Anda di halaman 1dari 17

Change For You

Chapter 1 : “Alchoholic?”

Jessica menghela napas lagi. Rambutnya yang terikat di belakang kepalanya tampak berantakan dan
acak-acakan. Tangannya sibuk mengetik pekerjaannya sementara kantung matanya terlihat jelas dan
sembab.

“Kau baik-baik saja, Jess?” Suara barithon milik pemuda dengan kemeja hitam dan jas putih
terdengar khawatir di telinganya. Sosok itu meletakkan segelas kopi panas yang dapat Jessica cium
aromanya dari kejauhan.

Jessica memandang sosok yang sangat di hormati di gedung ini dengan tatapan luar biasa datar.
Tangan putih pucatnya menunjuk kearah kantung matanya dengan rasa kesal, “Menurutmu aku
baik-baik saja, Mark? Setelah kemarin kau melihatku di hina dihadapan semua orang oleh Bryan. Aku
bahkan tak dapat tidur tadi malam karena menangisi si sialan itu.”

Mark tertawa pelan mendengarnya dan mengacak surai hitam Jessica yang sudah berantakan.
Jessica melirik sinis Mark dan langsung menepis tangan yang selalu membuatnya tenang itu.

“Bukankah masih ada aku, Jess? Well, untukmu aku selalu kosong, loh...” Ujar Mark keras-keras di
hadapan karyawan lain. Jessica langsung meletakkan telapak tangannya di hadapan Mark dengan
wajah mengejek.

“Maaf, bos. Sebaiknya Anda mengecek otak Anda di rumah sakit, sebelum mengatakan sesuatu
kepada saya.” Tolak Jessica. “Oh, Mark, kau terlalu gila mengatakannya. Aku baru saja di permalukan
oleh Bryan kemarin dan sekarang kau memintaku untuk menjadi pacarmu? Maaf saja, aku masih
ingin menghajar Bryan sepuasku baru aku bisa menikah.”

Mark terdiam mendengarnya. Kemudian senyum tipis terlihat dan akhirnya tawa kerasnya terdengar
di seluruh ruangan kafe. Beruntung saja, para karyawan yang lain sudah terbiasa akan tingkah
presdir-bawahan ini jika sudah jam istirahat. Si bawahan mengerjakan tugas sementara sang bos
yang memesan makanan. Yah, mereka semua tahu bahwa keluarga Jessica adalah pemilik setengah
saham perusahaan yang bergerak di bidang elektronik ini dan mereka sudah berteman sejak kecil,
meski terdapat beberapa orang yang memandang iri pada Jessica.

“Kau ngelantur, Jess. Aku tak memintamu untuk menikahku, strawberry.”

“Dan aku tak mengatakan akan menerima lamaranmu jika kau memang melakukannya, prince.
Sekarang, biarkan aku menyelesaikan dokumen ini dan bisa kembali memeluk bantal kesayanganku.”
Usir Jessica dengan tangan yang melambaikan tanda mengusir pada Mark.

“Oh, kau tentu ingat sekarang jam istirahat dan aku terus melarang dirimu membawa pekerjaan saat
istirahat, bukan?” Ujar Mark sambil menggulung sphagetti miliknya dan menyodorkannya pada
Jessica.

Jessica tak menyahut sama sekali akan ucapan Mark namun mulutnya menerima uluran makanan
dari Mark seperti biasa. Mulutnya mengunyah dan tangannya terus mengetik dokumen yang terus
berdatangan setiap harinya.
“Kudengar kau akan berangkat ke kota sebelah tiga hari lagi, Jess. Kau serius?”

“Hmm... Aku akan tinggal di sana untuk beberapa waktu menggantikan Mr. Jake yang sakit.
Perusahaan yang di sana sebenarnya aku yang menjalaninya, tapi aku meminta ayah untuk
menggantikannya dengan Mr. Jake karena dia adalah pegawai setia.”

“Lalu siapa yang akan mengganggu hariku lagi, huh?” Tanya Mark sambil mencubit pipi Jessica
dengan gemas. Gadis berdarah konglomerat itu meringis pelan akan cubitan Mark yang tergolong
kuat.

“Kau lupa siapa yang selalu mengganggu hariku? Menelponku di pagi buta tanpa sebab dan selalu
memberikan tumpukan perkamen milikmu padaku.” Ucap Jessica sinis. Mata bengkaknya melototi
sepasang madu jernih milik Mark dengan jengkel.

“Hei, jangan salahkan aku jika menyangkut dengan perkamen. Ayahmu yang memintaku untuk
memberikannya padamu.”

