Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Rabies yaitu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus RNA dari
genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus berbentuk seperti peluru yang
bersifat neurotropis, menular dan sangat ganas. Reservoir utama rabies adalah
anjing domestik. Sebagian besar kasus (98%) disebabkan oleh gigitan anjing,
sedangkan sisanya oleh hewan lain seperti monyet dan kucing. Rabies adalah
infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf pusat manusia dan mamalia.
Penyakit ini sangat ditakuti karena prognosisnya sangat buruk. Pada pasien yang
tidak divaksinasi, kematian mencapai 100%. Di Indonesia, sampai tahun 2007,
rabies masih tersebar di 24 provinsi, hanya 9 provinsi yang bebas dari rabies,
yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Yogyakarta, NTB, Bali, Papua Barat dan Papua [1].
Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan sudah
dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan aturan
denda bagi pemilik anjing, yang positif rabies menggigit manusia hingga mati
telah dibuat pada zaman kekuasaan raja Hamurabi (2300 SM). Rabies pada anjing
dan kucing telah digambarkan oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322
SM), Celcus (100 tahun sesudah masehi) untuk pertama kalinya memperkenalkan
hubungan antara gejala takut air (hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada
hewan. [1]
Di Indonesia rabies pertama kali dilaporkan pada kerbau oleh Esser
(1884), kemudian oleh Penning pada anjing (1889) dan oleh E.V. De Haan pada
manusia (1894), selanjutnya selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular
rabies tidak diketahui dengan pasti, namun setelah Perang Dunia II peta rabies di
Indonesia berubah. Secara kronologis tahun kejadian penyakit rabies mulai di
Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953),
Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera
Selatan (1959), D.I. Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI

1
Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975),
Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997). [1]
Pada akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar Biasa) rabies muncul di Kab.
Flores Timur-NTT sebagai akibat pemasukan secara ilegal anjing dari pulau
Buton- Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik rabies. [1][2]

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Rabies pada manusia merupakan penyakit radang susunan saraf pusat
yang fatal. Penyakit ini sebenarnya merupakan penyakit hewan yang
disebabkan oleh rhabdovirus, tetapi ditularkan pada manusia melalui gigitan
hewan yang menderita rabies. Rabies atau penyakit anjing gila merupakan
penyakit zoonosis yang terpenting di Indonesia. [2]

B. Epidemiologi
Rabies merupakan penyakit infeksi hewan berdarah panas yang hidup
di seluruh dunia. Di Indonesia, rabies telah dikenal sejak Shcrool menemukan
penyakit ini pada seekor kuda pada tahun 1894, sedangkan manusia yang
dilaporkan pertama kali oleh E.V de Haan pada tahun 1894. Sampai tahun
2007, rabies masihtersebar di 24 propinsi Di Indonesia, hanya 9 propinsi yang
bebasdari rabies, yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa
Tengah, JawaTimur, Yogyakarta, NTB, Bali, Papua Barat dan Papua.Jumlah
kasus gigitan masih cukup tinggi setiap tahunnya, yaitu sampai 15.000 kasus.
Benua Australia, Inggris, serta Hawai merupakan daerah yang bebas Rabies.
[2]

Rabies dapat timbul kapan saja tanpa memilih cuaca atau musim
tertentu dan infeksi virus rabies ini tidak memilih usia. Insiden tinggi pada
anak agaknya disebabkan oleh karena hubungan yang akrab antara anak dan
binatang peliharaan dan rendahnya kemampuan membela diri terhadap
serangan gigitan binatang peliharaan tersebut. Pejamu alami dari rabies dapat
satwa liar maupun hewan peliharaan. Dari segi ekologi, maka secara umum
anjing merupakan sumber infeksi untuk kasus rabies pada manusia. Di
Amerika Serikat, kucing lebih merupakan sumber penularan penyakit, sedang
kelelawar yang menyerang sapi di Amerika Latin merupakan bagian yang
penting dari lingkaran hidup rabies. Di India atau Filipina, seperti juga di

3
Indonesia, anjing merupakan vektor yang penting. Pengetahuan mengenai
epidemiologi lokal rabies sangat penting bagi para dokter dalam mengobati
penderita. Luka akibat gigitan kelelawar maupun satwa liar harus selalu
divaksinasi, sedangkan akibat gigitan hewan peliharaan, sebaiknya
dibicarakan terlebih dahulu dengan dokter hewan setempat. [2]

