Anda di halaman 1dari 50

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Istilah diabetes mellitus dideskripsikan sebagai penyakit metabolik dengan

gejala multipel dengan karakteristik hiperglikemia kronik dengan gangguan

metabolisme lemak, karbohidrat, protein dikarenakan kelainan sekresi insulin,

aksi insulin, atau keduanya (WHO, 1999). Diabetes mellitus juga disebut The

Great Initiator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan

menimbulkan berbagai macam keluhan (Nugroho, 2006).

Pada tahun 1999, National Centers of Health Statistics melaporkan bahwa

lebih dari 10 juta orang Amerika menderita diabetes (meliputi ras kulit hitam,

putih, Hispanik dan ras yang lain). Pada tahun 1997, diperkirakan 124 juta orang

di seluruh dunia menderita diabetes. Sampai tahun 2010, jumlah penderita

diabetes di seluruh dunia diperkirakan mencapai 221 juta, dan dipastikan di

seluruh dunia rata – rata diabetes dapat naik dua atau tiga kali lipat (Ship, 2003)

Menurut data WHO, Indonesia menempati urutan ke 4 terbesar dalam

jumlah penderita diabetes mellitus di dunia. Pada tahun 2006 diperkirakan

jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang,

dimana baru 50% yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar

30% yang datang berobat teratur (Suyono, 2005).


2

Diabetes sudah merupakan penyakit global dan malahan menurut P.

Zimmet sudah merupakan suatu epidemi, karenanya banyak penelitian dilakukan

untuk mencoba mengatasinya. Saat ini terdapat berbagai penelitian yang

bertujuan untuk memperbaiki kehidupan orang dengan diabetes, ada yang

berusaha untuk mencari obat untuk menyembuhkannya dan ada pula yang

mempelajari dampak diabetes pada beberapa populasi di dunia (Gustaviani,

2006). Diabetes mellitus juga merupakan urutan ke 4 prioritas penelitian nasional

untuk penyakit degeneratif (Nugroho, 2006).

Sebagian besar kasus diabetes adalah diabetes tipe II yang disebabkan

faktor keturunan. Tetapi faktor keturunan saja tidak cukup untuk menyebabkan

seseorang terkena diabetes karena risikonya hanya sebesar 5%. Ternyata diabetes

tipe II lebih sering terjadi pada orang yang mengalami obesitas alias kegemukan

akibat gaya hidup yang dijalaninya (Soegondo, 2005). Penelitian lain

mengatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe II akan

meningkat 5–10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural–tradisional

menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologik diperkirakan

adalah: bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi

lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini

berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya

Diabetes Mellitus (DM) tipe II (Gustaviani,2006).

Diabetes mellitus merupakan akibat dari pola makan yang tidak sehat dan

berlebihan tanpa diimbangi latihan fisik. Islam mengajarkan agar kita tidak
3

berlebihan dalam makan. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Makan dan

minumlah dan janganlah kalian berbuat israf (berlebih-lebihan), sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat israf” (QS.Al-A’raaf: 31). Nabi

Muhammad SAW bersabda, yang artinya: “Tiada tempat yang lebih buruk, yang

dipenuhi anak Adam daripada perutnya, cukuplah bagi mereka mencukupi

makanan sekedarnya saja yang dapat menopang tulang punggungnya

(penyambung hidupnya) jika hal itu tidak bisa dihindari maka masing-masing

sepertiga bagian untuk makanannya, minumnya dan nafasnya.” (HR: Ahmad,

An-Nasaa’i, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi. Hadits ini Hasan, dan merupakan dasar

utama bagi semua dasar ilmu kedokteran) (Anonim, 2009).

Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh–

pembuluh kecil (mikroangiopati/mikrovaskuler) dan pembuluh–pembuluh

sedang dan besar (makroangiopati/makrovaskuler). Mikroangiopati merupakan

lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler arteriola retina (retinopati

diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf–saraf perifer (neuropati

diabetik), otot – otot serta kulit (Schteingart, 2005).

Mulut kering atau xerostomia, telah dilaporkan terjadi pada penderita

diabetes mellitus. Aliran saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa kondisi

termasuk penggunaan obat–obatan yang diresepkan, penuaan, dan ditentukan

oleh derajat neuropati serta sensasi subjektif kekeringan rongga mulut bersamaan

dengan rasa haus. Variabel–variabel ini relevan pada penderita diabetes mellitus

(Lamster, et al., 2008). Pada penelitian sebelumnya, gangguan sekresi saliva


4

berupa xerostomia yang signifikan ditemukan pada penderita DM tipe II dengan

menggunakan scintigraphy (Lin,et al., 2001). Sekresi saliva dikontrol oleh sistem

saraf otonom. Neuropati otonom pada DM tipe II bisa mempengaruhi fungsi

kelenjar saliva, namun dalam beberapa studi literatur mengatakan bahwa

xerostomia pada DM dikarenakan gejala klasik DM yaitu poliuri yang

mengakibatkan dehidrasi. Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian yang mampu

membuktikan etiologi xerostomia pada penderita DM, terutama DM tipe II.

Dengan adanya pengetahuan baru mengenai terjadinya komplikasi kronik

DM, dan berbagai cara baru untuk mendeteksi dan kemudian mengelola

komplikasi kronik DM dapat dimungkinkan keberhasilan usaha untuk mencegah,

memperbaiki, atau paling sedikit mengurangi berbagai akibat komplikasi kronik

ini, nasib penyandang DM diharapkan akan lebih cerah.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut: “ Apakah terdapat pengaruh antara

komplikasi neuropati pada penderita DM tipe II terhadap xerostomia“.

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Tujuan secara umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya

perbedaan jumlah penderita xerostomia dan rata – rata curah saliva baik yang
5

tidak dengan stimulasi maupun dengan stimulasi antara kelompok penderita DM

tipe II disertai komplikasi neuropati dengan penderita DM tipe II tanpa

komplikasi neuropati dan kelompok orang sehat sebagai kontrol dengan kejadian

xerostomia.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui jumlah penderita xerostomia dan tidak xerostomia dari

anamnesis keluhan subyektif dan rata – rata volume curah saliva pada

kelompok penderita DM tipe II dengan komplikasi neuropati.

b. Untuk mengetahui jumlah penderita xerostomia dan tidak xerostomia dari

anamnesis keluhan subyektif dan rata – rata volume curah saliva pada

kelompok penderita DM tipe II tanpa komplikasi neuropati.

c. Untuk mengetahui jumlah penderita xerostomia dan tidak xerostomia dari

anamnesis keluhan subyektif dan rata – rata volume curah saliva pada

kelompok orang sehat sebagai kontrol.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

a. Mampu menjadi salah satu dasar dan tambahan pengetahuan untuk

penelitian selanjutnya di bidang Kedokteran Gigi.

b. Memberikan informasi ilmiah mengenai penyebab xerostomia pada

pasien diabetes mellitus tipe II.


6

2. Bagi Masyarakat

a. Agar masyarakat khususnya pasien dapat mengetahui penyebab dari

keluhan mulut kering yang diderita merupakan manifestasi klinis dari

penyakit DM.

b. Agar pasien dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan menjaga

kesehatannya.

3. Bagi Peneliti

Untuk mengetahui tentang komplikasi diabetes mellitus terhadap rongga

mulut sehingga menjadi dasar pengelolaan pasien di klinik kedokteran gigi.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu :

a. Frekuensi Burning Mouth Syndrome (BMS) pada Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta oleh Vivie Juwita dari

FKG UGM pada tahun 2007.

b. Curah Saliva Pada Usia Lanjut oleh M. Anis Dianing Evirawati dari FKG

UGM pada tahun 2005.

c. Curah Saliva Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II dan Orang Sehat oleh

Arifah Widayati Puspita Sari. FKG UGM. 2006.

d. Autonomic Neuropathy and Salivary Composition in Diabetic Patients

oleh Hanna Ben-Aryeh, Reuben Serouya, Yoram Kanter, Raymonde

Szargel, Dov Laufer tahun 1996. New York


7

e. Salivary Function and Glycemic Control in Older Persons with Diabetes

oleh Eliza M. Chavez, George W. Taylor, Luisa N. Borrel, Jonathan A.

