Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses keperawatan adalah kerangka kerja untuk memberikan pelayanan
keperawatan yang profesional dan berkualitas. Proses keperawatan langsung
mengarah pada kegiatan keperawatan yang meliputi promosi kesehatan,
perlindungan kesehatan dan pencegahan penyakit. Proses keperawatan juga
digunakan oleh perawat dalam setiap kegiatan walaupun sudah
terspesialisasi. Proses keperawatan adalah dasar cara berfikir kritis dalam
keperawatan (Debora, 2013).

Proses Keperawatan besifat dinamis dan tidak berhenti pada satu tahap,
langkah yang dilakukan sama, tetapi membutuhkan kreatifitas dalam
pelaksanaannya, hal ini yang menyebabkan hasil proses keperawatan
berbeda pada tiap klien. Misalnya proses keperawatan pada orang dewasa
dan anak (Debora, 2013).

Proses keperawatan anak sangat berkaitan hubungannya dengan tumbuh


kembang anak, oleh karena itu perawat harus memahami tahap-tahap
pertumbuhan dan perkembangan anak, agar asuhan keperawatan dapat
dilakukan tepat guna sesuai dengan pasien yang dihadapi (Ngastiyah, 2014).

Anak merupakan generasi penerus suatu bangsa maka ia harus tumbuh


menjadi orang dewasa yang cerdas dan sehat (mental dan sosial). Jika anak
sedang sakit dan dirawat, maka perawat adalah orang dewasa yang paling
dekat dengan klien yang memenuhi kebutuhan anak agar tumbuh
kembangnya tidak terganggu. Untuk memenuhi hal tersebut asuhan
keperawatan harus direncanakan sesuai dengan pasien yang dihadapi, baru

1
2

lahir, balita, anak usia sekolah, atau remaja. Salah satu faktor yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah penyakit (Ngastiyah, 2014).

NICEF telah memainkan peranan yang besar dalam memperingatkan


dunia mengenai beban yang sangat berat akibat penyakit dan kematian yang
dialami oleh anak-anak di dunia. Bagaimanapun, dalam beberapa dekade
penanganan masalah ini diperkirakan bahwa di seluruh dunia 12 juta anak
mati setiap tahunnya akibat penyakit atau malnutrisi dan paling sering gejala
awalnya adalah demam (Anderson, 2012).

Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam


bidang kesehatan yang saat ini terjadi di Negara Indonesia. Derajat
kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai
generasi penerus bangsa memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan
dalam meneruskan pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut,
masalah kesehatan anak diprioritaskan dalam perencanaan atau penataan
pembangunan bangsa (Hidayat, 2011 dalam Merda 2016).

Demam adalah suatu kondisi saat suhu badan lebih tinggi dari biasanya
atau di atas suhu normal. Umumnya terjadi ketika seseorang mengalami
gangguan kesehatan. Suhu badan manusia biasanya berkisar 360C-370C jadi,
seseorang yang mengalami demam suhu badannya diatas 370C. Demam
dapat terjadi pada semua tingkatan umur manusia dari bayi hingga orang
lanjut usia sekalipun. Hal ini tidak lepas dari berbagai kemungkinan
masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh (Nadirah, 2011 dalam Merda
2016).

Demam yang tinggi dapat menimbulkan kejang demam. Kejang demam


atau lebih dikenal dengan step sangat umum terjadi pada anak-anak usia 3
bulan hingga 5 tahun. Kejang demam adalah kejang yang berhubungan
dengan demam, kenaikan suhu tubuh di atas 39 0C pada pengukuran suhu
3

rectal karena proses ekstrakranium di luar kepala, bukan karena kondisi lain
seperti infeksi pada otak, gangguan elektrolit, atau penyakit lainnya dan
tidak terbukti adanya infeksi atau penyakit lainnya sebagai penyebab kejang
dan biasanya terjadi pada usia 3 bulan - 5 tahun (Rendi, 2014). Kejang
demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan salah satu kelainan
saraf tersering pada anak. (Rendi, 2014).

Prevalensi kejang demam sekitar 25% pada anak balita. Umumnya


terjadi pada anak umur 3 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang
ikut mempengaruhi. Diantaranya: usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan
epilepsi dalam keluarga, dan normal tidaknya perkembangan neurologi. Di
antara semua usia, bayi yang paling rentan terkena kejang demam atau
kejang demam berulang. Risiko tertinggi pada umur di bawah 2 tahun, yaitu
sebanyak 50% ketika kejang demam pertama. Sedang bila kejang pertama
terjadi pada umur lebih dari 2 tahun maka risiko berulangnya kejang demam
sekitar 28%. Selain itu, dari jenis kelamin juga turut mempengaruhi.
Meskipun beberapa penelitian melaporkan bahwa anak lakilaki lebih sering
mengalami kejang demam dibanding anak perempuan. Namun risiko
berulangnya kejang demam tidak berbeda menurut jenis kelamin. Riwayat
kejang dalam keluarga merupakan risiko tertinggi yang mempengaruhi
berulangnya kejang demam, yaitu sekitar 50 – 100%. Dan anak-anak yang
mengalami keterlambatan perkembangan neurologi meningkatkan risiko
terjadinya kejang demam berulang (Ugart, 2011 dalam Maya 2012).

