Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENGERTIAN FILSAFAT DAN RUANG LINGKUPNYA


A. Pengertian Filsafat

Sesungguhnya filsafat dilahirkan bukan oleh adanya definisi filsafat.


Kelahirannya lebih banyak didorong oleh berbagai pemikiran yang mendalam
para filsuf. Radikalisme berfikir dimulai dengan sikap para filsuf yang selalu
mempertanyakan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada (the
philosophy of being.

Filsafat dipandang sebagai pengetahuan yang abstrak dan


mengawang-awang, dan orang akan bingung apabila berfilsafat. Oeleh
karena itu tidak semua orang yang mempelajari filsafat menikmatinya dengan
penuh sensational. Bahkan, kebingungan dianggap sebagai salah satu ciri
berfilsafat. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Dengan filsafat semua
menjadi terang benderang, masalah terpecahkan, dan teori dapat digali
secara mendalam. Bahkan filsafat mampu menggali lebih radikan segala
sesuatu yang sudah dianggap final oleh ilmu pengetahuan.

Berfilsafat adalah berfikir tanpa perlu melakukan eksperimen dan uji


validasi dilaboratorium, tetapi dengan mengutarakan berbagai persoalan,
mencari solusinya, memberikan argumentasi dan alasan yang rasional dan
logis, serta berfikir dialektis. Dengan demikian, berfilsafat merupakan sistem
berfikir yang rasional, logis, dialektis, kritis, kontemplatif, dan spekulatif.

Filsafat timbul dari usaha yang gigih untuk mencapai pengetahuan


yang real.1Dalam Lisan Al-A’rab, kata filsafat berakar dari kata falsafa, yang
berarti al-hikmah2kata yang bersal dari luar bahasa Arab. 3 Kata falsafah
dipinjam dari kata yunani yang sangat terkenal, philosophia,4yang berarti
kecintaan pada kebenaran (wisdom). Dalam ungkapan Arab yang lebih “asli”,
cabang ilmu tradisional Islam disebut ‘ulum al-hikmah’ atau secara singkat al-
hikmah (padanan kata yunani shopia), yang artinya “kebijaksanaan” atau
wisdom (Inggris).5 Pada mulanya, kata sophia berarti kearifa, kebenaran

1
Louis O. Kattsoff, elements of Philosophy, (Terj. Soejono Soemargono), Pengantar Filsafat, Tiara Wacana:
Yogyakarta, Cetakan ke-9, 2004, hlm.68; lihat pula Betrand Russel, Philosophy, New York: W.W. Norton, 1927,
hlmn 1.
2
Hikmah yang banyak disebut oleh para mutjahidin sebagai asrar al-ahkam, secara (lughawai) etimologis
berarti mengetahui keunggulan sesuatu melalui pengetahuan sempurna, bijaksana, dan sesuatu yang
bergantung padanya akibat suatu yang terpuji. Adapun secara terminologis adalah motivasi dalam
pensyariatan hukum dalam rangka mencapai kemaslahatan atau menolak kemafsadatan, lihat Ensiklopedia
Hukum Islam, Jakarta: Depag R.I, 1997, hlm 550.
3
Ibnu Al-Manzur, Lisan Al-A’rab, Beirut: Dar Al-Fikr, 1990, Jilid 9, cetakan ke-1, hlm.273.
4
Filsafat berasal dari Philare (bukan Philo) dan sophia; sebagian lagi mengatakan bahwa kata filsafat berasal
dari kata philein (bukan philo) dan sophia; lihat (Imam Barnadib, 1992:11); (Arifin 1993:1); (Abdul Munir
Mulkan, 1993:38); Abu Ahmadi, 1982:9), dan Asep Ahmad Hidayat, 2006:6)
5
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992, hlm.218-129

1
pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan yang sehat,
kepandaian, dan kecerdikan dalam memutuskan permasalahan praktis. 6

Al-arabi,7 dalam kitabnya Fushus al Hikam, memaknakan kata al-


hikmah sebagai proses pencarian hakikat sesuatu dan perbuatan. Pengertian
al-hikmahmenurut Ar-Raghib dalah memperoleh kebenaran dengan
perantaraaan ilmu dan akal.8

Nurcholis Majdid mengatakan bahwa hikmah berarti pengetahuan,


filsafat, dan rahasia Tuhan yang tersembunyi yang hanya bisa diambil
manfaat dan pelajarannya pada waktu yang lain. 9 Begitu juga, ibnu sina (w.
32b H/1087 H) yang menyamakan terma hikmah dalam pengertian filsafat. 10

Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa penggunaan kata filsafat sebagai


kata sifat dan kata kerja, misalnya Aristoteles 11 mengatakan bahwa makna
filsafat adalah segala usaha dalam mencari kebenaran dan hasil yang
diperoleh.

Dalam tradisi filsafat, untuk meraih makna esensial, seseorang harus


melakukan penjelajahan secara radikal, logis, dan kritis. Itulah sebabnya,
Aristoteles berkomentar, “apabila hendak menjadi seorang filsuf, anda harus
berfilsafat, dan apabila tidak mau menjadi seorang filsuf, anda pun harus
berfilsafat”12

Oleh karena itu, setelah seseorang berfilsafat, barulah ia memaklumi filsafat


dan mungkin pada saat berfilsafat, ia semakin mengerti seluk beluk filsafat. 13

Beberapa filsuf dan para pemikir lainnya mendefinisikan filsafat


sebagai berikut:
6
The Liang gie, Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999, cetakan ke4, hlmn 29; lihat pula
F.E. Peters, Greek Philosophical Terms: a History Lexicon, 1967, hlm.156 dan 179.
7
Muhyi Ad-Din Al-Arabi, Fushuh Al-Hukam, t.p. Buku ini ada di Perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
dalam bentuk fotokopian, t.t, hlm 3.
8
Faturahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1997, hlm 4.
9
Nurcholis Madjid, “Memahami Hikmah dalam Agama” dalam Kehampaan Spritual Masyarakat Modern,
(Penyunting: M Amin Akkas dan Hasan M. Noer), Jakarta: Mediacita, 2000, hlm 397.
10
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbitan UNINUS, 1995, hlm.4 dan 6. Juhaya lebih
lanjut menjelaskan bahwa karena ada terma hikmah dalam Al-Qur’an dan setelah terma Filsafat masuk kedua
Arab Islam, kedua istilah tersebut dipakai untuk makna yang sama kendati pun keduanya dapat dibedakan.
Perbedaannya bahwa dalam terma filsafat tidak terkandung kemestian (keharusan) adanya pengetahuan
tentang ketuhanan, tentang manfaat dan faedah sesuatu yang direnungkan berbeda dengan terma hikma yang
mengharuskan tema-tema tersebut.
11
Aristoteles memberikan komentar, “Apabila hendak menjadi seorang filsuf, Anda harus berfilsafat, dan
apabila anda tidak mau menjadi seorang filsuf, Anda harus juga berfilsafat”. Ungkapan Aristoteles
mengandung pengertian bahwa baik filsafat itu sebagai sesuatu yang benar, shingga ia harus diterima maupun
filsafat itu salah sehingga harus ditolak. Apabila filsafat itu benar dan harus diikuti, kita harus menjadi seorang
filsuf, dan filsafat harus didukung oleh sesuatu semacam berfilsafat. Akan tetapi, apabila filsafat itu tidak
dikehendaki dan harus dibuang, dalam hal itu pun orang harus menjadi seorang filsuf untuk menolak filsafat;
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa....., ibid,I hlm. 8.
12
Murtadho Muththari, Gerakan Islam..., ibid, hlm.110; lihat pula Asep Ahmad Hidayat, Ibid.., hl 7.
13
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., ibid.., hlm 8

2
1. Plato (427-347 SM) berpendapat filsafat adalah ilmu yang
membicarakan segala sesuatu.
2. Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan
tentang kebenaran yang meliputi logika, fisika, metafisika, dan
pengetahuan praktis.14
3. Para filsuf muslim abad pertengahan memberikan pengertian filsafat
sebagai ilmu yang meneliti hakikat segala sesuatu yang ada (al-
maujudah) dengan cara menggunakan akal sempurna.
4. Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang bertugas
menguasai semua yang ada karena ia ada (al-ilmu bi al-maujudat bima
hiya maujudah).15
5. Immanuel Kant (1724-1804), salah seorang filsuf abad modern,
berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan mengenai pokok
pangkal dari segala pengetahuan dan perbuatan. 16
6. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), seorang filsuf Jerman
termasuk dalam aliran filsafat idealisme, mendefinisikan filsafat sebagai
“the investigation of things by thought and contemplation” (pencarian
segala sesuatu dengan cara berfikir mendalam.
7. Betrand Arthur William Russel (1872-1970). Seorang filsus inggris,
mengatakan bahwa filsafat merupakan upaya menjawab pertanyaan-
pertayaan secara kritis.
8. Raymond F. Piper dan Paul W. Ward, mengartikan filsafat sebagai ”a
critical and trough going interpretation of reals and ideal of man’s
fortune as wrapped up in them”
9. Robert Paul Wolff, memberikan definisi filsafat sebagai “the systematic
reflection of the mind upon the criteria of right thought and right action
which it employes in all of its activities”.17
10. N. Drijarkara S.J. (1913-1967) berpendapat bahwa filsafat adalah
pikiran manusia yang radikal, artinya dengan mengenyampingkan
pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat yang aksiomatis mencoba
memerhatikan pandangan yang merupakan akar dari pandangan lain
dan sikap praktis.18
11. Menurut Hasbullah Bakry, Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki sesuatu
secara mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia
sehingga menghasilkan tentang hakikat yang dapat dicapai akal
manusia dan sikap manusia yang seharusnya setelah mencapai
pengetahuan.19

14
A. Mustofa, Filsafat islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm 10; lihat juga Asep Ahmad Hidayat, ibid, hlm
10; lihat pula Ahmad Tafsir, ibid, hlm 10
15
Asep Ahmad Hidayat ibid, hlm 9; A. Mustofa,ibid, hlm 10
16
A. Mustofa ibid, hlm 10
17
Afghani Sahuri, “Apa dan untuk apa filsafat itu” dalam Mimbar Studi (Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakatan), bandung: IAIN, Nomor 67/XVI/1995, hlm 10-11.
18
Drijakara S.J., Percikan Filsafat, Jakarta 1962, hlm 5
19
Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1961, hlm 7

