Setelah diperoleh skor setiap peserta didik ( sebagaimana yang dibicarakan dalam Bab X ),
guru hen-daknya tidak tergesa-gesa menentukan prestasi belajar (nilai) peserta didik yang
didasarkan pada angka yang diperoleh setelah membagi skor dengan jumlah soal, karena cara
tersebut dianggap kurang proporsional. Misalnya, seorang peserta didik memperoleh skor 60,
sementara skala nilai yang digunakan untuk mengisi buku rapor adalah skala 0–10 atau skala
0–5, maka skor tersebut harus dikonver-sikan terlebih dahulu menjadi skor standar sebelum
ditetapkan sebagai nilai akhir.
Menurut Arifin (2011), ada dua pendekatan penafsiran hasil tes, yaitu “pendekatan PAP dan
PAN.” Pendekatan PAP pada umumnya digunakan untuk menafsirkan hasil tes formatif,
sedangkan PAN di-gunakan untuk menafsirkan hasil tes sumatif.
Bab ini akan dibahas secara rinci hal-hal yang berkaitan dengan dua jenis pendekatan
penafsiran tes, yaitu PAP dan PAN.
Tujuan PAP adalah untuk mengukur secara pasti tujuan atau kom-petensi yang ditetapkan
sebagai kriteria keberhasilannya. PAP sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kualitas
hasil belajar, sebab pe-serta didik diusahakan untuk mencapai standar yang telah ditentukan,
dan hasil belajar peserta didik dapat diketahui derajat pencapaiannya. Untuk menentukan batas
lulus (passing grade) dengan pendekatan ini, setiap skor peserta didik dibandingkan dengan
skor ideal yang mung-kin dicapai oleh peserta didik. Misalnya, dalam suatu tes ditetapkan skor
idealnya 100, maka peserta didik yang memperoleh skor 85 sama dengan memperoleh nilai 8,5
dalam skala 0–10. Dan seterusnya.
Contoh:
Diketahui skor 52 orang peserta didik sebagai berikut:
32 20 35 24 17 30 36 27 37 50
36 35 50 43 31 25 44 36 30 40
27 36 37 32 21 22 42 39 47 28
50 27 43 17 42 34 38 37 31 32
22 31 38 46 50 38 50 21 29 33
34 29
Pedoman konversi yang digunakan dalam mengubah skor mentah menjadi skor standar pada
norma absolut skala lima adalah:
Tingkat Penguasaan (%) Skor standar
90 – 100 A
80 – 89 B
70 – 79 C
60 – 69 D
> 59 E
Jika skor maksimum ditetapkan berdasarkan kunci jawaban = 60, maka penguasaan 90% = 0,90
x 60 = 55, penguasaan 80% = 0,80 x 60 = 48, penguasaan 70% = 0,70 x 60 = 42, penguasaan
60% = 0,60 x 60 = 36. Dengan demikian, diperoleh tabel konversi sebagai berikut:
Jadi, peserta didik yang memperoleh skor 50 berarti nilainya B, skor 35 nilainya E (tidak lulus),
skor 44 nilainya C, dan seterusnya. Jika di-kehendaki standar 10, maka skor peserta didik dapat
dikonversi dengan pedoman sebagai berikut:
Selanjutnya, persentase tingkat penguasaan terlebih dahulu diubah da-lam bentuk tabel
konversi. Caranya sama dengan skala lima di atas, se-tiap batas bawah tingkat penguasaan
dikalikan dengan skor maksi-mum. Contoh: penguasaan 95% = 0,95 x 60 = 57, penguasaan
85% = 0,85 x 60 = 51, penguasaan 75% = 0,75 x 60 = 45, dan seterusnya. De-ngan demikian,
tabel konversinya adalah:
Skor Mentah Skor Standar
57 – 60 10
51 – 56 9
45 – 50 8
36 – 44 7
33 – 38 6
27 – 32 5
21 – 26 4
15 – 20 3
09 – 14 2
03 – 08 1
Berdasarkan tabel di atas, maka peserta didik yang memperoleh skor 47 nilainya 8, skor 35
nilainya 6, skor 24 nilainya 4, dan seterusnya.
Skala Lima
Dengan demikian, skor 32 nilainya 5, skor 20 nilainya 3, skor 35 nilainya 6, skor 24 nilainya
4, dan skor 17 nilainya 2.
Skala 0 – 100 ( T – skor)
𝑋 − 𝑋̅
50 + ( ) 𝑥 10
𝑠
di mana:
50 dan 10 = bilangan tetap;
X= skor mentah yang diperoleh setiap peserta didik;
𝑋̅= rata-rata; dan
S = simpangan baku.
Contoh:
Peserta didik yang bernama Lazarus memperoleh skor mentah 35. Rata-rata = 60 dan
simpangan baku = 20. Dengan demikian, nilai yang diperoleh Lazarus dalam skala nilai 0-
100 adalah =
35 − 60
50 + ( ) 𝑥 10 = 37,5
20
Z – score adalah suatu ukuran yang menunjukkan berapa besar-nya simpangan baku
seseorang berada di bawah atau di atas ra-ta-rata dalam kelompok tersebut.
𝑋−𝑋̅
Rumus: 𝑍 =
𝑆
Contoh:
Diketahui:
skor (X) = 35; rata-rata (X) = 60; simpangan baku = 20.
35 − 60
𝑍= = −1,25
20
Peringkat (ranking)
Menafsirkan skor mentah dapat pula dilakukan dengan cara me-nyusun peringkat. Caranya
adalah dengan mengurutkan skor, mulai dari skor terbesar sampai dengan skor terkecil. Skor
ter-besar diberi peringkat 1, begitu seterusnya sampai dengan skor terkecil. Skor-skor yang
sama harus diberi peringkat yang sama pula.
Contoh:
Diketahui: 5 (lima) orang peserta didik memperoleh skor dalam mata pelajaran Elektronika
sebagai berikut: 20, 35, 25, 25, dan 30.
Untuk memberikan peringkat terhadap skor-skor tersebut dapat di-ikuti langkah-langkah
berikut.
Pertama, mengurutkan skor-skor tersebut dari yang terbesar sampai de-ngan terkecil dengan
diberi nomor urut sesuai dengan jumlah data.
1. 35
2. 30
3. 25
4. 25
5. 20
Kedua, memberi peringkat berdasarkan nomor urut, tetapi untuk skor yang sama harus diberi
peringkat yang sama
Skor: Peringkat:
1. 35 1
2. 30 2
3. 25 3,5
4. 25 3,5
5. 20 5
Peringkat untuk skor 25 adalah 3,5 yang diperoleh dari (3 + 4) : 2 = 3,5. Skor selanjutnya
diberi peringkat sesuai dengan nomor urut selanjutnya.
Dalam KTSP, prestasi belajar peserta didik ditentukan oleh per-bandingan antara pencapaian
sebelum dan sesudah pembelajaran serta kriteria penguasaan kompetensi yang ditentukan.
Oleh karena itu, da-lam penilaian berbasis kelas lebih tepat apabila menggunakan PAP.
Tujuan PAN adalah untuk membedakan peserta didik atas kelom-pok-kelompok tingkat
kemampuan, mulai dari yang terendah sampai dengan tertinggi. Secara ideal, pendistribusian
tingkat kemampuan da-lam satu kelompok menggambarkan suatu kurva normal.
