Anda di halaman 1dari 62

TUGAS KHUSUS

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PERIODE 36


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT (RSPAD)
GATOT SOEBROTO PUSKESAD
PERIODE 01 SEPTEMBER- 31 OKTOBER 2016

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Memperoleh Gelar Apoteker
Program Studi Profesi Apoteker

PEMANTAUAN TERAPI OBAT


PASIEN CKD ON HD RIWAYAT ALO (ACUTE LUNG OEDEMA)
DAN DM TIPE 2 DI RUANG PERAWATAN UMUM LANTAI V

Disusun Oleh :
LU’LUIL MAKNUNAH, S. Farm.
1543700382

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
JAKARTA
2016
PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


1. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini adalah asli dan belum pernah
diajukan untuk mendapatkan gelar akademik Apoteker, baik di Universitas
17 Agustus 1945 Jakarta maupun di Universitas lain. .
2. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini murni gagasan, rumusan dan
penilaian tim penyusun, tanpa bantuan pihak lain, kecuali tim
pembimbing.
3. Dalam Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker tidak terdapat karya atau
pendapat yang telah ditulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam
naskah dengan disebutkan dan atau dipublikasikan orang lain, kecuali
secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah
dengan disebutkan nama pengarang serta dicantumkan dalam daftar
pustaka.
4. Pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya, apa bila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
tim penyusunan bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
gelar serta sanksi lainnya sesuai peraturan perundang-undangan dan norma
akademik berlaku di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

Jakarta, Oktober 2016


Yang membuat pernyataan

Penulis

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahiribbil’alamin, terlebih dahulu penulis mengucapkan puji


syukur atas kehadirat Allah SWT yang terlah memberikan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas khusus ini dengan judul
“Pemantauan Terapi Obat Pasien CKD on Hemodialysis Riwayat ALO (Acute
Lung Oedema) dan DM tipe 2” dengan tepat waktu. Tak lupa penullis
mengucapkan terima kasih kepada Drs. Razad, MARS., Apt., Bapak Drs. Sutarno,
M.Si., Apt. Ibu Dra. Renni Septini, MARS., Apt., dan Ibu Okpri Meila, M. Farm.,
Apt., yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan serta bantuan dari
berbagai pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat membantu, memberikan
informasi serta menambah pengetahuan bagi para pembaca sehingga penulis dapat
memperbaiki bentuk maupun isi yang kelak dapat menjadi lebih baik.
Penulis menyadari bahwa dalam setiap penyusunan sebuah karya tulis
tidak ada yang sempurna, demikian dengan tugas ini yang tentunya masih banyak
kekurangan baik dari segi pengolahan maupun cara penyajian. Segala kritik dan
saran yang membangun, diharapkan atas penulisan makalah ini. Akhir kata
semoga karya tulis ini dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan terhadap
ilmu pengetahuan pada umumnya.

Jakarta, Oktober 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN........................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. v
DAFTAR TABEL ................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................... 1


B. Tujuan ................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi Penyakit


1. Gagal Ginjal Kronik...................................................... 5
2. Edema Paru Akut .......................................................... 6
3. Diabetes Mellitus .......................................................... 8
4. Hipertensi ..................................................................... 10
B. Manifestasi atau Gejala Klinis Penyakit
1. Manifestasi Gagal Ginjal Kronik .................................. 12
2. Manifestasi Klinis Edema Paru Akut ............................ 13
3. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus ............................ 14
4. Manifestasi Klinis Hipertensi ....................................... 15
C. Patofisiologi
1. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik ................................ 15
2. Patofisiologi Diabetes Mellitus ..................................... 16
3. Patofisiologi Edema Paru Akut..................................... 18
4. Patofisiologi Hipertensi ................................................ 19
D. Algoritma Terapi atau Penatalaksanaan Pengobatan
1. Gagal Ginjal Kronik (CKD Stage V) dengan DM ........ 21
2. Edema Paru Akut .......................................................... 23
3. Hipertensi dengan CKD ................................................ 25

BAB III TINJAUAN KASUS

A. Identitas Pasien ................................................................... 28


B. Data Subjectif Pasien .......................................................... 29
C. Data Objectif Pasien ........................................................... 30
1. Tanda-tanda Vital Pasien .............................................. 30
2. Data Laboratorium ........................................................ 30

iii
D. Profil Pengobatan Pasien .................................................... 33
1. Obat Selama Pasien di Rawat ....................................... 33
2. Obat Pulang................................................................... 34
E. Assessment and Plan (Identifikasi, Manajemen & Plan DRP) 34
1. Assessment and Plan ..................................................... 34
2. Kesesuaian Terapi Obat ................................................ 37
3. Uraian Obat ................................................................... 38
4. Drug Related Problems ................................................. 46
BAB IV PEMBAHASAN

A. Pembahasan ........................................................................ 47
B. Asuhan Kefarmasian ........................................................... 51

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 52
B. Saran ................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 53

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Etiologi Gagal Ginjal Kronik ............................................... 6


Gambar 2. Patofisiologi Hipertensi ........................................................ 19
Gambar 3. Kategori Gagal Ginjal Kronik .............................................. 21
Gambar 4. Algoritma CKD dengan Diabetes Mellitus .......................... 22
Gambar 5. Algoritma Edema Paru Akut ................................................ 24
Gambar 6. Penatalaksanaan Hipertensi dengan CKD ............................ 26
Gambar 7. Penatalaksanaan CKD dengan Anemia ................................ 50

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyebab Edema Paru .......................................................... 8

Tabel 2. Penyebab Hipertensi ............................................................. 12

Tabel 3. Data Laboratorium Hematologi Pasien ................................ 49

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik adalah kondisi dimana ginjal mengalami kerusakan
dan tidak dapat menyaring darah dengan baik seperti ginjal yang sehat. Oleh
karena itu, zat-zat sisa hasil metabolisme tubuh tidak dapat dibuang dan
menimbulkan permasalahan kesehatan yang lain. Lebih dari 20 juta orang
dewasa (lebih dari 10 %) di Amerika Serikat menderita gagal ginjal kronik.
Resiko terkena gagal ginjal kronik meningkat setelah usia 50 tahun dan
paling sering terjadi pada usia lebih dari 70 tahun (CDC, 2014).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013,
prevalensi gagal ginjal kronis berdasar diagnosis dokter di Indonesia sebesar
0,2%. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh,
Gorontalo, dan Sulawesi Utara masingmasing 0,4%. Sementara Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, dan Jawa Timur masing-masing 0,3%. Prevalensi penderita batu
ginjal berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,6%
(Dinas Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Penyakit kronis dapat berpengaruh pada kualitas hidup pasien,
berpotensi mempengaruhi kesehatan fisikmental, status fungsional,
kemandirian, kesejahteraan umum, hubungan pribadi dan fungsi sosial.
Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat terus meningkat setiap tahun-nya,
dari data tahun 1991 terdapat 209.000 orang menderita gagal ginjal kronik
hingga tahun 2004 terdapat 472.000 orang yang menderita gagal ginjal
kronik, dari data tersebut prevalensi penyakit ginjal kronik meningkat hingga
43% selama dekade tersebut. gagal ginjal kronik adalah penurunan faal ginjal
yang sudah menahun dan umumnya bersifat ireversibel, ditandai dengan
kadar ureum dan kreatinin serum yang sangat tinggi. Tahap awal gagal ginjal
kronik dimanifestasikan dengan kerusakan ginjal yang umumnya
asimtomatik. Ketika penyakit ginjal semakin memburuk, fungsi ginjal mulai

1
menurun akhirnya mencapai stadium akhir yakni gagal ginjal dan diperlukan
terapi penggantian ginjal. Penyakit ginjal kronik memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti hemodialisis. Hemodialisis adalah suatu bentuk
tindakan pertolongan dengan menggunakan alat yaitu dializer yang bertujuan
untuk menyaring dan membuang sisa produk metabolisme toksik yang
seharusnya dibuang oleh ginjal.
Edema paru akut (EPA) adalah akumulas cairan di paru-paru yang
terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular
yang tinggi (edema paru kardia) atau karena peningkatan permeabilitas
membran kapiler (edemaa paru non cardiak) yang mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara
di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia. Penyakit edema
paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu
penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980
seluruh provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus
menunjukan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas
wilayah. Di Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence
rate (IR)=35,19 per 100.000 penduduk dan CFR=2%. Pada tahun 1999
IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR
cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 19,24 (tahun 2002) dan
23,87 (tahun 2003) (Soemantri, 2011).