3
12. Filsafat adalah proses pencarian kebenaran dengan cara menelusuri
hakikat dan sumsber kebenaran secara sistematis, logis, kritis, rasional,
dan spekulatif. Alat yang digunakan untuk mencari kebenaran adalah
akal yang merupakan sumber utama dalam berfikir. Dengan demikian,
kebenaran filosofis adalah kebenaran berfikir yang rasional, logis,
sistematis, kritis, radikal, dan universal.
13. Filsafat adalah pengetahuan tentang cara befikir terhadap segala
sesuatu atau sarwa sekalian alam. Artinya, materi pembicaraan filsafat
adalah segala hal yang menyangkut segala keseluruhan yang bersifat
universal. Dengan demikia, pencarian kebenaran filosofis tidak pernah
berujung dengan kepuasan dan tidak mengenal pemutlakan kebenaran.
Bahkan, suatu yang “sudah” dianggap benar pun masih di ragukan
kebenarannya. Tidak ada kata puas karena kebenaran akan mengikuti
situasi dan kondisi dan alam pikiran manusia yang haus pengetahuan.
14. Filsafat adalah pengembaraan alam pikir manusia yang tidak mengenal
puas dengan ilmu pengetahuan dan kebenaran yang hakiki.
15. Filsafat adalah pencarian kebenaran dengan cara berfikir sistematis,
yang dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga
tahapan-tahapannya mudah di ikuti. Berpikir sistematis senantiasa
mengikuti aturan logika yang benar normatif, artinya cara berpikir yang
mengikuti premis-premis tertentu, menarik kesimpulan dari pemikiran
umum kearah pemikiran khusus atau sebaliknya dari pemikiran khusus
ke pemikiran umum. Keduanya lebih dikenal dengan logika deduktif dan
induktif. Sistematika berpikir normatif disusun dengan struktur dan
retorika yang sinergis sehingga berfilsafat tidak menambah
kebingungan orang lain yang diajak komunikasi, tetapi menjadikannya
lebih komunikatif dan efektif.
16. Filsafat adalah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang dijunjung tinggi. Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap
yang kritis dan mencari kebenaran tanpa batas. Sikap itu merupakan
sikap terbuka dalam melihat persoalan dengan berbagai sudut pandang
dan tanpa prasangka. Filsafat adalah mencari kebenaran yang tidak
pernah abadi. Berfilsafat tidak pernah selesai hanya karena telah
ditemukannya kebenaran, tetapi kebenaran pertama yang telah
diperoleh merupakan langkah awal menuju kontemplasi filosofis yang
lebih mendalam dan mengakar. Dengan demikian “tidak ada”
kebenaran akhir dari hasil pemenungan filososfis karena hakikat
kebenaran bukan sebatas yang tampak, melainkan sesuatu yang
mengandung pertanyaan berikutnya.
17. Filsafat adalah seni kritik yang tidak membatasi diri pada dekstruksi
pemikiran tentang kebenaran. Frans Magnis Suseno menegaskan
bahwa kritis filsafat adalah kritis dalam arti bahwa filsafat tidak pernah
puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sesuatu yang telah
selesai. Filsafat akan terus membuka kembali perdebatan. Setiap

4
kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis-antitesis.
Sifat kritis filsafat ditunjukkan dengan tiga pendekatan dalam filsafat,
yaitu pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ahli filsafat
selalu berfikir kritis dengan melakukan pemeriksaan kedua terhadap
segala sesuatu yang telah ditemukan secara filosofis. Kebenaran
pertama merupakan awal menuju kebenaran kedua, dan begitu
seterusnya. Dengan demikian, tidak ada kata “berhenti” untuk menggali
kebenaran yang sesungguhnya “paling benar”. Kebenaran yang paling
benar pun akan dikaji kembali karena tidak ada kebenaran yang paling
benar sepanjang kebenaran itu dihasilkan melalui rasionalisasi. 20
18. Filsafat adalah pengetahuan Methodis,sistematis, dan koheren tentang
seluruh kenyataan ( realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional atas
keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (kebenaran) dan
memperoleh hikmat (kebijaksanaan). Al-Kindi Mengemukakan bahwa
filsafat adalah “kegiatan manusia tingkat tertinggi yang merupakan
pengetahuan yang benar mengenai hakikat segala yang ada bagi
manusia. Bagian filsafat yang paling mulia adalah pengetahuan
kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran. 21
19. Filsafat adalah pencarian kebenaran tanpa mengenal batas dengan
menggunakan rasio secara sistematis dan radikal yang diawali oleh
keraguan atas segala sesuatu; Menjangkau segala sesuatu yang ada
dan yang mungkin ada, yang bersifat Kontemplatif, logis, kritis, dan
spekulatif. Filsafat menjelajah keberadaan yang empiris, fisik, Metafisik,
natural, Supranatural, materiil, imateril,Rasional dan Suprarasional. 22
20. Filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak, Tetapi sangat dekat
dengan kehidupan manusia., Meskipun merupakan disiplin ilmu yang
kurang diminati karena dianggap membingungkan. Filsafat merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari cara berfikir manusia dalam
membangun kehidupan dunia. Filsafat dapat menciptakan kedamayan
duniawi dan ukhrawi apabila diterapkan sebagai alat berfikir yang positif
tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Bijaksana, kemudian manusia
belajar dari sifat kebijaksanaan Tuhan dan mengamalkannya sepanjang
kehidupannya di dunia. Filsafat dapat mengantarkan manusia ke jalan
yang lurus apabila filsafat dijadikan sebagai metode berfikir yang
rasional, sehat, dan solusif bagi kehidupan manusia dalam menghadapi
berbagai problematika kehidupan.
21. Menurut Sutardjo WiraMihardja,filsafat adalah pengetahuan tentang
cara berfikir terhadap segala sesuatu atau Sarwa sekalian alam.
Artinya, semua materi pembicaraan filsafat adalah segala hal yang
menyangkut keseluruhan yang bersifat universal. Dengan demikian,
pencarian kebenaran Filosofis tak pernah Berujung dengan kepuasan
20
Atang abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, filsafat umum, Bandung Pustaka Seti, 2008, hlm 24
21
Ibid
22
ibid

5
apalagi memutlakkan akan sebuah kebenaran. Bahkan, untuk sesuatu
yang “sudah” dianggap benar pun, masih diragukan kebenarannya.
Tidak ada kata puas apalagi final karena kebenaran Akan mengikuti
situasi dan kondisi dan alam pikiran manusia.
22. Filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur Berfikir yang
sistematis. Artinya, perpanjangan mengenai segala sesuatu dilakukan
secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-
tahapannya mudah diikuti. Berfikir sistematis dan tidak loncat loncat,
tetapi mengikuti aturan main yang benar. Lalu, apa dan bagaimana
aturan mainnya, sehingga ber filsafat diartikan sebagai berfikir
sistematis? Pertanyaan inilah yang akan dijawab secara Filosofis pada
bab selanjutnya.
23. Juhaya S.Pradja mengatakan bahwa arti yang sangat formal dari filsafat
adalah proses kritis atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang dijunjung tinggi. Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap yang
kritis dan mencari. Sikap itu merupakan sikap toleran dan terbuka
dalam melihat persoalan dengan berbagai sudut pandang dan tanpa
prasangka. Berfilsafat tidak hanya berarti membaca dan mengetahui
filsafat. Seseorang memerlukan argumentasi, memakai teknik analisis,
serta mengetahui sejumlah bahan mengetahui sejumlah bahan
pengetahuan sehingga ia memikirkan dan merasakan secara falsafi.
Filsafat mengantarkan semua yang mempelajari nya pada refleksi
pemikiran yang mendalam dan penuh dengan hikmah.
24. Filsafat selalu mencari jawaban-jawaban, tetapi jawaban yang
ditemukan tidak pernah abadi. Oleh karena itu, filsafat tidak pernah
selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-
masalah filsafat tidak pernah selesai, karena itulah memang
sebenarnya berfilsafat.
25. Filsafat adalah seni kritik yang bukan semata-mata membatasi diri pada
destruksi atauseakan-akan takut untuk membawa pandangan positif
nya sendiri. Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa kritis filsafat
adalah kritis dalam arti bahwa filsafat tidak kena puas diri, tidak pernah
membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, bahkan membuka kembali
perdebatan dan secara hakiki bersifat Dialektis.Dalam arti bahwa setiap
kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis-antitesis
danantitesisnya antitesis.
26. Filsafat Bkt kritis apabila ia membangun suatu gedung teoretis,
Sebagaimana diperlihatkan dengan begitu megah oleh Hegel, filsuf
membangun sistem terbesar yang sekaligus berhasil merumuskan sifat
Dialektik is yang hakiki bagi segenap filsafat sejati. Sifat kritis filsafat
ditunjukkan oleh tiga pendekatan dalam filsafat, yaitu pendekatan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ahli filsafat selalu berfikir kritis
dengan melakukan pemeriksaan kedua (a second look)terhadap barang
barang bahan bahan yang disajikan oleh paham orang awam (common

6
sense). memikirkan berbagai problem kehidupan dan menghadapi fakta
fakta yang ada hubungannya dengan masalah yang muncul.

Pencarian kebijaksanaan bermakna menelusuri hakikatDan sumber


kebenaran. Alat untuk menemukan kebijaksanaan adalah akal yang
merupakan sumber primer dalam berfikir. Oleh karena itu, kebenaran Filosofis
merupakan kebenaran berfikir rasional dan radikal.

Dalam kinerja filsafat terdapat wacana atau argumentasi yang pada


setiap aktivitasnya mengandalkan pemikiran dan rasio, tanpaverifikasi uji
empiris. Dengan kata lain, “ Perbincangan dengan menutup mata”.
Kebenaran Filosofis tidak memerlukan pembuktian atau tidak perlu
didasarkan pada bukti kebenaran, baik melalui eksperimen maupun
pencarian data lapangan.

Filsafat merupakan pengetahuan tentang cara berfikir kritis;


Pengetahuan tentang kritik yang radikal, artinya sampai akar akarnya, sampai
pada konsekuensinya yang terakhir.Radik (dari kata radikal, ed) artinya
akarnya, yang juga disebut arche sebagai ciri khas berfikir Filosofis.
Perbedaan nya dengan pengetahuan adalah adanya asumsi sebagai titik
tolak yang disebut sebagai keyakinan filsafati (philosophical belief). Radikal
adalah asumsi yang tidak hanya dibicarakan, tetapi digunakan. Dengan
demikian, filsafat adalah pengetahuan tentang berfikir kritis sistematis;
pengetahuan tentang Pemahaman universal terhadap semua persoalan; dan
pengetahuan tentang kebenaran pemikiran yang tanpa batas dan masalah
yang tidak pernah tuntas.

Berbeda dengan Sains yang menggunakan asumsi sebelum bekerja,


filsafat membangun dan memper bincangkan nya. Filsafat menggali
kebenaran substansial. Oleh karena itu, yang ditemukan adalah hakikat
kebenaran dan kebenaran hakiki segala sesuatu. Hakikat merupakan istilah
yang menjadi ciri khas filsafat. Hakikat adalah Pemahaman atau hal yang
paling mendasar. Jadi, filsafat tidak hanya berbicara tentang wujud atau
materi sebagaimana ilmu pengetahuan, tetapi juga berbicara makna yang
terdapat di belakangnya. Dalam filsafat, hakikat tersebut sebagai akibat dari
berfikir radikal.

Filsafat merupakan kebebasan berfikir manusia terhadap segala sesuatu


tanpa batas yang mengacu pada hukum keraguan atas segala hal. Sarwa
sekalian alam dan segala hal yang dapat dilihat dari berbagai sudut melalui
kontemplasi pemikiran yang sistematis, logis, dan radikal. Segala hal yang di
pikirkan oleh filsafat berkaitan dengan hal berikut:

7
1. Sesuatu yang bersifat Metafizik yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala
manusia;
2. Malam sementara yang fizikal dan terbentuk oleh hukum perubahan;
3. Segala sesuatu yang rasional dan irasional;
4. Semua yang bersifat natural ataupun Supranatural;
5. Akal, rasa, pikiran, intuisi, dan persepsi;
6. Hakikat yang terbatas dan yang tidak terbatas;
7. Teori pengetahuan pada semua keberadaan pengetahuan manusia yang
objektif ataupun subyektif;
8. Fungsi dan manfaat segala sesuatu yang Didambakan manusia atau
dihindarinya;
9. Kebenaran spekulatif yang bersifat rasional tanpa batas sehingga berlaku,
Hamman Dialektik is terhadap berbagai penemuan hasil pemikiran manusia.
Tesis yang melahirkan antitesis dan terciptanya sintetis.

