Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dermatitis Kontak Alergi

Pendahuluan

Kulit adalah organ terbesar pada tubuh manusia, kulit memiliki fungsi kompleks dan
dinamik seperti fungsi menjaga pelindung fisik dan imunologik kepada lingkungan, dengan
demikian, kulit adalah lini pertama pertahanan setelah paparan beberapa bahan kimia. DKA
bertanggung jawab setidaknya 20% atau lebih insiden kasus barupada subgroup dermatitis
kontak.1 DKA adalah reaksi inflamasi kulit disebabkan allergen eksogen dimana seseorang dapat
berkembang sensitasi allergen. Lebih dari 3700 bahan kimia telah diimplikasikan sebagai
penyebab DKA pada manusia.2

Setelah kontak dengan allergen, kulit bereaksi imunologik dengan ekspresi klinis inflamasi
eksematous. Pada DKA keparahan dermatitis eksematous dapat bervatiasi dari ringan, singkat,
berat, persisten, dan kronik. Identifikasi allergen yang sesuai lewat test patch epikutan telah
didemonstrasikan meningkatkan kualitas hidup dengan diukur dengan instrument standard dan
memperbolehkan penghindaran sesuai dengan allergen pencetus dan remisi. Rekognisi dari tanda
dan gejala dan test patch sesuai krusial untuk evaluasi pada pasien dengan suspek DKA.3

Epidemiologi

Pada 2007 penelitian studi retrospektid yang mengulas penemuan studi epidemiologi,
menunjukkan antara 1966 dan 2007, prevalensi median alergi kontak setidaknya 1 alergen pada
populasi umum adalah 21.2%.4 Dengan tambahan studi menemukan allergen kontak prevalensi
pada populasi umum adalah nikel, timerosal, dan parfum. Secara penting, prevalensi alergi kontak
kepada allergen spesifik berwariasi antara negara-negara.5,6 dan prevalensi allergen spesifik tidak
statis karena dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan dari lingkungan, paparan, regulasi,
dan lain-lain. Alergi kontak dari bahan ditemukan dari produk perawatan pribadi seperti kosmetik
atau peralatan mandi adalah masalah yang umum ditemukan, dengan kurang lebih 6% populasi
umum memiliki alergi kontak terkait kosmetik. Alergi kontak pada bahan tertentu pada produk
perawatan pribadi.7,8

Faktor Resiko

Umur

Selama decade terakhir, beberapa studi telah mengenali dermatitis kontak sebagai
penyebab penting dermatitis kontak, dan diagnosis umum diantara anak-anak. Dimana hal ini sama
dengan pada anak-anak dan dewasa.9,10 walaupun allergen umum menemukan perbedaan antara

grup umur. Di lain pihak, parfum menunjukkan peningkatan alergi dengan peningkatan umur.11

Jenis Kelamin

Karena beberapa studi telah melihat induksi sensitasi kontak alergi pada pria dan wanita
dibawah kontrol, perbedaan jenis kelamin pada perkembangan DKA masih belum diketahui.
Ketika metode patch tes digunakkan untuk menilai laju induksi untuk 10 allergen umum, wanita
lebih banyak sensitasi pada 7 dari 10 alergen yang dipelajari.12 Ditemukan pula prevalensi kontak
alergi pada populasi umum pada wanita adalah sebanyak 17.1% pada wanita dan 3% pada pria.
Hal ini dapat terjadi karena wanita memiliki telinga yang ditindik, dan dapat menjadi alergi
nikel.13-16. Maka dapat menunjukkan prevalensi tinggi dari alergi nikel pada wanita dan
menjelaskan prevalensi median lebih tinggi pada wanita yang ditindik dibandingkan pria.

