Anda di halaman 1dari 20

RIYA'

"Yang paling aku takutkan dari apa yang aku takutkan


atas kamu ialah syirik ashghor, ditanya oleh para sa-
habat, apa maksudnya ya Rasulullah ? Beliau bersab-
da: riya' "
( al Hadits)

Mengapa sampai Rasulullah demikian takut riya' atas ummat-


nya, dan itu merupakah hal yang paling beliau takuti akan me-
nimpa kaum Muslimin ?
Allah dan rasulnya saja yang tahu. Namun kita ma'fhum bahwa
rasa kasih-sayang Rasulullah, rasa cinta beliau kepada ummat
ini demikian besar, sedang riya' dapat datang dengan lihainya
kedalam hati dan dengannya akan terhapus pahala amaliah seorang
Muslimin.

Para ulama mengibartakan riya' seperti semut hitam yang me-


rayap di atas batu hitam di malam gelap gulita. Tak terlihat.
Dia menyelusup halus, merayap, perlahan, lalu akhirnya menikam
hati, mencairkan ikhlash dan memusnahkan pahala. Dia datang
seperti waswaasil khannas, syaithan yang datang secara rahasia,
bersembunyi di dasar hati, menyusup, dan menunggu kesempatan
baik serta kelengahan untuk membolak-balik niat, mengelabuinya,
menundukkannya, lalu akhirnya mendorong kejurang kesesatan.

Itulah cara kerja riya'. Sangat lihai, licin dan berbahaya.


Kalau dia telah menikam hati dan mengelabuinya, maka ibadah yang
semestinya hanya diniatkan untuk Allah semata membias, kabur,
bahkan hati meletup-letup, bersemangat, dan berharap-harap agar
amaliah ini secara zhohir dilihat oleh manusia. Maka dari niat
yang ikhlash tersimpangkan menjadi harapan untuk memamerkannya
kepada manusia, agar manusia melihat ibadahnya, demi sebingkai
pujian, demi sepenggal kehormatan, atau sejumput popularitas.

Domain riya' sebatas hati, refleksinya dalam amal, kecuali


Allah orang lain tak dapat tahu. Inilah syirik ashghor, syirik
kecil.

Imam al Ghazali membagi riya' dalam enam macam; riya' dari


badan; dalam tingkah-laku, dalam berpakaian, dalam ucapan, amal
dan dalam menunjukkan banyaknya murid. Riya' dapat muncul dalam
bentuk ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa dirinya pintar
dan banyak tahu tentang urusan agama. Bentuk ini adalah riya'
yang jelas dan dekat dengan sombong. Yang lebih tersamar lagi,
dia tidak ingin menunjukkan kepintarannya, serta ibadahnya namun
manakala orang lain tidak mengakui eksistensinya, kurang dihormati,
dia merasa heran mengapa orang lain bersikap seperti itu kepadanya.
Dia heran kenapa orang lain tidak tahu kemampuannya. Dia berupaya
bersembunyi-sembunyi untuk beramal, namun manakala orang lain
memergokinya hatinya gembira, lebih gembira ketimbang kepergok
binatang, bahkan berharap-harap agar ada orang yang memergokinya.

Jadi dari segi bentuk ada riya' yang jelas, riya' yang samar
dan riya' yang tersamar. Riya' yang jelas nampak manakala dalam
ibadah yang diketahui orang lain seseorang memperbagus tata-cara,
memperlama sujud dan ruku, seperti nampaknya khusyu', padahal
manakala sendiri dilakukannya ibadah itu secara cepat, enteng dan
memudahkan. Tanpa adanya riya' ini dia tidak dapat beramal seperti
itu, dan merasakan senang dalam beramal karenanya.

Riya' yang samar tidak mampu mewujudkan amal, namun dengannya


menambah semangat untuk beramal. Bila dia bertahajut dan kebetu-
lan ada tamu, bertambah-tambahlah semangatnya. Yang lebih samar
dari ini, adanya orang lain tak memberi semangat amalannya, namun
manakala ketika beramal terlihat oleh orang lain timbul rasa senang
dan puas.

Tingkat yang terakhir adalah riya' tersamar. Dalam tingkatan


ini tak ada rasa senang bila dipergoki sedang melakukan amaliah.
Namun dia merasa heran kalau orang lain bersikap berbeda dengan
apa yang dia harapkan. Heran kalau orang lain merendahkannya,
dan kurang menghormatinya. Kenapa heran ?

Itulah riya' yang sangat halus kerjanya, yang tak pernah dike-
tahui orang lain, namun sungguh berbahaya, dia mampu memberangus
ikhlash, menggeser pahala sampai zero point, dan menyisakan kesia-
siaan pada kita. Lalu kalau ini terjadi pada kita ?

Mari kita berlindung kepada Rabb manusia, Malik manusia, dan


ilah manusia dari godaan waswaasil khannas, yang datang menyelusup
menikam hati, yang membolak-balikan hati dan niat, yang memunculkan
riya'. Dialah satu-satunya Tempat berlindung dan sebaik-baiknya
Tempat berlindung.

Hasbunallah wani'mal wakil

wassalam,

------------
tarbiyah@isnet.org

TAKLIF
Alif Laam Mim.
Apakah manusia itu mengira,
bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan,
" Kami telah beriman ",
Sedang mereka tidak diuji lagi ?
Dan sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang sebelum mereka,
maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar,
dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta
(Al-Ankabut: 1-3)

Diantara manusia, yang imannya ada di pinggiran, dengan mudahnya


berkata, bahwa mereka telah beriman kepada Allah dan hari akhir,
padahal belum pernah datang kepada mereka cobaan.
Mereka mengira dirinya telah cukup ilmu dan pemahaman akan dien ini.
Mereka menduga kehidupan dan hari-hari yang mereka jalani sudah
sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, meski mereka tak pernah
berbuat apa-apa untuk dien Allah. Manusia-manusia ini menganggap,
bahwa pekerjaan mereka, diskusi-diskusi yang mereka lakukan, ilmu
pengetahuan yang mereka tekuni sudah cukup sebagai pengabdian mereka
kepada Zat Pencipta dirinya, meski apa yang mereka kerjakan, apa yang
mereka diskusikan, dan apa yang mereka tekuni tak pernah diacukan
dalam standar ilahi. Mereka mengira bahwa mereka turut membuat
kemaslahatan di Bumi dan turut menegakkan kalimat ilahi.
Manakala dikatakan kepada mereka, bahwa mereka belum beriman,
maka beranglah mereka. Mereka mengira iman adalah sesuatu yang
dapat dengan mudah diperkatakan, sesuatu yang cukup untuk didiskusi-
kan. Mereka mengira iman dapat tumbuh tanpa pembuktian, iman dapat
kokoh dalam dada tanpa ujian. Sungguh, kelirulah mereka.