“Ah, kau sudah membuat ayahku bersekongkol denganmu, prince.”

~~~

Gadis itu berjalan gontai di pinggir jalan yang terlihat sepi itu. Tangannya penuh akan kantung
belanja. Setelah ia bersikeras menolak ajakan Mark untuk mengantarnya pulang –yang hampir
dilakukannya setiap hari- kini membuatnya sedikit menyesal akan penolakannya tadi. Matanya
terasa berat oleh beberapa gelas alkohol yang ia minum dan juga ditambah ia belum mendapat jatah
tidur dari kemarin. Oh, terkutuklah Bryan dengan kelakuannya.

“Argh... seharusnya tak kuminum minuman terkutuk itu!” Geram Jessica entah pada siapa.

Matanya yang kini tampak buram dan berkunang-kunang membuatnya mabuk. Begitu tampak
gedung apartemen bercat abu-abu, ia tersenyum senang. Tinggal sedikit lagi dan ia bisa tidur lelap
malam ini.

Beruntung, apartemennya tidak terlalu jauh dan memiliki lift, jadi ia tak perlu susah menuju ke
kamarnya dalam keadaan mabuk.

“5...3...6...1...”

‘nomor yang anda tekan salah’

“Apa?... sejak kapan aku mengganti nomor passwordku...” Geram Jessica sambil menunjuk kearah
tombol password kamar.

“Baiklah... 0...0...0...0...” ceklek.

“Yes, akhirnya terbuka!” Sorak Jessica girang dengan mata yang setengah terbuka.

“Apa yang kau lakukan di depan kamarku, Nona?” Tanya suara barithon milik pria bercelemek dan
berkacamata tanpa frame. Tatapannya tampak jengkel akan gadis yang mengganggu acara
memasaknya.
Sebaliknya, Jessica memandang dingin sosok dihadapannya ini seolah-olah ia memiliki salah. Dengan
cepat, tangannya membentuk kepalan dan meninju rahang milik pria ini dengan kuat dan penuh
amarah.

“APA YANG KAU...”

“Kenapa kau ada di kamarku, Bryan?! Menyingkir sebelum aku meninjumu lagi.” Ucap Jessica sambil
mendorong tubuh pria yang bahkan masih shock akan tinjuan yang tiba-tiba keluar dari kamar yang
ia kira miliknya dan masuk seenaknya lalu menutup pintunya dengan keras.

Pria bercelemek itu masih terdiam setelah akhirnya sadar bahwa dirinya diluar sementara gadis tak
ia kenal dan masakannya berada didalam kamarnya. Dengan cepat ia memasukkan sandi kamarnya
dan melihat kamar yang tadinya bersih kini terlihat berantakan oleh belanjaan gadis itu dan juga jas
hitamyang beterbangan entah kemana. Bahkan gadis itu tertidur lelap di sofa miliknya dengan posisi
yang bahkan tak seorang gadispun melakukannya. Benar-benar berantakan!

Bahkan ruang tengah yang tadinya mengeluarkan aroma bunga mawar kini berganti dengan aroma
alkohol yang ia benci. Gadis ini benar-benar tipe yang ia benci!

Ia menghela napas lelah dan ia teringat masakannya setelah mencium aroma gosong. Dengan
terburu-buru ia berlari menuju ke dapur dan mendapati oven miliknya berasap hitam.

“Argh... biscuitku!! Ayam panggangku!!” Pekiknya mendapati biscuit dan ayam panggang yang
seharusnya menjadi santapan makan malamnya kini telah berubah menjadi arang yang bahkan tak
dapat dimakan dari sisi manapun. Hitam dan mengerikan. Bahkan kucing dan tikuspun enggan
memakannya.

Dengan kecewa ia membuang makanan yang susah payah ia buat sedari tadi dan ia berjalan gontai
menuju ke ruang tengah hendak mengusir gadis yang membuat masalah padanya malam ini.

Niatnya terhenti dan ia memandang kasihan pada gadis itu. Ia tampak kedinginan dan terdengar
isakan kecil dari mulutnya. Ia menghela napas dan berjalan menuju kamarnya mengambil selimut
untuk gadis itu.

“Sebaiknya aku pesan pizza saja malam ini.” Gumam pria itu dengan nada pasrah.

~~~

Gadis itu menggeliat pelan dan terbangun sambil memegang kepalanya yang terasa berat. Selimut
yang tadi malam pria itu gunakan untuk gadis itu dengan rapi kini terlihat jatuh dari sofa dengan
bentuk yang berantakan. Setidaknya ruangannya terlihat lebih rapi dibanding tadi malam. Kantung-
kantung belanjaan gadis itu juga sudah ia rapikan dan ia letakkan di sudut ruangan.

“Kau sudah sadar?” Tanya sosok pria yang tengah duduk dihadapannya dengan tatapan datar.
Kacamata yang ia gunakan tadi malam, ia lepaskan dan kini penampilannya jauh lebih rapi daripada
tadi malam. Kaus biru tua berlengan pendek dan celana jeans biru tua panjang.
“Siapa kau?” Tanya Jessica dengan wajah linglung. Pria itu mendengus pelan mendengarnya. Setelah
tadi malam gadis itu meninju dirinya lalu masuk seenaknya dan membuat kamarnya berantakan, kini
ia bertanya siapa dirinya?! Astaga, gadis ini benar-benar menyebalkan!

“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nona. Siapa kau, kenapa kau tiba-tiba menerobos masuk
tempatku bahkan tiba-tiba meninjuku sambil memanggilku dengan siapa namanya... Cryon...Bron...”

“Bryan?” Gumam Jessica dengan wajah horror.

‘Kenapa kau ada di kamarku, Bryan?! Menyingkir sebelum aku meninjumu lagi.’

“Astaga! Aku ingat, maaf apa tinjuanku menyakitkan, Tuan?” Panik Jessica sambil mencoba
mengelus rahang pria itu. Tapi, pria itu dengan cepat menghentikan gerakannya dengan
menggenggam pergelangan tangannya.

“Sudahlah. Sebelum itu, sebaiknya kau mencuci mukamu. Kau terlihat mengerikan dengan jejak air
liurmu itu.” Ucap pria itu dengan nada jijik. Jessica memandang pria itu dengan tatapan polosnya
dan meraba wajahnya.

“Benarkah?” Tanyanya sambil mengelap jejak air liur yang ternyata memang ada diwajahnya. Pria itu
memandang horror pada gadis itu. Benar-benar gadis yang terburuk dari yang terburuk. “Cepatlah
kau bersihkan wajah dan tanganmu itu. Kau benar-benar jorok, Nona.”

