Anda di halaman 1dari 14

Ada peninggalan bersejarah di Desa Seputih, Mayang, Jember.

Benda peninggalan sejarah ini masih menyimpan misteri mengenai bentuk, kegunaan, dan maknanya.

Situs tersebut berupa artefak batu itu biasa disebut Situs Seputih.

( Baca juga : Nurani Istri Iqbaal Ramadhan Makin Sukses, Sering Tampil di TV dan Bakal Main Film )

Anda harus menempuh jarak sekitar 21 kilometer (KM) ke arah timur dari pusat Jember.

Situs Seputih memiliki pesona yang amat menarik untuk dikunjung.

Situs ini diyakini peninggalan zaman Megalitikum.

( Baca juga : Ibu Nurrani Istri Sah Iqbal Ramadhan Menangis Setelah Anaknya Terkenal & Kaya,
Penyebabnya Begini )

“Ada tiga situs di Desa Seputih ini,” terang Sumariyanto, Kades Seputih kepada SURYAMALANG.COM,
Selasa (31/7/2018).

Situs Seputih adalah sarkofagus batu berbentuk bulat.

Ada cekungan di dalam situs tersebut.

( Baca juga : Arema FC Tanpa Dendi Santoso saat Menjamu Persija Jakarta )

Batu berdiameter sekitar 100 sentimeter tersebut memiliki tinggi sekitar 60 sentimeter.

Cekungan di tengahnya dapat menampung tubuh orang dewasa.


Di samping situs tersebut ada batu yang mirip penutup.

( Baca juga : Link Live Streaming & Sinopsis Ek Tha Raja Ek Thi Rani ANTV Episode 8, SELASA 31 Juli )

Konon dahulu situs itu digunakan untuk mengkremasi jenazah.

Lokasi Situs Seputih sangat ‘instagramable’, dan bisa menjadi jujukan pemburu foto.

Situs itu berada di tengah kebun pohon sengon yang menambah kesan sejuk di situs ini.

( Baca juga : Punjul Santoso Soroti Rendahnya Serapan di Sejumlah Organisasi Perangkat Daerah Kota
Batu )

“Baru kali ini mas saya tahu ada situs yang bersejarah di Jember.”

“Tempatnya juga bagus untuk foto-foto sekaligus belajar,” terang Desi, seorang pengunjung.

Artikel ini telah tayang di suryamalang.com dengan judul Ada Situs Peninggalan Zaman Megalitikum di
Jember, Namanya Situs Seputih, http://suryamalang.tribunnews.com/2018/07/31/ada-situs-peninggalan-
zaman-megalitikum-di-jember-namanya-situs-seputih?page=all.

Penulis: Mohammad Erwin

Editor: Zainuddin
CANDI DERES JEMBER – ANGKOR WAT
ERA MAJAPAHIT
October 9, 2015 · by aaron setiawan · in Catatan Perjalananku, Jember. ·
Siapa bilang Jember tidak memiliki candi? Di sebuah desa yang berada di Kecamatan Gumukmas ada salah satu candi
peninggalan Kerajaan Majapahit. Desa itu adalah Desa Purwoasri. Kebetulan kami akan mengunjungi Pantai Nyamplung Kobong
yang juga berada di Gumukmas untuk menikmati tenggelamnya matahari. Namun akan merasa kurang nggreget jika jauh-jauh
dari kota hanya untuk melihat matahari terbenam. Aku pun memutar otak, destinasi mana lagi yang ada di Gumukmas. Hmm aku
pun ingat beberapa waktu yang lalu melihat sebuah postingan Instagram yang berisikan warisan budaya dan sejarah Indonesia.
Akun ini bernama @Indonesiantreasure. Pada salah satu postingannya, ada sebuah candi yang berada di Gumukmas. Candi
tersebut bernama Candi Deres. Sepertinya cukup menarik untuk dikunjungi. Ideku ini direspon dengan angguk-angguk dari
teman-teman tanda setuju.
Brum! Brum! Brum! Motor kami bersuara dan siap berangkat menuju Gumukmas. Ada Syifa, salah satu teman kami yang sudah
menunggu di Gumukmas. Dia akan membantu kami untuk menemukan Candi Deres.

