Anda di halaman 1dari 16

PERTEMUAN 2

FILSAFAT SECARA UMUM

TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami Filsafat secara umum, mulai
dari pengertian, peran, ciri-ciri, objek, sistematika, cabang-
cabang, serta beberapa pendekatan filsafat seperti
pendekatan definisi, pendekatan sistematika, pendekatan
tokoh, dan pendekatan sejarah.

PENDAHULUAN
Kita semua pasti sering mendengar kata “filsafat.” Istilah
tersebut terdengar tidak asing di telinga, entah disebutkan
orang lain, membaca dalam buku, atau mungkin kita secara
tidak sadar juga pernah menggunakannya untuk memperkuat
argumen.
Nama-nama filsuf besar dengan berbagai “kata-kata
mutiara” yang terkadang sulit sekali untuk kita pahami
karena sudah menjadi anggapan umum bahwa hal pertama
yang tersirat ketika mendengar tentang Filsafat adalah suatu
hal yang abstrak, sulit, tinggi, serta tidak berkaitan dengan
masalah kehidupan sehari-hari. Semua anggapan itu kurang
tepat, karena sebetulnya masalah pokok dalam filsafat adalah
permasalahan yang pernah dipikirkan oleh kebanyakan
manusia. Sebagai contoh, kita pasti pernah memikirkan,
merenungkan, serta mempertanyaan kenapa kita harus
begitu, tidak boleh begini, atau pertanyaan konkret seperti
kenapa saya dilahirkan? Untuk apa saya sekolah? Kenapa
seseorang meninggal? Semua pertanyaan ini telah menjadi
objek dari pemikiran filosofis. Secara umum sebenarnya kita
sudah “berfilsafat” dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan filosofis tersebut, atau terkadang ikut terlibat
dalam perbincangan filosofis. Perbedaan kita dengan para
filsuf lebih ke kadar, intensitas, dan sistematika dalam
berfilsafat.

14  
 
2.1 PENGERTIAN FILSAFAT
Para ahli filsafat atau filsuf memberikan batasan yang
berbeda-beda mengenai definisi dari filsafat. Batasan
tersebut acap kali tidak mendasar. Pengertian atau definisi
filsafat berdasarkan batasan yang diberikan oleh para filsuf
dapat ditinjau dari dua segi, yaitu etimologi dan terminologi.
Secara etimologi, filsafat dalam bahasa Indonesia
merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu falsafah
(ٌ‫ﺴَﻔَﺔ‬
ْ‫ ) ﻓَ ﻠ‬yang berarti kebijaksanaan (Jones, 2008). Istilah
Filsafat juga berasal dari Bahasa Yunani “philosophia”
(Φιλοσοφία). Kata tersebut berbentuk majemuk dan berasal
dari pecahan kata “philia” yang artinya persahabatan/cinta.
Cinta di sini mengandung arti yang seluas-luasnya, yaitu
berdasarkan keinginan yang kuat, akan selalu berusaha untuk
mencapai sesuatu yang diinginkannya tersebut. Adapun
“shophia” yang berarti kearifan/kebijaksanaan, mengerti
secara mendalam, atau pandai (Pudjawijatna, 1963). Bentuk
lain dari filsafat yang dikenal di Indonesia yaitu Filosofi
diambil dari bahasa Belanda. Seperti yang telah disebutkan
di atas, seseorang yang mendalami bidang filsafat disebut
"filsuf.” Dengan demikian, filsafat berdasarkan etimologinya
dapat dimaknai sebagai cinta atau keinginan yang mendalam
untuk mengerti akan kebijaksanaan.
Kecintaan”pada kebijaksanaan haruslah dipandang
sebagai suatu bentuk proses, yaitu segala upaya pemikiran
untuk selalu mencari hal-hal yang bijaksana. Bijaksana
mengandung dua makna, yaitu baik dan benar. Baik adalah
sesuatu yang berdimensi etika, sedangkan benar adalah
sesuatu yang berdimensi rasional. Sesuatu yang bijaksana
adalah sesuatu yang etis dan logis. Dengan demikian,
berfilsafat berarti selalu berusaha untuk berpikir guna
mencapai kebaikan dan kebenaran.”
Berfilsafat memang erat kaitannya dengan berpikir,
tetapi berfilsafat bukan merupakan kegiatan berpikir yang
biasa. Dalam berfilsafat kita berpikir secara mendalam
sampai ke dalam inti permasalahan atau kenyataan. Untuk
itu, walaupun berfilsafat mengandung kegiatan berpikir,
namun tidak setiap kegiatan berpikir merupakan filsafat atau

