PENDAHULUAN
Indonesia adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun. (1,2)
sebesar 10,1% pada laki-laki sebesar 11,8% dan untuk perempuan 8,5%.
18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat
32,9% dari tahun 1979 sampai 1991. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-
Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).(3) Indonesia sebagai negara dengan jumlah
perokok yang banyak dipastikan memiliki prevalensi PPOK yang tinggi. Namun
Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronis dan emfisema
1
karena asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Selain rokok, faktor
resiko lain untuk terjadinya penyakit paru obstruktif kronis adalah riwayat
riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, dan defisiensi antitripsin alfa – 1
Dispnea biasanya adalah gejala pertama; gejala ini muncul secara perlahan,
tetapi progresif. Pada pasien yang sudah mengidap bronkitis krnis atau bronkitis
asmatik kronis, keluhan awal mungkin adalah batuk dan mengi. Berat badan
pasien sering turun dan mungkin cukup banyak seolah-olah pasien mengidap
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan
secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal
dalam waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Umur : 74 tahun
Agama : Khatolik
Alamat : Oeba
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan sesak yang memberat sejak ± 1 minggu SMRS.
Sesak yang dialami hilang timbul dan memberat saat beraktifitas dan
membaik saat beristirahat. Sesak kadang dirasakan pada malam hari saat tidur
dan merasa lebih nyaman bila berbaring ke sebelah kanan dan tidur
terakhir. Batuk yang dialami disertai lendir berwarna putih tidak disertai
darah, tidak disertai keringat malam dan tidak disertai penurunan berat badan.
Tidak ada keluhan demam, tidak ada keluhan nafsu makan menurun, BAB
3
dan BAK lancar. Diketahui 3 hari sebelumnya pasien melakukan aktifitas
potong kayu.
Pasien pernah dirawat di RSU bulan Januari 2010 dengan keluhan sesak dan
hipertensi namun tidak teratur dan pasien lupa nama obatnya. Riwayat
penyakit lain (-). Tidak ada riwayat konsumsi obat selama 6 bulan.
Riwayat Kebiasaan :
Merokok 5 bungkus per hari ± 39 tahun & minum alkohol tapi sudah berhenti
Riwayat Alergi :
Riwayat Keluarga :
4
Mata : edema periorbital -/-, Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-
), pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung (+/+)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), Deviasi septum (-), sekret (-/-),
epistaksis (-/-)
Telinga : Deformitas daun telinga (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), otorhea
(-/-)
Mulut : Mukosa bibir pucat, kering, sianosis (-), perdarahan gusi (-),
plak putih (-), atrofi lidah (-),Trismus (-).
Leher : Pembesaran KGB dan kelenjar tiroid (-), trakea letak di tengah,
JVP 5 +3 cm H2O, Penggunaan otot bantu napas (-/-)
Thoraks
Bentuk : Barrell chest, pelebaran vena (-), luka (-), scar (-), Massa
(-)
Pulmo Anterior
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, otot bantu pernapasan (-),
pelebaran sela iga (+)
Palpasi : Vocal Fremitus D=S normal, Nyeri tekan (-) pada kedua
dinding dada
Perkusi : Sonor (+/+) di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikular (+/+),
Wheezing + + Ronkhi + +
+ + + +
+ + + +
Pulmo Posterior :
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, otot bantu pernapasan (-),
pelebaran sela iga (+)
Palpasi : Vocal Fremitus D=S normal, Nyeri tekan (-) pada kedua
dinding dada
Perkusi : Sonor (+/+) di seluruh lapangan paru
5
Auskultasi : Vesikular (+/+),
Wheezing + + Ronkhi + +
+ + + +
+ + + +
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS 5 linea midklavikula sinistra,
thrill (-)
Perkusi :
Batas jantung atas : ICS 2 linea parasternal sinistra
Batas jantung bawah : ICS 6 linea midklavikula sinistra
Batas jantung kanan : ICS 4 linea parasternal dextra
Batas jantung kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : kesan cembung, distensi (-), ascites (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) (4-5x/ menit) terdengar normal
Palpasi : Supel, ballotement (-), Lien Schuffner 0. Ballotement (-),
ascites (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral Hangat Hangat
CRT < 2 detik < 2 detik
Motorik 5 5
6
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