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan


rasa ragu-ragu, dan filsafat dimulai dengan kedua duanya.Berfilsafat bertujuan
untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu.
Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui
dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini.Demikian pula, berfilsafat
berarti mengkoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa
jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah terjangkau.

Karakteristik berfikir Filosofis yang pertama adalah sifat menyeluruh.


Seorang ilmuwan tidak puas jika mengenal ilmu hanya dari sudut pandang ilmu
itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya.
Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral serta kaitan ilmu dengan agama. Apakah
ilmu itu membawa kebahagiaan bagi dirinya.karakteristik berfikir filsafat yang
kedua adalah mendasar, artinya setiap ilmu yang ada tak lagi dipercaya sebagai
kebenaran. Kebenaran nya dipertanyakan, mengapa ilmu itu bisa benar, dan apa
yang dimaksud dengan kebenaran? Pertanyaan demi pertanyaan meluncur
ditujukan pada semua yang ada dengan gugatan yang belum ada. Dengan
modal kemungkinan kemungkinan, filsafat menyatakan keraguan nya terhadap
segala kebenaran ilmu. Filsafat memberikan ke tegakkan ilmu dan ilmu mampu
mengembangkan dengan harapan hidup manusia secara lebih real.

Will Durant mengatakan bahwa filsafat telah menenangkan tempat


berpijak bagi kegiatan ke ilmuwan. Setelah itu, ilmu lah yang membelah gunung
dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangannya menjadi pengetahuan
yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan, filsafat pun pergi. Dia
kembali menjelajah laut lepas, berspekulasi, dan menerats. Seorang yang
skeptis akan berkata, “sudah lebih dari 2000 tahun orang berfilsafat, tetapi
selangkah pun dia tidak maju. Tak pernah maju, karena tidak ada kepuasan
dalam berfilsafat, bagaikan orang ke Hauzan yang rasa Dahaga nya tak hilang
oleh seteguk air. Tidak mengenal kata selesai atas apa yang dipikirkan, tidak

8
memikirkan apapun yang orang tak sudi memikirkan nya”. Begitulah filsafat, cinta
pada ilmu, cinta pada kebijaksanaan, dan cinta pada rasa cinta itu sendiri.
Menikmati filsafat yang mengasyikkan, memburu pengetahuan dengan
meragukan setiap pengetahuan, dan meyakini keraguan atas segala hal melalui
berbagai pertanyaan yang dijawab nya sendiri.

Secara ontologis, manusia memiliki kreativitas yang berfungsi mencermati


dirinya sebagai hamba Tuhan dan pemimpin di muka bumi. Hakikat
kehidupannya secara “tiba-tiba” hadir tanpa mengajukan permohonan untuk
dilahirkan. Manusia diberi akal untuk menggali segala sesuatu yang senyatanya
ada dan disaksikan. karakter manusia yang tidak pernah merasa puas dengan
yang dilihat dan dialaminya, merangsang akalnya untuk merenungi sedalam
mungkin seluruh yang nyata ada dan yang ada, tetapi tidak“nyata”. Akibatnya
lahirlah berbagai kesimpulan tentang segala yang dicernanya dan lahirlah
pandangan tentang cara berpikir filososfis mengenai hakikat sesuatu.

Pemahaman Filosofis tentang hakikat segala sesuatu dapat mengacu


pada dua hal mendasar, yaitu kenyataan adanya Firman-Firman Tuhan yang dia
kini sebagai petunjuk dan ciptaannya yang setiap hari dirasakan fungsinya oleh
manusia; peran permenungan Filosofis terhadap segala hal yang ada dan yang
mungkin ada untuk menemukan persepsi dan konsepsi tertentu. Permenungan
pada hakikatnya merupakan awal lahirnya pengetahuan.

Segala seluk-beluk yang bertalian dengan mengetahui berlandaskan pada


kemampuan kognitif atau kemampuan akali, yang disebut dengan rasionalitas.
Pada dasarnya, rasionalitas bersifat netral, dengan kemampuan menyamakan
dan membedakan (Analogi), dan melakukan Inferensi dengan logika deduktif
atau induktif. Kemampuan tersebut di istilahkan dengan kecerdasan, yang oleh
Plato disebut sebagai innate ideas. Dari Pemahaman itulah, dihasilkan ilmu ilmu
formal, seperti logika, matematika, dan statistika yang bersifat netral. Sumber
pengetahuan tidak hanya berakar dari akal pikiran manusia dengan kemampuan
kognitif nya, tetapi karena dilengkapi dengan kecerdasan memahami sarwa yang
ada yang real dan menantang manusia untuk menduga-duga dalam memikirkan
dan memahaminya pada setiap kejadian dan yang mungkin terjadi secara
fenomenologis. Kejadian sebagaimana yang tampak dan dirasakan manusia
merupakan hakikat keberadaan alam yang tidak pernah pasti dan mutlak.
Perubahan yang terjadi pada alam memungkinkan pertumbuhan filsafat yang
universal, yang implikasinya melahirkan ilmu pengetahuan yang kebenarannya
relatif sebagai wujud dari adanya kebenaran mutlak.

B. Objek Materia dan Objek Forma Filsafat

Dapat berbicara tentang yang ada dan yang mungkin ada. Pencarian
terhadap yang ada dan yang mungkin ada dilakukan secara Kontemplatif,

9
radikal, sistematis logis, kritis, dan spekulatif, terutama permasalahan yang tidak
dapat dijangkau oleh pendekatan empiris dan observasi yang merupakan
pendekatan saintis.

Segala sesuatu yang ada artinya adalah segala yang ada dengan
sendirinya dan keberadaannya disebabkan oleh keberadaan yang lain. Dari
segala sesuatu yang ada, ada yang wajib adanya tanpa ada kemungkinan lain
dan ada yang tidak wajib adanya dan wajib bergantung pada berbagai
kemungkinan.

Sesuatu yang wajib ada secara Filosofis adalah wujud dari keberadaan
yang ada dengan sendirinya dan tidak berada dengan sendirinya. Ada kalanya
ada itu tergambar oleh Panca Indra, seperti langit, bumi, bulan, bintang, manusia,
dan gunung gunung, dan ada kalanya tidak tampak menurut keterbatasan Panca
Indra manusia, misalnya Sang Pencipta alam ini.

Segala sesuatu yang materil dan imateril menjadi obyek material filsafat.
Dilihat dari kedudukannya sebagai manusia di muka bumi ataupun fungsi dan
perannya sebagai anggota masyarakat, manusia merupakan obyek material
filsafat. Akan tetapi, nasib dan takdir manusia, Jodoh dan rezeki, batas usia, dan
masa depannya, bukan lagi obyek material, melainkan obyek formal dalam
filsafat. Oleh karena itu,jawaban jawaban Filosofis terhadap masalah demikian,
murni mengandalkan logika tanpa mempedulikan kebenaran observatif yang
ditemukan oleh Sains.

Filsafat menyatakan seluruh yang ada dan yang mungkin ada sebagai
realitas yang sebenarnya, sebagaimana hakikat segala sesuatu adalah hakikat
itu sendiri. Adapun di luar substansi sesuatu adalah kebohongan yang dibumbui
rasionalisasi dan logika manusia, sehingga manusia sering “terjebak” dalam
keberadaan yang semu (pseudo), bukan yang sebenarnya. Kebenaran yang
hakiki tidak membutuhkan penafsiran dan rekayasa, yang memerlukan semua itu
adalah manusia yang dihantui hasrat keingintahuan nya. Hasrat terus menerus
bertanya terhadap yang sudah benar-benar nyata dan benar. Keraguan pada
jiwa dan pikiran manusia, membawa manusia untuk tidak mengenal kata berhenti
mencari tahu terhadap yang sudah diketahui sehingga pengetahuan yang
terkuasai dapat lebih bermanfaat bagi kepentingan dirinya sendiri.

Realitas yang dapat dijumpai manusia ada dua macam, yaitu:

1. Realitas yang disepakati (agreement reality), Yaitu segala sesuatu yang


dianggap nyata karena kita mengatakan sebagai kenyataan;
2. Realitas yang didasarkan pada pengalaman (eksperimental Realiti), yaitu
pengalaman manusia sendiri.

10
Berdasarkan dua realitas tersebut, pengetahuan pun terbagi menjadi dua
macam, yaitu: (1) pengetahuan yang diperoleh melalui persetujuan; dan (2)
pengetahuan yang diperoleh melalui pengetahuan langsung atau observasi.

Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa yang


dikatakan orang lain karena kita tidak dapat belajar segala sesuatu melalui
pengalaman kita sendiri. Kebanyakan pengetahuan kita, menurut Suhaya,
sebagai individu individu dalam masyarakat, adalah pengetahuan sementara
yang tidak Kekal (Transitory knowledge). Melalui rentangan waktu yang amat
panjang, pengetahuan mengalami berbagai macam pengklasifikasian. Ada
pengetahuan yang sifatnya wacana intelektual yang tidak dapat diterapkan, tetapi
hanya dapat dipikirkan oleh manusia. Ada pengetahuan yang tidak hanya
dipikirkan manusia, tetapi dapat diterapkan dalam bentuk bentuk riil yang
membantu mempermudah kehidupan manusia. Pengetahuan Terapan ini disebut
juga dengan teknologi. Ada pula pengetahuan yang tidak dapat dipikirkan, tetapi
dapat dirasakan, sebagaimana segala bentuk keyakinan spriritual listrik yang
lebih dominan untuk dirasakan kehangatannya dalam keberimanan manusia
yang beragama.

Dalam filsafat, semua realitas tidak berarti realitas yang sebenarnya. Oleh
karena itu, kebenaran tidak dapat dibatasi oleh hasil uji coba di laboratorium atau
hanya karena sudah terbukti secara empiris. Pertanyaan yang mendorong
munculnya kebenaran berasal dari sudut hakikatnya. Dalam filsafat, semua itu
berada dalam kajian ontologis, yaitu Pendalaman rasional tentang hakikat segala
sesuatu yang tidak akan terjawab oleh sains. Sebagaimana obyek material
filsafat yang mengkaji keberadaan Tuhan, manusia, hidup dan mati, dunia dan
akherat, cinta, dan benci, semuanya yang ada adalah obyek material yang
memiliki hakikat masing masing. Akan tetapi, dari semua hakikat benda benda
natural dan Supranatural, ada yang paling hakiki dan ada yang ada dengan
sendirinya. Filsafat berjuang matimatian membongkar semua kemungkinan
sehingga sumber setiap ekstensi dapat ditemukan secara rasional, logis, dan
sistematis.

