Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menurut perhimpunan dokter paru

Indonesia adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh

hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan

berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang

beracun /berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat

berat penyakit., sedangkan menurut Global Iinitiative for Chronic Obstructive

Lung Disease (GOLD), penyakit paru obstruktif kronis berhubungan dengan

respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun. (1,2)

Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK

sebesar 10,1% pada laki-laki sebesar 11,8% dan untuk perempuan 8,5%.

Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu

18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat

32,9% dari tahun 1979 sampai 1991. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-

negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di

Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).(3) Indonesia sebagai negara dengan jumlah

perokok yang banyak dipastikan memiliki prevalensi PPOK yang tinggi. Namun

sangat disayangkan data prevalensi PPOK tidak dimiliki oleh Indonesia. Di

Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronis dan emfisema

menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10

penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian

1
karena asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10

penyebab tersering kematian di Indonesia. (1,3)

Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang

terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Selain rokok, faktor

resiko lain untuk terjadinya penyakit paru obstruktif kronis adalah riwayat

terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hipereaktivitas bronkus,

riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, dan defisiensi antitripsin alfa – 1

namun umumnya hal ini jarang terdapat di Indonesia. (1)

Dispnea biasanya adalah gejala pertama; gejala ini muncul secara perlahan,

tetapi progresif. Pada pasien yang sudah mengidap bronkitis krnis atau bronkitis

asmatik kronis, keluhan awal mungkin adalah batuk dan mengi. Berat badan

pasien sering turun dan mungkin cukup banyak seolah-olah pasien mengidap

keganasan. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi edukasi, obat – obatan,

terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi. (1)

Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan

secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal

dalam waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh

karena kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung atau emboli paru.(4)

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

 Nama : Tn. TOL

 Jenis kelamin : Laki-laki

 Umur : 74 tahun

 Agama : Khatolik

 Pekerjaan : Pensiunan PNS

 Alamat : Oeba

 Tgl MRS IGD : 5 April 2016 (pukul 19:30 WITA)

 Tgl MRS Ruangan : 6 April 2016 (puul 16:50 WITA)

2.2 Anamnesis

 Keluhan Utama :

Sesak napas yang memberat sejak ± 1 minggu SMRS

 Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan sesak yang memberat sejak ± 1 minggu SMRS.

Sesak yang dialami hilang timbul dan memberat saat beraktifitas dan

membaik saat beristirahat. Sesak kadang dirasakan pada malam hari saat tidur

dan merasa lebih nyaman bila berbaring ke sebelah kanan dan tidur

menggunakan dua bantal di kepala. Keluhan juga disertai batuk ± 1 tahun

terakhir. Batuk yang dialami disertai lendir berwarna putih tidak disertai

darah, tidak disertai keringat malam dan tidak disertai penurunan berat badan.

Tidak ada keluhan demam, tidak ada keluhan nafsu makan menurun, BAB

3
dan BAK lancar. Diketahui 3 hari sebelumnya pasien melakukan aktifitas

potong kayu.

 Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien pernah dirawat di RSU bulan Januari 2010 dengan keluhan sesak dan

batuk. Riwayat hipertensi sejak 20 tahun terakhir. Pasien mengkonsumsi obat

hipertensi namun tidak teratur dan pasien lupa nama obatnya. Riwayat

penyakit lain (-). Tidak ada riwayat konsumsi obat selama 6 bulan.

 Riwayat Kebiasaan :

Merokok 5 bungkus per hari ± 39 tahun & minum alkohol tapi sudah berhenti

30 tahun yang lalu.

 Riwayat Alergi :

Sering gatal-gatal saat konsumsi ikan.

 Riwayat Keluarga :

Tidak ada riwayat keluarga yang memiliki keluhan yang sama.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tanda Vital :
 TD : 140/70 mmHg
 Nadi : 84 x /menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
 S : 36,6oC ; aksiler
 RR : 26 x/menit
Kepala : Bentuk normal, rambut tidak mudah dicabut, warna : hitam
dengan sedikit uban.
Kulit : Warna kulit gelap, Kelainan kulit (-),Sianosis (-), Ikterik (-), Pucat
(-)

4
Mata : edema periorbital -/-, Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-
), pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung (+/+)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), Deviasi septum (-), sekret (-/-),
epistaksis (-/-)
Telinga : Deformitas daun telinga (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), otorhea
(-/-)
Mulut : Mukosa bibir pucat, kering, sianosis (-), perdarahan gusi (-),
plak putih (-), atrofi lidah (-),Trismus (-).
Leher : Pembesaran KGB dan kelenjar tiroid (-), trakea letak di tengah,
JVP 5 +3 cm H2O, Penggunaan otot bantu napas (-/-)
Thoraks
Bentuk : Barrell chest, pelebaran vena (-), luka (-), scar (-), Massa
(-)
Pulmo Anterior
 Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, otot bantu pernapasan (-),
pelebaran sela iga (+)
 Palpasi : Vocal Fremitus D=S normal, Nyeri tekan (-) pada kedua
dinding dada
 Perkusi : Sonor (+/+) di seluruh lapangan paru
 Auskultasi : Vesikular (+/+),
Wheezing + + Ronkhi + +
+ + + +
+ + + +

Pulmo Posterior :
 Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, otot bantu pernapasan (-),
pelebaran sela iga (+)
 Palpasi : Vocal Fremitus D=S normal, Nyeri tekan (-) pada kedua
dinding dada
 Perkusi : Sonor (+/+) di seluruh lapangan paru

5
 Auskultasi : Vesikular (+/+),
Wheezing + + Ronkhi + +
+ + + +
+ + + +

Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS 5 linea midklavikula sinistra,
thrill (-)
 Perkusi :
Batas jantung atas : ICS 2 linea parasternal sinistra
Batas jantung bawah : ICS 6 linea midklavikula sinistra
Batas jantung kanan : ICS 4 linea parasternal dextra
Batas jantung kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
 Auskultasi : S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : kesan cembung, distensi (-), ascites (-)
 Auskultasi : Bising Usus (+) (4-5x/ menit) terdengar normal
 Palpasi : Supel, ballotement (-), Lien Schuffner 0. Ballotement (-),
ascites (-), Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral Hangat Hangat
CRT < 2 detik < 2 detik
Motorik 5 5