C. Etiologi
Virus rabies termasuk famili rhabdovirus yang mempunyai diameter
80-180 nm, dapat tahan pada suhu 40C selama beberapa minggu, apalagi
bila pada keadaan beku atau dalam keadaan tidak adanya karbon dioksida.
Dalam keadaan kering pada suhu 40C virus ini dapat disimpan selama
beberapa tahun. Dengan mikroskop elektron terlihat partikel virus berbentuk
peluru dan mempunyai struktur yang simetris. Inti asam nukleat yang hanya
mempunyai satu rantai dikelilingi oleh dua lapisan membran. Analisis
kimiawi memperlihatkan bahwa virus rabies terdiri atas lemak yang
mengandung ribonukleoprotein, dan akan membentuk benda inklusi pada
sitoplasma dari sel yang terinfeksi. Badan inklusi ini mengandung protein dan
sejumlah kecil RNA. Secara biologik virus rabies mirip dengan golongan
myxovirus, tetapi atas dasar pemeriksaan mikroskop elektro virus ini
diklasifikasikan sebagai rhabdovirus. [2]

D. Patogenesis
Setelah virus rabies masuk kedalam tubuh manusia, selama 2 minggu
virus menetap pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya. Virus
berkembangbiak atau langsung mencapai ujung-ujung saraf perifer tanpa
menunjukan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu
dengan membran plasma dan protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma.
Beberapa tempat pegikatan adalah reseptor asetilkolinpostsinaptik pada
neuromuscularjantional di SSP. Dari saraf perifer virus menyebar secara
sentripetal melalui endoneurium sel-sel schwan dan melalui aksoplasma
mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak.

4
Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam keSSP (medula
spinalis dan otak) melalui LCS. Di otak, virus menyebar secara luas dan
memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke
perifer dalam serabut saraf otonom, otot skelet, otot jantung, kelenjar adrenal,
ginjal, mata, pankreas. Pada tahap berikutnya viral akan virus akan terdapat
pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar
pada air susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain
dan medullaspinalis pada rabies tipe furious dan pada medullaspinalis pada
tipe paralitik. Perubahan patologi berupa degenerasi sel ganglion , infiltrasi
sel mononuclear dan perivascular, neurofagia, dan pembentukan nodul pada
glia pada otak dan pada medullaspinalis. Dijumpai negribodies yaitu suatu
benda intra sitoplasmik yang berisi komponen viral terutama
prointrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama proteinribonuklear
dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri bodies dapat
ditemukanpada seluruh bagian otak, terutama oada korteks serebri, batang
otak, hipotalamus, sel purkinjeserebelum, ganglion dorsalismedullaspinalis.
Pada 20% kasus rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis
menerangkan terjadinya aritmia pada pasien rabies. [3]
Infeksi rabies dimulai dengan penyebaran virus secara sentripetal
melalui saraf perifer ke SSP, berproliferasi di dalam SSP, dan penyebaran
secara sentrifugal melalui saraf perifer ke berbagai jaringan. Setelah masuk
melalui kulit yang cedera, melewati permukaan mukosa, atau melalui traktus
respiratorius, virus bereplikasi di dalam sel-sel otot, dan menginfeksi serabut
otot. Virus kemudian menginfeksi saraf yang mempersarafi serabut otot dan
berpindah secara sentral di dalam axon neuron-neuron ini. Replikasi terjadi
pada neuron perifer, tetapi dapat juga (jarang) di glia, baik perifer atau
sentral. Virus berada di radixganglia dorsal dalam 60-72 jam inokulasi, dan
sebelum sampai ke neuron medullaspinalis. [3]
Lesi dasar yang terjadi pada otak adalah kerusakan saraf pada batang
otak dan medula. Apabila tidak ada keadaan anoksia yang berkepanjangan
sebelum kematian, korteks serebri umumnya normal. Hipokampus, talamus,

