BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para ahli tumbuh dan kembang anak mengatakan bahwa periode 5 (lima)
tahun pertama kehidupan anak sebagai masa keemasan (golden period) atau jendela
kesempatan (window opportunity), atau masa kritis (critical period). Periode lima
tahun pertama kehidupan anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan
yang paling pesat pada otak manusia, merupakan masa yang sangat peka bagi otak
anak dalam menerima berbagai masukan dari lingkungan sekitarnya.
Pada masa ini otak anak bersifat lebih plastis dibandingkan dengan otak orang
dewasa dalam arti anak balita sangat terbuka dalam menerima berbagai macam
pembelajaran dan pengkayaan baik yang bersifat positif maupun negatif.
Sisi lain yang perlu mendapat perhatian otak balita lebih peka terhadap asupan
yang kurang mendukung pertumbuhan otaknya seperti asupan zat gizi yang tidak
adekuat, kurang stimulasi dan kurang mendapat pelayanan kesehatan yang memadai.
3
Anak prasekolah yaitu anak yang berusia 3-5 tahun. Pada masa ini terjadi
pertumbuhan psikologi, biologis, kognitif dan spiritual yang begitu
signifikan.Kemampuan mereka dalam mengontrol diri, berinteraksi dengan orang lain
dan penggunaan bahasa dalm berinteraksi merupakan modal awal anak dalam
mempersiapkan tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap masa sekolah (Whaley
dan Wong, 1995).
Masa prasekolah (3-5 tahun) merupakan fase ketika anak mulai terlepas dari
orang tua, dan mulai berinteraksi dengan lingkungannya (Sayogo, 2007). Tugas
perkembangan anak prasekolah adalah mencapai otonomi yang cukup, memenuhi dan
menangani diri sendiri tanpa campur tangan orang tua secara penuh. Pada tahap ini,
anak dapat dilibatkan dalam kegiatan atau pekerjaan rumah tangga untuk membantu
orang tua (Whaley dan Wong, 1999)
Makanan yang dimakan oleh keluarga harus menjadi dasar dari diet yang baru.
salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang
anak adalah pendidikan (Supariasa, 2002). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai
kepada perubahan tingkah laku yang baik (Suhardjo, 1989).
Untuk dapat menyusun menu yang adekuat, ibu perlu memiliki pengetahuan
mengenai bahan makanan dan zat gizi, serta pengetahuan hidangan dan cara
pengolahannya (Santoso, 1999). Dengan adanya pengetahuan tentang kadar zat gizi
dalam berbagai bahan makanan, dapat membantu memilih bahan makanan yang
harganya tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizzinya tinggi (Moehji, 2002). Salah
satu cara menambah pengetahuan ibu tentang gizi anak adalah melalui fungsi
pelayanan kesehatannya itu dalam pemberian informasi seperti dilakukannya
penyuluhan tentang kesehatan dan gizi di posyandu (Effendi, 2006).
Tingkat pendidikan orang tua khususnya ibu merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan (Sukandar, 2007).
dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila pendidikan dan pengetahuan dalam
berbagai bidang gizi yang dimiliki orang tua baik, maka keadaan gizi anak juga baik
(Riyadi, 2006). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas
wawasan berfikirnya sehingga lebih banyak informasi yang diperoleh. Hal tersebut
akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi.
Pendidikan ibu yang rendah mempunyai resiko terjadinya status gizi kurang
pada anak sebasar 2.386 kali dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan
tinggi (Nur’aeni, 2008). Hasil penelitian Utomo (2001) di wilayah kerja Puskesmas
Suruh Kabupaten Semarang menunjukkan ada hubungan pengetahuan ibu dengan
status gizi anak.
Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa kelompok ibu dengan pengetahuan
gizi dengan kategori cukup dengan status gizi anak kurus sebanyak 18,4%, tetapi
jumlah anak yang berstatus gizi kurus meningkat pada kelompok ibu dengan
pengetahuan gizi dengan kategori kurang.