Ship, Ann Arbor tahun 2000. Michigan

f. Impaired Salivary Function in Patients with Noninsulin-dependent

Diabetes Mellitus with Xerostomiadilakukan oleh Cheng-Chieh Lin,

Shung-Shung Sun, Albert Kao, Cheng-Chun Lee tahun 2002. Taiwan

Penelitian dengan judul “Pengaruh komplikasi neuropati terhadap

xerostomia pada pasien penderita Diabetes Mellitus Tipe II“ tentang volume

curah saliva dengan stimulasi dan tanpa stimulasi pada penderita DM dengan

neuropati, DM tanpa neuropati dan orang sehat sebagai kontrol belum pernah

dilakukan sebelumnya.
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TELAAH PUSTAKA

1. Diabetes Mellitus

a. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes

mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua – duanya (Soegondo, 2005).

Diabetes mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan –

gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang bertalian dengan

defisiensi absolut atau relatif aktivitas dan / atau sekresi insulin. Karena itu

meskipun diabetes asalnya merupakan penyakit endokrin, manifestasi

pokoknya adalah penyakit metabolik (World Health Organization, 1994).

b. Epidemiologi

Dalam Diabetes Atlas 2000 (International Diabetes Federation)

tercantum perkiraan penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125 juta

dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6%, diperkirakan pada tahun

2000 berjumlah 5,6 juta. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti

saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta

penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar


9

4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien diabetes (Suyono, 1995). Secara

epidemiologik, diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau

mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,

sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak

terdeteksi ini (Soegondo, 2005).

c. Etiologi

Menurut banyak ahli beberapa faktor yang sering dianggap penyebab

yaitu :

( 1 ) Faktor Genetik

Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar

terserang penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak

menderita DM. Penyakit DM terpaut kromosom seks atau kelamin (Anonim,

2004). Biasanya kaum laki–laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan

kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan

kepada anak–anaknya (PERKENI, 2002).

( 2 ) Faktor non genetik

(a) Virus penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackie

virus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus

ini mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Selain itu virus

dapat pula menyerang melalui reaksi autoimunitas yang

menyebabkan hilangnya autoimun sel beta. Diabetes mellitus


10

akibat bakteri masih belum dideteksi, namun para ahli kesehatan

menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM (Anonim,

2004).

(b) Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung

adalah alloxan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk

dari sejenis jamur). Bahan lain adalah sianida yang berasal dari

singkong (Anonim, 2004).

(c) Nutrisi yang berlebihan (ovenutrition) merupakan faktor resiko

pertama yang diketahui menyebabkan DM. Semakin bertambah

berat badan atau obesitas akibat nutrisi yang berlebihan, maka

semakin besar kemungkinan sesorang terjangkit (Anonim, 2004).

(d) Stres/trauma berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar, dan

emosi biasanya menyebabkan hiperglikemia sementara.

(e) Hormonal contohnya sindrom cushing karena konsentrasi

hidrokortison dalam darah tinggi, feokromositoma karena kadar

katekolamin meningkat (Harnawatiaj, 2008).

d. Kriteria Diagnostik

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan glukosa darah dan

tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam

menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil

dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang
11

dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan

darah plasma vena.

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas

DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan

pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada

pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan

glukosa darah sewaktu ≥200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis

DM. Hasil pemeriksaan glukosa darah puasa ≥126mg/dl juga digunakan

untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM,

hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum

cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih

lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa

darah puasa ≥126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari

yang lain, atau hasil dari tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar

glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl (Mansjoer, 2001).


12

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring

dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM


DM

Kadar glukosa Plasma vena < 100 100 – 199 ≥ 200


darah sewaktu Darah kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200
(mg/dl)
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100 – 125 ≥ 126
darah puasa Darah kapiler < 90 90 – 99 ≥ 100
(mg/dl)

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe II di Indonesia, PERKENI, 2002

(Soegondo, 2005)

e. Komplikasi DM

( 1 ) Komplikasi metabolik akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang

relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang

paling serius pada diabetes mellitus tipe I adalah ketosidosis diabetik

(DKA). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami

hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan

lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai

pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton).

Peningkatan keton dalam plasma menyebabkan ketosis. Glukosuria dan

ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan


13

hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi

hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, terjadi penurunan penggunaan

oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal.

Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HONK) adalah

komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada

penderita diabetes mellitus tipe II yang lebih tua. Bukan karena defisiensi

insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis.

Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari

600mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis

osmotik dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan

meninggal jika keadaan ini tidak ditangani.

Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah

hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin), terutama komplikasi terapi

insulin. Gejala – gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin

(berkeringat, gemetar, sakit kepala dan palpitasi), juga akibat kekurangan

glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan

koma) (Schteingart, 2005).

( 2 ) Komplikasi Kronik Jangka Panjang

(a) Makroangiopati/makrovaskuler

Mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung,

pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak. Makroangiopati


14

diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis.

Gangguan ini berupa penimbunan sorbitol dalam intima vaskular,

hiperlipoproteinemia dan kelainan pembentukan darah. Pada

akhirnya, makrongioati diabetik ini akan mengakibatkan

penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri perifer, maka dapat

mengakibatkan insifisiensi vaskular perifer yang disertai

klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta

insufisisensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri

koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark

miokard (Schteingart, 2005).

(b) Mikroangiopati/mikrovaskuler

Mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetik,

nefropati diabetik. Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia

dengan insiden dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini

retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran saluran yang kecil)

dari arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi

jaringan parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Manifestasi

dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya

fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisisensi

ginjal (Schteingart, 2005).

(c) Neuropati diabetik


15

Timbulnya neuropati diabetik tergantung lamanya

menderita DM, kelinan ini dapat berjalan progresif dan ireversibel,

bersifat difus terutama neuropati pada saraf sensorik. Neuropati

yang berlangsung akut pada umumnya bersifat reversibel meliputi

mono neuropati dan Neuropati Nyeri Diabetik (NND).

Diabetes mellitus dengan hiperglikemi yang berlangsung

lama dapat menyebabkan tujuh jalur efek toksik yang dapat

menimbulkan neuropati diabetik maupun neuropati nyeri diabetik

yaitu :

1. Efek toksik langsung terhadap endothelium, membran basalis,

kolagen, dan sel otot polos disekitar pembuluh darah.

2. Jalur gangguan reologi baik melalui kelainan maupun

disfungsi dari trombosit, leukosit, eritrosit, viskositas plasma

dan viskositas darah.

3. Gangguan respon imun karena adanya disfungsi makrofag.

4. Proses glikasi protein tubuh terutama terbentuknya Advance

Glycosilation End Products (AGE) dengan segala efek

toksiknya, yang berperan penting dalam patogenesis neuropati

diabetik.

5. Melalui poliol pathway dengan pembentukan sorbitol, yang

mempunyai peran utama pada neuropati diabetik. Jalur poliol

ini menyebabkan konversi glukosa menjadi sorbitol melalui


16

reaksi beruntun dikatalisasi oleh aldose reductase. Kadar

fruktose saraf juga meningkat. Fruktose dan sorbitol saraf

yang berlebihan menurunkan ekspresi dari kotransporter

sodium/mioinositol sehingga menurunkan kadar mioinositol.