Ras

Perkembangan DKA pada allergen poten seperti paraphenylediamine (PPD) tetap


kontroversial.17,18 Studi terbatas telah mensugestikan sensitasi lebih rendah berhubungan dengan
nikel dan neomisin pada Afrikan Amerikan dibandingkan ras kulit putih. Dengan protocol patch
test lebih sulit dinilai pada ras kulit gelap, karena eritema mungkin tidak terlalu jelas. Walaupun
demikian, edema, papul, vesikel biasanya ditemukan dan dapat terpalpasi. Maka demikian palpasi
dari situs patch dapat membantu mendeteksi reaksi alergi pada pasien dengan kulit lebih gelap.
Untuk kulit sangat gelap. Tinta floresen untuk marking dapat digunakan dengan lampu Wood pada
cahaya yang ditedupkan.19-22

Gambar 1. DKA karena PPD. (A) Distribusi eksema pada garis rambut dan dibelakang
telinga. (B) Dermatitis pada jidat dimana poni sering kontak kepada kulit. (C) PPD adalah
allergen relevan paling sering ditemukan pada pewarna rambut, akan terlihat lebih gelap
pada patch test. Terdapat edema kuat dan reaksi vesicular menunjukkan reaksi +3

Etiologi.23
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana.
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya
penetrasi di kulit. Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-
tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari
genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron
mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan
lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -
alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol
(karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi.


Antara lain:

A. Faktor eksternal:
1) Potensi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lamapajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH

B.. Faktor Internal/ Faktor Individu :


1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya : ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null pada kompleks gen
fillagrin lebih berperan karena alergi nickel.
4) Status higinie dan gizi

Patogenesis.23,24

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti
respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed
hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Patogenesis
hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi.

Fase Sensitisasi

Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu
mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya
kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang memilik berat molekul
kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan protein untuk membentuk
antigen lengkap). Antigen ini kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan diproses oleh
antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel langerhans . Selanjutnya antigen
ini dipresentasikan oleh APC ke sel T.

Setelah kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah
bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang
tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke
seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di
seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase
induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.

Fase Elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama
dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan
mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan
merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit
T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag
untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat.
Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan
tampak sebagai dermatitis.

Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu
proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan sel keratinosit
serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma.
PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T dengan
keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak
degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8
(+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap
antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.

Pendekatan Klinis.24,25

Konsiderasi Diagnosis
Distribusi dan karakter dermatitis haruslah menaikkan kecurigaan DKA. Bila pasien
memiliki gejala dermatitis eksematoous, DKA haruslah dipikirkan. Dengan tambahan, klinisi
harus mempertimbangkan alergi kontak pada pasien dengan tipe lain seperti dermatitis atopic yang
persisten dan tidak kooperatif mesikpun terapi standard telah diberikan, begitu pula pada pasiend
engan eritroderma atau dermatitis generalized yang tersebar.21 Terlebih, penting bila pasien
memiliki dermatitis stasis dengan peningkatan resiko perkembangan DKA dari medikasi topical
dan lotion yang diaplikasikan dibawah oklusi dari inflamasi kronis dan kulit yang rusak. Untuk
alasan ini, DKA harus didiferensiasikan dengan lesi eksematous yang mengelelingi ulkus.
- DKA tidak selalu bilateral bahkan ketika eksposur antigen didapatkan bilateral (alergi sock
and gloves)
- Bahkan ketika eksposur dari allergen merata, seperti kontak alergi dari bahan krim yang
diaplikasikan ke wajah, manifestasi eksematous kadang berbentuk bercak.
- DKA dapat mempengaruhi telapak tangan dan telapak kaki.