5
dan gangliabasalis memperlihatkan kerusakan saraf dan infiltrasi sel glia.
Kerusakan paling berat terjadi di pons dan dasar ventrikel IV. Badan Negri
(NegriBody) merupakan tanda patologi yang patognomonik pada rabies,
berupa benda inklusi dalam sitoplasma sel saraf, terdiri atas nukleokapsid
virus yang bergumpal. Tidak ditemukannya badan Negri tidak menyingkirkan
adanya penyakit rabies. Pewarnaan fluoresens pada antibodi dari bagian otak
atau sediaan apus akan memberikan hasil yang positif , meskipun badan
negrinya negatif. [3]
Spasme otot inspirasi mengakibatkan gejala hidrofobia yang
disebabkan oleh adanya kerusakan batang otak saraf penghambat nukleus
ambigus yang mengendalikan inspirasi. Hidrofobia tidak muncul pada
penyakit lain oleh karena rabies merupakan kelainan batang otak, sedangkan
ensefalon dengan korteks tidak dirusak dan penderita tetap dalam keadaan
sadar. [3]
Virus berkembang biak dalam berbagai organ, tetapi yang terpenting
pada cara penularan adalah kelenjar ludah. Tidak semua binatang buas
memiliki kelenjar ludah, dan meskipun ada, volumenya bervariasi. Meskipun
anjing memiliki virus dalam air liurnya beberapa hari sebelum gejala timbul,
penularan pada manusia dari anjing yang tampak normal selama 10 hari atau
lebih setelah digigit, tidak pernah dilaporkan. Variabilitas virus dalam air liur
menerangkan fakta bahwa hanya sekitar setengah dari kasus gigitan binatang
yang akan mengakibatkan terjadinya rabies. Patut diingat bahwa goresan oleh
taring hewan juga berbahaya. [4]

E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi rabies pada beberapa kasus berlangsung sangat panjang
sehingga penyakit ini digolongkan ke dalam penyakit slow virus. Tercatat
beberapa kasus yang muncul 6 tahun setelah digigit. Meskipun demikian
sebagian besar kasus muncul dalam 20-90 hari setelah digigit. Masa inkubasi
terpendek adalah sekitar 10 hari. Telah diketahui bahwa masa inkubasi akan
lebih panjang apabila daerah gigitan terletak pada daerah tungkai bawah,

6
dibandingkan dengan gigitan pada daerah muka. Hal ini disebabkan bukan
oleh karena jarak saraf yang harus ditempuh, ataupun bukan oleh karena
penyebaran virus cukup cepat, melainkan disebabkan luasnya persarafan yang
berbeda-beda pada setiap bagian tubuh. Oleh karena itu gigitan pada jari atau
pada alat kelamin biasanya menyebabkan masa inkubasi berlangsung cepat.
Rabies pada anak biasanya mempunyai masa inkubasi yang pendek. [4]
Gejala fase awal rabies menyerupai infeksi virus sistemik lain, meliputi
demam, sakit kepala, malaise, dan gangguan saluran napas serta traktus
gastrointestinal. Gejala neurologis awal dapat berupa perubahan ringan
kepribadian dan kognisi, dan parestesi atau nyeri di daerah gigitan. Pada
tahapan ini rabies jarang dipertimbangkan sebagai salah satu diagnosis
banding. Gejala prodromal umumnya berlangsung sampai 4 hari, tetapi dapat
mencapai 10 hari sebelum gejala yang lebih khas timbul (masuk ke dalam
fase neurologis). Gejala dari fase neurologis ini dapat dibagi menjadi 2
bentuk yaitu mengamuk/furious (atau ensefalitik) dan paralitik (atau “dumb”),
kedua bentuk ini dapat terjadi baik pada manusia maupun hewan. [4]
Pada rabies dengan bentuk mengamuk titik berarti gejala terlihat pada
rasa ingin berontak, hiperaktif, kelakuan liar, dan kemungkinan kuduk kaku.
Nyeri menelan mungkin merupakan gela utama dan dapat pula timbul suara
serak yang disebabkan oleh spasme laring. Gejala yang patognomonik rabies
yangmengamuk adalah hidrofobia.Hidrofobia timbul akibat adanya spasme
otot inspirasi yang disebabkan oleh kerusakan batang otak saraf penghambat
nucleus ambigus yang mengendalikan inspirasi. Keinginan untuk menelan
cairan berakibat spasme nyeri otot faring dan laring yang bisa menyebabkan
adanya aspirasi cairan ke dalam trakea. [5]
Refleks jaras pernafasan segera terangsang disusul oleh spasme
inspirasi. Terdapat faktor psikologik yang penting untuk diperhatikan dari
hidrofobia. Pada kasus yang ekstrim, spasme timbul apabila penderita dekat
dengan air. Aerofobia dapat pula muncul, yaitu pada keadaan spasme tampak
apabila arus udara dihembuskan pada wajah. [5]