Sekitar 40 menit akhirnya kami bertemu dengan Syifa di depan Masjid Baitul Rohmah. Tepat di samping masjid ada sebuah jalan
yang melewati perkampungan dan sawah-sawah. Tak jauh dari sana tampak ada kompleks candi persis di tepi jalan. Wah! Inikah
Candi Deres!
Papan Larangan

****

Raden Wijaya beserta sahabat dan ksatria sisa-sisa dari pasukan Kerajaan Singosari melarikan diri dari kejaran Kerajaan Gelang-
gelang (Daha). Mereka menuju Rembang dan Kerajaan Sumenep di Madura. Arya Wiraraja menerima pelarian perang itu dengan
tangan terbuka. Tuan rumah tak hanya memberikan jamuan hidangan makanan dan minuman saja, namun juga memberikan
nasehat, stategi perang dan siasat politik kepada Raden Wijaya. Wah Arya Wiraraja adalah orang yang baik ya teman-teman!

Melihat kebaikan dari Arya Wiraraja, Raden Wijaya sangat berterima kasih. Ia berjanji jika dapat menguasai Pulau Jawa maka
akan membagi wilayah kekuasaannya menjadi 2 yaitu bagian Barat menjadi miliknya, dan wilayah Timur yaitu Lamajang
(Lumajang) Utara, Lamajang Selatan dan Tigang Juru (Jember Selatan, Situbondo Utara, hingga Banyuwangi) menjadi hak Arya
Wiraraja.
Cita-cita Raden Wijaya terwujud dengan lahirnya Kerajaan Wilwatikta (Majapahit), Arya Wiraraja mendapatkan haknya seperti
yang telah dijanjikan oleh Raden Wijaya. Walaupun secara hukum Majapahit Timur adalah milik Arya Wiraraja, tapi
kenyataannya tetap tunduk pada Majapahit yang beribukota di Trowulan. Pu Nambi yang menjadi pengganti dari Arya Wiraraja
juga sama mengikuti pendahulunya yaitu tetap setia kepada Majapahit dengan memberikan pajak ke Trowulan.

Tak selamanya kerajaan yang kuat itu berjalan dengan damai. Pasti ada konflik-konflik yang terjadi entah konfrik dari luar
maupun dari dalam kerajaan. Hal ini juga menyebabkan beberapa pengikut setia kerajaan tewas karena dianggap menjadi
pemberontak. Semuanya berasal dari tipu muslihat dari dalam kerajaan, yaitu dari Halayuda yang serakah dengan kekuasaan.
Kebenaran juga pasti dapat ditemukan pada akhirnya.

Setelah gugurnya Pu Nambi, daerah Lamajang dan Tigang Juru selanjutnya diintegrasikan kembali dengan Majapahit. Hingga
kemudian dikembalikan kepada keturunan Pu Nambi dan Arya Wiraraja. Jadi saat ini mengapa daerah Lumajang, Jember,
Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi itu mayoritas dihuni oleh orang-orang dari Madura? Yaitu tadi jawabannya.

Pada abad ke-14, Hayam Wuruk yang telah diangkat mengganti raja itu melakukan perjalanan dengan misi persahabatan dan
cinta kasih menuju Mahapahit Timur. Ia didampingi oleh Mpu Prapanca dan pasukan pengawal yang cukup banyak. Candi Deres
di Gumukmas adalah salah satu bukti perjalanan dari Hayam Wuruk.

