Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

FILOSOFI HAKIKAT TEORI DALAM PENGETAHUAN


A. Pengertian Teori
Teori adalah asumsi dasar yang digunakan untuk
membuktikanpenelitian ilmiah, sebagai prinsip umum yang menjadi
rujukan parailmuwan dalam menemukan kebenaran ilmiah.
Teori berasal dari bahasa Latin, theoria yang berarti
perenungan,dan berasal dari kata thea (bahasa Yunani) yang artinya
realitas. Teorimerupakan bangunan berpikir sistematis, logis, empiris,
dansimbolis.1
Menurut Neuman, teori adalah sistem yang disusun olehberbagai
abstraksi yang berinterkoneksi satu dan lainya atau berbagaiide yang
memadatkan dan mengorganisasikan pengetahuan. Teoridibangun dan
dikembangkan melalui penelitian untuk menggambarkan dan menjelaskan
fenomena tertentu.2
Pengertian teori menurut Marx dan Goodson 3 adalah aturan
yangmenjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang
berkaitandengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas
representasisimbolik dari (1) hubungan-hubungan yang dapat diamati di
antara kejadian-kejadian (yang diukur); (2) mekanisme atau struktur
yangdiduga mendasari hubungan-hubungan demikian; (3) hubungan-
hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan
untuk data dan yang diamati tanpa adanya manifestasihubungan empiris
apa pun secara langsung. Fungsi teori ada empat,yaitu (1)
menyistematiskan penemuan-penemuan penelitian; (2)menjadi pendorong
untuk menyusun hipotesis dan dengan hipotesismembimbing peneliti
mencari jawaban-jawaban; (3) membuatramalan atas dasar penemuan;
(4) menyajikan penjelasan, dan dalamhal ini, untuk menjawab pertanyaan
"mengapa".
Menurut Malcolm Waters4, teori meliputi semua
perangkatpernyataan yang disusun dengan sengaja yang memenuhi
kriteriaberikut.
1. Pernyataan abstrak yang dipisahkan dari praktik-praktik
sosial,melalui pengembangan konsep teknis yang hanya
digunakandalam komunitas tertentu.
2. Pernyataan tematis argumentatis. Tematis, yaitu diungkapkan
melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu
koheren dan kuat. Adapun argumentatis, artinya teorisebagai
jawaban setiap masalah yang muncul di tengah-tengah kehidupan.
3. Pernyataan yang bersifat teoretis harus konsisten dan logis
ataurasional. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh saling

1
dikotomis satu dan lainnya, dan dapat ditarik kesimpulan yang
integral.
4. Pernyataan teoretis yang harus dijelaskan. Teori harus
mengungkapkan satu tesis atau argumentasi tentang fenomena
tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau
eksistensinya.
5. Pernyataan yang general dan dapat digunakan untuk menerangkan
fenomena.
6. Pernyataan yang independen, artinya berdiri sendiri atau netral.
7. Pernyataan yang secara substantif dan valid. Konsisten antara
kenyataan fenomenologis dan indikator-indikatornya. 5
Dalam ilmu sosial, teori adalah seperangkat proposisi yang
terintegrasi secara sintesis, terdiri atas susunan kata atau bahasa yang
berfungsi sebagai proposisi yang rasional. Pernyataan tersebut harus
didasarkan atas data yang diamati. Teori berfungsi prediktif dan
menjelaskan fenomena.
Dalam filsafat, teori berupa argumen logis, kritis, dan spekulatif,
sedangkan dalam sains, teori sebagai alat eksplanatif, alat prediktif, dan
alat pengontrol.6 Teori sebagai alat eksplanasi, yaitu alat yang
menjelaskan fenomena yang diamati. Realitas yang disaksikan dapat
dijelaskan oleh teori, misalnya teori yang menjelaskan bahwa setiap
tindakan manusia didorong oleh kebutuhan. Untuk menjelaskan
pernyataan itu, salah satunya digunakan "Teori Kebutuhan" yang
dirumuskan oleh Abraham Maslow.7 Sains merupakan system eksplanasi
yang paling dapat diandalkan dibandingkan sistem lain dalam memahami
masa lampau dan masa sekarang.
Teori sebagai alat peramal, yaitu memprediksi gejala-gejala
tertentu dan menggambarkan munculnya gejala berikutnya. Misalnya,
teori ekonomi tentang permintaan dan penawaran yang menyebutkan
bahwa "jika jumlah barang banyak, permintaan sedikit, harga akan turun.
Sebaliknya, jika jumlah barang sedikit, permintaan banyak, harga akan
naik." Pernyataan tersebut bukanhanya bersifat eksplanatif, melainkan
sekaligus bersifat prediktif.
Menurut Glaser dan Strauss (grounded theory), ada dua bentuk
penyajian teori. Pertama, penyajian seperangkat proposisi, yaitu
menggunakan perspektif tunggal. Kedua, bentuk diskusi, artinya terdapat
pengertian ganda atau pengertian yang bertentangan pada saat akan
menggunakan tinjauan.
Secara kualitatif, teori terdiri atas: (1) teori substantif yang diuji
pada situasi tertentu ketika teori yang itu dikembangkan untuk keperluan
substantif atau empiris dalam ilmu pengetahuan; (2) teori formal (bersifat
middle range philosophis theory), yaitu untuk keperluan formal yang

2
disusun secara konseptual dalam ilmu pengetahuan untuk memudahkan
pengujian empiris.
B. Problem Epistemologis dalam Teori
Secara epistemologis, menurut Lexy Maleong, ada tiga
permasalahan, yaitu sebagai berikut.
1. Problem Generalisasi
Generalisasi berfungsi mempertahankan nilai-nilai yang bebas
konteks. Nilai-nilai tersebut terletak pada kemampuan mengatur
usaha meramalkan dan mengontrol. Generalisasi menggunakan
logika induktif, yaitu menarik pandangan/kesimpulan umum yang
berdasarkan kajian khusus.
Dalam generalisasi terdapat kelemahan-kelemahan al, yaitu:
a. Bergantung pada determinisme;
b. Bergantung pada logika induktif;
c. Bergantung pada asumsi bebas dari waktu dan konteks;
d. Terjerat dalam kekeliruan reduksionis.
2. Problem Kausalitas
Proses kausalitas diartikan sebagai hubungan antara sebab dan
akibat yang dipengaruhi oleh reaksi dan respons tertentu.
Kelemahan teori kausalitas adalah antara reaksi dan respons atau
respons yang muncul bersifat pasif. Dengan demikian, hubungan
kausalitasnya tidak menciptakan fungsi timbal balik yang memadai.
3. Problem Pendekatan Emik dan Etik
Pendekatan emik berangkat dari keadaan gejala atau data yang
sesungguhnya. Dalam penelitian naturalistik dan fenomenologis,
pendekatan emik memiliki kelemahan, di antaranya sulit melakukan
generalisasi karena tidak berpijak pada teori. Peneliti lebih banyak
menekankan partisipasi dan aksi (participation action research)
bahkan memandang diri peneliti sebagai pusat data sesungguhnya.
Pada pendekatan etik, teori merupakan kunci utama melakukan
penelitian. Peneliti hanya mencari indikator-indikator yang sesuai
dengan variabel yang dipersoalkan sekaligus merupakan upaya
membuktikan teoridan melakukan generalisasi melalui pendekatan
kuantitatif.
Kelemahan pendekatan etik terletak pada generalisasi yang dapat
menyimpang dari keadaan yang sesungguhnya atau
mengenyampingkan peristiwa khusus karena bukan termasuk
variabel penelitian.