Hal ini menyebabkan penurunan kadar fosfoinositide,

bersama-sama dengan aktivasi pompa Na dan penurunan

aktivitas Na/K ATPase. Aktivasi aldose reductase mendeplesi

kofaktornya, Nicotinamide Adenin Dinucleotida Phosphate

(NADPH), yang menghasilkan penurunan kadar nitric oxide

dan glutathione, yang berperan dalam melawan perusakan

oksidatif. Kurangnya nitric oxide juga menghambat relaksasi

vaskuler yang dapat menyebabkan iskemia kronik.

6. Produksi yang berlebihan radikal bebas.

7. Pembentukan sitokin yang berlebihan dan toksik contohnya

Tumor Necrosis Factor dan Interleukin (TNF–α dan IL–1) (

Hernawan, 2009 ).

Gambaran klinik neuropati diabetik berdasarkan jenisnya yaitu :

1. Polineuropati sensorik-motorik simetris

Bentuk ini paling sering dijumpai, keluhan dapat dimulai

dari bentuk yang paling ringan sampai dengan yang paling berat.

Ada rasa tebal atau kesemutan, terutama pada tungkai bawah dan
17

menurunnya serta hilangnya refleks tendon achilles. Kadang –

kadang ada rasa nyeri di tungkai. Nyeri ini dapat mengganggu

penderita pada malam hari, terutama pada waktu penderita sedang

tidur. Kadang – kadang penderita mengeluh sukar berjinjit dan sulit

berdiri dari posisi jongkok (Harsono,2005).

2. Neuropati otonom

Keluhan ini bermacam – macam, bergantung pada saraf

otonom mana yang terkena. Penderita dapat mengeluh diare yang

bergantian dengan konstipasi, dilatasi lambung atau disfagia.

gangguan pengosongan kandung kemih disebabkan oleh

mukosanya kurang peka lagi. Impotensi lebih sering dijumpai dan

gejala ini semakin nyata apabila neuropati bentuk lain sudah terjadi.

Gangguan berkeringat dapat dalam bentuk hiperhidrosis,

berkeringat hanya keluar banyak di sekitar wajah, leher, dada

bagian atas (gustatory sweating), terutama sesudah makan.

Sementara itu, gangguan lain dapat berbentu hipotensi ortostatik

dan bahkan sinkop yang sulit diatasi.

3. Mononeuropati( Harsono, 2005 )

Untuk konfirmasi diagnosis neuropati dilakukan pemeriksaan

ENMG (Harsono, 2005). Neuropati diabetika juga lebih sering

terjadi pada pasien dengan kadar gula yang tidak terkontrol (naik-
18

turun), kadar lipid yang tinggi, tekanan darah tinggi, bobot badan

berlebih, dan pasien yang berusia lebih dari 40 tahun. Namun untuk

beberapa kasus nyeri neuropati bisa sangat menganggu kualitas

hidup pasien (Margono dan Asnawi, 2005).

2. Manifestasi Oral Diabetes Mellitus

a. Gingivitis dan Periodontitis

Pada tahun 1993, Loe, menyatakan bahwa penyakit periodontal

merupakan komplikasi keenam diabetes mellitus. Pada artikel tahun 2008,

Taylor dan Borgnakke, mengidentifikasi penyakit periodontal sebagai faktor

resiko kontrol metabolik buruk pada penderita diabetes mellitus. Bermacam

mekanisme yang berhubungan dengan penyakit periodontal yaitu perubahan

pada respon inang, mikroflora di subgingival, vaskularisasi, cairan krevikuler

gingiva dan pola herediter (Taylor, et al. 1998. cit. Ship, 2003).

Parahnya gingivitis diabetik tergantung dari derajat penyakit dan

kebersihan mulut pasien. Pada diabetes yang tak terkontrol, proliferasi –

proliferasi khas dari jaringan yang subur tumbuh dari tepi gusi dan gusi cekat.

Permukaan dan jaringan hiperplastik tersebut biasanya menggelembung dan

dan dalam beberapa kasus menjadi papulonoduler (Langlais dan Miller, 1998)

Periodontitis yang diinduksi bakterimia akan meningkatkan

proinflamatory sitokin serum, menyebabkan hiperlipidemia, dan akhirnya


19

menyebabkan sindrom resistensi insulin dan menambah kerusakan sel beta

pankreas (Iacopino, 2001 cit.Ship, 2003).

DM, terutama yang tidak terkontrol, mempunyai resiko penyakit

periodontal. Beberapa faktor yang berkontribusi antara lain penurunan fungsi

leukosit polimorfonuklear, abnormalitas metabolisme kolagen dan

pembentukan produksi Advance Glycosilation End-products (AGE) yang

mengganggu stabilitas kolagen dan integritas vaskuler. AGE terikat pada

makrofag dan reseptor monosit juga mengakibatkan kenaikan sekresi

interleukin-1 dan tumor necrosis factor (TNF), menyebabkan peningkatan

kerusakan jaringan. Pasien dengan DM tidak terkontrol mempunyai

peningkatan resiko infeksi luka bedah dan penundaan penyembuhan luka

sehingga beberapa peneliti merekomendasikan penatalaksanaan penyakit

periodontal secara konservatif dan non-bedah. Karena pencegahan memainkan

peranan penting pada tahap disease control pasien DM, mereka mungkin

memerlukan kontrol plak dan scaling rutin.

b. Karies

Anak – anak dan dewasa dengan DM tipe II yang sering dikaitkan

dengan obesitas dan asupan makanan tinggi kalori dan kaya karbohidrat dapat

diperkirakan mempunyai paparan yang lebih tinggi terhadap makanan

kariogenik. Lebih dari itu, penurunan aliran saliva telah dilaporkan pada

penderita diabetes dengan neuropati dan penurunan laju aliran saliva

merupakan faktor resiko karies (Lamster, et al., 2008)


20

c. Disfungsi saliva

Mulut kering atau xerostomia, telah dilaporkan terjadi pada penderita

diabetes mellitus. Aliran saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa kondisi

termasuk obat – obatan yang diresepkan, penuaan, dan ditentukan oleh derajat

neuropati dan sensasi subjektif kekeringan rongga mulut bersamaan dengan

rasa haus (Lamster, et al., 2008). Kekeringan permukaan mukosa yang

disebabkan kurangnya salivasi menyebabkan mukosa mudah iritasi, minor

ulser pada mukosa, sensasi terbakar pada mulut, peningkatan pertumbuhan

jamur. Neuropati otonom dapat juga menyebabkan perubahan pada sekresi

saliva, karena aliran saliva diatur oleh saraf simpatis dan parasimpatis

(Akintoye, et al.,2008).

d. Penyakit Mukosa Mulut

Pasien DM memiliki peningkatan predisposisi manifestasi kandidiasis

termasuk median rhomboid glossitis, denture stomatitis dan angular chelitis.

Dilaporkan adanya kenaikan prevalensi lichen planus, RAS (Recurrent

Stomatitis Apthous). Hal ini dapat berhubungan dengan sistem imun pasien

dengan DM (Ship, 2003).

e. Gangguan Pengecapan

Pada umumnya, mundurnya produksi dan sekresi ludah dapat

mengakibatkan berkurangnya kesadaran pengecap. Meskipun kepekaan

pengecap kebanyakan ditentukan oleh berfungsinya kelenjar ludah dengan

baik, hal ini bukan merupakan aturan umum yang berlaku. Ada juga penderita
21

dengan xerostomia parah, yang kelenjar ludahnya sama sekali tidak dapat

bekerja , masih tetap mempunyai fungsi pengecap normal (Amerongen, 1991).

f. Gangguan Neurosensory dan Visual

Pasien diabetes biasanya mengeluhkan glossodynia dan / atau

stomatopyrosis. Biasanya juga disertai orofacial neurosensory disorder,

burning mouth syndrome (sindroma mulut terbakar) (Ship, 2003). Sensasi

terbakar dapat disebabkan karena neuropati perifer, xerostomia dan atau

kandidiasis.