Sejak manusia berikrar, bahwa tiada ilah selain Allah, maka


pada detik itu dia berpredikat mukallaf yang dituntut Allah untuk
menanggung beban da'wah (taklif). Ikrar menyatakan tiada yang
diikuti selain Allah, tiada yang ditakuti selain Allah, tiada yang
dicintai selain Allah berarti menyatakan kebulatan tekad untuk
siap menapaki jalan da'wah dan menanggung konsekuensi berdiri
di atasnya. Karena di balik ikrar adalah konsekuensi, dan
ikrar itu sendiri adalah bukti kesiapan menanggung konsekuensi.

Dengan menyatakan secara sadar, tiada ilah selain Allah, maka


seorang mukallaf siap menanggung beban untuk tunduk-patuh
terhadap hukum Allah dan membuang semua hukum yang tidak bersumber
kepada hukumNya. Dengan menyatakan sumpah ini, berarti seorang
manusia siap secara mental dan fisik untuk berjuang menegakkan
hukum Allah itu dan membangun masyarakat yang sesuai dan siap
diatur dengan hukum itu. Dengan menyatakan tiada ilah selain
Allah, maka seorang mukallaf berdiri di ujung permulaan jalan da'wah.
Dia tidak dapat lagi mundur berbalik atau sekedar menoleh masa
lalunya. Di hadapannya terbentang jalan panjang, sukar lagi mendaki.
Maka menyatakan keimanan kepada Allah dan RasulNya, tanpa pernah
menapaki jalan da'wah itu, menyatakan siap menerima peraturan
Allah sementara tetap asyik berharmoni dengan hukum-hukum taghut,
adalah sikap kepura-puraan yang keji, kedustaan besar. Islam tidak
memerlukan para pendusta. Jalan da'wah itu sendiri adalah taklif
yang akan menguji kualitas, yang akan memisahkan mana orang-orang
yang siddiq, yang benar persaksiannya, yang benar sumpahnya, dengan
para pendusta besar.

Dien yang mulia ini, agama yang Allah hanya ridha kepada-
nya, mensyaratkan kesiapan menanggung beban. Karena bukan saja
karakter jalan bersamanya penuh dengan onak dan duri, penderitaan
dan kesulitan, yang bahkan semua itu merupakan sunah ilahiyah yang
mewarnai sejarah awal perkembangan agama ini, tapi juga sifat taklif
itu sendiri bersumber pada sifat ubudiyah manusia kepada Allah
serta standar pembuktian keimanan.

Inilah watak agama Allah, dien yang Rasulullah Muhammad sampaikan


kepada kita, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi ni'mat,
jalan para shalihin, shiddiqiin dan para syuhada, jalan yang bermuara
pada satu titik pasti, mardhotillah.

Wallahu 'alam bishawab

Wassalam,

------------
tarbiyah@isnet.org

T A W A D L U'

" Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penya-
yang itu (ialah) orang yang berjalan di atas bumi
dengan RENDAH HATI dan apabila orang-orang yang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan " (Al Furqaan: 63)

Tawadlu', berendah hati adalah awal terbentuknya cinta


dan silaturakhim. Sikap ini muncul atas kesadaran diri,
betapa sebagai makhluk Allah, seorang Muslim terbatas dalam
banyak hal, termasuk juga ilmu pengetahuan. Allah lah Al Ilm,
Al Haq, sementara produk akal fikiran manusia hanyalah dzon,
dugaan, rekaan, hipotesis belaka. Allah lah sumber kebenaran,
sedang dari manusia datang kesalahan.
Maka dalam titik pandang ini adalah tidak pantas uzub,
sombong bagi seorang Muslim ketika berjalan di muka bumi ini.
Tak ada hujjah bagi seorang manusia untuk berlagak di hadapan
Allah. Karena dia hanyalah makhluk, hanya kreasi hasil cipta
Sang Khalik yang sarat dengan kelemahan, kealfaan dan keteri-
katan terhadap hawa nafsu. Dia hanyalah turunan Adam yang
tercipta dari tanah dan air. Sedang malaikat yang tercipta
dari nur sekalipun mensujudkan diri di hadapan Allah Rabbul
Izzati. Dia hanyalah makhluk yang hidup hanya karena rizki,
pertolongan Allah, dan kasih-sayangNya. Tanpa ini semua
manusia akan musnah dan binasa. Lalu pantaskah dia "mengang-
kat dada" di hadapan aturan, jalan hidup yang diturunkan Allah ?

Tawadlu', akhlaq ini muncul dari kefahaman, bahwa sebagai


seorang Muslim, belumlah tentu ia lebih baik dari saudaranya
yang lain. Bisa jadi saudaranya yang lain malah lebih mulia di mata
Allah ketimbang dirinya. Karena Allah lah Hakim Agung Yang Maha
Tahu.

Akhlaq ini muncul dari proses panjang penyerapan ilmu


yang haq, pemahaman mendalam hakekat jalan hidup Rabbani dan
semangat yang terus merekah untuk membumikan nilai-nilai "langit".
Dia muncul dari kematangan jiwa, tempaan tarbiyah, keuletan takwiniyah
(pembinaan), dan kemampuan penuh menundukkan ego dan hawa nafsu.

Maka, dalam semangat dien ini, tawadlu' adalah pertanda


kefahaman akan hahekat dienullah dan bukan kebodohan, ia per-
tanda keluasan ilmu dan bukan kesempitan hawa nafsu, dia lam-
bang kedalaman aqidah dan bukan ketakutan kronis terhadap ke-
kuasaan. Maka tawadlu' adalah buah manis keimanan. Yang demi-
kian manis sehingga bersamanya setiap Muslim merendahkan diri
terhadap aturan Allah, terikat dan mengikatkan diri pada jalan
hidup yang dituntunkan Allah kepadanya, di dalamnya pengakuan
betapa syamil dan kamilnya (sempurna dan terpadunya) al islam
diikrarkan, dalam tuntunannya amaliah dan harokah dipersembah-
kan. Karena seorang Muslim sejati memahami tawadlu' bukanlah
sifat yang lemah, tetapi kemuliaan, sifat dari hamba-hamba
Allah yang baik, sifat dari hamba-hamba Allah pilihan.