3
Pendekatan emik dalam metode penelitian kualitatif berkaitan
dengan kehidupan manusia yang progresif dan tidak pernah mengenal
batas, bergerak dinamis, dan berujung dengan keterbatasan yang tidak
terbatas atau batas-batas yang benar-benar tidak terbatas. Oleh karena
itu, generalisasi terhadap perilaku kehidupan manusia bukan takdir dari
gerak hidup manusia, melainkan hanya merupakan pencitraan insani yang
bertujuan memudahkan pengukuran salah satu karakter perilaku manusia.
Dengan demikian, gerak kehidupan manusia dengan kebudayaan dan
peradabannya dipilah-pilah sedemikian rupa atau ada proses skatisasi
yang bergantung padatujuan yang ingin diketahui oleh peneliti.
Setiap pencitraan perilaku yang merupakan generalisasi hipotetis
sepanjang perkembangan penelitian telah diakui sebagai salah satu
metode dan pendekatan yang konkret dan realistik, artinya tidak hanya
keadaan yang nyata, tetapi "memang" senyatanya. Akan tetapi, justru
karena realismenya itu, lahir penyimpulan-penyimpulan yang statis dan
terjebak oleh kategorisasi yang statis terhadap dinamika kehidupan
manusia yang telah lama diakui sebagai gerak budaya yang dinamis dan
mengikuti gejala yang apa adanya.
Sepanjang perkembangan manusia, gerak kehidupan manusia
yang berhubungan dengan semua gejala yang ada telah diukur secara
matematis. Dengan demikian, ada berbagai upaya pencitraan yang
membatasi dinamika sosial yang "mungkin" berlaku untuk kurun waktu
tertentu sepanjang belum ada kritikantitetis dari para peneliti berikutnya.
Perhitungan-perhitungan yang realistik terhadap gejala itu diidentifikasi
dan ditabelisasikan melalui angka-angka statistik sehingga semakin
mempersempit, sekaligus mempermudah penarikan konklusi sesuai
dengan rumusan dan tujuan penelitian.
Cara kerja penelitian ini dikenal sebagai bagian dari metodologi
penelitian kuantitatif yang telah mendominasi analisis penelitian sejak
abad ke-18 sampai dengan abad ini.
Dengan perkembangan teknologi komputer, analisis statistik lebih
akurat dan canggih, semakin menambah kepercayaan diripara peneliti
bermazhab kuantitatif. Akibatnya, ada dugaan bahwa penelitian dengan
pendekatan kualitatif hanya merupakan upaya menghindar dari ketidak
mampuannya dalam statistika penelitian atau kuantitatif statistik.
Adapun penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh penelitian
dengan pendekatan kualitatif, secara substansial merupakan upaya
generalisasi yang semu. Hal ini karena dalam penarikan kesimpulan,
terlebih dahulu digunakan logika untuk menetapkan penyataan-
pernyataan (premis), pada hal premis-premis dapat dipandang sebagai
pengakuan atau pengingkaran atas segala yang dipersepsi, dan dalam
pengakuan atau pengingkaran ada upaya menghubung-hubungkan
berbagai pengertian yang kemudian dijadikan keputusan.

4
Pengambilan keputusan merupakan langkah konkretuntuk menarik
kesimpulan, sedangkan dalam penarikan kesimpulan terdapat
pembatasan yang isinya mempersempit ruang gerak gejala yang
dicermati. Tentu saja, dalam pembatasan bahwa dinamika dan
progresivitas, ruang geraknya tidak sebagaimana yang dimaknai sebagai
yang tidak terbatas atau ketidak terbatasan sebagai batasannya.
Pandangan ini mengindikasikan adanya sikap saling kritikdan
mungkin saling tuding di antara para peneliti yang memakai pendekatan
kualitatif-yang sejak awal memperkenalkan dirinya sebagai pendekatan
yang lebih filosofis dan substantif-dengan penelitian kuantitatif yang
mengakui dirinya lebih empiris dan realistis. Padahal, keduanya mengakui
bahwa filsafat adalah landasan pertama lahirnya metodologi penelitian
kuantitatif dan kualitatif. Apabila metodologi penelitian kuantitatif sangat
terbuai dengan sikap positivistiknya yang menolak segala bentuk
pemikiran metafisik dan teologis, penelitian kualitatif tidak begitu saja
terbuai oleh logika matematis yang justru semakin mempersempit makna
filosofi penelitian itu sendiri.
Hal-hal yang metafisis dan teologis, meskipun telah banyak
ditinggalkan oleh kehidupan masyarakat modern yang positivistik, bukan
berarti dapat diluluhkan begitu saja oleh pendekatan angka-angka yang
serba terbatas. Hal ini karena carahidup manusia yang metafisis ataupun
yang teologis merupakan gejala nyata dari sejarah perjalanan
kebudayaan yang tanpa batas. Ruang gerak mitologis manusia pun sudah
menjadi mitos yang universal, bahkan bisa jadi, tidak ada larangan
manakala ada yang menyatakan bahwa klaim terhadap kemapanan
sebuah pendekatan penelitian, tidak terkecuali yang kuantitatif, dapat
berubah menjadi mitos. Oleh karena itu, siapa dan bagaimana membatasi
ruang gerak sebuah metodologi apabila semua itu hanya bagian kecil dari
perkembangan ilmu pengetahuan? Sesungguhnya perkembangan demi
perkembangan dari ilmu pengetahuan hanya bagian kecil dari hasrat
manusia untuk mengembangkan kehidupannya di jagat raya ini. Jadi,
antagonisme ilmu menjadi tidak rasional jika kembali pada pandangan
bahwa secara historis dan filosofis, semua ilmu pengetahuan terikat oleh
jati diri yang sama. Induk yang melahirkan berbagai disiplin ilmu ataupun
metodologi yang merumuskan berbagai teori yang dinyatakan sudah
ilmiah, yang sesungguhnya masih tetap memiliki hubungan integrative
dengan filsafat.
Metodologi penelitian kuantitatif statistik bersumber dari wawasan
filsafat positivisme August Comte8 yang telah mendudukkan hal-hal yang
metafisis dan teologis sebagai hal yang primitive. Noeng Muhadjir 9
mengatakan bahwa metodologi penelitian kuantitatif berpandangan pada
paham materialisme mekanistik bahwa hukum-hukum mekanis itu inheren
dalam benda itu sendiri, ilmu dapat menyajikan gambar dunia secara lebih