15  
 
berfilsafat. Alisjahbana (1981) mengungkapkan bahwa
berfilsafat itu adalah berpikir, namun hanya manusia yang
sudah mencapai tingkat berpikir filosofis yang dapat
dikatakan berfilsafat.
Setelah kita membahas pengertian filsafat dari aspek
etimologi, sekarang mari kita lihat pengertian filsafat dari
aspek terminologi. Para filsuf membuat pengertian filsafat
sesuai dengan apa yang mereka yakini atau sesuai dengan
pemikiran kefilsafatan yang diyakininya. Sebagai contoh,
Plato (427–347 SM) menyebutkan bahwa filsafat adalah
“pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan
kebenaran yang asli.” Sementara itu, Aristoteles (382–322
SM), muridnya, berpendapat bahwa “filsafat merupakan ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran yang di dalamnya
terkandung berbagai macam ilmu (metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika).” Lain halnya
dengan Al Farabi (870–950) yang berpendapat bahwa
“filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam maujud
bagaimana hakikat yang sebenarnya.” Agar lebih
memahami makna filsafat, berikut akan dibahas beberapa
definisi Filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf selain
pengertian yang telah disebutkan di atas:
1. Cicero (106–43 SM), berpendapat bahwa “Filsafat
adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung
dan usaha-usaha untuk mencapai hal tersebut.”
2. Immanuel Kant (1724–1804), mendefinisikan “Filsafat
sebagai ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan
yang di dalamnya mencakup empat persoalan, yaitu
(1) Metafisika (apa yang dapat kita tahu); (2) Etika
(apa yang boleh kita kerjakan); (3) Agama (sampai di
mana pengharapan kita); dan (4) Antropologi (apakah
yang dinamakan manusia).”
3. Johann Gotlich Fickte (1762–1814), menyebutkan
bahwa “Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari
ilmu-ilmu, yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala
ilmu. Ilmu membicarakan suatu bidang atau jenis
kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang

16  
 
dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh
kenyataan.”
4. Paul Nartorp (1854–1924), mengungkapkan “Filsafat
sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak
menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan
menunjukkan dasar akhir yang sama, yang memikul
sekaliannya.”
5. Harold H. Titus (1959), dalam bukunya Living Issues
in Philosophy, mengemukakan beberapa pengertian
Filsafat yaitu:
a. “Philosophy is an attitude toward life and
universe (Filsafat adalah sikap terhadap
kehidupan dan alam semesta)”;
b. “Philosophy is a method of reflective thinking
and reasoned inquiry (Filsafat adalah suatu
metode berpikir reflektif dan pengkajian secara
rasional)”;
c. “Philosophy is a group of problems (Filsafat
adalah sekelompok masalah)”;
d. “Philosophy is a group of systems of thought
(Filsafat adalah serangkaian sistem berpikir).”
6. H. C. Webb (1960) dalam bukunya yang berjudul
History of Philosophy, menyatakan bahwa “Filsafat
mengandung pengertian penyelidikan. Tidak hanya
penyelidikan hal-hal yang khusus saja (misalnya
tentang sifat atau hakikat tertentu) dari dunia kita,
tetapi juga cara hidup yang seharusnya kita
selenggarakan di dunia ini.”
7. Notonegoro menyebutkan bahwa “Filsafat menelaah
hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya
yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut
hakikat.”
8. Driyakarya: “Filsafat sebagai perenungan yang
sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan
berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-
dalamnya sampai—mengapa yang penghabisan.”
9. Sidi Gazalba: “Berfilsafat ialah mencari kebenaran
dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala

17  
 
sesuatu yang dimasalahkan, dengan berpikir radikal,
sistematik dan universal.”
10. Hasbullah Bakry: “Ilmu Filsafat adalah ilmu yang
menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam
mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia
hingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang sikap
manusia setelah mencapai pengetahuan itu.”
11. Prof. Muhammad Yamin: “Filsafat ialah pemusatan
pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya
seraya di dalam kepribadiannya itu dialaminya
kesungguhan.”
12. Prof. Dr. Ismaun, M.Pd.: “Filsafat ialah usaha
pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan
kalbunya secara sungguh-sungguh, yakni secara kritis
sistematis, fundamentalis, universal, integral, dan
radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran
yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau
kebenaran yang sejati).”
13. Bertrand Russel: “Filsafat adalah sesuatu yang berada
di tengah-tengah antara teologi dan sains.
Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran
mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif
tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa
dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih menarik
perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi
maupun otoritas wahyu.”

Dari beberapa pengertian di atas, jelaslah bahwa


sebagian ahli menekankan definisi Filsafat pada substansi
dari apa yang dipikirkan dalam berfilsafat, seperti pendapat
Plato dan pendapat Al-Farabi. Aristoteles lebih menekankan
pada cakupan apa yang dipikirkan dalam Filsafat, demikian
juga Kant setelah menyebutkan sifat filsafatnya itu sendiri
sebagai ilmu pokok. Sementara itu, Cicero menekankan
upaya-upaya pencapaiannya di samping juga substansinya.
Demikian juga H. C. Webb yang memandang Filsafat
sebagai upaya penyelidikan tentang substansi sebagai suatu
keharusan dalam hidup di dunia. Definisi yang tampaknya

18  
 
lebih menyeluruh adalah yang dikemukakan oleh Titus, yang
menekankan pada dimensi-dimensi Filsafat, mulai dari sikap,
metode berpikir, substansi masalah, serta sistem berpikir.
Meskipun demikian, jika diperhatikan secara seksama,
pengertian-pengertian tersebut kelihatannya lebih bersifat
saling melengkapi, sehingga dapat dikatakan bahwa
berfilsafat berarti penyelidikan tentang: “Apa itu kenyataan?
Bagaimana kita dapat mengetahuinya? dan Untuk apa
pengetahuan tersebut diperoleh?” Dalam konteks berpikir
filsafat yang dikaitkan dengan filsafat dari aspek terminologi,
maka filsafat akan terbagi ke dalam tentang apa (Ontologi),
bagaimana (Epistemologi), dan untuk apa (Aksiologi).

2.2 PERAN FILSAFAT


Berfilsafat merupakan suatu cara berpikir yang
mempunyai karakteristik khusus. Berfilsafat tidak hanya
tentang berpikir dengan cara yang biasa, tetapi juga berpikir
secara menyeluruh dan mendasar atau dengan kata lain
berpikir secara radikal. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), radikal berarti secara mendasar (sampai
kepada hal yang prinsip). Dengan demikian, berpikir radikal
yang dimaksud dalam konteks ini adalah berpikir sampai ke
akar-akarnya, sampai ke hal yang paling prinsip/mendasar
(Gazalba, 1976).
Peran filsafat tidak sebatas menjawab pertanyaan-
pertanyaan dalam kehidupan, akan tetapi lebih
mempersoalkan jawaban yang diberikan. Selain itu, dapat
dikatakan bahwa mempelajari filsafat akan menjadikan
seseorang mampu menyelesaikan berbagai macam
pertanyaan dasar bagi manusia yang tidak dapat terjawab
dengan metode ilmu khusus.