3. Xerostomia

a. Definisi

Xerostomia secara harafiah berarti “ mulut kering “ (xeros = kering

dan stoma = mulut). Gangguan fungsi ini dapat banyak sebabnya. Perasaan

mulut kering terjadi bila kecepatan resorpsi air oleh mukosa mulut bersama –

sama dengan penguapan air mukosa mulut, lebih besar daripada kecepatan

sekresi ludah. Normal diproduksi 500 – 600 ml ludah setiap hari. Pada sekresi

ludah kurang dari 0,06 ml/menit (= 3ml/jam) akan timbul keluhan mulut

kering. Bila produksinya kurang dari dari 20 ml/hari dan berlangsung dalam

waktu yang lama, maka keadaan ini disebut xerostomia. Menurut Sreebny

(1996) curah saliva normal tanpa stimulasi sebesar 0,3 ml / menit dan dengan

stimulasi normal adalah 1 – 2 ml / menit.


22

Ludah sangat penting bagi rongga mulut, karena fungsinya yang

meliputi: perlindungan mukosa mulut, pengaturan kandungan air, pengeluaran

virus dan hasil pertukaran zat, membantu pencernaan makanan dan tanggapan

pengecapan serta berperan dalam diferensiasi dan pertumbuhan sel

(Amerongen, 1991). Karena fungsi saliva itulah Nabi Muhammad SAW

seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim mengisahkan, apabila ada

sahabat yang tergores kemudian luka, maka beliau membaca doa kemudian air

liurnya ditempelkan pada tangan kanannya, lalu diusapkan pada luka orang itu

sembari membaca doa yang berbunyi “Allahummarobinnasadzhabilbas isyfi

antasy-syafii laa syifa-a illa syifa-uka laa yugodiru saqoman”(Anonim,

2009).

Faktor yang mempengaruhi curah saliva terstimulasi (Dawes, 1996 cit.

Evirawati, 2005) :

- Rangsangan mekanis

- Rangsang pengecapan dan penciuman

- Perangsangan kelenjar unilateral

- Ukuran kelenjar

- Usia

- Asupan makanan

Faktor yang mempengaruhi curah saliva istirahat (Dawes, 1996 cit.

Evirawati, 2005) :

- Tingkat hidrasi
23

- Posisi tubuh dan pencahayaan

- Ritme biologis

- Rangsang fisik

- Obat

b. Etiologi

Dibawah ini terdapat beberapa kemungkinan penyebab yang

mengakibatkan xerostomia :

1. Kesehatan umum yang menurun

Gangguan dalam pengaturan air dan elektrolit, yang diikuti oleh

terjadinya keseimbangan air yang negatif, dapat menyebabkan turunnya

sekresi ludah, sehingga kebutuhan pembasahan mulut meningkat. Gangguan –

gangguan ini dapat timbul karena berbagai sebab, seperti misalnya berkeringat

yang berlebihan yang disebabkan oleh temperatur luar yang tinggi atau oleh

demam, diare yang lama atau pengeluaran urine yang melampaui batas,

misalnya pada penderita diabetes. Kesehatan umum yang menurun pada

penderita – penderita lanjut usia dapat menyebabkan berkurangnya sekresi

ludah yang mengakibatkan meningkatnya resiko terhadap radang mulut. Juga

pada penderita dengan gangguan ginjal yang parah diikuti oleh gangguan pada

pengeluaran elektrolit, seperti pada penderita hemodialisis.

Gangguan emosional seperti stres, putus asa dan rasa takut, dapat

menyebabkan turunnya sekresi ludah. Defisiensi vitamin dapat juga

menyebabkan turunnya sekresi ludah dan radang pada selaput lendir dan sudut
24

mulut. Disini biasanya Candida albicans tampil sebagai intermedium. Juga

diketahui bahwa perubahan hormonal mempengaruhi sekresi ludah, misalnya

pada permulaan kehamilan dan juga di waktu menopause.

Penyakit – penyakit infeksi pernafasan biasanya menyebabkan mulut

terasa kering. Pada infeksi pernafasan bagian atas, penyumbatan hidung yang

terjadi menyebabkan penderita bernafas melalui mulut (Haskell dan Gayford,

1990)

2. Gangguan sistem syaraf

Gangguan pada sistem saraf pusat dan perifer dapat mempengaruhi

bagi kecepatan sekresi ludah. Kelainan saraf yang diikuti gejala degenerasi,

seperti sklerosis multipel, juga akan mengakibatkan turunnya pengeluaran

ludah. Sebaliknya gangguan pada sistem syaraf juga dapat mengakibatkan

naiknya sekresi ludah.

3. Penggunaan obat – obatan

Pada umumnya obat – obatan yang termasuk kelas – kelas berikut

menyebabkan penurunan sekresi ludah :

- Analgesik mixture

- Antikonvulsan

- Antiemetik, antinausea

- Antiparkinson

- Antipruritik

- Diuretik
25

- Dekongestan

- Expectoran

- Muscle relaxan

- Antikolinergik

- Hipnotik

- Sedatif

- Obat penenang (tranquilizer )

- Antidepresi

- Spasmolitik

- Antiepilepsi

- Antihipertensi

- Antihistamin (Hasibuan, 2002).

4. Gangguan kelenjar ludah

Gambaran histologis sel asinar dan sel duktus kelenjar ludah yang

berkurang atau mengecil, mengakibatkan penurunan sekresi ludah, seperti :

- Aplasi atau hipoplasi kelenjar ludah mayor pembawaan

- Atrofi kelenjar ludah karena ketuaan atau penyinaran

- Penyumbatan muara pembuangan oleh batu ludah, tumor, dll.

- Penyakit auto-imun, seperti sindroma Sjogren, gangguan limfogen epitel

jinak (BEL) diantaranya sindroma Mikulicz

- Radang kelenjar ludah, misalnya parotitis, sindroma Heerfordt,

tuberkulosis, aktinomikosis.
26

5. Penyinaran daerah kepala–leher

Gangguan fungsi kelenjar ludah setelah penyinaran dengan sinar

ionisasi pada daerah kepala–leher sudah banyak diketahui. Jumlah dan

keparahan kerusakan tergantung dosis dan lamanya peyinaran. Perusakan

kelenjar ludah paling parah adalah dalam asinus serus. Ini berarti bahwa

glandula parotis adalah yang paling peka terhadap penyinaran, sedang kelenjar

ludah mukus, seperti glandula sublingualis, yang paling kurang

peka.Penyinaran kelenjar ludah berakibat berkurangnya volume ludah, dengan

terjadinya gejala – gejala berikut :

- Kepekatan ludah meningkat

- pH ludah lebih rendah

- kecepatan sekresi protein berkurang, sedang konsentrasi protein naik

- Konsentrasi sekresi IgA berkurang

- Konsentrasi elektrolit bertambah

- Jumlah mikroorganisme kariogenik naik, terutama kandida, laktobasilus

dan streptokokus.

c. Penatalaksanaan

Terapi yang diberikan juga tergantung pada berat dan ringannya

keadaan keluhan mulut kering. Pada keadaan ringan dapat dianjurkan untuk

sering berkumur atau mengunyah permen karet yang tidak mengandung gula.

Bila keluhan mulut kering disebabkan pemakaian obat – obatan, maka

mengganti obat dari kategori yang sama mungkin dapat mengurangi pengaruh
27

mulut kering (Kidd dan Bechal, 1992). Pada keadaan berat dapat digunakan

zat perangsang saliva dan zat pengganti saliva.