Gambar 2. Tampilan klinis dermatitis eksematous sesuai dengan DKA. (kiri) Plak bersisik
eritematosa dengan beberapa fisura di tangan. (kanab) Papul eritematosa tersebar pada
ekstensor forearm. Hal ini adalah alergi kontak umum pada produk perawatan kulit

Anamnesis.24,25

Hal pertama dari DKA adalah riwayat medis dan paparan. Anamnesis harus dimulai
dengan diskusi dari riwayat penyakit sekarang yang memfokuskan situs onset dari masalah dan
agen topical yang digunakan untuk menatalaksana masalah termasuk obat yang dibeli bebas dan
obat resep dokter. Riwayat penyakit dahulu dari penyakit kulit, atopi, dan riwayat kesehatan
umum harus secara rutin diinvestigasi. Hal ini diikuti dengan riwayat detail dari penggunaan
produk perawatan personal seperti sabun, shampoo, conditioner, deodorant, krim, obat, minyak
rambut, dan lain-lain. Dan investigasi dari pekerjaan juga hobi pasien karena bisa didapat
riwayat allergen yang terpapar. Pekerjaan yang membuthkan cuci tangan berulang-ulang,
penggunaan sarung tangan, eksposur kimia dapat menjadi suspek utama.
Gambar 3. Dermatitis stasis adalah faktor resiko perkembangan kontak alergi. Hal ini
terjadi karena aplikasi lebih sering dari produk yang mengandung kontak allergen pada
area ini. Produk tanpa frekuensi tinggi allergen positif dipreferensi pada area ini.

Tampilan Klinis.23,24,25

Tampilan klinis sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit
seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di
pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan
kulit lain karena sebab-sebab endogen.
Tabel 1. Lokasi Terjadinya DKA berserta penyebabnya.

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati beberapa efloresensi
kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula.

A. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi terhadap
nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel
(lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul, vesikel-
vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.
B. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien hipersensitif
terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir.
C. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada
telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu
dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik,
serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada telinga
umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin
menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis
kontak kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian leher.
Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastic
D. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna kancing
logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karet dari celananya
E. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom, pembalut wanita
alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang
terjadi pada daerah vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat
eritema
F. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet,
kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal.

Gambar 4. Cheilitis Kontak Alergi. Disebabkan beberapa produk perawatan bibir


ataupun pewangi (parfum) adalah peneyebab paling umum pada kontak alergi keilitis

Staging DKA.23
Tabel 2. Staging DKA

Pemeriksaan Penunjang.23.24

Uji Tempel

Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis.
Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini
pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut
karena kontak alergi

Gambar 5. Pasien memiliki hasil patch test yang positif. Basitrasin, Chloroxylenol, dan 2-
Hidroksietil methacrylate relevan pada pasien dengan dermatitis berat.
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara rutin dan
dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat
langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air
untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang
tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang
diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi.
Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji
tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang
tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn
Chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan
alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan
terkena iritasi.

Diferensial Diagnosis.24

Tabel 3. Diferensial Diagnosis DKA


Reaktivasi DKA oleh Obat Sistemik.24

Tabel 4. Obat-obatan Sistemik yang Dapat Menyebabkan Reaktivasi DKA

Tatalaksana.24

Karena identifikasi allergen dapat dicapai dengan uji patch yang baik, maka terdapat
potensi yang memungkinkan untuk remisi lanjut. Oleh karena itu, identifikasi dan penghindaran
dari agent pencetus yang tidak hanya satu, terkadang multiple harus selalu menjadi tujuan akhir
dari diagnosis dan tatalaksana DKA.

Dermatitis Kontak Alergi dan Ketokonazole.26-41

Dermatitis kontak alergi disebabkan oleh obat topical dapat terjadi secara iatrogenic atau
berkaitan dengan medikasi pribadi. Ketokonazole secara umum adalah agen antijamur imidazole.
Alergi kontak kepada ketoconazole jarang ditemui, dan beberapa pasien dengan alergi
ketoconazole telah ditemukan. Di Brazil sendiri, ketoconazole adalah antijamur topical yang
paling menyebabkan DKA juga dermatitis kontak foto alergi.
Berdasarkan beberapa penelitian, terdapat pasien dengan riwayat dermatitis rekuren yang
tidak terdiagnosis yang berkembang mengalami pembengkakan wajah akut dan gatal setelah
menggunakan krim dan shampoo ketoconazole setelah tatalaksana dermatitis seboroik. Patch test
menunjukkan alergi kontak pada ketoconazole tanpa cross reaktif kepada 4 antijamur imidazole
lain. Ulasan rekam medis pasien mensugestikan bahwa insidensi dermatitis dapat karena paparan
ketoconazole. Ketika pasien menghindari agen imidazole, dermatitis menjadi membaik.