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010) Diabetes melitus
merupakan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan
sekresi insulin yang progresif. Proporsi diabetes melitus di Indonesia
sebesar 6,9 %, toleransi glukosa terganggu (TGT) sebesar 29,9% dan
glukosa darah puasa (GDP) t erganggu sebesar 36,6% (data riskesdas, 2013)

2
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa klit putih berkisar antara 3%-6% dari
jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat
cepat dalam 10 tahun terakhir Di Amerika Serikat, penderita diabetes
meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di
tahun 2010. Di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%,
kecuali di beberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%. .
(Suzazza Ndraha,
Penyakit diabetes melitus jika tidak diperhatikan pengobatannya
dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya berbagai penyulit menahun,
seperti penyakit serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit
pembuluh darah tungkai, gangguan pada mata, ginjal dan syaraf. Usaha
untuk menyembuhkan kembali menjadi normal sangat sulit jika sudah
terjadi penyulit, karena kerusakan yang terjadi umumnya akan menetap.
Usaha pencegahan diperlukan lebih dini untuk mengatasi penyulit
tersebut dan diharapkan akan sangat bermanfaat untuk menghindari
terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan (Riskesdas, 2013)
Hipertensi adalah keadaan seseorang memiliki tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan
yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang
menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi. (Perki, 2015)
Menurut NHLBI (National Heart, Lung, and Blood Institute),hipertensi
adalah penyakit yang paling umum di temukan dalam praktek kedokteran
primer. Hipertensi merupakan faktor resiko infark miokard, stroke, gagal
ginjal akut dan juga kematian (Muhadi, 2016). Menurut RISKESDAS (2013)
Prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5 %, prevalensi
hipertensi lebih tinggi di kelompok lanjut usia.
Kasus penyakit gagal ginjal dan komplikasinya yang terjadi di
Indonesia, hal ini menjadi penting untuk penulis mempelajari dan memahami
peran farmasis dalam mencegah ataupun mengatasi masalah terkait obat
dengan mengenali obat-obat yang berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal,

3
dalam kesempatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RS
Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto.

B. Tujuan
Tujuan pelaksanaan tugas khusus Praktik Kerja Profesi Apoteker di
RSPAD Gatot Soebroto Puskesad Jakarta adalah
1. Untuk memahami peran apoteker dalam pemantauan terapi obat pada
pasien
2. Untuk menganalisis dan memberikan rekomendasi akan masalah terkait
obat pada pasien rawat inap yang dikaji

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit dan Etiologi Penyakit


1. Gagal Ginjal Kronik / Chronic Kidney Disease (CKD)
a. Definisi Gagal Ginjal Kronis
Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan sebagai kelainan dalam
struktur atau fungsi ginjal, hadir untuk 3 bulan atau lebih, dengan
implikasi bagi kesehatan. Penanda struktural kelainan termasuk
albuminuria (30 mg/ 24 jam atau lebih atau albumin: creatinine ratio
(ACR) lebih dari 30 mg/g [atau 3,5 mg /mmol untuk perempuan dan 2,5
mg/mmol untuk laki-laki, tetapi bervariasi antara pedoman yang berbeda
dan lokasi]); hematuria atau gips dalam sedimen urin; elektrolit dan lain
kelainan yang disebabkan oleh gangguan tubular ginjal; kelainan
terdeteksi oleh histologi, atau sejarah transplantasi ginjal. Kelainan
fungsi ginjal ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR)
kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 (0.58 mL /s/m2). Umumnya, CKD adalah
penurunan progresif fungsi ginjal yang terjadi selama beberapa bulan
atau tahun. Penurunan cepat dalam fungsi ginjal selama beberapa hari
atau minggu diketahui sebagai gagal ginjal akut (AKI).
(Pharmachoterapy, 2016)
Berikut ini adalah kriteria CKD :
1) Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
manifestasi klinis dan kerusakan ginjal secara laboratorik atau
kelainan pada pemeriksaan radiologi, dengan atau tanpa penurunan
fungsi ginjal atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang
berlangsung > 3 bulan.
2) Penurunan LFG <60 ml/menit per 1,73m2 luas permukaan tubuh
selama >3 dengan atau tanpa kerusakan ginjal (National Kidney
Foundation, 2002).

5
b. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut :

Sumber : PERNEFRI 2011

Gambar 1. Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Penyebab GAGAL GINJAL KRONIK pada pasien hemodialisis


dari data tahun 2011 didapatkan sebagai berikut, E1 (Glomerulopati
Primer/GNC) 14%, E2 (Nefropati Diabetika) 27%, E3 (Nefropati
Lupus/SLE) 1%, E4 (Penyakit Ginjal Hipertensi) 34%, E5 (Ginjal
Polikistik) 1%, E6 (Nefropati Asam Urat) 2%, E7 (Nefropati
obstruksi) 8%, E8 (Pielonefritis kronik/PNC) 6%, dan E9 (Lain-lain)
6%, E10 (Tidak Diketahui) 1%. Penyebab terbanyak adalah penyakit
ginjal hipertensi dengan 34 % (Penefri, 2011).

2. Edema Paru Akut


a. Definisi
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan
alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat
disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru
kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
(edema paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga terjadi gangguan

6
pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan
hipoksia. Edemaa paru-paru merupakan penimbunan cairan serosa
atau serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial
dan alveolus paru-paru. Jika edemaa timbul akut dan luas, sering
disusul kematian dalam waktu singkat. Penyebab yang tersering dari
edemaa paru-paru adalah kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit
jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis. Edemaa paru-paru
yang disebabkan kelainan pada jantung ini disebut juga
edemaaparukardiogenik, sedangkan edemaa paru yang disebabkan
selain kelainan jantung disebut edemaa paru non kardiogenik.Edemaa
paru nonkardiogenik adalah penimbunan cairan pada jaringan
interstisial paru dan alveolus paru yang disebabkan selain oleh
kelainan jantung (Harun et al, 2009)
b. Etiologi
Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari
pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial
dan alveolus paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada
jantung. Terjadinya edema paru seperti di atas dapat diakibatkan oleh
berbagai sebab, diantaranya seperti pada tabel di bawah ini. Beberapa
penyebab edema paru non kardiogenik :
Peningkatan Secara Langsung Tidak langsung
permeabilitas Aspirasi asam lambung Sepsis
kapiler paru Tenggelam Trauma berat
Kontusio paru Syok
hipovolemik
Pnemonia berat Transfusi darah
berulang
Emboli lemak Luka bakar
Emboli cairan amnion Pankreatitis
 Inhalasi bahan kimia
 Keracuna oksigen
Koagulasi
intravaskular
diseminata
Anafilaksis

7
Peningkatan tekanan  sindrom kongesti Pemberian
kapiler paru vena cairan berlebih
Transfusi darah
Gagal ginjal
 edemaa paru
neurogenik
 Edemaa paru karena
ketinggian tempat
(Altitude)
Penurunan tekanan  Sindrom nefrotik
onkotik  Malnutrisi
Hiponatremia
Tabel 1. Penyebab Edema Paru
Sindrom Kongesti Vena
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edemaa paru dapat terjadi
pada penderita dengan kelebihan cairan intravaskular dengan
ukuran jantung normal. Ekspansi volume intravaskular tidak perlu
terlalu besar untuk terjadinya kongesti vena, karena vasokontriksi
sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume darah ke dalam
sirkulasi sentral. Sindrom ini sering terjadi pada penderita yang
mendapat cairan kristaloid atau darah intravena dalam jumlah
besar, terutama pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal,
ataupun karena gagal ginjal itu sendiri (terjadi retensi air).
Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan kongesti vena
lebih lanjut. Sindrom kongesti vena (fluidoverload) ini sering
terjadi pada penderita dengan trauma yang luas, yang mendapat
cairan dalam jumlah besar untuk menopang sirkulasi. Pada fase
penyembuhan, terjadilah edemaa paru. Keadaan ini sering dikacaukan
dengan gagal jantung kiri atau ARDS (acute respiratory distress
syndrome) (Amin, 2006)

8
3. Diabetes Mellitus
a. Definisi
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010)
b. Etiologi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association
2010 (ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:
1) Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes
Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena
sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama
sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-
peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali.
Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.
2) Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes
Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin
tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena
terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh
karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak
aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan
mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa
bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan
mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya
asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan

9
mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM
tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain DM tipe ini terjadi karena etiologi lain,
misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin
lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain.
4. Diabetes Melitus Gestasional DM tipe ini terjadi selama masa
kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada
masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM
gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi
perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar
untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun
setelah melahirkan.
4. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan
peningkatan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg pada pemeriksaan yang berulang (PERKI, 2015)
b. Etiologi
Menurut Departemen Kesehatan (2006) Etiologi patofisiologi
hipertensi (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini
tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari
populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang
khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab
hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien
ini dapat disembuhkan secara potensial.
Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
essensial (hipertensi primer).Literatur lain mengatakan, hipertensi