Obat perangsang saliva hanya akan membantu jika ada kelenjar saliva

yang masih aktif. Mouth lubricant dan lemon mucilage yang mengandung

asam sitrat dan dapat merangsang sangat kuat sekresi encer yang

menyebabkan rasa segar di dalam mulut. Tetapi obat ini mempunyai pH yang

rendah sehingga dapat merusak email dan dentin. Mentol dalam kombinasi

dengan zat – zat manis dapat merangsang baik sekresi seperti air maupu

sekresi lendir, memberi rasa segar dalam mulut (Kidd dan Bechal, 1992).

Bila zat perangsang saliva tidak memadai untuk mengatasi keluhan

mulut kering, maka digunakan zat pengganti saliva. Berbagai persyaratan

untuk zat ini bersifat reologis, rasa menyenangkan, pengaruh buffer,

peningkatan remineralisasi dan menghambat demineralisasi, menghambat

pertumbuhan bakteri dan sifat pembasahan yang baik. Pengganti saliva ini

tersedia dalam bentuk cairan, spray dan tablet hisap (Kidd dan Bechal, 1992)

Salivix®, yang berbentuk tablet hisap berisi asam malat, gumarab,

kalsium laktat, natrium fosfat, lycasin dan sorbitol akan meangsang produksi

saliva. Permen karet bebas gula atau mengandung xylitol dapat menginduksi

sekresi saliva encer seperti air. (Amerongan, 1991)

V.A Oralube®, bentuk cairan, pH 7, merupakan zat pengganti saliva

untuk merangsang viskositas dan elektrolit seluruh saliva. Saliva Orthana®,

bentuk spray, pH 7, mengandung musin untuk memperoleh viskositas. Juga


28

digunakan Glandosan®, pH 5,1, tetapi tidak dianjurkan untuk penderita yang

masih mempunyai gigi (Kidd dan Bechal, 1992).

Obat – obatan sistemik yang biasa digunakan adalah pilocarpin. Obat ini

bersifat parasimpatis dan dosis yang diberikan 5 – 10 mg satu jam sebelum

makan atau 3 kali sehari. Dari penelitian yang telah dilakukan 54% pasien

mengalami perbaikan xerostomia secara menyeluruh (Grisius, 2001 cit. Boedi,

2006). Obat lain yang dapat digunakan adalah anethole-trithione. Dosis

pemakaiannya 25 mg 3 kali sehari. Obat ini telah diteliti dan menimbulkan

efek sinergis bila digunakan bersama dengan pilocarpin (Boedi, 2006).

Penggunaan obat kumur yang mengandung sodium klorida dan sodium

bikarbonat dapat dianjurkan untuk meringankan xerostomia dan menjaga

kebersihan mulut (Manson dan Chisolm, 1975 cit. Boedi, 2006).

B. LANDASAN TEORI

Diabetes mellitus tipe II telah menjadi masalah serius di Indonesia

mengingat banyaknya prevalensi yang tersebar di tiap daerah. Hal ini

memunculkan perhatian terhadap komplikasi yang juga banyak terjadi pada

penderita diabetes mellitus salah satunya neuropati. Hiperglikemia terus menerus

menyebabkan peningkatan jalur poliol yang menyebabkan kenaikan jalur sorbitol

dan berkurangnya Nicotinamide Adenin Dinucleotida Phosphate (NADPH) saraf.

Sorbitol dalam sel naik dan mioinositol turun. Hal ini menyebabkan stres
29

osmotik karena terjadinya edema saraf sehingga mengganggu transduksi sinyal

saraf. Turunnya NADPH saraf menyebabkan kemampuan saraf berkurang.

Hiperglikemia yang berlangsung lama juga menyebabkan tinginya Advanced

Glycosilation End-products (AGE) yang berpengaruh pada berkurangnya aliran

darah sehingga berkurang juga nutrisi ke dalam sel, termasuk sel saraf. Semua

jalur tersebut berpengaruh pada fisiologi kelenjar saliva yang ditandai dengan

turunnya sekresi kelenjar ludah. Turunnya sekresi kelenjar diukur dengan

banyaknya curah saliva. Apabila curah saliva istirahat di bawah volume normal,

maka manifestasi ini disebut xerostomia. Xerostomia yang berlanjut dan parah

menyebabkan perlindungan jaringan keras dan lunak mulut berkurang. Keadaan

ini dapat menambah resiko terjadinya karies, gingivitis dan periodontitis,

ditambah dengan rendahnya sistem kekebalan tubuh penderita DM. Hal ini

semakin memperburuk kondisi dan kualitas hidup pasien.


30

C. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Diabetes mellitus tipe II

Komplikasi Komplikasi
Makroangiopati Mikroangiopati

Aterosklerosis Peningkatan aktivitas jalur


poliol, sintesis AGE, turunnya
NADPH saraf,

neuropati retinopati nefropati

Kebutaan Gagal
Inervasi glandula saliva ginjal

Fisiologi glandula
saliva

Sekresi saliva turun

Xerostomia

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian


31

D. HIPOTESIS
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh antara komplikasi
neuropati pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II terhadap xerostomia di rongga
mulut.
32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasi dengan pendekatan cross

sectional karena variabel bebas dan variabel terikat diambil dalam waktu

bersamaan.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Waktu penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2010.

C. Sumber Data

Pengumpulan data yaitu pasien diabetes mellitus tipe II di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta dan orang sehat di lingkungan peneliti.

D. Populasi dan Sampel

Populasi adalah sekelompok subyek atau data dengan karakteristik tertentu.

Sedangkan sampel adalah bagian populasi yang diteliti (Sastroasmoro, 1995).

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita diabetes mellitus tipe II.

Sedangkan sampelnya adalah pasien diabetes mellitus tipe II yang

mempunyai riwayat menderita diabetes selama lebih dari 10 tahun dengan

komplikasi neuropati sebanyak 10 orang sebagai kelompok I, penderita


33

diabetes tanpa komplikasi neuropati sebanyak 10 orang sebagai kelompok II

dan, dan orang sehat sebagai kontrol 10 orang. Pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling.

E. Kriteria Penelitian

Kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi :

1. Pasien diabetes mellitus tipe II,

2. Usia 40 – 60 tahun,

3. Menderita diabetes selama minimal 10 tahun terakhir,

4. Belum menopause untuk subyek wanita.

Sedangkan kriteria eksklusinya yaitu :

1. Mempunyai penyakit yang dapat mempengaruhi glandula saliva lain :

Sindrom Sjogren, HIV / AIDS, Sialodenitis kronis, Cystic fibrosis,

Sarcoidosis, Multiple sclerosis

2. Mengkonsumsi secara rutin obat – obatan yang mampu mengurangi

sekresi saliva,

3. Merokok atau menginang,

4. Memakai protesa,

5. Mengkonsumsi alkohol,

6. Sedang menjalani radioterapi (terutama daerah kepala dan leher) dan

kemoterapi,

7. Pernah mengalami operasi pencangkokan organ / jaringan sebelumnya,


34

F. Variabel penelitian

Variabel pengaruh : Diabetes mellitus tipe II dan neuropati

Variabel terpengaruh : Xerostomia

Variabel terkendali :

1. Usia

2. Penyakit lain yang mempengaruhi sekresi saliva

3. Konsumsi obat yang dapat mempengaruhi sekresi saliva

4. Posisi tubuh dan pencahayaan

5. Tidak memakai protesa

6. Lama menderita diabetes

7. Tidak merokok atau menginang

8. Belum menopause (wanita)

9. Tidak sedang menjalani radio dan kemoterapi

10. Tidak mengkonsumsi alkohol

Variabel tak terkendali :

1. Psikologi / stres

2. Diet

3. Jenis kelamin

4. Lesi rongga mulut lain


35

G. Definisi Operasional

1. Diabetes mellitus tipe II yaitu merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik yang ditandai dengan hiperglikemi akibat kelainan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas, gangguan kerja insulin / resistensi insulin,

atau keduanya. Pada penelitian ini, subyek penelitian merupakan pasien

yang mengidap diabetes mellitus tipe II selama 10 tahun terakhir yang

berusia 40-60 tahun

2. Neuropati Diabetik yaitu sekumpulan gejala (sindrom) yang disebabkan

oleh degenerasi saraf perifer atau otonom sebagai akibat diabetes mellitus

(Harsono, 2005). Pada penelitian ini, pemilihan subyek yang sudah

mengalami komplikasi neuropati berasal dari anamnesis gejala subyektif

yang dirasakan pasien.