5
Banyaknya jumlah ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi kategori cukup
dan kurang dikarenakan lebih dari separuh ibu (56,3%) berpendidikan SMP, bahkan
masih ada (11,3%) ibu yang berpendidikan SD (Sukmawaty, 2007). Hasil penelitian
Harmani (2000).
Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa
karakteristik ibu (umur ibu,pendidikan ibu, dan pengetahuan ibu berhubungan dengan
status gizi anak balita).hasil penelitian Aminah (2005) di Kecamatan Kualah Leidong,
Kabupaten labuhan Batu, yang meneliti gambaran konsumsi makanan dan status gizi
balita berdasarkan status gizi merupakan suatu keadaan dimana gizi seseorang sangat
dipengaruhi oleh konsumsi makanan yang dapat memberikan informasi dan
gambaran mengenai jenis dan jumlah makanan yang dimakan oleh seseorang dan
merupakan ciri khas untuk kelompok masyarakat tertentu.
B. PerumusanMasalah
1.Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
3. Manfaat Penelitian
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Yang dimaksudkan dengan anak prasekolah adalah mereka yang berusia diantara
3-5 tahun menurut Biechler dan Snowman (1993). Mereka biasanya mengik uti program
prasekolah dan kinderganten. Sedangkan di Indonesia. umumnya mereka mengikuti
program Tempat Penitipan Anak (3 bulan – 5 tahun) dan Kelompok bertnain (usia 3
tahun). sedangkan pada usia 4-6 tahun biasa hany mereka mengikuti program Taman
Kanak-Kanak.
Menurut teori Erik Erikson yang membicarakan perkembangan kepribadian
seseorang dengan titik berat pada perkembangan psikososial tahapan 0-1 tahun, berada
pada tahapan oral sensorik dengan krisis emosi antara ‘trust versus mi.strust’, tahapan 3-6
tahun. mereka berada dalam tahapan dengan krisis autonomy versus shame & doubt (2-3
tahun), initiative versus guilt (4-5 tahun) dan tahap usia 6-11 tahun mengalami krisis
‘industry versus inferiori..
Dari teori Piaget yang membicarakan perkembangan kognitif. perkembangan dari
tahapan sensorimotor (0-2 tahun). praoperasional (2- 7 tahun), operasional konkret (7-12
tahun). dan operasional formal (12- 15 tahun). maka perkembangan kognitif anak masa
prasekolah berada pada tahap praoperasional.
BAB III
Waktu : 45 menit
Tempat : PAUD
A. Latar Belakang
Bermain adalah cara alamiah bagi anak mengungkapkan konflik dalam dirinya
yang tidak di sadari (Wholey and Wong, 1991).
Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan untuk
memperoleh kesenangan (Foster, 1989).
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkan
tanpa mempertimbangkan hasil akhir (Hurlock).
Kesimpulan: Bermain merupakan bahasa dan keinginan dalam mengungkapkan
konflik dari anak yang tidak disadarinya serta dialami dengan kesenangan yang
diekspresikan melalui bio-psiko-sosio yang berhubungan dengan lingkungan tanpa
mempertimbangkan hasil akhir.
Setelah melakukan survei di PAUD sebagian besar murid-murid
di PAUD tersebut berusia 3 - 5 tahun sebanyak ± 40 anak. Sehingga, sasaran
terapi bermain yang akan dilakukan adalah anak pra sekolah (3-5 tahun) sebanyak 20
anak.
11
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan terapi bermain selam 45 menit, anak dapat mengikuti
permainan stimulasi kognitif yang diberikan.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan terapi bermain selam 45 menit anak mampu :
a. Mengenal warna
b. Mengenal huruf
c. Mengenal nama buah dan hewan
d. Menebak gambar
C. Metode dan Media
1. Metode
Bermain dengan anak menebak gambar yang telah disebutkan dan
didiskripsikan.