Pada umumnya, PAN dipergunakan untuk seleksi. Soal tes dalam pendekatan ini
dikembangkan dari bagian bahan yang dianggap oleh guru urgen sebagai sampel dari bahan
yang telah disampaikan. Guru berwenang untuk menentukan bagian mana yang lebih urgen.
Untuk itu, guru harus dapat membatasi jumlah soal yang diperlukan, karena tidak semua
materi yang disampaikan kepada peserta didik dapat di-munculkan soal-soalnya secara
lengkap. Soal-soal harus dibuat dengan tingkat kesukaran yang bervariasi, mulai dari yang
mudah sampai de-ngan sukar, sehingga memberikan kemungkinan jawaban peserta didik
bervariasi, soal dapat menyebar, dan dapat membandingkan peserta di-dik yang satu dengan
lainnya.
Peringkat dan klasifikasi peserta didik yang didasarkan pada PAN lebih banyak mendorong
kompetisi daripada membangun semangat keja sama. Lagi pula tidak menolong sebagian
besar peserta didik yang mengalami kegagalan. Dengan kata lain, keberhasilan peserta didik
hanya ditentukan oleh kelompoknya. Dalam KTSP, prestasi peserta didik ditentukan oleh
perbandingan antara pencapaian sebelum dan sesudah pembelajaran, serta kriteria
penguasaan kompetensi yang ditentukan.
PAN biasanya digunakan pada akhir unit pembelajaran untuk me-nentukan tingkat hasil
belajar peserta didik. Pedoman konversi yang digunakan sama dengan pendekatan PAP.
Perbedaannya hanya terletak dalam menghitung rata-rata dan simpangan baku. Dalam
pendekatan PAN, rata-rata dan simpangan baku dihitung dengan rumus statistik se-suai
dengan skor mentah yang diperoleh peserta didik.
Adapun langkah-langkah pengolahannya, seperti berikut.
(1) Mencari skor mentah setiap peserta didik.
(2) Menghitung rata-rata (X) aktual dengan rumus:
∑𝑓
𝑋̅aktual = 𝑀𝑑 + ( 𝑛 𝑑 ) 𝑖
di mana:
Md = mean duga;
f= frekuensi;
d= deviasi;
fd= frekuensi kali deviasi;
n= jumlah sampel; dan
i= interval.
(3) Menghitung simpangan baku (s) aktual dengan rumus:
𝑖 𝑛(∑ 𝑓𝑑 2 ) − (∑ 𝑓𝑑)2
𝑆= √
𝑛(𝑛 − 1)
Menyusun pedoman konversi.
Contoh:
Diketahui: 52 orang peserta didik setelah mengikuti Ujian Akhir Semester mata pelajaran
Elektronika memperoleh skor sebagai berikut:
32 20 35 24 17 30 36 27 37 50
36 35 50 43 31 25 44 36 30 40
27 36 37 32 21 22 42 39 47 28
50 27 43 17 42 34 38 37 31 32
22 31 38 46 50 38 50 21 29 33
34 29
Selanjutnya data ini ditabulasikan dalam daftar distribusi frekuen-si, yaitu mengelompokkan
data sesuai dengan kelas interval. Un-tuk membuat kelas interval dapat digunakan rumus
Sturges.
Kelas
Frekuensi
Interval
47 – 51 6
42 – 46 6
37 – 41 8
32 – 36 12
27 – 31 11
22 – 26 4
17 – 21 5
Jumlah 52
(2) Menghitung rata-rata aktual dan simpangan baku aktual. Tabel 12. Menghitung rata-rata
dan simpangan baku aktual
∑𝑓 4
𝑋̅aktual = 𝑀𝑑 + ( 𝑛 𝑑 ) 𝑖 = 34 + (52) 5 = 34,38
Dengan demikian, skor 32 nilainya C, skor 20 nilainya E, skor 35 nilainya C, skor 24 nilainya
D, dan skor 17 nilainya E.
Contoh:
Diketahui: Peserta didik yang bernama Romanus memperoleh skor mentah 35. Rata-rata =
34,38 dan simpangan baku = 8,79. Dengan demikian, nilai yang diperoleh peserta didik A
dalam skala 0- 100 adalah :
35 − 34,38
50 + ( ) 10 = 50,71
8,79
Z – skor adalah suatu ukuran yang menunjukkan berapa besar-nya simpangan baku seseorang
berada di bawah atau di atas ra-ta-rata dalam kelompok tersebut.
𝑋−𝑋̅
Rumus: 𝑍= 𝑠
Contoh:
Diketahui:
Skor (X) = 35
Rata-rata (X)=34,38
Simpangan baku (s) =8,79
35−34,38
Jadi, Z – Skor =
8,79
= 0,07
Secara teoretis, pendekatan penilaian terdiri atas dua pendekatan seperti telah dijelaskan di
atas, tetapi dalam praktek, guru dapat meng-gunakan pendekatan gabungan antara PAP dan
PAN. Pendekatan ga-bungan digunakan dengan asumsi bahwa pendekatan PAP dan PAN
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pedoman kon-versi yang digunakan
sama dengan pedoman konversi dalam PAP dan PAN. Perbedaannya hanya terletak dalam
perhitungan rata-rata dan simpangan baku.
Rata-rata gabungan = (X ideal + X aktual) / 2. Simpangan baku (SB) gabungan = (SB ideal +
SB aktual) / 2.
Dengan demikian, untuk memperoleh rata-rata gabungan, terlebih da-hulu harus dicari rata-
rata ideal dan rata-rata aktual. Begitu juga untuk mencari simpangan baku gabungan.
Contoh:
Diketahui:
X ideal=60
SB ideal=20
X aktual=34,38
SB aktual = 8,79
.
Jadi, X gabungan = ½ x (X ideal + X aktual) = ½ x (60 + 34,38) = 47,19.
SB gabungan = ½ x (SB ideal + SB aktual)
= ½ x ( 20 + 8,79 ) = 14,395.
Untuk penyusunan pedoman konversi dapat digunakan seperti da-lam pendekatan PAP dan
PAN.
Untuk menghitung tingkat kesukaran soal bentuk objektif dapat di-gunakan dengan dua cara,
seperti berikut.
TK = (WL WH)
x 100% (nL nH)10
di mana:
TK = tingkat kesukaran;
Menyusun lembar jawaban peserta didik dari skor tertinggi sampai dengan skor terendah.
Mengambil 27% lembar jawaban dari atas yang selanjutnya dise-but kelompok atas (higher
group), dan 27% lembar jawaban dari ba-wah yang selanjutnya disebut kelompok bawah
(lower group). Sisa sebanyak 46% disisihkan.
Membuat tabel untuk mengetahui jawaban (benar atau salah) dari setiap peserta didik, baik
untuk kelompok atas maupun kelompok bawah. Jika jawaban peserta didik benar, diberi
tanda + (plus), se-
baliknya jika jawaban peserta didik salah, diberi tanda - (minus).
Contoh:
Peserta didik
1 2 3 4 5 6 dst
Nomor soal
3
4
dan seterusnya
Nomor Soal WL WH WL + WH WL – WH
1
2
3
4
5
dan seterusnya
Contoh:
Nilai 36 orang peserta didik SMK Negeri 6 Kupang pada ujian ak-hir semester dalam mata
pelajaran Fisika. Berdasarkan hasil ujian tersebut, kemudian disusun lembar jawaban peserta
didik dari yang mendapat skor tertinggi sampai dengan skor terendah. Selanjutnya, diambil
27% dari skor tertinggi, yaitu 27% x 36 orang = 9,72 = 10 orang (dibulatkan) dan 27% dari
skor terendah, yaitu 27% x 36 orang = 9,72 = 10 orang (dibulatkan).