2.3 CIRI-CIRI FILSAFAT


Clarence L. Lewis (1956), seorang ahli logika, dalam
bukunya yang berjudul Mind and the World-Order: Outline
of a Theory of Knowledge mengatakan bahwa “filsafat itu
merupakan proses refleksi dari bekerjanya akal, sedangkan
sisi yang terkandung dalam proses refleksi adalah berbagai

19  
 
problema kehidupan manusia.” Terdapat sebuah ciri khas
khusus di mana sebuah problem kehidupan manusia dapat
dikatakan telah sampai pada derajat pemikiran filsafat.
Adapun beberapa ciri filsafat menurut Lewis adalah sebagai
berikut:
1. Sangat umum atau universal. Pemikiran filsafat
cenderung memiliki sifat yang sangat umum atau
universal serta tidak berkaitan dengan suatu hal
khusus. Contohnya seperti keadilan, kebebasan,
kemerdekaan, dan lain-lain;
2. Tidak kredibel atau spekulatif. Filsafat merupakan
suatu pemikiran dengan mengonstruksi bermacam
dugaan yang masuk akal mengenai suatu hal, namun
tanpa disertakan bukti bahwa telah melampaui batas
dari fakta ilmiah. Dengan kata lain, spekulatif bukan
berarti pemikiran filsafat tersebut tidak ilmiah, tetapi
pemikiran filsafat tidak termasuk dalam lingkup ilmu
khusus;
3. Berhubungan dengan nilai. Menurut Ducasse, filsafat
merupakan upaya manusia dalam mencari pengetahuan
dengan dibumbui fakta-fakta yang disebut penilaian.
Penilaian yang dimaksud dapat bermakna baik maupun
buruk, susila ataupun asusila, di mana pada akhirnya
filsafat tersebut menjadi suatu cara untuk
mempertahankan nilai. Nilai-nilai inilah yang nantinya
akan dikenal dengan sistem nilai, di antaranya nilai
sosial, nilai keagamaan, nilai budaya, nilai kejuangan,
dan lainnya;
4. Berhubungan dengan arti. Mengacu pada poin
sebelumnya mengenai nilai, sesuatu yang memiliki
nilai dapat memiliki arti. Untuk itu, para filsuf
menciptakan berbagai kalimat logis dengan
menggunakan bahasa ilmiah (tepat) agar ide tersebut
sarat akan arti. Hal tersebut dilakukan agar terhindar
dari kesalahan/sesat dalam berpikir (fallacy); dan
5. Implikatif. Pemikiran filsafat itu selalu mengandung
implikasi (akibat) dari adanya logika, sehingga
implikasi tersebut diharapkan mampu melahirkan

20  
 
pemikiran baru yang dinamis, mulai dari tesis
kemudian antitesis lalu ke sintesis, dan seterusnya
hingga terlahir sesuatu pemikiran yang benar-benar
baru dan tiada habisnya. Pola pemikiran yang
implikatif (dialektis) tersebut dapat menyuburkan
pemikiran/intelektual.

Berbeda dengan pemikiran Lewis, Sudarto (1996)