2. Media
Kertas gambar
Kertas Tempel
Spidol
D. Kegiatan
1. Pengorganisasian
2. Kegiatan bermain
b. Memperhatikan
b. Perkenalan
c. Menjawab salam
c.Mengkomunikasikan
tujuan
b. Menanggapi
b. Bermain menebak
c. Mengikuti
gambar
dengan melibatkan
anak
tanggapan anak.
d. Meminta anak
menempelkan gambar
yang
sesuai
e. Memberikan
Reinfocement
mengikuti permainan
E. Evaluasi
1. Pembagian tugas dalam tim
1. Leader
2. Co Leader
3. Observer
4. Fasilitator
2. Proses
Dievaluasi apakah anak mau berkenalan dan bersalaman dengan
perawat
tanpa rasa takut apakah anak mau menempel gambar ke depan, anak mau
menyebutkan nama gambar buah, gambar hewan, dan anak mau menyebutkan
warna gambar yang disebutkan perawat
14
TERAPI BERMAIN
A. Pengertian bermain
Bermain adalah cara alamiah bagi anak mengungkapkan konflik dalam dirinya
yang tidak disadari (Wholey and Wong, 1991).
Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan untuk
memperoleh kesenangan (Foster, 1989).
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkan
tanpa mempertimbangkan hasil akhir (Hurlock).
Bermain adalah ungkapan bahasa secara
alami pada anak yang diekspresikan
melalui bio-psiko-sosio anak yang berhubungan dengan lingkungan (CindySmith).
Kesimpulan: Bermain merupakan bahasa dan keinginan dalam
mengungkapkan konflik dari anak yang tidak disadarinya serta dialami
dengan kesenangan yang diekspresikan melalui bio-psiko-sosio yang
berhubungan dengan lingkungan tanpa mempertimbangkan hasil akhir.
B. Kategori bermain
1. Bermain aktif
Yaitu anak banyak menggunakan energi inisiatif dari anak sendiri atau
kegembiraan timbul dari apa yang dilakukan oleh anak. Contoh: bermain
sepak bola.
2. Bermain pasif/hiburan
Energi yang dikeluarkan sedikit, anak tidak perlu melakukan aktivitas (hanya
melihat), kesenangan diperoleh dari kegiatan orang lain. Contoh: memberikan
support, menonton televisi
C. Jenis permainan
1. Permainan bayi
Permainan sederhana oleh anggota keluarga dilakukan pada usia 0-1 tahun.
15
3. Permainan tetangga
Permainan kelompok, pada prasekolah dan sekolah. Contoh: bermain polisi
dan penjahat.
4. Permainan tim
Permainan terorganisir, punya aturan tertentu, dilakukan pada usia sekolah
dan remaja. Contoh: sepakbola, kasti, lari.
E. Klasifikasi bermain
a. Menurut Isi
Anak berfantasi menjalankan peran tertentu misalnya menjadi ayah atau ibu.
a. Solitary play
Jenis permainan dimana anak bermain sendiri walaupun ada beberapa
orang lain yang bermain disekitarnya. Biasa dilakukan oleh anak balita todler.
b. Paralel play
Permainan sejenis dilakukan oleh suatu kelompok anak masing-masing
mempunyai mainan yang sama tetapi yang satu dengan yang lainnya tidak
ada interaksi dan tidak saling tergantung, biasanya dilakukan oleh anak todler dan pre
school. Contoh : bermain balok.
c. Asosiatif play
Permainan dimana anak bermain dalam keluarga dengan aktifitas yang
sama tetapi belum terorganisasi dengan baik, belum ada pembagian tugas,
anak bermain sesukanya, satu sama lain kadang saling meminjamkan.
d. Kooperatif play
Anak bermain bersama dengan sejenisnya, permainan terorganisasi dan
terencana dan ada aturan tertentu. Saling diskusi dan memiliki tujuan
tertentu. Biasanya dilakukan oleh anak usia sekolah dan adolescent.
F. Fungsi bermain
2. Status kesehatan, pada anak sakit maka perkembangan psikomotor dan kognitif
terganggu.
3. Jenis kelamin, dimana anak laki-laki lebih tertarik dengan mekanikal sementara
anak wanita mother role.
4. Lingkungan yang meliputi: lokasi, negara, kultur.
5. Alat permainan.
6. Intelegensia.
7. Status sosial ekonomi.
H. Tahap perkembangan bermain
1. Tahap Eksplorasi
Merupakan tahapan menggali dengan melihat cara bermain.