Menurut penelitian yang dilakukan pada pasien berumur 65 tahun, pasien mengeluhkan
bercak bersisik di wajah dan kulit kepala. Diagnosis dari dermatitis seboroik ditegakkan dan pasien
diberikan ketoconazole cream 2% dan shampoo 2%. 2 hari kemudian, pasien memiliki presentasi
pembengkakan wajah dan gatal-gatal, dimana dimulai 1 hari setelah pasien memakai krim
ketoconazole dan shampoo. Pasien melaporkan gatal dan rasa terbakar dari wajah yang dimulai
dalam beberapa jam setelah aplikasi diikuti dengan edema fasial progresif. Pasien menyangkal
sesak nagas atau pembengkakan pada lidah. Pemeriksaan fisik menunjukkan indurasi fasial ringan
dengan plak eritem pada pipi bilateral, jidat, dan kelopak mata.

Pasien kemudian diinstruksikan untuk menghentikan krim dan shampoo ketoconazole.


Dalam beberapa hari setelah menghentikan produk ketoconazole, dermatitis membaik dengan
tatalaksana difenhidramin oral dan desonide topical. Ulasan rekam medis pasien juga
menunjukkan insidensi yang mirip dengan dermatitis rekuren yang tidak terdiagnosis. Sekitar 2
tahun awal, pasien mencari dokter karena keluhan nyeri, rasa terbakar, kemerahan, dan gatal pada
area bokong kanan setelah memakai krim ketoconazole. Dermatitis kontak alergi juga
didokumentasi pada masalah dermatologi pasien sekitar 1.5 tahun lalu sebelum presentasi kini.
Walaupun agen penyebab tidak diketahui. Sekitar 3 bulan setelah presentasi kini, pasien memiliki
bercak pada kaki dan edema dengan dokumentasi reaksi alergi yang mungkin dari krim
ketoconazole.
Gambar 5. Hasil bacaan patch test menggnukan ketoconazole krim 2%, shampoo
ketoconazole 2% dan ketokonazol dalam 5% petrolatum.

Pasien kemudian melakukan patch tes beberapa minggu setelah menghentikan penggunaan
produk ketoconazole memakai North American Contact Dermatitis Group series dengan 70
alergen, seri suplemen dengan 36 alergen, seri antijamur sebanyak 10 alergen, dan produk personal
termasuk krim ketoconazole dan shampoo yang didilusikan 1:100. Reaksi relevan klinis pada 72
jam termasuk reaksi ekstrim +++ pada krim ketokonazol personal 2%, dan reaksi kuat ++ kepada
ketoconazole 5%, petrolatom dan ketokonazol krim 2%. Tidak terdapat reaksi kepada krim
terbinafrin 1%, klotrimazole krim 1%, nystatin krim 1%, miconazole krim 2%, tolnaftate krim 1%.

Dari 9 kasus dermatitis, 3 pasien memiliki reaksi positif patch tes hanya dengan
ketoconazole dengan tidak ada reaksi dari imidazole lain. Monoalergi terhadap klotrimazol juga
dilaporan. Dari studi lain juga menunjukkan ketoconazole terdapat pada urutan ke 7 dari 11
turunan imidazole pada frekuensinya yang menyebabkan dermatitis kontak alergi dan tidak
menunjukkan cross reaktif secara signifikan statistic dengan imidazole lain. Cross reaktif biasanya
terjadi dengan miconazole dan sulkonazole. Dari penelitian ini, kasus dermatitis kontrak terhadap
ketoconazole menunjukkan pentingnya patch test dengan produk personal untuk menunjukkan
hasil.