7
Pasien dengan rabies paralitik, tidak seperti bentuk mengamuk, tidak
mengalami hidrofobia, aerofobia, hiperaktivitas, dan kejang. Gejala awal
bentuk ini berupa ascendingparalysis, menyerupai polineuropati inflamasi
akut (sindrom Guillain-Barre), atau kuadriparesis simetris. Kelemahan dapat
lebih berat pada ekstremitas dimana virus masuk. Gejala meningeal (Sakit
kepala, kekakuan leher) dapat menonjol walaupun kesadarannnya normal.
Sejalan dengan berlanjutnya penyakit, pasien menjadi bingung dan kemudian
jatuh dalam keadaan koma. [6]
Pemeriksaan neurologik pada rabies tidaklah seragam. Meningismus
merupakan kelainan yang sering muncul. Gejala yang sering timbul biasanya
adalah gejala saraf kranial, terutama kelumpuhan otot palatum dan pita suara.
Suara menjadi serak, dapat pula timbul batuk yang hebat. Refleks bervariasi
dari hiperaktif sampai tidak ada dan dapat timbul gejala involunter. [6]
Cairan serebrospinal tampak abnormal pada sebagian kecil penderita,
terutama mereka yang menunjukkan gejala meningismus. Bila terjadi
kelainan, cairan serebrospinal menunjukkan pleiositotosis ringan, terutama
mononuklear. Darah tepi menunjukkan tanda peningkatan sel mononuklear.
Kematian pada rabies pada fase akut timbul karena masalah jantung atau
pernafasan. Aritmia jantung seringkali ditemukan, virus pada autopsi dapat
ditemukan pada jantung, yang menunjukkan tanda adanya miokarditis. Nafas
yang menjadi sesak disebabkan oleh adanya spasme laring atau aspirasi. [6]
Fase neurologik akut berlangsung 2-10 hari, dengan kemungkinan
terjadi perburukan status mental ke dalam koma. Penderita bisa bertahan pada
fase ini selama 2 minggu, terutama pada rabies silent. Sebelum terjadinya
perburukan akhir, penderita tampak mempunyai periode yang berubah-ubah
dari tenang jadi mengamuk. [7]
Tabel 1. Durasi Tahapan Rabies
Tahapan Durasi (% kasus) Gejala yang berhubungan
Masa inkubasi <30 hari (25%) Tidak ada
30-90 hari (50%)
90 hari – 1 tahun (20%)
> 1 tahun (5%)
Gejala Prodromal dan gejala 2-10 hari Parestesi atau nyeri pada
awal daerah luka, demam,

8
malaise, anorexia, nausea,
vomitus
Rabies Mengamuk / 2-7 hari Halusinasi, perilaku aneh,
Furious Rabies (80% kasus) ansietas, agitasi, menggigit,
hidrofobia,aerofobia
disfungsi autonom
Rabies Paralitik / Paralytic 2-7 hari Ascendingflaccidparalysis
rabies (20% kasus)
Koma, Kematian 0-14 hari Hipoventilasi, apnea, henti
nafas,
hipotermia/hipertermia,
hipotensi, aritmia, henti
jantung

F. Diagnosis
Sampai saat ini belum ada metode yang dapat mengidentifikasi infeksi
virus rabies sebelum gejala klinis timbul, meskipun penampilan klinis
penyakit ini biasanya karakteristik dan diagnosis dapat segera dibuat dengan
adanya riwayat gigitan binatang. Apabila penderitanya mempunyai riwayat
penyakit adanya gigitan binatang, kesemutan pada daerah yang digigit serta
hidrofobia maka diagnosis klinis rabies tidak sukar untuk dibuat. Penyakit
lain yang menunjukkan gejala ensefalitis, seperti yang disebabkan oleh
arbovirus, enterovirus, dan virus herpes simpleks dapat membingungkan,
tetapi pada penderita yang ditemukan gejala batang otak dengan sensorium
yang tidak terganggu dan tidak terdapat adanya tanda-tanda lesi desak ruang,
maka diagnosis lain dapat disingkirkan. [7]
Diagnostik laboratorik kini dapat dilakukan sebelum penderita
meninggal. Virus dapat ditemukan dengan uji antibodi fluoresens pada
sediaan apus sel epitel kornea atau sayatan kulit dari kulit pada batas rambut.
Hasil uji yang positif disebabkan oleh karena adanya virus yang bermigrasi
ke bawah dari otak ke susunan saraf, disebabkan kornea dan folikel rambut
kaya akan persarafan. Diagnostik serologik juga mungkin dilakukan apabila
penderita hidup setelah masa akut. Pada pasien yang tidak diberikan
pengobatan pencegahan setelah digigit, akan tampak kenaikan yang cepat
titer virus neutralizingantibody yang akan muncul 6-10 hari sesudah awitan
gejala. Antibodi semacam ini dapat dideteksi in-vitro secara cepat dengan