5
meyakinkan dengan didasarkan pada penelitian empiris dari pada
spekulasi filosofis.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang
bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang
logis. Kemajuan ini mencakup perkembangan, mulai bentuk-bentuk
pemikiran teologis purba, penjelasan metafisik, dan akhirnyasampai
terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif. Mengatasi cara-cara
berpikir mutlak yang terdapat dalam tahap-tahap pra-positif, menerima
kenisbian pengetahuan, serta terus-menerus terbuka terhadap kenyataan-
kenyataan baru, merupakan ciri khasyang membedakan pendekatan
positif yang digambarkan Comte. Menurutnya, semangat positif dalam
hubungannya dengan konsepsi ilmiah membedakan filsafat yang berpijak
pada metafisika-teologis dengan kecenderungan untuk menisbikan ide-ide
yang sebelumnya dipandang mutlak.
Dalam suatu pandangan ilmiah, pertentangan antara yang nisbi
dan yang mutlak dapat dilihat sebagai perwujudan yang menentukan dari
perselisihan antara filsafat modern dan filsafatkuno. Semua penelitian
mengenai hakikat dari segala yang ada serta sebab-sebab pertama dan
terakhir harus selalu ilmiah, sedangkan studi mengenai hukum-hukum
gejala harus bersifat nisbi karena studi ini mengandaikan kemajuan
pemikiran terus-menerus, yang tunduk pada penyempurnaan pengamatan
secara bertahap, tanpa pernah membuka secara penuh kenyataan
setepat-tepatnya. Dengan demikian, sifat nisbi konsepsi ilmiah tidak
terpisahkan dari pengertian yang tepat mengenai hukum-hukum alam,
seperti halnya kecenderungan khayali terhadap pengetahuan mutlak yang
menyertai setiap penggunaan fiksi teologis dan hal-hal metafisik. 10
Setelah menentukan sifat epistemologi umum dari pendekatan
positif, Comte lalu menunjukkan metode-metode khusus penelitian empiris
yang sama untuk semua ilmu, yaitu pengamatan, eksperimen, dan
perbandingan. Akan tetapi, ia mengakui bahwa tidak mungkin untuk
menunggu sampai semua fakta tersedia sebelum merumuskan suatu
hukum teoretis, sekurang-kurangnya untuk sementara. Dalam
pengamatan, suatu metode yang palingkurang canggih, tidak hanya
mencakup pendaftaran semua fakta itu, tetapi diarahkan oleh semacam
teori implisit yang memberikan arah pada si pengamat gejala empiris.
Gagasan untuk menggunakan metode-metode penelitian empiris
yang sama seperti yang digunakan ilmu fisika dan biologiuntuk
menganalisis gejala sosial sejalan dengan pandangan Comte mengenai
kesatuan filosofis semua ilmu. Salah satu tujuan utama dari bukunya,
Course of Positive Philosophy, adalah menunjukkan kesatuan ini dengan
menganalisis dasar-dasar filosofis dari semuailmu, dari matematika dan
astronomi, sampai sosiologi.

6
Menurut Comte, semua ilmu memperlihatkan hukum
perkembangan intelektual yang sama, seperti tampak dalam
perkembangan melalui tiga tahap pemikiran teologis, metafisik, danpositif.
Adapun gagasan dasarnya, manusia dan gejala sosial merupakan bagian
dari alam dan dapat dianalisis dengan metode-metode ilmu alam.
Sumbangan Comte adalah analisis komprehensif mengenai kesatuan
filosofis dan metodologis yang menjadi dasar antara ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial. Bukunya The Course of Positive Philosophy merupakan
sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan
merupakan pernyataan yang sistematis tentang filsafat positif, yang
semua itu terwujud dalam tahap terakhir perkembangan. Topik-topik yang
tercakup, meliputi matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan fisika
sosial (sosiologi), yangdiperinci lagi ke dalam berbagai spesialisasi,
misalnya dalam fisika, Comte memasukkan barologi, termologi, akustik,
optik, dan elektrologi. Untuk setiap spesialisasi yang berbeda-beda itu,
Comte menunjukkan pembagian dasar antara statika dan dinamika gejala
yang bersangkutan.11
Perspektif teoretis Comte mencakup statika dan dinamika sosial
(atau ahli sosiologi sekarang menyebutnya struktur dan perubahan), tetapi
perhatian utamanya dalam bagian pertama dari kariernya adalah
menjelaskan dinamika kemajuan sosial. Kendati terjadi anarki sosial dan
intelektual pada masa kehidupannya, dia yakin bahwa masyarakat Eropa,
khususnya Prancis, berada di ambang pintu keteraturan sosial yang baru.
Memahami sifat keteraturan baru inipenting untuk mengatasi anarki yang
ada, tetapi memberikan ramalan-ramalan yang dapat dipercayai mengenai
masa depan menuntut suatu pemahaman akan hukum-hukum dinamika
sosial,dan pada gilirannya bergantung pada penelitian sejarah, yang akan
mengungkapkan dan menggambarkan bekerjanya hukum-hukum ini.
Dengan keyakinan yang tinggi terhadap kepercayaan bahwa penelitian
sejarah akan mengungkapkan kemajuan manusia yang mantap, Comte
menjelaskan bahwa tujuannya yang menyeluruh adalah menjelaskan
setepat mungkin perkembangan yang besar dari umat manusia, dengan
semua aspeknya yang penting, yaitu menemukan mata rantai yang harus
ada dari perubahan-perubahan umat manusia, mulai kondisi yang hanya
lebih tinggi daripada suatu masyarakat kera besar, secara bertahap
menuju tahap peradaban Eropa sekarang ini. Kepercayaan akan
kemajuan manusia yang tidak terelakkan ini, sejalan dengan pemikiran
evolusioner kemudian. Hal ini juga mencerminkan pengaruh ide-ide
pencerahan pada abad kedelapan belas. 12
Penafian terhadap pendekatan metafisik dan teologis yang
spekulatif tidak dapat dijadikan standar pembenaran ilmiah karenasejak
awal, filsafat memang bukan mengejar kebenaran ilmiah. Oleh karena itu,
penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak dapat berdiri sendiri dengan
hanya mengandalkan landasan filosofis yang semata-mata spekulatif,
tetapi perlu menggandeng logika yang merumuskan premis-premis untuk

7
menarik kesimpulan hasil penelitian. Oleh sebab itu, pendekatan kualitatif
sepantasnya bukan digunakan dengan alasan untuk menghindarkan diri
dari pendekatan kuantitatif statistik karena pendekatan statistikpun tidak
pernah melepaskan secara absolut pemahaman logis terhadap berbagai
gejala yang diteliti. Tafsir terhadap data-data empiris menjadi statis jika
mengasingkan diri dari analisis logis yang senjata utamanya adalah
logika.
Positivisme August Comte merupakan landasan utama penelitian
kuantitatif yang diaksiomatisasikan melalui cara kerjalogika dalam
membangun teori ilmu ke dalam logika matematik yang induktif. Oleh
karena itu, dalam penelitian kuantitatif senantiasa ada proses generalisasi
dari gejala khusus menjadi teori yang ibrahnya berlaku untuk umum.
Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari
empiris.13 Oleh karena itu, positivisme dalam metodologi penelitian
kuantitatif adalah empirisme.
Empirisisme adalah salah satu aliran dalam filsafat
yangmenekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan
dan ada upaya mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambildari
bahasa Yunani, empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.
Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme.
Filsafat empirisisme tentang teori makna sangat berdekatan
dengan aliran positivisme logis (logical positivisme) dan filsafat Ludwig
Wittegenstein. Akan tetapi, teori makna dan empirisisme harusdipahami
melalui penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi penganut empiris,
jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi
sebagai pola (pattern) jumlah yangdapat diindra, dan hubungan kausalitas
sebagai urutan peristiwayang sama.14
Di antara tokoh dan pengikut aliran empirisisme adalah Francis
Bacon, Thomas Hobbes, dan John Lock.
1. Francis Bacon (1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah
pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan
dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Bacon berkata, "Kita
sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-
dogma diambil kesimpulan. Ilmu yang benar adalah yang telah
terakumulasi antara pikiran dan kenyataan, kemudian diperkuat oleh
sentuhan indrawi.15
2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Tokoh ini dilahirkan sebelum waktunya ketika ibunya tercekamrasa
takut oleh ancaman penyerbuan armada Spanyol ke Inggris.Ia belajar
di Universitas Oxford, kemudian menjadi guru disuatu keluarga yang