Sementara itu pada penelitian yang dilakukan di Brazil dengan total 749 pasien yang
melakukan patch test antara Januari 2010 sampai Maret 2017 dengan suspek DKA dianalisis
retrospektif. Pasien dengan kemungkinan DKA dilakukan patch test dengan topical ketokonazol
dan ketokonazol 1% petrolatum. Tes photopatch juga dilakukan ketika diindikasikan dengan
paparan terhadaop ultraviolet. Dari penelitian di Brazil ini didapatkan dari 749 pasien sebanyak 78
orang atau 10.4% telah disuspek DKA / Foto alergik DKA dengan ketoconazole. Dari 78 orang
ini, 17 diantaranya atau 21.8% memiliki reaksi patch test positif. Dengan usia rata-rata pasien 57.3
tahun, durasi rata-rata adalah 34.4 bulan. Data ini menunjukkan durasi lama klinis dan
merefleksikan kesulitan mendiagosis penyakit ini. Daerah paling banyak terkena secara berurutan
adalah wajah, kaki, dan lengan. 5 diantaranya memiliki Dermatitis Kontak Foto Alergik.

Gambar 6. (Kiri) Dermatitis Kontak Alergi karena Ketokonazol Topikal. (Kanan) Rreaksi
positif fotopatch terhadap ketokonazol.

Hipersensitifitas obat juga dapat terjadi mempengaruhi 12% dari populasi umum, dimana
biasanya NSAID dan antbiotik adalah obat yang paling sering menyebabkan hipersenitifitas ini.
Pada kasus ini, yang melibatkan hipersensitifitas yang terjadi immediate / segera dapat terjadi
dalam 1 jam awal setelah administrasi dan dimediasi oleh mekanisme IgE dependen. Reaksi ini
dari perspektif klinis dikarakteristikan dengan urtikaria, angioedema, rhinitis, bronkospasm, dan
syok anafalikatik. Pasien ini kemudian menunjukkan reaksi segera dengan onset cepat urtikaria
dan angioedema.
Grafik 1. Alur evaluasi reaksi hipersensitivitas tipe I

Diagnosis reaksi hipersensitifitas segera harus mencakup tes in vitro dan in vivo. Walaupun
demikian, serum spesifik IgE hanya tersedia untuk beberapa obat, tidak mencakup derivate azole.
Tes in vitro tambahan seperti tes aktifasi basophil sitometrik belum divalidasi dan sensitivitasnya
tidak 100%. Skin tes adalah metode yang paling siap untuk dokter mengecek ada tidaknya alergi.
Sejauh ini skin prick menunjukkan apakah ada alergi kepada obat spesifik yang hanya bisa
divalidasi untuk antibiotic beta lactam dan insulin. Karena sensitivitas nya yang kebih tinggi, skin
tes tidak bisa diganti dengan tes in vitro. Tes provokasi obat / drug provocation test adalah gold
standard untuk identifikasi obat yang memicu ketika hasil tes allergologik adalah negative. Dosis
awal adalah 10% dosis terapi, dengan peningkatan 20% dosis terapi pada 20 menit setelah dosis
awal. Walaupun demikian, bila gejala muncul sebelum dosis kedua, tes dihentikan.

Ketokonazole secara luas digunakan sebagai antijamur tapi jarang dilaporkan menjadi
penyebab dermatitis kontak alergi. Alergi terhadap bahan inaktif seperti pengawet lebih sering
ditemukan dibandingkan alergi terhadap ketoconazole. Pada pasien 65 tahun diatas, alergi terhadap
bahan inaktif telah dieksklusi menjadi penyebab alergi karena menunjukkan reaksi negative. Dari
ulasan literature ditemukan 4 laporan mencakup 9 pasien dengan hipersensitivitas tope 4 terhadap
ketoconazole, dan 1 laporan dari 2 pasien yang berkembang menjadi reaksi anafilaksis dari
ketoconazole oral. Sementara itu dari penelitian di Brazil, data yang didapat sesuai dengan
literature pada studi Eropa. Photosensitivitas pun terjadi karena konsekuensi penggunaan sistemik.
Studi ini meniunjukkan pentingnya patch dan test photopatch ketika terdapat kecurigaan kepada
topical ketokonazol atau medikasi topical lainnya.
BAB III
ANALISIS KASUS