9
menggunakan fluoresens antibodi rapidfluorescentfocus-inhibitiontest (RFIT)
atau plaque-reductionneutralizationtest(PRNT). Rabies dapat pula
didiagnosis pada penderita yang kebal terhadap rabies dan ditandai dengan
adanya kenaikan titer setelah awitan timbul dan diperkuat dengan kadar titer
yang nilainya >1:5000, suatu nilai yang biasanya tidak dapat dicapai dengan
tindakan imunisasi. Kadar yang tinggi pada susunan saraf pusatmenunjukkan
perjalanan akhir ensefalitis rabies. [7]
Virus rabies dapat diisolasi pada hari ke-4 dan 24 setelah awitan
penyakit. Virus dapat diisolasi pada beberapa kasus dari cairan serebrospinal,
jaringan otak dan sedimen urin pada 2 minggu pertama penyakit. Pada
penderita yang dapat hidup lebih lama maka isolasi virus dari jaringan tubuh
atau cairan (atau jaringan otak postmortem) tidak dimungkinkan, oleh karena
virus dinetralkan oleh antibodi humoral. Diagnosis postmortem dapat
ditegakkan dengan adanya inklusi sitoplasma (badan negri) pada jaringan
otak, tetapi penemuan ini ditemukan kurang dari 80% kasus. Antigen rabies
dapat dideteksi dengan pemeriksaan antibodi fluoresens, dengan
menggunakan frekuensi tinggi pada jaringan otak dari penderita yang mati
akibat perjalanan penyakit yang akut. Walaupun demikian, isolasi virus dari
pasien yang berhasil lolos dari kematian akibat penyakit ini sangat sulit untuk
didapatkan. [7]
Rabies saat ini dapat didiagnosis postmortem berdasarkan bukti
didapatnya hasil dari pemeriksaan bedah mayat pada penderita pasca
transplantasi kornea dan yang diduga meninggal oleh karena ensefalitis. Pada
kasus ensefalitis yang penyebabnya sulit dicurigai harus pula disingkirkan
rabies sebagai penyebab, oleh sebab itu jaringan dari penderita seperti ini
tidak boleh digunakan untuk transplantasi. [7]

G. Diagnosis Banding
Rabies paralitik dapat salah didiagnosis dengan sindrom Gullain-Barre,
polimielitis atau ensefalomielitis pasca vaksinasi rabies. Pemeriksaan
neurologik yang seksama dan analisis cairan serebrospinal akan membantu

10
menyingkirkan diagnosis ini. Spasme tetanus juga dapat pula
membingungkan, tetapi trismus bukan merupakan gejala rabies, di lain pihak
hidrofobia bukan merupakan gejala tetanus. Botulismus (baik yang
disebabkan oleh luka maupun karena termakan) dapat pula menyebabkan
paralisis, tetapi adanya perubahan hilangnya sensori akan menyingkirkan
rabies. Mungkin yang paling menyulitkan dalam diagnosis banding adalah
histeria pada individu yang berpikir bahwa dirinya menderita rabies. [7]

H. Penatalaksanaan dan Pencegahan


Terdapat 3 unsur yang penting dalam PEP (PostExposureProphylaxis),
yaitu: (1) perawatan luka, (2) serum antirabies (SAR), dan (3) vaksin
antirabies (VAR). Tindakan pertama yang harus dilaksanakan adalah
membersihkan luka dari saliva yang mengandung virus rabies. Luka segera
dibersihkan dengan sabun dan air (sebaiknya air mengalir) selama 5-10 menit
kemudian dikeringkan dan diberi antiseptik (merkurokrom, alkohol 70%,
povidon-iodine, 1-4% benzalkonium klorida atau 1% centrimonium
bromida). Kemudian penderita dirujuk ke Puskesmas atau Rumah sakit
terdekat untuk mendapatkan pengobatan lanjutan. Meskipun pencucian luka
menurut keterangan penderita telah dilakukan, namun di Puskesmas/Rumah
Sakit harus dilakukan kembali pencucian seperti diatas. Bila pembersihan ini
menimbulkan rasa nyeri, dapat diberikan anastesia lokal prokain terlebih
dahulu. [8]
Luka sebisa mungkin tidak dijahit. Jika memang perlu sekali, maka
dilakukan jahitan situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara infiltrasi di
sekitar luka sebanyak mungkin dengan dosis 40 IU/KgBB untuk serum
heterolog, atau 20 IU/KgBB untuk serum homolog dan sisanya disuntikkan
secara intramuskuler ditempat yang jauh dari tempat inokulasi vaksin.
Disamping itu, perlu dipertimbangkan pemberian serum/vaksin antitetanus,
antibiotik untuk mencegah infeksi, dan pemberian analgetik. [8]