mengungkapkan ciri-ciri berpikir filsafat terdiri atas (1)
metodis, yaitu menggunakan metode tertentu yang
umumnya digunakan para filsuf dalam proses berpikir; (2)
sistematis, yaitu berpikir dengan mengaitkan unsur-unsur
dalam satu kesatuan sehingga tersusun pola pemikiran
filosofis; (3) koheren, unsur-unsur yang terpikirkan tersusun
secara logis dan tidak terdapat hal yang bertentangan; (4)
Rasional, yaitu didasarkan pada kaidah berpikir yang logis;
(5) Komprehensif, yaitu cara berpikir menggunakan
berbagai sudut pandang (multidimensi); (6) Radikal, yaitu
berpikir secara mendalam sampai ke hal yang paling
mendasar; (7) Universal, yaitu muatan kebenaran yang
bersifat universal atau mengarah pada realitas kehidupan
manusia secara komprehensif.
Berfilsafat ialah berpikir dengan mengacu pada kaidah-
kaidah tertentu secara mendalam dan disiplin. Dengan kata
lain, ilmu khusus tidak dapat menjawab pertanyaan yang
menyangkut manusia secara keseluruhan, padahal pertanyaan
tersebut terus-menerus dipertanyakan oleh manusia dan
sangat penting bagi kehidupannya, seperti:
-­‐ Untuk apa saya dilahirkan ke dunia?
-­‐ Apakah kewajiban saya sebagai manusia?
-­‐ Bagaimana saya hidup agar menjadi lebih baik sebagai
manusia?
-­‐ Apa makna keadilan bagi manusia?
Karena keterbatasan objek formalnya, pertanyaan di
atas tidak akan mampu dijawab oleh ilmu khusus. Akan
tetapi, pertanyaan tersebut sangat penting. Manusia berharap
agar pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab secara
rasional dan bertanggung jawab. Untuk itulah filsafat hadir

21  
 
dalam usaha manusia untuk menjawab permasalahan yang
dihadapinya.”Ringkasnya, filsafat dapat dipandang sebagai
usaha manusia untuk menangani dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan fundamental secara bertanggung jawab. Tanpa
usaha ilmiah filsafat, pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan
dijawab secara spontan dan dengan demikian selalu ada
bahaya bahwa jawaban-jawaban yang diberikan terdistorsi
oleh selera subjektif dan oleh kepentingan pihak-pihak
tertentu (Suseno, 1987).”

2.3 OBJEK FILSAFAT


Filsafat pada dasarnya tidak dapat terlepas dari
kehidupan sehari-hari dan bukan merupakan sesuatu yang
asing. Segala sesuatu yang ada (berwujud) dan masih
memungkinkan untuk dipikirkan dapat menjadi sebuah objek
filsafat apabila masih bisa dipertanyakan dan dipikirkan
secara radikal guna menemukan kebenaran. Lapangan kerja
filsafat itu sangatlah luas, meliputi segala pengetahuan
manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia
(Kattsoff, 1992).
E. C. Ewing (1962) dalam bukunya yang berjudul
Fundamental Questions of Philosophy menyatakan ada
sembilan objek atau pokok-pokok filsafat yang terdiri dari:
1. Tuhan (God);
2. Kebenaran (truth);
3. Materi (matter);
4. Pikiran (mind);
5. Hubungan antara materi dan pikiran (the relation of
matter and mind);
6. Ruang dan waktu (space and time);
7. Sebab-sebab (cause);
8. Kebebasan (freedom); dan
9. Tunggal lawan jamak (Monism versus Pluralism).

Dilihat dari sudut pandang terhadap masalah serta


substansi masalahnya, pendapat di atas menggambarkan
luasnya cakupan objek filsafat. Objek filsafat merupakan hal

22  
 
yang memiliki wujud dalam sudut pandang dan kajian yang
mendalam (radikal).
Secara sistematis, para filsuf membagi objek filsafat ke
dalam dua bentuk, yaitu objek material dan objek formal.
Objek material berupa hal berwujud yang secara garis
besarnya dibagi ke dalam tiga persoalan pokok, yaitu hakikat
Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia. Sedangkan objek
formal adalah usaha mencari keterangan secara radikal
terhadap objek materialnya (Anshori, 1987).
Objek material mengacu pada hal yang ada maupun
mungkin ada yang dapat terpikirkan oleh umat manusia,
sedangkan objek formal menggambarkan sifat dan cara
berpikir terhadap objek material. Objek formal mengacu
pada sudut pandang yang digunakan dalam memikirkan
objek material.