6
2.7 Pemeriksaan Penunjang

 Darah Lengkap

Nilai Rujukan 05 April 2016


Hb 13-18 g/dL 15.8
RBC 4.50 - 6.20 x 10^6/uL 5.69
Hct 40.0 – 54.0 % 50.8 %
MCV 81.0 – 96.0 fL 89.3
MCH 27.0 – 26.0 pg 27.8
MCHC 31-37 g/L 31.1
WBC 4-10 x 10^3/ uL 11.85
Eosinofil 0-4% 3
Basofil 0-1% 0,5
Neutrofil 50-70% 74.8
Limfosit 20-40% 9.0
Monosit 2-8% 12.7
Trombosit 150-400 x 10^6/ uL 276
Natrium 136 – 145 mmol/L 139
Kalium 3,1 – 5,1 mmol/L 38
Klorida 98 – 106 mmol/L 100
GDS 70 – 150 mg/dL 218
Ureum darah 17.00 – 43.00 mg/dL 58.80
Kreatinin darah 0.7-1.3 0.98

7
 Foto Thorax

Ekspertise : KP tak aktif, cor normal.

 EKG

o Irama sinus takikardi

o Frekuensi 120 x/menit

o LAD

o Left atrial enlargement

8
Follow Up Pasien

Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning


Treatment
07/4/2016 Sesak napas +, KU Sakit sedang, PPOK O2 4-6 lpm nasal
batuk lendir + CM, E4V5M6 eksaserbasi akut canul
TD: 160/100 IVFD RL 20 tpm
mmHg GG 3x2 tab
Nadi: 92 x/menit, Nebulasi
regular kuat angkat combivent/12 jam
Suhu: 36,4 0C Injeksi ceftriaxone
Napas: 25 x/menit 2x1 gr/iv
Mata: anemis -/-
Pulmo: ves +/+, rh
+/+, wheezing +/+
Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop -
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
08/4/2016 Sesak napas ↓, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL 20 tpm
batuk lendir + CM, E4V5M6 eksaserbasi akut Nebulasi
TD: 140/90 mmHg combivent 1 ampul
Nadi: 84 x/menit, : NaCl 0,9% 6cc /
regular kuat angkat 12 jam
Suhu: 36,4 0C GG 3x2 tab
Napas: 24 x/menit Injeksi ceftriaxone
Mata: anemis -/- 2x1 gr/iv
Pulmo: ves +/+, rh Metylprednisolon
+/+, wheezing +/+ 2x62,5 mg
Cor: S1/2 tunggal, Ranitidin 2x1 amp
murmur -, gallop -
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
09/4/2016 Sesak napas ↓, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL /12 jam
batuk lendir + CM, E4V5M6 eksaserbasi akut Nebulasi
TD: 140/80 mmHg combivent 1 ampul
Nadi: 73 x/menit, : NaCl 0,9% 6cc /
regular kuat angkat 12 jam
Suhu: 36,5 0C GG 3x2 tab
Napas: 16 x/menit Injeksi ceftriaxone

9
Mata: anemis -/- 2x1 gr/iv
Pulmo: ves +/+, rh Metylprednisolon
+/+, wheezing +/+ 1x62,5 mg
Cor: S1/2 tunggal, Ranitidin 2x1 amp
murmur -, gallop - Furosemide 1x1
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
10/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL /12 jam
batuk lendir ↓ CM, E4V5M6 eksaserbasi akut Nebulasi
TD: 120/60 mmHg combivent 1 ampul
Nadi: 86 x/menit, : NaCl 0,9% 6cc /
regular kuat angkat 12 jam
Suhu: 37 0C Injeksi ceftriaxone
Napas: 18 x/menit 2x1 gr/iv
Mata: anemis -/- Metylprednisolon
Pulmo: ves +/+, rh 2x62,5 mg
+/+, wheezing -/- GG 3x2 tab
Cor: S1/2 tunggal, Ranitidin 2x1 amp
murmur -, gallop - Furosemide 1x1
Abd: BU (+), nyeri amp
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
11/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL 500
batuk lendir ↓ CM, E4V5M6 eksaserbasi akut cc/24 jam
TD: 110/70 mmHg Nebulasi
Nadi: 76 x/menit, combivent 1 ampul
regular kuat angkat : NaCl 0,9% 6cc /
Suhu: 37 0C 12 jam
Napas: 22 x/menit Injeksi ceftriaxone
Mata: anemis -/- 1x2 gr/iv
Pulmo: ves +/+, rh Metylprednisolon
+/+, wheezing -/- 2x62,5 mg
Cor: S1/2 tunggal, Ranitidin 2x1 amp
murmur -, gallop - Furosemide 1x110
Abd: BU (+), nyeri mg
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),

10
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning Therapy
12/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL : D5 1:1
batuk lendir + CM, E4V5M6 eksaserbasi akut 20 tpm
TD: 130/80 mmHg Injeksi ceftriaxone
Nadi: 76 x/menit, 1x2 gr/iv
regular kuat angkat Ranitidin 2x1 amp
Suhu: 36,7 0C Nace 2x1 ampul
Napas: 19 x/menit
Mata: anemis -/-
Pulmo: ves +/+, rh
+/+, wheezing -/-
Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop -
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
13/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL : D5 1:1
batuk lendir ↓ CM, E4V5M6 eksaserbasi akut 20 tpm
TD: 120/60 mmHg Injeksi ceftriaxone
Nadi: 70 x/menit, 1x2 gr/iv
regular kuat angkat Ranitidin 2x1 amp
Suhu: 360C Nace 2x1 ampul
Napas: 20 x/menit
Mata: anemis -/-
Pulmo: ves +/+, rh
+/+ ↓, wheezing -
/-
Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop -
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
14/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL : D5 1:1
batuk lendir ↓ CM, E4V5M6 eksaserbasi akut 20 tpm
TD: 120/60 mmHg Injeksi ceftriaxone
Nadi: 70 x/menit, 1x2 gr/iv
regular kuat angkat Ranitidin 2x1 amp
Suhu: 360C Nace 2x1 ampul
Napas: 20 x/menit
Mata: anemis -/-

11
Pulmo: ves +/+, rh
-/-, wheezing -/-
Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop -
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menurut perhimpunan dokter paru