11
a) Serum Rabies Binatang ( SAR Heterolog )
Dosis serum anti-rabies binatang pada penderita yang terserang adalah 40
unit/KgBB atau 0.5 ml/KgBB. Separuh diberikan secara infiltrasi pada
daerah yang terkena, sisanya diberikan intramuskular. Seperti pada
pemberian serum binatang yang lain, serum sickness dapat muncul, tetapi
preparat yang modern biasanya kurang alergenik. Di Indonesia serum
heterolog ini dibuat dari serum kuda, diproduksi oleh Biofarma, Bandung
Serum heterolog (Kuda),mempunyai kemasan bentuk vial 20 ml (1 ml =
100 IU). [8]
Cara pemberian: disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak
mungkin, sisanya disuntikkan intramuskular. Dosis 40 Iu/KgBB atau
0.5ml/KgBB diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0,
dengan melakukan skintest terlebih dahulu. [8]

12
b) Imunoglobulin Rabies Manusia ( SAR Homolog )
Untuk menghindari serum sicknesspada pemberian anti rabies binatang,
maka dibuat gama globulin dari plasma penderita yang dihipoimunisasi
dengan vaksin rabies. Human Rabies Immune Globulin (HRIG) sekarang
tersedia secara komersil, yang meskipun mahal, tetapi lebih aman apabila
dibandingkan dengan yang berasal dari binatang. Oleh karena gama
globulin homolog dengan manusia, HRIG bertahan lebih lama di dalam
sirkulasi. [9]
Rekomendasi saat ini untuk pengobatan vaksinasi adalah 20 IU/KgBB (1
ml = 150 IU ) atau 0.1 ml/kgBB, separuh diberikan secara infiltrasi di
sekitar luka gigitan dan sisanya secara intramuskular. Preparat yang ada
di Indonesia berasal dari Perancis dan Inggris, yaitu Imogamdan
Hyperab. Untuk ini tidak diperlukan uji kulit terlebih dahulu. [9]

c) Human Diploid Cell (HDC)


Vaksin ini dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan vaksi rabies yang
aman, yaitu vaksin yang pada waktu berlangsung proses pembuatan,
media biakannya bebas dari jaringan saraf. Untuk menghindari adanya
protein asing pejamu dalam vaksin, maka media biakan jaringan yang
terbaik adalah sel manusia. Saat ini yang biasa dipakai adalah sel
fibroblas manusia. Di Amerika Serikat pemberian vaksin ini pada
penderita sesudah digigit adalah 5 kali secara intramuskular, yaitu pada
hari ke-0,3,7,14, dan 28, masing-masing sebanyak 1 ml. Organisasi
Kesehatan dunia menyarankan pemberian sebanyak 6 kali, yaitu pada
hari ke-0, 3, 7, 14, 30, dan 90. Oleh karena penyuntikan pada daerah
gluteal akan menghasilkan respons imun yang rendah, maka vaksinasi
harus diberikan pada daerah deltoid. Vaksin ini belum dimasukkan ke
dalam program Departemen Kesehatan R.I. [9]

13
I. Indikasi dan Cara Pemberian Vaksinasi
Selain biaya, rasa nyeri pada waktu penyuntikan dan faktor zoologi, ada
beberapa hal yang kiranya harus dipertimbangkan oleh dokter sebelum
mengambil keputusan untuk melakukan vaksinasi. Faktor tersebut antara lain
adalah faktor geografi, jenis satwa dan riwayat vaksinasi hewan peliharaan
yang menggigit. Ditjen PPM dan PLP Departemen Kesehatan R.I
memberikan petunjuk indikasi pemberian vaksin dan serum anti rabies yang
berhubungan dengan hewan tersangka rabies berdasarkan daerah gigitan atau
jilatan tersebut terjadi, cara terjadinya gigitan, letak, jumlah dan keadaan luka
gigitan serta riwayat vaksinasi dengan vaksin anti rabies dari hewan yang
menggigit. Tindakan terhadap penderita yang digigit dilakukan oleh dokter,
sedangkan tindakan terhadap hewan yang menggigit dilakukan oleh petugas
dari Dinas Peternakan. [9]
Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat
kontak dengan hewan pengidap rabies. Vaksin rabies yang lazim saat ini
adalah tissueculturevaccine, suatu inactivatedvaccine yang ditumbuhkan pada
kultur sel seperti human diploid cellvaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun
1964, puriviedverocell rabies vaccine (PVRV), diproduksi mulai tahun 1985,
purifiedchickembryocellvaccine (PCEC) yang mulai dipasarkan tahun 1985.
Vaksin generasi lama seperti suckling mouse brainvaccine (SMBV), suatu
nervetissuevaccine dan duckembryovaccine (DEV), suatu non-
nervetissuevaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan
komplikasi ensefalomielitis post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis. Namun
demikian nervetissuevaccine masih diproduksi dan dipergunakan di beberapa
negara Asia. [9]