2.4 SISTEMATIKA FILSAFAT


Sistematika filsafat merupakan buah hasil dari segala
pemikiran yang ada dan telah tersusun secara sistematis.
Sistematika filsafat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Pertama ontologi, berasal dari kata “Ontos” yang
berarti berada (yang ada) dan “Logos” yang berarti Ilmu
(Rodric, 1972:105). Secara sederhana, ontologi dapat dikenal
sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan
konkret secara kritis. Ontologi merupakan salah satu kajian
filsafat yang paling kuno dari Yunani yang meneliti tentang
hakikat wujud atau ada. Studi tersebut membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konkret. Terdapat dua sudut pandang
yang dapat digunakan dalam ontologi, yaitu kuantitatif dan
kualitatif.
Kedua epistemologi, berasal dari kata “Episteme”
yang berarti Pengetahuan dan “Logos” yang berarti Ilmu
(Khobir, 2007). Epistemologi atau Teori Pengetahuan
berbicara mengenai sumber pengetahuan serta cara
mendapatkan pengetahuan tersebut. Hal yang dipelajari
berupa hakikat pengetahuan, rasionalisasi keyakinan, serta
justifikasi.

23  
 
Ketiga aksiologi, berasal dari kata “Aksios” yang
berarti Nilai dan “Logos” yang berarti Ilmu (Vardiansyah,
2008) atau lebih dikenal dengan Teori Penilaian. Aksiologi
mempelajari tentang manusia dalam menggunakan ilmunya.
Aksiologi pada hakikat dan manfaatnya menginginkan suatu
pengetahuan. Menurut Warsito et al. (2013), aksiologi dibagi
menjadi dua jenis, yaitu: (1) penilaian etika, “cabang
filsafat aksiologi yang membahas tentang masalah-masalah
moral. Kajian etika lebih fokus pada perilaku, norma, dan
adat istiadat yang berlaku pada komunitas tertentu. Dalam
etika, nilai kebaikan dari tingkah laku yang penuh dengan
tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam
maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.” (2)
penilaian estetika, “bidang studi manusia yang
mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan
mengandung arti bahwa di dalam diri segala sesuatu
terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan
harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang menyeluruh.
Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-
mata bersifat selaras serta berpola baik, melainkan harus
juga mempunyai kepribadian.”

2.5 CABANG-CABANG FILSAFAT


Dengan memahami sistematika filsafat, kita dapat
melihat bahwa filsafat memiliki cakupan yang cukup luas
mengingat semua yang ada dapat dijadikan substansi
pemikiran dalam filsafat. Namun pada perkembangannya,
para filsuf mencoba menggolongkan cabang filsafat ke
dalam beberapa kelompok agar terlihat lebih fokus dan
sistematis. Cabang ini merupakan pengembangan dari bidang
atau sistematika filsafat agar dapat menggiring
berkembangnya pemikiran manusia dalam melihat substansi
pada objek material dengan berbagai titik telaah. Berikut
penjelasan beberapa cabang filsafat yang dikemukakan oleh
para filsuf, di antaranya:
1. Plato membedakan cabang filsafat ke dalam tiga
bagian yaitu: (1) Dialektika, yang mengandung
persoalan ide-ide atau pengertian-pengertian umum;