Maka bila matahari keimanan bersinar dan tawadlu' mewujud


dalam akhlaq islami, maka pancarannya adalah keterikatan hati
sesama muslim, saling mema'afkan atas kesalahan, rasa kasih-
sayang dan cinta. Bahkan sekalipun orang-orang jahil (bodoh)
menyapa mereka, mereka akan membalas sapaan itu dengan lemah-
lembut dan dengan ucapan-ucapan yang mengandung keselamatan.
Apabila orang-orang jahil mendebatnya maka mereka akan mendebat
dengan cara yang baik. Karena kejahilan hanya sirna dengan ke-
benaran, dan kebenaran makin bersinar dengan tawadlu'.
Inilah dienullah yang mengagumkan, yang memancarkan keren-
dahan hati penganutnya, yang memancarkan kasih-sayang dan izzah
(kebanggaan). Agama yang lurus, agama yang diridhai Allah,
agama yang mengantarkan keselamatan dunia dan akhirat.

Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

Wassalam,

------------
tarbiyah@isnet.org

SABAR

Ibnu Mas'ud R.A. berkata: Seolah-olah saya masih me-


lihat pada Rasulullah SAW ketika mencontohkan kejadi-
an seorang Nabi yang dianiya kaumnya hingga berlumu-
ran darah, sambil mengusap darah dari mukanya berkata
ALLAHUMAGHFIR LIQOUMI FA INNAHUM LA YA'LAMUN (ya Allah
ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui).
(H.R Bukhari, Muslim)

Sabar adalah sepenggal kata yang sering diucap dan enteng


untuk dituturkan, namun dengan konsekuensi yang luar biasa
berat. Sabar lebih sebagai sebuah hasil tempaan panjang tak-
winniyah ketimbang sebuah bekal untuk belajar. Dia wujud ka-
rena kematangan fikrah dan kelembutan khusyu'. Dia adalah
sebuah karakter yang diidamkan, kokoh, ibarat karang di tengah
gelombang pasang. Ibarat black hole yang menyerap semua sinar
tanpa membuatnya kehilangan pegangan. Maka Allah bersama
orang-orang yang sabar. Maka Nabi-nabi Allah selalu dengan
kesabaran. Tanpa akhlaq islami ini da'wah islamiah tak akan
tegak.

Tanpa sabar al Haq tak dapat ditegakkan. Karena, jalan


bersama al haq, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi
ni'mat, jalan para Nabi, Shiiddiqiin, syuhada dan shalihiin,
jalan ketaqwaan adalah jalan yang sukar lagi mendaki, jalan
yang penuh celaan dari orang-orang yang suka mencela, jalan penuh
hasutan dari orang-orang yang suka menghasut, jalan yang penuh
hinaan dari orang-orang yang suka menghina, jalan penuh fitnah,
teror, interogasi dan intimidasi. Tanpa sabar jalan yang mendaki
menjadi lebih mendaki dan tak dapat dilalui.

Rasulullah saat di Tha'if berlumuran darah dilempari batu,


begitu juga Nabi-nabi lain, karena kaumnya belum faham, tidak
tahu kebenaran Allah, mereka jahil. Kalau saja mereka tahu,
mereka faham, maka mereka akan lebih banyak menangis karena
kesalahan-kesalahan mereka. Apa yang harus dilakukan untuk
mereka yang tidak tahu, selain memohonkan pengampunan pada Sang
Khalik ?

Memasukkan kebenaran ke dalam kepala, hati lalu mewujud


dalam amaliah seseorang mad'u, bukanlah pekerjaan sederhana.
Ini adalah pekerjaan para anbiya, makhluk pilihan Allah. Coba
kita bermuhasabah, baru saja perkataan kita disinggung saudara
kita, ditanggapi dengan sedikit sinis atau dibiarkan, segenap
ketersinggungan meluncur, meluap, lalu kita serang mereka
yang bersinis-sinis kepada kita dengan kata-kata tajam-menusuk
jantung. Baru saja nasehat-nasehat kita dibalas dengan canda,
dibalas dengan tawa, dibalas dengan olok-olok, segera saja
segenap kebencian melanda. Belum lagi menghadapi fikrah rekan-
rekan yang lain, yang tidak sama dengan kita, yang nampak kacau
yang merugikkan, yang nampak munafiq, segenap kebencian penuh
menghiasi layar kaca. Setumpuk buruk sangka menghiasi muka.
Lalu dimana letak sabar ? Akankah kebenaran merasuk dalam hati
rekan-rekan yang kepada mereka ingin kita sampaikan kebenaran,
dengan tetap memelihara ketidaksabaran ? Apakah kita menganggap
orang lain segera akan menerima kata-kata kita, meresapinya, lalu
mengamalkannya, dengan sangat mudahnya ? Apakah kita berharap
masuk surga, padahal belum datang cobaan kepada kita sebagaimana
cobaan datang kepada mereka yang terdahulu ? Astaghfirullah,
kita sering bermimpi. Kita sering bermimpi.

Inilah sabar. Dia muncul dari proses panjang pembinaan pribadi.


Dia mesti mewujud, memancarkan sinar, melembutkan hati-hati yang
memandangnya.

Hasbunallah wani'mal wakil

wassalam,

------------
tarbiyah@isnet.org

AMANAH

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanah


kepada yang berhak" (An-Nisa: 58)

Menunaikan amanah adalah salah satu PERINTAH Allah,


yang WAJIB untuk dilaksanakan dan dalam surat Al Mu'minuun
dijanjikan Allah dengan surga sebagai balasan bagi mereka
yang berlaku amanah.

Amanah adalah nilai fitri, yang setiap hati merah manusia,


baik Muslim ataupun kafir mengakuinya. Inilah ciri akhlaq
islami, ciri yang tak dipunyai kaum munafiq. Rasulullah
bersabda; Ciri munafiq itu ada 3, jika bicara dia berdusta,
jika berjanji dia ingkar, jika dipercaya dia berkhianat
(H.R. Bukhari, Muslim).