7
Foto Thorax
EKG
o LAD
8
Follow Up Pasien
9
Mata: anemis -/- 2x1 gr/iv
Pulmo: ves +/+, rh Metylprednisolon
+/+, wheezing +/+ 1x62,5 mg
Cor: S1/2 tunggal, Ranitidin 2x1 amp
murmur -, gallop - Furosemide 1x1
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
10/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL /12 jam
batuk lendir ↓ CM, E4V5M6 eksaserbasi akut Nebulasi
TD: 120/60 mmHg combivent 1 ampul
Nadi: 86 x/menit, : NaCl 0,9% 6cc /
regular kuat angkat 12 jam
Suhu: 37 0C Injeksi ceftriaxone
Napas: 18 x/menit 2x1 gr/iv
Mata: anemis -/- Metylprednisolon
Pulmo: ves +/+, rh 2x62,5 mg
+/+, wheezing -/- GG 3x2 tab
Cor: S1/2 tunggal, Ranitidin 2x1 amp
murmur -, gallop - Furosemide 1x1
Abd: BU (+), nyeri amp
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
11/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL 500
batuk lendir ↓ CM, E4V5M6 eksaserbasi akut cc/24 jam
TD: 110/70 mmHg Nebulasi
Nadi: 76 x/menit, combivent 1 ampul
regular kuat angkat : NaCl 0,9% 6cc /
Suhu: 37 0C 12 jam
Napas: 22 x/menit Injeksi ceftriaxone
Mata: anemis -/- 1x2 gr/iv
Pulmo: ves +/+, rh Metylprednisolon
+/+, wheezing -/- 2x62,5 mg
Cor: S1/2 tunggal, Ranitidin 2x1 amp
murmur -, gallop - Furosemide 1x110
Abd: BU (+), nyeri mg
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
10
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning Therapy
12/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL : D5 1:1
batuk lendir + CM, E4V5M6 eksaserbasi akut 20 tpm
TD: 130/80 mmHg Injeksi ceftriaxone
Nadi: 76 x/menit, 1x2 gr/iv
regular kuat angkat Ranitidin 2x1 amp
Suhu: 36,7 0C Nace 2x1 ampul
Napas: 19 x/menit
Mata: anemis -/-
Pulmo: ves +/+, rh
+/+, wheezing -/-
Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop -
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
13/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL : D5 1:1
batuk lendir ↓ CM, E4V5M6 eksaserbasi akut 20 tpm
TD: 120/60 mmHg Injeksi ceftriaxone
Nadi: 70 x/menit, 1x2 gr/iv
regular kuat angkat Ranitidin 2x1 amp
Suhu: 360C Nace 2x1 ampul
Napas: 20 x/menit
Mata: anemis -/-
Pulmo: ves +/+, rh
+/+ ↓, wheezing -
/-
Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop -
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
14/4/2016 Sesak napas -, KU Sakit sedang, PPOK IVFD RL : D5 1:1
batuk lendir ↓ CM, E4V5M6 eksaserbasi akut 20 tpm
TD: 120/60 mmHg Injeksi ceftriaxone
Nadi: 70 x/menit, 1x2 gr/iv
regular kuat angkat Ranitidin 2x1 amp
Suhu: 360C Nace 2x1 ampul
Napas: 20 x/menit
Mata: anemis -/-
11
Pulmo: ves +/+, rh
-/-, wheezing -/-
Cor: S1/2 tunggal,
murmur -, gallop -
Abd: BU (+), nyeri
tekan (-), hepar &
lien tidak teraba
Ekstremitas:
edema (-) nyeri (-),
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Indonesia adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun. (1,2)
parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. Bronkitis kronik dan
patologik dan bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis. Selain itu, keduanya
tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran napas. (1)
3.2 Epidemiologi
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang
tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% pada laki-laki
peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada
13
tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai
6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%). (3)
Hasil Penelitian lain dari Bold Study pada 12 negara di dunia dengan jumlah
sampel total sebesar 9425 responden yang telah dilakukan pemeriksaan spiro-
metri dan mengisi kuesioner yang berisi gejala respirasi, status kesehatan dan
faktor risiko pajanan PPOK, menunjukkan hasil 5 besar PPOK menurut jenis
Tabel 1. Lima Besar Negara Dengan PPOK Menurut Jenis Kelamin (3)
Dari tabel di atas terlihat bahwa secara umum prevalensi PPOK lebih tinggi
pada laki-laki- dibandingkan perempuan, dan kota Cape Town di Afrika Selatan
14
prevalensi PPOK tidak dimiliki oleh Indonesia. Di Indonesia tidak ada data yang
akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
Indonesia. (1,3)
15
3.3 Klasifikasi
mengklasifikasikan PPOK ke dalam derajat ringan, sedang, berat dan sangat berat
melalui keterbatasan aliran udara yang dapat dilihat pada tabel berikut :
Derajat I : PPOK Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada VEP1 / KVP < 70 %.
tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering
Ringan tidak menyadari bahwa fungsi paru mulai VEP1 80% prediksi
menurun
Derajat II : PPOK Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan VEP1 /KVP < 70 %
Sedang kadang ditemukan gejala batuk dan produksi
sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai 50% < VEP1 < 80%
memeriksakan kesehatannya prediksi
Derajat III : PPOK Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa VEP1 /KVP < 70 %
lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering
Berat dan berdampak pada kualitas hidup pasien 30% < VEP1 < 50%
prediksi
Derajat IV: PPOK Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas VEP1/ KVP < 70 %
Sangat Berat atau gagal jantung kanan dan ketergantungan
oksigen. Pada derajat ini kulitas hidup pasien VEP1< 30% prediksi
memburuk dan jika eksaserbasi dapat atau VEP1 < 50%
mengancam jiwa prediksi disertai gagal
napas kronik
16
3.4 Faktor Resiko
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan
dalam tahun :
- Ringan : 0 - 200
inflamasi pada paru. Jika berlangsung kronis maka dapat menyebabkan destruksi
Selain rokok, faktor resiko lain untuk terjadinya penyakit paru obstruktif
kronis adalah riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja,
defisiensi antitripsin alfa–1 namun umumnya hal ini jarang terdapat di Indonesia.
(1)
3.5 Patogenesis
Perubahan patologis yang khas pada PPOK dapat ditemukan pada saluran
17
dalamnya inflamasi kronis yang menyebabkan peningkatan jumlah sel inflamasi
yang spesifik pada paru dan perubahan struktural akibat dari injuri yang berulang.
Secara umum, inflamasi dan perubahan struktural pada saluran napas meningkat
seiring dengan tingkat keparahan penyakit dan menetap walaupun sudah berhenti
merokok. (5)
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. Tabel
terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut.
berbeda. Bronkitis kronis mengenai saluran napas besar dan kecil (komponen
18
emfisema terbatas di asinus, struktur yang terletak distal pada bronkiolus terminal.
(6)
a. Emfisema
menderita defisiensi ini. Antitripsin-α1 yang secara normal terdapat dalam serum,
proteinase (Pi) pada kromosom 14. Lokus Pi bersifat sangat polimorfik, dengan
banyak alel yang berlainan. Yang terpenting adalah alel normal (M) dan
19
Neutrofil (sumber utama protease sel) secara normal mengalami
aktivitas protease pada orang dengan aktivitas antitripsin yang rendah. Hipotesis
20
Merokok juga meningkatkan aktivitas elastase di makrofag; elastase
oleh inaktivasi antiprotease (yang bersifat protektif) oleh spesies oksigen reaktif
21
b. Bronkitis Kronis
Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mukus, yang dimulai
polutan udara lain, seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, juga berperan.