Di beberapa Negara di dunia, prevalensi demam febris pada balita bisa


dikatakan masih cukup rendah. Di amerika Serikat dan Eropa prevalensi
demam febris berkisar 2,2%-5%. Di Asia prevalensi demam febris
meningkat dua kali lipat dibanding di Eropa dan Amerika. Di Jepang
kejadian demam febris berkisar 8,3-9,9%. Bahkan di Guam insiden demam
febris mencapai 14% (Kharis, 2013).
4

Berdasarkan data yang didapatkan oleh peneliti dari ruang IGD RSUD
Dr.H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2014, 2015 dan 2016, Demam
Febris selalu berada pada kategori 10 penyakit terbanyak yang masuk di
Ruang IGD. Distribusi penyakit di IGD pada tahun 2014 dapat dilihat pada
tabel 1.1, tabel 1.2 dan tabel 1.3 di bawah ini :

Tabel 1.1: Distribusi 10 penyakit terbanyak di ruang IGD RSUD


Dr.H.Moch.Ansari Saleh Banjarmasin dari bulan Januari
sampai dengan Desember 2014

No Nama Penyakit Jumlah Prosentase (%)


1 Inpartu 3285 24,69
2 Obs. Febris 1915 14,39
3 Vulnus 1897 14,25
4 GEA 1734 13,03
5 Abdomen Pain 1054 7,92
6 Asma Bronchiale 1006 7,56
7 Sindrom Dispepsea 756 5,68
8 Obs. Dipsnue 621 4,66
9 Vomitus 533 4,06
10 SNH 502 3,77
Total 13303 100%
Sumber data : IGD RSUD Dr.H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin 2014

Diketahui dari tabel 1.1 di atas bahwa kasus Obs. Febris berada pada
urutan ke-2 dengan jumlah kasus sebanyak 1915 orang (14,39%) dari 13303
pasien yang masuk ke IGD RSUD Dr.H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin.

Tabel 1.2: Distribusi 10 penyakit terbanyak di ruang IGD RSUD


Dr.H.Moch.Ansari Saleh Banjarmasin dari bulan Januari
sampai dengan Desember 2015

No Nama Penyakit Jumlah Prosentase (%)


1 Obs. Febris 1518 21,28
2 Inpartu 1482 20,78
3 GEA 943 13,09
4 Vulnus 931 13,05
5 Sindrom Dispepsia 532 7,46
6 Asma Bronchiale 503 7,05
7 Hipertensi 425 5,95
8 Vomitus 331 4,64
9 Abdomen Pain 289 4,05
10 ISPA 186 2,60
Total 7131 100
Sumber data : Ruang IGD RSUD Dr.H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin 2015
5

Diketahui dari tabel 1.2 di atas bahwa kasus Obs. Febris berada pada
urutan ke-1 dengan jumlah kasus sebanyak 1518 orang (21,28%) dari 7131
orang pasien yang masuk ke IGD RSUD Dr.H.Moch Ansari Saleh
Banjarmasin.

Tabel 1.3: Distribusi 10 penyakit terbanyak di ruang IGD RSUD


Dr.H.Moch.Ansari Saleh Banjarmasin dari bulan Januari
sampai dengan Desember 2016

No Nama Penyakit Jumlah Prosentase (%)


1 Obs. Febris 5466 32,35
2 Inpartu 3112 18,43
3 GEA 1675 9,92
4 Vulnus 1592 9,43
5 Vomitus 1085 6,43
6 Abdomen Pain 917 5,43
7 Sindrom Dispepsia 912 5,39
8 Asma Bronchiale 897 5,32
9 Observasi Dispnue 679 4,01
10 Vertigo 557 3,29
Total 16892 100
Sumber data : Ruang IGD RSUD Dr.H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin 2016

Diketahui dari tabel 1.3 di atas bahwa kasus Obs. Febris berada pada
urutan ke-1 dengan jumlah kasus sebanyak 5446 orang (32,35%) dari 16892
orang pasien yang masuk ke IGD RSUD Dr.H.Moch Ansari Saleh
Banjarmasin.

Penanganan yang cepat dan tepat prognosisnya baik pada kejang demam
tidak menyebabkan kematian. Angka kejadian epilepsi berbeda-beda
tergantung dari cara penelitiannya. Golongan epilepsi yang diprovokasi
kejang demam 97% menjadi epilepsi (Ngastiyah, 2014).