Di awal masa tegaknya risalah Allah ini, Rasulullah


Muhammad telah mencontohkan keharusan menegakkan amanah.
Meski dalam keadaan sulit, sehubungan dengan persiapan hijrah
ke Madinah, Rasulullah tetap menjaga amanah dan mengembalikan
barang-barang yang dititipkan kepada beliau melalui Ali. R.A.
Di tengah kondisi yang terjepit dan mendapat incaran para
pembunuh bayaran, menjaga dan mengembalikan barang yang di-
amanahkan orang lain tetap merupakan hal yang utama.

Inilah diinul Islam. Dia tegak di atas sendi-sendi aturan


"langit", di atas nilai-nilai luhur, dan berkembang dalam basis
fitri kemanusiaan. Apalah artinya hijrah kalau amanah dilanggar;
apalah artinya persiapan teliti untuk suatu perjuangan islam
kalau amanah diabaikan ? Sesungguhnya Islam tegak dan ditegakkan
untuk dan melalui nilai-nilai luhur yang datang dari Allah, bukan
menegakkan kekuasaan untuk kekuasaan. Dan bukan pula meraih ke-
kuasaan dahulu baru menegakkan nilai-nilai samawi. Sejak panji
risalah ini dikibarkan, maka nilai-nilai "langit" ditegakkan
di bumi dengan kekuasaan ataupun tidak. Karenanya dalam
titik ini, menegakkan amanah, menegakkan satu nilai islami dalam
diri seorang Muslim berarti menegakkan Islam dan memancarkan
keharumannya. Inilah agama yang lurus.

Islam adalah agama yang mulia. Hanya dengan kemuliaan


dia ditegakkan dan untuk kemuliaan dia tegak.
Hanya orang-orang yang berhati mulia ikut dalam barisannya
dan tidak untuk mereka yang munafiq. Maka dalam pemahaman
aqidah ini kekuasaan hanyalah alat bukan tujuan,
perangkat kekuasaan dan politik adalah sarana bukan ghoyyah.
Qiadah (kepemimpinan) muncul dari tegaknya nilai-nilai islami
dalam dada setiap Muslim, dan nilai-nilai itu yang ingin ditegak-
kan dengan ataupun tanpa kekuasaan dan perangkatnya. Sesungguh-
nya qiadah itu akan muncul dengan sendirinya, manakala kondisi
islami telah tercipta. Ibarat buah, manakala tepung sari sudah
menempel pada putik, secara alamiah sunatullah, buah akan mun-
cul perlahan tapi pasti. Inilah diinul islam dengan misi tunggal
rahmattan lil alamiin.

Hasbunallah wa ni'mal wakiil.


Wassalam,

------------
tarbiyah@isnet.org

A D I L

" Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi


orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) kare-
na Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendo-
rong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah,
karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaq-
walah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengeta-
hui apa yang kamu kerjakan ". (Al Maidah: 8)

Setelah jatuhnya negeri Saamarkand kepangkuan Islam me-


lalui Panglima Qutaibah bin Muslim, para rahib Saamarkand
yang tak senang, melalui seorang utusan, mengadu kepada
Amirul Mu'minin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Alasannya,
Panglima perang tanpa memberikan pilihan dan da'wah telah
menyerang dan menaklukkan mereka. Utusan diterima khalifah,
dan ditulislah surat kepada Gubernur Saamarkand agar mengadakan
pengadilan untuk menyelesaikan masalah itu.

Para rahib Saamarkand manakala mengetahui isi surat kha-


lifah langsung pucat pasi, fajar harapan pupus. Mereka me-
ngira Raja yang adil itu telah memutuskan segalanya dan mem-
bela mereka. Ternyata yang ada hanyalah sebuah pengadilan.
Adakah arti sebuah pengadilan, sebagai institusi keadilan, kalau
rodanya dijalankan fihak kuat dan fihak terdakwa menjadi hakim.
Masih adakah keadilan, adakah harapan menang ?

Akhirnya hari pengadilan pun datang. Semua fihak telah


siap. Duduk bersila, di tengah, qadli Jami bin Hadlir al Baji,
yang dipilih oleh gubernur. Kecut hati para rahib memandang qadli
kurus, bermuka pucat dan bersorban lusuh, tak ada harapan menang
melihat qadli yang nampaknya lemah juga pilihan gubernur, pilihan
terdakwa. Gubernur dan ketua rahib dipanggil namanya tanpa embel-
embel oleh pembantu qadli untuk menghadap.

"Apa yang anda adukan ?", tanya qadli pada ketua rahib, dengan
suara tegas. "Sesungguhnya Panglima Qutaibah telah mencaplok negeri
kami, dia merebutnya tanpa memberikan pilihan atau da'wah terlebih
dahulu pada kami". Qadli menoleh pada gubernur seraya bertanya,
"Bagaimana tanggapan anda ? Apakah terlebih dahulu anda tawar-
kan 3 pilihan; masuk islam, bayar jizyah, atau perang ?".
"Tidak", jawab gubernur. "Kalau begitu anda telah mengaku",kata
qadli. "Sesungguhnya Allah hanyalah memberikan kemenangan kepa-
da ummat ini jika mereka mengikuti Allah dan RasulNya dan men-
jauhi penghianatan terhadap siapapun. Demi Allah kita keluar
dari rumah masing-masing hanyalah untuk satu tujuan: jihad fi
sabilillah. Kita tidak keluar untuk menguasai dunia dengan
cara yang bathil. Maka aku putuskan: kaum Muslimin harus me-
ninggalkan negeri ini, setelah itu baru kaum Muslimin menga-
jak mereka kepada islam, kalau menolak mereka harus membayar
jizyah dan keamanan mereka dijamin, kalau masih tetap menolak
maka maklumatkanlah perang".

Para rahib Saamarkand setengah percaya, seperti mimpi mende-


ngar keputusan qadli kurus yang berwibawa. Mereka melongo,
terkesima manakala bunyi terompet pasukan kaum Muslimin segera
akan meninggalkan negeri mereka. Mereka membayangkan dunia
mereka yang sempit, papa, penuh kelicikan, dan kecurangan, se-
dang dunia islam luas, subur, semarak, indah dengan keadilan,
kemuliaan dan ketaatan pada hukum Allah. Apa yang bisa dibang-
gakan dari dunia mereka yang gelap dan mencekam ? Keraguan me-
nusuk sangat dada para rahib Saamarkand.