3. Xerostomia yaitu merupakan keluhan subyektif berupa kekeringan di

dalam mulut akibat penurunan produksi saliva dari kedua kelenjar mayor

dan minor. Pada penelitian ini, xerostomia ditegakkan dengan cara

menghitung volume curah saliva dan anamnesis keluhan pasien.

4. Curah saliva adalah volume saliva dalam mililiter yang dikeluarkan tiap

menit.
36

Tabel 2.Rata – rata curah saliva (Navazesh dan Kumar 2008; Sawair, 2009)

curah saliva batas kritis curah saliva abnormal


normal (ml/menit) (ml/menit)
(ml/menit)
Curah saliva istirahat >0,3 – 0,7 0,2 - 0,1 < 0,1 ml / menit
( tanpa stimulasi ) ml/menit ml/menit
Curah saliva dengan >1 – 2 0,5 – 1 < 0,5 ml / menit
stimulasi ml/menit ml/menit

Rata - rata Curah Saliva = Volume pengukuran ( ml )

Periode Pengukuran ( menit )

H. Instrumen Penelitian

1. Kaca Mulut

2. Bengkok

3. Masker&Handscoon

4. Alat Tulis&Blanko penelitian

5. Stopwatch

6. Gelas Ukur dan Corong

7. Asam sitrat 2%

8. Pipet tetes

9. Akuades

10. Bahan sterilisasi


37

I. Alur Jalannya penelitian

Pasien tiap kelompok yang telah diseleksi

Penjelasan mengenai jalannya penelitian

Pengisian informed consent

Anamnesis keluhan subyektif neuropati dan xerostomia dan pengisian blanko data

Pemeriksaan intraoral untuk mendiagnosis xerostomia

Pengambilan sampel curah saliva (min 2 jam setelah makan)

Kumur dengan akuades

Instruksi menelan ludah, duduk tegak rileks 5 menit, mata terbuka

Tanpa stimulasi, ludah dikumpulkan Stimulasi as.sitrat 2% di dorsal lidah tiap


selama 5 menit 1 menit dan diludahkan, diulang sampai 5
menit

Instruksi meludah, dikumpulkan dalam tabung

Pengumpulan data (catat dan kelompokkan)

Analisis data

Gambar 2. Skema jalannya penelitian


38

J. Analisis Data

Analisis data menggunakan One way ANOVA untuk membandingkan rata-rata

curah saliva tiap kelompok dan Chi-Square untuk membandingkan data

kategori jumlah penderita xerostomia pada tiap kelompok (Budiarto, 2001).

K. Etika penelitian

Sebelum penelitian ini berlangsung, kepada subjek penelitian

dijelaskan maksud dan tujuan pengumpulan data secara singkat serta

dijelaskan bahwa penelitian ini bersifat observasi, tidak melakukan intervensi

apapun terhadap responden dan data yang dikumpulkan akan dijaga

kerahasiaannya. Sebagai bukti kesediaan responden mengikuti penelitian ini,

maka responden diminta untuk menandatangani informed consent yang telah

disiapkan sebelumnya.
39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

Subyek penelitian terdiri dari 30 orang terbagi menjadi 3 kelompok masing –

masing 10 orang. Kelompok I terdiri atas penderita diabetes mellitus tipe II dengan

komplikasi neuropati yang berusia rata – rata 52 tahun. Kelompok II terdiri atas

penderita diabetes mellitus tipe II tanpa disertai komplikasi neuropati yang berusia

rata – rata 53 tahun. Kelompok III terdiri atas orang normal tanpa penyakit sistemik

yang berusia rata – rata 51 tahun. Total dari penelitian ini diikuti oleh 16 orang

perempuan dan 14 orang laki – laki. Responden berasal dari lingkungan RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta, baik dari anggota Persadia maupun pasien rawat inap

dan paling banyak berasal dari lingkungan sekitar peneliti. Kebanyakan responden

mengendalikan gula darahnya hanya dengan meminum obat per oral sehari – hari

yang sudah biasa dikonsumsi tanpa disertai olahraga, diet yang benar dan jarang

berkonsultasi dengan dokter tentang kontrol gula darah yang baik dan benar.

Pengelompokan pasien berdasarkan anamnesis keluhan subyektif xerostomia

dan neuropati. Pertanyaan yang mengarah ke diagnostik xerostomia antara lain :

1. Apakah anda sering merasa haus dan selalu membutuhkan minum untuk

menelan makanan?

2. Apakah anda sering merasa bibir dan mukosa mulut kering?


40

3. Apakah anda merasa ludah anda terlalu sedikit sehari-hari dan sering

terbangun di malam hari untuk minum?

Jika jawaban terdapat 2 jawaban ya atau lebih, maka subyek didiagnosis

xerostomia. Diagnosis ini nantinya akan diperkuat dengan pengukuran curah saliva

baik tidak stimulasi maupun dengan stimulasi. Sedangkan pertanyaan untuk

mendiagnosis adanya neuropati antara lain :

1. Apakah anda sering merasa kesemutan / mati rasa di tangan dan kaki?

2. Apakah anda sering berkeringat berlebih hanya di wajah, leher dan dada?

3. Apakah anda sering merasa sukar jongkok, nyeri di tungkai terutama pada

malam hari?

Jika terdapat 2 jawaban ya atau lebih dan terdapat gejala neuropati lain seperti

impotensi dan ulkus diabetik, maka subyek digolongkan dalam kelompok I yaitu

penderita diabetes mellitus tipe II dengan neuropati.

Subyek diminta mengumpulkan saliva ke tabung yang telah disediakan peneliti.

Tabung pertama untuk pengukuran pertama yaitu 5 menit mengumpulkan ludah

istirahat tanpa stimulasi, tabung kedua untuk pengukuran kedua yaitu mengumpulkan

ludah selama 5 menit dengan stimulasi asam sitrat 2% tiap 1 menit di dorsal lidah.

Tiap tabung kemudian diukur volume salivanya dan dibagi 5 menit untuk mengetahui

rata – rata curah saliva per menit. Berikut ini hasil pengukuran dan rata – rata curah

saliva tiap kelompok.