Setelah diketahui jumlah sampel kelompok atas dan kelompok ba-wah, kemudian membuat
tabel untuk mengetahui jawaban (benar atau salah) dari setiap peserta didik dalam kelompok
tersebut.
Untuk soal nomor 1 pada kelompok bawah yang salah 6 orang, dan pada kelompok atas yang
salah 4 orang.
Untuk soal nomor 2 pada kelompok bawah yang salah 6 orang, dan pada kelompok atas yang
salah 2 orang.
Untuk soal nomor 3 pada kelompok bawah yang salah 6 orang, dan pada kelompok atas yang
salah 3 orang.
Untuk soal nomor 4 pada kelompok bawah yang salah 6 orang, dan pada kelompok atas yang
salah 1 orang.
Untuk soal nomor 5 pada kelompok bawah yang salah 6 orang dan pada kelompok atas yang
salah 3 orang.
Untuk soal nomor 6 pada kelompok bawah yang salah 3 orang, dan pada kelompok atas yang
salah 2 orang.
Untuk soal nomor 7 pada kelompok bawah yang salah 5 orang, dan pada kelompok atas yang
salah 3 orang.
Untuk soal nomor 8 pada kelompok bawah yang salah 4 orang, dan pada kelompok atas yang
salah 4 orang.
Untuk soal nomor 9 pada kelompok bawah yang salah 5 orang, dan pada kelompok atas yang
salah 4 orang.
Untuk soal nomor 10 pada kelompok bawah yang salah 5 orang, dan pada kelompok atas
yang salah 3 orang.
Berdasarkan data di atas dapat dibuat seperti dalam Tabel 15. Tabel 15. Perhitungan WL +
WH dan WL – WH
Nomor soal WL WH WL + WH WL - WH
1 6 4 10 2
2 6 2 8 4
3 6 3 9 3
4 6 1 7 5
5 6 3 9 3
6 3 2 5 1
7 5 3 8 2
8 4 4 8 0
9 5 4 9 1
10 5 3 8 2
Jika jumlah persentase 73% ke atas termasuk sukar. Berdasarkan kriteria di atas, maka hasil
perhitungan tingkat kesu-karan soal dapat ditafsirkan seperti dalam Tabel 15 dan 17.
10
(100%)
Untuk memperoleh prestasi belajar yang baik, sebaiknya proporsi antara tingkat kesukaran
soal tersebar secara normal. Perhitungan proporsi tersebut dapat diatur, sebagai berikut:
soal sukar 25%, soal sedang 50%, soal mudah 25%; atau
soal sukar 20%, soal sedang 60%, soal mudah 20%; atau
soal sukar 15%, soal sedang 70%, soal mudah 15%. Seharusnya, penyusunan suatu soal
dilakukan dengan mempertim-
bangkan tingkat kesukaran soal, sehingga hasil yang dicapai peserta di-dik dapat
menggambarkan prestasi yang sesungguhnya.
Cara kedua, menggunakan tabel batas tingkat kesukaran seperti da-lam Tabel 18.
Tabel 18. Rumus untuk menemukan (WL + WH) nilai pada tiga ting-kat kesulitan
0,256 n = 0,256 x 11 = 2,816 = mudah. 0,800 n = 0,800 x 11 = 8,8 = sedang. 1,344 n = 1,344
x 11 = 14,784 = sukar.
WH = 15 ada di atas batas indeks tingkat kesukaran “sukar” (1,344 n). Dengan demikian,
soal tersebut mempunyai tingkat kesukaran “sukar.”
Jika tingkat kesukaran ini dipadukan dengan daya pembeda, maka da-pat disimpulkan bahwa
soal tersebut sukar dan signifikan.
Sebenarnya, dalam analisis butir soal secara klasikal, tingkat ke-sukaran dapat diperoleh
dengan beberapa cara, antara lain: skala kesu-karan linier, skala bivariat, indeks Davis, dan
proporsi menjawab be-nar. Cara yang terakhir, yaitu proporsi menjawab benar (proportion
correct) sangat banyak digunakan karena dianggap lebih mudah. Cara-nya adalah jumlah
peserta didik yang menjawab benar pada soal yang dianalisis dibagi dengan jumlah peserta
didik.
p = NB
di mana:
p = tingkat kesukaran;
S B = jumlah peserta didik yang menjawab benar; dan N = jumlah peserta didik.
Contoh:
Sebanyak 40 orang peserta didik SMK Negeri 6 Kupang dites dalam mata pelajaran Fisika.
Dari seluruh peserta didik tersebut, ada 25 orang yang dapat menjawab dengan benar pada
soal nomor 1. Dengan demi-kian, tingkat kesukaran soal nomor 1 itu adalah: p = 25/40=
0,625.
Untuk menafsirkan tingkat kesukaran tersebut, dapat digunakan kriteria sebagai berikut:
Tingkat kesukaran model ini banyak mengandung kelemahan, ka-rena tingkat kesukaran ini
sebenarnya merupakan “ukuran kemudahan” soal. Semakin tinggi indeks tingkat kesukaran
(p), maka semakin mu-dah soalnya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kesukaran, maka se-
makin sulit soalnya. Artinya, model tingkat kesukaran seperti ini lebih tepat disebut tingkat
kemudahan (easiness). Dalam prakteknya, ada soal yang dikategorikan ekstrem sukar (jika p
mendekati nol) dan ada soal yang termasuk ekstrem mudah (jika p mendekati satu).
Sehubungan dengan tingkat kesukaran ini, ada empat hal yang ha-rus diperhatikan dalam
menyusun soal di bank soal, yaitu:
soal yang termasuk ekstrem sukar atau ekstrem mudah tidak mem-berikan informasi yang
berguna bagi sebagian besar peserta didik.
Oleh sebab itu, soal seperti ini kemungkinan distribusi jawaban pada alternatif jawaban ada
yang tidak memenuhi syarat;
jika ada soal ekstrem sukar atau ekstrem mudah, tetapi setiap pe-ngecoh (distribusi jawaban)
pada soal tersebut menunjukkan ja-waban yang merata, logis, dan daya bedanya negatif
(kecuali kun-ci), maka soal tersebut masih memenuhi syarat untuk diterima;
jika ada soal ekstrem sukar dan ekstrem mudah, tetapi memiliki daya pembeda dan statistik
pengecoh memenuhi kriteria, maka so-al tersebut dapat dipilih dan diterima sebagai salah
satu alternatif untuk disimpan dalam bank soal; dan
jika ada soal ekstrem sukar dan ekstrem mudah, daya pembeda dan statistik pengecohnya
belum memenuhi kriteria, maka soal terse-but perlu direvisi dan diuji coba lagi.
Cara menghitung tingkat kesukaran untuk soal bentuk uraian ada-lah menghitung berapa
persen peserta didik yang gagal menjawab be-nar atau ada di bawah batas lulus (passing
grade) untuk tiap-tiap soal.
Untuk menafsirkan tingkat kesukaran soalnya dapat digunakan kri-teria seperti berikut.