"Bagaimana pendapat kalian kalau pasukan kaum Muslimin kem-


bali lagi ?", tanya ketua rahib pada penduduk. Tanpa menunggu
pertanyaan diulang serentak mereka menjawab, "Kami akan masuk
islam yang agung dan penuh keadilan". Mereka mencegah kepergian
pasukan kaum Muslimin dan berharap kaum Muslimin membantu mere-
kan untuk membangun negeri Saamarkand dan meneranginya dengan
cahaya Islam. Sungguh keadilan Islam telah menyinari hati mere-
ka.

Inilah dien, yang lurus, ditegakkan dengan nilai "langit" yang


luhur, dan tegak untuk nilai itu. Kemenangan, kekuasaan bukanlah
tujuan. Sabilillah adalah jalan untuk menegakkan nilai bukan un-
tuk menegakkan pengaruh dan kekuasaan. Maka melanggar keadilan,
melanggar aturan Allah dan RasulNya untuk menegakkan islam sama-
lah artinya dengan membangun masjid dari uang judi; tak dipandang
manusia apalagi oleh Allah Yang Maha Mengetahui setiap amaliah
manusia.

Keadilan. Inilah ciri akhlaq islami yang menerangi hati dan


meyelamatkannya dari kesempitan dan ketakutan. Yang mesti diber-
lakukan meski kepada kaum yang kita benci. Berlaku adil bukanlah
karena ia ditujukan untuk orang yang kita suka, untuk sesama Mus-
lim, tetapi karena ia sebuah nilai hidup yang mesti di kejawan-
tahkan baik terhadap kawan atau lawan. Suatu nilai islami yang
Allah turunkan sebagai pedoman hidup kaum Muslimin. Justru
cahaya adil memancar terang manakala orang yang kita benci seka-
lipun menerima keadilan dari kita. Inilah islam, dien Allah yang
mengagumkan.
Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

Wassalam,

------------
tarbiyah@isnet.org

AKHLAQ ISLAMI

" Sesungguhnya orang yang sangat saya kasihi


dan terdekat denganku pada hari kiamat adalah
orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang
sangat aku benci dan terjauh dariku pada hari
kiamat adalah yang banyak bicara, sombong dalam
pembicaraannya dan berlagak menunjukkan kepandai-
annya" (H.R At Tirmidzi).

Membaca tuntas hadits ini sejumput rasa menusuk dalam,


mengajak hati untuk bermuhasabah. Tidakkah kita termasuk
orang yang banyak bicara dan berlagak menunjukkan kepan-
daian ? Tidakkah rasa angkuh meluncur mudah, terselip
dalam setiap kata, penampilan kita, atau tingkah kita ?
Bila jawabnya "ya", astaghfirullah, Rasulullah akan sangat
membenci kita, akan menjauh dari kita pada hari dimana
Pengadilan Besar akan dijalankan, pada hari dimana setiap
hati menjawab apa adanya, pada hari dimana panji islam
dan penganutnya berbaris gembira menuju jannah.

Dalam diinul Islam, dalam dien yang kita rela mati di


dalamnya, dalam aturan hidup yang telah kita ikrarkan janji
untuk menapakinya, dalam agama yang lurus dan diridhaiNya,
akhlaq adalah fondasi yang luar biasa penting. Demikian
pentingnya sehingga, tidaklah diutus Rasulullah selain untuk
memperbaiki akhlaq manusia. Ibarat tubuh manusia, akhlaq
adalah ruh yang mewarnai segala aspek hidup dan kehidupan
manusia.

Kekuatan dan ketangkasan gerak, kemampuan terobosan dan


kecemerlangan pemikiran seorang Muslim, manakala tidak dibalut
dengan budi pekerti, akhlaqul kharimah, maka bisa jadi amala-
nya akan menjadi buih, tak ada manfaat bagi manusia, apalagi
di hadapan Allah Yang Maha Mulia. Atraksi intelektual, akrobat
kata-kata dan sirkus retorika bisa jadi malah berubah menjadi
bumerang yang siap memenggal leher sendiri. Membuahkan rasa
benci pada Muslim lainnya dan bukan membuat mereka tambah ber-
kasih sayang, ingat-mengingati tentang al Haq dengan kesabaran.

Manakala rasa, "sayalah yang paling tahu" muncul di hati


seorang Muslim, maka pada detik itu juga al Haq menjauh dari
lidahnya, pergi membekaskan kekosongan, kering dan pahit bagi
hati orang lain yang mendengar.

Maka tak perlu dipertanyakan lagi betapa akhlaq yang mulia


mutlak diperlukan dan harus kita miliki, apalagi kalau hati
ini sudah terikat dengan jalan yang Allah gariskan, sudah
terpincut pada perjuangan menegakkan kalimahNya, sudah berikrar
hidup dan mati, cinta dan benci hanya untuk menapaki jalan
ketaqwaan, jalan para anbiya dan mursalin, para syuhada dan
shidiiqiin. Tanpa ini harakah islamiyah tak akan dapat digulirkan
secara manhaji, tak akan terbimbing oleh "tangan"-Nya, dan tak
akan sampai pada tujuan yang telah diskenariokanNya.

Namun memperoleh akhlaq islami sesulit menapaki jalan yang


dicontohkan para Nabi, tak semudah mengatakan dan mendiskusikan-
nya. Ia hasil perjuangan hati dan kesabaran, hasil suatu latihan
dan pembinaan, hasil dari kesungguhan tekad dan ketulusan niat.
Karenanya tak heran kalau Nabi bersabda;

"Tak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang


mu'minin di hari kiamat daripada husnul khulq (akhlaq)"
H.R At Tirmidzi

Akhlaqul kharimah sangat tinggi balasannya, kedekatan dan rasa


kasih Rasulullah. Siapa yang tidak ingin dekat dan dikasihi
Rasulullah, pujaan, uswatun khasanah, penyampai sehingga islam
kita terima dan kita syukuri sebagai dien kita ?
Lalu bagaimana cara menumbuh-suburkan akhlaq islami ? Pertanyaan
inilah yang pertama mesti kita dalami.