10
essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Hipertensi
sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini menunjukkan
bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis
hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk
disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai
kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik
genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium,
tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang
merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi
aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Depkes, 2006)
Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah (lihat tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal
akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah
penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara
langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila
penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan
obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid
yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam
penanganan hipertensi sekunder (Depkes, 2006)

11
Sumber : Depkes, 2006
Tabel 2. Penyebab Hipertensi

B. Manifestasi atau Gejala Klinis Penyakit


1. Manifestasi Gagal Ginjal Kronik
Pada penyakit ginjal kronis terjadi kerusakan regional glomerolus dan
penurunan GFR yang dapat berpengaruh terhadap pengaturan cairan
tubuh, keseimbangan asam basa, keseimbangan elektrolit, sistem
hematopoesis dan hemodinamik, fungsi ekskresi dan fungsi metabolik
endokrin. Sehingga menyebabkan munculnya 11 beberapa gejala klinis
secara bersamaan, yang disebut sebagai sindrom uremia (Suwitra, 2006).
Pasien gagal ginjal kronik stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30
mL/menit/1,73 m2) biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-
stadium ini masih belum ditemukan gangguan elektrolit dan metabolik.
Sebaliknya, gejala-gejala tersebut dapat ditemukan pada GAGAL ginjal
kronik stadium 4 dan 5 (dengan GFR <30 mL/menit/1,73 m2) bersamaan
dengan poliuria, hematuria, dan edemaa. Selain itu, ditemukan juga
uremia yang ditandai dengan peningkatan limbah nitrogen di dalam
darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dalam
tubuh yang pada keadaan lanjut akan menyebabkan gangguan fungsi
pada semua sistem organ tubuh (Arora, 2014). Kelainan hematologi juga
dapat ditemukan pada penderita ESRD. Anemia normositik dan

12
normokromik selalu terjadi, hal ini disebabkan karena defisiensi
pembentukan eritropoetin oleh ginjal sehingga pembentukan sel darah
merah dan masa hidupnya pun berkurang (Arora, 2014)
2. Manifestasi Klinik Edema Paru Akut
Gejala paling umum dari pulmonari edema adalah sesak nafas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya
berkembang secara perlahan, atau dapat timbul secara tiba-tiba pada
kasus dari pulmonari edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin
terjadi termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak
nafas dari pada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on
exertion), nafas yang cepat (takipnea), kepeningan atau kelemahan
(Alasdair, 2008).
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi
pada pasien-pasien dengan pulmonari edema. Pemeriksaan paru-paru
dengan stethoscope, dokte rmungkin mendengar suara-suara paru
yang abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara mendidih
pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan
dalam alveoli selama bernafas (Alasdair, 2008).
Manifestasi klinis edema paru secara spesifik juga dibagi dalam 3
stadium (Gribert et al; 2000)
Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan
kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya
berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak
jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat
inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru interstisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur
dan septa interlobularis menebal (garis kerley B). Adanya

13
penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih
memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja.
Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan
batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain
turun dengan nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt. Penderita
biasanya menderita hipoksia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Edema paru yang terjadi
setelah infark miokard akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.
3. Manifestasi Klinik Diabetes Melitus
Menurut Price and Wilson (2006), manifestasi klinis DM dikaitkan
dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien dengan
defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma
puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat.
Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini,
maka akan akan menimbulkan glukosa. Glukosa ini akan mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan
timbul rasa haus (polidipsia). Biasanya mereka tidak mengalami
ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolute
namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup
untuk menghambat ketoasidosis. Apabila terjadi hiperglikemia berat dan
pasien berespon terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat
hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan
kadar darahnya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan

14
sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri
mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak
memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal (Price and
Wilson,2006).
4. Manifestasi Klinik Hipertensi
a. Penderita hipertensi primer sederhana pada umumnya tidak disertai
gejala
b. Penderita hipertensi sekunder dapat disertai gejalasuatu penyakit.
Penderita feokromasitoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal,
berkeringat, takikardia, palpitasi, dan hipertensi ortostatik.
C. Patofisiologi
1. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
Adanya pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factor sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Keadaan ini
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa dan pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara
progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin- angiotensin-
aldosteron intrarenal yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming
Growth Factor β (TGF-β) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas. Selain itu progresifitas penyakit ginjal kronik juga
dipengaruhi oleh albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia
(Price dan Wilson, 2005)..
Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya
cadangan ginjal (renal reverse) dimana laju filtrasi glomerulus (LFG)
masih normal atau malah meningkat dan dengan perlahan akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif ditandai adanya peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 60%, masih belum ada
keluhan atau asimptomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea

15
dan kreatinin serum pada pasien. Pada LFG sebesar 30% mulai timbul
keluhan seperti nokturia, lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan dan setelah terjadi penurunan LFG dibawah 30%
terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah dan juga mudah terjadi infeksi pada saluran perkemihan,
pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. Pada
LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal ginjal yang sudah terjadi
gejala dan komplikasi yang lebih berat dan memerlukan terapi pengganti
ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi
ginjal (Suwitra, 2006).
2. Patofisiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolik yang ditandai
oleh hiperglikemika. Akibat kurangnya hormon insulin, menurunnya efek
insulin atau keduanya. Terdapat tiga jenis diabetes melitus :
1. Tipe I (DMT1) : insufiensi absolut insulin
2. Tipe II (DMTII) : resistensi insulin yang disertai defek sekresi insulin
dengan derajat bervariasi
3. Diabetes kehamilan (gestasional) yang muncul pada saat hamil
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang
disebabkan oleh salah satu faktor atau lebih sebagai berikut: kerusakan
sekresi insulin, produksi glukosa yang tidak tepat, penurunan sensitivitas
reseptor insulin perifer. Faktor genetik merupakan hal yang signifikan
dan awitan diabetes dipercepat oleh obesitas serta gaya hidup sedentari
(sering duduk) dan stres tambahan.
DM Tipe 2 atau sering disebut diabetes tak tergantung insulin,
disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resisitensi insulin. Resistensi
insulin merupakanturunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati.Sel tidak mampu mengimbangi resistensi

16
insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi resistensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa. Seringkali muncul tanpa diketahui, dan
penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit
sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2
umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya
penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,
hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan
syaraf. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang
terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah
menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada
pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya
komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati,
dan neuropati.
Faktor Resiko DM tipe 2 (Dipiro et. al, 2016) yaitu :
1. Riwayat keluarga DM (yaitu, orang tua atau saudara kandung)
2. Kegemukan atau obesitas
3. Pola hidup
4. Sebelumnya diidentifikasi IFG, IGT, atau A1c antara 5,7% dan 6,4%
(0,057 dan 0,064 atau 39 dan 46 mmol / mol Hb)
5. Hipertensi ≥ 140/90 mmHg atau sedang terapi hipertensi)
6. (HDL) ↓, kolesterol < 35 mg / dL (0.91 mmol / L) dan / ↑ trigliserida
> 250 mg / dL (2,83 mmol / L)
7. Riwayat diabetes gestational, penyakit kardiovaskular, sindrom
ovarium polikistik
8. Kondisi lain yang terkait dengan resistensi insulin (misalnya,
acanthosis nigricans)

17
3. Patifisiologi Edema Paru Akut
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama
melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial
sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein,
serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar
dari sirkulasi ke ruang alveolar terdiri atas ikatan yang sangat
rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang interstisial, cairan
tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian
dikembalikan oleh siistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein
plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang
diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari kirosirkulasi paru sama
dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian
oleh gradien tekanan onkotik protein.
Edema Paru Kardiogenik
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang
menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan
interstisial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan
bergerak menuju pleura visceral yang menyebabkan efusi pleura. Sejak
permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edema ayng
meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah.
Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya
berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri.
Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan
edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular.
Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan
edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus. Kejadian
tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk
oleh proses sebagai berikut :

18
o Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi,
menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin
memburuknya fungsi jantung
o Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan
vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel
kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanisme
interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel
kiri
o Insufesiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga
memperburuk fungsi jantung.
Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada
transpor aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel yang terdapat
pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran
nafas distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang
instrstisial dengan cara Na/K-ATPase yang terletak pada membran
basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui
aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama
pada epitel alveolar sel tipe I (Alasdair,2008)
4. Patofisiologi Hipertensi

Gambar 2. Patofisiologi Hipertensi

19
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral
resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut
yang tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya
hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan
tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan
mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem
pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari
sistem reaksi cepat seperti reflex kardiovaskuler melalui sistem saraf,
refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal
dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem
pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara sirkulasi
kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan
vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam
jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan
tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme
(ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur
tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di
hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah
menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin
I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki
peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan
cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah
meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi

20
kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting
pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan
mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali
dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
D. Algoritma Terapi atau Penatalaksanaan Pengobatan
1. Gagal Ginjal Kronik (CKD stage V) dengan Diabetes Melitus (DM)

Sumber : Pharmacotherapy Principles & Practice 4th edition (2016)


Gambar 3.Kategori Gagal Ginjal Kronik

21
Sumber : Pharmacotherapy Principles & Practice 4th edition (2016)
Gambar 4. Algoritma CKD dengan DM
 Blokade renin angiotensin aldosteron dengan baik menggunakan
angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin
receptor blocker (ARB) adalah dasar pengobatan untuk mencegah atau
menurunkan tingkat pengembangan untuk penyakit ginjal stadium
akhir.
 Kontrol tekanan darah (<140/90) untuk memantau perkembangan
penyakit ginjal dan morbiditas penyakit pasien dengan CKD. Pasien
CKD dengan albuminuria dapat menontrol tekanan darah lebih ketat
dengan target <130/80.
 Optimal mengelola diabetes komorbiditas dan mengatasi faktor risiko
kardiovaskular
 Penyakit kardiovaskular - penyebab utama kematian bagi pasien
dengan CKD. Statin atau terapi statin / ezetimibe dianjurkan dalam
semua ≥ usia pasien CKD 50 tahun untuk mengurangi risiko kejadian
kardiovaskular atau aterosklerosis.

22
 Pantau adanya komplikasi umum lainnya CKD termasuk: anemia,
kelainan elektrolit, keseimbangan normal cairan, dan gizi buruk.
 Hindari obat menyebabkan nefrotoksik untuk mencegah
memburuknya fungsi ginjal.
2. Edema Paru Akut
Penatalaksanaan edem paru non kardiogenik:
a. Supportif
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan adalah :
- support kardiovaskular
- terapi cairan
- renal support
- pengelolaan sepsis
b. Ventilasi
Menggunakan ventlasi protective lung atau protocol ventilasi
ARDS. Pengobatan yang dilakukan di arahkan terhadap penyakit
primer yang menyebabkan terjadinya edema paru tersebut disertai
pengobatan suportif terutama mempertahankan oksigenasi yang
adekuat dan optimalisasi hemodinamik sehingga diharapkan
mekanisme kompensasi tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi
gagal multiorgan.
Penatalaksanaan edem paru kardiogenik :
Sasarannya adalah mencapai oksigenasi adekuat, memelihara
stabilitas hemodinamik dan mengurangi stress miokard dengan
menurunkan preload dan afterload.
Sistematikanya :
- Posisi setengah duduk
- Oksigen terapi
- Morphin IV 2,5 mg
- Diuretik
- Nitroglyserin
- Inotropik

23
Gambar 5. Algoritma Edema Paru Akut
1. Cara Kerja Furosemid sebagai diuretik
Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif
sebagai diuretik. Efek kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat.
Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat penyerapan kembali

24
natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran
air, natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah
yang normal. Pada penggunaan oral, furosemida diabsorpsi sebagian
secara cepat dan diekskresikan bersama urin dan feses
Farmakokinetika Awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah
pemberian oral, dengan masa kerja yang relatif pendek ± 6-8 jam.
Absorpsi furosemid dalam saluran cerna cepat, ketersediaan hayatinya
60-69 % pada subyek normal, dan ± 91-99 % obat terikat oleh plasma
protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian
secara oral, dengan waktu paruh biologis ± 2 jam (Siswandono,1995).
Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t ½ plasmanya 30-60
menit. Ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga
lewat empedu
Efek samping jarang terjadi dan relatif ringan seperti mual,
muntah, diare, rash kulit, pruritus dan kabur penglihatan. Pemakaian
furosemida dengan dosis tinggi atau pemberian dengan jangka waktu
lama dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan elektrolit
3. Hipertensi dengan CKD
Non farmakologis menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti
dapat menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat
menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular.
Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko
kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6
bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan
tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko
kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi
farmakologi.
Terapi farmakologi Secara umum, terapi farmakologi pada
hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak

25
mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola
hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.

(Sumber: JNC VIII. 2013)


Gambar 6.Penatalaksanaan Hipertensi dengan CKD
1. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak
digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung.
Mekanisme kerja : secara langsung menghambat pembentukan
Angiotensin II dan pada saat yang bersamaan meningkatkan jumlah
bradikinin. Hasilnya berupa vasokonstriksi yang berkurang,
berkurangnya natrium dan retensi air, dan meningkatkan vasodilatasi
(melalui bradikinin). Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah
Kaptopril, Enalapril, Benazepril, Fosinopril, Moexipril, Quianapril,
Lisinopril.

26
2. Penghambat Reseptor Angiotensin
Mekanisme kerja : inhibitor kompetitif dari resptor Angiotensin II
(tipe 1). Pengaruhnya lebih spesifik pada Angiotensin II dan
mengurangi atau sama sekali tidak ada produksi ataupun
metabolisme bradikinin. 20 Contoh antihipertensi dari golongan ini
adalah Losartan, Valsartan, Candesartan, Irbesartan, Telmisartan,
Eprosartan, Zolosartan.

27
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama Pasien Ny. H


No Rekam Medis 839xxx
Jenis Kelamin Perempuan
Umur 68 tahun
Tanggal Lahir 10/10/1948
Status Pasien BPJS
Pekerjaan Pensiunan
Ruang Ruang 505 PU Lantai 5
Tanggal Masuk 10/10/2016
BB/TB 87 kg/ 156 cm
DPJP Dr. Mirna Nurasri Praptini, Sp.PD
Dokter Residen Dr. Gantira W.D
Case Manager Waristalam DS, S.Kep.,NS

Pemeriksaan Umum
Anamnesa Sesak nafas sejak 1 minggu SMRS. Sesak
terutama bila jalan atau aktifitas, berbunyi
mengi. Tidak ada batuk atau demam
Keluhan Utama Sejak 3 bulan SMRS bengkak di kedua
tungkai disertai sesak nafas
Riwayat Penyakit 2 minggu lalu di rawat di RS Kramat
Sebelumnya dikatakan sakit ginjal, paru dan diabetes,
disarankan cuci darah namun menolak.
Riwayat Alergi -

28
Riwayat Pengobatan Glibenklamid
Pemeriksaan Umum TD : 150/90mmHg, Nadi : 80x/mnt, Suhu
tubuh: 360C, Pernapasan : 20x/mnt
Diagnosa Masuk CKD Stage 5 dengan edemaa paru akut
(ALO), DM tipe 2, Anemia NN ec Chronic
Disease

B. Data Subjektif Pasien


Tanggal Data Subjektif Pasien
11/10/2016 Sesak nafas berkurang
12/10/2016 Sesak nafas berkurang
13/10/2016 Sesak berkurang, bengkak berkurang
14/10/2016 Sesak berkurang, masih bengkak dan lemas
15/10/2016 Pasien tidak ada keluhan
16/10/2016 Pasien mengatakan tidak ada keluhan
17/10/2016 Sesak nafas berkurang
18/10/2016 Tidak sesak, bengkak berkurang

29
C. Data Objektif Pasien
1. Tanda-tanda Vital Pasien

Parameter Nilai Rujukan 11/10/2016 12/10/2016 13/10/2016 14/10/2016 15/10/2016 16/10/2016 17/10/2016
Tekanan Darah <120/80 mmHg 150/100 140/90 150/90 140/90 140/80 140/80 140/90
0
Suhu Tubuh 36 – 37 C 36 36 36 36 36 36 36
Nafas 17 – 20x / menit 21 20 25 22 20 80 80
Nadi 60 – 80x / menit 88 84 84 80 80 18 20
Kesadaran Compos Mentis CM CM CM CM CM CM CM

2. Data Laboratorium
a. Analisa Gas Darah

30
b. Pemeriksaan Kimia Klinik

Nilai 09/10/2016 11/10/2016 12/10/2016 13/10/2016 13/10/2016 15/10/2016 17/10/2016


Parameter
Rujukan 22:25:38 08:49:08 10:01:28 07:01:07 18:15:40 06:59:18 08:34:10

Albumin 3,5-5,0 g/dL 3,0*


Ureum 20-50 mg/dL 231** 186** 121* 88*
Kreatinin 0,5-1,5 mg/dL 8,8** 7,7** 5,8** 4,7**
135-147
Natrium 141 137 139
mmol/L
3,5-5,0
Kalium (K) 5,5* 4,8 3,8
mmol/L
95-105
Klorida (Cl) 112* 108* 99
mmol/L
Kalsium 8,6-10,3
6,2*
(Ca) mg/dL
Fosfor 2,5-5,0 mg/dL 8,8*
1,8-3,0
Magnesium 2,80
mEq/L
Gula Darah
<140 mg/dL 175* 186* 227*
(Sewaktu)
Glukosa
<100 mg/dL 143*
Jam 07

