Anda di halaman 1dari 1

PLAK!

Tamparan kuat itu membuatku terperangah. Aku berada di antara dua orang yang kini sedang saling
bertatap dengan ekspresi yang berbeda, si gadis yang menahan tangis dan pemuda yang berwajah datar
tanpa ada sedikit rasa prihatin. Semua orang yang berlalu lalang menatap kami, atau lebih tepatnya ke
arahku dengan wajah tak suka. Seolah aku adalah tersangka diantara perkelahian dua makhluk di
hadapanku.

Samar-samar kemerahan tercetak jelas di pipi pemuda yang telah kukenal sepanjang hidupku dan ia
malah berbalik tanpa mengacuhkan si gadis dan menarik tanganku pergi.

“Aku membencimu!!” pekikan sigadis tak dihiraukan olehnya dan ia terus berjalan tanpa emosi, melewati
ratusan manusia dan menjauh dari keramaian bersamaku.

“Kenapa kau malah menyeretku dalam masalahmu, sialan?!” teriakku sambil menarik kerah kemeja
pemuda yang sudah menjadi sahabatku semenjak aku masih kecil. Pemuda tampan yang kini memasang
wajah cengengesan seolah merasa tak bersalah, sungguh berbanding terbalik dengan ekspresinya lima
menit yang lalu. Sosok lain dirinya yang sudah sangat kukenal jika ia tak menyukai sesuatu dan hanya
kepadaku lah yang tak pernah ia berikan tatapan sedingin itu, entah kenapa.

Kuakui sahabatku ini, Dani adalah pemuda yang tampan dan paling menyenangkan. Ia adalah sosok
pemuda yang sangat peduli akan orang tersayangnya dan ia juga orang paling menjengkelkan yang
pernah kukenal.

“Kau tau, aku tak suka jika dia bersikap cemburu padamu padahal sudah kuberitahu berulang kali.
Lagipula, aku tak pernah menjalin hubungan apapun dengannya.” Dengusnya dengan wajah bosan. Aku
berkacak pinggang melihatnya. Sungguh, selama hidupku entah keberapa kalinya aku menjitak kepala
Dani dengan keras akibat kebodohannya yang selalu menyeretku dalam setiap permasalahan kisah
asmaranya yang terkadang membuatku ingin menguburnya hidup-hidup. Sungguh tak menghargai
perasaan para gadis-gadis yang sudah mengejarnya.

“Kau itu, bisakah untuk tidak mengajakku jalan-jalan?! Bahkan aku sudah menjauhimu tapi kenapa kau
selalu tak pernah mundur? Padahal banyak gadis yang menunggu ajakanmu itu.”

“Untuk apa? Bersamamu lebih penting karena aku tak bisa jauh darimu. Kau tahu itu bukan, Riska?” ia
menatapku dalam dan aku terdiam olehnya. Sungguh, tatapannya membuatku selalu menggoyahkan
keteguhanku. Bahkan amarahku langsung menciut karena tatapannya itu.

Anda mungkin juga menyukai