Hasbunallah wani'mal wakiil.

wassalam,

------------
tarbiyah@isnet.org

ISTIGHFAR

"Tsakilatka ummuk," kata 'Ali bin Abi Thalib ketika berjumpa dengan
seorang yang berkata astaghfirullah. Ucapan itu secara harfiah berarti
ibumu pantas menangisimu atau alangkah baik-nya bila ibumu dulu kehilangan
kamu. Secara idiomatis, perkataan itu diucapkan kepada orang yang berbuat
kekeliruan atau menderita kemalangan. Amat mengherankan 'Ali mengucapkan
kata itu untuk orang yang membaca istighfar. Bukankah kita harus menghargai
orang yang bertobat, apalagi bila yang bertobat itu bekas parampok besar
atau penjarah bangsa? Kita menghardik siapa saja yang menghujat pemimpin
yang sudah bertobat. Kita menganggap tidak etis atau tidak sesuai dengan
norma ketimuran untuk menuntut kekayaan orang yang sudah beristighfar.

Tetapi 'Ali menyesalkan orang yang mengucapkan istighfar. Apakah 'Ali, yang
terkenal sebagai pemimpin yang bijak, tidak etis? Dengarkan penjelasannya,
"Kamu tidak tahu apa makna astaghfirullah. Astaghfirullah dimaksudkan bagi
orang-orang yang berkedudukan tinggi. Kata itu berdiri di atas enam
topangan. Yang pertama adalah penyesalan untuk perbuatan salah yang sudah
dilakukan; kedua, bertekad sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan
yang salah; ketiga, mengembalikan hak-hak manusia yang sudah kamu rampas
supaya kamu meng-hadap Allah dengan bersih tanpa ada satu pun kezaliman
yang dipertanggung-jawabkan; keempat, kamu ganti kewajiban yang sudah kamu
abaikan sehingga kamu berlaku adil atasnya; kelima, berkenaan dengan daging
tubuhmu.yang tumbuh dari rezeki haram, hilangkan daging itu dengan
kesedihan sampai kulit menyentuh tulang. Setelah itu, tumbuhkan daging baru
dengan rezeki yang halal; keenam, usahakan agar tubuhmu merasakan pedihnya
ketaatan sebagaimana dahulu tubuh yang sama merasakan lezatnya kemaksiatan.
Setelah itu, ucapkanlah astaghfirullah."

Istighfar artinya permohonan maaf kepada Allah atas dosa-dosa yang -pernah
kita lakukan, baik berkenaan dengan kewajiban kepada manusia maupun
kewajiban kita kepada Tuhan. Kita dengan gampang mengasumsikan bahwa
istighfar adalah "pemutihan". Dengan istighfar, Tuhan mengampuni semuanya.
Tsakilatka ummuk bila orang bisa lobs dari hukum hanya dengan sepatah kata
saja. Tertipulah orang yang segera memberi penghargaan -kepada penjahat
yang sudah mengucapkan patahan kata itu.

Istighfar harus dimulai dengan penyesalan. Penyesalan adalah pengakuan


-dosa dan permohonan maaf kepada pihak yang hak-haknya kita langgar. Kepada
Tuhan, kita ungkapkan penye-salan dengan merebahkan diri kita di
hadapan-Nya sambil menangis. -Kepada hamba-hamba-Nya; kita harus mengaku
terus terang -segala kesalahan yang kita lakukan. Kita minta maaf dengan
sungguh-sungguh. Untuk tahap ini saja, betapa sedikitnya di-antara kita
yang sanggup melakukannya.

Tahap yang paling berat untuk orang atau institusi yang melakukan kesalahan
adalah penyesalan dengan meminta maaf. Per-nahkah kita dengar permohonan
maaf dari orang-orang yang berkuasa, betapapun banyak bukti dionggokkan
tentang -kesalahan mereka? Pernah, tetapi penguasa di luar negeri, menurut
berita di media. Di Australia, seorang pejabat penting bunuh diri karena ia
keliru menggunakan uang SPJ untuk kepentingan pribadinya. Di Jepang,
seorang Menteri Perhubungan mengundurkan din karena tidak berhasil menjaga
keselamatan penerbangan. Di kota-kota kecil, di seberang Atlantik, wali
kota meminta maaf bila ada kerugian yang diderita warga akibat kebijakan
yang salah.

Di negeri kita, ABRI segan meminta maaf bila oknum-oknumnya menculik atau
melakukan kesalahan prosedur. Petugas keamanan tak pernah minta maaf bila
ia gagal menjaga ke-amanan penduduk. Wali kota tak pernah minta maaf bila
kebi-jakannya menyusahkan warganya. Dan presiden tak boleh kita tuntut
untuk minta maaf bila pemerintahannya telah menyeng-sarakan kita.

Tahap kedua adalah tidak boleh mengulangi lagi kesalahan yang sama. Tuhan
tidak akan memaafkan pemerintah Indonesia yang sesudah reformasi masih juga
memberikan surat sakti untuk proyek-proyek pertambangan atau menyalurkan
dana IMF secara sembunyi-sembunyi.

Pada tahap berikutnya, orang yang sudah melanggar hak orang lain harus
mengembalikan hak yang dilanggarnya. Yang sudah menjarah harta rakyat harus
mengembalikan lagi semua hasil jarahannya. Yang pernah menculik harus
mengembalikan orang yang diculiknya. Yang suka membodohi rakyat dengan
manipulasi informasi harus memberikan informasi yang benar. Yang pernah
mengadu domba harus mendamaikan lagi yang bertengkar. Yang pernah memfitnah
harus merehabilitasi kehormatan orang yang terfitnah. Yang pernah
merugikan orang lain harus mengganti kerugian itu.

Pada tahap keempat, para pendosa harus memenuhi kewajiban yang pernah
diabaikannya. Petugas keamanan harus melindungi rakyat setelah sekian lama
mencengkeram mereka dengan ketakutan. Pemerintah harus menggunakan kekayaan
negara untuk kemakmuran rakyat setelah sekian lama menggunakannya untuk
memakmuran pejabat dan keluarganya. Pengusaha harus membagikan keuntungan
perusahaan kepada masyarakat dengan mensejahterakan mereka setelah sekian
lama menindasnya. Para perusak lingkungan harus memperbaiki lingkungan
setelah lama menghancurkannya. Para pemerkosa harus mengganti segala
kerugian material dan nonmaterial yang diderita korban.