31
c. Pemeriksaan Hematologi (darah lengkap)

09/10/2016 12/10/2016 13/10/2016 13/10/2016 15/10/2016


Parameter Nilai Rujukan
22:25:38 10:01:28 07:01:07 18:15:40 06:59:18
Hemoglobin 12-16 g/dL 9,2* 8,8* 9,6* 9,0* 9,1*
Hematokrit 37-47 % 29* 27* 30 28* 28*
Eritrosit 4,3-6,0 jt/µL 3,1* 3,0* 3,3* 3,1* 3,1*
Leukosit 4800 – 10800 10010 9240 7540 7490 9870
Trombosit 150.000 - 400.000/ 312.000 315.000 321.000 269.000 270.000
µL
MCV 80-96 fL 91 89 92 91 90
MCH 27 – 32 pg 29 29 29 30 30
MCHC 32 – 36 g/dL 32 33 32 32 33

32
D. Profil Pengobatan Pasien
1. Obat Selama Pasien Dirawat

11/10/2016 12/10/2016 13/10/2016 14/10/2016 15/10/2016 16/10/2016 17/10/2016


No Obat Dosis
P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M
1. Kalitake 3x1 (p.o)        STOP
2. Bicnat 3x1 (p.o)     STOP
3. Valsartan 1x 160 mg (p.o)       
4. Amlodipin 1x10 mg (p.o)       
5. Omeprazole 2x40 mg (i.v)     STOP
6. Domperidon 3x10 mg (p.o)       STOP
7. Sucralfat Syr 3x15 ml (p.o)         STOP
8. Vitamin B12 3x50 mg (p.o)                     

9. Osteocal (Ca. 3x1 (p.o)                     


Carbonat)
10. Furosemid 10 mg/ jam  
5 mg/jam    
3x40 mg   

33
2. Obat Pulang
Pasien pulang tanggal 18 Oktober 2016
Cara
Nama Obat Jumlah Dosis Frekuensi
Pemberian
Amlodipin 5 10 mg 1 x sehari Oral
Valsartan 5 160 mg 1 x sehari Oral
Vitamin B12 15 50 mg 3 x sehari Oral
Osteocal (Ca. 15 1 tab 3 x sehari Oral
Carbonat)
Furosemid 5 40 mg 1 x sehari Oral (pagi)

E. Assessment and Plan (Identifikasi, Manajemen dan Plan DRP)


1. Assessment and Plan
Tanggal Assesment Plan
11/10/2016 1. AKI euperimpased on Las post HD : Na/K/Cl,
CKD dengan lung Ur/Cr
edemaa KGDH/ 8 jam.
2. DM tipe 2, gula darah  Pasang CDL, HD  Hari ini
terkontrol diet drip furosemid 10 mg/jam
3. Anemia NN ec Chronic
disease Kalitake 3x1 tablet p.o
4. Dyspepsia low intake Bicnat 3x 500 mg p.o
Valsartan 1x160 mg p.o
Amlodipin 1x10 mg p.o
Omeprazole 2x40 mg p.o
Domperidon 3x10 mg p.o
Sucralfat 4x15 mg p.o
12/10/2016 1. CKD stage V dengan Rontgen thorax PA
riwayat acute lung DPL, Ur/cr, Na/K/Cl post HD
edemaa Furosemid masih lanjut dulu,
2. DM tipe 2, gula darah  10 mg/ jam
terkontrol diet Kalitake 3x1 tablet p.o
3. Anemia NN ec Chronic Bicnat 3x 500  STOP

34
disease Valsartan 1x160 mg p.o
4. Dyspepsia low intake Amlodipin 1x10 mg p.o
Omeprazole 2x40 mg p.o
Domperidon 3x10 mg p.o
Sucralfat 4x15 mg p.o
Vit B12 3x50 mg p.o
Osteocal 3x1 tab p.o
13/10/2016 1. CKD stage V dengan post HD  cek DL, Ur/cr,
riwayat ALO Na/K/Cl
2. DM tipe 2, gula darah Furosemid 10 mg/ jam
 terkontrol diet turunkan jadi 5 mg/jam
3. Anemia NN ec Chronic Kalitake  STOP
disease Valsartan 1x160 mg p.o
4. Dyspepsia low intake Amlodipin 1x10 mg p.o
Omeprazole  STOP
Domperidon  STOP
Sucralfat  STOP
Vit B12 3x50 mg p.o
Osteocal 3x1 tab p.o
14/10/2016 1. CKD stage V dengan KGDH senin-kamis
riwayat ALO Furosemid drip 5 mg/jam
2. DM tipe 2, gula darah  (10 ampul/24 jam di kec
terkontrol diet 0,5cc/jam)
3. Anemia NN ec Chronic Valsartan 1x160 mg p.o
disease Amlodipin 1x10 mg p.o
4. Dyspepsia  Perbaikan Vit B12 3x50 mg p.o
Osteocal 3x1 tab p.o
Hari ini : HD
Batasi pemberian cairan,
monitor intake/output cairan

35
Monitor adanya overload,
sesak nafas.
15/10/2016 1. Kelebihan volume cairan Furosemid drip 5 mg/jam
2. Perubahan nutrisi kurang Valsartan 1x160 mg p.o
dari kebutuhan tubuh Amlodipin 1x10 mg p.o
Vit B12 3x50 mg p.o
Osteocal 3x1 tab p.o
KGDH senin-kamis
16/10/2016 1. Kelebihan volume cairan Furosemid drip 5 mg/jam
2. Perubahan nutrisi kurang Valsartan 1x160 mg p.o
dari kebutuhan tubuh Amlodipin 1x10 mg p.o
Vit B12 3x50 mg p.o
Osteocal 3x1 tab p.o
KGDH senin-kamis
17/10/2016 1. CKD stage V dengan KGDH senin-kamis
edemaa anasarka Furosemid 3x40 mg (3x20
2. DM tipe 2, gula darah  ampul)
terkontrol diet Valsartan 1x160 mg p.o
3. Anemia NN ec Chronic Amlodipin 1x10 mg p.o
disease Vit B12 3x50 mg p.o
Osteocal 3x1 tab p.o
KGDH senin-kamis
Diet DM biasa 1700kkal,
rendah natrium
18/10/2016 1. CKD stage V dengan Bila tidak ada keluhan, pagi
edemaa anasarka riwayat ini pasien boeh pulang.
ALO
2. DM tipe 2, gula darah 
terkontrol diet
3. Anemia NN ec Chronic

36
disease

2. Kesesuaian Terapi Obat

Dosis yang
Nama Obat Dosis Literatur Keterangan
diberikan
Kalitake (Ca 3x1 (5g) p.o hiperkalemia karena gagal Sesuai
polystyrene ginjal akut & Kronik
sulfonate) Dewasa : 15-30 gram/hari per
oral, ditambahkan 30-50 ml
air, dibagi untuk 2-3 kali
pemberian
Bicnat 3 x 500 mg asidosis sistemik Dosis dapat Sesuai
p.o dimulai dari 325 mg dan 650
mg tab (untuk CKD stage 3
atau lebih. Dosis maksimum
1500 mg
Valsartan 1x160 mg Antihipertensi, ARB : Sesuai
p.o Valsartan 80-320 mg q.d
(KDIGO BP in CKD)
Amlodipin 1 x 10 mg/ Antihipertensi, CCB : Sesuai
hari p.o Amlodipin (2,5 – 10 mg q.d)
(KDIGO BP in CKD)
Furosemid 10 mg/jam Edemaa dan antihipertensi, Sesuai
Antihipertensiv drugs in CKD
dan Chronic dialysis 40-80 mg
b.i.d (KDIGO BP in CKD)
3x40 mg p.o Edemaa dan antihipertensi, Sesuai
Oral: 20 mg - 1 g per hari
(Renal Drug Handbook)
Osteocal (Ca. 3x500 mg Sebagai phosfat binding agent Sesuai
Carbonat) p.o maksimal 1500 mg/ hari
(Pharmacotherapy Principles
& Practice 4th edition (2016)
Domperidone 3x10 mg p.o Dispepsia, Untuk renal failure, Sesuai
tidak ada dosis tertentu yang
disediakan label produsen.
Namun tergantung tingkat
keparahan gangguan,

37
frekuensi harus dikurangi
menjadi 1-2 kali sehari dan
pengurangan dosis
dipertimbangkan dengan
pemberian berulang