Jessica mengangguk pelan dan dengan patuh ia berjalan menuju ke kamar mandi. “Tunggu, kamar
mandinya dimana ya, Tuan?”

~~~

Jessica membasuh wajahnya di wastafel milik pria tak dikenal itu. Ia benar-benar malu sekarang.
Lihatlah, kamar mandinya begitu bersih tanpa ada noda maupun kotoran bahkan sangat wangi untuk
sebuah kamar mandi seorang pria.

Kata pria itu didalam kotak obat dibalik cermin ada sikat gigi baru beserta pasta giginya. Astaga, apa
segitu baunya dirinya hingga pria itu memberi sikat gigi baru miliknya pada seorang gadis tak dikenal
yang tiba-tiba menerobos apartemennya?!

‘Kenapa kau ada di kamarku, Bryan?! Menyingkir sebelum aku meninjumu lagi.’

Ia membesarkan air keran wastafel dan mencuci wajahnya dengan kesal. Apa yang dilakukannya tadi
malam?! Bahkan mengira pria baik itu dengan si keparat Bryan?!

“Argh... aku pasti sudah gila.” Gumamnya di depan cermin.

Tok... tok... tok...

“Kau sudah selesai?” Interupsi suara dibalik pintu kamar mandi. Dengan buru-buru Jessica menyahut
dan mulai menyikat giginya dan merapikan pakaian serta rambutnya.
Setelah selesai dengan urusannya dikamar mandi, ia langsung keluar dengan wajah yang lebih segar.
Dilihatnya pria itu tegak disamping pintu sambil melipat tangan didepan dada. Dilihatnya, celemek
berwarna merah muda dengan motif kelinci melekat pas di tubuh bidang pria itu.

“Ayo sarapan dulu, setelah itu kau bisa pergi dari sini tanpa penyesalan, Nona.” Ucap pria itu dan
berjalan menuju dapur yang tak jauh dari kamar mandi. Jessica terdiam, bingung akan ajakan serta
usiran dari pria itu. Dan apa-apaan dengan kata-kata tanpa penyesalan itu?

“Cepatlah sebelum aku berubah pikiran, Nona.” Desak pria itu yang sudah duduk di kursi dengan dua
piring nasi goreng dan beberapa roti, bermacam-macam selai dan dua gelas kopi panas di
hadapannya.

Jessica mengangguk dan duduk hadapan pria tersebut dengan canggung. Pria ini terlalu baik. Bahkan
setelah ia meninju, masuk seenaknya ke apartemennya, pemuda itu masih mau memasakkan
sarapan untuknya.

Dari tempat ia duduk sekarang, ia dapat mencium aroma nasi goreng yang lezat dan juga kopi yang
entah kenapa sangat cocok untuk sarapan kali ini. Diambilnya sesendok nasi goreng dan melahapnya
dengan pelan.

“Astaga, ini enak sekali!” Pekik Jessica tiba-tiba. Pria itu tersenyum tipis dan memilih menyantap
sarapan dengan tenang.

“Maaf, kenapa kau masih mau membantuku, bahkan setelah aku menampar dirimu?” Tanya Jessica
pelan. Gerakan pria itu terhenti saat hendak meminum kopinya.

“Meninju tepatnya. Lagipula, apa perlu alasan untuk menolong seseorang? Aku hanya tak ingin
seseorang kelaparan saat keluar dari apartemenku.” Jawabnya tenang. Masuk akal juga jawaban pria
ini. Ah, ia semakin merasa bersalah karena salah masuk apartemen.

Apakah ini yang namanya sial yang beruntung?


Chapter 2: “Again?!”

Mark memandang aneh sosok gadis yang terlihat lebih cerah pagi ini meski kantung matanya masih
terlihat jelas. Tapi yang sangat aneh adalah ia menolak ajakan sarapan dirinya –untuk pertama kali
setelah sekian lama- juga menolak jemputan dirinya.

“Apa kau baru saja keluar dari lubang hitam, Jess?”

“Apa kau ingin kuhajar, Mark?” Balas Jessica sengit. Mark tersenyum takut mendengar ucapan
Jessica yang tergolong serius. “Aku serius, Jess. Setelah hampir lima tahun kau bekerja, kau bahkan
belum pernah menyebutkan ‘aku sudah sarapan’ padaku.”

“Nah, kau sekarang sudah mendengarnya. Sekarang kau biarkan aku bekerja, agar aku bisa pulang
lebih cepat.” Usir Jessica dengan kasar. Beruntung kantor masih tergolong sepi karena masih terlalu
pagi untuk memulai kerja.

Mark tak mengindahkan ucapan Jessica dan mengambil salah satu kursi karyawan di belakang
tempat Jessica duduk.

“Aku takkan pergi sebelum kau mengatakannya padaku.” Jessica menghentikan gerakan
mengetiknya dan memandang lelah pada Mark.

“Apa yang harus kuceritakan padamu, Mark? Aku hanya pergi ke bar setelah kerja dan meminum
beberapa gelas vodka, lalu pulang. Tamat.” Ucap Jessica dengan malas. Ia kembali mengerjakan
pekerjaannya yang tertunda. Mark merasa tak puas dengan jawaban Jessica. Merasa gadis pecinta
hal ekstrim ini berbohong padanya –tepatnya tidak menceritakan seluruhnya padanya- untuk
pertama kalinya.

“Tunggu dulu… sejak kapan kau jadi suka minum alcohol sebagai pelampiasanmu?”

“Entahlah. Yang kutahu, kakiku membawa diriku ke bar. Sudahlah, aku ingin kerja.”

Pemuda berusia dua puluh enam tahun itu akhirnya menghela napas pasrah. Apa yang ia
khawatirkan jika gadis ini jauh lebih baik daripada kemarin? Toh, ia bukan siapa-siapanya. Hanya
seorang sahabat bagi si gadis. Tak lebih tak kurang.

Ia beranjak dari kursi dan menepuk pelan kepala Jessica. “Jika kau ada masalah, aku selalu ada
untukmu, Jess. Kau tahu itu.” Jessica hanya terdiam. Ia memandang punggung sosok pemuda yang
selalu menemaninya setiap hari yang menjauh menuju ke ruangnya.

“Apa-apaan sih dia...” Gumamnya sambil memegang kepalanya yang ditepuk oleh Mark.

“Kenapa kau memegang kepalamu, Jess?” bisik seseorang tepat ditelinga Jessica, membuatnya kaget
dan hampir saja jatuh dari kursinya.

“Kate, kau hampir membuatku jatuh!” Gadis yang ia panggil Kate itu hanya tersenyum jahil padanya.
“Ah, pasti kau memandangi Direktur Mark, kan?” Tebak Kate tetap dengan senyum jahilnya.
“Kenapa kalian tak jadian saja, sih? Kau tahu, kalian itu cocok banget dari sisi manapun dibanding
dengan Bryan.” Ucap Kate dengan semangat. Jessica langsung menyubit pelan kedua pipi Kate
dengan gemas.

“Jangan gila, Kate. Aku dan Mark hanya sahabat. Lebih baik kau kembali bekerja sebelum kumakan
semua persediaan coklat dilaci kerjamu.” Ancam Jessica dengan seringai tipisnya. Kate mendengus
pelan dan beranjak dari meja Jessica sambil mengipasi dirinya dengan map biru yang ia pegang.

“Argh... Kau tak asik, Jess. Aku prihatin dengan Direktur Mark karena suka dengan seseorang yang
tak peka. Huh...” Keluh Kate dengan suara yang agak dilantangkannya. Jessica lihat sekitar dan
ternyata kantor sudah dipenuhi oleh karyawan lain dan semua memandang dirinya dengan tatapan
kasihan sambil menggeleng kepala.

“Kenapa kalian memandangiku seperti itu?”