Ontologi adalah teori hakikat yang menganalisis setiap ekstensi sehingga


hakikat ilmu ditemukan. Berbicara tentang sumber setiap pengetahuan, dalam
filsafat lahir pendekatan kedua, yaitu epistimologi. Epistimologi berasal dari
bahasa Latin, episteneyang berarti knowledge, yaitu pengetahuan, yaitu
logosberarti theory. Jadi, epistemologi berarti “teori pengetahuan” atau teori
tentang metode, cara, dan dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang
hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia (sarwar, 1994:22). Istilah
“epistemologi” pertama kali dipakai oleh J.F. Ferrier, Institutes of Methaphysics
(1854 M) yang membedakan dua cabang filsafat, yaitu epistemologis dan
ontologi.

11
Dalam sifat, epistimologi adalah cabang filsafat yang meneliti asal,
struktur, Methode, dan kesahihan pengetahuan. Epistimologi berbeda dengan
logika. Jika logika merupakan Sains formal (formal science) yang berkenaan
dengan prinsip-prinsip Penalaran yang shahih, epistimologi adalah sains
Filosofis (philosopichal science) tentang asal usul pengetahuan dan
kebenaran.Puncak Pengkajian epistimologi adalah kebenaran yang membawa
kita pada pintu metafisika.

Epistimologi juga merupakan analisis Filosofis terhadap sumber sumber


pengetahuan. Sumber dan cara memperoleh pengetahuan merupakan kajian
epistimologi. Sebagai contoh, bahwa semua pengetahuan berasal dari Tuhan,
artinya Tuhan sebagai sumber pengetahuan. Adapun landasan ontologis suatu
ilmu menjelaskan obyek yang ditelaah ilmu tersebut, wujud hakiki nya, serta
hubungan object tersebut dengan daya tangkap manusia, seperti berpikir,
Merasa, dan mengindera, yang membuahkan pengetahuan. Landasan
epistemologis suatu ilmu menjelaskan proses dan prosedur yang memungkinkan
ditimbang hanya pengetahuan berupa ilmu serta hal-hal yang harus diperhatikan
agar diperoleh pengetahuan yang benar. Landasan ini juga menjelaskan
kebenaran serta kriterianya, dan cara untuk mendapatkan pengetahuan. Tujuan
yang hendak dicapai oleh pengetahuan dalam filsafat menjadi kajian ontologis.

Epistimologi memper soal kan kebenaran pengetahuan. Pengetahuan


yang benar adalah pengetahuan yang telah memenuhi unsur unsur
epistemologis yang dinyatakan secara sistematis dan logis. Dalam epistimologi,
dasar, batas, dan obyek pengetahuan di per bincangkan secara lebih terperinci.
Menurut Sutarjo A. WiraMiharja, epistimologi memper soal kan kebenaran
pengetahuan, sedangkan filsafat ilmu secara khusus memper bincangkan ilmu
dan ke ilmuan pengetahuan.

Dalam epistimologi dibicarakan tentang sumber pengetahuan dan


sistematikanya. Ilmu atau Sains adalah pengetahuan pengetahuan yang
gejalanya dapat diamati berulang ulang melalui eksperimen, sehingga orang lain
pun dapat melakukan eksperimen dalam kasus yang sama, dalam waktu dan
tempat yang berbeda. Dalam epistimologi dibicarakan pula hakikat ketepatan
susunan berfikir yang secara akurat digunakan pula untuk masalah masalah
yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi sebuah
pernyataan. Isi pernyataan adalah sesuatu yang ingin diketahui. Oleh karena itu,
epistimologi relevan dengan ilmu pengetahuan.

Kajian utama filsafat sebagaimana dikemukakan di atas adalah berkaitan


dengan masalah ilmu dan pengetahuan atau tahu, mengetahui dan pengetahuan
(kognitio). Maksudnya, memikirkan segala hakikat pengetahuan atau hakikat
keberadaan segala sesuatu yang bersifat fisikal ataupun metafisikal, baik yang
umum maupun yang khusus.Berikutnya dilihat dalam perspektif nilai atau
aksiologi. Oleh karena itu, gajiannya mengarahkan diri pada dasar dasar

12
pengetahuan dalam bentuk Penalaran, logika, sumber pengetahuan, dan kriteria
kebenaran. Demikian pula, dengan aspek ontologi nya, kajian tentang hakikatnya
mengarahkan diri pada hal hal yang sifatnya minta fizikal, asumsi all, dan batas
batas penjelajahan ilmu yang dilengkapi perspektif epistemologis tentang sistem
berfikir dan struktur pengetahuan ilmiah.23

Dengan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa obyek penyelidikan


filsafat akan terus bekerja hingga masalah yang dikaji nya ditemukan sampai
pada akarnya. Bahkan, filsafat baru menampakkan hasil kerjanya pada saat ilmu
pengetahuan telah berhenti menyelidiki nya, yaitu ketika ilmu tidak mampu lagi
memberi jawaban atas masalah yang dikaji nya. Oleh karena itu, ciri khas filsafat
tidak dimiliki oleh ilmu pengetahuan. Begitu pula sebaliknya, ilmu pengetahuan
memiliki khas yang tidak dimiliki oleh filsafat. Dalam tubuh filsafat terdapat sistem
kerja yang menyeluruh, mendasar, dugaan-dugaan logis, rasional dan spekulatif.

Epistimologi adalah filsafat yang mengkaji seluk-beluk dan tata cara


memperoleh pengetahuan, sumber sumber pengetahuan, Methode, dan
pendekatan yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang logis dan
rasional. Cara kerjanya dimulai dengan mengajukan pertanyaan, dari mana
pengetahuan itu diperoleh? Bagaimana cara memperoleh nya, dan mengapa
pengetahuan yang diperoleh demikian adanya?

Apabila sumber pengetahuan telah ditemukan, pertanyaan berikutnya


berkaitan dengan manfaat pengetahuan. Dalam filsafat, jawaban atas
Pertanyaan tersebut dikaji melalui pendekatan aksiologi. Filsafat nilai yang
memandang bahwa hakikat segala sesuatu adalah manfaat yang ada dalam
sesuatu tersebut bagi kehidupan manusia. Ada pula yang memandang bahwa
hakikatnya terletak pada nilai material dan nilai estetika suatu dampak
pengetahuan. Filsafat tentang nilai manfaat merupakan alat filsafat untuk
menemukan hakikat segala yang telah diketahui dengan tidak menafikan
paradigma sebelumnya yang bermuara pada Pemahaman ontologis dan
epistemologi.

C. Struktur dan Pembagian Filsafat

Struktur filsafat adalah cara kerja filsafat dalam mencari kebenaran. Cara
kerja filsafat adalah sebagai berikut;

1. Menjadikan rasio sebagai alat utama untuk menemukan kebenaran;

23
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu1990 hlm 39

13
2. Me-recycle na lisasi merasionalisasi segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada dengan cara berfikir yang mendalam, logis, dan rasional;
3. Menjadikan semua obyek ilmu pengetahuan sebagai obyek material filsafat,
tetapi cara kerjanya tidak mengenal kata akhir sebuah kebenaran karena
kebenaran telah terbukti kebenaran yang bersifat observasi dan empiris bagi
filsafat baru langkah awal menuju pencarian kebenaran yang hakiki;
4. menjadikan cara kerja rasio yang sistematis, radikal, dan spekulatif.

Obyek kajian filsafat tidak sebatas segala sesuatu yang alamiah, tetapi
sesuatu yang sebenarnya Dzat yang menciptakan alam, Yang tidak bersifat
alamiah, yaitu Tuhan tak segan segan dijadikan bahan perdebatan dan
perbincangan filsafat.

Struktur filsafat yang mengikuti tiga paradigma utama berusaha


memberikan jawaban atas berbagai keraguan manusia terhadap kebenaran
tentang segala yang tampak, bahkan yang nyatanya tidak tampak. Seperti telah
diungkapkan pada awal bab ini, bahwa setiap hakikat pengetahuan dikaji secara
ontologis, setiap sumber pengetahuan dikaji secara epistemologis, dan setiap
manfaat atau fungsi pengetahuan menjadi kajian aksiologis

Secara epistemologis, pertanyaan Filosofis nya adalah dari mana asalnya


pengetahuan dan bagaimana memperoleh nya? Apabila yang dihadapi adalah
ilmu, pertanyaannya pun sama. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan merupakan
obyek kajian epistimologi. Akan tetapi, ketika pertanyaan tersebut dijawab bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman, muncul pertanyaan, “ bagaimana
memperoleh pengalaman tersebut, dan ketika jawabannya bahwa ilmu berasal
dari kesepakatan para ilmuwan setelah berakhir atas hasil uji, dipertanyakan,
bagaimana melakukan pengujian terhadap pengetahuan yang dimaksudkan
sehingga bersepakat terhadap kebenaran hasil uji itu sendiri. Pertanyaan yang
berkaitan dengan seluk-beluk segala bentuk pengetahuan merupakan kajian
epistimologi.

Pada dasarnya, pengetahuan memiliki tiga kriteria, yaitu:

1. Adanya sistem ide pada pikiran.,


2. Penyesuaian antara ide dengan realitas benda benda;
3. Adanya keyakinan relavansional24

Ide dalam pikiran manusia adalah ide yang terdapat dalam alat pikir, yang
disebut dengan akal atau otak. Tidak ada seorang pun yang dapat
menggambarkan bentuk kongkrit dari akal. Yang ada hanyalah bentuk fizikal otak
yang terdapat di dalam kepala manusia. Dengan Pemahaman tersebut, tentu
yang dimaksud dengan sistem gagasan dalam pikiran manusia adalah lancarnya
kerja otak dalam menangkap segala sesuatu, mengembangkan nalar dalam

24
Juhaya S. Pradja, Aliran-aliran dalam filsafat, Bandung: piara 2000, hlm 6

14
sebuah ide tentang sesuatu yang dimaksudkan, dan membentuk konsep demi
pembatasan sesuatu yang digagas.

Ciri penting epistimologi adalah pengkajiannya terhadap berbagai ide


tentang pengetahuan. Ide dapat dikatakan sebagai sumber, watak, dan prinsip
prinsip kebenaran pengetahuan. Ide yang dikembangkan terus menerus akan
menjadi suatu penalaran, sedangkan Penalaran merupakan proses berfikir dalam
menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Menurut Jujun suriasSumantri,
berfikir merupakan kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa
yang disebut benar bagi setiap orang tidak sama. Oleh sebab itu, kegiatan
proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar pun bervariasi.
Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai kriteria kebenaran, dan
kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran.
Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran sesuai dengan kriteria
masing masing.

Gagasan dalam pikiran manusia yang membentuk Penalaran, merupakan


alat mencari solusi bagi masalah yang dihadapi setiap hari atau mungkin setiap
detak jantung manusia. Sebagai suatu kegiatan berfikir, Penalaran mempunyai
ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah adanya suatu pola berpikir yang secara luas
dapat disebut logika. Dengan demikian, setiap Penalaran memiliki logika masing
masing.Dalam bahasa Jujun Surya Sumantri, kegiatan Penalaran merupakan
suatu proses berfikir logis, yaitu berfikir dengan mengikuti hukum logika tertentu.
Itu artinya berfikir logis adalah berfikir yang dipandang logis menurut pengikut
logika tertentu, dan bisa jadi dipandang kurang logis oleh pengikut logika lainnya.

Ciri kedua Penalaran adalah sifat analisis dari proses berfikir. Dalam
menganalisis persoalan, digunakan hukum-hukum logika normatif. Dalam berfikir
ilmiah, hukum logika yang dipergunakan adalah logika ilmiah karena hukum
logika yang lain akan mengabarkan proses analisis dan penarikan
kesimpulan.Hal inilah yang menjadi penyebab tidak semua kegiatan berfikir
bersifat logis dan analistis, sebagaimana menganalisis sesuatu dengan
perasaan, padahal perasaan tidak termasuk Penalaran. Hanya, gagasan bisa
muncul dari pekanya perasaan yang disebut intuisi. Intuisi merupakan kegiatan
berfikir yang nonalitis Yang tidak mendasarkan diri pada pola berpikir tertentu.
Berfikir intuitif memegang peranan penting pada masyarakat yang berfikir
nonalitis, Yang kemudian sering ber galau dengan perasaan. Jadi, secara luas,
dapat dikatakan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikategorikan pada cara
berfikir analitis, yang berupa Penalaran dan cara berfikir yang nona Liteace yang
berupa intuisi dan perasaan.

Pemikiran tentang adanya gagasan dalam pikiran, adanya penalaran


analitis dan analitis atau intuitif merupakan obyek kajian yang mendasar dalam
epistimologi. Sumber pengetahuan manusia berasal dari gagasan, Penalaran,

15
dan intuisi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa telah ada gagasan analitis
dan gagasan intuitif.

Sumber gagasan itu bermacam-macam, sebagaimana sumber dari intuisi


pun tidak dalam satu rupa dan bentuk. Sumber gagasan adalah akal pikiran
manusia, sedangkan sumber Intuisi adalah kepekaan perasaan manusia dalam
menangkap isyarat Mitafisikal atau Supranatural, mungkin saja berasal dari
Wahyu yang berlaku untuk para nabi dan Rasul, atau dari Ilham bagi orang yang
dipilih oleh Tuhan, atau bahkan yang ada yang dari mimpi. Selain itu, akumulasi
pengalaman manusia dapat dijadikan sumber pengetahuan analitis dan intuitif,
sehingga kebenaran yang diperoleh atas analitis dan intuitif, Sehingga kebenaran
yang diperoleh atas Penalaran Analitik dan intuitif yang bersandarkan
pengalaman dapat disimpulkan oleh kedua kategori kebenaran, yakni kebenaran
ilmiah yang rasional empiris, dan kebenaran normatif-intuitif. Kedua kebenaran
tersebut muncul disebabkan oleh adanya reflektansi antara gagasan dengan
kenyataan material nya, dan relevansi antara kejadian dengan keyakinan dalam
perasaannya. Oleh karena itu, Penalaran intuitif, dan proses kerjanya masing
masing biasanya berakhir dengan keyakinan tentang persesuaian yang
dimaksudkan. Hanya perbedaan nya, jika Penalaran didominasi oleh gagasan
dalam pikiran, sedangkan Intuisi didominasi oleh kekuatan perasaan atau yang
lebih dikenal dengan pengetahuan rasa.

Pengetahuan diperoleh dengan tiga cara, yaitu dengan gagasan dalam


pikiran atau ide, pengalaman, dan intuisi. Ahmad Tafsir mengatakan bahwa
pengetahuan dibagi tiga, yaitu: (1) pengetahuan Sains., (2) pengetahuan filsafat;
(3) pengetahuan mistik. Cara untuk memperoleh tiga macam pengetahuan serta
kebenaran dari tiap tiap pengetahuan tersebut, menjadi obyek epistimologi.
Kalau salah satu jenis pengetahuan adalah pengetahuan Sains, dari mana
diperoleh nya dan bagaimana cara mendapatkan pengetahuan Sains tersebut?
Sama halnya dengan pengetahuan filsafat dan mistik, setiap pengetahuan pasti
ada sumbernya. Perhatian mendalam terhadap tiga macam pengetahuan itu
selalu berpangkal dari rasio dan rasa atau akal dan hati. Hal ini karena manusia
tidak memiliki apapun untuk melahirkan gagasan nya, kecuali disebabkan oleh
adanya pemikiran atau Penalaran terhadap segala sesuatu yang diproduksi oleh
akal dan hati.25

Secara epistemologis, kebenaran tidak Berujung dan setiap jawaban


mengandung kebenaran, tetapi bersifat logis spekulatif. Pembagian utama filsafat
dapat dilihat dari tiga segi:

1. Objeknya, yaitu objek material dan objek formal;


2. Cara kerjanya, yaitu berfikir mendalam, radikal, sistematis, rasional, dan logis;
3. kebenarannya, yaitu spekulatif.

25
Ahmad Tafsir, pengantar Filsafat Umum, bandung: Remaja Rodaskaya, 2005 hlm 23.

16
D. Metodologi Filsafat

Metode mempelajari filsafat ada tiga, yaitu (1) metode sistematis., (2)
historis., (3) metode kritis.Belajar dengan Methode sistematis dimulai dengan
banyak membaca buku filsafat, memahami pengertiannya, memahami obyek
yang dikaji, sistematika filsafat, makna ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
Sistematis artinya tersusun secara normatif, yang didalamnya terdapat sub
bahasan atau sub materi yang saling berkaitan atau integral.

Belajar dengan metode historis adalah mempelajari sejarah filsafat, seluk-


beluk, dan kelahirannya. Filsafat Yunani dan barat, filsafat di kalangan filsuf
Muslim, filsafat Kristiani, filsafat Hindu, filsafat Buddha, filsafat Cina, dan filsafat
India dipelajari secara historis dan mendalam. Selain itu, dipelajari pula toko demi
tokoh, pikiran pikirannya, para pengikutnya, pengaruh filsafat nya terhadap dunia
pemikiran dan ilmu pengetahuan, serta biografi para filsuf sehingga cerita
kematiannya. Semuanya digali dengan Seksama. Demikian pula, semua yang
terjadi dengan filsafat klasik; Yaitu eksistensi filsafat pada abad pertengahan dan
pada masa modern, Serta semua yang mengandung unsur sejarah dikumpulkan,
dibaca, dihafalkan, dipahami, dan dianalisis secara Filosofis.

Metode ketiga, yaitu mempelajari filsafat dengan metode kritis. Metode


kritis mulai melibatkan Penalaran yang Kontemplatif dan radikal, bahkan
pemikiran para filsuf bukan sekedar dipahami, melainkan dikritisi. Dalam metode
kritis digunakan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan dialektis yang
mengajukan tiga jalan kritis, yaitu tesis, dan antitesis.

Menurut Juhaya S. Pradja, metodologi filsafat ada tiga, yaitu: (1) metode
deduksi, yaitu suatu metode berfikir yang menarik kesimpulan dari prinsip prinsip
umum kemudian diterapkan pada sesuatu yang bersifat khusus; (2) metode
induksi, yaitu metode berfikir dalam menarik kesimpulan dari prinsip khusus,
kemudian diterapkan pada sesuatu yang bersifat khusus; (3) metode dialektika,
yaitu metode berfikir yang menarik kesimpulan melalui tiga tahap atau jenjang,
yaitu tesis, antitesis, dan sintetis.

Ketiga metode tersebut secara operasional sama dengan dua


pendekatan, yaitu pendekatan logika dan dialektika. Sumaryono menegaskan,
kritik yang diarahkan pada filsafat adalah filsafat kekurangan Methode dalam
pembahasan nya. Filsafat lebih banyak dikaji oleh orang yang jelas jelas bukan
filsuf atau mengaku ngaku filsuf, alias filsuf palsu. Kehadiran filsuf, menurut
pandangan mereka, hanya rangkaian kalimat yang membingungkan atau
sekedar tekateki masalah yang secara aksiologis tidak bernilai Filosofis. Lebih
parah lagi, filsafat dijadikan alasan untuk mempertahankan kemerdekaan
“berpikir” tanpa mempertimbangkan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat, sebagaimana “tubuh perempuan” yang di Eksploitasi atas nama

17
seni dan kebudayaan, tetapi berujung dengan tujuan ekonomi. Kearifan filsafat
kurang ditonjolkan.26

Kehancuran substansi filsafat adalah adanya pengambilan manfaat


kebebasan berfikir demi segala sesuatu yang pragmatis. Meskipun Pragmatisme
merupakan salah satu aliran dalam filsafat, tujuan utama Pragmatisme bukan
berarti mengikuti “hawa nafsu” yang mengabaikan nilai nilai. Secara substansial,
Pragmatisme membenarkan manfaat kebendaan, tetapi manfaat sesuatu bukan
hanya bersifat materil, melainkan lebih hakiki dari itu, yaitu manfaat kemanusiaan
dan sosial kultural yang dapat membangun kerajaan rasional seluruh umat
manusia. Dengan demikian, filsafat bukan untuk kebendaannya, melainkan demi
keabadian dari rasa puas yang diawali oleh fungsi-fungsi kebendaan.

Para filsuf yang berusaha menyusun metode untuk mendapatkan


pengakuan universal ataupun untuk mempertahankan kelayakan filsafat sebagai
sebuah disiplin ilmu adalah sebagai berikut.

1. Plato (427-347 SM) membahas filsafat dengan metode Dialektik, yaitu dua
orang yang berdialog saling melemparkan pertanyaan dan memberikan
jawaban masing masing secara bergantian. Kebenaran yang diperoleh atas
dasar metode Dialektik bertanya dan menjawab ini, secara berangsur angsur
mengurangi keraguan ataupun ketidakjelasan atas suatu hal. Tokoh utama
yang diperankan oleh Plato dalam dialog itu adalah Socrates, sebagai orang
yang mengajukan pertanyaan-pertanyaannya di sudut-sudut kota Athena.
Pada zaman itu, istilah “dialog” menjadi istilah khusus yang dipergunakan
untuk metode “rujuk kembali” dari dua pihak yang bersengketa, baik yang
bersifat domestik, akademik maupun internasional.Perang juga dapat
diselesaikan melalui dialog di meja perundingan. Meskipun penggunaan nya
tidak diragukan lagi, Methode dialog platonik ini bukan metode yang paling
utama bagi pembahasan filsafat. Bahkan, menganggap semua persoalan
kefilsafatan dapat di atasi dengan metode ini adalah sesuatu yang naif. 27
2. Aristoteles (384-322 SM) menjadi terkenal karena Methode Silogisme atau
logikanya. Dengan menggambungkan pembenaran dan penyangkalan
diantara tiga termasuk, sebuah kesimpulan yang meyakinkan dapat diperoleh
dengan metode ini jika dua termasuk cara terpisah membenarkan terima
ketiga, dapat disimpulkan bahwa kedua termasuk tersebut saling
membenarkan satu sama lainnya. Akan tetapi, tidak demikian jika hanya satu
terma yang membenarkan terima ketiga, sedangkan terima pertama dan
kedua saling menyangkal satu sama lain. Aristoteles merangkai semua
kombinasi yang mungkin terjadi dan merumuskan hukum-hukum untuk
mengatur kombinasi tersebut. Metode ini menjernihkan dan membuang
keraguan jalan pikiran atas dasar hubungan antara tiga termasuk. Metoda

26
Sumaryono, hermeneutik, 1993, hlm 16
27
Ibid, hlm 17-20

18
yang diciptakannya ini pada akhirnya membuat Aristoteles mendapat Julu kan
“bapak logika”.

Methode yang dikembangkan Aristoteles dipandang tidak ilmiah,


terutama setelah munculnya FrancisBacan, yang menulis buku Novum
Organum (Organon baru) dengan maksud mengkritik logika Aristoteles yang
dianggapnya kekurangan aturan dan prinsip yang berguna untuk menetapkan
hukum penularan yang ilmiah.

3. Metode ThomistikYang dikembangkan oleh Thomas Aquinas secara


terperinci mengetengahkan persoalan yang harus dijawab dalam bentuk
sebuah pertanyaan. Kemudian, melangkah pada pengajuan keberatan
keberatan yang tampaknya diarahkan untuk menopang jawaban-jawaban,
baik yang positif maupun negatif dan selanjutnya sampai pada argumentasi
yang secara bervariasi didahului dengan, “saya menjawab bahwa...” Seluruh
Methode ditutup dengan menjawab semua keberatan yang sudah diajukan
sebelumnya. Dengan cara ini, aku Inas berusaha menghapus semua
keraguan dan pertentangan paham. Bagi seorang penganut Thomisme atau
skolastik, metode ini sangat menyenangkan sebab sesudah menelusuri
keseluruhan rangkaian Methodis nya, ia akan mengalami kepuasan
intelektual dan tidak akan mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Di sinilah letak
kelemahan metode Thomistik.
4. Rene Descartes (1596-1650), Seorang ahli matematika Perancis yang
merasa prihatin atas kurangnya metode pada filsafat, menyusun metode
sendiri yang disebut dengan “metode skeptis”, sebuah metode yang
dipergunakan untuk menghapus keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan.
Sebagai gantinya, ia menciptakan bangunan Filosofis baru yang masing
masing blok bangunan itu dicoba dan diuji sehingga there bebas dari
keraguan. Descartes dikagumi dunia karena metodenya sebab ia meletakkan
prinsip prinsip untuk menilai validitas berbagai tuntutan kebenaran. Bukunya
yang berjudul “prinsip-prinsip filsafat” (principles ofphilosophy)
mengangkatnya menjadi bapak filsafat modern.
Descartes adalah seorang tokoh utama rasionalisme yang
menciptakan Methode “keraguan” terhadap segala sesuatu dalam berfilsafat.
Ia melakukan semua obyek yang dapat dilihat oleh Panca Indra, bahkan pada
tubuhnya sendiri. Karena yang dilihatnya ketika sedang tersadar tidak
berbeda dengan yang dilihatnya dalam mimpi, berhalusinasi, dan ilusi, yang
sebenarnya “ada” yang mana? Apa yang sedang tertidur atau terbangun, lalu,
mengapa obyek yang dilihatnya sama?
Akan tetapi, Descartes berusaha menemukan kebenaran yang
meyakinkan, sehingga dengan memakai metode deduktif, semua
pengetahuan dapat disimpulkan. Descartes memahami rasio sebagai sejenis
perantara khusus untuk mengenal kebenaran. Kebenaran pengetahuan
ditelusuri dengan penalaran logis yang bertumpu pada metode deduktif.

19
5. Selain Descartes, penganut rasionalisme adalah Spinoza. Dia telah
menyusun sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur. Spinoza
berpandangan bahwa argumen argumen ilmu ukur merupakan kebenaran
kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, jika seseorang memahami
makna yang di kandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam dalil-dalil
mengukur, ia tentu akan memahami makna yang terkandung dalam
pernyataan sebuah garis lurus merupakan jarak paling dekat di antara dua
buah., Harus di akui kebenaran pernyataan tersebut, sebagai kebenaran
aksiomatik. Juhaya S.Pradja menjelaskan bahwa pada intinya tidak perlu ada
bahan bahan bukti lain, kecuali makna yang terkandung dalam kata-kata yang
dipergunakan. Spinoza menetapkan definisi berbagai istilah seperti
“substansi” dan “sebab bagi dirinya sendiri”, dan juga berbagai dalil, misalnya
“apa yang ada, pasti ada”, yang semua itu dipandang sebagai kebenaran
tidak perlu lagi dibuktikan. Ia mencoba menyimpulkan dari kebenaran
kebenaran yang lain mengenai kenyataan, Tuhan, manusia dan kebaikan.
6. Metode Cartesian memiliki kelemahan yang bersifat historis. Sebab, metode
Cartesian di rumuskan justru pada saat ilmu pengetahuan secara pasti
membeberkan pengertian tentang matahari, bumi, dan alam semesta sebagai
suatu yang integral. Methode ini diperlukan untuk masa tertentu saja. Filsafat
harus mulai dari titik nol kalo harus memperoleh kembali kejayaan nya yang
telah hilang. Methode Descartes menjadi semacam anakkronistik atau
ketinggalan zaman dan tidak lagi up to date.
7. Methode Descartes menimbulkan dampak dan pengaruh terhadap metode-
metode yang muncul kemudian. Empirisisme adalah salah satu Methode
yang tidak mau menerimakebenaran jika tidak didasarkan pada pengalaman
dan dibuktikan dengan Panca Indra. Bayang-bayang Descartes tampak jelas
dalam Empirisme bahkan Immanuel kan merupakan salah satu filsuf yang
terpengaruh oleh pikiran Descartes.
8. Metode klasik bersifat reflektif memandang kehidupan, dunia, dan interaksi
keduanya hanya sebagai refleksi dalam aktivitas menghadapi kehidupan dan
dunia lebih mengutamakan fungsionalitas kesadaran. Methode refleksi adalah
klasikal sebab dimulai dengan refleksi itu sendiri. Metode ini berpandangan
bahwa semua yang berkaitan dengan filsafat hanya refleksi.
9. Ada pula Methode yang kini mendominasi filsafat selama beberapa dekade,
yaitu metode Fenomenologi Edmund Husserl (1895-1939). Ia merumuskan
metode fenomenologis yang secara tepat mampu menempatkan filsafat
dalam jajaran ilmu ilmu lain. Ia berpandangan bahwa filsafat membutuhkan
sebuah metode yang tepat untuk menegaskan validitasnya dalam kehidupan
dan pengalaman hidup manusia sehari-hari. Akan tetapi, HusserlJuga
memakai kesadaran yang membawanya ke dalam skeptisIsme.Bagaimana
kesadaran dapat menetapkan kebenaran filsafat sejajar dengan kebenaran
dalam kategori ilmiah? Meskipun demikian, metode fenomenologis Husserl
telah menjadi ujung tombak munculnya aliran Eksistensialisme. Bahkan,
hampir dapat dipastikan bahwa Eksistensialisme dikenal karena pengaruh

20
metode Fenomenologi. Sebab, Eksistensialisme menggunakan Fenomenologi
sebagai Methode nya. Akan tetapi, sasaran Husserl. justru bertolak belakang
dengan yang ia inginkan sebab ia menghendaki filsafat menjadi sebuah” ilmu
pengetahuan yang sangat berpengaruh”. Hal ini tidak mungkin karena
Methode yang ia pergunakan bersifat subyektif dan kekurangan Ferry fixasi
yang universal. Methode Husserl membawa kembali sebagian dari metode
empirisisme dan Methode ragu ragu.
10. Metode fenomenologis, artinya fenomena di Derivasi dari kata benda phas
yang berarti “cahaya”. Kata kerjanya phainomai, artinya menampakkan diri.
Metode ini digunakan oleh Edmund Husserl (1859-1938 M). Fenomena
(gejala) bukanlah suatu selubung yang mewujudkan realitas dan juga bukan
sebagai penampakan realitas. Fenomenologi sengaja mengembalikan
kepada benda itu supaya ia berbicara mengungkap arti dirinya sendiri. Oleh
karena itu, Fenomenologi bersifat hakiki, murni, dan tidak terpengaruh oleh
ruang dan waktu. Fenomenologi menggunakan tiga langkah kegiatan, yaitu
(1) Reduksi fenomenologis, (2) Reduksi eidetis, (3) reduksi transendental.
Reduksi fenomenologis adalah menyaring setiap keputusan yang secara Naif
muncul terhadap obyek yang diamati, seperti keputusan yang subjektif
sehingga fenomena tampak murni. Pada Reduksi eidetis, obyek harus benar
benar hakiki atau edit this.id this adalah intisari atau pokok sejati. Jadi, tidak
ada sesuatu yang tersembunyi atau tertutup, segalanya terbuka. Adapun
Reduksi transendental adalah situasi dan kondisi subyek secara hakiki there
bebas dari pengalaman empiris dalam rangka mengimbangi kemurnian
fenomena sehingga yang tidak ada hubungannya dengan yang diteliti
dibersihkan dengan kesadaran murni. 28

Pada umumnya, metodologi filsafat dapat dipahami menjadi dua maksud.

1. Cara kerja filsafat dalam memikirkan obyek material dan obyek formal dengan
tiga pendekatan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu ontologi,
epistimologi, dan aksiologi.
2. Cara kerja filsuf dalam menggunakan filsafat sebagai metode berfikir
sistematis, logis, Kontemplatif, dan radikal. Para filsuf memiliki cara masing-
masing. Ada yang berpijak dari “keraguan” terhadap segala sesuatu; Ada
yang menggunakan pendekatan falsifikasi, yaitu dengan mengetahui
kelemahan atau kesalahan dalam berfikir, sebagaimana dilakukan oleh Karl
Popper; Ada yang berangkat dari pandangan aksionatik transendental yang
menetapkan bahwa “Yang ada” hanyalah “Dzat yang maha ada”, maka
semua “tidak ada”. Bahkan, ada juga filsuf yang bertitik-tolak dari pandangan
bahwa segala yang ada adalah “persepsi subjektif”. Demikian seterusnya.

Ada tiga pendekatan dalam berfilsafat, yaitu:

28
Abdul Rozak dan Isep Zainal Arifin, filsafat umu, bandung: Al-Fabetha 2002, hlm 81-82

21
1. Pendekatan naturalistik, yaitu pendekatan Filosofis dalam memahami segala
sesuatu dengan bertitik-tolak dari pandangan utama bahwa sumber dari
segala yang ada dan yang mungkin ada adalah keadaan alam jagat raya ini;
2. Pendekatan Supranatural, yaitu pendekatan yang berangkat dari pandangan
bahwa setiap yang mengalami perubahan bukan keberadaan yang
sesungguhnya. Dengan demikian, hakikat segala yang ada adalah yang
menciptakan segala yang mungkin ada. Segala yang ada yang mengawali
segala “awal adanya perubahan” itu sendiri;
3. Pendekatan relativistik, yaitu semua pikiran, Pemahaman, filsafat manusia
mengandung kebenaran yang nisbi, termasuk pandangan bahwa zat yang
ada yang mengadakan segala yang mungkin ada. Apabila kebenaran suatu
pengetahuan dipandang irasional, secara normatif dikategorikan tidak ilmiah.
Akan tetapi, sesuatu yang tidak ilmiah bagi filsafat masih merupakan obyek
kajian karena kerja filsafat bukan hanya pada pengetahuan ilmiah, termasuk
yang tidak ilmiah.Berfikir kritis terhadap sesuatu yang Metafizik merupakan
obyek filsafat, baik perspektif ontologi maupun epistimologi. Tuhan yang
diyakini umat manusia sebenarnya tidak ilmiah, tetapi hakikat Tuhan,
keberadaan, dan kekuasaannya sangat logis. Filosofika tersebut didominasi
oleh karakteristik filsafat yang selalu mencari kebenaran spekulatif.

Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa Anaximander menyatakan substansi


pertama yang ada dengan sendirinya dan bersifat Kekal adalah udara sebab
udara selalu dibutuhkan dalam kehidupan. Dengan demikian, ada dua jawaban
yang “benar” menurut argumen masing-masing sebagai bibit dari relativisme
kebenaran yang kelak dikembangkan dalam filsafat Sofisme.

Paham relativisme semakin mempunyai dasar setelah Heracitus


menyatakan bahwa siapa pun tidak akan dapat terjun ke dalam sungai dua kali
karena air sungai selalu mengalir.Perubahan pada alam bersifat abadi sehingga
bersifat dinamis, selalu bergerak sebagai bentuk terjadinya perubahan pada
kosmos. Dengan demikian, kebenaran pun terus bertambah, tidak tetap. Dari
sinilah, akal mulai mengoyak Jatidiri kebenaran yang di produknya sendiri.

Demikian pula, Georgias dengan tiga proposisinya. Pertama, tidak ada


yang ada, artinya bahwa realitas itu sebenarnya tidak ada karena kebenaran
selalu berakhir dengan Paradoks, sehingga sifatnya tunggal dan majemuk,
terbatas dan tidak terbatas, dicipta dan tidak dicipta.Karena senantiasa demikian,
lebih baik tidak berfikir apapun tentang realitas. Kedua, apabila sesuatu itu ada,
ia tidak akan dapat diketahui karena pengen raan tidak dapat dipercaya. Indra
adalah sumber ilusi. Bahkan, akal, tidak mampu meyakinkan manusia tentang
bahan alam ini karena terjebak oleh subjektifitas. Berfikir selalu sesuai dengan
kemauan dan ide masing masing yang diterapkan pada fenomena maka proses
ini tidak akan menghasilkan kebenaran.Ketiga, sekalipun realitas itu dapat
diketahui, ia tidak akan dapat diberitahukan kepada orang lain karena kebenaran

22
komunikasi melalui kata kata tidak sesuai dengan realitas yang diketahui. Kata-
kata tidak menyuguhkan kebenaran absolut, tetapi senantiasa menyuguhkan
Relativitasnya yang absolut.

Metode kajian filsafat dapat juga menggunakan Methode intuitif atau


intuition (Inggris) dan intueri-intuitus (Latin), in (pada) tueri (melihat atau
menonton). Secara terminologis, intuisi adalah Pemahaman, pengenalan,
penglihatan, atau penangkapan (Apra hansip) terhadap suatu kebenaran secara
langsung tanpa melalui Inferensi (penyimpulan). Metode ini sangat berbeda
secara diametris dengan metode empiris dan rasionallistrik yang proses
penggunaannya melalui pengamatan dan pengalaman secara langsung.Impresi
juga berarti daya (kemampuan) untuk memiliki pengetahuan segera dan
langsung mengenai sesuatu tanpa mempergunakan rasio. Bahkan, intuisi juga
dapat di definisikan sebagai pengetahuan atau insight (Pemahaman) bawaan
atau naluriah tanpa mempergunakan PancaIndra, pengalaman biasa, atau akal
budi. Metode ini, antara lain digunakan oleh Plotinus dan Hendri Bergson.
Sebagai sebuah metode yang proses nya menggunakan aktivitas kontemplasi
dengan melakukan perenungan secara intens dan mendalam, pada dasarnya
metode Intuisi bukan Methode antirasional, melainkan Suprasional, bahkan
bersifat spiritual.29

Pada mulanya, metode ini digunakan oleh Plotinus (205-270 M). Lalu
banyak digunakan oleh para sufi Muslim, seperti Ibn Arbi (1165-1240) dan
belakangan dikembangkan oleh Hendri Bergson (1859-1941 M).

secara global, intuisi dapat di klasifikasi kan dalam dua bentuk. Pertama,
intuisi Indri Awi, ditemukan dalam kehidupan binatang meskipun secara lebih
sempurna, ditemukan dalam kehidupan manusia. Tampaknya, nilai Intuisi
sebenarnya bermula dari kemampuan melihat yang sangat kuat karena intueror
(Latin), berarti saya melihat. Akan tetapi, pada kenyataannya, beberapa Indra
yang lain juga mempunyai intuisi dengan cara sendiri-sendiri.Secara lebih
sempurna, Intuisi merupakan persepsi langsung. Oleh sebab itu, Imajinasi dapat
dinyatakan sebagai Intuisi sepanjang Imajinasi itu tersusun atas unsur-unsur
intuitif, murni Indriawi, sekaligus mengabstraksi mengabstraksi kan eksistensi
partikular tertentu yang tersajikan. Intuisi IndriAwi dan Imajinasi ini sangat
signifikan dalam kehidupan karena secara lebih luas, hampir semua pemikiran
yang rasional pun pada dasarnya berakar secara kontinu dari Intuisi ini.

Kedua, intuisi intelektual., Hanya ditemukan pada orang orang yang


mempunyai kemampuan rasional atau intelektual tinggi. Proses aktivitas Intuisi
ini berjalan ketika orang yang mempunyai intelektual tinggi itu melakukan
kontemplasi untuk mendekatkan dirinya kepada intelektual agen (yang maha
kuasa), yaitu dalam bentuk perlindungan yang sangat dalam sehingga intelektual
nya mampu berkomunikasi dengan intelektual agen. Ketika intelektual orang
29
Ibid

23
yang mempunyai intelektual tinggi itu bersatu dengan intelektual agen, orang
yang mempunyai Rohani sempurna itu telah memperoleh inspirasi inspirasi yang
tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang orang yang biasa atau pada umumnya.
Intuisi intelektual juga dapat disebut sebagai Intuisi mistik atau intuisi spiritual.
Intuisi ini hanya dimiliki oleh para ahli yang mempunyai diri dan jiwa yang sangat
bersih dan murni sehingga biasa dikenal dengan istilah manusia sempurna (al-
insan al-Kamil). Proses memperoleh nya,ketika seseorang berjiwa sempurna itu
mendekatkan dirinya (bermujahadah) melalui berbagai Maqom (station), seperti
Maqom tahu but, warna, Zuhud, Qona’AH, dan sabar dengan pemilik inspirasi,
yaitu jiwa luhur yang sempurna (yang maha kuasa), hal tersebut dapat
menjadikan orang berjiwa sempurna itu dapat bersatu dengan jiwa luhur yang
sempurna itu. Dalam kondisi ini, seorang yang berjiwa sempurna akan
mengalami ekstasi, kondisi ketika ia merasakan kenikmatan dan keindahan yang
sangat sempurna. Orang orang yang mengalami ekstase ini kadang kadang
digambarkan berbicara yang aneh aneh. Dalam kondisi ini ia sedang
memperoleh inspirasi dari jiwa luhur yang sempurna.

Dapat pula digunakan metode Scholastic, yaitu metode yang disebut


sebagai Methode sintetis deduktif. Ia dipakai untuk mengajar dalam semua ilmu,
tetapi terdapat hubungan erat dengan metode berfikir. Metode ini digunakan oleh
Thomas Aquinas(1225-1247 M).

Adapun Methode geometris adalah Methode yang dianggap oleh


penggunaan nya sebagai metode integrasi dari berbagai logika, analisis
geometris, dan aja bar. Untuk menghindari kelemahannya, para filsuf
menggunakan Methode analisis dan metode empiris Isma rasional. Bagi
penggunaan nya, analisis geometris merupakan suatu ilmu yang menyatukan
semua disiplin ilmu yang terakumulasi dalam ilmu pasti.Dengan Methode ini,
hasil kajian diharapkan dasarkan pada kuantitas murni dan umum. Metode ini
digunakan oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Tapi ini juga merupakan
kombinasi antara Pemahaman intuitif pemecahan masalah dan uraian analitis
sekaligus mengembangkan permasalahan pada hal yang telah diketahui lalu
menghasilkan pengertian baru.

Penganut empiris Isma menggunakan metode eksperimen untuk mengkaji


filsafat. Metode ini tidak banyak menguraikan cara caranya, tetapi langsung
melaksanakan aktivitas berupa observasi tingkah laku dan Intropeksi proses
proses pisikolog is. Metode ini digunakan oleh David Home (1711-776 M). Para
filsuf mengelompokkan David home sebagai salah satu dari tiga orang
empirisisme Utama Inggris, bersama Locke dan Berkeley.

Metode kritis-transendental yang sering digunakan dalam kajian filsafat


adalah Methode yang merupakan analisis kriteria geologis yang berpangkal pada
pengertian objektif. Metode ini digunakan oleh Immanuel kant (1724-1804 M).
Kant menerima nilai objektif ilmu ilmu positif karena ia dapat menghasilkan

24
kemajuan hidup sehari-hari. Kant juga menerima nilai objektif agama dan moral
sebab ia memberikan kemajuan dan kebahagiaan. Pengertian itu disebutnya
sebagai sintetis-apriori. Iya juga membedakan pengertian analisis dan sintetis.
Analisis dibagi menjadi empat macam, yaitu: (1) analisis psikologis, (2) analisis
logis, (3) analisis ontologis, (4) analisis kriteriogis. Adapun sintetis dibagi lagi atas
dua macam, yaitu: (1) sintetis aposteriori dan (2) Sintesis apriori. Hanya, dampak
dari dikembangkannya Postulat obyektivitas, pengertian sintetis apriori dapat
ditemukan struktur baru yang dikenal dengan istilah analisis transendental.

Hegel dalam kajian filsafat nya menggunakan metode dialektika yang


berupaya memahami realitas dengan mengikuti gerakan pikiran atau konsep asal
yang berpangkal pada pemikiran yang benar sehingga Pemahaman akan dibawa
oleh dinamika pikiran itu sendiri. Mengikuti dinamika pikiran dan realitas disebut
sebagai metode dialektika. Metode ini digunakan oleh G. W. F. Hegel (1770-1831
M). Dialektika menggunakan tiga langkah, yaitu melalui tesis, antitesis, dan
membentuk sintetis.

Perspektif di Solo vis dari pendekatan tersebut Berujung pada


Pemahaman setiap pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh manusia,
kegunaan Filosofis dapat dilihat sebagai nilai. Nilai dalam ekonomi bersifat
kuantitatif, tetapi dalam filsafat nilai bersifat kualitatif sehingga tidak mengenal
angka dan hitam putih pembenaran nilai. Akan tetapi, secara aksiologis, nilai
merupakan tujuan akhir demi pembenaran aktualitas kebutuhan jiwa manusia.

Teori nilai merupakan bagian dari aksiologi karena pandangan tentang


hakikat pengetahuan adalah manfaat yang diterima manusia sebagai tujuan akhir
semua pengetahuan. Kinerja pengetahuan tidak pernah luput dari nilai
diajukannya Netralitas Ethic dalam memadukan akal dengan pengalaman,
kemudian meletakkan aspek etika, estetika, dan instrumentalia yang
memuliakanhidup manusia.

Sejak manusia membutuhkan ilmu pengetahuan, sejak itu pula ada nilai
nilai yang ditargetkan. Istilah “nilai” dalam bahasa Inggris adalah value, berasala
dari bahasa latin, velereatau bahasa prancis kuno, valoir. Makna nilai denotatif
dengan “harga”. Apabila makna itu dihubungkan dengan konsep lain,maknanya
menimbulkan interpretasi yang beragam. Umpamanya nilai atau harga dalam
perspektif ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu jiwa, dan sebagainya. Dengan
demikian, makna nilai bergantung pada perspektif nya. Dalam konteks filsafat
nilai, segala sesuatu harus bernilai, misalnya nilai estetika, nilai etika, nilai sosial,
dan nilai ideologis. Oleh karena itu, maksud filsafat nilai adalah pembahasan
tentang paradigma aksiologis atau segala sesuatu yang ada dan yang mungkin
ada, yang menghubungkannya pada hakikat Fungsional seluruh pengetahuan.

Makna nilai dapat berupa keyakinan Relijius dan janji janji deterministik
dalam keyakinan seseorang pada hal hal yang di sakral kan, yang dianut
seseorang dalam berbagai perilaku nya. Misalnya, orang beriman diharapkan
25
memiliki tindak Tanduk yang bernilai ibadah di Bada dimata Tuhan. Nilai dapat di
definisikan pula sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya diantara cara cara tindakan alternatif nya. Pengertian ini
menekankan aspek norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku
manusia.30

Dari ilustrasi dan pengertian tentang nilai, ada lima hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan makna nilai secara aksiologis, yaitu:

1. Nilai sebagai panduan hidup manusia;


2. Nilai sebagai tujuan hidup manusia;
3. Nilai sebagai pilihan normatif tindakan manusia;
4. nilai sebagai hakikat semua pengetahua;
5. Nilai sebagai kesadaran tertinggi dari seluruh kesadaran manusia tentang
motif dan bentuk sebuah tindakan yang berakar pada nalar dan tolak ukur
yang menjadi jaminan tercapainya tujuan perilaku.

Kelima aspek makna nilai tersebut merupakan kesimpulan yang


mengungkap hakikat nilai secara Filosofis. Dengan demikian, alternatif dalam
seluruh tindakan berpengetahuan atau tidak, adalah pilihan nilai dalam
kehidupan rasional dan spriritual manusia sebagaiindividu ataupun kelompok.
Prinsip bernilai sepanjang makna tersebut menjadi perangsang dan pelangkap
hakikat semua tujuan ilmu pengetahuan sekaligus manifestasinya dalam
kehidupan manusia.

Setiap manusia memiliki prinsip dalam bertindak. Prinsip ini menjadi


semacam tolak ukur dan rujukan yang membentuk pola pola tindakan.
Epistimologi nilai artinya sumber nilai yang di rujuk. Secara Filosofis, sumber nilai
berawal dari akal manusia karena manusia bertindak dengan pertimbangan
akalnya.

Peran dan fungsi akal ini melahirkan berbagai aliran, diantaranya


Idealisme. Idealisme dipopulerkan oleh Plato yang secara substansial bersumber
dari akal. Hal ini karena pandangan Idealisme tentang kebenaran berawal dari
alam ide yang memiliki kemampuan menerjemahkan segala sesuatu yang ada,
tanpa harus menunggu hasil pengalaman. Oleh karena itu, apabila Idealisme
atau gagasan pikiran dijadikan rujukan pengetahuan dan tindak Tanduk manusia,
nilai yang dimaksudkan oleh Idealisme adalah gagasan yang memiliki
kemampuan menggambarkan segala fenomena. Tujuan Idealisme dalam
perspektif nilai adalah tercapainya kebenaran idealis.

Adanya pandangan bahwa rasio miskin gagasan dan lemah dalam


mengembangkan pikiran, jika tidak dirangsang oleh pengalaman, melahirkan
empirisisme. Oleh karena itu, tujuan pengetahuan dan target Fungsional
kebenaran adalah berkembang nya pengalaman menjadi akumulasi
30
Rahmat Mulyana, Pendidikan Nilai, Bandung: Al-Fabetha, 2004, hlm 9.

26
pengetahuan. Pengalaman merupakan urat nadi kebenaran, sedangkan rasio
hanya membantu mengeluarkan gagasan dan penalarannya.

Sesungguhnya pandangan bahwa rasi melakukan Penalaran yang


dirangsang oleh pengalaman, merupakan indikasi bahwa keduanya berkeinginan
untuk hidup rukun berdampingan. Rasionalisme dan empirisisme bukan dualisme
yang dikotomi, melainkan ke satu Paduan sumber pengetahuan memperkuat
kebenaran esensinya. Emmanuel Kant melakukan upaya kompromi Sassy
melalui kritisisme nya sehingga rasio dan pengalaman benar benar
memancarkan nilai yang sangat berharga. Dengan pertimbangan itulah, bagi
kritis isme atau rasionalisme empiris, tujuan pengetahuan adalah
terealisasikannya kebenaran pengetahuan yang rasional dan empiris.

Rasionalisme Empirisme sama sekali belum menyadari adanya


keberadaan yang berasal dari sesuatu di luar realitas yang Indriawi.
Kenyataannya, banyak hal yang tidak tergambarkan oleh rasio dan tidak
tersentuh oleh Indra, tetapi hal itu menjadi bagian dari pengalaman yang bersifat
personal. Pandangan itulah yang menjadi latar belakang lahirnya IntuisIonisme.
Meskipun personal, diakui bahwa pengetahuan itu ada yang berasal dari luar
rasio dan pengalaman manusia yang sifatnya empiris. Lagitu, agama diyakini
bersumber dari Wahyu sehingga ajarannya tidak mampu di rasionalisasi dengan
dasar pengalaman publik. Wahyu hanya diberikan kepada manusia yang dipilih
Tuhan sebagai Nabi dan Rasul. Demikian pula, Ilham dan berbagai kejadian
pribadi yang mencerahkan diri seseorang. Dalam konteks Intuisionisme,
Kebenaran sejati dan absolut adalah yang berada di luar rasio dan Indra. Dengan
demikian, nilai yang dirujuk dalam ber tindak pun bukan rasio dan pengalaman,
melainkan ajaran ajaran yang datang sebagai Wahyu atau Ilham, dan kekuatan
Metafisik dalam diri manusia. Dalam agama, nilai itu bergantung pada niat. Oleh
karena itu, niat yang bernilai adalah yang didasarkan pada hasrat untuk meraih
keridhaan Tuhan.

Nilai Religius tidak dapat ditinggalkan dalam pengetahuan manusia


sepanjang sejarah. Augusti news berprinsip bahwa kebenaran tertinggi adalah
berasal dari hukum hukum Tuhan. Oleh karena itu, nilai pengetahuan dihargai
karena memiliki substansi teologis. Tanpa semua itu, pengetahuan dan
kebenaran yang dimaksudkan tidak bernilai.

Filsafat nilai adalah kajian aksiologis yang mengedepankan jawaban atas


pertanyaan, untuk apa pengetahuan dicari?, Mengapa harus mengamalkan
pengetahuan?, Apa manfaatnya bagi kehidupan manusia?Teori nilai mencakup
dua cabang filsafat, yaitu etika dan estetika. Ketika membicarakan baik dan
buruk perbuatan manusia, sedangkan estetika membahas keindahan dan seni
dalam kehidupan manusia.

Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa ada empat pendekatan dalam


menilai pendapat moral, yaitu sebagai berikut:
27
1. Pendekatan empiris Descriptive, menyelidiki pandangan umum tentang
moralitas yang berlaku, dampak dari mengikuti atau mengingkari norma yang
telah menjadi sistem sosial. Pendekatan ini lebih tepat dikaji oleh sosiologi,
antropologi, dan psikologi.
2. Pendekatan fenomenologis, penyelidikan tentang kesadaran moral secara
subyektif. Maksud subjektif adalah membiarkan moral dan norma secara
alamiah menjelaskan dampa nya sendiri.
3. Pendekatan normatif, penyelidikan tentang norma sosial yang berlaku umum,
apakah masih memiliki relevansi dengan kehidupan manusia dewasa ini atau
harus ditolak.
4. Pendekatan Meta etika, penyelidikan tentang kebenaran moral di luar dirinya.
Sebagai ilmu yang mempertanyakan kemungkinan etika sebagai ilmu. Moral
yang dianut yang telah menjadi sistem sosial digali substansinya, Sehingga
materi moral dapat divalidasi dengan kerangka model yang lain yang
dipandang lebih pragmatis.Metaetikaadalah metode untuk mencegah
kekeliruan penilaian terhadap moral itu sendiri.

Etika adalah bahasa tentang cermin tingkah laku serta nilai baik dan buruk
yang didasarkan pada rasio. Selain istilah etika, penyebutan pengetahuan
tentang baik dan buruk dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Adalah sebutan tentang perilaku baik dan buruk yang digunakan oleh agama.
Dalam ilmu Akhlaq, tingkah laku dibagi dua, yaitu akhlak Mahmudah, yaitu
tingkah laku yang Terpuji dan akhlak madmumah, yaitu tingkah laku yang
tercela.
2. Moral, asalnya Mores, yaitu tindakan. Moral adalah penilaian baik dan buruk
yang digunakan dalam kehidupan sosial politik. Meskipun istilah ini dapat
digunakan dalam Sembarang tempat, yang paling sering justru digunakan
dalam kehidupan politik, sebagaimana sebutan “moral bangsa, moralitas
sosial, moralitas politik”.
3. gila adalah istilah yang digunakan dalam kaidah baik dan buruk, yang
merujuk pada Idiologi Pancasila. Su artinya baik, sila artinya kesopanan. Kata
susila digunakan pula dalam undang-undang, misalnya tindakan asusila atau
melanggar kesusilaan.
4. Norma adalah ukuran baik dan buruk yang digunakan dalam konsep
kebiasaan masyarakat. Meskipun penggunaan norma tidak mengetahui istilah
tersebut, sosiolog ataupun antropolog menyebut adat sebagai norma sosial.

Baik dan buruk sangat bergantung pada sistem penilaian yang digunakan.
Suatu perbuatan meskipun menurut ajaran agama dipandang “baik”, jika menurut
norma sosial tidak layak dilakukan otomatis perbuatan tersebut akan ditolak.
Demikian pula, perbuatan yang menurut pandangan etika sangat
menguntungkan jika bertentangan dengan moralitas politik yang berkembang,
pandangan etika itu akan ditolak.

28
Dengan demikian, pandangan baik dan buruk, dan hakikat nilai dalam
kehidupan manusia sangat bergantung pada tiga hal mendasar, yaitu:

1. Cara berfikir yang melandasi manusia dalam perilaku;


2. Cara berbudaya yang menjadi sendi berlakunya norma sosial
3. Cara merujuk pada sumber sumber nilai yang menjadi tujuan pokok dalam
bertindak.

Cara berfikir berkaitan dengan Pemahaman tentang baik dan buruk cara
berbudaya merujuk pada kebiasaan normatif. Adapun cara merujuk berhubungan
dengan pendekatan yang digunakan dalam menilai sumber nilai.

29

Anda mungkin juga menyukai