Oral : dosis dewasa ( max 30


mg/ hari) (Medscape.com)
Sucralfat Syr 4x15 ml Tukak duodenum, tukak Kurang
(500 mg/5ml lambung 2- 4 g daily (Renal sesuai
 1500 Drug Handbook)
mg/15 ml) =
6000 mg per
hari
Vitamin B12 3x50 mcg Vitamin B12 sangat penting Sesuai
p.o untuk produksi eritrosit, 1-2
tablet (1 sampai 3 kali sehari)
Omeprazole 2x40 mg i.v Asam lambung  IV: 40 mg Kurang
sekali sehari selama 5 hari sesuai
(Renal Drug Handbook)

3. Uraian Obat
Kalitake (Ca polystyrene sulfonate)
Komposisi Ca polystyrene sulfonate
Kelas/Golongan Antidotum & Obat Detoksifikasi
Sediaan Kalitake powder for oral susp 5 g
Indikasi dan Dosis Hiperkalemia karena gagal ginjal akut & kronik
Dewasa 15-30 g/hari terbagi dalam 2-3 dosis, dilarutkan
dalam 30-50 mL air, diberikan dalam 3-4 dosis terbagi.
Anak 1/2 dosis orang dewasa
Kontra Indikasi Obstruksi usus.
Efek Samping Perforasi & obstruksi usus, konstipasi, mual, anoreksia,
rasa tidak enak pada lambung. Hipokalemia
Pemberian obat Sebaiknya diberikan pada saat perut kosong.
Sumber MIMS
Bicnat

38
Komposisi Sodium bikarbonat
Kelas/Golongan Antireflux Agen & Antiulcerants / Elektrolit / penangkal
& Detoksifikasi Agen
Sediaan Tablet oral
Indikasi dan Dosis Dewasa: PO Urine alkalinisasi Sampai dengan 10 g / hari
dalam dosis terbagi w / asupan cairan yang cukup. Kronis
metabolik asidosis ≥4.8 g/hari sesuai kebutuhan.
Dispepsia 1-5 g bila diperlukan. IV asidosis metabolik
berat Dengan inj lambat dari soln hipertonik ≤8.4% atau
dengan infus kontinu dari soln lemah, biasanya 1,26%.
Untuk pasien GFR < 10 ml/min dan HD, Dosis seperti
pada fungsi ginjal normal
Kontra Indikasi Metabolik atau alkalosis pernapasan; hiponatremia,
edemaa paru yang parah; hipokalemia, hypochlorhydria..
Efek Samping alkalosis metabolik; perubahan mood, kelelahan, sesak
napas, kelemahan otot, denyut jantung tidak teratur;
hipertonisitas otot, kedutan, tetani; hipernatremia,
hiperosmolalitas, hipokalsemia, hipokalemia; perut kram,
perut kembung.
Pemberian obat Diberikan pada waktu perut kosong
Sumber MIMS, RDH
Valsartan
Komposisi Valsartan
Kelas/Golongan Angiotensin II Receptor Antagonis
Sediaan Tablet oral
Indikasi dan Dosis 1. Gagal Jantung: bid po 40 mg, mungkin titrasi 320 mg
/hari
2. Hipertensi: 80-160 mg po setiap hari, mungkin titrasi
320 mg p.o setiap hari
3. Myocardia infark: bid p.o 20 mg, mungkin titrasi 320

39
mg p.o setiap hari
Untuk pasien GFR < 10 ml/min dan HD, dosis awal 40
mg; titrasi menurut tanggapan
Kontra Indikasi Hamil & gangguan hati berat, sirosis bilier & kolestasis.
Anuria, gangguan ginjal berat. Hipokalemia refrakter,
hiponatremia, hiperkalemia & hiperurisemia simptomatik,
pasien dialisis. Laktasi.
Efek Samping Sakit kepala, pusing, lemah, sinusitis, faringitis, infeksi
sal napas atas, batuk, nyeri punggung, diare, infeksi virus,
nyeri dada, mual, rinitis, dispepsia, ISK, nyeri abdomen,
frekuensi miksi, nyeri lengan, bronkitis, dispneu, nyeri
tungkai, keseleo, penglihatan abnormal, artritis, kram
tungkai, impotensi, insomnia, ruam.
Efek samping (misalnya hiperkalemia, metabolisme
asidosis) lebih sering terjadi pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal
Pemberian Obat Dapat diberikan bersama atau tanpa makanan
Sumber Pharmacy Drug Card (2016), MIMS, Renal Drug
Hanbook (RDH)
Amlodipin
Komposisi Amlodipin 2,5 mg, 5 mg, 10 mg
Kelas/Golongan Calcium Channel Blocker (CCB)
Sediaan Tablet oral
Indikasi dan Dosis 1. Hipertensi: Anak-anak 6-17 tahun, 2,5-5 mg po setiap
hari; Dewasa, 5-10 mg po setiap hari
2. Angina stabil: 5-10 mg po setiap hari
3. Varian angina: 5-10 mg po setiap hari
Off-Label uses.
1. Diabetes nefropati: 5-15 mg po setiap hari
2. Hipertrofi ventrikel kiri: 5-10 mg po setiap hari

40
3. Raynaud fenomena: 10 mg po setiap hari
Untuk pasien GFR < 10 ml/min dan HD, Dosis seperti
pada fungsi ginjal normal
Kontra Indikasi Hipersensitif terhadap amlodipin
Efek Samping Sakit kepala, edemaa, lelah, somnolen, mual, nyeri perut,
rasa panas & kemerahan pd wajah, palpitasi, pusing.
Jarang: neyri sendi, dispepsia, hiperplasia gingiva,
ginekomastia, impotensi, sering buang air kecil,
perubahan 'mood', kram & nyeri otot, pruritus, ruam kulit,
gangguan daya penglihatan
Pemberian obat Dapat diberikan bersama atau tanpa makanan.
Sumber Pharmacy Drug Card (2016), MIMS, Renal Drug
Hanbook (RDH)
Furosemide
Komposisi Tablet Oral: 20 mg, 40 mg, 80 mg
Kelas/Golongan Loop diuretik
Sediaan Tablet oral
Indikasi dan Dosis 2. Edemaa terkait dengan gagal jantung, gagal ginjal:
Dewasa, awal 20-80 mg po setiap hari, titrasi dosis
pemeliharaan (max 600 mg/d); bayi prematur (<29
minggu), 1-2 mg /kg p.o /dosis harian, mungkin titrasi
sampai 6 mg/ kg/dosis; bayi prematur (> 29 minggu),
1-2 mg po /kg/ dosis 1-2 kali per hari, mungkin titrasi
sampai 6 mg/kg/dosis; neonatus, 1-3 mg / kg po q8h
yang diperlukan; Dalam semut dan Anak, awal, 2 mg
/kg/ p.o dosis, mungkin titrasi pada interval o 6-8 jam
untuk dosis pemeliharaan (max 6 mg /kg/dosis)
3. Hipertensi: Dewasa, 40 mg po dua kali sehari,
mungkin titrasi untuk respon pasien; Anak-anak, 0,5-2
mg/kg/po dosis sekali atau dua kali sehari; Bayi <6

41
bulan, mungkin memerlukan dosis hingga 3 mg/kg po
setiap hari dalam 2 dosis terbagi; Bayi <2 y o usia,
maxdose 37,5 mg/hari; Anak-anak 2-12 tahun, dosis
maksimal 100 mg /hari
Kontra Indikasi Hipersensitivitas untuk furosemid dan sulfonamid. Anuria
atau gagal ginjal, penyakit Addison, hipovolemia atau
dehidrasi, negara precomatose terkait dengan sirosis hati
Efek Samping Gangguan pencernaan ringan, kehilangan Ca, K, Na.
Nefrokalsinosis pada bayi prematur, metabolik alkalosis,
diabetes. Jarang, syok anafilaktik, depresi sumsum tulang,
reaksi alergi, pankreatitis akut, gangguan pendengaran.
Pemberian obat Dapat diberikan bersama atau tidak dengan makanan
Sumber MIMS, RDH, Pharmacy Drug Card (2016)
Osteocal (Ca. Carbonat)
Komposisi Kalsium karbonat
Kelas/Golongan Kalsium dengan Vitamin
Sediaan Tablet oral
Indikasi dan Dosis Pengikat fosfat / phasfhate binding agent, suplemen
kalsium.
Oral
Hyperphosphataemia pada pasien dengan gagal ginjal
kronik
Dewasa: Awalnya, 2,5 g sehari, diberikan dalam dosis
terbagi, dapat meningkatkan hingga 17 g sehari dalam
dosis terbagi jika diperlukan.
Oral
hyperacidity
Dewasa: Per tablet mengandung 500 mg kalsium
karbonat: diberikan 1-2 tablet yang diperlukan, hingga
maksimal 16 tablet/hari. Mungkin menghisap atau