Keberadaan Candi Deres menyisakan sedikit bangunan yang masih tegak dengan reruntuhan batu bata besar khas Majapahit di
sekitarnya, membuat penulis dan komunitas Bhattara Saptaprabhu sangat prihatin. Candi yang mungkin sudah runtuh bila tidak
ditopang dan dicengkeram oleh pohon kepuh (Sterculia foetida) serta ditumbuhi pohon apak panggang (Ficus reptan) dan wuni
(Antidesma bunius) itu masih menampilkan kewibawaannya sebagai sebuah bekas tempat ritual pendharmaan.
Pelataran candi seluas lebih kurang 5000 m2 yang ditemukan sekitar tahun 80-an telah dipenuhi rumput liar dan dijadikan lahan
tegalan oleh keluarga juru kunci. Tak jarang kadang beberapa ekor ular berbisa melintas di areal sekitar candi yang berangin
sepoi-sepoi dan berhawa sejuk yang membuat kita sangat betah berlama-lama tinggal di sana.
Sungguh suatu bangunan yang luar biasa meski hanya tinggal puing-puing. Kehebatan bangunan berbatu bata merah dengan
mutu pembakaran tinggi dan kualitas tanah liat pilihanlah yang membuatnya bertahan hingga lebih dari enam ratus tahun.
Batu bata peninggalan Majapahit
Di daerah Jember dan Lumajang yang masuk wilayah Majapahit timur maupun di Banyuwangi dan sekitarnya, tidak banyak
peninggalan Majapahit yang utuh. Semuanya sudah tergerus, terkubur lahan tegalan, pekarangan dan persawahan penduduk dan
sangat muskil untuk menggali kembali. Rendahnya kesadaran masyarakat serta ketidaktahuan pada pentingnya cagar budaya
yang diatur dalam Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang selama ini tidak pernah disosialisasikan.

Selain itu maraknya pencurian di areal situs yang berburu harta karun, artefak, benda-benda pusaka dan selanjutnya dijual ke
kolektor barang antik. Mereka tidak berpikir bagaimana kelak generasi muda yang akan datang mencari bukti kebesaran nenek
moyang di masa lalu. Selain manfaat untuk kegiatan para ilmuwan mengadakan riset sejarah, juga sebagai monumen kekayaan
bangsa dan penghargaan terhadap karya budaya pendahulu kita.

http://saptaprabhu.blogspot.co.id/

http://suryamalang.tribunnews.com/2018/07/31/ada-situs-peninggalan-zaman-megalitikum-di-jember-
namanya-situs-seputih
Napak Tilas Peninggalan Majapahit di Situs Beteng Jember
21 Desember 2013 21:54 Diperbarui: 24 Juni 2015 03:39 156 3 3
Napak Tilas Peninggalan Majapahit di Situs Beteng Jember
13876368861550063977

Sungguh tak asing lagi jika kita mendengar tentang Majapahit. Sebuah kerajaanyang berpusat di
Jawa Timur, Indonesia. Kerajaan yang mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaanraya
yang menguasai wilayah yang luas di Nusantarapada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang
berkuasa dari tahun 1350hingga 1389.

Namun, tahukah bahwa peninggalan Kerajaan besar tersebut ada di kota kecil dan berbudaya
pandhalungan seperti di Kabupaten Jember ini? Bahkan ada pula yang nyaris sirna karena
tergerus tangan-tangan jahil dan sudah terkubur seperti Situs Kuto Kedawung di Paleran dan
Situs Gondosari di Tamansari Wuluhan.

Saya melakukan ekspedisi bersama Forkom Bhattara Saptaprabhu. Kelompok yang terdiri dari
kepala sekolah dan beberapa orang guru SMP swasta mata pelajaran IPS Sejarah di Jember.
Dimana kami disatukan dengan rasa keprihatinan terkait dengan minimnya perhatian pemerintah
terhadap situs sejarah dan apatisnya minat generasi muda dalam melestarikan sejarah dan budaya
yang ada di Jember.

Ekspedisi dilakukan ke salah satu tempat ditemukannya bukti-bukti sejarah peninggalan kerajaan
majapahit, tepatnya di Situs Beteng yang berada di Dusun Sidomekar, Kecamatan Semboro
Jember. Situs Beteng ini dijaga turun-temurun, dan saat ini dijaga oleh seorang juru kunci
bernama Bapak Ngabdul Gani. Ditempat penyimpanan bukti sejarah yang telah dijaga oleh
beliau terdapat beberapa artefak seperti beberapa alu dan lesung batu yang dahulunya digunakan
untuk menumbuk padi, dan untuk meracik obat-obatan untuk para prajurit yang kalah dalam
peperangan, adapula beberapa lumpang, batu pipisan, pahoman atau padupaan, dan serpihan batu
bata merah majapahit yang menjadi sisa-sisa bangunan benteng.

