Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mayoritas kelainan di payudara adalah lesi jinak, lesi maligna hanyalah
20% dari semua kelainan pada payudara. Pembedahan pada payudara
berperan dalam diagnosis dan terapi tumor jinak. Dalam suatu tindakan
operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja sendirian dalam membedah
pasien. Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk menjaga
berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal, tanpa pengaruh yang
berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan napas menjadi
salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena
beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan napas.1
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan
melakukan tindakan Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup laring yang
dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan medis. LMA terdiri
dari masker berbentuk sendok elips yang berfungsi sebagai balon yang dapat
dikembangkan dan dibuat bengkok dengan sudut sekitar 30°. LMA dapat
dipakai berulang kali dan dapat disterilkan dengan autoclave, namun tersedia
juga LMA yang disposible.9
LMA atau sungkup laring menjadi sangat populer dalam beberapa
dekade terakhir ini. Penggunaan sungkup laring mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan penggunaan intubasi endotrakeal dan sungkup muka.
Salah satunya adalah dalam pemasangannya sungkup laring tidak memerlukan
laringoskop, tidak perlu pemberian pelumpuh otot, tidak merusak pita suara,
respon kardiovaskuler sangat rendah dibanding intubasi endotrakea.9

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. Hani Pratiwi
Umur : 17 tahun
Alamat : Jl. Ki Kemas Rinda RT 28 RW 7 No. 1531
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SMA
Tanggal Masuk : 17 April 2017
No. RM : 38 15 66

2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit


Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Benjolan di payudara kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak ± 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh timbul benjolan di payudara kiri
sebesar biji kelereng. Pasien mengalami kecemasan karena akan dioperasi.
Demam (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :


Hipertensi (-) Hemofili (-)
Diabetes Mellitus (-) Alergi (-)
Asma (-) Anestesi sebelumnya (+)
- Pasien memiliki riwayat operasi sebelumnya di payudara kanan

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada.

2
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
- Keadaan umum : Baik, ASA I
- Kesadaran : Compos Mentis
- GCS : E4V5 M6 = 15
- Vital sign
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 21 x/menit
Suhu : 36,8 o C
- Gizi : Baik
- BB/TB : 43 kg/158 cm
Status Generalis
- Kepala
Rambut : Hitam, rambut sulit dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
palpebra edema (-/-)
Telinga : Simetris, serumen (-/-), othorea (-/-)
Hidung : Septum tidak deviasi, sekret (-/-), pernafasan
cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)
Airway : Jalan nafas bersih (+), Mallampati IV,
Tiromental distance > 5cm, buka mulut >3
jari, gigi palsu (-)
- Leher
Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
JVP : 5 cm H20
Trakhea : di tengah

- Thoraks

3
(Cor)
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-),
gallop (-)
(Pulmo)
Inspeksi : Pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil hemitoraks kanan =
hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
(Mammae)
Inspeksi : Benjolan tidak terlihat
Palpasi : Teraba adanya benjolan di subareola ukuran
kelereng, konsistensi kenyal, permukaan licin
rata, batas tegas, mobile dan nyeri tekan
tidak ada

- Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris
Palpasi : Lemas, Hepar dan lien tidak teraba, nyeri
tekan (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

- Extremitas
Superior : sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor kulit baik,
tremor (-)
Inferior : sianosis (-/-), oedem (-/-), turgor kulit baik.

4
2.4 Pemeriksaan Penunjang (17 April 2017)
Hematologi
- Leukosit : 5.800/ul
- Trombosit : 215.000/ul
- Hemoglobin : 10,9 g/dL
- Hematokrit : 34%
- CT/BT : 7'/2'
- Hitung Jenis :
- Basofil : 0%
- Eosinofil : 2%
- Batang : 2%
- Segmen : 56%
- Limfosit : 34%
- Monosit : 6%

2.5 Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka:
 Diagnosis Klinis : Tumor Mammae Sinistra
 Diagnosis Anestesi : ASA I, mallampati IV
 Rencana Operasi : Mastektomi subkutan di mammae sinistra
 Rencana Anestesi : General Anestesi

Tatalaksana
Tatalaksana post operasi
 IVFD RL gtt xx/mnt

Durante Operasi (Catatan Anestesi)