42
mengunyah tablet. Wanita hamil: 1-2 tablet yang
diperlukan, hingga maksimal 7 tablet di 24 jam.
Kontra Indikasi Pasien dengan Ca batu ginjal atau riwayat batu ginjal;
hiperkalsemia; hipofosfatemia. Pasien dengan toksisitas
digoxin diduga
Efek Samping Sembelit, perut kembung; hiperkalemia; alkalosis
metabolik; sindrom susu-alkali, jaringan-kalsifikasi.
hipersekresi lambung dan asam Rebound (dengan
penggunaan jangka panjang)
Pemberian obat Dapat diberikan dengan atau tanpa makanan, diberikan
dengan makanan untuk penyerapan yang lebih baik.
Hindari pemberian dengan makanan kaya serat dalam
jumlah banyak
Sumber RDH, MIMS
Domperidon
Komposisi Domperidon
Kelas/Golongan Regulator GIT, Antiflatulen & Antiinflamasi
Sediaan Tablet film-coated 10 mg
Indikasi dan Dosis  Mual akut dan muntah (termasuk yang disebabkan
oleh levodopa dan bromokriptin)
 Refluks gastroesofagus
 Dispepsia
Mual dan muntah: Dewasa 10-20 mg secara oral 3-4 kali
sehari, maksimum 80 mg sehari. PR: 60 mg dua kali
sehari. Untuk pasien GFR < 10 ml/min dan HD, Dosis
seperti pada fungsi ginjal normal (RDH)
Kontra Indikasi Prolaktinoma; kondisi dimana motilitas lambung dpt
membahayakan, misalnya pendarahan, obstruksi mekanik
atau perforasi GI.
Efek Samping Jarang, nyeri perut ringan.

43
Pemberian obat Sebaiknya diberikan pada saat perut kosong : Berikan 15-
30 mnt sblm makan & menjelang tidur malam.
Sumber RDH, MIMS
Sucralfate
Komposisi Sucralfate 500 mg/5 Ml
Kelas/Golongan Antasid, Obat Antirefluks & Antiulserasi
Sediaan Suspensi oral
Indikasi dan Dosis Pengobatan ulkus peptikum dan kronis, radang perut,
Profilaksis stres ulkus pada pasien sakit parah
 4 g sehari dalam 2-4 dosis terbagi
 Profilaksis ulkus stres: 1 g 6 kali harian
 Maksimum 8 g sehari
Untuk pasien GFR < 10 ml/min dan HD, Dosis 2-4 g
perhari (RDH)
Kontra Indikasi -
Efek Samping Konstipasi, mulut kering. Diare, mual, muntah, rasa tdk
nyaman pd perut, kembung, pruritus, ruam kulit,
mengantuk, pusing, nyeri punggung, sakit kepala
Pemberian obat Sebaiknya diberikan pada saat perut kosong: Berikan 1
jam sebelum makan & sebelum tidur.
Sumber RDH, MIMS
Vitamin B12
Komposisi Cyanocobalamin 50 mcg
Kelas/Golongan Vitamin B Esensial
Sediaan Oral Tablet:50 mcg, 100 mcg, 250 mcg, 500 mcg
Indikasi dan Dosis 1. Defisiensi cobalamin, penyerapan yang normal: Oral,
1000 mcg po sehari-hari; Hidung, 500 mcg dalam 1
lubang hidung sekali seminggu
2. Kekurangan Cobalamin, malabsorpsi: 100 IM mcg
atau injeksi dalam sehari atau 6-7 hari, kemudian 100
mcg setiap bulan

44
Untuk pasien GFR < 10 ml/min dan HD, Dosis seperti
pada fungsi ginjal normal
Kontra Indikasi Hipersensitif terhadap cyanocobalamin atau kobalt
Efek Samping -
Pemberian obat Sebaiknya diberikan pada waktu perut kosong.
Sumber Pharmacy Drug Card (2016), MIMS, RDH
Omeprazole
Komposisi Omeprazole
Kelas/Golongan PPI (Proton Pump Inhibitor)/ penghambat pompa proton
Sediaan Oral Capsule, Delayed Release: 10 mg, 20 mg, 40
mg; Oral Tablet, Delayed Release:20 mg; Oral
Suspension:2 mg/mL; Oral
Packet:2.5 mg, 10 mg
Indikasi dan Dosis Penekan asam lambung.
Oral: 10-120 mg sehari
IV: 40 mg sekali sehari selama 5 hari
Pasien dengan perdarahan baru pada endoskopi: 80 mg
stat yang diikuti oleh 8 mg /jam selama 72 jam (British
Society of gastroenterologi). Untuk pasien GFR < 10
ml/min dan HD, Dosis seperti pada fungsi ginjal normal.
(RDH)
Kontra Indikasi Hipersensitif terhadap omeprazole
Efek Samping Menstimulasi pertumbuhan sel-sel yg menyerupai
enterokromafin. Pertumbuhan berlebihan dr bakteri-
bakteri dlm sal cerna.
Pemberian obat Sebaiknya diberikan bersama makanan: Berikan segera
sebelum makan.
Sumber RDH, Pharmacy Drug Card (2016)

45
4. Drug Related Problems

No. Masalah Penyebab Intervensi Hasil

1. M1.4 Ada P1.5 Ada I0. tanpa H0.0 Hasil


indikasi indikasi tetapi intervensi intervesi
yang tidak obat tidak di tidak
diterapi resepkan diketahui
Pasien
mengalami
Anemia (HB <
10 g/dL)
2. M.1.1 Obat P3.1 Dosis I0. tanpa H0.0 Hasil
tidak efektif Omeprazole intervensi intervensi
2x40 mg i.v tidak
sehari terlalu diketahui
tinggi,
disarankan IV:
40 mg sekali
sehari (Renal
drug handbook)

46
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pembahasan
Pemantauan terapi obat yang dilakukan di Ruang Perawatan Umun
lantai 5 RS Kepresidenan Gatot Soebroto dengan kasus diagnosa CKD
(Chronic Kidney Disease) on HD riwayat ALO (Acute Lung Oedema)
dengan Diabetes tipe 2. Data dikaji tanggal 11 sampai 17 Oktober 2016.
Anamnesa pasien : sesak nafas sejak 1 minggu SMRS. Sesak terutama
bila jalan atau aktifitas, berbunyi mengi. Tidak ada batuk atau demam.
Riwayat penggunaan obat sebelumnya pasien menggunakan glibenklamid
1 kali sehari 1 tablet per oral. Terapi farmakologi kasus ini diberikan
furosemid 10 mg/jam, koreksi bicnat, kalitake, bicnat tablet 3x500 mg per
oral, valsartan 1x160 mg per oral, kemudian diet biasa rendah garam.
Pasien didiagnosa diabetes tipe 2, terkontrol dengan diet, dengan
diatur pola makan yang telah dihitung oleh nutrisionis di RSPAD jumlah
kebutuhan kalori, protein, lemak dan karbohidrat pasien tersebut. Terapi
furosemid untuk edema paru akut ini sudah sesuai dengan algoritma
terapi yang menyebutkan bahwa lini pertama dapat menggunakan
furosemid IV 0,5-1,0 mg/kg BB (ESC guideline). Mekanisme kerja
furosemid adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel
tubuli ginjal. Furosemid meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida,
kalium, pada kondisi ini pasien telah dipantau kadar natrium kaliumnya
dan masih dalam kadar normal. Pasien juga telah mengalami hipertensi
dengan rata-rata tekanan darah 140/90 mmHg dalam penanganan terapi
telah diberikan valsartan 1x160 mg merupakan antihipertensi golongan
ARB yang di kombinasikan dengan Amlodipin 1x 10 mg (golongan
CCB), menurut JNC 8 untuk penatalaksanaan hipertensi pada kasus CKD
dengan atau tanpa DM diberikan terapi ACEI atau ARB, (target terapi
SBP<140 mmHg dan DBP<90 mmHg) atau dapat dikombinasikan dengan
obat antihipertensi lain, maka untuk pengobatan hipertensi pada kasus ini

47
telah sesuai dengan pedoman JNC 8. Hipertensi yang tidak terkontrol
pada gagal ginjal adalah karena ekspansi cairan ke ekstrasel, abnormalitas
sistem renin angiotensin (Widyati, 2015).
Hiperkalemia yang umumnya dapat terjadi pada penderita gagal
ginjal kronis, terjadi akibat menurunnya eksresi renal, asupan kalium
yang tinggi, penatalaksanaannya dapat diberikan Nabic IV (Widyati,
2015), hal ini telah diterapi dengan awal terapi (10 Oktober 2016)
menggunakan koreksi bicnat kemudian 2 hari selanjutnya (11-12 Oktober
2016) menggunakan Bicnat (natrium bicarbonat) 3 x 500 mg peroral,
untuk kesesuaian menurut Renal Drug Handbook Untuk pasien GFR < 10
ml/min dan HD, Dosis bicnat seperti pada fungsi ginjal normal.