Adapun pusaka yang disimpan khusus oleh Bapak Ngabdul Gani berpa Keris Pusaka Kyai
Omyang yang masih dipegang olehnya. Saya bahkan sangat takjub ketika Bapak Budi yang
merupakan rekan Bhattara Saptaprabhu mencoba untuk menyentuh keris tersebut, dan yang
terjadi ialah ia mampu membuat keris kyai omyang berdiri tanpa bantuan benda apapun
disampingnya yang menahan berat keris itu.
1387636976639846448
1387636976639846448
Usai melihat bukti-bukti sejarah yang telah disimpan, kami menuju lokasi lain yakni peninggalan
berupa sumur kuno. Sumur ini diplengseng susunan batu bata merah era majapahit. Meskipun
pada bibir sumur juga diplester semen untuk menjaga kekuatannya. Bekas Peninggalan
bersejarah inilah yang biasanya lebih banyak dimanfaatkan untuk ritual para peziarah yang
datang sebagai sambung do’a, bernadzar, sekedar memperoleh air sumur, namun hanya segelintir
orang saja yang datang untuk penelitian sejarah.

13876371561503002852
13876371561503002852

13876372821144021216
13876372821144021216
Selain itu ada juga sumur serupa namun dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih dangkal yang
ditemukan tak jauh dari lokasi situs, dan dekat dengan rumah-rumah warga yang sengaja
dibiarkan tak terurus. Ada keinginan untuk membongkar sumur tersebut, tapi warga mengaku
takut, dikarenakan setiap malam jumat legi, sumur itu mengeluarkan bau yang sangat wangi.

1387637338211298507
1387637338211298507
Kami kembali ke lokasi situs tempat sisa-sisa bangunan benteng Majapahit. Hanya terdapat
pecahan-pecahan batu bata merah yang tersisa. Setiap batu bata merah tersebut dihiasi ukiran-
ukiran yang berbeda. Menurut Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu, Bpk.Zainollah,
diduga kuat hal tersebut merupakan sandi-dandi jalan. Seandainya diadakan ekskavasi atau
penggalian yang melibatkan arkeolog, tidak menutup kemungkinan terdapat terowongan dan
ruang bawah tanah atau labyrint yang menghubungkan benteng dengan hutan sekitar atau sungai.
Karena lorong tersebut biasanya digunakan sebagai jalan rahasia untuk menyelamatkan Raja dan
keluarganya bila terjadi situasi darurat atau bila benteng terkepung dan diduduki oleh musuh. Hal
ini ada kemiripan dengan ruang bawah tanah Situs Kedaton dan Sumur Upas yang ada di
Trowulan, Mojokerto. Asumsi bahwa bila benar ini terbukti bangunan benteng, tentu tak akan
lepas dari keberadaan ruang bawah tanah, terowongan, penjara bawah tanah, dan gudang
bersenjata.