Indonesia adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh

hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan

berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang

beracun /berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat

berat penyakit., sedangkan menurut Global Iinitiative for Chronic Obstructive

Lung Disease (GOLD), penyakit paru obstruktif kronis berhubungan dengan

respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun. (1,2)

Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan

antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan

parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. Bronkitis kronik dan

emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena emfisema merupakan diagnosis

patologik dan bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis. Selain itu, keduanya

tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran napas. (1)

3.2 Epidemiologi

PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang

terekpose karena kurangnya informasi yang diberikan. Di Amerika Serikat data

tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% pada laki-laki

sebesar 11,8% dan untuk perempuan 8,5%. Sedangkan mortalitas menduduki

peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada

13
tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai

1991. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan

6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%). (3)

Hasil Penelitian lain dari Bold Study pada 12 negara di dunia dengan jumlah

sampel total sebesar 9425 responden yang telah dilakukan pemeriksaan spiro-

metri dan mengisi kuesioner yang berisi gejala respirasi, status kesehatan dan

faktor risiko pajanan PPOK, menunjukkan hasil 5 besar PPOK menurut jenis

kelamin sebagai berikut :

Tabel 1. Lima Besar Negara Dengan PPOK Menurut Jenis Kelamin (3)

Dari tabel di atas terlihat bahwa secara umum prevalensi PPOK lebih tinggi

pada laki-laki- dibandingkan perempuan, dan kota Cape Town di Afrika Selatan

menunjukkan prevalensi PPOK tertinggi baik laki-laki maupun perempuan.

Sedang-kan kota Lexington di Amerika Serikat prevalensi PPOK tertinggi kedua

pada kelompok perempuan namun pada laki-laki hanya menunjukan prevalen-si

kelima dari 12 negara yang diteliti. (3)

Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok yang banyak dipastikan

memiliki prevalensi PPOK yang tinggi. Namun sangat disayangkan data

14
prevalensi PPOK tidak dimiliki oleh Indonesia. Di Indonesia tidak ada data yang

akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

1986 asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke - 5 sebagai

penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes

RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis dan

emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di

Indonesia. (1,3)

15
3.3 Klasifikasi

Global Iinitiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)

mengklasifikasikan PPOK ke dalam derajat ringan, sedang, berat dan sangat berat

melalui keterbatasan aliran udara yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Klasifikasi PPOK Berdasarkan Keterbatasan Aliran Udara (1,2)

Derajat Klinis Faal Paru

Gejala klinis (batuk, produksi sputum) Normal

Derajat I : PPOK Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada VEP1 / KVP < 70 %.
tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering
Ringan tidak menyadari bahwa fungsi paru mulai VEP1  80% prediksi
menurun

Derajat II : PPOK Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan VEP1 /KVP < 70 %
Sedang kadang ditemukan gejala batuk dan produksi
sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai 50% < VEP1 < 80%
memeriksakan kesehatannya prediksi

Derajat III : PPOK Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa VEP1 /KVP < 70 %
lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering
Berat dan berdampak pada kualitas hidup pasien 30% < VEP1 < 50%
prediksi

Derajat IV: PPOK Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas VEP1/ KVP < 70 %
Sangat Berat atau gagal jantung kanan dan ketergantungan
oksigen. Pada derajat ini kulitas hidup pasien VEP1< 30% prediksi
memburuk dan jika eksaserbasi dapat atau VEP1 < 50%
mengancam jiwa prediksi disertai gagal
napas kronik

16
3.4 Faktor Resiko

Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang

terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan

riwayat merokok perlu diperhatikan :

a. Riwayat merokok : Perokok aktif, perokok pasif atau bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian

jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok

dalam tahun :

- Ringan : 0 - 200

- Sedang : 200 - 600

- Berat : > 600 (1)

Menghirup asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan

inflamasi pada paru. Jika berlangsung kronis maka dapat menyebabkan destruksi

parenkim paru (pada emfisema), dan mengganggu mekanisme pertahanan dan

repair dari tubuh. (5)

Selain rokok, faktor resiko lain untuk terjadinya penyakit paru obstruktif

kronis adalah riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja,

hipereaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, dan

defisiensi antitripsin alfa–1 namun umumnya hal ini jarang terdapat di Indonesia.
(1)

3.5 Patogenesis

Perubahan patologis yang khas pada PPOK dapat ditemukan pada saluran

napas, parenkim paru dan vaskularisasi paru. Perubahan patologis termasuk di

17
dalamnya inflamasi kronis yang menyebabkan peningkatan jumlah sel inflamasi

yang spesifik pada paru dan perubahan struktural akibat dari injuri yang berulang.

Secara umum, inflamasi dan perubahan struktural pada saluran napas meningkat

seiring dengan tingkat keparahan penyakit dan menetap walaupun sudah berhenti

merokok. (5)

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena

perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi

sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. Tabel

berikut menjelaskan konsep patogenesis PPOK (1)

Emfisema dan Bronkitis Kronis

Emfisema ditandai dengan pembesaran permanen rongga udara yang

terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut.

Emfisema adalah definisi morfologik, sedangkan bronkitis kronis didefinisikan

berdasarkan gambaran klinis, seperti adanya batuk kronis rekuren disertai

pengeluaran mukus yang berlebihan. Kedua, pola anatomik distribusi juga

berbeda. Bronkitis kronis mengenai saluran napas besar dan kecil (komponen

terakhir disebut bronkiolitis kronis untuk menunjukkan keterlibatan); sebaliknya

18
emfisema terbatas di asinus, struktur yang terletak distal pada bronkiolus terminal.
(6)

a. Emfisema

Emfisema terjadi akibat dua ketidakseimbangan penting, yaitu

ketidakseimbangan protease-antiprotease dan ketidakseimbangan oksidan-

antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir terjadi secara bersamaan, dan pada

kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat dalam menyebabkan kerusakan

jaringan sebagai akibat akhir. Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease

didasarkan pada pengamatan bahwa pasien dengan defisiensi genetik antiprotease

antitripsin-α1 memperlihatkan kecenderungan besar mengalami emfisema paru,

yang diperparah merokok. Sekitar 1% dari semua pasien dengan emfisema

menderita defisiensi ini. Antitripsin-α1 yang secara normal terdapat dalam serum,

cairan jaringan, dan makrofag, merupakan inhibitor utama protease (terutama

elastase) yang dikeluarkan oleh neutrofil sewaktu peradangan. Enzim tersebut

dikode oleh gen yang diekspresikan secara kodominan di lokus inhibitor

proteinase (Pi) pada kromosom 14. Lokus Pi bersifat sangat polimorfik, dengan

banyak alel yang berlainan. Yang terpenting adalah alel normal (M) dan

fenotipenya PiMM. Sekitar 0,012% populasi AS bersifat homozigot untuk alel Z

(PiZZ), yang berkaitan dengan penurunan mencolok kadar antitripsin-α1 serum.