penghasil musin di epitel permukaan bronkus. Selain itu, zat tersebut juga
Berbeda dengan asma, pada bronkitis kronis eosinofil jarang ditemukan, kecuali
jika pasien mengidap bronkitis asmatik. Dipostulasikan bahwa banyak efek iritan
meningkat sebagai akibat terpajan asap tembakau, baik in vitro maupun in vivo
gejala.(6)
Eksaserbasi
dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus
ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil, beberapa studi lainnya juga
22
menemukan eosinofil dalam dahak dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan
IL-8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif. Pada eksaserbasi berat masih
banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian menunjukkan
Dispnea biasanya adalah gejala pertama; gejala ini muncul secara perlahan,
tetapi progresif. Pada pasien yang sudah mengidap bronkitis krnis atau bronkitis
asmatik kronis, keluhan awal mungkin adalah batuk dan mengi. Berat badan
pasien sering turun dan mungkin cukup banyak seolah-olah pasien mengidap
keganasan. Uji fungsi paru memperlihatkan penurunan FEV1 dengan FVC normal
atau mendekati normal. Oleh karena itu, rasio FEV1 terhadap FVC berkurang.(6)
adalah dada berbentuk tong, dispnea, dengan ekspirasi yang jelas memanjang, dan
pasien duduk maju dalam posisi membungkuk ke depan, berupaya memeras udara
keluar dari paru setiap kali ekspirasi. Pada pasien ini, ruang udara sangat
membesar dan kapasitas difusi rendah. Dispnea dan hiperventilasi tampak jelas
sehingga sampai pada stadium lanjut penyakit pertukaran gas masih adekuat dan
23
nilai gas darah relatif normal. Karena dispnea menonjol sementara oksigenasi
hemoglobin adekuat, para pasien ini kadang-kadang disebut “pink puffers”. (6)
Pasien dengan emfisema yang juga menderita bronkitis kronis berat dan
dioksida, menjadi hipoksik, dan sering sianotik. Sebagian besar pasien dengan
emfisema dan PPOK terletak diantara kedua ekstrem klasik ini. Pada semua
vaskular paru yang dipicu hipoksia dan berkurangnya luas permukaan kapiler paru
Pada pasien dengan bronkitis kronis, batuk dan pembentukan sputum dapat
berlangsung terus menerus tanpa disfungsi ventilasi, namun pada pasien PPOK
yang disertai obstruksi aliran keluar udara dapat disertai hiperkapnia, hipoksemia
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru.(1) Diagnosis PPOK dipertimbangkan
bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci diterangkan pada tabel berikut:
24
Tabel 3. Gejala PPOK (1)
Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indikator
ini ada pada individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan
diagnosis PPOK.(1)
Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
25
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
2. Pemeriksaan Fisis
Inspeksi
o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
Auskultasi
o Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
26
o Ekspirasi memanjang
Pink puffer : Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
sianosis, terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis
napas kronik.(1)
Pemeriksaan rutin
1. Faal Paru
VEP1/KVP (%).
penyakit
27
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan
3. Radiologi
paru lain
Sgaw meningkat
Jentera (treadmill)
28
3. Uji provokasi bronkus : Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus,
4. Analisis gas darah : terutama untuk menilai : gagal napas kronik stabil dan
5. Radiologi
Indonesia.(1)
3.8 Penatalaksanaan
1. Mengurangi gejala
29
2. Mencegah progresifitas penyakit
7. Menurunkan kematian
o Tambahkan pemberian
oksigen jangka
panjang kalau terjadi
gagal napas kronik
o Lakukan tindakan
operasi bila diperlukan
30
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi edukasi, obat – obatan, terapi
1 Edukasi
Tujuan edukasi pada pasien PPOK adalah untuk mengenal perjalanan penyakit
optimal, dan meningkatkan kualitas hidup. Bahan edukasi yang dapat diberikan
yang benar ( oral, MDI atau nebuliser ), waktu penggunaan yang tepat ( rutin
dengan selang waku tertentu atau kalau perlu saja ), dosis obat yang tepat dan
efek sampingnya
batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah atau sputum berubah warna
31
2. Obat-Obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau
Golongan antikolinergik
32
Golongan xantin
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
33
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.(1)
c. Antibiotik
Diberikan jika gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan
yang paling sering ditemukan.(1) Antibiotik yang sering digunakan pada kasus
Akut (7)
34
3. Terapi Oksigen
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Manfaat oksigen adalah
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
4. Ventilasi Mekanik
napas akut atau pada pasien PPOK derajat berat. Ventilasi mekanik dapat
35
dilakukan dengan cara ventilasi mekanik dengan intubasi dan ventilasi mekanik
tanpa intubasi.
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa
- Volume control
- Pressure control
signifikan pada analisis gas darah, kualitas dan kuantitas tidur dan kualitas hidup.