Tabel 2. Indikasi Vaksinasi dan Serum Anti Rabies yang Berhubungan


Dengan Hewan Tersangka Rabies
No Jenis Gigitan Luka Keadaan hewan yang menggigit Pengobatan yang
dianjurkan
Pada waktu Observasi
menggigit selama 10 hari
1. Kontak tetapi tidak ada Sehat Sehat Tidak diperlukan
luka pengobatan

14
Kontak tak langsung
2. Jilatan pada kulit luka Sehat Sehat Tidak perlu
garukan atau lecet, luka vaksinasi
kecil di sekitar tangan, Tersangka Gila Sehat Segera berikan
badan, kaki vaksinasi,
hentikan
vaksinasi tersebut
bila ternyata
hewan yang
tersangka masih
sehat setelah 5
hari observasi.

Gila Segera diberikan


vaksin secara
lengkap

Hewan liar atau Vaksin Antirabies


hewan yang secara lengkap
gila dan hewan
tidak dapat
diobservasi
3. Jilatan pada mukosa, luka Mencurigakan - Serum +
parah (multipel) atau luka atau gila atau Vaksinasi.
di muka, kepala, jari kaki, jika hewannya Hentikan
jari tangan, atau leher tidak dapat pengobatan jika
diobservasi sehat selama 5
hari

Tabel 3. Cara Pemberian VAR Tanpa SAR Sesudah Digigit


No Tipe Suntikan dasar Dosis Cara Suntikan Dosis Cara
vaksin pemberia ulangan ulangan pemberian
n
1. Suckling 7x suntikan Dewasa Sub Hari ke- Dewasa : Intra kutan
mouse tiap hari : 2ml kutan 11,15,30 0.25ml
brainvacci Anak : dan setelah Anak :
ne 1 ml suntikan 0.1 ml
pertama
2. Purifiedver 2 suntikan 0.5 ml Intra
o rabies sekaligus di muskular
vaccine regio deltoid
kanan & kiri,
hari ke-0, 2, 7,
dan 21.
6 x suntikan,
hari ke-0, 3, 7,
14, 30, dan 90
3. Human Dewasa Intra
diploid : 1 ml muskular
cellvaaccin Anak : Sub
e 0.5 ml kutan

15
Tabel 4. Cara Pemberian VAR Bersama dengan SAR Sesudah Digigit
No Tipe Suntikan dasar Dosis Cara Suntikan Dosis Cara
vaksin pemberia ulangan ulangan pemberian
n
1. Suckling 7x suntikan Dewasa Sub Hari ke-11 Dewasa : Intra kutan
mouse tiap hari : 2ml kutan dan 15 0.25ml
brainvacci Anak : setelah Anak :
ne 1 ml suntikan 0.1 ml
pertama,
ditambah
hari ke- 25,
35, dan 90
setelah
suntikan
pertama
2. Purifiedver 2 suntikan 0.5 ml Intra Hari ke- 30 0.5 ml Intra
o rabies sekaligus di muskular di regio muskular
vaccine regio deltoid deltoid
kanan & kiri,
hari ke-0, 2, 7,
dan 21.
3. Human 6x suntikan Dewasa Intra
diploid hari ke-0, 3, 7, : 1 ml muskular
cellvaaccin 14, 30, dan 90 Anak : Sub
e 0.5 ml kutan

Tabel 5. Cara Pemberian VAR Untuk Pencegahan Sebelum Digigit


No Tipe vaksin Suntikan dasar Dosis Cara Suntikan
pemberian ulangan
1. Suckling mouse 3x suntikan, Anak >3 tahun Intra kutan 1 tahun
brainvaccine interval 3 minggu : 0.25 ml
2. Purifiedvero 2x suntikan interval 0.5 ml Intra muskular 1 tahun
rabies vaccine 1 bulan
3. Human diploid 2x suntikan interval Dewasa : 1 ml Intra muskular
cellvaaccine 1 bulan Anak : 0.5 ml Sub kutan