24  
 
(2) Fisika, yang mengandung persoalan dunia materi;
(3) Etika, yang mengandung persoalan baik dan buruk.
2. Aristoteles berpendapat bahwa filsafat dapat dibagi ke
dalam empat cabang yaitu logika, teoretis (mencakup
bidang fisika, matematika, dan metafisika), praktis
(mencakup etika, ekonomi, dan politik), dan poetika
(kesenian).
3. Al-Kindi membagi filsafat ke dalam tiga bidang, yaitu
Ilmu Thabiiyat (Fisika), Ilmu Riyadhi (Matematika),
dan Ilmu Rububiyat (Ketuhanan).
4. Al-Farabi membagi filsafat ke dalam dua bagian, yaitu
Filsafat Teoretis (meliputi Matematika, Fisika, dan
Metafisika) dan Filsafat Praktis (meliputi Etika dan
Politik).
5. Hasbullah Bakry (1978) mengungkapkan bahwa pada
zaman modern cabang filsafat meliputi Filsafat
Teoretis (Logika, Metafisika, Filsafat Alam, dan
Filsafat Manusia) dan Filsafat Praktis (Etika, Filsafat
Agama, dan Filsafat Kebudayaan).
6. H. De Vos (1987) menggolongkan filsafat ke dalam
Metafisika, Logika, Ilmu Pengetahuan, Filsafat Alam,
Filsafat Kebudayaan, Filsafat Sejarah, Etika, Estetika
dan Antropologi.
7. Ismaun (2000) menyebutkan cabang filsafat terbagi
menjadi Epistemologi, Etika, Estetika, Metafisika,
Politik, Filsafat Agama, Filsafat Pendidikan, Filsafat
Ilmu, Filsafat Hukum, Filsafat Sejarah, dan Filsafat
Matematika.
8. Alburey Castell (1994) membagi filsafat ke dalam
beberapa bidang persoalan, di antaranya: (1)
Ketuhanan (teological problem); (2) Metafisika
(methaphysical problem); (3) Epistemologi
(epistemological problem); (4) Etika (ethical problem);
(5) Politik (political problem); dan (6) Sejarah
(historical problem).
9. Endang Saifuddin Anshori (1987) membagi cabang-
cabang filsafat sebagai berikut: (1) Metafisika,
mengkaji tentang hakikat di balik fisika, yang bersifat

25  
 
transenden atau di luar jangkauan pengalaman
manusia; (2) Logika, mengkaji tentang pikiran yang
benar dan salah; (3) Etika, mengkaji tentang tingkah
laku baik dan buruk; (4) Estetika, mengkaji kreasi yang
indah dan jelek; (5) Epistemologi, mengkaji tentang
ilmu pengetahuan; (6) Filsafat-filsafat khusus, cabang-
cabang filsafat lainnya, seperti: Filsafat Hukum,
Filsafat Sejarah, Filsafat Alam, Filsafat Agama,
Filsafat Manusia, Filsafat Pendidikan dan lain
sebagainya.

Pencabangan filsafat”seperti yang telah disebutkan di


atas sangat penting dipahami untuk melihat perkembangan
keluasan dari substansi yang dikaji dan ditelaah dalam
filsafat. Secara teoretis hal itu masih mungkin berkembang
sejalan dengan kedalaman pengkajian terhadap objek
material filsafat, dan terutama objek formalnya.”

2.6 PENDEKATAN FILSAFAT


Memahami filsafat dilakukan dengan berbagai
pendekatan. Secara umum, pendekatan dapat dikategorikan
berdasarkan sudut pandang terhadap filsafat, yaitu filsafat
sebagai produk dan filsafat sebagai proses. Sebagai produk,
filsafat dipandang sebagai kumpulan pendapat serta
pemikiran yang dikemukakan para filsuf. Sebagai proses,
filsafat merupakan bentuk berpikir yang sesuai dengan
kaidah berpikir filsafat. Menurut Adian (2002), terdapat
empat pendekatan dalam melihat atau memahami filsafat
yaitu:

2.6.1 Pendekatan Definisi


Pendekatan Definisi digunakan untuk memahami
filsafat melalui berbagai definisi yang dikemukakan oleh
para ahli. Dalam hubungan ini penelusuran asal kata
(etimologis) menjadi penting, mengingat kata filsafat itu
sendiri pada dasarnya merupakan kristalisasi atau
representasi dari konsep-konsep yang terdapat dalam definisi

26  
 
itu sendiri. Pemahaman atas kata filsafat itu sendiri akan
sangat membantu dalam memahami definisi filsafat.

2.6.2 Pendekatan Sistematika


Pendekatan Sistematika”bertujuan memahami objek
formal filsafat dengan menelaah objek materialnya. Objek
material filsafat adalah semua yang ada dengan berbagai
variasi substansi dan tingkatan. Objek material ini bisa
ditelaah dari berbagai sudut pandang sesuai dengan fokus
keterangan yang diinginkan. Variasi fokus telaahan yang
mengacu pada objek formal ini melahirkan berbagai bidang
kajian dalam filsafat yang menggambarkan sistematika
filsafat.”