Secara umum demam terjadi akibat peningkatan produksi panas yang


tidak diimbangi oleh pengeluaran panas tubuh. Oleh karena itu
penatalaksanaan demam sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa tidak
nyaman yang dirasakan pasien. Penatalaksanaan demam ditujukan untuk
mengurangi produksi panas dan meningkatkan pengeluaran panas tubuh.
6

Peningkatan pengeluaran panas tubuh dapat dilakukan dengan


meningkatkan radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi, diantaranya
membuka pakaian atau selimut yang tebal dan ganti dengan pakaian tipis
agar terjadi radiasi dan evaporasi. Meningkatkan aliran udara dengan
meningkatkan ventilasi ke dalam rumah akan menyebabkan terjadinya
mekanisme konveksi. Selain itu, dapat dilakukan upaya melebarkan
pembuluh darah perifer dengan cara menyeka kulit dengan air hangat
(tepidsponging) atau kompres hangat (Kelly, 2006 dalam Nurlaili 2012).

Kompres merupakan metode pemeliharaan suhu tubuh dengan


menggunakan cairan atau alat yang dapat menimbulkan hangat atau dingin
pada bagian tubuh yang memerlukan. Kompres air suhu biasa adalah
memberikan suhu sejuk setempat dengan menggunakan lap/ kain kasa yang
dicelupkan dalam air suhu 18- 26 oC (Kusyati, 2006 dalam Fatkularini
2014).

Pemberian kompres air dengan suhu sejuk akan terjadi proses


vasodilatasi dalam menurunkan suhu tubuh. Vasodilatasi ini yang
menyebabkan pembuangan atau pelepasan panas dari dalam tubuh melalui
kulit sehingga suhu tubuh akan menurun. Hal ini merupakan efek yang
diharapkan dari pemberian kompres yaitu menurunkan suhu tubuh (Theo,
2014). Panas tubuh yang keluar dari tubuh hilang melalui kulit dipengaruhi
oleh perbedaan antara suhu tubuh dan lingkungan, jumlah permukaan tubuh
yang terpapar udara, jenis pakaian yang dikenakan, serta pemberian
kompres. Mekanisme hilangnya suhu tubuh melalui proses konduksi pada
pemberian kompres yang bekerja sebagai isolator yang efektif terhadap
hilangnya panas yang berlebihan (Nurachmah & Angriani, 2011 dalam
Fatkularini 2014).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2013) menunjukkan


bahwa penurunan suhu tubuh tertinggi pada kompres air biasa yaitu 1,1 oC
7

o
sedangkan penurunan terendah yaitu 0,7 C dan rata-rata penurunannya
yaitu 0,8 oC. Namun penelitian yang pernah dilakukan oleh Mohammed
pada tahun 2012 di Sharqia Governorate dengan judul A Comparison of
Vinegar Compresses vs. Cold Water and Water With Vinegar for Treating
Of Fever at Tropical Hospital tidak sesuai dengan hasil penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Mohammed menunjukkan hasil bahwa
kompres air pada anak hipertermi mengalami penurunan suhu tubuh sebesar
0,5 oC. Turunnya suhu tubuh dipermukaan tubuh ini terjadi karena panas
tubuh digunakan untuk menguapnya air pada kain kompres (Yohmi, 2008,
dalam hadi, 2012).

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun


Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Gambaran Pemberian Kompres Air Biasa
Pada Asuhan Keperwatan Klien Dengan Demam Febris di Ruang IGD
RSUD Dr.H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut : ”Bagaimanakah Gambaran Pemberian Kompres Air Biasa Pada
Asuhan Keperwatan Klien Dengan Demam Febris dapat Menurunkan Suhu
Tubuh Klien di Ruang IGD RSUD Dr.H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin?”
1. Tujuan
Menggambarkan Pemberian Kompres Air Biasa Pada Asuhan
Keperwatan Klien Dengan Demam Febris di Ruang IGD RSUD
Dr.H.Moch Ansari Saleh Banjarmasin.

2. Manfaat Penulisan
a. Bagi Klien dan keluarga
Dapat dijadikan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan
peningkatan suhu tubuh dan memberikan pengetahuan tentang cara
8

untuk melakukan kompres dingin pada klien dengan peningkatan


suhu tubuh.
b. Bagi perawat
Sebagai acuan dalam memberikan asuhan keperawatan dan
meningkatkan pengetahuan tentang demam febris agar mampu
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada klien
dengan demam febris.
c. Bagi Rumah Sakit
Meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan khususnya
pada klien dengan demam febris.
d. Bagi Penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan prosedur
kompres air biasa pada asuhan keperawatan pasien demam febris.

Anda mungkin juga menyukai