Banyak dari mereka yang kemudian menderita emfisema simtomatik,

dipostulasikan terjadi rangkaian berikut :

19
 Neutrofil (sumber utama protease sel) secara normal mengalami

sekuestrasi di kapiler perifer, termasuk di paru, dan beberapa

memperoleh akses ke rongga alveolus.

 Setiap rangsangan yang meningkatkan, baik jumlah leukosit (neutrofil

dan makrofag) di paru maupun pelepasan granula yang mengandung

protease, meningkatkan aktivitas proteolitik.

 Pada kadar antitripsin-α1 serum yang rendah, destruksi jaringan elastik

menjadi tidak terkendali dan timbul emfisema.

Oleh karena itu, emfisema dipandang sebagai akibat destruktif peningkatan

aktivitas protease pada orang dengan aktivitas antitripsin yang rendah. Hipotesis

ketidakseimbangan protease-antiprotease juga membantu menjelaskan efek

merokok dalam terjadinya emfisema :

 Pada perokok, neutrofil dan makrofag berkumpul di alveolus.

Mekanisme peradangan masih belum sepenuhnya jelas, tetapi mungkin

melibatkan efek kemoatraktan langsung dari nikotin serta efek spesies

oksigen reaktif yang terdapat di dalam asap rokok. Hal ini

mengaktifkan transkripsi nuclear faktor κB (NF-κB), yang

mengaktifkan gen untuk faktor nekrosis tumor (TNF) dan interleukin-8

(IL-8). Hal ini, kemudian, menarik dan mengaktifkan neutrofil.

 Neutrofil yang berkumpul mengalami pengaktifan dan membebaskan

granulanya, yang kaya akan beragam protease sel (elastase neutrofil,

proteinase 3, dan katepsin G) sehingga terjadi kerusakan jaringan.

20
 Merokok juga meningkatkan aktivitas elastase di makrofag; elastase

makrofag tidak dihambat oleh antitripsin-α1, bahkan dapat secara

proteolitis mencerna antiprotease ini.kini semakin banyak bukti bahwa

selain elastase, metaloproteinase matriks yang berasal dari makrofag

dan neutrofil juga berperan pada kerusakan jaringan.

 Merokok juga mungkin berperan dalam memperpanjang

ketidakseimbangan oksidan-antioksidan. Dalam keadaan normal, paru

mengandung sejumlah antioksidan (superoksida dismutase, glutation)

yang menekan kerusakan oksidatif hingga tingkat minimum. Asap

rokok mengandung spesies oksigen reaktif (radikal bebas), yang

menghabiskan mekanisme antioksidan ini sehingga terjadi kerusakan

jaringan. Neutrofil aktif juga menambah spesies oksigen reaktif di

alveolus. Akibat sekunder cedera oksidatif ini adalah inaktivasi

antiprotease yang terdapat dalam paru sehingga terjadi defisiensi

fungsional antitripsin-α1, bahkan pada pasien yang tidak mengalami

defisiensi enzim. (6)

Secara singkat, tumbukan partikel asap, terutama di percabangan

bronkiolus respiratorik, mungkin menyebabkan influks neutrofil dan makrofag;

kedua sel tersebut mengeluarkan berbagai protease. Peningkatan aktivitas protease

yang terletak di regio sentriasinar menyebabkan terbentuknya emfisema pola

sentriasinar seperti ditemukan pada para perokok. Kerusakan jaringan diperhebat

oleh inaktivasi antiprotease (yang bersifat protektif) oleh spesies oksigen reaktif

yang terdapat dalam asap rokok.(6)

21
b. Bronkitis Kronis

Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mukus, yang dimulai

di saluran napas besar. Meskipun faktor penyebab terpenting adalah merokok,

polutan udara lain, seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, juga berperan.

Berbagai iritan ini memicu hipersekresi kelenjar mukosa bronkus, menyebabkan

hipertrofi kelenjar mukosa, dan menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet

penghasil musin di epitel permukaan bronkus. Selain itu, zat tersebut juga

menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD8+, makrofag dan neutrofil.

Berbeda dengan asma, pada bronkitis kronis eosinofil jarang ditemukan, kecuali

jika pasien mengidap bronkitis asmatik. Dipostulasikan bahwa banyak efek iritan

lingkungan pada epitel pernapasan diperantarai melalui reseptor faktor

pertumbuhan epidermis. Sebagai contoh, transkripsi gen musin MUC5AC, yang

meningkat sebagai akibat terpajan asap tembakau, baik in vitro maupun in vivo

pada model eksperimental, sebagian diperantarai oleh jalur reseptor faktor

pertumbuhan epidermis. Infeksi mikroba sering terjadi, tetapi hanya berperan

sekunder terutama dengan mempertahankan peradangan dan memperparah

gejala.(6)

Eksaserbasi

Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi

dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus

atau oleh polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan

eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum diketahui. Dalam eksaserbasi

ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil, beberapa studi lainnya juga

22
menemukan eosinofil dalam dahak dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan

dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan

IL-8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif. Pada eksaserbasi berat masih

banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian menunjukkan

peningkatan neutrofil pada dinding saluran nafas dan peningkatan ekspresi

kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan

terperangkapnya udara, dengan aliran ekspirasi berkurang, sehingga terjadi sesak

napas yang meningkat. Terdapat juga memburuknya abnormalitas VA / Q yang

mengakibatkan hipoksemia berat.(6)

3.6 Manifestasi Klinis

Dispnea biasanya adalah gejala pertama; gejala ini muncul secara perlahan,

tetapi progresif. Pada pasien yang sudah mengidap bronkitis krnis atau bronkitis

asmatik kronis, keluhan awal mungkin adalah batuk dan mengi. Berat badan

pasien sering turun dan mungkin cukup banyak seolah-olah pasien mengidap

keganasan. Uji fungsi paru memperlihatkan penurunan FEV1 dengan FVC normal

atau mendekati normal. Oleh karena itu, rasio FEV1 terhadap FVC berkurang.(6)