Pada kasus didapatkan seorang wanita usia 26 tahun datang dengan keluhan kulit merah
bersisik disertai rasa gatal dan panas di paha kanan sejak 2 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat
mendapatkan salep Ketokonazol. Setelah pasien memakai ketoconazole, muncullah bercak
kemerahan di paha dan bengkak disertai rasa gatal secara bertahap dan menyebar ke paha dan
bokong diikuti muncul sisik dan pengelupasan kulit

Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka dimana pada epidemiologi didapatkan insidensi
DKA dengan ketokonazol lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Pada pasien ditemui
keluhan bercak kemerahan, gatal, dan bersisik. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka dari pasien
berumur 65 tahun yang mengalami hal serupa karena pasien mengalami keluhan nyeri, rasa
terbakar, dan kemerahan. Namun pada tinjauan pustaka tidak ditemukan munculnya sisik.
Kemungkinan besar didapatkan sisik karena proses likenifikasi dan alergi yang menyebabkan
pasien gatal dan menggaruk lesi tersebut.

Alergen pencetus dari kasus ini adalah topical ketokonazol. Menurut tinjauan pustaka,
alergi kontak kepada ketoconazole jarang ditemui, namun beberapa pasien dengan alergi
ketoconazole telah ditemukan. Bahkan di Brazil sendiri, ketoconazole adalah antijamur topical
yang paling menyebabkan DKA juga dermatitis kontak foto alergi.

Pada pemeriksaan status dermatologis pasien di kasus didapatkan efloresensi berupa


macula eritem disertai skuama dan ekskoriasi a/r anteromedial femoralis dextra, gluteal sinistra,
dan femoralis dextra. Efloresensi ini sesuai dengan tinjauan pustaka dimana dapat didapatkan
kebanyakan macula plak eritem. Skuama dan ekskoriasi kemungkinan disebabkan proses
menggaruk oleh pasien. Hanya saja pada kasus tidak diketahui secara pasti penyebab pasien
diberikan ketoconazole oleh klinisi yang memberikannya. Namun pada tinjauan pustaka diketahui
bahwa dermatitis seboroik adalah penyebab utama mengapa pasien diberikan ketoconazole cream
2% dan shampoo 2%. Karena tampilan dan keluhan biasanya adalah bercak bersisik di wajah dan
kulit kepala atau daerah lain. Hal ini tidak diketahui pasti pada kasus.

Dari diagnosis kerja pasien ditetapkan adalah dermatitis kontak karena reaksi
hipersensitivitas obat terhadap ketokonazol. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka pada kasus
karena hipersensitivitas obat dapat mempengaruhi pada 12% populasi umum. Hanya saja dari
tinjauan pustaka obat-obatan yang sering menyebabkan hipersensitivitas adalah NSAID dan
antibiotik. Menurut tinjauan pustaka, hipersensitifitas biasanya terjadi cepat dan terjadi 1 jam awal
setelah administrasi / pemakaian obat dan diperantai oleh mekanisme IgE dependen dan berlanjur
menjadi urtikaria dan angioedema. Hanya saja pada kasus tidak diketahui onset pastinya karena
pasien baru menyadari perubahan kulit keesokan hari setelah bangun dari tidurnya.