2.5.1 Status Fisik ASA
ASA I

5
2.5.2 Penyulit Praanestesi
Tidak Ada

2.5.3 Teknik Anestesi


General Anestesi

2.5.4 Monitoring
 SpO2 :+
 TD :+
 HR :+

2.5.5 Posisi Pasien


Supine

2.5.6 Premedikasi
Ondansentron 4 mg (i.v)

2.5.7 Pemberian :
 Fentanyl 100 mcg
 Ketorolac 30 mg
 Propofol 20 ml

2.5.8 Lama Tindakan


 Lama pembiusan : 40 menit
 Lama pembedahan : 35 menit

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Payudara


Payudara merupakan kelenjar aksesoris kulit yang terletak pada iga dua
sampai iga enam, dari pinggir lateral sternum sampai linea aksilaris media.
Kelenjar ini dimiliki oleh pria dan wanita. Namun, pada masa pubertas,
payudara wanita lambat laun akan membesar hingga membentuk setengah
lingkaran, sedangkan pada pria tidak. Pembesaran ini terutama terjadi akibat
penimbunan lemak dan dipengaruhi oleh hormon-hormon ovarium.2
Secara umum, payudara terdiri atas dua jenis jaringan, yaitu jaringan
glandular (kelenjar) dan jaringan stromal (penopang). Jaringan kelenjar
meliputi kelenjar susu (lobus) dan salurannya (ductus). Sedangkan jaringan
penopang meliputi jaringan lemak dan jaringan ikat. Selain itu, payudara
juga memiliki aliran limfe. Aliran limfe payudara sering dikaitkan dengan
timbulnya kanker maupun penyebaran (metastase) kanker payudara.2
Setiap payudara terdiri atas 15-20 lobus yang tersusun radier dan
berpusat pada papilla mamma. Saluran utama tiap lobus memiliki ampulla
yang membesar tepat sebelum ujungnya yang bermuara ke papilla. Tiap
papilla dikelilingi oleh daerah kulit yang berwarna lebih gelap yang disebut
areola mamma. Pada areola mamma, terdapat tonjolan-tonjolan halus yang
merupakan tonjolan dari kelenjar areola di bawahnya.2
Jika dilakukan perabaan pada payudara, akan terasa perbedaan di tempat
yang berlainan. Pada bagian lateral atas (dekat aksila), cenderung terasa
bergumpal-gumpal besar. Pada bagian bawah, akan terasa seperti pasir
atau kerikil. Sedangkan bagian di bawah puting susu, akan terasa seperti
kumpulan biji yang besar. Namun, perabaan ini dapat berbeda pada orang yang
berbeda.2
Untuk mempermudah menyatakan letak suatu kelainan, payudara
dibagi menjadi lima regio, yaitu2 :
1. Kuadran atas bagian medial (inner upper quadrant)

7
2. Kuadran atas bagian lateral (outer upper quadrant)
3. Kuadran bawah bagian medial (inner lower quadrant)
4. Kuadran bawah bagian lateral (outer lower quadrant)
5. Regio puting susu (nipple)

Gambar 1. Anatomi Payudara

3.2 Tumor Payudara


3.2.1 Definisi Tumor Payudara
Tumor payudara adalah benjolan tidak normal akibat pertumbuhan
sel yang terjadi secara terus menerus. Dalam klinik, istilah tumor sering
digunakan untuk semua tonjolan dan diartikan sebagai pembengkakan,
yang dapat disebabkan baik oleh neoplasma maupun oleh radang,
atau perdarahan. Neoplasma membentuk tonjolan, tetapi tidak semua
tonjolan disebabkan oleh neoplasma.5

3.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Sampai saat ini, penyebab pasti tumor payudara belum diketahui.
Namun, ada beberapa faktor resiko yang telah teridentifikasi, yaitu4:
a. Jenis kelamin
Wanita lebih beresiko menderita tumor payudara dibandingkan

8
dengan pria. Prevalensi tumor payudara pada pria hanya 1% dari
seluruh tumor payudara.
b. Riwayat keluarga
Wanita yang memiliki keluarga tingkat satu penderita tumor
payudara beresiko tiga kali lebih besar untuk menderita tumor
payudara.
c. Faktor genetik
Mutasi gen BRCA1 pada kromosom 17 dan BRCA2 pada kromosom 13
dapat meningkatkan resiko tumor payudara sampai 85%. Selain itu,
gen p53, BARD1, BRCA3, dan noey2 juga diduga meningkatkan
resiko terjadinya kanker payudara.
d. Faktor usia
Resiko tumor payudara meningkat seiring dengan pertambahan usia.
e. Faktor hormonal
Kadar hormon yang tinggi selama masa reproduktif, terutama jika tidak
diselingi oleh perubahan hormon akibat kehamilan,dapat meningkatkan
resiko terjadinya tumor payudara.
f. Usia saat kehamilan pertama
Hamil pertama pada usia 30 tahun beresiko dua kali lipat dibandingkan
dengan hamil pada usia kurang dari 20 tahun.
g. Terpapar radiasi
h. Intake alcohol
i. Pemakaian kontrasepsi oral
Pemakaian kontrasepsi oral dapat meningkatkan resiko tumor
payudara. Penggunaan pada usia kurang dari 20 tahun
beresiko lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pada usia
lebih tua.