~~~

Pukul enam sore. Jessica merasa inilah pertama kalinya ia pulang lebih awal. Sedikit aneh juga hari
ini karena semua karyawan dikantornya memintanya untuk menghibur si Direktur labil itu. Pemuda
itu bahkan tak keluar dari ruangannya sedari tadi dan bahkan memperbolehkannya pulang cepat.

Ah, biarkan saja. Toh, besok dia kembali kesemula lagi, pikir Jessica.

Kini, Jessica berdiri dihadapan beberapa kue dengan berbagai bentuk. Mulai dari yang bentuknya
biasa saja hingga yang paling cantik dan ia rasa mahal.

“Jadi yang mana Nona pilih?” Tanya seorang pelayan yang sedari tadi berdiri menunggu jawaban
Jessica. Gadis itu tampak bingung. Ia tak tahu mana yang sebaiknya ia berikan pada sosok yang
membantunya itu. Sebagai rasa terima kasih, tentunya.

Ia menggaruk kepalanya dengan canggung dan memandang pada pelayan itu dengan tatapan malu-
malu. “Menurut anda mana yang cocok untuk kuberikan pada seorang pria?” Tanya Jessica pelan.
Pelayan itu tersenyum tipis dan menunjukkan kearah kue dengan krim putih dan di hiasi dengan
berbagai macam buah seperti jeruk dan kiwi.

“Saya sarankan untuk memberikan ini saja. Kue ini tidak terlalu manis dan tidak terlalu banyak krim
juga penyajiannya tidak terlalu feminim. Sangat cocok sebagai makanan penutup makan malam.”
Tutur pelayan itu. Jessica tampak berpikir dan tersenyum lebar setelahnya.

“Ah, aku ambil ini satu dan juga almond cake nya. Oh ya, anda punya kertas...”

~~~

Jessica berjalan cepat sambil menenteng beberapa plastik besar di tangannya dan juga tas kulit
miliknya di lorong apartemen. Begitu ia sampai tepat didepan pintu besi itu, ia sedikit menarik
napasnya dengan takut lalu mulai menekan bel apartemennya.

Ceklek...
Pintu terbuka, menampilkan sosok yang tengah berpakaian rapi dan casual memandang aneh
padanya. Jessica sedikit merasa canggung karenanya.

“Ada apa kau kemari lagi, Nona?” Tanya pria itu dengan nada datar.

“A...Ah, aku hanya ingin memberi ini padamu. Sebagai rasa maaf dan terima kasih.” Jawab Jessica
dengan gugup. Pria itu terdiam sejenak sambil memandangi kotak bermotif boneka yang dipegangi
gadis itu.

Ia sedikit tersenyum memandang gadis yang terlihat gugup ini. Ia buka pintunya lebar-lebar dan ia
berjalan masuk tanpa mengambil kotak tersebut. Jessica terlihat linglung, bingung kenapa pria itu
malah membuka pintunya lebar-lebar dan membiarkannya membatu tanpa respon sama sekali.

“Masuklah, aku tak tahan mendengar suara perutmu yang sedari kau datang meminta diisi.” Teriak
pria itu dari dalam. Jessica langsung memerah malu. Benar saja, sedari siang ia belum mengisi
perutnya karena si Direktur gila itu mengurung dirinya di ruangannya.

Jessica melangkah pelan masuk ke apartemen pria yang bahkan belum ia kenali namanya untuk
pertama kalinya secara sadar. Yang kemarin itu tidak termasuk karena ia sedang mabuk.

Saat ia melangkah ke ruang tengah, dilihatnya beberapa koper besar terletak di sudut ruangan.
Bahkan beberapa perabotan yang masih ia ingat kini menghilang entah kemana.

Pindah kah? Pikir Jessica.

“Kau tak perlu menyuruhku makan malam, Tuan. Apartemenku tak jauh dari sini dan aku hanya ingin
memberikan ini padamu.” Tutur Jessica sopan yang melihat pria itu meletakkan perlengkapan makan
tambahan diatas meja yang sudah dipenuhi oleh beberapa makanan yang terlihat lezat.

Kryuk...

“Ah, apakah ini yang dinamakan perut tak sejalan dengan mulut?” Sindirnya sambil mengambil kotak
jus dari lemari pendingin. Mata hijau pudarnya melirik jenaka pada gadis yang sedang mengutuk-
ngutuk perutnya. Ia hampir saja tertawa keras mendengar perut gadis itu langsung memberontak
pemiliknya. “Anggap saja ini terakhir kalinya aku memberimu makanan. Atau kau bisa menganggap
aku mengutip kucing liar dan memberinya makan. Terserah padamu saja.” Tukasnya dengan nada
bercanda.

Jessica merasa terhina mendengarnya. Pria itu menyamakannya dengan kucing liar?! Dasar kurang
ajar. Diambilnya sepotong daging ayam yang diberi entah saus apa itu dan memakannya seenaknya
lalu diletakkannya kotak yang ia pegang dari tadi diatas meja.

“Kau benar-benar ingin kuhajar ya, Tuan?! Sudahlah, aku pergi saja. Aku tak ingin dianggap sebagai
makhluk pungutan olehmu, Tuan!” Cerca Jessica sambil berjalan keluar. “Ohya, masakanmu terasa
begitu buruk!” Sambungnya sambil berlari keluar dengan cepat. Meninggalkan pemuda yang bahkan
belum merespon sama sekali ucapannya dibalik lemari pendingin.

Beberapa detik hingga pria itu menyadari bahwa gadis itu melarikan diri meninggalkan kotak
pemberiannya dan memakan salah satu masakannya. Senyum tipis terlihat dan akhirnya tawanya
menggelegar. Mata hijau pudarnya memandang geli pada pintu depan apartemennya yang telah
tertutup rapat.

“Kau benar-benar menggelikan, kucing pencuri.”

~~~

Jessica merapikan pakaiannya kedalam koper besar berwarna ungu muda. Ia menghela napas lelah.
Setelah selesai, ia ikat rambutnya model sanggul dan mulai mencuci semua piring kotor dan
membersihkan seluruh kamar apartemennya.