13876373791564141496
13876373791564141496

13876374291273052287
13876374291273052287

13876375191095069554
13876375191095069554
Berdasarkan catatan tentang ditemukannya situs beteng yang telah turun temurun disimpan oleh
Juru Kunci Situs Beteng dan telah diterjemahkan oleh Bhattara Saptaprabhu, sejarah tentang
keberadaan benteng yang berada di Dusun Sidomekar Desa Semboro (sekarang Kecamatan
Semboro), menurut cerita Eyang Meru, seorang keturunan sisa pelarian laskar Majapahit pada
abad XIV yang datang ke lokasi sekitar tahun 1961 pukul 20.00 malam. Ia mengatakan bahwa
Situs Beteng ada kaitannya dengan Kerajaan Majapahit di Trowulan Mojokerto. Kala itu Raja
Kertabhumi (Brawijaya V)mempunyai permaisuri dari negeri Champa yang telah memeluk
agama Islam bernama Ratu Dwarawati. Maksud dari ayah Sang Puteri menghadiahkan anaknya
pada RajaMajapahit adalah untuk menyebarkan agama Islam pada rakyat dan rajanya. Karena
Prabu Brawijaya mempunyai banyak selir, salah satunya ada yang paling disayangi oleh Sang
Prabu, yaitu puteri Cina yang kecantikannya melebihi permaisuri. Puteri tersebut mempunyai
nama asli Dewi Khian dan setelah dewasa diganti namanya menjadi Aryati Sekar Wangi yang
kala itu hamil 5 bulan. Sedangkan Permaisuri sendiri tidak dapat mempengaruhi Prabu
Brawijaya untuk masuk Islam. Apa yang menjadi kendala sesungguhnya dari Sang Prabu tidak
mau Islam? Seorang pejabat istana bernama Demang Kliwon yang sudah memeluk Islam
mengetahui dan beranggapan bahwa Sang Prabu tidak mau masuk agama baru itu karena
dipengaruhi oleh Aryati Sekar Wangi yang menganut agama Budha. Sebenarnya Prabu
Brawijaya tetap pada pendiriannya yang kokoh dengan tetap menganut kepercayaan warisan
nenek moyangnya yaitu agama Syiwa-Budha. Bukan karena akibat hasutan dari Puteri Cina.

Kejadian itu diberitahukan pada Puteri Champa bahwa Sang Prabu mempunyai selir yang
kecantikannya melebihi Puteri Champa. Mendengar hal tersebut Puteri Champa meminta kepada
Sang Prabu agar dipulangkan secara baik-baik ke negerinya. Pada waktu itu Sang Puteri
dihadiahkan pada Sang Prabu secara baik-baik, sehingga Baginda amat terkejut dengan
permintaannya. Nanti bila seandainya Sang Puteri Champa dikembalikan, maka akan berakibat
bencana besar akan melanda Kerajaan Majapahit. Kemungkinan akan terjadi perang besar yang
akan menyebabkan kerajaan menjadi lemah dan akhirnya hancur lembur, untuk menghindari
ancaman bencana itu maka Sang Prabu mengusir selir yang bernama Dewi K Khian (Aryati
Sekar Wangi) ke Sriwijaya (Palembang) dan dititipkan pada ipar Sang Prabu yang bernama Arya
Damar.

Sesampainya di Palembang Aryati Sekar Wangi melahirkan anak laki-laki yang bernama Raden
Patah (Panembahan Jimbun). Untuk menghindari kecurigaan, selir tersebut dikawinkan dengan
kerabat Kerajaan Sriwijaya yang kemudian dikaruniai seorang putera bernama Raden Khusin.
Setelah menginjak dewasa dua saudara lelaki tunggal ibu itu merantau ke Jawa dengan tujuan
menuntut ilmu agama Islam. Keduanya menuju ke Pesantren Ampeldenta di Surabaya untuk
berguru kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Setelah selesai berguru Raden Khusin berangkat
mengabdi ke istana Majapahit. Sedangkan Raden Patah membuka lahan baru (babat alas) untuk
pemukiman di daerah Tegalwangi (Demak). Sebenarnya tujuan Raden Patah ke tanah Jawa
adalah untuk membalas dendam karena ibunya dibuang, meskipun Ia tahu Prabu Brawijaya
adalah ayah kandungnya sendiri.

Akhirnya Raden Patah menghimpun kekuatan di Demak dengan dibantu para wali, Ia akhirnya
mengadakan serangan besar-besaran ke istana Majapahit. Di antara panglima perang tentara
Kerajaan Majapahit terdapat seorang senapati bernama Raden Khusin yang tidak lain adalah
adiknya sendiri. Dalam perang tersebut Raden Patah mendapatkan kemenangan yang gemilang,
sedangkan Sang Prabu berhasil meloloskan diri dengan pasukan yang tersisa ke sebelah timur
Gunung Semeru yaitu Pegunungan Tengger.

Gerakan pelarian Prabu Kertabhumi ke Tengger diketahui oleh Raden Patah, sehingga diadakan
pengejaran. Sebelum pasukan Raden Patah dating menyerang, Sang Prabu dapat meloloskan ke
wilayah timur melalui perjalanan jauh dan panjang. Sisa pasukan Majapahit itu akhirnya sampai
di daerah Jember (Semboro) dan membuat benteng pertahanan yang amat kuat dengan bahan
batu bata merah. Kemudian Sang Raja mendirikan kota kecil yang diberi nama Kutho
Kedawung, yang sekarang berada di Desa Paleran Kecamatan Umbulsari.