Jika jumlah peserta didik yang gagal mencapai 27%, termasuk mu-dah.
Jika jumlah peserta didik yang gagal antara 28–72%, termasuk se-dang.
Jika jumlah peserta didik yang gagal 72% ke atas, termasuk sukar.
Contoh:
Sebanyak 33 orang peserta didik dites dengan 5 soal bentuk uraian. Skor maksimum
ditentukan 10 dan skor minimum 0. Jumlah peserta didik yang memperoleh nilai 0–5 = 10
orang (berarti gagal), nilai 6 = 12 orang, dan nilai 7–10 = 11 orang.
Jadi, tingkat kesukaran = 10/33 x 100% = 30,3%. Tingkat kesukar-an 30,3 berada di antara
28 dan 72, berarti soal tersebut termasuk sedang.
WL = jumlah peserta didik yang gagal dari kelompok bawah; WH = jumlah peserta yang
gagal dari kelompok atas; dan
n = 27% x N.
Contoh:
Jumlah peserta didik (N) = 40;
Jumlah sampel (n) = 27% x 40 = 10,8 = 11 (dibulatkan);
WL = 10; dan
WH = 2.
Jadi, daya pembedanya (DP) = 10 – 2/11 = 0,73.
Untuk menginterpretasikan koefisien daya pembeda tersebut dapat digunakan kriteria yang
dikembangkan oleh Ebel sebagai berikut.
Berdasarkan kriteria di atas, nilai DP = 0,73 termasuk soal yang sangat baik. Ini berarti
bahwa soal tersebut dapat membedakan antara peserta didik yang sudah menguasai
kompetensi dengan peserta didik yang belum/kurang menguasai kompetensi.
Untuk menghitung signifikansi daya pembeda dari setiap soal da-pat menggunakan langkah-
langkah seperti berikut.
Menghitung signifikansi daya pembeda soal bentuk objektif a. Membuat tabel persiapan.
Nomor item WL WH WL - WH WL + WH
01
02
03
dan seterusnya
Menghitung jumlah peserta didik yang gagal pada kelompok ba-wah (WL) dan menghitung
jumlah peserta didik yang gagal pa-da kelompok atas (WH).
Mengurangkan hasil WL dengan hasil WH.
Menambahkan hasil WL dengan hasil WH.
Membandingkan nilai WL–WH dengan nilai tabel signifikansi
DP.
Jika WL–WH lebih besar dari harga tabel signifikansi daya pem-beda, maka soal tersebut
signifikan. Artinya, soal tersebut mampu membedakan antara peserta didik yang sudah
menguasai kompetensi dengan peserta didik yang kurang/belum menguasai kompetensi.
Contoh:
Jumlah peserta didik (N) = 40.
Jumlah sampel (n) = 27% x 40 = 11 (dapat juga dilihat pada ta-
bel).
WL = 12.
WH = 3.
WL–WH = 9.
Jika soal nomor 11 (misalnya) bentuknya pilihan-ganda, dan jum-lah alternatif jawaban lima,
maka akan diperoleh harga daya pembeda = 5. Ini berarti bahwa soal nomor 11 itu signifikan.
Kesimpulan: soal
nomor 11 dapat membedakan peserta didik yang pandai dengan peser-ta didik yang kurang
pandai, dan soal nomor 11 itu bagus.
Teknik yang digunakan untuk menghitung daya pembeda soal ben-tuk uraian adalah
menghitung perbedaan dua rata-rata (mean), yaitu an-tara rata-rata dari kelompok atas dengan
rata-rata dari kelompok bawah untuk tiap-tiap soal.
1− 2
Rumus: t =
12 + 22
−1
di mana:
= rata-rata dari kelompok
Χ1 atas;
Χ2 = rata-rata dari kelompok bawah;
Σx12 = jumlah kuadrat deviasi individual dari kelompok atas;
= jumlah kuadrat deviasi individual dari kelompok bawah;
Σ x22dan
N = 27% x N (baik untuk kelompok atas maupun bawah).
Contoh:
Jumlah peserta didik (N) = 36 orang. Jumlah sampel (n) = 27% x 36 = 10 orang.
Skor soal nomor 1 dari kelompok atas: 8, 6, 8, 7, 7, 6, 9, 7, 8, 6. Skor soal nomor 1 dari
kelompok bawah: 4, 3, 3, 3, 4, 4, 5, 2, 4, 3. Tabel 19. Perhitungan perbedaan dua rata-rata
7,2 −
1 −2 3,5 3,7 3,7 3,7
= 8,747
bel menunjukkan 2,88. Ternyata nilai thitung > nilai ttabel, yaitu 8,747 > 2,88. Hal ini berarti
daya pembeda soal nomor 1 (satu) bentuk uraian
itu signifikan.
P = jumlah peserta didik yang memilih pengecoh; N = jumlah peserta didik yang ikut tes;
B = jumlah peserta didik yang menjawab benar pada setiap soal; n = jumlah alternatif
jawaban (opsi); dan
1 = bilangan tetap.
Catatan:
Jika semua peserta didik menjawab benar pada butir soal tertentu (sesuai kunci jawaban),
maka IP = 0 yang berarti soal tersebut jelek. Dengan demikian, pengecoh tidak berfungsi.
Contoh:
Sebanyak 50 orang peserta didik dites dengan 10 soal bentuk pi-lihan-ganda. Tiap soal
memiliki 5 alternatif jawaban (a, b, c, d, dan e). Kunci jawaban (jawaban yang benar) soal
nomor 8 adalah c. Setelah soal nomor 8 diperiksa untuk semua peserta didik, ternyata dari 50
orang peserta didik, 20 peserta didik menjawab benar dan 30 peserta didik menjawab salah.
Idealnya, pengecoh dipilih secara merata, arti-nya semua pengecoh secara merata ikut
menyesatkan peserta didik.
di mana:
= baik;
= kurang baik;
_ = jelek; dan
_ _ = sangat jelek.
Pada contoh di atas, IP butir a, b, d, dan e adalah 93, 107, 93, dan 107%. Semuanya dekat
dengan angka 100%, sehingga digolongkan sa-ngat baik, sebab semua pengecoh itu
berfungsi. Jika pilihan jawaban peserta didik menumpuk pada satu alternatif jawaban,
misalnya seperti berikut.
Alternatif jawaban a b c d e
Kualitas pengecoh _ - ** ++
Dengan demikian, dapat ditafsirkan pengecoh (d) yang terbaik, pe-ngecoh (e) dan (b) tidak
berfungsi, pengecoh (a) menyesatkan, maka pengecoh (a) dan (e) perlu diganti karena
termasuk jelek, dan penge-coh (b) perlu direvisi karena kurang baik.
Adapun kualitas pengecoh berdasar indeks pengecoh adalah: Sangat baik IP = 76–125%
Baik IP = 51–75% atau 126–150% Kurang baik IP = 26–50% atau 151–175% Jelek IP = 0–
25% atau 176–200% Sangat jelek IP = lebih dari 200%.
Untuk analisis pengecoh perlu dibuat tabel khusus agar setiap butir soal diketahui berapa
banyak peserta didik yang menjawab a, b, c, dan seterusnya. Hal ini tentu saja sangat
memakan waktu dan tenaga. Jika diolah dengan komputer dan data sudah dimasukkan dalam
disket, pengolahan ini hanya memerlukan waktu beberapa detik saja.