8
terpandang. Hubungan dengan keluarga tersebut memberi
kesempatan kepadanya untuk membaca buku-buku, bepergian ke
negeri asing, dan berjumpa dengan tokoh-tokoh penting. Simpatinya
pada sistem kerajaan pada waktu Inggris dilanda perang saudara
mendorongnya untuk lari ke Prancis. Di sana, ia mengenal filsafat
Descartes dan pemikir-pemikir Prancis lainnya. Karena sangat
terkesan dengan ketepatan sains, ia berusaha menciptakan filsafat
atas dasar matematika.
Hobbes menolak tradisi skolastik dalam filsafat dan berusaha
menerapkan konsep-konsep mekanik dari alam fisika pada pikirannya
tentang manusia dan kehidupan mental. Hal ini mendorongnya untuk
menerima materialisme, mekanisme, dan determinisme. Karya
utamanya dalam filsafat, Leviathan (1651), mengekspresikan
pandangannya tentang hubungan antara alam, manusia, dan
masyarakat. Hobbes melukiskan manusia-manusia ketika mereka
hidup di dalam keadaan yang ia namakan state of nature (keadaan
alamiah) yang merupakan kondisi manusia sebelum dicetuskannya
suatu negara atau masyarakat beradab. Kehidupan dalam masa
alamiah adalah buas dan singkat karena merupakan keadaan
perjuangan dan peperangan yang terus-menerus. Karena manusia
menginginkan kelangsungan hidup dan perdamaian, ia mengalihkan
kemauannya pada kemauan negara dalam suatu kontrak sosial yang
membenarkan kekuasaan tertinggi yang mutlak.
3. John Locke (1632-1704)
John Locke, salah seorang penganut empirisisme yang juga "Bapak
Empirisisme" mengatakan bahwa ketika manusia dilahirkan, keadaan
akalnya masih bersih ibarat kertas kosong belum bertuliskan apa pun
(tabula rasa). Pengetahuan baru muncul ketika indra manusia
menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai
kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai
pengalaman indrawi. Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan
menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari
pengindraan serta refleksi yang pertama dan sederhana.
Akal menjadi sejenis tempat penampungan yang secara pasif
menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti bahwa semua
pengetahuan manusia, betapa pun rumitnya, dapat dilacak kembali
sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpan
rapi di dalam akal. Jika terdapat pengalaman yang tidak tergali oleh
daya ingatan akal, itu berarti merupakan kelemahan akal sehingga
hasil pengindraan yang menjadi pengalaman manusia tidak lagi dapat
diaktualisasi. Dengan demikian, bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan
yang faktual.

9
Selain John Locke, pada era modern muncul pula George Barkeley
(1685-1753) yang berpandangan bahwa seluruh gagasan dalam
pikiran atau ide datang dari pengalaman. Oleh karena itu, tidak ada
jatah ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja dari pengalaman.
Itulah sebabnya, ide tidak bersifat independen. Pengalaman konkret
adalah "mutlak" sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia
karena penalaran bersifat abstrak dan membutuhkan rangsangan dari
pengalaman. Berbagai gejala fisikal akan ditangkap oleh indra dan
dikumpulkan dalam daya ingat manusia sehingga pengalaman indrawi
menjadi akumulasi pengetahuan yang berupa fakta-fakta. Kemudian,
untuk upaya faktualisasinya dibutuhkan akal. Dengan demikian, fungsi
akal tidak sekadar menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali, tetapi
dalam konteks yang realistik. Pada umumnya, penganut empirisisme
beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala
pengenalan. Pengenalan intelektual adalah semacam perhitungan,
yaitu penggabungan data-data empiris.16
Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal
pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh
pengalaman. Segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman.
Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan
kepastian.17
Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang
disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan
masa depan, sesuai dengan yang telah diamati pada masa lalu.
Pengamatan indrawi terjadi karena gerak benda-benda diluar kita
menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indra kita. Gerak ini
diteruskan ke otak dan dari otak diteruskan ke jantung. Didalam
jantung timbul reaksi, suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya.
Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerakreaksi tadi.
Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat indrawi. Pengindraan
disebabkan tekanan objek atau sasaran. Kualitas di dalam objek-objek
yang sesuai dengan pengindraan bergerak menekan indra. Menurut
penganut empirisisme, tidak ada sesuatu yang universal, kecuali nama
belaka. Konsekuensi pendapat ini adalah bahwa ide dapat
digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata, ide
tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa, tidak ada kebenaran atau
kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan "benar" atau "tidak benar"
sekadar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan
membuat ciri atau identitas-identitas di dalam bentuk pikiran orang.
Hanya sesuatu yang dapat disentuh oleh indralah yang merupakan
kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah
merupakan kebenaran.

10
Pemahaman terhadap validitas pengalaman sebagai ilmu dianut
sedemikian rupa oleh penelitian yang memakai pendekatan kuantitatif,
sehingga diketahui bahwa setiap orang memiliki pengalaman yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mudah melakukan generalisasi,
tetapi tekniknya telah dipikirkan, yaitu dengan merekontruksi
keragaman individual serta frekuensinya, dan merancang spesifikasi
objek yang diteliti, sehingga objek-objek yangtidak diteliti dieliminasi
dan dianulir dari sasaran penelitian. Logika diarahkan pada pola
berpikir yang sifatnya ada hubungan sebab akibat, ada hubungan
timbal balik, ada hubungan pengaruh memengaruhi dan hubungan
korelatif lainnya, yang kemudian dikategorisasi melalui proses
intervalisasi dan kontinuasi.
Noeng Muhadjir mengatakan bahwa metodologi penelitian
kuantitatif memulai cara kerjanya dengan penetapan objek studi yang
spesifik, dieliminasikan dari totalitas atau konteks besarnya, sehingga
secara eksplisit objek studinya jelas. Kemudian, dibuat hipotesis atau
masalah-masalah penelitian, instrumen pengumpulan data, teknik
sampling dan teknik analisisnya serta rancangan metodologinya. 18
Adapun pada metodologi penelitian kualitatif lebih mengedepankan
pendekatan fenomenologis. Kata fenomenologi berasal dari kata
Yunani , yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan.
Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi,
fenomenologi adalah suatu aliran yangmembicarakan fenomenon, atau
segala sesuatu yang menampakkan diri. 19
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938).
Iaadalah pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada
kebenaran untuk semua orang, dan manusia dapat mencapainya.
Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa
untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus Kembali
pada "benda-benda" sendiri. Dalam bentuk slogan, pendirian ini
diungkapkan dengan kalimat zu den sactien (to the things).
Kembalikepada "benda-benda" adalah "benda-benda" diberi
kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan
tentang hakikat "benda-benda” tidak lagi bergantung pada orang yang
membuat pernyataan, tetapi ditentukan oleh "benda-benda" itu
sendiri.20
Akan tetapi, "benda-benda” tidaklah secara langsung mem-
perlihatkan hakikat dirinya. Apa yang ditemui pada "benda-benda” itu
dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Sebab, hakikat benda itu ada
di balik yang kelihatan. Karena pemikiran pertama (first look) tidak
membuka tabir yang menutupi hakikat, diperlukan pemikiran kedua
(second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada
pemikiran kedua ini adalah intuisi. Istilah yang digunakan Husserl