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
36
b. Ventilasi mekanik dengan intubasi
rumah sakit bila gagal napas yang pertama kali, perburukan yang belum lama
terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki (misalnya pneumonia),
- Henti napas
37
5. Nutrisi
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Mengatasi
masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2
kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein
seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering. (1)
6. Rehabilitasi
38
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan
3.9 Komplikasi
ke waktu, bahkan dengan perawatan yang terbaik. Gejala dan perubahan obstruksi
mencakup gejala khususnya gejala baru atau perburukan dan pemeriksaan fisik.
Gagal napas
Infeksi berulang
39
Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam hingga
kuman sehingga memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini
imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal yang terjadi pada PPOK ditandai oleh P pulmonal pada EKG,
hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan. Peningkatan tekanan vena
jugular dan pitting edema pergelangan kaki merupakan temuan yang berguna
untuk memperkirakan kor pulmonal dalam praktek klinis. Namun tekanan vena
jugularis seringkali sulit dinilai pada pasien PPOK karena perubahan besar dalam
3.10 Prognosis
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan
secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal
dalam waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh
karena kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung atau emboli paru. (4)
40
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus didapatkan seorang laki-laki umur 74 tahun masuk rumah sakit
dengan keluhan utama sesak napas yang memberat sejak ± 1 minggu SMRS.
Sesak yang dialami hilang timbul dan memberat saat beraktifitas dan membaik
saat beristirahat. Sesak kadang dirasakan pada malam hari saat tidur dan merasa
lebih nyaman bila berbaring ke sebelah kanan dan tidur menggunakan dua bantal
di kepala. Keluhan juga disertai batuk yang hilang timbul ± 1 tahun terakhir.
Batuk yang dialami disertai lendir berwarna putih tidak disertai darah, tidak
disertai keringat malam dan tidak disertai penurunan berat badan. Tidak ada
keluhan demam, tidak ada keluhan nafsu makan menurun, BAB dan BAK lancar.
Diketahui 3 hari sebelumnya pasien melakukan aktifitas potong kayu. Pasien juga
pernah dirawat di RSU bulan Januari 2010 dengan keluhan sesak dan batuk serta
obat hipertensi namun tidak teratur dan pasien lupa nama obatnya. Pasien juga
diketahui memiliki kebiasaan merokok 5 bungkus per hari ± 39 tahun tapi sudah
berhenti 30 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan tensi 140/70, nadi
84x/menit, respirasi 26 kali/menit dan suhu badan 36,6 derajat celsius. Pada
barrel chest, sela iga melebar, dan pada auskultasi didengarkan bunyi napas
Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti sesak
yang progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu) dan bertambah
41
berat dengan aktivitas serta persistent (menetap sepanjang hari), batuk kronik
yang hilang timbul, bisa disertai dahak dan mungkin tidak berdahak serta riwayat
terpajan faktor resiko, terutama asap rokok. debu dan bahan kimia di tempat kerja,
dan berbagai bahan iritan lainnya. Pada pemeriksaan fisik, pada inspeksi dapat
bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai,
penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus,
(gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer). Sedangkan
pada palpasi, pada emfisema didapatkan fremitus yang melemah dan sela iga
melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
maka obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
VEP1% (VEP1/KVP) < 75%. VEP1 % merupakan parameter yang paling umum
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
42
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. Pada pemeriksaan radiologi
gambaran yang normal atau corakan bronkovaskuler bertambah (pada 21% kasus)
Berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk berlendir, dan diketahui
pasien memiliki riwayat merokok 5 bungkus per hari ± 39 tahun, serta dari hasil
barrel chest, sela iga melebar, dan pada auskultasi didengarkan bunyi napas
tambahan berupa rhonki dan wheezing serta pada pemeriksaan radiologi pada
disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis, sedangkan untuk derajat penyakitnya, jika dilihat dari gejala klinis, maka
pasien ini masuk dalam PPOK derajat sedang, yaitu gejala sesak mulai dirasakan
saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada
derajat penyakit yang pasti dan mengetahui presentasi obstruksi aliran napas,
perlu dilakukan tes faal paru (spirometri), namun tidak dilakukan pada pasien ini
mengkonfirmasi adanya obstruksi saluran napas atau tidak dan seberapa berat
43
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan onset
riwayat pajanan seperti merokok polusi udara, sesak saat melakukan aktivitas, dan
pernah mengalami serangan asma, walaupun pasien memiliki riwayat atopi yaitu
sering gatal-gatal saat makan ikan, namun tidak ada riwayat keluarga dengan
asma maupun atopi/alergi. Selain itu pada asma biasanya serangan dicetuskan
oleh suatu pemicu (alergen, iritan, latihan fisik, emosi), terjadi episode akut yang
dipisahkan oleh episode bebas gejala, dan episode nokturna umum terjadi. Selain
itu, asma biasanya muncul pada onset usia muda, dan obstruksi bersifat reversibel.