Pada dua tahap terakhir; perut Anda yang kembung dari barang haram harus
dikempiskan; tubuh Anda yang gemuk hasil KKN harus Anda kuruskan. Mulailah
hidup de-ngan yang halal. Rasakan susahnya menjalankan kewaj-iban Anda
kepada Tuhan dan kepada sesama manusia setelah Anda merasakan kelezatan
melanggar kewajiban itu. Payahkan diri Anda -untuk berkhidmat kepada rakyat
karena jabatan Anda setelah Anda merasakan kesenangan memanfaatkan
fasi-litas itu. Setelah semua tahapan ini Anda lalui, barulah Anda
mengucapkan astaghfirullah.

BOHONG

Bila anda ingin sukses sebagai pemimpin, atau anda ingin meraih
keuntungan baik keuntungan secara ekonomis ataupun politis, hanya
ada satu kunci sukses: berbohong!

Machiavelli mengingatkan kita semua, 'Buat seorang penipu ulung,


selalu ada banyak orang yang siap ditipu.' Menipu dan berbohong
adalah tekhnik yang paling efektif dalam menguasai massa. Bila anda
bisa menang dengan menipu, lakukan tipuan. Bila dengan kejujuran anda
kalah, campakkan kejujuran tersebut.

Namun apa sebenarnya kebohongan itu? Sissela Bok memberi definis


yang bagus. Kebohongan adalah mengkomunikasikan pesan yang dimaksudkan
untuk menyesatkan orang lain, untuk membuat orang lain itu percaya apa
yang kita sendiri tidak percayai. Kebohongan bukan saja misinformasi
tetapi juga meliputi segala pernyataan atau perbuatan yang direkayasa
untuk menyesatkan, mengecoh atau membingungkan.

Lebih celaka lagi, bagi penganut mazhab berbohong ini, kebenaran


adalah kebohongan yang terus menerus diulang dan diceritakan ribuan
kali. Orang yang berbuat bohong selalu menciptakan ribuan skenario.
Bila satu skenario gagal, diciptakanlah skenario baru. Begitu seterusnya.
Kebohongan memang hanya dapat dipertahankan dengan kebohongan lagi. Bila
anda ingin berbohong, ulangi dusta itu ribuan kali. Nati anda akan
takjub bahwa orang-orang akan menganggap itulah kebenaran.

Namun mengapa orang harus berbohong? Orang berbohong biasanya disebabkan


tiga hal, yaitu kebiasaan, kerakusan dan kedengkian. Satu saja sebab ini
ada pada diri kita, dapat dipastikan kita pasti gemar berbohong.

Jikalau ada anak dibesarkan dalam keluarga yang biasa berbohong, dia
akan tumbuh sebagai pembohong nantinya. Jikalau sepasang suami isteri
biasa berbohong pada sejawatnya, satu waktu nanti diantara suami-isteri
pun akan saling membohongi. Kerakusan kita terhadap apa saja, baik itu
jabatan, uang ataupun kenikmatan duniawi lainnya, akan membuat kita
sadar atau tidak sadar menjadi pembohong kelas berat. Kedengkian,
berbarengan dengan permusuhan kepada golongan lain, mendorong orang
untuk menjatuhkan orang lain itu dengan kebohongan.

Kepada mereka yang suka berbohong, cukuplah tiga ayat


berikut ini:
"....Sesungguhnya Allah tak akan memberikan petunjuk
kepada orang yang keterlaluan dan suka berbohong (QS 40:28);
Kecelakaanlah bagi setiap pembohong yang berdosa (QS45:17);
Sesungguhnya yang berbuat bohong itu hanyalah orang-orang
yang tidak percaya kepada ayat-ayat Allah....(QS 16:105).

Nabi yang mulia mengingatkan para pendusta, 'Pengkhianatan yang paling


besar ialah engkau memberi informasi kepada saudaramu, yang informasi
itu mereka percayai, padahal engkau sendiri berdusta
(Bukhari dan Abu Dawud).

Kepada mereka yang sering berbohong, ada baiknya kita sampaikan bahwa
lambat laun orang akan menyadari dan mencium aroma dusta di lidah anda.
Perlahan tapi pasti, setiap orang akan mendeteksi kebohongan anda. Di
saat itu terjadi, anda akan terkejut menyadari betapa sempitnya dunia
ini ketika semua orang mengetahui kebohongan anda. Yang anda bisa lakukan
hanyalah berhenti dan bertobat, atau mencari mangsa baru yang belum tahu
siapa anda. Beruntunglah anda bila memilih yang pertama, dan celakalah
anda bila anda masih saja mencari mangsa baru.

Lebih celaka lagi, adalah mereka yang selalu menjadi korban kebohongan,
namun tidak sadar dan terus memilih anda sebagai pemimpinnya dan selalu
menyediakan ruang bagi anda untuk terus berbohong.

Muslim yang baik, tak akan jatuh dua kali pada lubang yang sama.

Menolak Perintah Allah

Apa dosa iblis sampai ia dikutuk Allah dan dilarang masuk


surga? Kita tahu jawabannya: iblis menolak perintah Allah
untuk bersujud kepada Adam. Apa dosa Adam sehingga
ia diusir dari surga? Kita tahu jawabannya: Adam melanggar
larangan Allah untuk tidak memakan buah khuldi.

Yang mengherankan kita adalah kenapa nasib Adam berbeda


dengan nasib iblis? Bukankah keduanya berbuat dosa? Namun
mengapa pada kasus Adam, Allah berkenan memaafkan Adam
sedangkan pada kasus iblis, Allah melaknat iblis?

Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam "al-Fawaid" mencoba menghilangkan


rasa heran kita. Bagi murid Ibn Taimiyah ini, terdapat
perbedaan filosofi antara "menolak perintah Allah" dengan
"melanggar larangan Allah". Iblis menolak perintah Allah
karena kesombongan dirinya yang merasa lebih unggul
dari Adam. Sedangkan Adam melanggar larangan
Allah karena dorongan nafsu.

Kesombongan berakibat fatal. Hadis Nabi mengatakan, "Tidak akan


masuk surga orang yang dihatinya ada sebesar dzarrah (biji sawi)
dari sifat sombong." Al-Qur'an melukiskan sifat iblis dengan
"....ia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang kafir" (QS 2: 34)

Pada kasus Adam, dorongan hawa nafsu yang dimilikinya membuat


ia "tergelincir" namun ketika ia sadar akibat buruk perbuatannya,
ia langsung memohon ampunan Allah. Ini menunjukkan hawa nafsu
manusia bisa cepat dipadamkan dan manusia tak segan meminta maaf
kepada Allah.