11
menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan substansi adalah
Wesenschau: melihat (secara intuitif) hakikat gejala-gejala. 21
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl
memperkenalkan pendekatan reduksi, yaitu penundaan segala
pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuitif
dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan.
Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche, yang artinya
penempatan sesuatu di antara dua kurung, dengan melupakan
pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat
objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian yang
ada sebelumnya. Reduksi merupakan salah satu prinsip yang
mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang
fenomenologisbersikap netral; tidak menggunakan teori-teori atau
pengertian-pengertian yang telah ada. Dengan kata lain diberi
kesempatan "berbicara tentang dirinya sendiri".
Reduksi adalah mengangkat sesuatu tanpa mengakui atau
memungkirinya, artinya segala fenomen yang ada hanya fenomen
yang menjelaskan eksistensinya. Persepsi subjek terhadap
fenomenakan mengubah hakikat fenomen yang sekaligus menciptakan
subjektivitas yang tidak perlu.
Ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen
dalam pendekatan fenomenologi, yaitu:
1. Reduksi fenomenologis. Fenomen adalah yang terlihat, yang
tampak, dan menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari,
penampakkan itu tidak dapat dilihat. Sesuatu yang dianggap nyata
hanya terlihat secara spontanitas, kemudian diyakini sebagai
kenyataan yang ada di luar diri manusia. Akan tetapi, karena yang
dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada di luar
dirinya, dan ini hanya dapat dicapai dengan "mengalami" secara
intuitif, apa yang dianggap sebågai realitas dalam pandangan
spontanitas itu, untuk sementara harus ditinggalkan atau diletakkan
dalam kurung. Segala subjektivitas disingkirkan, termasuk teori,
kebiasaan, dan pandangan yang telah membentuk pikiran dalam
memandang sesuatu (fenomen), sehingga yang timbul di dalam
kesadaran adalah fenomen itu sendiri. Karena itulah, reduksi ini
disebut reduksi fenomenologis.22
Reduksi pertama merupakan "pembersihan diri" dari segala
subjektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas
itu. Dalam penelitian kualitatif, reduksi ini sangat penting karena
peneliti harus memosisikan dirinya sebagai orang yang "tidak serba
tahu". Meskipun tahu, segala pengetahuan harus disingkirkan demi
objektivitas gejala yang tampak. Seperti kita melihat langit, tidak
ada pengakuan tentang warna langit, apakah biru atau putih atau
hitam berawan. Langit adalah yang menjelaskan itu semua juga

12
hak bagi langit. Lalu, apa sesungguhnya yang hendak diketahui
dari langit? Peneliti merupakan subjek satu-satunya yang
mengetahui rencana yang hendak dirumuskan dalam penelitiannya.
2. Reduksi eidetis. Selain itu, dikenal juga reduksi eidetis. Eidetis
berasal dari kata eidos, yaitu intisari. Reduksi eidetis adalah
penyaringan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang
bukan eidos, intisari, atau realitas fenomen. Hasil reduksi kedua ini
adalah penilikan realitas. Dengan reduksi eidetis, semua segi,
aspek, dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan
dikesampingkan karena aspek dan profil tidak pernah
menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks,
mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. 23
Hakikat yang dicari adalah struktur dasar yang meliputi isi
fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah
sifat-sifat tertentu merupakan hakikat atau bukan, Husserl memakai
prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-
contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomenon.
Kemudian, mengurangi atau menambahkan salah satu sifat.
Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau
menambah makna fenomen dianggap sebagai sifat-sifat yang
hakiki.24
Reduksi eidetis ini menunjukkan bahwa dalam
fenomenologi, berlaku kriteria koherensi. Artinya, pengamatan
pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan.
Pada umumnya, mereka yang menyetujui idealism Husserl hanya
sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan
pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil oleh
pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang
menimbulkan idealisme transendental.25
Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut
sebagai penumbuhan sikap kritis dalam memahami segala sesuatu
yang memandang sesuatu secara menyeluruh dari berbagai
seginya. Artinya, peneliti tidak dengan mudah menerima pengertian
dan rumusan tertentu, atau pemahaman yang spontan terhadap
sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang dituju dalam
penelitian. Hal demikian hanyalah pandangan pertama. Peneliti
harus melakukan pandangan kedua; meninggalkan segala tabir
yang menghalangi dan menemukan hakikat objek, dan kembali
pada objek secara langsung.
Pendekatan fenomenologi digunakan dalam ilmu
pengetahuan, seperti ilmu-ilmu sosial dan matematika. J.F.Donceel
E.J. misalnya, telah menggunakan pendekatanf enomenologi
dalam memahami manusia di dalam bukunya Philosophical
Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan metode
fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah politik,
kebudayaan-kebudayaan, dan agama.26

13
Sebenarnya, secara ontologis, metodologi penelitian
kualitatif fenomenologis identik dengan metodologi penelitian yang
berbasis pada pendekatan rasionalistik yang melihat segala
sesuatu adalah sesuatu itu sendiri. Tidak ada persepsi yang
berusaha mengaburkan makna gejala, kecuali gejala itu
sendiriyang menjelaskan dirinya. Segala yang ada bersifat holistik
yang mendudukkan objek penelitian dalam suatu kontruksi
ganda,melihat objeknya dalam satu konteks naturalistik. Dijauhkan
sedemikian rupa upaya parsialisasi fenomenologis yang hanya
bertujuan memudahkan generalisasi. Kesamaannya dengan
pendekatan rasional adalah sama-sama menuntut konstruksi
teoritis yang lebih mencakup.27
Dalam metodologi penelitian kualitatif fenomenologis,
teorihanya akan mempersempit ruang gerak gejala yang natural,
bahkan memaksa parsialisasi. Oleh karena itu, teori dengan
sendirinya lahir atau dilahirkan oleh fenomena yang memberitakan
dirinya sendiri. Penyusunan kerangka teori yang dilakukan sebagai
langkah persiapan penelitian terkesan sangat subjektif dan
mempersempit makna alamiah dari setiap gejalayang
menampakkan diri. Menurut Neong Muhadjir, dalam penelitian
kualitatif fenomenologis, objek dilihat dalam konteksnya sendiri
dengan logika yang komprehensif, sehingga terbangun ilmu
ideografis yang mengedepankan prinsip-prinsip emik ketimbang
etik. Oleh karena itu, kedalaman makna setiap gejala yang diteliti
sesungguhnya merupakan hakikat gejala itusendiri, bukan atas
dasar analisis yang secara teoretis telahdisiapkan sebelumnya,
sehingga yang benar bukan gejalanya, melainkan teorinya, bahkan
teori itu semakin kuat dan paten.
Secara epistemologis, pencarian kebenaran yang dilakukan
dengan metodologi penelitian kualitatif merupakan penjelmaan
realitas yang ada dan merupakan sumber dari keberadaan yang
tampak. Gejala yang dipersepsi tidak dilihat secara kausalitas dan
koherensif, tetapi dilihat sebagai perwujudan setiap gejala yang
integral dan holistik. Seluruh gejala memiliki hubungan fungsional
yang mengilustrasikan kebenaran tanpa batas. Sebagaimana air
hujan yang turun membasahi bumi adalah perwujudan antara laut,
matahari, awan, dan angin, integritasnya tidak mudah diingkari.
Demikian pula, dengan keterikatan fungsional dari berbagai gejala
yang diteliti, hubungannya bukan semata-mata sebab akibat,
melainkan lebih jauh dari itu, yaitu hubungan deterministik yang
menjadi karakter dirinyasendiri.
Kebenaran bukan batasan kesimpulan sebagaimana
kesimpulan bukan batasan kebenaran. Kesimpulan dan kebenaran
adalah batasan kemampuan rasio dalam memersepsi gejala.
Dengan demikian, pengambilan keputusan terhadap pengertian-

14
pengertian yang telah direduksi tidak menghilangkan makna
integritas semua gejala.

C. Aliran-aliran dalam Teori


Ada dua aliran teori. Pertama, aliran yang memandang teorisebagai
hukum eksperimen, artinya bahwa kebenaran teoretis disebabkan oleh uji
validitas yang eksperimentatif, sedangkan eksperimen semakin
menguatkan teori. Kedua, aliran yang menyatakan bahwa hukum sebagai
kalkulus formal, seperti teori relativitas Einstein dan teori evolusi Darwin. 28
Teori ini menjelma menjadi doktrin, seperti teori yang menyatakan bahwa
air yang dipanaskan akan menguap.
Teori sebagai hukum eksperimen, diawali oleh kenyataan bahwa tanpa
eksperimen, tidak akan ditemukan kesesuaian antara teori dan kenyataan.
Oleh karena itu, mazhab ini memandang sangat penting melakukan
observasi dan eksperimen serta uji validitas empiris.
Ada dua kategori global berkaitan dengan teori, yaitu (1) teoriyang tetap
atau teori kalkulus formal. Teori ini lebih bersifat dogmatis; (2) teori yang
berdasarkan fenomena yang terjadi, sehingga memungkinkan terjadi
perubahan. Teori ini sejalan dengan teoriperubahan.
Adapun tipe-tipe teori secara umum terdiri atas tiga macam yaitu: 29
1. Teori formal, yaitu teori yang menghasilkan skema konsep dan
pernyataan dalam masyarakat atau interaksi keseluruhan manusia
yang dapat dijelaskan. Teori ini mencoba menciptakan agenda
keseluruhan untuk praktik teoretis masa depan terhadap klaim
paradigma yang berlawanan. Karakter fondasional tipe teori ini adalah
mencoba mengidentifikasikan seperangkat prinsip tunggal yang
merupakan landasan puncak kehidupan, yang kemudian disebut grand
teori.
2. Teori substantif, yaitu teori yang kurang inklusif, yang menjelaskan
bidang khusus secara keseluruhan, misalnya menjelaskan reward and
punishment dalam manajemen. Konstruk teori ini disebut middle teori.
3. Teori positivistik, yaitu teori yang menjelaskan hubungan empiris antar
variabel dan menarik kesimpulan dari berbagai hubungan variabel, dari
pernyataan teoretis yang lebih abstrak. Teori ini menjelaskan
pernyataan-pernyataan khusus dan memfokuskan pada hubungan
empiris tertentu, dan temuan yang belum terbukti. Teori ini disebut
dengan operasional teori.

D. Aksiologi Realitas dalam Teori


Teori tidak mungkin terlepas dari realitas karena realitaslah yang
melahirkan teori. Hanya dengan teori, realitas dapat dijelaskan secara

15
ilmiah. Sebaliknya, hanya dari realitaslah, teori dapat dirumuskan. Pada
dasarnya, realitas tidak satu karena selalu tampak beriringan dengan
situasi dan kondisi. Oleh karena itu, realitas berubah-ubah. dinamis, dan
beragam.
Realitas adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra, baik yang
bersifat fisik maupun yang nonfisik, tetapi dapat dirasakan
keberadaannya.
Para filsuf mendefinisikan realitas adalah sebagai berikut.
1. Filsuf India, Nagarjuna, memandang realitas merupakan sesuatu
yang melebihi intelek (akal budi) yang bersifat absolut.
2. Campanella berpendapat bahwa realitas adalah pengetahuan daya
dan cinta.
3. Immanuel Kant berpendapat bahwa realitas selaras dengan
kondisi-kodisi material empiris.
4. Fichte berpandangan bahwa realitas ditetapkan oleh ego.
5. Peirce mengatakan bahwa realitas adalah segala keadaan yang
paling ideal, yang diyakini oleh komunitas peneliti.
6. Bradly memandang realitas sebagai sesuatu yang absolut
dibelakang pengalaman.
7. Freud mengatakan bahwa realitas merupakan prinsip untuk
menunjuk pada tujuan pada saat individu telah matang dan mampu
mengatasi ilusi yang berpijak pada kenyataan.
8. Ostwald menegaskan realitas merupakan energi yang imateriil.
9. Losky menganggap realitas sebagai keseluruhan organik.
10. Remero mengatakan bahwa realitas merupakan transendensi,
karena itulah transendensi merupakan kunci realitas. 30
Realitas dapat dilihat dari beberapa sudut pandang berikut.
1. Realitas yang hanya dapat ditangkap oleh kapasitas akal budi (idea
gagasan, esensi).31 Realitas ide memandang bahwa sesuatu yang
eksis merupakan sumber kebenaran. Dengan demikian, teori akan
eksis pada cita manusia melalui kontemplasi. Kebenaran utama
adalah kebenaran kodrati inhern, yaitu kebenaran yang melekat
pada diri manusia yang beride, yang sudah eksis dalam ide, dan
sanubari manusia.32 Teori ini bersifat apriori, yaitu berada di alam
keharusan atau das sollen, yang mirip dengan doktrin imperatif dan
normatif.
2. Realitas berkaitan dengan sesuatu yang bersifat aktual, nyata dan
objektif yang hanya dapat dikenali dan dipahami melalui
mekanisme institusi dan indra.33 Menurut pandangan ini,
pengalaman merupakan sumber segala kebenaran. Oleh karena
itu, pandangan teori ini berada pada ranah ontologi yang mencoba
menemukan the ultimate truth atau kebenaran tertinggi, seperti
terdapat pada pemikiran August Comte di Prancis, David Hume di