Onset PPOK biasanya pada usia pertengahan dengan gejala progresif lambat,
sesak saat aktivitas, dan sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel;
sedangkan asma onsetnya biasa awal sering pada anak, gejala bervariasi dari hari
ke hari, terutama pada malam / menjelang pagi disertai alergi, rinitis atau eksim,
riwayat keluarga dengan asma dan sebagian besar keterbatasan aliran udara
reversibel
penurunan berat badan, dan tidak ada keluhan berkeringat malam hari dan juga
tidak ada riwayat penggunaan OAT. Penyakit paru obstruksi kronis merupakan
penyakit paru kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam
disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas
44
berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini
dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK biasanya adalah rokok,
asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya. Gejala PPOK terutama
berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti
karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan
pengobatan yang diberikan. Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas.
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat
progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Selain itu juga perlu
TB.
meliputi edukasi, obat – obatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan
rehabilitasi. Terapi dberikan pada pasien ini adalah oksigen 4-6 lpm nasal canul,
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Pasien ini diberikan
45
oksigen 4-6 L/menit bertujuan untuk mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas,
diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau
obat berefek panjang (long acting.) Yang diberikan pada pasien ini adalah
dan salbutamol sulfat (ß2-agonis) yang bersifat short acting dan bertujuan sebagai
bronkodilator utama pada PPOK. Kombinasi kedua golongan obat ini akan
pada pasien radang paru. Aktivitas mukolitik obat ini langsung terhadap
viskositas sputum. Pasien ini juga diberikan ekspektoran berupa gliseril guaiakolat
selanjutnya secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran napas lewat nervus
46
vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak.
dalam bentuk oral atau injeksi intravena. Pemberian antiinflamasi pada PPOK
berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi, dan biasanya dipilih golongan
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. Pada pasien ini
diberikan jika gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan volume
dan purulensi sputum. Antibiotik hendaknya diberikan dengan spektrum luas yang
ditemukan. Antibiotik yang diberikan pada pasien dalam kasus ini adalah
ceftriaxon yaitu antibiotik lini pertama pada PPOK eksaserbasi sedang sampai
berat.
struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan kemudian hipertrofi otot polos /
hiperplasia. Respon inflamasi dalam pembuluh darah sama dengan yang terlihat di
saluran udara dengan bukti terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler
47
paru pada emfisema juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi
mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan (cor
jantung kanan atau kelebihan cairan. Pada pasien ini didapatkan JVP yang
meningkat yaitu 5+3. Peningkatan tekanan vena jugular dan pitting edema
pulmonal dalam praktek klinis. Namun tekanan vena jugularis seringkali sulit
dinilai pada pasien PPOK karena perubahan besar dalam tekanan intratorakal.
48
BAB V
PENUTUP
yang diberikan berupa oksigen 4-6 lpm nasal canul, IVFD RL 20 tpm, nebulasi
ace 2x1 ampul, dan furosemide 1x1. Pemilihan obat dan dosis dalam pengobatan
yang diberikan sesuai dengan teori yang ada. Prognosis dari PPOK cukup buruk,
karena PPOK tidak dapat disembuhkan secara permanen dan akan bertambah
buruk apabila ditambah beratnya obstruksi, adanya kor pulmonale ataupun gagal
jantung kongestif. Saran, sebaiknya pada pasien ini dilakukan uji spirometri untuk
49
DAFTAR PUSTAKA
50