2. Tahap Permainan
Setelah tahu cara bermain, anak mulai masuk dalam tahap perminan.
3. Tahap Bermain Sungguhan
Anak sudah ikut dalam perminan.
4.Tahap Melamun
1. Bayi (1 bulan)
a. Visual: permainan dapat dilihat dengan jarak dekat (20-25 Cm), gantungkan
benda yang terang dan menyolok.
b. Auditori: bicara dengan bayi, menyanyi, musik, radio, detik jam.
c. Taktil: memeluk, menggendong, memberi kehangatan.
d. Kinetik: mengayun, naik kereta dorong.
19
a. Visual : buat ruangan menjadi terang, gambar, cermin ditembok, bawa bayi
ke ruangan lain, letakkan bayi agar dapat memandang disekitar.
b. Auditori : bicara dengan bayi, beri mainan bunyi, ikut sertakan dalam
pertemuan keluarga.
c. Taktil : memandikan, mengganti popok, menyisir rambut dengan lembut,
gosok dengan lotion/bedak.
d. Kinetik : jalan dengan kereta, gerakan berenang, bermain air.
a. Visual : bermain cermin, anak nonton TV, beri mainan dengan warna
terang.
b. Auditori : anak bicara, ulangi suara yang dibuat, panggil nama, remas kertas
didekat telinga, pegang mainan berbunyi didekat telinga.
c. Taktil : beri mainan lembut/kasar, mandi cemplung/cebur.
d. Kinetik : bantu tengkurap, sokong waktu duduk.
a. 6-8 tahun
Kartu, boneka, robot, buku, alat olah raga, alat untuk melukis,
mencatat,sepeda.
b. 8-12 tahun
Buku, mengumpulkan perangko, uang logam, pekerjaan tangan, kartu,olah
raga bersama,sepeda, sepatu roda.
10. Remaja ( 13-18 tahun)
1. Pengertian
3. . Syarat
a. Aman, disesuaikan dengan usia dan tingkat perkembangan anak.
b. Ukuran dan berat sesuai usia.
c. Desainnya harus jelas. Memiliki ukuran, susunan, warna tertentu serta jelas
maksud dan tujuannya.
d. Berfungsi untuk mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak
(motorik, bahasa, kognitif, sosialisasi).
e. Dapat dimainkan dengan berbagai variasi, tidak terlalu sulit dan tidak terlalu
mudah.
f. Harus tetap menarik.
g. Mudah diterima oleh semua kebudayaan.
h. Tidak mudah rusak. Jika ada bagian yang rusak mudah diperbaiki dan
diganti, pemeliharaan mudah, terbuat dari bahan yang mudah didapat,harga
terjangkau.
a. Motorik kasar: sepeda roda tiga/dua, mainan yang ditarik dan didorong.
b. Motorik halus: gunting, bola, balok, lilin.
c. Kognitif: buku bergambar, buku cerita, puzzle, boneka, pensil warna.
d. Bahasa: buku bergambar, buku cerita, majalah, radio, televisi.
e. Menolong diri sendiri: gelas/piring plastik, sendok, baju, sepatu, kaos
kaki.
23
f. Tingkah laku sosial: alat permainan yang dapat dipakai bersama seperti
bola, tali, dakon.
5. Kesalahan dalam Pemilihan Alat
LEADER CO LEADER
R
OBSERVER
FASILITATOR ANAK
ANAK ANAK
FASILITATOR
ANAK ANAK
25
Keterangan
1.
Leader
2. Co leader
3.
Observer
4.
Fasilitator
5.
Anak
26
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
a) Masa prasekolah (3-5 tahun) merupakan fase ketika anak mulai terlepas dari
orang tua, dan mulai berinteraksi dengan lingkungannya (Sayogo, 2007).
Tugas perkembangan anak prasekolah adalah mencapai otonomi yang cukup,
memenuhi dan menangani diri sendiri tanpa campur tangan orang tua secara
penuh. Pada tahap ini,anak dapat dilibatkan dalam kegiatan atau pekerjaan
rumah tangga untuk membantu orang tua (Whaley dan Wong, 1999)
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA