1
Louis O. Kattsoff, elements of Philosophy, (Terj. Soejono Soemargono), Pengantar Filsafat, Tiara Wacana:
Yogyakarta, Cetakan ke-9, 2004, hlm.68; lihat pula Betrand Russel, Philosophy, New York: W.W. Norton, 1927,
hlmn 1.
2
Hikmah yang banyak disebut oleh para mutjahidin sebagai asrar al-ahkam, secara (lughawai) etimologis
berarti mengetahui keunggulan sesuatu melalui pengetahuan sempurna, bijaksana, dan sesuatu yang
bergantung padanya akibat suatu yang terpuji. Adapun secara terminologis adalah motivasi dalam
pensyariatan hukum dalam rangka mencapai kemaslahatan atau menolak kemafsadatan, lihat Ensiklopedia
Hukum Islam, Jakarta: Depag R.I, 1997, hlm 550.
3
Ibnu Al-Manzur, Lisan Al-A’rab, Beirut: Dar Al-Fikr, 1990, Jilid 9, cetakan ke-1, hlm.273.
4
Filsafat berasal dari Philare (bukan Philo) dan sophia; sebagian lagi mengatakan bahwa kata filsafat berasal
dari kata philein (bukan philo) dan sophia; lihat (Imam Barnadib, 1992:11); (Arifin 1993:1); (Abdul Munir
Mulkan, 1993:38); Abu Ahmadi, 1982:9), dan Asep Ahmad Hidayat, 2006:6)
5
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992, hlm.218-129
1
pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan yang sehat,
kepandaian, dan kecerdikan dalam memutuskan permasalahan praktis. 6
2
1. Plato (427-347 SM) berpendapat filsafat adalah ilmu yang
membicarakan segala sesuatu.
2. Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan
tentang kebenaran yang meliputi logika, fisika, metafisika, dan
pengetahuan praktis.14
3. Para filsuf muslim abad pertengahan memberikan pengertian filsafat
sebagai ilmu yang meneliti hakikat segala sesuatu yang ada (al-
maujudah) dengan cara menggunakan akal sempurna.
4. Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang bertugas
menguasai semua yang ada karena ia ada (al-ilmu bi al-maujudat bima
hiya maujudah).15
5. Immanuel Kant (1724-1804), salah seorang filsuf abad modern,
berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan mengenai pokok
pangkal dari segala pengetahuan dan perbuatan. 16
6. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), seorang filsuf Jerman
termasuk dalam aliran filsafat idealisme, mendefinisikan filsafat sebagai
“the investigation of things by thought and contemplation” (pencarian
segala sesuatu dengan cara berfikir mendalam.
7. Betrand Arthur William Russel (1872-1970). Seorang filsus inggris,
mengatakan bahwa filsafat merupakan upaya menjawab pertanyaan-
pertayaan secara kritis.
8. Raymond F. Piper dan Paul W. Ward, mengartikan filsafat sebagai ”a
critical and trough going interpretation of reals and ideal of man’s
fortune as wrapped up in them”
9. Robert Paul Wolff, memberikan definisi filsafat sebagai “the systematic
reflection of the mind upon the criteria of right thought and right action
which it employes in all of its activities”.17
10. N. Drijarkara S.J. (1913-1967) berpendapat bahwa filsafat adalah
pikiran manusia yang radikal, artinya dengan mengenyampingkan
pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat yang aksiomatis mencoba
memerhatikan pandangan yang merupakan akar dari pandangan lain
dan sikap praktis.18
11. Menurut Hasbullah Bakry, Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki sesuatu
secara mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia
sehingga menghasilkan tentang hakikat yang dapat dicapai akal
manusia dan sikap manusia yang seharusnya setelah mencapai
pengetahuan.19
14
A. Mustofa, Filsafat islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm 10; lihat juga Asep Ahmad Hidayat, ibid, hlm
10; lihat pula Ahmad Tafsir, ibid, hlm 10
15
Asep Ahmad Hidayat ibid, hlm 9; A. Mustofa,ibid, hlm 10
16
A. Mustofa ibid, hlm 10
17
Afghani Sahuri, “Apa dan untuk apa filsafat itu” dalam Mimbar Studi (Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakatan), bandung: IAIN, Nomor 67/XVI/1995, hlm 10-11.
18
Drijakara S.J., Percikan Filsafat, Jakarta 1962, hlm 5
19
Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1961, hlm 7
3
12. Filsafat adalah proses pencarian kebenaran dengan cara menelusuri
hakikat dan sumsber kebenaran secara sistematis, logis, kritis, rasional,
dan spekulatif. Alat yang digunakan untuk mencari kebenaran adalah
akal yang merupakan sumber utama dalam berfikir. Dengan demikian,
kebenaran filosofis adalah kebenaran berfikir yang rasional, logis,
sistematis, kritis, radikal, dan universal.
13. Filsafat adalah pengetahuan tentang cara befikir terhadap segala
sesuatu atau sarwa sekalian alam. Artinya, materi pembicaraan filsafat
adalah segala hal yang menyangkut segala keseluruhan yang bersifat
universal. Dengan demikia, pencarian kebenaran filosofis tidak pernah
berujung dengan kepuasan dan tidak mengenal pemutlakan kebenaran.
Bahkan, suatu yang “sudah” dianggap benar pun masih di ragukan
kebenarannya. Tidak ada kata puas karena kebenaran akan mengikuti
situasi dan kondisi dan alam pikiran manusia yang haus pengetahuan.
14. Filsafat adalah pengembaraan alam pikir manusia yang tidak mengenal
puas dengan ilmu pengetahuan dan kebenaran yang hakiki.
15. Filsafat adalah pencarian kebenaran dengan cara berfikir sistematis,
yang dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga
tahapan-tahapannya mudah di ikuti. Berpikir sistematis senantiasa
mengikuti aturan logika yang benar normatif, artinya cara berpikir yang
mengikuti premis-premis tertentu, menarik kesimpulan dari pemikiran
umum kearah pemikiran khusus atau sebaliknya dari pemikiran khusus
ke pemikiran umum. Keduanya lebih dikenal dengan logika deduktif dan
induktif. Sistematika berpikir normatif disusun dengan struktur dan
retorika yang sinergis sehingga berfilsafat tidak menambah
kebingungan orang lain yang diajak komunikasi, tetapi menjadikannya
lebih komunikatif dan efektif.
16. Filsafat adalah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang dijunjung tinggi. Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap
yang kritis dan mencari kebenaran tanpa batas. Sikap itu merupakan
sikap terbuka dalam melihat persoalan dengan berbagai sudut pandang
dan tanpa prasangka. Filsafat adalah mencari kebenaran yang tidak
pernah abadi. Berfilsafat tidak pernah selesai hanya karena telah
ditemukannya kebenaran, tetapi kebenaran pertama yang telah
diperoleh merupakan langkah awal menuju kontemplasi filosofis yang
lebih mendalam dan mengakar. Dengan demikian “tidak ada”
kebenaran akhir dari hasil pemenungan filososfis karena hakikat
kebenaran bukan sebatas yang tampak, melainkan sesuatu yang
mengandung pertanyaan berikutnya.
17. Filsafat adalah seni kritik yang tidak membatasi diri pada dekstruksi
pemikiran tentang kebenaran. Frans Magnis Suseno menegaskan
bahwa kritis filsafat adalah kritis dalam arti bahwa filsafat tidak pernah
puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sesuatu yang telah
selesai. Filsafat akan terus membuka kembali perdebatan. Setiap
4
kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis-antitesis.
Sifat kritis filsafat ditunjukkan dengan tiga pendekatan dalam filsafat,
yaitu pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ahli filsafat
selalu berfikir kritis dengan melakukan pemeriksaan kedua terhadap
segala sesuatu yang telah ditemukan secara filosofis. Kebenaran
pertama merupakan awal menuju kebenaran kedua, dan begitu
seterusnya. Dengan demikian, tidak ada kata “berhenti” untuk menggali
kebenaran yang sesungguhnya “paling benar”. Kebenaran yang paling
benar pun akan dikaji kembali karena tidak ada kebenaran yang paling
benar sepanjang kebenaran itu dihasilkan melalui rasionalisasi. 20
18. Filsafat adalah pengetahuan Methodis,sistematis, dan koheren tentang
seluruh kenyataan ( realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional atas
keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (kebenaran) dan
memperoleh hikmat (kebijaksanaan). Al-Kindi Mengemukakan bahwa
filsafat adalah “kegiatan manusia tingkat tertinggi yang merupakan
pengetahuan yang benar mengenai hakikat segala yang ada bagi
manusia. Bagian filsafat yang paling mulia adalah pengetahuan
kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran. 21
19. Filsafat adalah pencarian kebenaran tanpa mengenal batas dengan
menggunakan rasio secara sistematis dan radikal yang diawali oleh
keraguan atas segala sesuatu; Menjangkau segala sesuatu yang ada
dan yang mungkin ada, yang bersifat Kontemplatif, logis, kritis, dan
spekulatif. Filsafat menjelajah keberadaan yang empiris, fisik, Metafisik,
natural, Supranatural, materiil, imateril,Rasional dan Suprarasional. 22
20. Filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak, Tetapi sangat dekat
dengan kehidupan manusia., Meskipun merupakan disiplin ilmu yang
kurang diminati karena dianggap membingungkan. Filsafat merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari cara berfikir manusia dalam
membangun kehidupan dunia. Filsafat dapat menciptakan kedamayan
duniawi dan ukhrawi apabila diterapkan sebagai alat berfikir yang positif
tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Bijaksana, kemudian manusia
belajar dari sifat kebijaksanaan Tuhan dan mengamalkannya sepanjang
kehidupannya di dunia. Filsafat dapat mengantarkan manusia ke jalan
yang lurus apabila filsafat dijadikan sebagai metode berfikir yang
rasional, sehat, dan solusif bagi kehidupan manusia dalam menghadapi
berbagai problematika kehidupan.
21. Menurut Sutardjo WiraMihardja,filsafat adalah pengetahuan tentang
cara berfikir terhadap segala sesuatu atau Sarwa sekalian alam.
Artinya, semua materi pembicaraan filsafat adalah segala hal yang
menyangkut keseluruhan yang bersifat universal. Dengan demikian,
pencarian kebenaran Filosofis tak pernah Berujung dengan kepuasan
20
Atang abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, filsafat umum, Bandung Pustaka Seti, 2008, hlm 24
21
Ibid
22
ibid
5
apalagi memutlakkan akan sebuah kebenaran. Bahkan, untuk sesuatu
yang “sudah” dianggap benar pun, masih diragukan kebenarannya.
Tidak ada kata puas apalagi final karena kebenaran Akan mengikuti
situasi dan kondisi dan alam pikiran manusia.
22. Filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur Berfikir yang
sistematis. Artinya, perpanjangan mengenai segala sesuatu dilakukan
secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-
tahapannya mudah diikuti. Berfikir sistematis dan tidak loncat loncat,
tetapi mengikuti aturan main yang benar. Lalu, apa dan bagaimana
aturan mainnya, sehingga ber filsafat diartikan sebagai berfikir
sistematis? Pertanyaan inilah yang akan dijawab secara Filosofis pada
bab selanjutnya.
23. Juhaya S.Pradja mengatakan bahwa arti yang sangat formal dari filsafat
adalah proses kritis atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang dijunjung tinggi. Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap yang
kritis dan mencari. Sikap itu merupakan sikap toleran dan terbuka
dalam melihat persoalan dengan berbagai sudut pandang dan tanpa
prasangka. Berfilsafat tidak hanya berarti membaca dan mengetahui
filsafat. Seseorang memerlukan argumentasi, memakai teknik analisis,
serta mengetahui sejumlah bahan mengetahui sejumlah bahan
pengetahuan sehingga ia memikirkan dan merasakan secara falsafi.
Filsafat mengantarkan semua yang mempelajari nya pada refleksi
pemikiran yang mendalam dan penuh dengan hikmah.
24. Filsafat selalu mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban yang
ditemukan tidak pernah abadi. Oleh karena itu, filsafat tidak pernah
selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-
masalah filsafat tidak pernah selesai, karena itulah memang
sebenarnya berfilsafat.
25. Filsafat adalah seni kritik yang bukan semata-mata membatasi diri pada
destruksi atauseakan-akan takut untuk membawa pandangan positif
nya sendiri. Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa kritis filsafat
adalah kritis dalam arti bahwa filsafat tidak kena puas diri, tidak pernah
membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, bahkan membuka kembali
perdebatan dan secara hakiki bersifat Dialektis.Dalam arti bahwa setiap
kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis-antitesis
danantitesisnya antitesis.
26. Filsafat Bkt kritis apabila ia membangun suatu gedung teoretis,
Sebagaimana diperlihatkan dengan begitu megah oleh Hegel, filsuf
membangun sistem terbesar yang sekaligus berhasil merumuskan sifat
Dialektik is yang hakiki bagi segenap filsafat sejati. Sifat kritis filsafat
ditunjukkan oleh tiga pendekatan dalam filsafat, yaitu pendekatan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ahli filsafat selalu berfikir kritis
dengan melakukan pemeriksaan kedua (a second look)terhadap barang
barang bahan bahan yang disajikan oleh paham orang awam (common
6
sense). memikirkan berbagai problem kehidupan dan menghadapi fakta
fakta yang ada hubungannya dengan masalah yang muncul.
7
1. Sesuatu yang bersifat Metafizik yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala
manusia;
2. Malam sementara yang fizikal dan terbentuk oleh hukum perubahan;
3. Segala sesuatu yang rasional dan irasional;
4. Semua yang bersifat natural ataupun Supranatural;
5. Akal, rasa, pikiran, intuisi, dan persepsi;
6. Hakikat yang terbatas dan yang tidak terbatas;
7. Teori pengetahuan pada semua keberadaan pengetahuan manusia yang
objektif ataupun subyektif;
8. Fungsi dan manfaat segala sesuatu yang Didambakan manusia atau
dihindarinya;
9. Kebenaran spekulatif yang bersifat rasional tanpa batas sehingga berlaku,
Hamman Dialektik is terhadap berbagai penemuan hasil pemikiran manusia.
Tesis yang melahirkan antitesis dan terciptanya sintetis.
8
memikirkan apapun yang orang tak sudi memikirkan nya”. Begitulah filsafat, cinta
pada ilmu, cinta pada kebijaksanaan, dan cinta pada rasa cinta itu sendiri.
Menikmati filsafat yang mengasyikkan, memburu pengetahuan dengan
meragukan setiap pengetahuan, dan meyakini keraguan atas segala hal melalui
berbagai pertanyaan yang dijawab nya sendiri.
Dapat berbicara tentang yang ada dan yang mungkin ada. Pencarian
terhadap yang ada dan yang mungkin ada dilakukan secara Kontemplatif,
9
radikal, sistematis logis, kritis, dan spekulatif, terutama permasalahan yang tidak
dapat dijangkau oleh pendekatan empiris dan observasi yang merupakan
pendekatan saintis.
Segala sesuatu yang ada artinya adalah segala yang ada dengan
sendirinya dan keberadaannya disebabkan oleh keberadaan yang lain. Dari
segala sesuatu yang ada, ada yang wajib adanya tanpa ada kemungkinan lain
dan ada yang tidak wajib adanya dan wajib bergantung pada berbagai
kemungkinan.
Sesuatu yang wajib ada secara Filosofis adalah wujud dari keberadaan
yang ada dengan sendirinya dan tidak berada dengan sendirinya. Ada kalanya
ada itu tergambar oleh Panca Indra, seperti langit, bumi, bulan, bintang, manusia,
dan gunung gunung, dan ada kalanya tidak tampak menurut keterbatasan Panca
Indra manusia, misalnya Sang Pencipta alam ini.
Segala sesuatu yang materil dan imateril menjadi obyek material filsafat.
Dilihat dari kedudukannya sebagai manusia di muka bumi ataupun fungsi dan
perannya sebagai anggota masyarakat, manusia merupakan obyek material
filsafat. Akan tetapi, nasib dan takdir manusia, Jodoh dan rezeki, batas usia, dan
masa depannya, bukan lagi obyek material, melainkan obyek formal dalam
filsafat. Oleh karena itu,jawaban jawaban Filosofis terhadap masalah demikian,
murni mengandalkan logika tanpa mempedulikan kebenaran observatif yang
ditemukan oleh Sains.
Filsafat menyatakan seluruh yang ada dan yang mungkin ada sebagai
realitas yang sebenarnya, sebagaimana hakikat segala sesuatu adalah hakikat
itu sendiri. Adapun di luar substansi sesuatu adalah kebohongan yang dibumbui
rasionalisasi dan logika manusia, sehingga manusia sering “terjebak” dalam
keberadaan yang semu (pseudo), bukan yang sebenarnya. Kebenaran yang
hakiki tidak membutuhkan penafsiran dan rekayasa, yang memerlukan semua itu
adalah manusia yang dihantui hasrat keingintahuan nya. Hasrat terus menerus
bertanya terhadap yang sudah benar-benar nyata dan benar. Keraguan pada
jiwa dan pikiran manusia, membawa manusia untuk tidak mengenal kata berhenti
mencari tahu terhadap yang sudah diketahui sehingga pengetahuan yang
terkuasai dapat lebih bermanfaat bagi kepentingan dirinya sendiri.
10
Berdasarkan dua realitas tersebut, pengetahuan pun terbagi menjadi dua
macam, yaitu: (1) pengetahuan yang diperoleh melalui persetujuan; dan (2)
pengetahuan yang diperoleh melalui pengetahuan langsung atau observasi.
Dalam filsafat, semua realitas tidak berarti realitas yang sebenarnya. Oleh
karena itu, kebenaran tidak dapat dibatasi oleh hasil uji coba di laboratorium atau
hanya karena sudah terbukti secara empiris. Pertanyaan yang mendorong
munculnya kebenaran berasal dari sudut hakikatnya. Dalam filsafat, semua itu
berada dalam kajian ontologis, yaitu Pendalaman rasional tentang hakikat segala
sesuatu yang tidak akan terjawab oleh sains. Sebagaimana obyek material
filsafat yang mengkaji keberadaan Tuhan, manusia, hidup dan mati, dunia dan
akherat, cinta, dan benci, semuanya yang ada adalah obyek material yang
memiliki hakikat masing masing. Akan tetapi, dari semua hakikat benda benda
natural dan Supranatural, ada yang paling hakiki dan ada yang ada dengan
sendirinya. Filsafat berjuang matimatian membongkar semua kemungkinan
sehingga sumber setiap ekstensi dapat ditemukan secara rasional, logis, dan
sistematis.
11
Dalam sifat, epistimologi adalah cabang filsafat yang meneliti asal,
struktur, Methode, dan kesahihan pengetahuan. Epistimologi berbeda dengan
logika. Jika logika merupakan Sains formal (formal science) yang berkenaan
dengan prinsip-prinsip Penalaran yang shahih, epistimologi adalah sains
Filosofis (philosopichal science) tentang asal usul pengetahuan dan
kebenaran.Puncak Pengkajian epistimologi adalah kebenaran yang membawa
kita pada pintu metafisika.
12
pengetahuan dalam bentuk Penalaran, logika, sumber pengetahuan, dan kriteria
kebenaran. Demikian pula, dengan aspek ontologi nya, kajian tentang hakikatnya
mengarahkan diri pada hal hal yang sifatnya minta fizikal, asumsi all, dan batas
batas penjelajahan ilmu yang dilengkapi perspektif epistemologis tentang sistem
berfikir dan struktur pengetahuan ilmiah.23
Struktur filsafat adalah cara kerja filsafat dalam mencari kebenaran. Cara
kerja filsafat adalah sebagai berikut;
23
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu1990 hlm 39
13
2. Me-recycle na lisasi merasionalisasi segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada dengan cara berfikir yang mendalam, logis, dan rasional;
3. Menjadikan semua obyek ilmu pengetahuan sebagai obyek material filsafat,
tetapi cara kerjanya tidak mengenal kata akhir sebuah kebenaran karena
kebenaran telah terbukti kebenaran yang bersifat observasi dan empiris bagi
filsafat baru langkah awal menuju pencarian kebenaran yang hakiki;
4. menjadikan cara kerja rasio yang sistematis, radikal, dan spekulatif.
Obyek kajian filsafat tidak sebatas segala sesuatu yang alamiah, tetapi
sesuatu yang sebenarnya Dzat yang menciptakan alam, Yang tidak bersifat
alamiah, yaitu Tuhan tak segan segan dijadikan bahan perdebatan dan
perbincangan filsafat.
Ide dalam pikiran manusia adalah ide yang terdapat dalam alat pikir, yang
disebut dengan akal atau otak. Tidak ada seorang pun yang dapat
menggambarkan bentuk kongkrit dari akal. Yang ada hanyalah bentuk fizikal otak
yang terdapat di dalam kepala manusia. Dengan Pemahaman tersebut, tentu
yang dimaksud dengan sistem gagasan dalam pikiran manusia adalah lancarnya
kerja otak dalam menangkap segala sesuatu, mengembangkan nalar dalam
24
Juhaya S. Pradja, Aliran-aliran dalam filsafat, Bandung: piara 2000, hlm 6
14
sebuah ide tentang sesuatu yang dimaksudkan, dan membentuk konsep demi
pembatasan sesuatu yang digagas.
Ciri kedua Penalaran adalah sifat analisis dari proses berfikir. Dalam
menganalisis persoalan, digunakan hukum-hukum logika normatif. Dalam berfikir
ilmiah, hukum logika yang dipergunakan adalah logika ilmiah karena hukum
logika yang lain akan mengabarkan proses analisis dan penarikan
kesimpulan.Hal inilah yang menjadi penyebab tidak semua kegiatan berfikir
bersifat logis dan analistis, sebagaimana menganalisis sesuatu dengan
perasaan, padahal perasaan tidak termasuk Penalaran. Hanya, gagasan bisa
muncul dari pekanya perasaan yang disebut intuisi. Intuisi merupakan kegiatan
berfikir yang nonalitis Yang tidak mendasarkan diri pada pola berpikir tertentu.
Berfikir intuitif memegang peranan penting pada masyarakat yang berfikir
nonalitis, Yang kemudian sering ber galau dengan perasaan. Jadi, secara luas,
dapat dikatakan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikategorikan pada cara
berfikir analitis, yang berupa Penalaran dan cara berfikir yang nona Liteace yang
berupa intuisi dan perasaan.
15
dan intuisi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa telah ada gagasan analitis
dan gagasan intuitif.
25
Ahmad Tafsir, pengantar Filsafat Umum, bandung: Remaja Rodaskaya, 2005 hlm 23.
16
D. Metodologi Filsafat
Metode mempelajari filsafat ada tiga, yaitu (1) metode sistematis., (2)
historis., (3) metode kritis.Belajar dengan Methode sistematis dimulai dengan
banyak membaca buku filsafat, memahami pengertiannya, memahami obyek
yang dikaji, sistematika filsafat, makna ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
Sistematis artinya tersusun secara normatif, yang didalamnya terdapat sub
bahasan atau sub materi yang saling berkaitan atau integral.
Menurut Juhaya S. Pradja, metodologi filsafat ada tiga, yaitu: (1) metode
deduksi, yaitu suatu metode berfikir yang menarik kesimpulan dari prinsip prinsip
umum kemudian diterapkan pada sesuatu yang bersifat khusus; (2) metode
induksi, yaitu metode berfikir dalam menarik kesimpulan dari prinsip khusus,
kemudian diterapkan pada sesuatu yang bersifat khusus; (3) metode dialektika,
yaitu metode berfikir yang menarik kesimpulan melalui tiga tahap atau jenjang,
yaitu tesis, antitesis, dan sintetis.
17
seni dan kebudayaan, tetapi berujung dengan tujuan ekonomi. Kearifan filsafat
kurang ditonjolkan.26
1. Plato (427-347 SM) membahas filsafat dengan metode Dialektik, yaitu dua
orang yang berdialog saling melemparkan pertanyaan dan memberikan
jawaban masing masing secara bergantian. Kebenaran yang diperoleh atas
dasar metode Dialektik bertanya dan menjawab ini, secara berangsur angsur
mengurangi keraguan ataupun ketidakjelasan atas suatu hal. Tokoh utama
yang diperankan oleh Plato dalam dialog itu adalah Socrates, sebagai orang
yang mengajukan pertanyaan-pertanyaannya di sudut-sudut kota Athena.
Pada zaman itu, istilah “dialog” menjadi istilah khusus yang dipergunakan
untuk metode “rujuk kembali” dari dua pihak yang bersengketa, baik yang
bersifat domestik, akademik maupun internasional.Perang juga dapat
diselesaikan melalui dialog di meja perundingan. Meskipun penggunaan nya
tidak diragukan lagi, Methode dialog platonik ini bukan metode yang paling
utama bagi pembahasan filsafat. Bahkan, menganggap semua persoalan
kefilsafatan dapat di atasi dengan metode ini adalah sesuatu yang naif. 27
2. Aristoteles (384-322 SM) menjadi terkenal karena Methode Silogisme atau
logikanya. Dengan menggambungkan pembenaran dan penyangkalan
diantara tiga termasuk, sebuah kesimpulan yang meyakinkan dapat diperoleh
dengan metode ini jika dua termasuk cara terpisah membenarkan terima
ketiga, dapat disimpulkan bahwa kedua termasuk tersebut saling
membenarkan satu sama lainnya. Akan tetapi, tidak demikian jika hanya satu
terma yang membenarkan terima ketiga, sedangkan terima pertama dan
kedua saling menyangkal satu sama lain. Aristoteles merangkai semua
kombinasi yang mungkin terjadi dan merumuskan hukum-hukum untuk
mengatur kombinasi tersebut. Metode ini menjernihkan dan membuang
keraguan jalan pikiran atas dasar hubungan antara tiga termasuk. Metoda
26
Sumaryono, hermeneutik, 1993, hlm 16
27
Ibid, hlm 17-20
18
yang diciptakannya ini pada akhirnya membuat Aristoteles mendapat Julu kan
“bapak logika”.
19
5. Selain Descartes, penganut rasionalisme adalah Spinoza. Dia telah
menyusun sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur. Spinoza
berpandangan bahwa argumen argumen ilmu ukur merupakan kebenaran
kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, jika seseorang memahami
makna yang di kandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam dalil-dalil
mengukur, ia tentu akan memahami makna yang terkandung dalam
pernyataan sebuah garis lurus merupakan jarak paling dekat di antara dua
buah., Harus di akui kebenaran pernyataan tersebut, sebagai kebenaran
aksiomatik. Juhaya S.Pradja menjelaskan bahwa pada intinya tidak perlu ada
bahan bahan bukti lain, kecuali makna yang terkandung dalam kata-kata yang
dipergunakan. Spinoza menetapkan definisi berbagai istilah seperti
“substansi” dan “sebab bagi dirinya sendiri”, dan juga berbagai dalil, misalnya
“apa yang ada, pasti ada”, yang semua itu dipandang sebagai kebenaran
tidak perlu lagi dibuktikan. Ia mencoba menyimpulkan dari kebenaran
kebenaran yang lain mengenai kenyataan, Tuhan, manusia dan kebaikan.
6. Metode Cartesian memiliki kelemahan yang bersifat historis. Sebab, metode
Cartesian di rumuskan justru pada saat ilmu pengetahuan secara pasti
membeberkan pengertian tentang matahari, bumi, dan alam semesta sebagai
suatu yang integral. Methode ini diperlukan untuk masa tertentu saja. Filsafat
harus mulai dari titik nol kalo harus memperoleh kembali kejayaan nya yang
telah hilang. Methode Descartes menjadi semacam anakkronistik atau
ketinggalan zaman dan tidak lagi up to date.
7. Methode Descartes menimbulkan dampak dan pengaruh terhadap metode-
metode yang muncul kemudian. Empirisisme adalah salah satu Methode
yang tidak mau menerimakebenaran jika tidak didasarkan pada pengalaman
dan dibuktikan dengan Panca Indra. Bayang-bayang Descartes tampak jelas
dalam Empirisme bahkan Immanuel kan merupakan salah satu filsuf yang
terpengaruh oleh pikiran Descartes.
8. Metode klasik bersifat reflektif memandang kehidupan, dunia, dan interaksi
keduanya hanya sebagai refleksi dalam aktivitas menghadapi kehidupan dan
dunia lebih mengutamakan fungsionalitas kesadaran. Methode refleksi adalah
klasikal sebab dimulai dengan refleksi itu sendiri. Metode ini berpandangan
bahwa semua yang berkaitan dengan filsafat hanya refleksi.
9. Ada pula Methode yang kini mendominasi filsafat selama beberapa dekade,
yaitu metode Fenomenologi Edmund Husserl (1895-1939). Ia merumuskan
metode fenomenologis yang secara tepat mampu menempatkan filsafat
dalam jajaran ilmu ilmu lain. Ia berpandangan bahwa filsafat membutuhkan
sebuah metode yang tepat untuk menegaskan validitasnya dalam kehidupan
dan pengalaman hidup manusia sehari-hari. Akan tetapi, HusserlJuga
memakai kesadaran yang membawanya ke dalam skeptisIsme.Bagaimana
kesadaran dapat menetapkan kebenaran filsafat sejajar dengan kebenaran
dalam kategori ilmiah? Meskipun demikian, metode fenomenologis Husserl
telah menjadi ujung tombak munculnya aliran Eksistensialisme. Bahkan,
hampir dapat dipastikan bahwa Eksistensialisme dikenal karena pengaruh
20
metode Fenomenologi. Sebab, Eksistensialisme menggunakan Fenomenologi
sebagai Methode nya. Akan tetapi, sasaran Husserl. justru bertolak belakang
dengan yang ia inginkan sebab ia menghendaki filsafat menjadi sebuah” ilmu
pengetahuan yang sangat berpengaruh”. Hal ini tidak mungkin karena
Methode yang ia pergunakan bersifat subyektif dan kekurangan Ferry fixasi
yang universal. Methode Husserl membawa kembali sebagian dari metode
empirisisme dan Methode ragu ragu.
10. Metode fenomenologis, artinya fenomena di Derivasi dari kata benda phas
yang berarti “cahaya”. Kata kerjanya phainomai, artinya menampakkan diri.
Metode ini digunakan oleh Edmund Husserl (1859-1938 M). Fenomena
(gejala) bukanlah suatu selubung yang mewujudkan realitas dan juga bukan
sebagai penampakan realitas. Fenomenologi sengaja mengembalikan
kepada benda itu supaya ia berbicara mengungkap arti dirinya sendiri. Oleh
karena itu, Fenomenologi bersifat hakiki, murni, dan tidak terpengaruh oleh
ruang dan waktu. Fenomenologi menggunakan tiga langkah kegiatan, yaitu
(1) Reduksi fenomenologis, (2) Reduksi eidetis, (3) reduksi transendental.
Reduksi fenomenologis adalah menyaring setiap keputusan yang secara Naif
muncul terhadap obyek yang diamati, seperti keputusan yang subjektif
sehingga fenomena tampak murni. Pada Reduksi eidetis, obyek harus benar
benar hakiki atau edit this.id this adalah intisari atau pokok sejati. Jadi, tidak
ada sesuatu yang tersembunyi atau tertutup, segalanya terbuka. Adapun
Reduksi transendental adalah situasi dan kondisi subyek secara hakiki there
bebas dari pengalaman empiris dalam rangka mengimbangi kemurnian
fenomena sehingga yang tidak ada hubungannya dengan yang diteliti
dibersihkan dengan kesadaran murni. 28
1. Cara kerja filsafat dalam memikirkan obyek material dan obyek formal dengan
tiga pendekatan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu ontologi,
epistimologi, dan aksiologi.
2. Cara kerja filsuf dalam menggunakan filsafat sebagai metode berfikir
sistematis, logis, Kontemplatif, dan radikal. Para filsuf memiliki cara masing-
masing. Ada yang berpijak dari “keraguan” terhadap segala sesuatu; Ada
yang menggunakan pendekatan falsifikasi, yaitu dengan mengetahui
kelemahan atau kesalahan dalam berfikir, sebagaimana dilakukan oleh Karl
Popper; Ada yang berangkat dari pandangan aksionatik transendental yang
menetapkan bahwa “Yang ada” hanyalah “Dzat yang maha ada”, maka
semua “tidak ada”. Bahkan, ada juga filsuf yang bertitik-tolak dari pandangan
bahwa segala yang ada adalah “persepsi subjektif”. Demikian seterusnya.
28
Abdul Rozak dan Isep Zainal Arifin, filsafat umu, bandung: Al-Fabetha 2002, hlm 81-82
21
1. Pendekatan naturalistik, yaitu pendekatan Filosofis dalam memahami segala
sesuatu dengan bertitik-tolak dari pandangan utama bahwa sumber dari
segala yang ada dan yang mungkin ada adalah keadaan alam jagat raya ini;
2. Pendekatan Supranatural, yaitu pendekatan yang berangkat dari pandangan
bahwa setiap yang mengalami perubahan bukan keberadaan yang
sesungguhnya. Dengan demikian, hakikat segala yang ada adalah yang
menciptakan segala yang mungkin ada. Segala yang ada yang mengawali
segala “awal adanya perubahan” itu sendiri;
3. Pendekatan relativistik, yaitu semua pikiran, Pemahaman, filsafat manusia
mengandung kebenaran yang nisbi, termasuk pandangan bahwa zat yang
ada yang mengadakan segala yang mungkin ada. Apabila kebenaran suatu
pengetahuan dipandang irasional, secara normatif dikategorikan tidak ilmiah.
Akan tetapi, sesuatu yang tidak ilmiah bagi filsafat masih merupakan obyek
kajian karena kerja filsafat bukan hanya pada pengetahuan ilmiah, termasuk
yang tidak ilmiah.Berfikir kritis terhadap sesuatu yang Metafizik merupakan
obyek filsafat, baik perspektif ontologi maupun epistimologi. Tuhan yang
diyakini umat manusia sebenarnya tidak ilmiah, tetapi hakikat Tuhan,
keberadaan, dan kekuasaannya sangat logis. Filosofika tersebut didominasi
oleh karakteristik filsafat yang selalu mencari kebenaran spekulatif.
22
komunikasi melalui kata kata tidak sesuai dengan realitas yang diketahui. Kata-
kata tidak menyuguhkan kebenaran absolut, tetapi senantiasa menyuguhkan
Relativitasnya yang absolut.
Pada mulanya, metode ini digunakan oleh Plotinus (205-270 M). Lalu
banyak digunakan oleh para sufi Muslim, seperti Ibn Arbi (1165-1240) dan
belakangan dikembangkan oleh Hendri Bergson (1859-1941 M).
secara global, intuisi dapat di klasifikasi kan dalam dua bentuk. Pertama,
intuisi Indri Awi, ditemukan dalam kehidupan binatang meskipun secara lebih
sempurna, ditemukan dalam kehidupan manusia. Tampaknya, nilai Intuisi
sebenarnya bermula dari kemampuan melihat yang sangat kuat karena intueror
(Latin), berarti saya melihat. Akan tetapi, pada kenyataannya, beberapa Indra
yang lain juga mempunyai intuisi dengan cara sendiri-sendiri.Secara lebih
sempurna, Intuisi merupakan persepsi langsung. Oleh sebab itu, Imajinasi dapat
dinyatakan sebagai Intuisi sepanjang Imajinasi itu tersusun atas unsur-unsur
intuitif, murni Indriawi, sekaligus mengabstraksi mengabstraksi kan eksistensi
partikular tertentu yang tersajikan. Intuisi IndriAwi dan Imajinasi ini sangat
signifikan dalam kehidupan karena secara lebih luas, hampir semua pemikiran
yang rasional pun pada dasarnya berakar secara kontinu dari Intuisi ini.
23
yang mempunyai intelektual tinggi itu bersatu dengan intelektual agen, orang
yang mempunyai Rohani sempurna itu telah memperoleh inspirasi inspirasi yang
tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang orang yang biasa atau pada umumnya.
Intuisi intelektual juga dapat disebut sebagai Intuisi mistik atau intuisi spiritual.
Intuisi ini hanya dimiliki oleh para ahli yang mempunyai diri dan jiwa yang sangat
bersih dan murni sehingga biasa dikenal dengan istilah manusia sempurna (al-
insan al-Kamil). Proses memperoleh nya,ketika seseorang berjiwa sempurna itu
mendekatkan dirinya (bermujahadah) melalui berbagai Maqom (station), seperti
Maqom tahu but, warna, Zuhud, Qona’AH, dan sabar dengan pemilik inspirasi,
yaitu jiwa luhur yang sempurna (yang maha kuasa), hal tersebut dapat
menjadikan orang berjiwa sempurna itu dapat bersatu dengan jiwa luhur yang
sempurna itu. Dalam kondisi ini, seorang yang berjiwa sempurna akan
mengalami ekstasi, kondisi ketika ia merasakan kenikmatan dan keindahan yang
sangat sempurna. Orang orang yang mengalami ekstase ini kadang kadang
digambarkan berbicara yang aneh aneh. Dalam kondisi ini ia sedang
memperoleh inspirasi dari jiwa luhur yang sempurna.
24
kemajuan hidup sehari-hari. Kant juga menerima nilai objektif agama dan moral
sebab ia memberikan kemajuan dan kebahagiaan. Pengertian itu disebutnya
sebagai sintetis-apriori. Iya juga membedakan pengertian analisis dan sintetis.
Analisis dibagi menjadi empat macam, yaitu: (1) analisis psikologis, (2) analisis
logis, (3) analisis ontologis, (4) analisis kriteriogis. Adapun sintetis dibagi lagi atas
dua macam, yaitu: (1) sintetis aposteriori dan (2) Sintesis apriori. Hanya, dampak
dari dikembangkannya Postulat obyektivitas, pengertian sintetis apriori dapat
ditemukan struktur baru yang dikenal dengan istilah analisis transendental.
Sejak manusia membutuhkan ilmu pengetahuan, sejak itu pula ada nilai
nilai yang ditargetkan. Istilah “nilai” dalam bahasa Inggris adalah value, berasala
dari bahasa latin, velereatau bahasa prancis kuno, valoir. Makna nilai denotatif
dengan “harga”. Apabila makna itu dihubungkan dengan konsep lain,maknanya
menimbulkan interpretasi yang beragam. Umpamanya nilai atau harga dalam
perspektif ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu jiwa, dan sebagainya. Dengan
demikian, makna nilai bergantung pada perspektif nya. Dalam konteks filsafat
nilai, segala sesuatu harus bernilai, misalnya nilai estetika, nilai etika, nilai sosial,
dan nilai ideologis. Oleh karena itu, maksud filsafat nilai adalah pembahasan
tentang paradigma aksiologis atau segala sesuatu yang ada dan yang mungkin
ada, yang menghubungkannya pada hakikat Fungsional seluruh pengetahuan.
Makna nilai dapat berupa keyakinan Relijius dan janji janji deterministik
dalam keyakinan seseorang pada hal hal yang di sakral kan, yang dianut
seseorang dalam berbagai perilaku nya. Misalnya, orang beriman diharapkan
25
memiliki tindak Tanduk yang bernilai ibadah di Bada dimata Tuhan. Nilai dapat di
definisikan pula sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya diantara cara cara tindakan alternatif nya. Pengertian ini
menekankan aspek norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku
manusia.30
Dari ilustrasi dan pengertian tentang nilai, ada lima hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan makna nilai secara aksiologis, yaitu:
26
pengetahuan. Pengalaman merupakan urat nadi kebenaran, sedangkan rasio
hanya membantu mengeluarkan gagasan dan penalarannya.
Etika adalah bahasa tentang cermin tingkah laku serta nilai baik dan buruk
yang didasarkan pada rasio. Selain istilah etika, penyebutan pengetahuan
tentang baik dan buruk dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Adalah sebutan tentang perilaku baik dan buruk yang digunakan oleh agama.
Dalam ilmu Akhlaq, tingkah laku dibagi dua, yaitu akhlak Mahmudah, yaitu
tingkah laku yang Terpuji dan akhlak madmumah, yaitu tingkah laku yang
tercela.
2. Moral, asalnya Mores, yaitu tindakan. Moral adalah penilaian baik dan buruk
yang digunakan dalam kehidupan sosial politik. Meskipun istilah ini dapat
digunakan dalam Sembarang tempat, yang paling sering justru digunakan
dalam kehidupan politik, sebagaimana sebutan “moral bangsa, moralitas
sosial, moralitas politik”.
3. gila adalah istilah yang digunakan dalam kaidah baik dan buruk, yang
merujuk pada Idiologi Pancasila. Su artinya baik, sila artinya kesopanan. Kata
susila digunakan pula dalam undang-undang, misalnya tindakan asusila atau
melanggar kesusilaan.
4. Norma adalah ukuran baik dan buruk yang digunakan dalam konsep
kebiasaan masyarakat. Meskipun penggunaan norma tidak mengetahui istilah
tersebut, sosiolog ataupun antropolog menyebut adat sebagai norma sosial.
Baik dan buruk sangat bergantung pada sistem penilaian yang digunakan.
Suatu perbuatan meskipun menurut ajaran agama dipandang “baik”, jika menurut
norma sosial tidak layak dilakukan otomatis perbuatan tersebut akan ditolak.
Demikian pula, perbuatan yang menurut pandangan etika sangat
menguntungkan jika bertentangan dengan moralitas politik yang berkembang,
pandangan etika itu akan ditolak.
28
Dengan demikian, pandangan baik dan buruk, dan hakikat nilai dalam
kehidupan manusia sangat bergantung pada tiga hal mendasar, yaitu:
Cara berfikir berkaitan dengan Pemahaman tentang baik dan buruk cara
berbudaya merujuk pada kebiasaan normatif. Adapun cara merujuk berhubungan
dengan pendekatan yang digunakan dalam menilai sumber nilai.
29