Butir soal yang tidak homogen ke-mungkinan besar mengukur aspek lain di luar materi/bahan
yang diajarkan, karena tidak sesuai dengan kompetensi yang telah ditetapkan. Butir soal
yang demikian sebaiknya direvisi atau di-buang.
Menentukan jumlah sampel (n), baik untuk kelompok atas maupun kelompok bawah, yaitu
27% x N.
Menghitung jumlah alternatif jawaban yang dipilih peserta didik, baik untuk kelompok atas
maupun kelompok bawah.
Jumlah pemilih kelompok atas dan kelompok bawah ber-ada di antara 25–75%.
Rumusnya adalah:
PKA + PKB X 100% n1 + n2
di mana:
ΣPKA = jumlah pemilih kelompok atas; ΣPKB = jumlah pemilih kelompok bawah;
= jumlah sampel kelompok atas (27%);
n1 dan
n2 = jumlah sampel kelompok bawah (27%).
Jumlah pemilih kelompok atas harus lebih besar daripada jumlah pemilih kelompok bawah.
Jumlah pemilih kelompok atas dan kelompok bawah tidak kurang dari:
25% x ½(𝜀𝑑) x (Ka + Kb)
Di mana :
d = jumlah opsi pengecoh
Ka = kelompok atas
Kb = kelompok bawah
Jumlah pemilih kelompok bawah harus lebih besar dari kelompok atas
Contoh
Diketahui :
Jumlah peserta didik (N) = 40 orang
n ( 27% x 40) = 10,80 =11( dibulatkan ).
Jumlah soal =10
Bentuk soal = pilihan ganda
Jumlah opsi = 5 (a b c d e )
Kunci jawaban ( opsi kunci ) soal nomor satu (misalnya) adalah (c) dan opsi penecohnya
adalah (a),(b),(d),dan (e)
Distribusi pilihan pesera didik terhadap opsi untuk kelompok atas adalah :
Opsi (a)= 0 ; opsi (b) = 6 ;opsi (c) = 2 ; opsi (d) = 1 ; opsi (e) = o
Denan demikian, guru dapat membuat tabel distribusi seperti dalam tabei 20.
Tabel 20. Distribusi pilihan peserta didik terhadap opsi soal
Opsi kelompok a b c d e
Atas 0 1 7 3 0
Bawah 2 6 2 1 0
Berdasarkan tabel 20, dapat ditentukan efektif tidaknya fungsi opsional,seperti
berikut.
Untuk opsi (c) sebagai opsi kunci berfungsi efektif, karena jumlah pemilih kelompok atas dan
7+2
kelompok bawah adalah 2 𝑥100% = 40,91%. Angka ini berada diantara 25-75%.
Disamping itu, jumlah pemilik kelompok atas (7 orang ) lebih besar daripada jumlah pemilih
kelompok bawah (2 orang).
Untuk opsi (a) sebagai opsi pengecoh berfungsi efektif, karena jum-lah pemilih kelompok
atas dan kelompok bawah 2 orang. Jumlah
ini di atas minimal dari:
1
25% x 2 4 (11 + 11) = 25% x 2,75 = 0,69.
Di samping itu, jumlah pemilih kelompok bawah (2 orang) lebih besar daripada jumlah
pemilih kelompok atas (tidak ada pemilih).
Untuk opsi (b) sebagai opsi pengecoh berfungsi efektif, karena jum-lah pemilih kelompok
atas dan kelompok bawah 7 orang. Jumlah
ini di atas minimal dari:
1
25% x 2 4 x 22 = 0,69.
Di samping itu, jumlah pemilih kelompok bawah (6 orang) lebih besar daripada
jumlah pemilih kelompok atas (1 orang).
Untuk opsi (d) sebagai opsi pengecoh tidak berfungsi secara efektif, karena jumlah pemilih
kelompok atas (3 orang) lebih besar daripa-da jumlah pemilih kelompok bawah (1 orang).
Untuk opsi (e) sebagai opsi pengecoh tidak berfungsi secara efektif, karena jumlah pemilih
kelompok atas dan kelompok bawah kurang dari 0,69.
Bab ini akan dibahas secara rinci hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil evaluasi
dan refleksi pelaksanaan evaluasi yang me-liputi manfaat evaluasi, pentingnya memanfaatkan
hasil evaluasi pem-belajaran, evaluasi diri terhadap proses pembelajaran, faktor-faktor pe-
nyebab keberhasilan dan kegagalan dalam kegiatan pembelajaran, dan mengoptimalkan
proses dan hasil belajar.
membantu peserta didik dalam memilih metode belajar yang baik dan benar; dan
mengetahui kedudukan peserta didik dalam kelas.
Bagi guru, hasil evaluasi dapat dimanfaatkan untuk:
mendiagnosis peserta didik yang memiliki kelemahan atau ke-kurangan, baik secara per
orangan maupun kelompok;
menyusun laporan kepada orang tua guna menjelaskan pertum-buhan dan perkembangan
anaknya (peserta didik); dan
menentukan tindak lanjut pendidikan yang sesuai dengan ke-mampuan anaknya; dan
Apa yang dikemukakan tentang pemanfaatan hasil evaluasi di atas, mencerminkan tindak
lanjut (follow-up) dari kegiatan evaluasi itu sen-diri dan juga menunjukkan betapa besar
fungsi dan peran evaluasi da-lam kegiatan pembelajaran. Hasil evaluasi dapat dimanfaatkan
oleh pe-serta didik untuk membangkitkan minat dan motivasi belajarnya. Hal ini dapat
dilakukan jika peserta didik me-ngetahui hasil evaluasi yang dicapainya, mengetahui
kesalahan-kesalahannya, dan bagaimana solusinya. Di samping itu, hasil evaluasi dapat
membentuk sikap positif pe-serta didik terhadap mata pelajaran, termasuk juga terhadap guru,
proses pembelajaran, ling-kungan, dan evaluasi pembelajaran, bahkan dapat membantu
pema-haman peserta didik menjadi lebih baik. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan
adanya hubungan yang positif dan signifikan antara mi-nat, motivasi, dan sikap peserta didik
terhadap hasil belajarnya. Oleh sebab itu, hasil evaluasi perlu dimanfaatkan oleh peserta didik
untuk mengembangkan sikap, minat, dan motivasi belajarnya.
Hasil evaluasi bisa juga dimanfaatkan peserta didik untuk memilih teknik belajar yang tepat
dan benar. Seperti diketahui, banyak sekali teknik atau cara belajar peserta didik yang
digunakan selama ini ku-rang baik. Misalnya, melakukan kegiatan belajar jika besok mau
ujian, mengerjakan tugas atau latihan dengan “copy-paste,” dan sebagainya.
Teknik belajar yang salah ini dapat merugikan peserta didik, baik fisik maupun mental yang
pada gilirannya dapat mempengaruhi prestasi belajar. Teknik belajar ini tentu tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Guru dan orang tua harus ikut bertanggung jawab setiap tindakan
belajar pe-serta didik, karena itu harus cepat mengambil tindakan pencegahan, se-perti
memberitahukan hasil evaluasi kepada peserta didik dan orang tua membimbing teknik
belajar di rumah. Dengan kata lain, jika hasil evaluasi peserta didik kurang baik dan mereka
mengetahuinya, tentu diharapkan mereka dapat memperbaiki teknik belajarnya.