41

Tabel 3. Rata – rata curah saliva tidak stimulasi dan stimulasi tiap kelompok

Kelompok Rata – rata curah saliva


(ml/menit)
Tidak stimulasi P Value Stimulasi P Value
Kelompok I 0,14±0,6992 0,000 0,43±0,24060 0,000
Kelompok II 0,33±0,11595 1,00±0,35277
Kelompok III 0,73±0,16364 2,44±0,79331

Keterangan : Kelompok I 10 orang diabetes mellitus tipe II dengan neuropati,


kelompok II 10 orang diabetes mellitus tipe II tanpa neuropati, kelompok III 10 orang
normal. P Value adalah nilai signifikansi statistik dengan One Way ANOVA dari tiap
pengukuran pada 3 kelompok

Tabel 4. Jumlah penderita xerostomia tiap kelompok

Kelompok Jumlah penderita P Value


Normal Xerostomia (3 kelompok)

Kelompok I (n=10) 3 7 0,002


Kelompok II (n=10) 8 2
Kelompok III (n=10) 10 0
Jumlah 21 9
Keterangan : Diagnosis antara xerostomia ditegakkan dari hasil anamnesis keluhan
subyektif dan pengukuran curah saliva. P Value adalah nilai signifikansi statistik
dengan Chi-Square untuk membandingkan jumlah penderita xerostomia
dibandingkan jumlah orang normal pada 3 kelompok
Di awal disebutkan akan dilakukan pemeriksaan intraoral pada subyek

penelitian, namun karena keterbatasan peneliti dan banyak subyek yang tidak

bersedia diperiksa kondisi rongga mulutnya maka pemeriksaan intraoral tidak

dilakukan.
42

Untuk mengetahui apakah rata – rata curah saliva baik tidak stimulasi maupun

stimulasi pada tiap kelompok signifikan atau tidak, maka dilakukan uji statistik yaitu

One Way ANOVA. Berdasarkan uji statistik ANOVA yang telah dilakukan baik curah

saliva tidak stimulasi dan stimulasi sama – sama nilai signifikansinya sebesar

p=0,000. Hipotesis didukung dengan nilai probabilitas (p<0,05) yang artinya terdapat

perbedaan yang signifikan rata – rata curah saliva baik tidak stimulasi dan stimulasi

antar kelompok. Untuk mengetahui pada kelompok manakah perbedaan bermakna itu

ada, dilakukan analisis Post Hoc dengan Tukey. Hasil analisis menunjukkan pada

curah saliva tidak distimulasi kelompok neuropati dan kelompok tidak neuropati

p=0,005; kelompok neuropati dan kelompok normal p=0,000; kelompok tidak

neuropati dan kelompok normal p=0,000; sedangkan pada analisis curah saliva

stimulasi menunjukkan kelompok neuropati dan kelompok tidak neuropati p=0,053;

kelompok neuropati dan kelompok normal p=0,000; kelompok tidak neuropati dan

normal p=0,000.

Berdasarkan hasil tersebut diatas meunjukkan bahwa masing – masing

kelompok penelitian memiliki hasil yang berbeda. Pada curah saliva stimulasi antara

kelompok neuropati dan tidak neuropati menunjukkan perbedaan yang tidak

signifikan (p>0,05). Hal ini bisa dikarenakan pada waktu penelitian, terutama subyek

dari rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta kurang kooperatif terhadap

penelitian dan instruksi dari peneliti. Beberapa subyek dari instansi rawat inap,
43

dirawat tidak hanya karena diabetesnya melainkan karena cedera kepala ringan-

sedang, dan penyakit lain.

Berdasarkan hasil anamnesis keluhan subyektif, didapat jumlah insidensi

xerostomia pada kelompok neuropati sebanyak 7 orang, kelompok tidak neuropati

sebanyak 2 orang yang berarti keluhan xerostomia lebih banyak terjadi pada penderita

diabetes mellitus tipe II dengan komplikasi neuropati daripada tanpa komplikasi

neuropati. Dari hasil analisis menggunakan Chi-Square dengan melihat kolom Asymp

Sig.(2 Sided) didapat hasil yang signifikan antar tiga kelompok (p<0,05), namun

antara kelompok tidak neuropati dan kelompok normal terdapat hasil yang tidak

signifikan (p>0,05). Hal ini berarti terdapat hubungan antara neuropati dengan

xerostomia namun tidak ada hubungan antara diabetes mellitus tipe II dengan

xerostomia jika dibandingkan dengan orang normal. Secara keseluruhan terdapat

hubungan antara neuropati, diabetes mellitus tipe II, dan orang normal terhadap

xerostomia.

B. PEMBAHASAN

Pada penelitian ini membandingkan antara kelompok diabetes tipe II dengan

neuropati, tanpa neuropati dan orang normal. Tujuannya adalah untuk mengetahui

apakah neuropati diabetik dapat menimbulkan manifestasi oral yaitu xerostomia

dikarenakan adanya kerusakan saraf sistemik yang juga mengenai saraf pada kelenjar

ludah. Neuropati adalah komplikasi tersering pada diabetes mellitus, bisa berupa akut

dan reversibel sampai dengan bentuk kronis dan ireversibel. Umumnya neuropati
44

diabetik ini terjadi setelah intoleransi glukosa yang cukup lama. Maka dari itu salah

satu kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien yang 10 tahun terakhir didiagnosis

diabetes mellitus tipe II.

Adanya komplikasi neuropati ini pada penderita diabetes mellitus,

menyebabkan gangguan saraf termasuk inervasi ke kelenjar saliva. Padahal kelenjar

saliva terutama dikontrol oleh sinyal saraf simpatis dan parasimpatis. Kondisi sel

kelenjar saliva pada penderita diabetes dibuktikan dalam sebuah studi dengan

menggunakan tikus yang diinduksi alloxan sebagai simulasi penderita diabetes

mellitus, terbukti terjadi kerusakan sel dan penurunan berat kelenjar parotis dan

submandibula namun kelenjar sublingualnya tidak terpengaruh (Anderson L.C,1998).

Produksi saliva yang berkurang selalu disertai dengan perubahan dalam komposisi

saliva yang mengakibatkan sebagian fungsi saliva terganggu (Amerongen, 1991).

Dari hasil analisis pengukuran curah saliva tanpa stimulasi menunjukkan hasil

yang signifikan (p=0,000). Hasil rata-rata curah saliva pada kelompok neuropati yaitu

0,14±0,6992 ml/menit berada pada rentang abnormal (lihat tabel 2). Hal ini berarti

rata-rata curah saliva tidak stimulasi pada kelompok neuropati benar-benar sedikit

dan bisa dikatakan rata-rata subyek kelompok neuropati benar – benar menderita

xerostomia dilihat dari curah salivanya. Pada kelompok tidak neuropati didapat hasil

rata-rata curah saliva sebesar 0,33±0,11595 ml/menit berada pada batas kritis hampir

mendekati normal (lihat tabel 2). Hal ini berarti rata-rata curah saliva tidak stimulasi

pada kelompok tidak neuropati lebih banyak daripada kelompok neuropati dan bisa

dikategorikan hampir semua subyek di kelompok tidak neuropati menderita


45

xerostomia. Kelompok III yaitu orang normal didapat hasil rata-rata curah saliva

sebesar 0,73±0,16364 ml/menit. Jika melihat pada tabel 2, maka dapat dikatakan

kelompok III semuanya normal dan tidak ada yang menderita xerostomia dilihat dari

curah salivanya.

Pengukuran kedua yaitu curah saliva dengan stimulasi asam sitrat 2% adalah

bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan curah saliva dan untuk

mengetahui apakah kelenjar saliva masih bisa distimulasi dengan rangsangan yang

berarti inervasi pada kelenjar masih baik atau tidak. Asam sitrat 2% ini digunakan

karena pada penelitian ini mengukur curah saliva keseluruhan/total yang berarti curah

saliva yang berasal dari semua kelenjar saliva baik mayor maupun minor. Sedangkan

asam sitrat adalah rangsangan paling kuat untuk semua kelenjar dibandingkan

stimulasi menggunakan cara pengunyahan dan mentol. Jumlah ludah yang terbentuk

tiap waktu juga dipengaruhi oleh berat dan besar kelenjar (Amerongen, 1991).