“Hh... tak kusangka ternyata membersihkan kamar akan semelelahkan ini. Ugh... tulang-tulangku jadi
sakit semua.” Keluh Jessica sambil memijat bahunya yang terasa sakit. Memang ini adalah yang
pertama kalinya ia membereskan kamarnya karena biasanya ia menggaji pelayan untuk beres-beres
karena ia terlalu sibuk bekerja dan kemarin ia memberi pelayannya libur bulanan.

Ting...tong...

Bel berbunyi dan Jessica bertanya-tanya siapa yang mengunjunginya disaat jam kerja begini.
Dibukanya pintu, menampilkan sosok Mark yang tersenyum sambil menenteng plastik berisi yang
bisa ia tebak adalah makanan . Just like a regular day.

Senyum Mark berubah menjadi tawa keras sambil melihat dirinya dari atas ke bawah.

“Apa-apaan gayamu, Jess? Kau berniat untuk berangkat atau menjadi pelayan?” Ejek Mark
menunjuk pakaian, rambut dan wajah Jessica yang penuh debu.

“Oh diamlah, Mark. Dan kau sudah selesai mengurung diri? Kupikir kau akan tetap di ruanganmu
hingga mati.” Balas Jessica sambil membuka pintunya untuk Mark. “Ah,kau benar-benar tahu kalau
aku sedang lapar. Aku tak makan sedari siang kemarin gara-gara seorang bayi yang menangis sendiri
di ruang kantor dan tak mau bicara padaku.” Lanjut Jessica dengan nada sindir.

Mark hanya tersenyum malu. Ia langsung masuk ke apartemen Jessica seperti yang biasa ia lakukan.

“Ah kemarin aku hanya terbawa suasana saja. Maaf ya, Jess.” Balas Mark dengan penuh penyesalan.
“Tapi wow, benar kau yang membersihkan kamar ini?” Tanya Mark tak percaya. Mata coklat
gelapnya memandang kamar yang biasanya berantakan jika pelayan gadis ini tak ada kini sangat
bersih. Lebih bersih dibanding dengan yang dilakukan oleh pelayannya tiap hari.

“Kurasa aku bisa meminta jasamu untuk membersihkan rumah dan ruang kantorku, Jess.” Goda
Mark pada Jessica yang sibuk membersihkan wajahnya diwastafel dapur.

“Dalam mimpimu, Mark. Sebelum kau memintanya, aku sudah membunuhmu kalau itu terjadi.”
Jawab Jessica sinis. Ia berjalan menuju kamar miliknya dan berganti pakaian yang lebih bersih dan
layak ia kenakan. “Jangan kau mengintip, mengerti?” Ancamnya pada Mark.

“Sejak kapan aku pernah mengintipmu, Jess?” Balas Mark sambil mengeluarkan kotak makanan dari
plastik. Ia kemudian berjalan menuju lemari pendingin Jessica dan mengambil sebotol wine yang
tersisa setengah.
“Hei, kau kemanakan semua anggurku?!”teriak Mark keras-keras agar Jessica mendengar suaranya
dibalik kamar. “Bukankah kau yang meminumnya seminggu yang lalu?! Aku bahkan tak menyukai
alkohol, prince. Kau tahu itu.” Jawab Jessica yang telah selesai berganti pakaian dengan kaus biru tua
bermotif bunga di bagian bawah dan celana jeans hitam panjang.

Mark langsung cemberut melihat penampilan Jessica yang tergolong sangat biasa.

“Bisakah sesekali kau mengenakan rok atau hot pants?” Ujar Mark.

Plak...

“Dasar otak mesum. Kemarin kau meminta menjadi pacarku dan sekarang kau menyuruhku untuk
memakai pakaian memalukan itu?! Yang benar saja!” Balas Jessica sengit. Ia pukul kepala Mark
lumayan keras, membuat Mark mengeluh sakit. “Aku takkan segan memukulmu lagi agar otakmu
kembali normal jika kau mengatakan hal taboo itu sekali lagi, Mark.” Ancam Jessica sambil
menyantap makan siang favoritnya , oh lebih tepatnya favoritnya Mark karena ia selalu membeli
makanan yang sama untuknya selama ini.

“Baiklah...baiklah, padahal aku hanya ingin melihat calon istriku terlihat cantik dihadapanku saja.”
Gumam Mark pelan. “Apa kau bilang?!”

“Tidak...tidak, aku hanya bilang kalau setengah jam lagi taksimu datang.”

“Aku sudah tahu itu. Kau tak perlu mengatakannya padaku, pervert.”

“Hei!”

~~~

Jessica memandang dirinya dihadapan cermin di kamar lama miliknya. Tubuh langsingnya terbalut
oleh kemeja putih dan jas hitam serta rok hitam selutut dan tak lupa sepatu hitam dengan hak 5 cm.
Tentu saja rambutnya yang biasa ia ikat asal kini terjuntai rapi dan ia memakai sedikit bedak tipis
tanpa lipstick.

Kemarin ia berangkat ke kota sebelah yang memakan waktu setengah hari dan ia langsung menuju
kediaman milik keluarganya yang hanya dihuni oleh pelayan dan penjaga karena keluarganya yang
selalu sibuk dengan urusan bisnis. Ibunya seorang designer terkenal yang selalu menampilkan
rancangannya di luar negeri sementara ayahnya seorang direktur utama dan pemilik beberapa
perusahaan besar di negaranya dan sering melakukan urusan bisnis. Lalu ada sang kakak laki-laki
satu-satunya yang tinggal di negara lain bersama keluarganya dan memiliki pekerjaan sebagai koki
handal dan sudah memiliki banyak restoran berbintang.

Sementara dirinya, masih berusia dua puluh lima dan bahkan belum bisa mencari apa yang
seharusnya ia ingin lakukan dan ia kerjakan. Masih berada dibawah perintah sang ayah. Bahkan
saking kasihannya, sang ayah memberinya satu tanggung jawab untuk sebuah perusahaan yang
bahkan belum bisa ia jalankan dan harus menggantikannya dengan asisten sang ayah.

Totally ashameful girl she is!


Kini setelah mengetahui bahwa asisten ayahnya sakit, ia harus turun tangan. Menggantikannya dan
menjadi direktur yang seharusnya memang ia lah orangnya. Bahkan kini ia harus mengenakan rok
hitam selutut yang sangat ia benci karena sebuah keterpaksaan dari ibunya. Ya, ibunya sengaja
menggantungkan rok hitam buatan miliknya- pastinya- dan membuat catatan kecil di depan lemari
pakaiannya dengan tulisan ‘Pakai rok ini saat kau akan kekantor. Ibu sudah memberitahu semuanya
jika kau tak memakainya, ibu akan langsung terbang ketempatmu untuk menceramahimu, Putri
Kesayanganku!’.

Jadi begitulah alasannya mengenakan rok mengerikan ini. Jika saja Mark melihatnya, dapat
dipastikan pemuda itu akan memfotonya dan memajangnya dikamarnya.

“Hh... sebulan di sini seperti neraka dengan rok ini.” Keluh Jessica.

Ketukan pintu terdengar dan sosok wanita separuh baya berdiri diambang pintu setelah ia
persilahkan masuk. “Anda sudah siap, Nona Muda?” Tanyanya sopan. Jessica menghembuskan
napasnya perlahan dan merapikan jasnya yang memang sudah rapi.

Ia berjalan keluar diikuti oleh pelayannya. Memasuki mobil putih pribadi milik keluarganya yang
telah terparkir di halaman depan rumahnya dengan sopir pribadi yang telah siap lalu berangkat
menuju kantornya.