Manfaat hasil evaluasi yang lain adalah untuk menentukan kedu-dukan belajar dalam kelas.
Kedudukan belajar ini dapat dilihat secara kelompok maupun per orangan. Secara kelompok,
maksudnya guru
melihat kedudukan peserta didik secara kelompok melalui perhitungan rata-rata kelompok
dan membandingkan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. Secara per orangan,
maksudnya guru melihat ke-dudukan belajar melalui perhitungan prestasi belajar peserta
didik se-cara per orangan. Guru juga dapat membandingkan antara prestasi bel-ajar seorang
peserta didik dengan peserta didik lainnya dalam satu ke-lompok.
Dalam rangka promosi peserta didik, baik untuk menentukan ke-naikan kelas atau kelulusan,
guru dapat memanfaatkan hasil evaluasi, terutama hasil evaluasi sumatif. Guru dapat
menafsirkan dan memutus-kan sejauhmana taraf kesiapan peserta didik dapat melanjutkan ke
ke-las atau ke jenjang pendidikan berikutnya sesuai dengan kemampuan peserta didik
masing-masing. Artinya, jika penafsiran guru, bahwa pe-serta didik dianggap sudah siap,
maka peserta didik dapat melanjutkan ke kelas atau jenjang pendidikan berikutnya.
Sebaliknya, jika penafsir-an guru ternyata peserta didik belum siap, maka peserta didik harus
mengulang lagi di kelas semula.
Hasil evaluasi dapat juga digunakan guru untuk mendiagnosis pe-serta didik yang memiliki
kelemahan atau kekurangan, baik secara per orangan maupun kelompok. Berdasarkan
kelemahan-kelemahan ini, maka guru harus mencari faktor-faktor penyebabnya, antara lain:
dari sistem evaluasi itu sendiri, materi pelajaran, kemampuan guru, ke-mampuan peserta
didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, serta lingkungan sekolah. Hasil evaluasi
dapat juga dimanfaatkan guru untuk menentukan pengelompokan dan penempatan peserta
didik ber-dasarkan prestasi masing-masing. Pengelompokan tersebut didasarkan atas
penafsiran guru terhadap susunan kelompok. Jika kelompok atau kelas yang dihadapi
mempunyai susunan yang normal dan homogen, maka kelas tersebut tidak perlu dibagi-bagi
dalam kelompok. Sebalik-nya, jika kelas tersebut heterogen, maka kelas itu perlu dibagi
dalam beberapa kelompok berdasarkan prestasi masing-masing.
Selanjutnya, hasil evaluasi dapat dijadikan feedback bagi guru da-lam melakukan perbaikan
terhadap sistem pembelajaran. Jika prestasi belajar peserta didik kurang baik, pada umumnya
guru “menyalahkan” peserta didiknya, tetapi jika prestasi belajar peserta didik baik atau
memuaskan, maka guru akan mengatakan itu merupakan hasil dari per-buatan mengajarnya.
Pernyataan ini tentu tidak dapat disalahkan atau dibenarkan, karena banyak faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. Faktor tersebut dapat timbul dari guru atau
peserta didik itu sendiri.
Hasil evaluasi dapat dimanfaatkan guru untuk menyusun laporan kepada orang tua guna
menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan anaknya (peserta didik). Hal ini dimaksudkan
agar orang tua mengeta-hui kemajuan dan prestasi yang dicapai oleh anaknya. Secara tegas,
Hamalik (1989: 179) menjelaskan “tujuan dari pelaporan adalah untuk mengikhtisarkan,
mengorganisasi, dan menafsirkan hasil tes, sehingga dapat memberikan gambaran tentang
status dan kemajuan per orangan peserta didik, kelas, dan sekolah.” Bentuk laporan dapat
dilakukan se-cara tertulis maupun lisan. Laporan lisan dimaksudkan agar terjadi ko-munikasi
secara efektif antara sekolah dengan pihak yang menerima laporan, dan juga membentuk
hubungan emosional yang lebih kental antara kedua belah pihak. Sedangkan laporan tertulis
dimaksudkan agar dapat memberikan petunjuk yang permanen. Laporan tertulis da-pat
didokumentasikan dan pada waktunya dapat dijadikan data untuk dianalisis lebih lanjut.
Manfaat hasil evaluasi berikutnya adalah menentukan perlu tidak-nya pembelajaran remedial.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka gu-ru harus melakukan penafsiran terhadap prestasi
kelompok. Misalnya,
materi pelajaran dapat dilanjutkan jika seluruh peserta didik menguasai minimal 80% materi
yang telah disampaikan. Sebaliknya, jika kurang dari standar minimal tersebut, maka materi
pelajaran harus diulang. Pengulangan suatu pelajaran dapat juga dilihat dari hasil penafsiran
prestasi kelompok. Jika prestasi kelompok dianggap sudah mencapai prestasi yang baik,
maka materi pelajaran tidak perlu diulang, melain-kan bila prestasi kelompok dianggap masih
kurang, maka materi pel-ajaran perlu diulang.
Bagi orang tua, hasil evaluasi dapat dimanfaatkan untuk mengeta-hui kemajuan belajar anak-
anaknya. Sebagai orang tua tentu berharap agar mereka berhasil. Untuk itu, orang tua harus
mengetahui perkem-bangan kemajuan belajar anaknya, baik fisik maupun mental terutama
berkaitan dengan prestasi belajar. Hal ini penting terutama apabila ada di antara peserta didik
yang memperoleh prestasi belajar kurang me-muaskan. Orang tua dapat menentukan
langkah-langkah apa yang ha-rus ditempuh untuk memajukan prestasi belajar anaknya. Orang
tua ju-ga dapat membimbing kegiatan belajar anaknya di rumah. Jika tidak mampu, orang tua
dapat menyuruh anaknya mengikuti bimbingan di luar atau juga mendatangkan guru ahli ke
rumah. Berdasarkan hasil evaluasi, orang tua dapat menentukan tindak lanjut pendidikan
yang sesuai dengan kemampuan anaknya. Jangan sampai orang tua memak-sakan anaknya
masuk ke sekolah favorit, sedangkan kemampuan anak-nya tidak mendukung. Akibatnya,
anak akan menjadi malas, minder, dan acuh terhadap pelajaran. Orang tua juga dapat
memprakirakan ke-mungkinan berhasil tidaknya anak dalam bidang pekerjaannya.