3.2.3 Diagnosis Tumor Payudara


Diagnosis tumor payudara dapat ditegakkan dengan berdasarkan
anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dasar dan pemeriksaan penunjang.

9
Sedangkan diagnosis pasti adalah pemeriksaan histopatologi anatomi5.
1. Anamnesa meliputi: riwayat timbulnya tumor, adanya faktor resiko
untuk terjadinya tumor payudara dan adanya tanda-tanda penyebaran
tumor.
2. Pemeriksaan fisik dari tumor payudara
Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI)
Deteksi dini tumor payudara adalah suatu usaha untuk menemukan
adanya tumor yang belum lama tumbuh, masih kecil, masih lokal, dan
belum menimbulkan kerusakan yang berarti sehingga masih dapat
disembuhkan. Deteksi dini biasanya dilakukan pada orang-orang yang
“kelihatannya sehat”, asimptomatik, atau pada orang yang beresiko
tinggi menderita tumor. Wanita usia 20 tahun ke atas sebaiknya
melakukan SADARI sebulan sekali, yaitu 7-10 hari setelah
menstruasi. Pada saat itu, pengaruh hormon ovarium telah hilang
sehingga konsistensi payudara tidak lagi keras seperti menjelang
menstruasi. Untuk wanita yang telah menopause, SADARI
sebaiknya dilakukan setiap tanggal 1 setiap bulan agar lebih mudah
diingat.
Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) dilakukan dalam tiga
tahap, yaitu :
a. Melihat payudara
b. Memijat payudara
c. Meraba payudara

Klinis jinak dan ganas memberikan gambaran sebagai berikut:


Klinis jinak memberikan gambaran
a. Bentuk bulat, teratur atau lonjong.
b. Permukaan rata
c. Konsistensi kenyal, lunak
d. Mudah digerakkan terhadap sekitar
e. Tidak nyeri tekan.

10
Klinis ganas memberikan gambaran
a. Permukaan tidak rata dan berbenjol-benjol
b. Tepi tidak rata
c. Bentuk tidak teratur
d. Konsistensi keras, padat
e. Batas tidak tegas
f. Sulit digerakkan terhadap jaringan sekitar
g. Kadang nyerti tekan

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Mammography
b. Ultrasound (USG)
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
d. Biopsi
Terbuka : dilakukan dengan operasi seperti biasa dapat berupa
pengangkatan seluruh benjolannya (eksisi) atau sebagian saja
(insisi). Tertutup : biopsi aspirasi jarum halus.

3.3. Anestesi Umum


3.3.1. Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat pulih kembali atau reversible. Pada anestesi umum harus memenuhi
beberapa hal ini yaitu hipnotik, analgesi, relaksasi otot diperlukan untuk
mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan
pembedahan, stabilisasi otonom.10
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat
anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga
kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya.
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi

11
untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis.10
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal.Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang
tidak diinginkan.7
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada
dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara
pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek
samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah
dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.7

3.3.2. Macam-macam Teknik Anestesi6


 Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik
yang menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat
anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung
penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
 Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker.
Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga
dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume
fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara
semenit.

12
 Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama
oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian
dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat
ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara
luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan
memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat
dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari
100% kebutuhan.
 Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya
udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat
CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan
lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai
premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.

3.3.3. Persiapan Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat
sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan
menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah9:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):

13
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan


sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga


aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam


jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan


operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil


(didonorkan)6

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari


kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

a. Pemeriksaan praoperasi anestesi9


I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.