Gambaran klasik pada individu yang tidak memiliki komponen bronkitis

adalah dada berbentuk tong, dispnea, dengan ekspirasi yang jelas memanjang, dan

pasien duduk maju dalam posisi membungkuk ke depan, berupaya memeras udara

keluar dari paru setiap kali ekspirasi. Pada pasien ini, ruang udara sangat

membesar dan kapasitas difusi rendah. Dispnea dan hiperventilasi tampak jelas

sehingga sampai pada stadium lanjut penyakit pertukaran gas masih adekuat dan

23
nilai gas darah relatif normal. Karena dispnea menonjol sementara oksigenasi

hemoglobin adekuat, para pasien ini kadang-kadang disebut “pink puffers”. (6)

Pasien dengan emfisema yang juga menderita bronkitis kronis berat dan

riwayat infeksi berulang dengan dahak purulen biasanya tidak terlalu

memperlihatkan dispnea dan upaya bernapas sehingga mereka menahan karbon

dioksida, menjadi hipoksik, dan sering sianotik. Sebagian besar pasien dengan

emfisema dan PPOK terletak diantara kedua ekstrem klasik ini. Pada semua

pasien, timbul hipertensi pulmonal sekunder secara perlahan, karena spasme

vaskular paru yang dipicu hipoksia dan berkurangnya luas permukaan kapiler paru

akibat kerusakan alveolus.(6)

Pada pasien dengan bronkitis kronis, batuk dan pembentukan sputum dapat

berlangsung terus menerus tanpa disfungsi ventilasi, namun pada pasien PPOK

yang disertai obstruksi aliran keluar udara dapat disertai hiperkapnia, hipoksemia

dan pada kasus yang berat dapat terjadi sianosis. (6)

3.7 Penegakkan Diagnosis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan

hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan

kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru.(1) Diagnosis PPOK dipertimbangkan

bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci diterangkan pada tabel berikut:

24
Tabel 3. Gejala PPOK (1)

Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indikator

ini ada pada individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan

diagnostik pasti, tetapi keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan

kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk memastikan

diagnosis PPOK.(1)

Gambaran Klinis

1. Anamnesis

 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

25
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir

rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok

dan polusi udara

 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi(1)

2. Pemeriksaan Fisis

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

 Inspeksi

o Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)

o Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)

o Penggunaan otot bantu napas

o Hipertropi otot bantu napas

o Pelebaran sela iga

o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis

di leher dan edema tungkai

o Penampilan pink puffer atau blue bloater

 Palpasi : Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

 Perkusi : Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak

diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

 Auskultasi

o Suara napas vesikuler normal, atau melemah

o Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau

pada ekspirasi paksa

26
o Ekspirasi memanjang

o Bunyi jantung terdengar jauh

 Pink puffer : Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit

kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing

 Blue bloater : Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk

sianosis, terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis

sentral dan perifer

 Pursed-lips breathing : Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan

mulutmencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai

mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yangterjadi pada gagal

napas kronik.(1)

Pemeriksaan rutin

1. Faal Paru

 Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau

VEP1/KVP (%).

o Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%

(VEP1/KVP) < 75%

o VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai

untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan

penyakit

o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin

dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai

27
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan

sore, tidak lebih dari 20%

2. Laboratorium darah : Hb, Ht, Tr, Lekosit, Analisis Gas Darah

3. Radiologi

 Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit

paru lain

 Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang

retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung

(jantung pendulum/tear drop / eye dro appearance)

 Pada bronkitis kronik : Normal, corakan bronkovaskuler bertambah

pada 21% kasus

Pemeriksaan penunjang lanjutan

1. Faal paru lengkap

 Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti

Paru Total (KRT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

 DLCO menurun pada emfisema

 Raw meningkat pada bronkitis kronik

 Sgaw meningkat

 Variabiliti Harian APE kurang dari 20%

2. Uji latih kardiopulmoner

 Sepeda statis (ergocycle)

 Jentera (treadmill)

 Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

28
3. Uji provokasi bronkus : Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus,

pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan

4. Analisis gas darah : terutama untuk menilai : gagal napas kronik stabil dan

gagal napas akut pada gagal napas kronik

5. Radiologi

 CT-Scan resolusi tinggi

 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema

atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

 Scan ventilasi perfusi

 Mengetahui fungsi respirasi paru

6. Elektrokardiografi (EKG) : mengetahui komplikasi pada jantung yang

ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan

7. Ekokardiografi : menilai fungsi jantung kanan

8. Bakteriologi : pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan

kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk

memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan

penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia

9. Kadar α-1 antitripsin : Kadar antitripsin α1 rendah pada emfisema herediter

(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin α1 jarang ditemukan di

Indonesia.(1)

3.8 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:

1. Mengurangi gejala

29
2. Mencegah progresifitas penyakit

3. Meningkatkan toleransi latihan

4. Meningkatkan status kesehatan

5. Mencegah dan menangani komplikasi

6. Mencegah dan menangani eksaserbasi

7. Menurunkan kematian

Tabel 4. Penatalaksanaan Menurut Derajat PPOK (pdpi)

DERAJAT I DERAJAT II** DERAJAT III DERAJAT IV


VEP1/KVP <
VEP1 /KVP < 70% VEP1 /KVP ≤ 70%
70%50 % < VEP1 /KVP < 70%
30 % ≤VEP1≤ 50 %
VEP1 ≥80 % prediksi VEP1<80 % VEP1 < 30 % prediksi
prediksi
prediksi

o Hindari faktor risiko : Berhenti Merokok, Pajanan Kerja


o Dipertimbangkan pemberian vaksinasi influenza
o Tambakan bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan)

o Berikan pengobatan rutin dengan satu atau lebih bronkodilator


kerja lama
o Tambahkan rehabilitasi fisis

o Tambahkan inhalasi glukokortikosteroid jika


terjadi eksaserbasi berulang-ulang

o Tambahkan pemberian
oksigen jangka
panjang kalau terjadi
gagal napas kronik
o Lakukan tindakan
operasi bila diperlukan