Bagi administrator sekolah, hasil evaluasi dapat dimanfaatkan un-tuk menentukan
penempatan peserta didik sesuai dengan kemampuan-nya, untuk menentukan kenaikan kelas,
dan pengelompokan peserta di-dik di sekolah mengingat terbatasnya fasilitas pendidikan
yang tersedia serta indikasi kemajuan peserta didik pada waktu mendatang. Hasil evaluasi
tidak hanya dimanfaatkan untuk laporan ke berbagai pihak, te-tapi juga untuk memotivasi
dan menghargai peserta didik itu sendiri, baik dalam rangka promosi maupun melihat
kelebihan dan kekurang-annya, bukan sebaliknya untuk menakut-nakuti peserta didik atau
un-tuk menjatuhkan mentalnya. Diadakannya evaluasi dalam proses pe-
Hasil evaluasi dapat dimanfaatkan guru untuk membuat kelompok sesuai dengan prestasi
yang diperoleh peserta didik. Bahkan sekarang ini sudah banyak sekolah/madrasah yang
membentuk “kelas unggul-an,” yaitu kelompok peserta didik yang mempunyai prestasi
belajar di atas rata-rata. Biasanya diambil dari peserta didik yang memperoleh peringkat 10
terbesar. Padahal dalam kenyataannya, kelompok ini mendapat perlakuan biasa saja, bahkan
cenderung sama dengan kelas lainnya, baik yang menyangkut materi pelajaran, pemberian
tugas, la-tihan, pengembangan kreativitas, maupun diskusi kelompok. Sebalik-nya, peserta
didik yang memperoleh prestasi di bawah rata-rata kelom-pok justru kurang mendapat
perhatian lebih. Seharusnya, peserta didik kelompok ini yang mendapat perhatian serius,
seperti memberi bim-bingan belajar, latihan, atau tugas-tugas khusus, bahkan bagi peserta
didik yang tergolong “sangat kurang” harus dilakukan diagnosis atau identifikasi tentang
faktor-faktor penyebabnya. Hasil diagnosis atau identifikasi tersebut dapat dijadikan bahan
pertimbangan bagi guru un-tuk memperbaiki kegiatan pembelajaran berikutnya.
Di lain pihak, memang guru-guru tidak dapat disalahkan sepenuh-nya, karena mungkin saja
ada guru yang mau bahkan sudah menawar-kan bimbingan belajar kepada peserta didik
tersebut, tetapi kurang mendapat respons yang baik dari orang tua, mengingat ekonomi orang
tua peserta didik termasuk “pas-pasan,” sehingga permasalahan terse-but tidak pernah
memperoleh solusi yang terbaik. Padahal, untuk memberikan bimbingan belajar secara
khusus, waktu bagi guru sangat sulit, karena begitu padatnya materi yang harus disampaikan
sesuai de-ngan target dan tugas-tugas rutin yang harus juga diselesaikan. Jika gu-ru ingin
memberikan bimbingan, maka ia harus mencari waktu di luar jam pelajaran, baik sebelum
atau sesudah jam pelajaran.
Bagi guru, faktor waktu sangat penting. Artinya, apakah waktu yang tersedia masih
memungkinkan guru untuk memberikan bimbing-an atau tidak. Jika hanya mengandalkan
jam dinas, maka guru sulit mencari waktu untuk memberikan bimbingan apalagi melakukan
diag- nosis. Hasil evaluasi dapat juga digunakan untuk kepentingan yang la-in. Maksudnya,
andaikan diagnosis dan bimbingan ini memang sulit dilaksanakan, maka tentu guru harus
mencari alternatif penggunaan ha-sil evaluasi yang lain, seperti: perlu tidaknya materi
pelajaran diulang, perbaikan proses pembelajaran, dan sebagainya.
B. Pentingnya Memanfaatkan Hasil Evaluasi Pembelajaran
Salah satu manfaat hasil evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik (feed-back) kepada
semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut QCA (2003), “umpan balik dapat dijadikan sebagai alat bagi guru untuk membantu
peserta didik agar kegiatan belajarnya men-jadi lebih baik dan meningkatkan kinerjanya.”
Peserta didik akan dapat mengukur sejauhmana tingkat penguasaannya terhadap materi, jika
ha-sil pekerjaan mereka mendapat umpan balik dari gurunya. Umpan ba-lik tersebut dapat
dilakukan secara langsung, tertulis, atau demonstrasi.
Dalam memberikan umpan balik, guru hendaknya memperhatikan kualitas pekerjaan peserta
didik dan tidak membandingkannya dengan hasil pekerjaan peserta didik yang lain. Hal ini
dapat membuat perasa-an minder bagi peserta didik yang memiliki kemampuan kurang. Um-
pan balik sifatnya memberikan saran dan perbaikan, sehingga peserta didik termotivasi untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pro-ses belajar serta hasil pekerjaannya.
Crooks (2001) menyimpulkan agar umpan balik dapat bermanfaat untuk memotivasi peserta
didik, maka harus difokuskan pada:
kualitas pekerjaan peserta didik dan bukan membandingkannya de-ngan hasil pekerjaan
peserta didik yang lain;
cara-cara yang spesifik di mana pekerjaan peserta didik dapat di-tingkatkan; dan
peningkatan pekerjaan peserta didik yang harus dibandingkan de-ngan pekerjaan sebelumnya.
Apa yang dikemukakan Crooks lebih menekankan pada kualitas pekerjaan peserta didik
sebagai faktor utama dalam menentukan jenis umpan balik yang diberikan, bukan
membandingkan hasil pekerjaan peserta didik yang satu dengan lainnya, apalagi
membandingkan de-ngan pekerjaan peserta didik yang mayoritas jawabannya benar atau
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Clarke (2003) kemudian menya-rankan enam prinsip yang
harus diperhatikan berkaitan dengan umpan balik, yaitu:
umpan balik harus fokus pada tugas-tugas yang sesuai dengan tu-juan pembelajaran, dan
bukan membandingkan dengan peserta di-dik yang lain;
guru menggunakan bahasa verbal dan non-verbal serta memberi-kan pesan yang baik kepada
peserta didik tentang kemampuan yang mereka peroleh;
penilaian setiap bagian pekerjaan dapat mengarah pada penurunan moril bagi peserta didik
yang mencapai prestasi rendah dan ke-puasan bagi peserta didik yang mencapai prestasi
tinggi;
perlu memberikan umpan balik spesifik yang terfokus pada kesuk-sesan dan peningkatan
daripada mengoreksi; dan
peserta didik perlu diberi kesempatan untuk meningkatkan kualitas pekerjaan mereka.
Berikut akan dijelaskan dua manfaat hasil evaluasi dalam hubung-
dasar, ketepatan dalam memilih metode media dan sumber bel-ajar, serta ketepatan teknik
penilaian yang digunakan. Merancang per-baikan RPP berarti melakukan perbaikan dari
rencana sebelumnya.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pemanfaatan hasil evaluasi berkaitan erat dengan
tujuan menyelenggarakan evaluasi itu sendiri. Sebagaimana ditegaskan Stanley (1964: 321)
“pemanfaatan hasil eva-
luasi sangat bergantung pada tujuan evaluasi.” Misalnya, tujuan evalu-asi formatif adalah
untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran. Perba-ikan tersebut dilakukan atas dasar hasil
monitoring kemajuan belajar peserta didik. Hasil monitoring ini seharusnya dapat
dimanfaatkan se-bagai feedback, baik bagi guru maupun bagi peserta didik untuk menge-
tahui materi mana yang belum dikuasai. Hasil evaluasi formatif dapat dimanfaatkan untuk
mengulangi pelajaran, memperbaiki strategi pem-belajaran, atau melanjutkan pelajaran.
Begitu juga dengan evaluasi sumatif yang bertujuan untuk membe-rikan nilai sebagai dasar
menentukan kenaikan kelas atau kelulusan pe-serta didik dan pemberian sertifikat bagi
peserta didik yang telah me-nyelesaikan pelajaran dengan baik. Hasil evaluasi sumatif dapat
di-manfaatkan untuk kenaikan kelas atau kelulusan peserta didik. Menu-rut Hamalik (1989:
177), “penggunaan hasil evaluasi dapat mengacu ke fungsi evaluasi itu sendiri, yaitu fungsi
instruksional, fungsi admi-nistratif, dan fungsi bimbingan.” Dalam konteks fungsi
instruksional, guru dapat menggunakan hasil evaluasi untuk memperbaiki sistem
pembelajaran. Begitu juga dalam fungsi administratif, guru dapat membuat laporan dan
menetapkan kedudukan peserta didik dalam ke-las. Sedangkan dalam fungsi bimbingan, guru
dapat memberikan bim-bingan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan belajar.