Pasien kemudian diberikan pengobatan sistemik cetirizine 10 mg/hari yang


dikombinasikan dengan kompres NaCl 0.9 % selama 15 menit per 6 jam sampai merah dan
bengkak berkurang, pengobatan topikal krim desoksimetason 0,25% dioles 2x/hari, kemudian
selang 15 menit dioleskan asam fusidat krim ke area dengan eksoriasi 2x/hari. Hal ini sesuai
dengan tinjauan pustaka karena yang terpenting adalah menghindari pencetus, dimana pada kasus
ini adalah ketoconazole. Cetirizine diberikan sebagai antihistamin agar pasien tidak menggaruk
menyebabkan ekskoriasi dan likenifikasi, serta inflamasi. Pemberian kompres dan krim steroid
diberikan untuk mengurangi inflamasi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mark BJ, Slavin RG: Allergic contact dermatitis. Med Clin North Am 90:169, 2006 


2. Cohen DE, Moore MM: Occupational skin disease. In: Environmental and Occupational
Medicine, 4th edition, edited by WN Rom, SB Markowitz. Phila- delphia, PA, Lippincott-

Williams & Wilkins, 2007, p. 617 


3. Rajagopalan R, Anderson R: Impact of patch testing on dermatology-specific quality of

life in patients with allergic contact dermatitis. Am J Contact Dermat 8:215, 1997 


4. Thyssen JP et al: The epidemiology of contact al- lergy in the general population—

prevalence and main findings. Contact Dermatitis 57:287, 2007 


5. Mirshahpanah P, Maibach HI: Relationship of patch test positivity in a general versus an

ec- zema population. Contact Dermatitis 56:125, 2007 


6. Schnuch A et al: Epidemiology of contact allergy: An estimation of morbidity employing


the clinical epidemiology and drug-utilization research (CE- DUR) approach. Contact

Dermatitis 47:32, 2002 


7. De Groot AC et al: The role of contact allergy in the spectrum of adverse effects caused by

cos- metics and toiletries. Contact Dermatitis 19:195, 
 1988

8. Lundov MD et al: Contamination versus preserva- tion of cosmetics: A review on

legislation, usage, infections, and contact allergy. Contact Dermatitis 60:70, 2009 


9. Fernández Vozmediano JM, Armario Hita JC: Allergic contact dermatitis in children. J Eur

Acad Dermatol Venereol 19:42, 2005 


10. Zug KA et al: Contact allergy in children referred for patch testing: North American contact

der- matitis group data, 2001–2004. Arch Dermatol 
 144:1329, 2008 


11. Schafer T et al: Epidemiology of contact allergy in 
 adults. Allergy 56:1192, 2001 


12. Magnusson B, Moller H: Contact allergy without skin disease. Acta Derm Venereol Suppl
(Stockh) 59:113, 1979 


13. Thyssen JP et al: Temporal trends of preservative allergy in Denmark (1985–2008).

Contact Dermatitis 62:102, 2010 


14. Jordan WP Jr, King SE: Delayed hypersensitivity in females. The development of allergic
contact dermatitis in females during the comparison of two predictive patch tests. Contact

Dermat 3:19, 
 1977 


15. Dotterud LK, Smith-Sivertsen T: Allergic contact sensitization in the general adult
population: A population-based study from northern Norway. Contact Dermatitis 56:10,
2007
16. Dotterud LK, Falk ES: Metal allergy in north Nor- wegian schoolchildren and its

relationship with ear piercing and atopy. Contact Dermatitis 31:308, 
 1994 


17. Larsson-Stymne B, Widstrom L: Ear piercing–A cause of nickel allergy in schoolgirls?

Contact Dermatitis 13:289, 1985 


18. Mattila L et al: Prevalence of nickel allergy among Finnish university students in 1995.

Contact Der- matitis 44:218, 2001 


19. Jensen CS et al: Decrease in nickel sensitization in a Danish schoolgirl population with
ears pierced after implementation of a nickel exposure regula- tion. Br J Dermatol 146:636,