Tempat pergerakan Prabu Brawijaya V lama kelamaan diketahui oleh telik sandi pasukan Raden
Patah. Kemudian pasukan Majapahit yang tinggal sedikit diserang secara membabi buta sehingga
Sang Raja menyerah kalah dan memeluk agama Islam.

Prabu Brawijaya mengetahui bahwa yang menyerang dirinya adalah Raden Patah anak
kandungnya sendiri. Sehingga kemudian Ia memberi titah (perintah) agar para panglima dan
pengawalnya mengemas dan membereskan peralatan perang untuk disimpan. Semua perintahnya
dipatuhi oleh panglima dan pasukannya, kecuali dua orang abdi kesayangannya yang bernama
Sabda Palon dan Naya Genggong.

Dua orang abdi yang terkenal punya kelebihan dan sakti mandraguna itu tidak mau tunduk pada
musuhnya dan tidak mau masuk Islam. Ia lalu berkata “ Saya dan adik saya lebih baik berpisah
dengan Sang Prabu Brawijaya V daripada memeluk agama Islam, karena saya adalah Danhyang
(Penunggu) Tanah Jawa, biarlah adik aya Naya Genggong ke Bali dan Saya (Sabdo Palon) ke
Madura “

Berdasarkan kisah sejarah tersebut, di sekitar lokasi Situs Beteng banyak ditemukan beberapa
peralatan (artefak) benda-benda kuno dan pusaka di antaranya :

1.Pada tahun 1956 Bapak Sukadi menemukan tombak pusaka di lokasi Situs Beteng dalam
keadaan berdiri tegak membentuk sudut 45 derajat

2.Pada tahun 1958 Bapak Mat Salam mendapatkan keris pusaka luk sembilan di atas dapur yang
masih menyala setelah peringatan 1 Syuro

3.Pada tanggal 26 Mei 1961 ditemukan batu lumpang di areal sawah Bumisara dengan ukuran
besar, jarak dari lokasi Situs Beteng sekitar 500 meter yaitu di sebelah selatan Puskesmas
Sidomekar Semboro

4.Pada tanggal 5 Juli 1991 ditemukan batu lumpang ukuran besar, jarak dari lokasi Situs Beteng
sekitar 100 meter

5.Tanggal 2 Agustus 1991 ditemukan lagi 2 buah batu pipisan dan 1 buah batu gunjik di
pekarangan rumah Bapak Sarino, jarak dengan lokasi Situs Beteng sekitar 300 meter

6.Tanggal 23 Desember 1994 didapatkan lagi sebuah batu pipisan dan batu gunjik di gumuk
tegalan Bapak Saminto, jarak dengan lokasi Situs Beteng 80 meter

7.Pada tahun 1995 ditemukan sebuah batu akik (batu mulia) berwarna merah di lokasi Situs
Beteng.
Selain itu banyak juga ditemukan pecahan-pecahan keramik, kendi terakota khas Majapahit dan
mata uang logam Cina di dalam areal Situs Beteng dan lokasi sekitarnya.

Banyak peninggalan yang pelan-pelan raib digondol maling, atau dibawa orang untuk berbagai
keperluan serta berada di tangan para kolektor. Sangat disayangkan sekali perhatian Pemkab
Jember dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atau instansi terkait, karena tidak ada
tindakan konkrit dalam menyelamatkan Situs Beteng dan situs-situs lainnya. Semoga tindakan
kami dan aspirasi dari Forkom Bhattara Saptaprabhu dapat didengar, dan menyadarkan
masyarakat Jember, karena tanggung jawab pelestarian warisan nenek moyang itu ada pada
generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

https://www.kompasiana.com/wiwinrizakurnia.blogspot.com/552a1077f17e614853d623aa/napak
-tilas-peninggalan-majapahit-di-situs-beteng-jember

Anda mungkin juga menyukai