Evaluasi diri adalah evaluasi yang dilakukan oleh dan terhadap diri sendiri. Sebagai guru,
harus membiasakan melakukan evaluasi diri. Hal ini penting untuk memperbaiki kualitas
pembelajaran yang telah dilakukan. Jangan sampai orang lain yang mengevaluasi kinerja
guru dalam proses pembelajaran. Melalui evaluasi diri, guru dapat mengeta-hui, memahami,
dan memberikan makna terhadap proses dan hasil pembelajaran yang pada gilirannya dapat
menentukan langkah selan-jutnya menjadi lebih baik. Untuk melakukan evaluasi diri, guru
harus berpegang pada prinsip-prinsip tertentu, se-perti kejujuran, kecermatan, dan kesung-
guhan. Jika mengharapkan orang lain ju-jur kepada kita, mengapa kita tidak bisa jujur
kepada diri sendiri? Guru tidak perlu takut berbuat jujur, karena setiap orang (guru) pasti
ada kesalahan dalam melaksanakan pembelajaran. Guru harus jujur mengakui bahwa dia
masih diliputi banyak kesalahan dalam membelajarkan
Evaluasi diri tidak hanya menuntut kejujuran, tetapi juga kecer-matan. Berdasarkan data dan
informasi yang diperoleh, guru perlu me-lakukan refleksi terhadap bagian demi bagian dari
kegiatan pembel-ajaran. Sekalipun guru sudah melakukan evaluasi diri secara cermat, tetapi
kadangkala masih ada yang keliru sehingga mengakibatkan hasil refleksinya juga keliru.
Evaluasi diri juga memerlukan kesungguhan, keseriusan, dan kesabaran. Mencermati suatu
proses pembelajaran bu-kanlah suatu hal mudah seperti ketika membalikkan telapak tangan,
membutuhkan latihan yang berulang. Begitu juga dengan refleksi. Untuk itu, diperlukan
kesungguhan, keseriusan, dan kesabaran. Jadikanlah evaluasi diri sebagai suatu tradisi yang
baik untuk memperbaiki kualitas pembelajaran.
Dalam melakukan evaluasi diri, guru tentunya memerlukan berba-gai informasi, seperti hasil
penilaian proses, hasil belajar peserta didik, hasil observasi dan wawancara, hasil angket, dan
sebagainya. Hasil-ha-sil ini kemudian dianalisis. Proses analisis dapat dimulai dari menilai
hasil-hasil pengukuran, menetapkan tingkat keberhasilan, menentukan kriteria keberhasilan,
sampai dengan menentukan berhasil tidaknya as-pek-aspek yang dinilai. Selanjutnya, guru
memberikan makna terhadap hasil analisis yang dilakukan, baik makna dari kegagalan proses
belajar maupun hasil belajar peserta didik. Guru juga perlu memberikan penje-lasan mengapa
kegagalan itu bisa terjadi, mengapa peserta didik mem-berikan respons yang negatif atas
pelaksanaan pembelajaran yang dila-kukan, mengapa proses belajar tidak sesuai dengan
harapan, mengapa hasil belajar peserta didik menurun dibandingkan dengan hasil belajar
sebelumnya, dan sebagainya.
Akhirnya, guru harus membuat kesimpulan secara umum berdasar-kan sistem pembelajaran,
sesuai dengan tahap-tahap pembelajaran, atau dalam bentuk faktor-faktor penyebab
kegagalan dan pendukung keberhasilan dalam pembelajaran.
Untuk melengkapi hasil evaluasi diri, guru bisa meminta bantuan peserta didik melakukan
pengamatan terhadap kegiatan pembelajaran yang diikuti. Misalnya, sulit tidaknya peserta
didik memahami materi pelajaran, sulit tidaknya memahami penjelasan guru, senang tidaknya
mengikuti pelajaran, motivasi mengikuti pembelajaran, dan sebagai-nya. Pengamatan
dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang su-dah disusun secara cermat dan hati-hati.
Hasil pengamatan mungkin saja bervariasi, ada aspek-aspek yang dinyatakan berhasil, cukup
ber-hasil, atau kurang berhasil. Untuk aspek yang berhasil perlu terus di-pertahankan dan
dimantapkan, sedangkan untuk aspek yang kurang atau belum berhasil harus dicari faktor-
faktor penyebabnya, kemudian diperbaiki sebagaimana mestinya. Di samping informasi dari
peserta didik, guru juga bisa meminta bantuan guru lain (teman sejawat) untuk melakukan
pengamatan, sehingga hasil evaluasi diri menjadi lebih ta-jam dan komprehensif.
Hasil evaluasi yang dilakukan sendiri memiliki beberapa kelemah-an, antara lain kurang
cermat dalam menganalisis hasil penilaian, ku-rang tepat memberikan makna atau penafsiran,
dan kurang tepat men-jelaskan hasil penilaian. Kelemahan ini dapat diatasi dengan cara mela-
kukan evaluasi secara kelompok atau meminta bantuan orang lain yang paham tentang
pembelajaran, sehingga proses identifikasi faktor-faktor penyebab kegagalan dan faktor-
faktor pendukung keberhasilan menja-di lebih tajam, akurat, dan komprehensif. Artinya, guru
bisa meminta bantuan guru lain untuk mencermati proses pembelajaran yang dila-kukan,
mendiskusikannya, memberikan makna dan menjelaskannya serta mengidentifikasi faktor-
faktor penyebab kegagalan dan pendu-kung keberhasilan.
E. Mengoptimalkan Proses dan Hasil Belajar
Untuk mengoptimalkan proses dan hasil belajar, hendaknya guru berpijak pada hasil
identifikasi faktor-faktor penyebab kegagalan dan faktor-faktor pendukung keberhasilan.
Berdasarkan hasil identifikasi ini kemudian guru mencari alternatif pemecahannya, kemudian
dari berbagai alternatif itu dipilih mana yang mungkin dilaksanakan dilihat dari berbagai
faktor, seperti kesiapan guru, kesiapan peserta didik, sarana dan prasarana, dan sebagainya.
Mengoptimalkan proses dan hasil belajar berarti melakukan ber-bagai upaya perbaikan agar
proses belajar dapat berjalan dengan efek-tif dan hasil belajar dapat diperoleh secara optimal.
Proses belajar da-pat dikatakan efektif apabila peserta didik aktif (secara itelektual ,
emosional, dan sosial ) mengikuti kegiatan belajar, berani mengemukakan pendapat,
bersemangat, kritis, dan ko-operatif. Begitu juga dengan hasil belajar yang optimal dapat
dilihat dari ketuntasan belajarnya, terampil dalam mengerjakan tugas, dan me-miliki apresiasi
yang baik terhadap pelajaran. Hasil belajar yang opti-mal merupakan perolehan dari proses
belajar yang optimal pula. Untuk memperoleh proses dan hasil belajar yang optimal, guru
hendaknya memperhatikan tahap-tahap pembelajaran.