14
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,
dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
II. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan
fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal

15
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
 Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG
 Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjal pada hipertensi
5. AGD, elektrolit.

b. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain 10:
a) memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b) menghilangkan rasa khawatir, misalnya : diazepam
c) membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d) memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin

16
e) mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f) memperlancar induksi, misal : pethidin
g) mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h) menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium,
sulfas atropin.
i) mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah.
Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien,
berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat
anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat
penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya
anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana
anestesi yang akan digunakan10.

c. Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi8 :
- Fentanyl
Fentanyl merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan
sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten
dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan
depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan
selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan
larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut,
sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan
dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl
dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi

17
dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun
intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.Lamanya
efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin.Efek
euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid,
tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat
oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan
bersama sebagai anestesi IV.Dosis tinggi fentanil menimbulkan
kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh
efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum.Efek ini di
antagonis oleh nalokson.Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk
anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi.
Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula
dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol. Fentanyl dan
droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol)
diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia
dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek
yang disedut sebagai neurolepanestesia.

d. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau
memperdalam stadium anestesi setelah induksi7.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
- Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam
air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur
dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk
induksi tanpa premedikasi.6

18
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan
agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga
efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam
keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil
yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam
keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele
neurologik.6
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain.7
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri
perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik
kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer
daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal
dengan intubasi trakea.7
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-
kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih
cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke
dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari
1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya
lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya
melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh

19
enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan
gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati
yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran
darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan
menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari
tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.6
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol
memiliki efek antiemetik.6
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri
sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).6,7

e. Pemeliharaan
- Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak,
dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2).
Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui
stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah.
Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi
otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida

20
mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi
dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai
berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%5.

f. Obat Pelumpuh Otot


Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme
kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat
secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat
penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera
tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot
yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali5.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
- Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium
dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu
reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai.
Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3

21
menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35
menit6.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah
lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih
untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal
yang berat6.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap
penyinaran6.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv

g. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk6:
a) Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selama operasi.
b) Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.

22
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
- Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
- Sedang = 6 ml/kgBB/jam
- Berat = 8 ml/kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

h. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.10
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-
mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk
regional anestesi digunakan skor Bromage10.

23
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor

1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2


motorik atas perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
atas perintah atau secara sadar.

2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2


 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari 1
semula
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Tabel 2. Steward Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli 1
 Tak ada respon 0

24
2 Jalan napas  Batuk atas perintah atau menangis 2
 Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan 0
nafas
3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0
Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.

Tabel 3. Robertson Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran  Sadar penuh, membuka mata, berbicara 4


 Tidur ringan 3
 Membuka mata atas perintah 2
 Tidak ada respon 1
2 Jalan napas  Batuk atas perintah 3
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan 2
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi 1
kepala 0
 Tanpa bantuan obstruksi
3 Aktifitas  Mengangkat tangan atas perintah 2
 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0

25
Tabel 4. Bromage Scoring System

Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage score < 2  boleh pindah ke ruang perawatan.

3.4. Laryngeal Mask Airway


Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan
hilangnya pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas.
Tanggung jawab dokter anestesi adalah untuk menyediakan respirasi dan
managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien. LMA telah digunakan secara
luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di
insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan
rendah sekeliling pintu masuk laring.11
3.4.1. Desain dan Fungsi
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk
ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (<
15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk
neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.11

3.4.2. Macam-Macam LMA


LMA dapat dibagi menjadi11:
1. Clasic LMA
2. Fastrach LMA
3. Proseal LMA
4. Flexible LMA

26
3.4.3. Teknik Anestesi LMA11
Indikasi:
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk
airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika
pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
Kontraindikasi:
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung (penggunaan pada
emergency adalah pengecualian).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan,
karenaseal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan
lambung. Tekanainspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O
untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama.

27
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi
dapat memicu terjadinya laryngospasme.

28
Efek Samping :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan
insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek
samping yang utama adalah aspirasi.

Tehnik Induksi dan Insersi :


Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang
lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk
keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam
sering membuat posisi mask yang tidak sempurna Sebelum insersi, kondisi
pasien harus sudah tidak berespon dengan mandibula yang relaksasi dan
tidak berespon terhadap tindakan jaw thrust. Tetapi, insersi cLMA tidak
membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang dapat mengurangi tahanan
yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan
standar praktek di klinik, dan pemakaian pelumpuh otot akan mengurangi
trauma oleh karena reflex proteksi yang di tumpulkan, atau mungkin malah
akan meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan nafas yang
relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan Propofol
merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat menekan
refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau
terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan
menstimulasi dinding pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan
darah dan nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat
ditumpulkan dengan menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh
pada tonus simpatis jantung.
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian
induksi thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan
anestesi atau dengan penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke
oropharing. Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat
diberikan opioid beronset cepat ( seperti fentanyl atau alfentanyl ). Jika
diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi topikal. Insersi