16
Skotlandia. Menurut teori ini, yang benar hanya mungkin dibangun
secara konstruktif dari realitas indrawi. 34 Teori harus dipandang
sebagai sesuatu yang terwujud dan aposteriori. Dengan demikian,
sekalipun berada di alam das sollen, keniscayaan berlakunya teori
ini merupakan hasil kajian realitas di alam indrawi.
3. Realitas yang muncul ketika sains dan teknologi dengan
kecanggihannya mampu menciptakan dunia artificial. Pandangan
ini bersifat melampaui batas-batas realitas. 35Menurut teori ini,
munculnya teknologi canggih telah membantu menciptakan dunia
visual yang disebut hiperrealitas, yaitu dunia citraan yang berturut-
turut dan terakumulasi, sebuah dunia yang menumpang pada
realitas nyata. Teori hiperrealitas berpandangan bahwa pencitraan
merupakan refleksi dasar realitas. Teori hiperrealitas menutupi dan
menyelewengkan dasar realitas dan menutupi ketidakadaan dasar
realitas. Meskipun secara prinsip, beberapa pemikir yang mencoba
mengemukakan realitas yang hiper tidak berpotensi untuk
menawarkan sebuah teori, menjadi syarat kajian teoretis. Hal ini
karena teori akan lahir ketika kenyataan telah digantikan citranya
melalui bukti-bukti simbolik dalam media cetak, televisi, video, dan
internet.36

E. Teori-teori Perencanaan
Hudson yang dikutip Made Pidarta, 37 menunjukkan lima proses
perencanaan, yaitu radical, advocacy, transactive, synoptic, dan
incremental. Setiap teori perencanaan mempunyai cirinya sendiri-sendiri.
Tanner mencoba membentuk teori tersendiri yang disebut teori SITAR
sebagai gabungan dari kelima teori tersebut di atas. Berikut ini kelima teori
itu diuraikan satu per satu.
1. Teori Radical
Teori ini menekankan pentingnya kebebasan lembaga atau organisasi
lokal untuk melakukan perencanaan sendiri, dengan maksud untuk
mengubah keadaan lembaga supaya tepat dengan kebutuhan.
Pandangan para penganut teori ini adalah tidak ada organisasi
pendidikan lokal yang persis sama dengan yang lain. Olehs ebab itu,
kalau tidak dilakukan oleh lembaga atau organisasi lokalitu sendiri,
perencanaan merupakan perencanaan yang naif. Perencanaan yang
benar adalah perencanaan yang bersifat desentralisasi dengan
partisipasi maksimum dari individu, atau partisipasi minimum dari
pemerintah pusat atau manajer tertinggi.
Dengan partisipasi maksimum, individu-individu organisa silokal dapat
mempercepat perkembangan personalianya, sehingga mampu
menangani lembaganya sendiri, terutama dalam perencanaan.
Partisipasi di sini mengacu pada pentingnya kerja sama antar

17
personalia. Dengan kata lain, teori radikal menginginkan
agarorganisasi dapat mandiri menangani lembaganya.
2. Teori Advocacy
Teori advocacy menekankan hal-hal yang bersifat umum atau jamak.
Perbedaan lembaga, perbedaan lingkungan, dan perbedaan daerah
tidak dihiraukan. Dasar perencanaan tidak bertitik tolak dari
pengamatan secara empiris, tetapi atas dasar argumentasi yang
rasional, logis, dan bernilai (advocacy = mempertahankan dengan
argumentasi).
Kebaikan teori ini adalah dapat diterapkan untuk kepentingan umum
secara nasional. Hal ini karena ia meningkatkan kerja sama secara
nasional, toleransi, kemanusiaan, perlindungan terhadap minoritas,
hak yang sama, dan meningkatkan kesejahteraan umum.
Perencanaan yang memakai teori ini tepat dilaksanakan oleh
pemerintah atau badan pusat.
3. Teori Transactive
Teori ini menekankan harkat individu dan menjunjung tinggi
kepentingan pribadi. Keinginan, kebutuhan, dan nilai-nilai
individuditeliti satu per satu sebelum perencanaan dimulai. Kontak
empatmata dilakukan berkali-kali. Komunikasi antar pribadi pun
diadakan. Lalu, ide-ide dievolusi secara perlahan-lahan kepada orang-
orangyang menaruh perhatian terhadap organisasi, terutama kalangan
personalia.
Teori ini menekankan sifat perencanaan yang desentralisasi, suatu
desentralisasi yang transaktif, yaitu berkembang dari individu satu
kepada individu lain secara keseluruhan. Ini berarti penganutnya juga
menekankan pengembangan individu dalam kemampuan mengadakan
perencanaan. Jika perencanaan yang dilakukan oleh personalia
lembaga menunjukkan perkembangan yang lebih besar, berarti ada
usaha untuk mengembangkan internal organisasi.
4. Teori Synoptic
Teori synoptic merupakan teori yang paling komprehensif, disebut pula
dengan system planning, rational system approach, ataurational
comprehensive planning. Teori ini sudah memakai model berpikir
sistem dalam perencanaan. Objek yang direncanakan dipandang
sebagai satu kesatuan yang bulat sebagai sebuah misi. Objek atau
tujuan diuraikan menjadi bagian-bagian dengan memakai model
analisis sistem, sehingga sistem menampakkan strukturnya. Dengan
menstruktur sistem, sampai pada komponen-komponennya, pekerjaan
perencanaan menjadi lebih mudah karena menghadapi tugas-tugas
yang sudah spesifik.