J. Reaksi Samping Vaksin


Vaksin dengan kultur jaringan sangat baik dalam pemakaiannya. Hanya
ditemukan sedikit efek samping, seperti lengan terasa pedih, nyeri kepala,
malaise, dan edema alergik. Baik sindrom Guillan-Barre maupun masalah
neurologik jarang ditemukan, dan hubungan timbulnya kelainan tersebut
dengan vaksinasi masih belum dibuktikan dengan pasti. [10]

16
Pada vaksinasi ulangan pada HDCV dapat timbul reaksi alergi, yang
diakibatkan adanya beta-propiolakton yang digunakan untuk inaktivasi virus.
Reaksi samping merupakan reaksi tipe 3 berupa urtikaria, edema, demam,
dan malaise. Reaksi tersebut timbul disebabkan oleh formula HDCV, bukan
oleh karena antigennya. [10]

K. Prognosis
Adanya anak berumur 6 tahun yang dapat hidurp setelah digigit
kelelawar membuat optimis bahwa kemungkinan untuk hidup dapat terjadi
apabila perawatan dilakukan secara intensif. Seperti di thailand, saat ini dapat
merawat penderita yang diobati secara intensif berhasil mencapai
kesembuhan setelah melewati perjalanan penyakit yang panjang. [10]

17
BAB III
KESIMPULAN

1. Rabies pada manusia merupakan penyakit radang susunan saraf pusat yang
fatal. Penyakit ini sebenarnya merupakan penyakit hewan yang disebabkan
oleh rhabdovirus, tetapi kadang-kadang ditularkan pada manusia melalui
gigitan hewan yang menderita rabies. Rabies atau penyakit anjing gila
merupakan penyakit zoonosis yang terpenting di Indonesia.
2. Masa inkubasi rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1
tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan
luasnya kerusakan jaringan akibat gigitan, persarafan daerah luka gigitan dan
sistem kekebalan tubuh.
3. Gejala klinik dibagi menjadi 4 stadium: (a) Stadium permulaan: gejalanya
lemas, sulit makan, dan anoreksia, (b) Stadium rangsangan; ditandai panas
dan kesemutan pada luka gigitan serta cemas dan reaksi berlebihan akibat
rangsangan sensorik, (c) Stadium ketiga; terjadi perubahan perilaku berteriak,
menjambak rambut, berlari, dan melompat-lompat, takut air, takut udara,
takut cahaya, peningkatan lakrimasi dan salivasi. Rabies harus dicurigai pada
penderita dengan gejala neurologi dan psikiatri akut atau gejala
laringofaringeal yang tidak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah
endemis atau orang yang digigit hewan di daerah endemis rabies. (d) Stadium
terakhir, lumpuh, dan meninggal.
4. Penyakit rabies dapat dicegah dengan memberikan vaksin pada binatang yang
berpotensi sebagai penyebar virus rabies. Jika tergigit hewan yang dicurigai,
luka harus segera dicuci dengan air sabun agar lemak yang menyelimuti virus
rabies larut sehingga virus mati. Setelah itu, pasien harus diberi vaksin
antirabies (VAR), sekaligus serum anti rabies (SAR). Hal itu untuk mencegah
virus yang bergerak cepat menuju pusat saraf, yakni otak.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta:
Balai Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI
2. Tanzi, K, 2014. Penyakit Rabies Dan Penatalaksanaannya, E-Journal WIDYA
Kesehatan Dan LingkunganVolume 1 Nomor 1 Mei 2014
3. Hassan R, Alatas H. BukukuliahIlmukesehatananak. Jakarta:
BalaiPenerbitFakultasKedokteranUniversitas Indonesia; 2007.
4. Harsono. Buku ajar neurologiklinis. Yogyakarta: GadjaMada University
Press; 2011.
5. Price, SA, 2013. PatofisiologiKonsepKlinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
6. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, et al. Tetanus. Journal of J NeourolNeurosurg
Psychiatry. 2000; 69; 292-301.
7. Ropper AH, Brown RH. Principles of Neurology. United States of America:
The McGraw-Hill Companies; 2005.
8. Hemachudha T, Tirawatnpong S, Phanthumchinda K. Seizures as the initial
manifestation of paralytic rabies. Journal of J NeourolNeurosurg Psychiatry.
1989; 52; 808-810.
9. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology. Germany: German edition published;
2004.
10. Harijanto PN, Gunawan CA. Rabies. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi, Alwi I,
editors. Buku ajar Ilmupenyakitdalam. Edisi 3. Jakarta: InternaPublising;
2009. h. 2924-2930

19

Anda mungkin juga menyukai