29
dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy (Sniffing
Position ) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten
selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan
permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air
sebelum dilakukan insersi.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih
menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tekhnik ini
akan menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan
mukosa pharing. Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring
supine dengan satu tangan men-stabilisasi kepala dan leher pasien,
sementara tangan yang lain memegang cLMA. Tindakan ini terbaik
dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien dan
dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas. cLMA
dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube. Rute
insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi,
cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian
dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA
”berhenti” selama insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus
(sfingter esofagus bagian atas) dan harusnya sudah berada pada posisi yang
tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk
meyakinkan ”titik akhir” teridentifikasi.

30
Insersi LMA
Cuff harus diinflasi sebeum dilakukan koneksi dengan sirkuit
pernafasan.Lima test sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan
ketepatan posisi cLMA:
1. ”End point” yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di
inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari
pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting untuk
dicatat bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang
maksimum. Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini yang dibutuhkan.
Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan rendah dengan
jalan nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi
yang berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi pharyngolaryngeal,
termasuk cedera syaraf (glossopharyngeal, hypoglossal, lingual dan
laryngeal recuren) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas. Setelah
cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat perbedaan

31
kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan perubahan pada
tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan akan berdifusi
kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama dengan tekanan
campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan
didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff
yang berlebihan dapat dihindari dengan mem-palpasi secara intermiten pada
pilot ballon. Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara
mem-bagging dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan
sekat bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat
ini akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan
lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa
adanya suara ribut pada jalan nafas atau kebocoran udara yang dapat
terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi
ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran
yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi terjadi
maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.
Pemakaian LMA sendiri dapat juga menimbulkan obstruksi. Untuk itu
diperlukan suatu algoritme untuk memfasilitasi diagnosis dan
penatalaksanaan obstruksi jalan nafas dengan LMA :

32
Algoritma LMA
cLMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah terjadinya
migrasi keluar. Saat dihubungkan dengan sirkuit anestesi, yakinkan berat
sirkuit tadi tidak menarik cLMA yang dapat menyebabkan pergeseran.
Sebelum LMA difiksasi dengan plaster, sangat penting mengecek dengan
capnograf, auskultasi, dan melihat gerakan udara bahwa cuf telah pada
posisi yang tepat dan tidak menimbulkan obstruksi dari kesalahan tempat
menurun pada epiglotis. Karena keterbatasan kemampuan LMA untuk
menutupi laring dan penggunaan elektif alat ini di kontraindikasikan dengan

33
beberapa kondisi dengan peningkatan resiko aspirasi. Pada pasien tanpa
faktor predisposisi, resiko regurgitasi faring rendah.

Maintenance ( Pemeliharaan )
Saat ventilasi kendali digunakan, puncak tekanan jalan nafas pada orang
dewasa sedang dan juga pada anak-anak biasanya tidak lebih dari 10 -14
cmH2O. Tekanan diatas 20 cmH2O harus dihindari karena tidak hanya
menyebabkan kebocoran gas dari cLMA tetapi juga melebihi tekanan
sfingter esofagus. Pada tekanan jalan nafas yang rendah, tekanan gas keluar
lewat mulut, tetapi pada tekanan yang lebih tinggi, gas akan masuk ke
esofagus dan lambung yang akan meningkatkan resiko regurgitasi dan
aspirasi.
Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode yang
lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi jalan
nafas dan akses ke jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak sebaik
lewat tube trakea. Untungnya ventilasi kendali pada grup ini sering lebih
mudah sebagaimana anak-anak secara umum mempunyai paru-paru dengan
compliance yang tinggi dan sekat jalan nafas dengan cLMA secara umum
sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.
Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan nafas
yang bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran
dapat terjadi jika anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung
reservoir sirkuit anestesi harus tampak dan di monitoring dengan alarm yang
tepat harus digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadian-
kejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan
bijaksana untuk melepas jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian
posisi telah dilakukan, sambungkan kembali ke sirkuit anestesi dan periksa
ulang jalan nafas.