Hasil analisis statistik dengan menggunakan One Way ANOVA pada

pengukuran rata-rata curah saliva stimulasi menunjukkan hasil yang signifikan antar

kelompok p=0,000. Namun uji Post Hoc dengan Tukey menunjukkan tidak signifikan

antara rata-rata kelompok neuropati dan kelompok tidak neuropati yaitu p=0,053

(p>0,05). Hal ini bisa dikarenakan kedua kelompok mempunyai kriteria inklusi yang

sama yaitu didiagnosis menderita diabetes mellitus tipe II selama 10 tahun terakhir,

sehingga kemungkinan terkena komplikasi neuropati adalah sama. Hanya saja dari

hasil anamnesis sebelum penelitian, subyek kelompok tidak neuropati tidak

menunjukkan gejala karena kelompok ini lebih terkontrol gula darahnya dengan cara
46

mengkonsumsi obat-obatan peroral sehari-hari. Kebanyakan kelompok tidak

neuropati juga diperoleh dari kelompok Persadia yang notabene selalu melakukan

senam diabetes tiap minggu dan rutin cek gula darah dan selebihnya berasal dari

lingkungan sekitar peneliti. Dilihat dari nilai p=0,053 yang berati terdapat sedikit

sekali selisih dari nilai signifikansi p<0,05 maka ketidaksignifikansi ini bisa

disebabkan karena kurang kooperatifnya subyek penelitian. Sedangkan analisis

statistik antar kelompok lain menunjukkan hasil signifikan (p<0,05) yang berarti

terdapat perbedaan curah saliva stimulasi antar kelompok neuropati dan tidak

neuropati (p=0,000) dan antar kelompok tidak neuropati dan normal (p=0,000).

Dilihat dari hasil rata-rata curah saliva stimulasi kelompok neuropati sebesar

0,43±0,24060 ml/menit maka dengan melihat tabel 2, dapat dikatakan bahwa

kelompok neuropati mempunyai curah saliva stimulasi yang abnormal. Sehingga dari

pengukuran curah saliva tidak stimulasi dan stimulasi disimpulkan bahwa kelompok

neuropati mempunyai curah saliva yang abnormal. Kelompok tidak neuropati didapat

hasil rata-rata sebesar 1,00±0,35277 ml/menit. Jika dibandingkan dengan tabel 2

maka termasuk dalam batas kritis, dan kelompok normal dengan rata-rata curah saliva

stimulasi 2,44±0,79331 ml/menit termasuk dalam kategori normal. Dari perbedaan

rata-rata curah saliva tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

yang nyata dan dapat disimpulkan bahwa komplikasi neuropati dapat mengurangi

sekresi saliva baik waktu istirahat (tidak stimulasi) dan stimulasi.

Hasil uji Chi-square antara tiga kelompok dengan melihat kolom Asymp.

Sig.(2 Sided) diperoleh hasil yang signifikan yaitu p=0,002 (p<0,05) yang berarti
47

terdapat pengaruh antara neuropati terhadap xerostomia pada penderita diabetes

mellitus tipe II. Begitu pula uji Chi-square antar kelompok neuropati dan tidak

neuropati p=0,025; kelompok neuropati dan kelompok normal p=0,001. Namun

antara kelompok tidak neuropati dan kelompok normal menunjukkan hasil yang tidak

signifikan p=0,136 (p>0,05). Hal ini dikarenakan baik pada kelompok tidak neuropati

dan kelompok normal jarang sekali yang mengeluhkan xerostomia dan menjawab

pertanyaan anamnesis dengan jawaban ya kurang dari 2 dan hasil pengukuran curah

saliva yang berada pada rentang normal/kritis. Pada kelompok tidak neuropati hanya

2 orang yang mengeluhkan xerostomia dan pada kelompok normal tidak ada sama

sekali, sehingga terpautnya sangatlah sedikit. Namun curah saliva pada kelompok

tidak neuropati lebih sedikit dari kelompok normal.

Dari hasil penelitian ini, maka mendukung beberapa penelitian lain seperti

studi yang dilakukan oleh Newrick,P.G, Bowman,C., dkk pada tahun 1991 yaitu

adanya penurunan yang signifikan pada rata-rata curah saliva pada kelenjar parotis

pada penderita diabetes mellitus tipe II dengan neuropati otonom dan gangguan pada

saraf parasimpatis dibandingkan dengan diabetes mellitus tanpa neuropati dan orang

normal. Menurut Vancza (2004) neuropati yang disebabkan oleh komplikasi diabetes

mellitus pada sistem saraf, jika mengenai saraf otonom bagian perifer maka dapat

mengganggu fungsi kelenjar saliva untuk memproduksi saliva. Di lain sisi, hasil

penelitian ini juga sekaligus bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Ben-Aryeh,H. Serouya, R. dkk tahun 1996 bahwa tidak ada perbedaan curah saliva

dan komposisinya yang signifikan antara penderita diabetes mellitus dengan


48

neuropati dan tanpa neuropati. Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa

xerostomia pada penderita diabetes mellitus dikarenakan sindrom poliuri (Quirino,

1995) yang sering menyebabkan penderita dehidrasi dan selalu ingin minum

(polidipsi) serta hilangnya elektrolit urin (Setyawati, 2000). Namun dari penelitian ini

dapat dibuktikan bahwa berdasarkan volume curah saliva baik stimulasi maupun

tidak, penderita diabetes mellitus yang mengalami neuropati mempunyai

kecenderungan mengalami gangguan sekresi saliva dan xerostomia.

Berdasarkan hasil anamnesis tentang keluhan subyektif xerostomia, subyek

penelitian terutama kelompok neuropati paling banyak mengeluhkan bibirnya kering,

sering merasa kehausan terutama sering terbangun di waktu malam, sulit untuk

menelan makanan dan ludah terasa sedikit. Beberapa bahkan mengeluhkan terdapat

rasa panas dan rasa logam di mulut. Gejala ini disebut juga burning mouth syndrome

atau sering disebut glossodynia. Memang kebanyakan gejala ini sering menyertai

penderita diabetes mellitus dengan neuropati, namun tak sedikit juga penderita

diabetes mellitus tanpa neuropati mengeluhkannya. Peneliti juga banyak menemukan

penyakit periodontal terutama periodontitis yang parah, banyaknya timbunan

kalkulus, resesi gingiva dan Kandidiasis. Namun pemeriksaan intraoral ini tidak

dilakukan pada semua subyek penelitian, karena keterbatasan peneliti dan kurang

kooperatifnya subyek penelitian. Beberapa merasa kesakitan, sedang tidak sehat

terutama pasien rawat inap, dan tidak bersedia diperiksa rongga mulutnya. Tetapi

pemeriksaan pada beberapa subyek yang lain cukup memberi gambaran tentang

kondisi rongga mulut penderita diabetes mellitus tipe II. Penderita diabetes mellitus
49

harus mengenal sejak dini tanda-tanda dari xerostomia karena xerostomia ini

merupakan faktor pendukung banyak penyakit rongga mulut yang menyertai

penderita diabetes mellitus, sehingga dengan mengetahui penyebab xerostomia

diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe II.
50

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini terbukti bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan rata-rata curah saliva tidak stimulasi dan stimulasi asam sitrat 2% baik

pada kelompok diabetes mellitus tipe II dengan neuropati, kelompok diabetes

mellitus tipe II tanpa neuropati dan orang normal. Kelompok diabetes mellitus

tipe II dengan neuropati lebih banyak mengeluhkan sindrom mulut kering

daripada kelompok tanpa neuropati dan kelompok normal, sehingga dapat

disimpulkan dari rata-rata curah saliva tidak stimulasi dan stimulasi serta

anamnesis keluhan subyektif, bahwa terdapat pengaruh antara neuropati dengan

kejadian xerostomia pada penderita diabetes mellitus tipe II.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh xerostomia pada

kesehatan rongga mulut pasien diabetes mellitus tipe II dan mengendalikan

variabel lain seperti psikologi/stres.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh neuropati terhadap

xerostomia dengan menggunakan alat dan metode lain selain metode

meludah.

Anda mungkin juga menyukai