Problem gastrointestinal yang dapat terjadi pada penyakit gagal


ginjal kronis meliputi anoreksia, mual, muntah, diare, tukak saluran cerna
oleh karena hipersekresi asam lambung. Hipersekresi dapat disebabkan
antara lain karena produksi amonia. Penatalaksanaannya meliputi
pengaturan diet, pemberian antasida sirup pada saat dispepsia, H-2
blocker, serta dialysis ( Widyati, 2015). Hal ini benar pasien pada tanggal
11 sampai dengan 13 oktober mengalami dispepsia low intake dan pada
tanggal 14 oktober dispepsia yang dialami oleh pasien sudah dalam
kondisi membaik, terapi yang diberikan dokter adalah omeprazole 2x40
mg (i.v), domperidon 3x10 mg per oral, dan sucralfat 4x15 ml per oral.
Kesesuaian dosis omeprazole kurang sesuai, IV: 40 mg sekali sehari
selama 5 hari, untuk pasien GFR < 10 ml/min dan HD, Dosis seperti
pada fungsi ginjal normal. (RDH), begitu pula dengan dosis sucralfat
yang diberikan 4x15 ml per oral (500 mg/5ml  1500 mg/15 ml) = 6000
mg per hari, sedangkan untuk pasien GFR < 10 ml/min dan HD, dosis
sucralfat disarankan 2-4 g perhari (RDH). Dosis domperidon telah sesuai
untuk terapi mual dan muntah: dewasa 10-20 mg secara oral 3-4 kali
sehari, maksimum 80 mg sehari. Untuk pasien GFR < 10 ml/min dan
HD, dosis seperti pada fungsi ginjal normal (RDH).

48
Pada penyakit gagal ginjal kronis juga sering terjadi gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat yang berupa hipokalsemia,
hiperfosfatemia. Penyebab gangguan tersebut adalah menurunnya
absorpsi kalsium oleh karena penurunan produksi dihydroxy vitamin D3
(vitamin D) oleh ginjal. Penyebab lainnya adalah menurunnya kadar
kalsium plasma yang disebabkan oleh emingkatnya kadar fosfat karena
penurunan GFR dan resistensi hormon paratiroid pada tulang.
Penatalaksanaannya meliputi pemberian preparat kalsium karbonat
(CaCO3), Vitamin D 0,25 µg/hari (Widyati, 2015). Kadaan ini pasien
diberi terapi osteocal (ca. Carbonaat) 3x1 tablet, dosi dewasa: Per tablet
mengandung 500 mg kalsium karbonat: diberikan 1-2 tablet yang
diperlukan, hingga maksimal 16 tablet/hari.
Masalah terkait obat (DRP) ada indikasi yang tidak diterapi yang
ditemukan yaitu pasien mengalami anemia dengan melihat data
laboratorium sebagai berikut :

Nilai 09/10/2016 12/10/2016 13/10/2016 13/10/2016 15/10/2016


Parameter
Rujukan 22:25:38 10:01:28 07:01:07 18:15:40 06:59:18

Hemoglobin 12-16 9,2* 8,8* 9,6* 9,0* 9,1*


g/dL
Hematokrit 37-47 % 29* 27* 30 28* 28*

Tabel 3. Data Laboratorium Hematologi Pasien


Dari tabel tersebut, bahwa kadar hemoglobin kurang dari kadar
normalnya. Menurut algoritma terapi anemia dengan CKD dapat dilihat
pada gambar dibawah ini :

49
Sumber : Pharmacotherapy Principles & Practice 4th edition (2016)
Gambar 7. Penatalaksanaan CKD dengan Anemia

Anemia banyak terjadi pada penyakit gagal ginjal kronis, dengan


karakteristik hematokrit berkisar 20-25%, normokromik, normocytic.
Penyebab anemia antara lain karena menurunnya produksi erythropoetin
oleh ginjal, perdarahan saluran cerna, defisiensi besi dan asam folat.
Penatalaksanaan anemia antara lain pemberian Recombinant Human
Erythropoetin setelah dipastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada
defisiensi besi maupun folat. Dosis yang diberikan adalah 50-150 U/Kg
tiga kali dalam seminggu secara IV atau SC dengan tujuan mencapai
hematokrit 30-35 % (Widyati, 2015). Setelah berdiskusi dengan dokter

50
yang menangani pasien tersebut bahwa memang seharusnya anemia
diberikan eritropoetin, tetapi harus dilihat kondisi pasien juga, jika
cadangan besinya masih baik, maka belum perlu diberikan terapi untuk
anemianya.
B. Asuhan Kefarmasian
Pada penderita CKD on HD yang mengalami hipertensi dan diabetes :
1. Pengukuran kadar gula darah sebaiknya dilakukan tiap hari. Diberi
motivasi agar kadar glukosa darah terus dipantau sehingga
komplikasi dapat diringankan.
2. Para diabetesi dianjurkan memeriksakan kesehatan matanya paling
tidak setiap 1 tahun sekali.
3. Diet rendah garam
4. Olahraga yang ringan secukupnya
5. Tidak merokok
6. Mengecek tekanan darah secara teratur
7. Tidak minum alkohol
8. Menjaga pola makan dan banyak mengkonsumsi sayur dan buah-
buahan

51
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasien menderita CKD stage V on HD dan DM tipe 2, Kadar


glukosa darah pasien masih terkontrol, tanda-tanda vital terkontrol stabil,
kondisi pasien membaik, Pemilihan obat dan dosis obat secara umum
sudah sesuai. Masalah terkait obat (DRP) yang ditemukan adanya kurang
sesuai dosis (dosis terlalu besar bila dibandingkan dengan literatur) yaitu
obat omeprazol dan sucralfat. Adanya indikasi yang tidak diterapi yaitu
adanya anemia, tetapi menurut dokter bahwa cadangan besi pasien masih
baik.

B. Saran

1. Perlu menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi terkait


obat, baik antar petugas kesehatan maupun dari petugas kesehatan ke
pasien sehingga dapat mengurangi terjadinya drug related problem.
2. Perlu dilakukan peningkatan kerjasama antar sesama tenaga kesehatan
sehingga pelayanan kesehatan yang berorientasi pada patient safety
dapat tercapai.

52
DAFTAR PUSTAKA

Alasdair et al. 2008. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary


Edemaa. N Engl J Med

American Diabetes Association. 2015. Classification and Diagnosis of Diabetes.


Diabetes Care; Vol 38(Suppl. 1): S8-16.

Arora, P. 2014. Chronic Kidney Disease. MedScape. Diakses dari


http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview. Pada tanggal 20
Oktober 2016

Cardiogenic Pulmonary Edema. 2011. NaskahLengkap PKB XXVI Ilmu


Penyakit Dalam. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo,

Gribert FA, Bayat S. Pulmonary edemaa (Including ARDS). In: Douglas S,


Anthoni S, Leitch AG, Crofton, Editors. Respiratory Disease. Vol II.
Blackwell Science. London. 2000

Harun S dan Sally N. 2009. Edema Paru Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

http://cme.medicinus.co/file.php/1/LEADING_ARTICLE_Diabetes_Mellitus_Tip
e_2_dan_tata_laksana_terkini.pdf.

Joseph T. DiPiro, PharmD, FCCP et al. 2016. Pharmacotherapy Principles &


Practice Fourth Edition

KDIGO. 2009. KDIGO BP in CKD http://www.kidney-international.org

Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Hypertensive Vascular Disease. Dalam: Robn


and Cotran Pathologic Basis of Disease, 7th edition. Philadelpia: Elsevier
Saunders, 2005.p 528- 529

MIMS.COM

53
Muhadi.2016. Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta,
Indonesia.
Muhadi.2016. Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta,
Indonesia
Patambo KK, Rotty LWA. Palar S. 2014. Gambaran status besi pada
pasienpenyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

Perki. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

Pharmacy Drug Card. 2016

Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta: EGC

Price, SA. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rahman ARA, Rudiansyah M, Triawanti. 2013. Hubungan antara adekuasi


hemodialisis dan kualitas hidup pasien di RSUP Ulin Banjarmassin. Berkala
kedokteran.

Renal Drug Handbook third edition. 2009.

Rudiansyah M, Triawanti, Adityawarman A. Kadar hemoglobin pasien penyakit


ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin di RSUD Ulin Banjarmasin.
Jurnal berkala kedokteran. 2013
Suwitra, K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo , A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadribata, M.K., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing.
Suzanna Ndraha .Leading article. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana
Terkini. Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Krida Wacana Jakarta.

54
Widyati. 2015. Praktik Farmasi Klinik Fokus pada Pharmaceutical Care. Penerbit
Brilian Internasional

55

Anda mungkin juga menyukai