30
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi edukasi, obat – obatan, terapi

oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi. (1)

1 Edukasi

Tujuan edukasi pada pasien PPOK adalah untuk mengenal perjalanan penyakit

dan pengobatan, melaksanakan pengobatan yang maksimal, mencapai aktivitas

optimal, dan meningkatkan kualitas hidup. Bahan edukasi yang dapat diberikan

pada pasien PPOK adalah sebagai berikut :

 Berhenti merokok : disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu

diagnosis PPOK ditegakkan

 Penggunaan obat – obatan : macam obat dan jenisnya, cara penggunaannya

yang benar ( oral, MDI atau nebuliser ), waktu penggunaan yang tepat ( rutin

dengan selang waku tertentu atau kalau perlu saja ), dosis obat yang tepat dan

efek sampingnya

 Penggunaan oksigen : kapan oksigen harus digunakan, berapa dosisnya, dan

mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen, mengenal dan mengatasi

efek samping obat atau terapi oksigen

 Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya : tanda eksaserbasi seperti

batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah atau sputum berubah warna

 Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

 Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas (1)

31
2. Obat-Obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat

diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.

Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau

obat berefek panjang ( long acting ).

Macam - macam bronkodilator :

 Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator

juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

 Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah

penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat

pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.

Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak

dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau

drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,

karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

32
 Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,

terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk

mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk

mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan

pemeriksaan kadar aminofilin darah. (1)

Tabel 5. Daftar Obat Yang Umum Dipakai Pada PPOK (7)

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi

intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan

33
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka

panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat

perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.(1)

c. Antibiotik

Diberikan jika gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan

volume dan purulensi sputum. Antibiotik hendaknya diberikan dengan

spektrum luas yang bisa menghadapi H. influenzae, S. pneumoniae dan M.

catarrhalis sambil menunggu hasil kultur sensitivitas kuman. Berdasarkan

penelitian, ketiga kuman di atas merupakan kuman penyebab eksaserbasi akut

yang paling sering ditemukan.(1) Antibiotik yang sering digunakan pada kasus

akut eksaserbasi ini bisa dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6. Daftar Antibiotik Yang Umum Dipakai Pada PPOK Eksaserbasi

Akut (7)

34
3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan

hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah

kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Manfaat oksigen adalah

untuk mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulmonal,

mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsi

neuropsikiatri, dan meningkatkan kualitas hidup, dan pemberian oksigen harus

mencapai saturasi oksigen di atas 90%. (1)

Indikasi terapi oksigen :

- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,

perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,

sleep apnea, penyakit paru lain

Macam-macam terapi oksigen :

- Pemberian oksigen jangka panjang

- Pemberian oksigen pada waktu aktivitas

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas (1)

4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal

napas akut atau pada pasien PPOK derajat berat. Ventilasi mekanik dapat

35
dilakukan dengan cara ventilasi mekanik dengan intubasi dan ventilasi mekanik

tanpa intubasi.

a. Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas

kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa

intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative

Pessure Ventilation (NPV). NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :

- Volume control

- Pressure control

- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)

- Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus

(LTOT / Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang

signifikan pada analisis gas darah, kualitas dan kuantitas tidur dan kualitas hidup.

Indikasi penggunaan NIPPV :

- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi

dan abdominal paradoksal

- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35

- Frekuensi napas > 25 kali per menit (1)

NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,

disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana. (1)

36
b. Ventilasi mekanik dengan intubasi

Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di

rumah sakit bila gagal napas yang pertama kali, perburukan yang belum lama

terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki (misalnya pneumonia),

dan aktivitas sebelumnya tidak terbatas. (1)

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :

- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan

pergerakan abdominal paradoksal

- Frekuensi napas > 35 permenit

- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)

- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)

- Henti napas

- Samnolen, gangguan kesadaran

- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)

- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,

barotrauma, efusi pleura masif)

- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Kontraindikasi pemasangan ventilasi mekanik :

- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya

- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan

- Aktivitas sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal (1)

37
5. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya

kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena

hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.

Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan

derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Mengatasi

malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi

masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2

yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara

kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat

diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.

Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.

Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi

semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan

hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein

dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi

pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat

sekunder dari gangguan ventilasi. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi

seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering. (1)

6. Rehabilitasi

Tujuan program rehabilitasi adalah untuk meningkatkan toleransi latihan dan

memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke

38
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan

optimal yang disertai :

- Simptom pernapasan berat

- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat

- Kualitas hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim

multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.

Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan

latihan pernapasan dan ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas

sistem transportasi oksigen. (1)

3.9 Komplikasi

PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu

ke waktu, bahkan dengan perawatan yang terbaik. Gejala dan perubahan obstruksi

saluran napas harus dipantau untuk menentukan modifikasi terapi dan

menentukan adanya komplikasi. Pada penilaian awal saat kunjungan harus

mencakup gejala khususnya gejala baru atau perburukan dan pemeriksaan fisik.

Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif

dan tidak sepenuhnya reversibel seperti:

 Gagal napas

o Gagal napas kronik

o Gagal napas akut pada gagal napas kronik

 Infeksi berulang

 Kor pulmonal (1)

39
Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas

dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam hingga

kesadaran menurun. Infeksi berulang pada pasien PPOK diakibatkan oleh

produksi sputum yang berlebihan yang dapat menyebabkan terbentuknya koloni

kuman sehingga memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini

imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.

Kor pulmonal yang terjadi pada PPOK ditandai oleh P pulmonal pada EKG,

hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan. Peningkatan tekanan vena

jugular dan pitting edema pergelangan kaki merupakan temuan yang berguna

untuk memperkirakan kor pulmonal dalam praktek klinis. Namun tekanan vena

jugularis seringkali sulit dinilai pada pasien PPOK karena perubahan besar dalam

tekanan intratorakal. Diagnosis korpulmonal dapat melalui sejumlah pemeriksaan

diantaranya radiografi, elektrokardiografi, ekokardiografi, skintigrafi

radionukleotida, dan pencitraan resonansi magnetik (MRI). Pemeriksaan di atas

tidak serta merta dapat menegakkan diagnosis korpulmonar secara akurat.

3.10 Prognosis

Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan

secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal

dalam waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh

karena kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung atau emboli paru. (4)

40
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus didapatkan seorang laki-laki umur 74 tahun masuk rumah sakit

dengan keluhan utama sesak napas yang memberat sejak ± 1 minggu SMRS.