18
Proses perencanaan synoptic memakai langkah-langkah sebagai
berikut: (1) pengenalan problem dan lingkungan, (2) mengestimasi
ruang lingkup problem dan lingkungan, (3) mengklasifikasi
kemungkinan penyelesaian, (4) menginvestigasi problem
danlingkungan, (5) memprediksi alternatif, (6) mengevaluasi kemajuan
atas penyelesaian yang spesifik.
5. Teori Incremental
Teori incremental dalam perencanaan berpegang pada kemampuan
lembaga dan performan para personalianya. Teori ini berhati-hati
sekali terhadap ruang lingkup objek yang akan ditanganinya.Objek
yang ditangani selalu diukur atau dibandingkan dengan kemampuan
lembaga dan performen personalia. Kalau sesuai dan dapat dikerjakan
dengan perkiraan hasil yang memadai, barulah direncanakan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, perencanaan tidak dibuat dalam
jangka panjang sebab di samping sukar meramal dalam waktu yang
panjang, juga sukar menentukan kemampunan lembaga dan
performan personalianya. Jadi, perencanaan ini hanya menekankan
perencanaan dalam jangka pendek. Perencanaan untuk masa
beberapa tahun dilakukan dengan menambahkan perencanaan-
perencanaan pendek yang sudah lampau, artinya increment.
Perencanaan ini menekankan sifat desentralisasi, yaitu berusaha
mengadakan kontak dengan lingkungan atau masyarakat. Artinya,
dalam merencanakan objek tertentu selalu mempertimbangkan faktor-
faktor lingkungan. Ada kerja sama yang akrab antara Lembaga dengan
lingkungan dalam merencanakan sesuatu. Hal ini mengingatkan kita
pada perencanaan dengan pendekatan system.
Alasan perencanaan ini menekankan jangka pendek adalah jangka
pendek lebih real dan lebih mudah diwujudkan dari pada jangka
panjang. Cunningham menyebut teori seperti ini sebagai art of the
possible yang dia pertentangkan dengan art of ideal terhadap
perencanaan sistem yang berjangka panjang. Selanjutnya, teori ini
disebutnya dengan disjointed-incrementalist model ialah konsep
pembentukan yang kontinu pada situasi yang sedang berlangsung,
setapak demi setapak, dan dengan tingkat perubahan yang kecil.
Situasi yang sedang berlangsung adalah situasi sekarang, yang dapat
diartikan masa perencanaan yang pendek, yaitu satu tahun. Teori ini
diilhami oleh filsafat pragmatisme yang menyatakan bahwa yang baik
adalah yang berguna pada masa sekarang, dan yang berguna pada
masa sekarang hanya dapat ditentukan dan dicari pada masa
sekarang. Kita tidak tahu apa-apa tentang masa yang akan datang dan
memang tidak perlu tahu karena belum memberi manfaat kepada kita.
Jadi, tidak ada gunanya merencanakan untuk masa yang akan datang.
Tujuan dan alat dalam filsafat ini adalah sama. Tidak ada tujuan yang

19
tepat. Ia selalu berubah bersamaan dengan perubahan alat untuk
mencapai tujuan itu. Dasar argumentasi teori disjointed-incrementalist
adalah: (1) nilai, tujuan, dan empiris tidak terpisah satu dan lainnya,
tetapi sebagai suatu tenunan, (2) apabila alat dan tujuan terpisah,
mereka seringterpisah atau tidak cocok, (3) tes untuk perencanaan
yang baik adalah kesepakatan antara kecocokan alat dan pencapaian
tujuan, (4) analisis subjektif tentang kemungkinan hasil, alternatif, dan
nilai-nilai efektif cenderung dilalaikan, (5) bukti akhir perencanaan yang
efektif adalahyang diterima dan dapat diimplementasikan dengan
sukses.
Alternatif-alternatif yang dipakai dalam perencanaan ini hanya
dibatasi pada tindakan sekarang atas dasar informasi yang
telahtersedia, pengertian yang jelas, dan atas dukungan yang besar
darisegala pihak yang berkepentingan.
6. Teori SITAR
Kata SITAR singkatan dari synoptic, incremental, transactive,
advocacy, dan radical. Ini menunjukkan bahwa teori SITAR adalah
gabungan dari kelima teori itu. Tanner mengatakannya sebagai
complementary planning process, suatu proses saling melengkapi
antara kelima teori tersebut. Kelima teori itu yang dikatakan sebagai
tradisional. Apabila masing-masing dipraktikkan secara terpisah, ia
akan mencapai sasaran yang tidak lengkap, sebab masing-masing
mempunyai ciri sendiri dengan penekanan masing-masing.
Teori ini memerhatikan situasi dan kondisi masyarakat atau lembaga
tempat perencanaan itu akan diaplikasikan. Teori ini menjadi SITARS,
yaitu S terakhir menunjuk huruf awal dari kata situational. Berarti teori
ini, di samping mengombinasikan teori-teori yang sudah ada,
penggabungannya didasarkan pada penyesuaian dengan situasi dan
kondisi organisasi dan masyarakat.

DAFTAR CATATAN KAKI

[1] Otje Salaman dan Anton F.S., “Teori Hukum”, Bandung: Refika Atima, 2005, hlm.
19

[2] Ibid

[3] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Karya,


1989, dalam purbayu Budi Santosa images.purbayubs.multiply.com

[4] Malcolm Walters, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994, hlm 3

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] T.jakob, “Manusia Ilmu dan Teknologi”, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993, hlm. 7-8

20
[8] Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam
karya utamanya Cours de Philosophic Positive, yaitu "Kursus tentang Filsafat Positif
(1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karyanya yang pantas
disebutkan di sini ialah Discour L'esprit Positive (1844), yang artinya "Pembicaraan
tentang Jiwa Positit". Dalam karya inilah, Comte menguraikan secara singkat
pendapat-pendapat positivis, hukum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan
dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan (Juhaya S. Pradja, Aliran-aliran dalam
Filsafat, Bandung: Piara, 2000, hlm. 89)

Positivisme berasal dari kata "positif". Kata positif sama artinya dengan faktual, yaitu
segala hal yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme pengetahuan kita tidak
boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi
contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Filsafat pun harus meneladani contoh
itu. Oleh karena itu, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan
"hakikat" benda-benda atau "penyebab yang sebenarnya", bagi positivisme tidaklah
mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki
fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat
adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam coraknya. Tentu
saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh
empirisme Positivisme pun mengutamakan pengalaman Hanya berbeda dengan
empirisme Inggris yang menerima pengalaman batinah atau subjektif sebagai
sumber pengetahuan positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui
pengalaman batiniah tersebut. Ia hanya mengandalkan fakta-fakta belaka. (ibid).

[9] Noeng Muhadjir, Methodology Penelitian Kualitatif, Edisi III, Yogyakarta:


Rakesarasin, 1996, hlm. 8

[10] Paul Jhonson, Teori Sosiologi dari Klasik Hingga Modern, Jakarta: Gramedia,
1996, hlm 82-83

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Noeng Muhadjir, op.cit

[14] Ahmad Syadali, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 116

[15] Ahmad Syadali dan Mudzakkir, op.cit., hlm. 117

[16] Ibid

[17] Ibid

[18] Noeng Muhadjir, op.cit

[19] Juhaya S. Pradja, op.cit., hlm. 121

[20] Ibid

[21] Ibid

[22] Ibid

[23] Ibid., hlm. 122

[24] Ibid

[25] Ibid., hlm. 124

[26] Ibid., hlm. 125

[27] Noeng Muhadjir op.cit

21
[28] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, hlm.39

[29] Otje Salman, op. cit., hlm.23-24

[30] Otje Salman dan Anton F.S., of. Cit., hlm. 27

[31] ini adalah pemikiran aliran idealism, misalnya idealisme plato pada masa Yunani
kuno dan idealisme Hegel pada masa modern

[32] Soetandoyo Wigjosoebroto, Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Masalah,


Hlm. 186

[33] ini adalah pemikiran aliran empirisme seperti Bacon dan Durkheim seorang
sosiolog positifistik

[34] Ibid

[35] Yasraf Amir Piliang, Mark Slouka Ruang yang hilang pandangan Humanis
tentang budaya Cyberspace yang merisaukan, Bandung: Mizan, 1999, Hlm. 14

[36] Ibid., Hlm 30

[37] Made Pidarta, Perencanaan Pendidikan.., hlm. 22-28

22

Anda mungkin juga menyukai