34
Tehnik Extubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun
dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex proteksi
jalan nafas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada
pahryng secara umum tidak diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan
meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasme.
Saat pasien dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik.
Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya sekresi
tambahan atau darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jikapasien tidak dapat
menelan sekret tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi
akan lebih tinggi jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik
”dalam”. Jika cLMA ditarik dalam kondisi masih ”dalam”, perhatikan
mengenai obstruksi jalan nafas dan hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan
sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya laryngospasme.

Komplikasi Pemakaian LMA


cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena
regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA
pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti :
pasien yang tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau
refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese.
Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar 28 %13
dimana insidensi ini mirip dengan kisaran yang pernah dilaporkan yaitu
antara 21,4 % - 30 % (Wakeling et al), 28,5 % dan sampai 42 % Classic
LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan nafas yang
lebih kecil dibandingkan dengan ET.Namun clasic LMA mempunyai
kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah ( rata-rata
18 – 20 cmH2O ) sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan
menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan nafas akan
berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi lambung.
Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan pada kasus

35
regurgitasi isi lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya
stimulasi respirasi dibandingkan ET selama situasi emergensi pembiusan.
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA
selama ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai
dengan 50 % dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi
dengan mengurangi kebocoran dari jalan nafas. Sebagai tambahan drain
tube pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat
menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.

36
BAB IV
ANALISA KASUS

1. Bagaimana manajemen preoperatif pada pasien ini?


Pada pasien didapatkan data berupa anamnesis yaitu adanya benjolan di
payudara sebelah kiri. Dari pemeriksaan fisik teraba benjolan 1 buah di
mammae sinistra bagian subaerola sebesar ukuran kelereng, konsistensi
kenyal, permukaan licin rata, batas tegas, mobile dan nyeri tekan (-).
A= Clear,mallampati II
B=Spontan, RR: 23x/m, rh(-), wh(-)
C=N : 88x/m
D=GCS 15, T: 36,5. ASA I

Telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :


a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)
b. Pemeriksaan laboratorium darah
c. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada
pasien ini diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung
sejak pasien mulai puasa hingga masuk ke ruang operasi. Puasa paling
tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah
dan aspirasi dapat dihindarkan

2. Bagaimana manajemen Intraoperatif pada pasien ini?


A. Monitor fungsi kardiovaskuler
B. Dilakukan anestesi umum, dan dilakukan LMA. General anestesi
bertujuan agar pasien tidak sadar, merasa rileks, nyaman, tidak
merasakan nyeri saat pembedahan berlangsung. Alasan pemilihan
teknik anestesi dengan LMA ini berdasarkan indikasi sebagai berikut:
 Durasi operasinya singkat dan faktor resiko lebih rendah

37
 Pada pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui bahwa keadaan
pasien cukup baik
 Lambung dalam keadaan kosong
 Tidak adanya manipulasi kepala
 Posisi pasien terlentang

C. Premedikasi
a) Memperkuat efek hipnotik dari agen anestesia umum yaitu dengan
memberikan fentanyl 0,05 mg IV.
b) Mengurangi mual muntah pasca operasi yaitu dengan memberikan
golongan 5-HT antagonis misalnya ondansetron dengan dosis 4 mg
IV.
D. Induksi : Digunakan Propofol dosis bolus untuk induksi yaitu 2-2,5
mg/kgBB (86-107,5 mg pada pasien ini namun pada operasi diberikan
100 mg). Propofol memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi
dan eliminasi yang cepat. Selain itu propofol juga dapat menghambat
transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini
mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu
30 detik. Selama induksi, pernafasan nadi dan tekanan darah harus
selalu diawasi dan diberikan oksigen.8
E. Monitoring
Tujuan monitoring untuk membantu anestetis mendapatkan informasi
fungsi organ vital selama peri anestesia, supaya dapat bekerja dengan
aman. Monitoring secara elektronik membantu anestetis mengadakan
observasi pasien lebih efisien secara terus menerus. Monitoring
kardiovaskular (nadi, tekanan darah, banyaknya perdarahan),
monitoring respirasi tanpa alat (gerakan dada-perut, warna mukosa
bibir, kuku, ujung jari), Oksimetri.8

38
3. Bagaimana manajemen postoperatif pada pasien ini?
Pasien masuk ke ruang pemulihan dan dilakukan penilaian terhadap
tingkat kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 92
x/menit, respirasi 20 x/menit.
Sebelum dipindahkan ke ruang perawatan, dilakukan penilaian pulih sadar
menurut Aldrete Score di ruang pemulihan dan ditemukan tingkat kesadaran
dengan nilai 2, pernafasan dengan nilai 2, tekanan darah dengan nilai 2, aktivitas
dengan nilai 2, warna kulit dengan nilai 2 dan total nilai keseluruhan 10. Yang
menandakan pasien diperbolehkan pindah ke ruang perawatan.
Pada pasien diberikan instruksi pasca bedah, yaitu :
 Pengelolaan nyeri dengan Tramadol 100 mg intravena
 Apabila mual/muntah : injeksi Ondansentron 8 mg via intravena
 Cairan infus RL 20 tetes per menit
 Dilakukan pemeriksaan tanda – tanda vital setiap 15 menit selama 2
jam pertama, lalu setiap jam selama 24 jam hingga hemodinamik stabil
 Bed rest
Urutan tindakan anestesi pada pasien mulai preoperative, intra operatif dan
post operatif secara garis besar tidak jauh berdasarkan literature.

39
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul
sehingga dapat mengantisipasinya. Pada laporan kasus ini disajikan kasus
penatalaksanaan anestesi umum pada operasi tumor mammae sinistra pada
penderita perempuan, usia 17 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis tumor
mammae sinistra yang dilakukan anestesi umum dengan LMA (+) respirasi
spontan.

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan


yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama
operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi
hal yang memerlukan penanganan serius.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung


dengan baik.

40

Anda mungkin juga menyukai

  • SOP_PASIEN_BERISIKO
    SOP_PASIEN_BERISIKO
    Dokumen2 halaman
    SOP_PASIEN_BERISIKO
    Maia May
    75% (4)
  • GASTRITIS
    GASTRITIS
    Dokumen2 halaman
    GASTRITIS
    Tri Rahmania Pertiwi
    100% (1)
  • GASTRITIS
    GASTRITIS
    Dokumen2 halaman
    GASTRITIS
    Tri Rahmania Pertiwi
    100% (1)
  • Manajemen Perioperatif
    Manajemen Perioperatif
    Dokumen36 halaman
    Manajemen Perioperatif
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Document
    Document
    Dokumen2 halaman
    Document
    bambang
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Dan V
    BAB IV Dan V
    Dokumen5 halaman
    BAB IV Dan V
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Document
    Document
    Dokumen2 halaman
    Document
    bambang
    Belum ada peringkat
  • Sop Penanganan-Pasien-Beresiko-Tinggi
    Sop Penanganan-Pasien-Beresiko-Tinggi
    Dokumen2 halaman
    Sop Penanganan-Pasien-Beresiko-Tinggi
    Nanang Supriyatna
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen4 halaman
    Cover
    Iqhe Harsono Syastrowinoto
    Belum ada peringkat
  • Ards Sie
    Ards Sie
    Dokumen36 halaman
    Ards Sie
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan Revisi
    Halaman Pengesahan Revisi
    Dokumen3 halaman
    Halaman Pengesahan Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab I Revisi
    Bab I Revisi
    Dokumen2 halaman
    Bab I Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab III Revisi
    Bab III Revisi
    Dokumen7 halaman
    Bab III Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Dan V REVISI
    BAB IV Dan V REVISI
    Dokumen9 halaman
    BAB IV Dan V REVISI
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Revisi
    Daftar Pustaka Revisi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab III Revisi
    Bab III Revisi
    Dokumen7 halaman
    Bab III Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab II Revisi
    Bab II Revisi
    Dokumen19 halaman
    Bab II Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan Revisi
    Halaman Pengesahan Revisi
    Dokumen3 halaman
    Halaman Pengesahan Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab I Revisi
    Bab I Revisi
    Dokumen2 halaman
    Bab I Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Revisi
    Daftar Pustaka Revisi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Revisi
    Daftar Pustaka Revisi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Cover Revisi
    Cover Revisi
    Dokumen1 halaman
    Cover Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • SIROSIS HATI
    SIROSIS HATI
    Dokumen19 halaman
    SIROSIS HATI
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan Revisi
    Halaman Pengesahan Revisi
    Dokumen3 halaman
    Halaman Pengesahan Revisi
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Disentri Basiler
    Disentri Basiler
    Dokumen4 halaman
    Disentri Basiler
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Bahan Ososca Ske E 11
    Bahan Ososca Ske E 11
    Dokumen16 halaman
    Bahan Ososca Ske E 11
    Tri Rahmania Pertiwi
    Belum ada peringkat