Sesak yang dialami hilang timbul dan memberat saat beraktifitas dan membaik

saat beristirahat. Sesak kadang dirasakan pada malam hari saat tidur dan merasa

lebih nyaman bila berbaring ke sebelah kanan dan tidur menggunakan dua bantal

di kepala. Keluhan juga disertai batuk yang hilang timbul ± 1 tahun terakhir.

Batuk yang dialami disertai lendir berwarna putih tidak disertai darah, tidak

disertai keringat malam dan tidak disertai penurunan berat badan. Tidak ada

keluhan demam, tidak ada keluhan nafsu makan menurun, BAB dan BAK lancar.

Diketahui 3 hari sebelumnya pasien melakukan aktifitas potong kayu. Pasien juga

pernah dirawat di RSU bulan Januari 2010 dengan keluhan sesak dan batuk serta

pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 20 tahun terakhir dan mengkonsumsi

obat hipertensi namun tidak teratur dan pasien lupa nama obatnya. Pasien juga

diketahui memiliki kebiasaan merokok 5 bungkus per hari ± 39 tahun tapi sudah

berhenti 30 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan tensi 140/70, nadi

84x/menit, respirasi 26 kali/menit dan suhu badan 36,6 derajat celsius. Pada

pemeriksaan thoraks ditemukan pergerakan dinding dada simetris, bentuk dada

barrel chest, sela iga melebar, dan pada auskultasi didengarkan bunyi napas

tambahan berupa rhonki dan wheezing.

Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti sesak

yang progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu) dan bertambah

41
berat dengan aktivitas serta persistent (menetap sepanjang hari), batuk kronik

yang hilang timbul, bisa disertai dahak dan mungkin tidak berdahak serta riwayat

terpajan faktor resiko, terutama asap rokok. debu dan bahan kimia di tempat kerja,

dan berbagai bahan iritan lainnya. Pada pemeriksaan fisik, pada inspeksi dapat

ditemukan pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu), barrel

chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding), penggunaan otot

bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila telah terjadi

gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai,

penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus,

kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing) atau blue bloater

(gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema

tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer). Sedangkan

pada palpasi, pada emfisema didapatkan fremitus yang melemah dan sela iga

melebar. Pada perkusi, emfisema menunjukkan hipersonor dan batas jantung

mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar terdorong ke bawah. Pada

pemeriksaan auskultasi bisa didapatkan suara napas vesikuler normal, atau

melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada

ekspirasi paksa. Pada pemeriksaan penunjang dengan menggunakan siprometri,

maka obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).

Dikatakan mengalami obstruksi apabila % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80%

VEP1% (VEP1/KVP) < 75%. VEP1 % merupakan parameter yang paling umum

dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter

42
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau

variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. Pada pemeriksaan radiologi

dapat terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar,

diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye dro

appearance) pada emfisema, sedangkan pada bronkitis kronik bisa didapatkan

gambaran yang normal atau corakan bronkovaskuler bertambah (pada 21% kasus)

Berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk berlendir, dan diketahui

pasien memiliki riwayat merokok 5 bungkus per hari ± 39 tahun, serta dari hasil

pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada simetris, bentuk dada

barrel chest, sela iga melebar, dan pada auskultasi didengarkan bunyi napas

tambahan berupa rhonki dan wheezing serta pada pemeriksaan radiologi pada

pasien ini ditemukan corakan bronkovaskuler yang bertambah , maka dapat

disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit paru obstruktif

kronis, sedangkan untuk derajat penyakitnya, jika dilihat dari gejala klinis, maka

pasien ini masuk dalam PPOK derajat sedang, yaitu gejala sesak mulai dirasakan

saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada

derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya. Untuk menentukan

derajat penyakit yang pasti dan mengetahui presentasi obstruksi aliran napas,

perlu dilakukan tes faal paru (spirometri), namun tidak dilakukan pada pasien ini

dikarenakan keterbatasan sarana dan prasarana. Spirometri digunakan untuk

mengkonfirmasi adanya obstruksi saluran napas atau tidak dan seberapa berat

obstruksi yang dialami.

43
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan onset

biasanya pada usia pertengahan, perkembangan gejala bersifat progresif lambat,

riwayat pajanan seperti merokok polusi udara, sesak saat melakukan aktivitas, dan

hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).

Disingkirkan diferensial diagnosa asma bronkial karena sebelumnya pasien tidak

pernah mengalami serangan asma, walaupun pasien memiliki riwayat atopi yaitu

sering gatal-gatal saat makan ikan, namun tidak ada riwayat keluarga dengan

asma maupun atopi/alergi. Selain itu pada asma biasanya serangan dicetuskan

oleh suatu pemicu (alergen, iritan, latihan fisik, emosi), terjadi episode akut yang

dipisahkan oleh episode bebas gejala, dan episode nokturna umum terjadi. Selain

itu, asma biasanya muncul pada onset usia muda, dan obstruksi bersifat reversibel.

Onset PPOK biasanya pada usia pertengahan dengan gejala progresif lambat,

sesak saat aktivitas, dan sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel;

sedangkan asma onsetnya biasa awal sering pada anak, gejala bervariasi dari hari

ke hari, terutama pada malam / menjelang pagi disertai alergi, rinitis atau eksim,

riwayat keluarga dengan asma dan sebagian besar keterbatasan aliran udara

reversibel

Disingkirkan DD TB paru karena batuk tidak disertai darah, tidak terdapat

penurunan berat badan, dan tidak ada keluhan berkeringat malam hari dan juga

tidak ada riwayat penggunaan OAT. Penyakit paru obstruksi kronis merupakan

penyakit paru kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam

saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif, biasanya

disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas

44
berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini

dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK biasanya adalah rokok,

asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya. Gejala PPOK terutama

berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti

karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan

pengobatan yang diberikan. Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas.

Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat

progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Selain itu juga perlu

dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3x , gram, untuk menyingkirkan diagnosa

TB.