~~~

Jessica berjalan anggun selama berjalan menuju ruangannya yang terletak paling atas dari gedung
kantor yang berlantai 25. Tak sedikit orang yang memandang kagum atau kebingungan padanya.
Dengan menjinjing tas kulit hitam dibahunya yang didesign langsung oleh ibunya, dan tak lupa
membalas sapaan para karyawan yang mengenalnya.

Seperti artis saja ia saat ini.

“Dua jam lagi, seorang CEO baru dari perusahaan Golden Palace melakukan kunjungan sekaligus
memberi sambutan pada anda, Direktur Jessica.” Ucap pria berkacamata bertubuh tambun yang
sangat ia kenali, Thomas Walker, sang manajer perusahaan ini padanya. Thomas sudah mengikutinya
sejak ia menginjakkan kaki di gedung ini. Pintu lift tertutup dan hanya terdiri ia dan beberapa orang
yang terpercaya saja bersamanya.

“Golden Palace Corporation? Mereka sudah memiliki CEO baru? Bukankah Mr. James tak memiliki
keturunan?” Tanya Jessica heran.

Ia mengingat pria dengan rambut hitam yang di warnainya itu dan kerutan yang terlihat jelas di
sekitar mata dan tangannya, yang selalu merasa bahwa ia pria muda meski sudah berumur setengah
abad dan sangat suka mengusap kepalanya bahkan saat ia beranjak dewasa yang ia ketahui tak
memiliki anak sama sekali dan akan menyerahkan perusahaan pada ayahnya hanya bila ia telah
meninggal. Lalu sekarang ia memiliki CEO? Apa maksudnya itu?

Bukannya ia bermaksud ingin menguasai perusahaan besar itu, hanya saja ini Mr.James yang sedang
dibicarakan. Ia benar-benar keras kepala akan keputusannya bahkan tak ada yang akan menolak jika
ia sudah mengatakan sesuatu.
“Ya, saya juga tak tahu bahwa perusahaan Presdir James akan memiliki CEO. Dan mereka hanya
mengatakan CEO mereka melakukan kunjungan tanpa memberikan namanya pada saya.” Imbuh
Thomas sambil mengecek surat kunjungan dari Golden Palace Corp.

Jessica menghela napas pelan. “Kita lihat saja siapa yang akan datang nanti. Untuk sekarang, kau
siapkan semua dokumen sebelumnya yang belum di selesaikan oleh Mr. Jake dan laporan
penjualan.” Jelas Jessica melangkah menuju ruangannya setelah keluar dari lift.

Thomas meneguk ludah dan penuh keringat, “Laporan penjualan, Direktur?”. Jessica membuka pintu
ruangannya dan langsung duduk dikursi hitam mewah itu dengan penuh senyum manis.

“Yah, kudengar beberapa tikus nakal membuat penjualan kita menurun. Sebaiknya kita membasmi
mereka sebelum tikus-tikusnya melarikan diri dan menambah populasinya, bukan begitu, Thomas?”
Tukas Jessica dengan senyum seringainya. Thomas meneguk ludahnya sekali lagi dan keringat turun
dari pelipisnya.

‘Iblis sebenarnya sudah tiba. Mati aku.’ Jerit Thomas dalam hati.

~~~

Satu jam setengah telah berlalu dan Jessica masih berkutat dengan laporan penjualan yang menurun
drastis dan juga laporan pengeluaran yang besar. Benar-benar parah. Kalau ia tak turun tangan,
perusahaan bisa bangkrut dalam sekejap.

Ketukan terdengar dari seberang dan Jessica mempersilahkan masuk dengan mata yang terus
berkonsentrasi pada lembar keuangan. Yang ia dengar hanya suara langkah berat yang
mendekatinya hingga berhenti tepat di hadapannya dan meletakkan sebuket bunga mawar putih
diatas mejanya.

“Apa kau akan memilih kertas itu dibanding diriku, sweety?” Tanya suara itu dengan nada yang
dibuat-buat sedih. Jessica terdiam. Bibirnya terasa kelu untuk menjawab dan matanya membesar.
Wajahnya masih memandang kertas keuangan sebelum akhirnya mengangkatnya dengan ragu.

Ia mengenali suaranya. Suara yang sangat ia rindukan sekaligus ingin ia lupakan. Sosok yang dulu
mencampakkannya dan menghina dirinya dihadapan banyak orang lalu menghilang begitu saja kini
berdiri di hadapannya dengan setelan hitam dan tersenyum manis seperti dulu.

“Bryan...” Lirih Jessica. Pemuda itu tersenyum puas akan aksinya. “Apa yang... tunggu dulu, jangan
katakan kau CEO yang akan datang kemari?!”

Bryan tetap tersenyum, “Yap, kau masih tetap pintar seperti biasa, Jess. Dan itulah kenapa aku
mencintaimu, bukan begitu?” Ucap Bryan santai. Jessica terdiam. Amarahnya telah sampai diubun-
ubun kepalanya mendegar kalimat sampah dari mulut Bryan.

“Tutup mulutmu, CEO Bryan.” Balas Jessica sarkatis. Kepalan tangannya melayang hendak meninju
wajah Bryan namun kalah cepat dengan tangan Bryan yang menghentikannya. Malah ia menarik
tubuh Jessica mendekat padanya.
“Jangan kasar begitu, Direktur Jessica Young. Kau tak ingin reputasimu hancur dalam sehari, bukan?”
bisik Bryan tepat di telingan Jessica. Ia menggertakkan giginya geram. “Tcih...”

Melihat Jessica kalah, ia melepaskan genggaman tangannya dan duduk santai di sofa hitam di
samping ruangan. “Nah, aku hanya ingin memberi ucapan selamat padamu-”

“Aku tak sudi mendengarnya darimu, Bry.” Potong Jessica cepat dan sinis. “Wow... santai saja, Jess.
Kau tak ingin bukan perusahaanmu bangkrut, bukan begitu?”

Jessica mendelik kasar, “Apa maksudmu?”

Bryan tertawa keras setelahnya. Ia bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu keluar seraya
berkata dengan nada bahagia, “Kau tentu ingat perusahaanku memberikan saham yang begitu besar
pada perusahaan ayahmu ini, bukan?” Ucap Bryan santai.

Jessica terdiam. Lidahnya kelu dan suaranya tak dapat keluar. “Sampai ketemu lagi, Direktur Jessica.”
Kata Bryan dan ia berjalan keluar dengan seringai yang tertera jelas dibibirnya.

Sedangkan Jessica masih terdiam dan tiba-tiba tangannya terkepal erat. Amarah jelas terlihat
diwajahnya yang memerah. “Jangan kira aku akan lemah dengan itu, Keparat!”

~~~

Jessica meneguk segelas vodka dengan kesal. Wajahnya memerah dan matanya terkatup-katup
karena efek minuman keras itu. Rambutnya yang semula rapi kini terlihat berantakan. Ia sengaja
menyuruh supirnya untuk tidak menjemputnya dan membiarkannya berjalan menikmati malam di
kota kelahirannya setelah bekerja.

Namun tentu saja itu hanya sebuah alasan yang dibuat-buat. Ia ingin menenangkan dirinya saja.

Hari pertama dan pengacau malah mendatanginya.

Diteguknya segelas lagi dan mengeluarkan beberapa lembar uang lalu meletakkannya diatas meja
dan berjalan keluar bar dengan terhuyung-huyung.

Musim panas seharusnya menjadi musim yang menyenangkan. Tapi, kini banyak problema yang
menghampiri dirinya. Jalanan yang tak terlalu ramai karena sudah larut malam membuat kota yang
selalu sibuk ini terlihat lebih tenang dan tentu saja ia sedikit berharap tidak akan ada para perusuh
yang datang.

Jessica berpegang pada tiang listrik di dekatnya. Perutnya terasa menggulung dan ingin
memuntahkan seluruhnya. Kalau begini, seharusnya ia meminta supirnya untuk menunggu saja.

“Ugh... benar-benar minuman sialan.” Gerutu Jessica sambil memegang kepalanya yang berputar
karena alkohol.

“Ah, kita bertemu lagi, Nona.” Ucap sebuah suara dengan nada ramah. Pandangan Jessica terlihat
buram. Yang dapat ia lihat hanyalah sosok tinggi dengan beberapa kantung.

Bruuk...
Pria itu terkejut melihat tubuh gadis itu tiba-tiba terjatuh di trotoar keras dengan tangan yang
hendak menggapai dirinya. Ia segera berlari menuju sang gadis dan melihatnya tertidur pulas dengan
aroma alkohol yang menyeruak dari tubuh si gadis.

“Astaga, pertemuan kedua dan dia pingsan dalam keadaan mabuk?! Benar-benar gadis ini...”
Gumam pria itu. Ia celingak-celinguk melihat sekitarnya. Jalanan benar-benar sepi.

Apa yang harus ia lakukan pada gadis ini?!

Jika ia biarkan gadis ini pingsan di jalanan, yang ada ia yang dikira pembunuhnya. Jika ia
membawanya ke rumah sakit, permasalahan akan semakin panjang dan kini ia harus cepat-cepat
pulang.

Ia hela napas sebentar lalu mengangkat tubuh gadis itu dan menggendongnya dipunggungnya. Tak
ada pilihan lain. Ia akan membawa gadis ini kerumahnya.

“Bertemu dikota lain dan kau masih saja seperti ini, Nona. Kau membiarkanku terbunuh oleh ibuku
nanti.”

~~~
Chapter 3: “You are my boss?!”

Jessica mengeluh pusing. Ia terbangun sambil memegang kepalanya yang terasa berputar. Dilihatnya
sekeliling. Dinding yang berwarna biru disatu sisi, lalu ada hijau, merah maroon, dan krem. Kasurnya
bahkan terasa agak kaku dibanding sebelumnya.

“Kau sudah bangun, Nona?” Sebuah suara menginterupsi pandangan Jessica. Dilihatnya seorang
wanita separuh baya dengan dress selutut berwarna merah muda dan celemek putih bermotif bunga
mawar dengan renda di bagian bawahnya, sedang tersenyum manis padanya dengan tangan yang
membawa nampan.

“Anda siapa?” Tanya Jessica pelan. Dia sedikit bingung. Ia tak mengenali wanita ini. Ia tak mengenali
ruangan bercat warna-warni dengan aroma apel ini. “Aku dimana?”

Wanita itu tersenyum tipis. Diletakkannya nampan berisi tiga butir obat dan segelas air putih di atas
meja di samping Jessica. Setelahnya ia memeriksa suhu tubuh Jessica dengan punggung tangannya.

“Ah kau sudah baikan. Tadi malam anakku menemukanmu pingsan dipinggir jalan dalam keadaan
yang mabuk. Jadi dia membawamu pulang. Yah, aku sempat memarahinya karena membawa
seorang gadis pulang dalam keadaan tak sadarkan diri.” Jelas wanita itu dengan tenang.

“Minumlah obatmu dulu. Itu penghilang mabuk. Setelahnya bergabunglah dengan kami untuk
sarapan. Sudah pukul enam pagi.” Tutur wanita itu lembut. Setelahnya ia berjalan keluar dan
menutup pintunya.

Jessica memandang obat-obatan itu dan meminumnya langsung. Ia merasa kepalanya masih
berputar, persis seperti tadi malam. Namun tak separah itu. Ia bangkit dari kasur dan berjalan
keluar.

Tepat di depan pintu, sosok pria yang ia kenali beberapa hari yang lalu berdiri sambil menyilang
dada. Wajahnya terlihat datar saat memandang dirinya.

“Dasar kucing nakal. Kau sudah menyikat gigimu, huh?” Jessica hampir saja jatuh mendengar
pertanyaan pria itu.

Apakah acara sikat menyikat gigi adalah pertanyaan utama yang kau lakukan saat baru bangun dari
tidur? Pria ini bisa saja menanyakan pertanyaan seperti ‘kenapa kau pingsan dijalan?’ atau ‘Kau
mengotori kamarku dengan bau alkohol.’ Yah, ia masih bisa menerimanya.

“A-aku belum-”

“Kalau begitu lakukan. Aku tak ingin kau duduk sarapan di meja ibuku dengan mulut yang masih bau
alkohol. Aku membencinya.” Potong pria itu cepat. Jessica langsung menjawab dengan lemah, “Ah,
aku sudah merepotkan kalian terutama kau, Tuan. Aku tak bisa menerima kebaikan kalian lebih dari
ini. Aku akan pergi.”

Ibu pria itu datang menghampiri mereka berdua dengan wajah sedih dan ragu. “Kau yakin? Berjalan
sendirian dipagi buta di kota yang penuh dengan kejahatan? Setidaknya sarapanlah dulu untuk
mengisi perutmu. Kau bisa pergi setelah matahari sudah terlihat. Untuk lebih aman.” Katanya
dengan lemah lembut.

“Kau dengar? Setidaknya dengan kau sarapan, kau sudah membalas terima kasih pada kami.”
Sambung pria itu tulus. Jessica terdiam. Hatinya tersentuh akan kebaikan mereka. Tanpa terasa air
matanya turun tiba-tiba. Ia langsung mengelapnya dengan punggung tangannya.

“Terima kasih, tapi aku benar-benar tak bisa sarapan dengan kalian. Aku harus kembali ke kantor
pukul tujuh. Maaf, Bibi, Tuan.” Ucap Jessica penuh penyesalan.

Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. “Jika kau memang tidak bisa,
aku tak memaksamu. Pergilah. Sayang, antarkan nona manis ini kerumahnya.” Suruh wanita itu pada
anaknya.

“Ah, anda tak perlu melakukannya. Aku akan jalan saja. Sampai jumpa Bibi, Tuan.” Ucap Jessica
buru-buru. Ia langsung berjalan cepat keluar rumah mereka. Jika ia berdiri lama didalam rumah itu,
mungkin ia tak bisa menolak tawaran antaran dari pria itu dan merepotkan mereka lebih dari ini.

Dilihatnya kawasan daerah perumahan itu. Oke, ia tak mengenali daerahnya tapi setidaknya pasti
ada tempat pemberhentian bus atau taxi yang lewat, gumamnya. Sebaiknya ia mulai melangkah atau
ia akan terlambat kekantor dan masih dalam keadaan berantakan.

~~~

Jessica mengurut dahinya pusing. Kepala masih terasa sakit meski ia sudah meminum obat
pemberian ibu pria yg tak ia ketahui namanya hingga sekarang ditambah saat ia tiba di rumah, ia
langsung di suguhi oleh ceramah panjang dari kedua orang tuanya yang ternyata tiba kemarin
malam tepat saat ia pulang kerja, kata mereka. Tentu saja ia baru pulang pagi hari tepat pada saat
jam sarapan, langsung terkejut melihat orang tuanya sudah duduk di sofa ruang tengah dengan
wajah khawatir plus marah.

“Jadi, katakan padaku apa yang kau lakukan disini, Mark?” Tanya Jessica pada sosok Mark yang
duduk di kursi dihadapannya dengan senyum merekah plus sebuah paperbag polos dengan ukuran
yang besar. “Bukannya kau kerja hari ini, Mark?”

“Well, aku meminta Mindy untuk menggantikanku rapat hari ini karena ibumu mengirimiku foto
dirimu dengan rok, Jess.” Balas Mark santai. Jessica langsung terperangah mendengarnya. “Astaga!
Dan kau datang kemari jauh jauh ke kota sebelah hanya untuk melihatku memakai rok dan gayaku
yang sangat kubenci?”

“Oh, dan juga kue balasan kau waktu itu. Ayolah Jess, kau tampak luar biasa dengan gayamu yang
sekarang. Aku yakin Bryan menyesal sudah menghinamu waktu itu.”

“Si Brengsek itu sudah mendatangiku kemarin, Mark. Aku tak yakin dia menyesal. Kupikir dia senang
mempermainkanku.” Balas Jessica tak semangat. Mark langsung terkejut mendengar ucapan Jessica,
“Dia kesini? Dan kau menghajarnya?”

“Tidak. Aku tak menghajarnya. Tinjuku ditahan olehnya dan aku tentu saja tak ingin merusak citra
ayah dengan meninju seorang CEO Golden Palace.”
“Tunggu, CEO Golden Palace? Sejak kapan pak tua itu punya keturunan?” Jessica hanya menaikkan
bahunya. “Lagipula aku tak pernah mendengar Bryan bekerja di Golden Palace sebelumnya.” Lanjut
Mark yang semakin terkejut dengan informasi yang di ucapkan oleh Jessica.

“Entahlah... sudahlah aku malas membicarakan si keparat Bryan itu sekarang. Membuat kepalaku
makin sakit saja.” Ujar Jessica sambil membuka kotak persegi berisi kue brownies yang ditutupi oleh
coklat dan di hiasi oleh taburan kacang dan saus strawberry.

“Wow... kau tahu saja kesukaanku, Mark.” Ucap Jessica sambil memotong kuenya menjadi beberapa
bagian. “Tentu saja. Kau pikir berapa lama kita sudah bersama, huh strawberry jelek?” Balas Mark
sambil mencubit pipi Jessica dengan gemas.

“Hei, hentikan. Kau membuat pipiku makin membesar, sphagetti.”

~~~

Anda mungkin juga menyukai