2002 


20. Robinson MK: Population differences in skin structure and physiology and the
susceptibility to irritant and allergic contact dermatitis: Implica- tions for skin safety testing

and risk assessment. Contact Dermatitis 41:65, 1999 


21. Khumalo NP, Jessop S, Ehrlich R: Prevalence of cutaneous adverse effects of hairdressing:

A systematic review. Arch Dermatol 142:377, 2006 


22. Cronin E: Contact Dermatitis. Edinburgh, UK, Churchill Livingston, 1980, p. 5


23. Adhi Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2011
24. Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, AS., & Leffell, D. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine, 8th Edition. New York: McGraw-Hill. 2011
25. James, William D, Dirk M. Elston, Timothy G. Berger, and George C. Andrews. Andrews'
Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. London: Saunders/ Elsevier, 2011.
26. Garcia-Bravo B, Mazuecos J, Rodriguez-Pichardo A, et al. Hypersensitivity to
ketoconazole preparations: study of 4 cases. Contact Dermatitis. 1989;21:346-348.
27. Valsecchi R, Pansera B, di Landro A, et al. Contact dermatitis from ketoconazole. Contact
Dermatitis. 1993;29:162.
28. Santucci B, Cannistraci C, Cristaudo A, et al. Contact dermatitis from ketoconazole cream.
Contact Dermatitis. 1992;27:274-275.
29. Dooms-Goossens A, Matura M, Drieghe J, et al. Contact allergy to imidazoles used as
antimycotic agents. Contact Dermatitis. 1995;33:73-77.
30. Pullen SK, Warshaw EM. Vulvar allergic contact dermatitis from clotrimazole. Dermatitis.
2010;21:59-60.
31. Hausen BM ,Heesch B,Kie lU. Sensitizing capacity of imidazole derivates. Am J Contact
Dermatitis 1990: 1: 25–33.
32. Dooms-Goossens A, Matura M, DriegheJ, Degreeef H. Contact allergy to imidazoles used
as antimycotic agents. Contact Dermatitis 1995: 33: 73–77.
33. De Groot AC.Patch Testing. Test Concentrations and Vehicles for 4350
34. Chemicals, 3rd edition :Wapserveen, Acdegroot Publishing, 2008.
35. Lachapelle J-M, Maibach HI. Patch testing methodology. In: Patch Testing and Prick
Testing. A Practical Guide. Official Publication of the ICDRG, 3th edition: Berlin,
Heidelberg,Springer-Verlag,2012:pp. 35–74.
36. Liu J, Warshaw EM. Allergic contact dermatitis from ketoconazole. Cutis 2014: 94: 112–
114.
37. Van Ketel WG. Anallergic eruption probably caused by ketaconazole. Contact Dermatitis
1983: 9: 313–335.
38. Rocha VB, Machado CJ, Bittencourt FV. Presence of allergens in the vehicles of
Braziliandermatologicalproducts.Contact Dermatitis 2017: 76: 126–128.
39. Johansson SGO, O’B Hourihane J, Bousquet J, Bruijnzeel-Koomen C, Dreborg S, Haahtela
T, et al. A revised nomenclature for allergy. An EAACI position statement from the EAACI

nomenclature task force. Allergy. 2001;56:813-24. 



40. Martinez-Alonso JC, Dominguez-Ortega FJ, Fuentes-Gonzalo MJ. A revised nomenclature
for allergy. An EAACI position statement from the EAACI nomenclature task force.

Allergy. 2003;58:1315-21. 


41. Ensina L, Amigo M, Guzman E, Paoli R, Koch T, Camelo-Nunes I. Self reported drug

allergy in university students from São Paulo, Brazil. Allergy. 2008;63(Suppl. 88):335. 


42. Wohrl S, Vigl K, Stingl G. Patients with drug reactions – is it worth testing? Allergy.
2006;61:928-34
43. González-Delgado P, Florido-Lopez F, Saenz de San Pedro B, Cuevas- Agusti M, Marin-
Pozo JF. Hypersensitivity to ketoconazole. Ann Allergy. 1994;73:326-8.
44. Aberer W, Bircher A, Romano A, Blanca M, Campi P, Fernandez J, et al. Drug provocation
testing in the diagnosis of drug hypersensitivity reactions: general considerations. Allergy.
2003;58:854-63.

Anda mungkin juga menyukai