Tujuan terapi PPOK menurut teori adalah untuk mengurangi gejala ,

mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan , meningkatkan

status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani

eksaserbasi, dan menurunkan kematian. Penatalaksanaan secara umum PPOK

meliputi edukasi, obat – obatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan

rehabilitasi. Terapi dberikan pada pasien ini adalah oksigen 4-6 lpm nasal canul,

IVFD RL 20 tpm, nebulasi combivent/12 jam, injeksi ceftriaxone 2x1 gr/iv,

metylprednisolon 2x62,5 mg, N-ace 2x1 ampul, dan furosemide 1x1.

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan

hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah

kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Pasien ini diberikan

45
oksigen 4-6 L/menit bertujuan untuk mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas,

mengurangi hipertensi pulmonal, mengurangi vasokonstriksi, mengurangi

hematokrit, memperbaiki fungsi neuropsikiatri, dan meningkatkan kualitas hidup.

Obat-obatan yang diberikan pada PPOK adalah bronkodilator yang

diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat

diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.

Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau

obat berefek panjang (long acting.) Yang diberikan pada pasien ini adalah

nebulizer combivent yang berisi ipatropium bromida ((golongan antikolinergik)

dan salbutamol sulfat (ß2-agonis) yang bersifat short acting dan bertujuan sebagai

bronkodilator utama pada PPOK. Kombinasi kedua golongan obat ini akan

memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang

berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan

mempermudah penderita. Selanjutnya pasien ini diberikan N-ace (N-

Acetylcysteine) yang bertujuan untuk mengencerkan dahak yang menghalangi

saluran pernapasan. Asetilsistein berfungsi menurunkan viskositas sekret paru

pada pasien radang paru. Aktivitas mukolitik obat ini langsung terhadap

mukoprotein dengan melepaskan ikatan disulfidanya, sehingga menurunkan

viskositas sputum. Pasien ini juga diberikan ekspektoran berupa gliseril guaiakolat

yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran napas (ekspektorasi).

Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan

selanjutnya secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran napas lewat nervus

46
vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak.

Pemberian antiinflamasi pada PPOK digunakan bila terjadi eksaserbasi akut

dalam bentuk oral atau injeksi intravena. Pemberian antiinflamasi pada PPOK

berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi, dan biasanya dipilih golongan

metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang

diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1

pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. Pada pasien ini

diberikan metilprednisolon selama 4 hari perawatan di rumah sakit. Antibiotik

diberikan jika gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan volume

dan purulensi sputum. Antibiotik hendaknya diberikan dengan spektrum luas yang

bisa menghadapi H. influenzae, S. pneumoniae dan M. catarrhalis sambil

menunggu hasil kultur sensitivitas kuman. Berdasarkan penelitian, ketiga kuman

di atas merupakan kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering

ditemukan. Antibiotik yang diberikan pada pasien dalam kasus ini adalah

ceftriaxon yaitu antibiotik lini pertama pada PPOK eksaserbasi sedang sampai

berat.

Furosemide diberikan karena pasien ini dicurigai sudah adanya

dekompensasi kordis/kor pulmonal. Hipertensi paru ringan sampai sedang

mungkin terjadi pada PPOK akibat proses vasokonstriksi yang disebabkan

hipoksia arteri kecil pada paru yang kemudian mengakibatkan perubahan

struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan kemudian hipertrofi otot polos /

hiperplasia. Respon inflamasi dalam pembuluh darah sama dengan yang terlihat di

saluran udara dengan bukti terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler

47
paru pada emfisema juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi

paru sehingga terjadi pulmonary hypertension yang bersifat progresif dapat

mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan (cor

pulmonale). Diuretika diberikan pada PPOK derajat sedang-berat dengan gagal

jantung kanan atau kelebihan cairan. Pada pasien ini didapatkan JVP yang

meningkat yaitu 5+3. Peningkatan tekanan vena jugular dan pitting edema

pergelangan kaki merupakan temuan yang berguna untuk memperkirakan kor

pulmonal dalam praktek klinis. Namun tekanan vena jugularis seringkali sulit

dinilai pada pasien PPOK karena perubahan besar dalam tekanan intratorakal.

Diagnosis korpulmonal dapat melalui sejumlah pemeriksaan diantaranya

radiografi, elektrokardiografi, ekokardiografi, skintigrafi radionukleotida, dan

pencitraan resonansi magnetik (MRI).

48
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus dengan PPOK eksaserbasi akut pada

seorang laki-laki umur 74 tahun. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

serta pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis sebagai PPOK. Penatalaksanaan

yang diberikan berupa oksigen 4-6 lpm nasal canul, IVFD RL 20 tpm, nebulasi

combivent/12 jam, injeksi ceftriaxone 2x1 gr/iv, metylprednisolon 2x62,5 mg, N-

ace 2x1 ampul, dan furosemide 1x1. Pemilihan obat dan dosis dalam pengobatan

yang diberikan sesuai dengan teori yang ada. Prognosis dari PPOK cukup buruk,

karena PPOK tidak dapat disembuhkan secara permanen dan akan bertambah

buruk apabila ditambah beratnya obstruksi, adanya kor pulmonale ataupun gagal

jantung kongestif. Saran, sebaiknya pada pasien ini dilakukan uji spirometri untuk

mengetahui derajat PPOK.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Diagnosis dan Penatalaksanaan


Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). In: Tim Kelompok POKJA PPOK,
editor. Edisi II. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. Available from:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
2. Global Intiative For Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide To
COPD Diagnosis, Management And Prevention [Internet]. Global Intiative
For Chronic Obstructive Lung Disease. 2016 [cited 2016 Apr 17]. Available
from: http://www.goldcopd.org/guidelines-pocket-guide-to-copd-
diagnosis.html
3. Oemiati, Ratih. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK). Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. 2013. Jakarta,
Indonesia
4. Kusumawati, Risala. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2013. Surakarta, Indonesia
5. Global Intiative For Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy For
The Diagnosis Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease [Internet]. Global Intiative For Chronic Obstructive Lung
Disease. 2016 [cited 2016 Apr 17].. Available from:
http://www.goldcopd.org/guidelines-global-strategy-for-diagnosis-
management.html
6. Maitra A, Kumar V. Paru dan Saluran Napas Atas. In: Kumar V, Cotran RS,
Robbins SL, editors. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. New York: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007. p. 514–21.
7. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing - Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam; 2009. p. 2227–8.

50

Anda mungkin juga menyukai