2.6.3 Pendekatan Tokoh


Pendekatan Tokoh ditujukan untuk memahami
pemikiran para filsuf. Para filsuf pada umumnya jarang
membahas secara tuntas seluruh wilayah filsafat. Seorang
filsuf biasanya mempunyai fokus utama dalam pemikiran
filsafatnya. Dalam pendekatan ini seseorang mencoba
mendalami filsafat melalui penelaahan pada pemikiran-
pemikiran yang dikemukakan oleh para filsuf, yang
terkadang mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga
membentuk suatu aliran filsafat tertentu. Oleh karena itu,
pendekatan tokoh juga dapat dikelompokkan sebagai
pendekatan aliran, meskipun tidak semua filsuf memiliki
aliran tersendiri.”

2.6.4 Pendekatan Sejarah


Pendekatan Sejarah“berusaha memahami filsafat
dengan melihat aspek sejarah dan perkembangan pemikiran
filsafat dari waktu ke waktu berdasarkan kecenderungan-
kecenderungan umum sesuai dengan semangat zamannya.
Selanjutnya, dilakukan periodisasi untuk melihat
perkembangan pemikiran filsafat secara kronologis.”
Berdasarkan beberapa pendekatan di atas, terdapat
empat buah jalan masuk (pendekatan) untuk memahami
filsafat. Kita bisa melalui keempat jalan masuk tersebut

27  
 
secara berurutan mengingat pendekatan tokoh dan historis
harus didasari dengan pemahaman filsafat secara mendasar
yang dapat diperoleh dengan memasuki jalan masuk
(pendekatan) definisi dan sistematika.

PERTANYAAN UNTUK DISKUSI


1. Mengapa Anda sebagai mahasiswa harus memahami
filsafat secara etimologis? Jelaskan!
2. Apakah filsafat dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari manusia? Jelaskan!
3. Jelaskan ciri-ciri filsafat yang disampaikan oleh Clarence
L. Lewis, yaitu “bahwa berfilsafat tidak hanya berpikir
dengan cara yang biasa-biasa saja, tapi berpikir secara
menyeluruh dan mendasar atau bisa kita katakan berpikir
secara radikal”!
4. Jelaskan definisi filsafat sesuai dengan definisi Immanuel
Kant?
5. Mengapa manusia dalam kehidupannya memerlukan
penilaian etika dan penilaian estetika? Jelaskan!
6. Mengapa dalam filsafat diperlukan adanya pendekatan?
Jelaskan!

DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Endang Saifudin. (1987). Ilmu, filsafat dan agama.
Surabaya: Bina Ilmu
Clarence, Irving Lewis. (1956). Mind and the world-order:
Outline of a theory of knowledge. 1929 Reprint. New
York: Dover Publications
Clarence, Irving Lewis. (1973). "Philosophy," Dalam The
Encyclopedia Americana
Ewing, A. C. (1985). Fundamental questions of philosophy.
London and New York: Routledge
Firth, Rodric. (1972). Encyclopedia international. The
Philippines: Gloria Incorporation
Gazalba, Sidi. (1973). Sistematika filsafat. Jakarta: Bulan
Bintang

28  
 
Gazalba, Sidi. (1976). Masyarakat Islam: Pengantar
sosiologi dan sosiografi buku 1. Cetakan ke-1. Jakarta:
Bulan Bintang
Jones, Russell. (2008). Loan-words in Indonesian and
Malay. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kattsoff, Louis. (1992). Pengantar filsafat. Cetakan ke-5.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Khobir, Abdul. (2007). Filsafat pendidikan Islam: Landasan
teoretis dan praktis. Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press
Magnis-Suseno, Franz. (1987). Etika dasar "masalah-
masalah pokok filsafat moral". Yogyakarta: Pustaka
Filsafat-Kanisisus

29  
 

Anda mungkin juga menyukai