Kesombongan rupanya jauh lebih berbahaya daripada godaan


hawa nafsu. Kesombongan sulit dilenyapkan. Efek sombong
membuat Allah murka. Kesombongan membuat kita enggan
mengakui kesalahan kita. Alih-alih menyadari kekeliruan
yang kita perbuat, kita malah sibuk mencari pembenaran
rasional atas kesalahan kita. Na¹udzubillah....

Tengoklah diri kita. Ketika kita tidak melakukan perintah Allah,


dan melanggar larangan-Nya, apakah itu kita lakukan karena kita
sombong? Moga-moga tidak!

Tengok diri kita sekali lagi, apakah kita sering menganggap


diri kita lebih spesial dibanding orang lain? Apakah kita
sering merasa lebih paham tentang Islam dibanding
saudara-saudara kita? Apakah kita merasa harus
mendapat ³hak khusus² ketika melanggar suatu aturan ?
Apakah kita sudah merasa bakal masuk surga dan menganggap
orang lain bakal masuk neraka? Apa dorongan hati kita
ketika kita tebar tuduhan sesat, bid¹ah, atau kafir
kepada saudara-saudara kita se-Islam, yang kebetulan
berbeda pemahaman keislamannya dengan kita?

Buka cermin hati kita. Ketika kita hamburkan emosi kita


menanggapi pendapat orang lain yang berbeda dengan kita,
apakah itu didorong oleh perasaaan bahwa lawan diskusi
kita tidak mengerti tentang topik diskusi sehingga
hanya kitalah yang paham akan topik tersebut. Kitalah
yang selalu benar; dan yang lain cenderung selalu salah.
Jika ini yang ada di hati, maka berhati-hatilah
karena kita sudah ³diperbudak² oleh kesombongan kita.

Ketika kita kecam pendapat ulama yang kebetulan berbeda


dengan kita, apakah itu karena kita merasa lebih
tahu dari ulama itu? Ketika hati kita menjerit,
³Aku lebih objektif karena aku jauh dari istana,
sedangkan ulama itu menjual ayat ilahi karena sering
sowan ke istana,² ingatlah kisah iblis ketika dia
berkata, ³Aku dicipta dari api karena itu aku lebih
tinggi dari Adam yang dicipta dari tanah!² Padahal
disisi Allah, ketakwaan adalah ukuran-Nya;
bukan soal tanah-api, tidak juga soal istana atau gubuk.

Ketika kita berhasil menumbangkan sebuah rejim, apakah


kita berhak menepuk dada atas usaha kita dan menganggap
orang lain sebagai oportunis dan pahlawan kesiangan?
Moga-moga tidak! Namun, apakah kita merasa lebih ³islami²
dengan pihak lain hanya karena kita atau partai kita
memuat simbol keislaman, sementara yang lain konon hanya
menekankan pada ³substansi² semata; bukan ³simbol²?
Pada akhirnya, apakah kita tolak perintah Allah untuk
menjaga ukhuwah dan saling berkasih sayang dengan saudara
kita hanya karena ³baju² kita berbeda?
Kubur rasa sombong, pendam nafsu kita dan jangan tolak
perintah Allah! Jadilah Adam, yang merintih memohon
ampunan Ilahi; jangan jadi Iblis yang takabur dan sombong!
Akhlak yang baik

Segala puji bagi Allah, Rab Yang Maha Suci dan Maha Agung,

Sahabat-sahabat muslimin dan muslimat peserta diskusi isnet,

Allah telah menurunkan ayat-ayat yang berisi aturan-aturan untuk pembinaan


budi pekerti, ditambah lagi Dia mengutus Rasulullah untuk memperbaiki akhlak
umat manusia di bumi ini.

Diantara akhlak yang baik yang diajarkan oleh Allah kepada manusia adalah:

***16:90***
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Selalu berbuat adil, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
Dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat baik harta maupun
nasihat, tidak melakukan perbuatan keji kepada siapapun, tidak melakukan
kemungkaran dan permusuhan apalagi dengan sesama muslim.

***3:159***
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Kita harus bersikap lemah lembut kepada siapapun, agar kita tidak dijauhi
oleh teman-teman kita, bahkan mungkin tidak menunjukkan kepada orang non
muslim sifat-sifat yang baik yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Apabila
kita melihat kemungkaran, dan mereka tidak mau diperingatkan kita
dianjurkan mema'afkan mereka, bahkan dianjurkan memohon ampunan bagi mereka.

Begitu pula apabila ada berita yang kita terima, hendaknya berita tersebut
kita teliti dengan baik, agar kita tidak menimpakan musibah bagi suatu
kelompok masyarakat atau kaum.

***49:6***
6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Kita diperingatkan kepada akhlak tinggi yang dimiliki oleh Ibrahim, Ishaq
dan Ya'qub, serta para rasul lainnya.

***38:45***
45. Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub
yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang
tinggi.
***38:46***
46. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan
(menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu
selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.

Penghujatan terhadap seseorang bukanlah akhlak yang dianjurkan oleh Allah:

***49:12***
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Kita sering membaca di dalam surat-surat kabar, bahkan di dalam mimbar ini,
bahwa orang-orang muslim dihujat oleh saudara-saudaranya. Bahkan dalam
hujatan tersebut kadang-kadang penuh dengan prasangka, emosionil dan jauh
dari syari'ah Islam yang ada.

Tidak jarang dari hujatan tersebut disertai fitnah, dan menghakimi tetapi
tanpa saksi dan tanpa mendatangkan si terdakwa. Mereka menjelek-jelekkan
orang dimuka umum, di mimbar ini atau di media informasi lainnya.

***68:10***
10. Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah
lagi hina,
***68:11***
11. yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah.

Sebagai umat Islam kita dianjurkan menjadi penegak keadilan, tidak hanya
pandai menuduh tanpa fakta atau sekedar mengikuti hawa nafsu.

***4:135***
135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika
ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Saudara-saudaraku marilah kita berpegang teguh kepada ayat-ayat Allah dan


hadits Rasulullah, dan menjauhi sifat-sifat yang yang tidak terpuji sesuai
dengan tuntunanNya.

Ingat dihadapan Allah, yang dianggap yang terbaik disisiNya adalah orang
yang takwa.

***49:13***
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Wassalam

Anda mungkin juga menyukai