet

39
dan atau obat hipoglikemi oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang
semakin memperberat masalah, misalnya diuretic (Soewondo, 2009).

Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki
kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih
jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien dating dengan
disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau
koma (Sewondo, 2009).

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti


turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan
ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula
ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat
gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik
setelah rehidrasi adekuat (Soewondo, 2009).

Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi sampai koma.
Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung
dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum
mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang
ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, local,
maupun, mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat
reversible dengan koreksi deficit cairan (Soewondo, 2009).

Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah konsentrasi


glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum
yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih
besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak. Separuh pasien
akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap yang ringan (10
– 12). Jika anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis
diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan
diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat

40
menutupi tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat
atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan
hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak
kehilangan berbagai macam elektrolit (Soewondo, 2009).

Kehilangan Elektrolit pada HHNK


Elektrolit Hilang
Natrium 7 – 13 mEq per kg

3 – 7 mEq per kg
Florida
Kalium 5 – 15 mEq per kg
Fosfat 70 – 140 mEq per kg
Kalsium 50 – 100 mEq per kg
Magnesium 50 – 100 mEq per kg
Air 100 – 200 mEq per kg

G. PENATALAKSANAAN
1. Prinsip Penatalaksanaan

Angka kematian pada koma hiperosmolar tinggi (>50%). Akibatnya


terapi segera sangat mendesak. Tindakan yang paling penting adalah
pemberian cairan intravena dalam jumlah besar untuk memulihkan
sirkulasi dan aliran urin. Defisit cairan rata-rata adalah 10 sampai 11
liter. Sementara air tawar akan sangat diperlukan, terapi awal harus
berupa larutan garam isotonik, 2 sampai 3 liter harus diberikan dalam 1
sampai 2 jam pertama. Kemudian salin separuh kekuatan dapat
digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal, dapat diberikan
dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika komahiperosmolar
dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus diberikan untuk

41
mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Banyak penulis
menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan jumlah
yang lebih besar terutama pada pasien obesitas. Garam kalium
biasanya diperlukan lebih awal dalam terapi koma hiperosmolar
disbanding pada ketoasidosis karena pergeseran K+ plasma intraseluler
selama peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat asidosis laktat,
natrium bikarbonat harus diberikan sampai perfusi jaringan dapat
dipulihkan. Antibiotika diperlukan jika infeksi merupakan penyakit
(Foster, 2000).
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
(HHNK) meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan
2. Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK
adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai
dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100
sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan
larutan isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan
cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu
cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus.
Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline per
jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin
dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok
kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik (Soewondo,
2009).

42
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang
baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi
glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per
jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang
atau gangguan ginjal (Soewondo, 2009).

b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti,
karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi.
Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan
insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke
dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan
irama jantung pasien juga harus dimonitor (Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L),
pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium
klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium
setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari
5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus
diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya
konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika
konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30
mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang
diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0
mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Soewondo, 2009).

c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya
pamberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin
diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah
ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi,

43
kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan
bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti dengan drip
0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara
250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam,
dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi
glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya
diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi
secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan
hiperosmolar (Soewondo, 2009).

44
3. Penatalaksanaan Non Medikamentosa
Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK)
biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam
keadaan gawat darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non
farmakologi akan kurang tepat karena memberikan efek yang cukup
lama. Penatalaksaan yang tepat bagi pasien (KHHNK) yaitu secara
medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan dilakukan pencegahan
penyakit Diabetes Melitus yang biasanya merupakan penyebab awal
KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) :
a. Terapi gizi

45
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi
diet berdasarkan kebutuhan individual.
b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan
metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan
tingkat kebugaran, juga oleh kada insulin plasma, kadar glukosa
darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh

4. Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab


Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik
kepada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi
antibiotik dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut
dan pada pasien hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan
konsentrasi C-reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator
awal sepsis pada pasien dengan HHNK (Soewondo, 2009).

5. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya
penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa
darah dan compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap
persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga
terdekat sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan
adanya perubahan status mental dan kemudian menghubungi dokter
jika hal tersebut ditemui (Soewondo, 2009).

Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus


diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK
dan juga edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang memadai
dan pemantauan yang ketat (Soewondo, 2009).

46
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari
HHNK. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,


stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat
badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensim insulin dan
memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah
satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat
mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu
parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan
dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain
jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan.

Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg


per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati,
yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan
asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari
ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak
banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi
penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping
akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat
yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi
rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan
kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti

47
sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan
mineral (American Diabetes Association, 2004).

Selain diet, dengan berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan
menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga
yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah
raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah
raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat
bagus pengaruhnya bagi kesehatan (American Diabetes Association,
2004).

Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,


Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-
umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.
Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari
pagi, bersepeda, berenang,dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini
paling tidak dilakukan selama total30-40 menit per hari didahului
dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10
menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan
aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa (American Diabetes Association, 2004).

H. PROGNOSIS

Keadaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)


merupakan salah satu komplikasi akut atau emergensi Diabetes Melitus
(DM). Kedaruratan ini pun masih merupakan penyebab tingginya
morbiditas dan mortalitas dari pasien penderita Diabetes Melitus (DM).
Angka kejadian Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik masih sulit
diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun
diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di

48
Rumah Sakit. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. Prognosis
dari kasus ini biasanya buruk, meskipun sebenarnya kematian dari pasien
bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar itu sendiri melainkan oleh
karena penyakit yang mendasarinya atau menyertainya. Angka
kematiannya berkisar antara 30 – 50 % yang merupakan angka kematian
yang tinggi hal ini disebabkan karena serinya terjadi kegawatan ini pada
usia lanjut dan berhubungan dengan penyakit penyakit kardiovaskular
atau penyakit yang mendasari lainnya, infeksi, dehidrasi, dan osmoralitas
darah yang sangat tinggi. Namun demikian angka kematian pada negara
maju dapat ditekan menjadi sekitar 12 % (Soewondo, 2009).

49
KESIMPULAN

A. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom yang


ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ditandai
adanya ketosis, disertai menurunnya kesadaran.
B. Faktor yang mempengaruhi koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
diantara adalah infeksi, diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis dan
penyalahgunaan obat
C. Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non
ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan
kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
akan semakin memperberat derajat kehilangan air
D. Penegakan diagnosis selain dari keluhan pasien, pemeriksaan fisik, juga
dengan hasil laboratorium yang menunjukkan konsentrasi glukosa darah
yang sangat tinggi, osmolaritas serum yang tinggi dan juga pH lebih besar
dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak.
E. Penatalaksanaan medikamentosa dengan cara rehidasi intravena agresif,
penggantian elektrolit dan pemberian insulin intravena sedangkan
penatalaksanaan non medikamentosanya tidak bisa dilakukan hal ini
disebabkan karena pasien tidak koperatif

50
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.


Diabetes Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35.
Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et
al; editor bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.
Hemphill, Robert R. 2012. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview#a0156
Kurnia. 2010. Mekanisme Terjadinya Diabetes. Available at :
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-
health/2094446-mekanisme-terjadinya-diabetes/#ixzz1PmiprcMK
Mansjoer, Arif, Triyanti, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3. Jakarta :
Media Aesculapuis.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2015. Panduan Praktik
Klinis. Jakarta: Interna Publishing.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC.
Soegondo S. Obesitas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, dkk (Eds). Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2007; 4;3:1919-25.
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik.
Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.
Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family
Physician, http://www.aafo.org/afp/20050501/1723.html
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI

51
WHO. Diabetes Mellitus, WHO Geneva, Available at :
Http//www.who.int.inf.fs/en/fact 138.html

52

Anda mungkin juga menyukai